Anda di halaman 1dari 4

Topic : mental health

Gangguan Kesehatan Mental Semenjak Pandemi Pada Anak Remaja


Sejak Covid-19 datang pada awal 2020, kesehatan mental sudah menjadi kekhawatiran banyak
kalangan di bidang kesehatan. Banyak pasien Covid-19 menunjukkan gejala depresif,
kecemasan, dan stres pasca-trauma, baik yang menjalani isolasi di rumah sakit maupun di rumah.

Menurut data survei Global Health Data Exchange 2017, ada 27,3 juta orang di Indonesia
mengalami masalah kesehataan kejiwaan. Artinya, satu dari sepuluh orang di negara ini
mengidap gangguan kesehatan jiwa. 
“Waktu 18 bulan terakhir terasa sangat, amat berat bagi kita dan terutama bagi anak-anak.
Peraturan karantina nasional dan pembatasan mobilitas karena pandemi menyebabkan anak-anak
harus menghabiskan waktu-waktu yang berharga dalam kehidupan mereka terpisah dari
keluarga, teman, sekolah, dan kesempatan bermain – padahal, semua hal ini penting bagi masa
kanak-kanak,” ujar Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore.
“Dampaknya besar dan yang tampak hanyalah puncak dari gunung es. Sebelum pandemi
sekalipun, telah ada begitu banyak anak terbebani masalah kesehatan mental yang tidak memiliki
jalan keluar. Investasi yang dikerahkan oleh pemerintah-pemerintah dunia untuk kebutuhan di
bidang ini terlalu sedikit. Belum banyak yang mengaitkan pentingnya kesehatan mental yang
baik dengan kualitas masa depan seseorang.”
Kesehatan mental dipengaruhi oleh peristiwa dalam kehidupan yang meninggalkan dampak yang
besar pada kepribadian dan perilaku seseorang. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat berupa
kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, atau stres berat jangka panjang.
Awalnya, orang akan merasa bosan ketika harus banyak berdiam diri di rumah. Lama-kelamaan,
kebosanan itu bisa berkembang menjadi depresi dan gangguan kecemasan.

Jika kesehatan mental terganggu, maka timbul gangguan mental atau penyakit mental. Gangguan
mental dapat mengubah cara seseorang dalam menangani stres, berhubungan dengan orang lain,
membuat pilihan, dan memicu hasrat untuk menyakiti diri sendiri.

Masalah Kesehatan Mental Pada Anak Remaja


Ditutupnya sekolah dan dibatalkannya berbagai aktivitas penting, banyak remaja kehilangan
beberapa momen besar di kehidupan mereka dan juga momen keseharian seperti mengobrol
dengan teman dan berpartisipasi di sekolahnya
Semua kebiasaan berubah secara dahsyat dan membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Ada
beberapa orang yang bisa cepat beradaptasi dan ada beberapa yang butuh waktu lama untuk
beradaptasi. Setiap orang punya cara yang berbeda-beda.
Saat kesehatan mental remaja tertekan, bisa dilihat tanda-tandanya seperti terlihat tidak
bersemangat, nafsu makannya berkurang, pola tidurnya terganggu/susah tidur, dan juga khawatir
yang berlebihan.
Semenjak pandemi ini datang, banyak para remaja mengalami mental illness yang mereka
sendiri belum mengenal apa itu mental illness. Oleh karena itu, mereka sangat kesulitan
mengontrol kembali diri sendiri bahkan ada yang sudah tidak mengenal diri sendirinya itu seperti
apa.
Memasuki tahun ketiga pandemi COVID-19, dampak pandemi terhadap kesehatan dan
kesejahteraan mental anak-anak dan orang muda terus memburuk. Data terkini dari UNICEF
menunjukkan bahwa, secara global, setidaknya 1 dari 7 anak mengalami dampak langsung
karantina, sementara 1,6 miliar anak terdampak oleh terhentinya proses belajar mengajar.
Gangguan terhadap rutinitas, pendidikan, rekreasi, serta kecemasan seputar keuangan keluarga
dan kesehatan membuat banyak anak muda merasa takut, marah, sekaligus khawatir akan masa
depan mereka.

Cara Menangani Gangguan Mental Pada Anak-anak Maupun


Remaja
Untuk menyikapi keadaan yang demikian, seorang psikolog remaja, yang juga penulis best-seller
dan kolumnis bulanan New York Times, Dr. Lisa Damour, mengungkapkan ada sejumlah hal
yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan mental agar tetap waras di masa pandemi yang
tidak tahu kapan akan berakhirnya.

