DISUSUN OLEH :
KhairunNisa (2107201071)
Semester II Keperawatan
Progsus B
2022
BAB I
KONSEP BPH
A. Pengertian
B. Klasifikasi
C. Etiologi
D. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar
buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc
Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar
prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona
transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000).
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi
perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose
di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat
tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat
hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan
enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-
RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh
kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan
kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis.
Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi
yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan
mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok).
Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang
kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan
detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila
keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi.
Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi),
miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot
detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency,
disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow
incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi.
ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan
traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi
dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi
refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
BAB II
MANAJEMEN KASUS
A. Pengkajian Keperawatan
Tanggal / Jam Pengkajian : 23 Juni 2020 / 14.00 WITA
Ruang Perawatan : Bedah Kelas III
No.RM : 09 67 x x x
Diagnosa Medis : Benigna Prostat Hiperplasia
1. Biodata
a. Identitas Klien
Nama : Tn. S
Umur : 58 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Petani
Pendidikan Terakhir : SD
Suku/Bangsa : Buton/ Indonesia
Alamat : Kancideli, Kapontori Kabupaten Buton.
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny. F
Umur : 22 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : Buton/ Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : -
Hub. dengan klien : Anak
Alamat : Kapontori Kabupaten Buton.
Sumber biaya klien : BPJS Kesehatan.
28
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien mnegatakan tidak ada anggota keluarga yang menderita
penyakit yang sama dengannya, klien dan keluarga mengatakan tidak ada
riwayat anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan, klien dan
keluarga mengatakan tidak ada riwayat anggota keluarga yang menderita
penyakit infeksi, dan keluarga klien mengatakan akibat anggota keluarga
meninggal yaitu faktor usia.
62 58 57 52
50
58
55
22 18
25 20
karena telah diberi penjelasan oleh perawat dan dokter dan klien nampak
tenang.
6. Riwayat Sosial
7. Riwayat Spiritual
Klien mengatakan sebelum sakit kegiatan ibadah sholat 5 waktu dan saat
sakit klien tidak sholat hanya selalu berdoa kepada Allah SWT.
30
b. Pola Eliminasi
Tabel 3.2
Pola Eliminasi Klien
2. Jam tidur siang 13.00-15.30 Wita (2,5 jam) 12.30-14.00 Wita (1,5 jam)
terganggu
f. Pola Kebiasaan
Tabel 3.6
Pola Kebiasaan Klien
terlarang
9. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan klien :
1) Keadaan umum lemah.
2) Penampilan sesuai dengan usia.
1) Kebersihan diri terpelihara.
1) Tingkat kesadaran Composmenthis.
1) GCS : 15 (E4, M6, V5).
1) Skala nyeri yang dirasa 7 (nyeri berat).
2) Nampak meringis
b. Tanda-Tanda Vital :
1) Tekanan darah (TD) : 120/80 mmHg.
2) Nadi (N) : 90 kali/menit.
1) Suhu (S) : 37,5 C.
1) Pernapasan (RR) : 20 kali/menit.
0
c. Pemeriksaan Sistem Tubuh (Review of system )
1) Sistem Pernapasan
Inspeksi : hidung simetris kiri dan kanan, tidak ada
pernapasan cuping hidung, dan tidak ada penggunaan otot
bantu pernapasan.
Palpasi : tidak ada nyeri dada saat bernafas, tidak ada nyeri
tekan, frekuensi nafas 20 kali/menit.
3) Sistem Persarafan
Inspeksi : kesadaran composmenthis