1. Cemas adalah hal yang wajar


Sadari bahwa rasa cemas yang kamu alami bukan hanya terjadi pada dirimu sendiri tapi hampir
seluruh remaja di dunia. Kehilangan momen penting dalam hidup memang berat, tidak salah jika
kamu mengalami rasa cemas karena itu adalah hal wajar.
Dr. Lisa mengungkapkan para psikolog sudah lama menyadari bahwa kecemasan adalah fungsi
normal dan sehat yang bisa membuat kita waspada terhadap ancaman, dan membantu kita untuk
mengambil tindakan untuk melindungi diri.
“Perasaan-perasaan tersebut tidak hanya membantu menjaga dirimu, tapi juga orang lain. Hal
inilah yang mencerminkan bagaimana kita ikut menjaga anggota masyarakat. Kita juga
memikirkan orang-orang di sekitar kita, lho,” ungkapnya.
“Dan jika kamu merasa mengalami gejala COVID-19 segera beritahu orang tua agar segera
diatasi. Karena umumnya pada anak dan remaja gejala ringan,” demikian ucap Dr. Lisa.
2. Cari pengalihan
Di dalam hidup tak jarang kita harus berhadapan dengan kondisi yang sulit untuk dilalui. Namun,
cara yang bisa dilakukan untuk mengatasinya adalah mengenali masalah terlebih dahulu.
Masalah yang timbul bisa hal-hal yang dapat dikendalikan maupun yang tidak dapat
dikendalikan seperti saat ini.
Oleh sebab itu, kita memerlukan pengalihan untuk mengatasinya. Menurut Dr. Lisa kita bisa
mencari pelampiasan yang positif dan menemukan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari.
Contohnya seperti mengerjakan tugas, membaca buku atau novel, menonton film, memasak,
membuat kue, berolahraga, bernyanyi, menari, melukis atau bahkan membuat kreativitas baru.

3. Temukan cara baru untuk berkomunikasi


Di zaman yang sudah modern saat ini, berkomunikasi tidak harus dilakukan secara langsung.
Kamu bisa memanfaatkan media sosial untuk berinteraksi dengan keluarga jauh atau teman-
teman.
Dr. Lisa mengingatkan agar tidak kebablasan dalam penggunaannya. Tetap diperlukan
pengaturan waktu atau screen time dalam kesehariannya.
“Saya tidak akan pernah meremehkan kreativitas remaja. Mereka akan menemukan cara untuk
terhubung dengan satu sama lain secara online melalui cara yang belum pernah dilakukan
sebelumnya. Tetapi memiliki akses tanpa batas ke layar kaca atau media sosial itu bukan hal
yang bagus. Itu hal yang tidak sehat dan tidak cerdas, dan bahkan bisa menambah rasa
cemasmu,” kata Dr. Lisa.

4. Fokus pada diri sendiri


Jika sebelum pandemi kamu begitu disibukkan dengan berbagai kegiatan, kini saatnya kamu
fokus pada dirimu sendiri. Kamu bisa memanfaatkan waktu ini untuk menambah kemampuan
dengan cara banyak membaca atau mengikuti kursus online.
Kamu juga bisa melakukan hal-hal produktif lainnya untuk menjaga kesehatan baik fisik maupun
mental. “Kalau sudah bicara tentang perasaan yang menyakitkan, satu-satunya jalan keluar
adalah berusaha melaluinya.” Ucap Dr. Lisa.
5. Rasakan perasaanmu
Menurut Dr. Lisa cara terbaik untuk mengatasi rasa kekecewaan adalah dengan membiarkan
dirimu merasakan kekecewaan ini.
“Kalau soal mengalami perasaan yang menyakitkan, satu-satunya jalan keluar adalah berusaha
melaluinya. Lanjutkan hidupmu dan jika merasa sedih, selami perasaanmu. Jika kamu bisa
membiarkan dirimu merasa sedih, akan lebih cepat pula kamu merasa lebih baik,” ungkapnya.
Tentu perasaan kecewa tidak dapat dipungkiri manakala kita kehilangan kesempatan untuk
mengikuti acara-acara dengan teman, kegiatan untuk menyalurkan hobi, atau pertandingan
olahraga, tapi ini bisa diatasi. Beberapa anak akan menyalurkan perasaan mereka dengan
membuat karya seni, sementara beberapa lainnya memilih berbicara dengan teman-teman
mereka dan menggunakan kesedihan yang dirasakan bersama sebagai cara untuk merasa
terhubung di tengah situasi ketika mereka tidak bisa bertemu secara fisik.
“Setiap orang punya cara berbeda untuk mengolah perasaan. Bagaimanapun caranya yang
penting adalah kamu melakukan hal yang terasa benar bagimu,” demikian ucap Dr. Lisa.

6. Berbuat baik
Tidak dapat dipungkiri akibat virus Corona, beberapa remaja mengalami aksi bullying. Cara
terbaik untuk mengatasi hal ini menurut Dr. Lisa adalah dengan jadi pembela untuk setiap
jenis bullying.
“Anak-anak dan remaja yang menjadi target bullying tidak seharusnya diminta untuk melawan
para pelaku bullying secara langsung. Justru, kita yang mesti mendorong mereka untuk mencari
pertolongan dan dukungan dari teman atau orang dewasa,” ungkapnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan jika menyaksikan ada teman yang di-bully, maka dekati mereka
dan tawarkan dukungan.
“Karena tidak melakukan apapun bisa membuat temanmu merasa bahwa tidak ada yang peduli
padanya. Ingatlah saat yang paling penting bagi kita untuk untuk lebih bijaksana dalam
memutuskan apa yang akan kita bagikan atau katakana kepada orang lain,” pungkas Dr. Lisa.

Itulah beberapa tips beserta penjelasan dari seorang ahli Psikolog Dr. Lisa. Tetap jaga kesehatan
kalian yaa tidak hanya fisik tapi juga mental kalian. SEMANGAT! n God Bless Us.

Anda mungkin juga menyukai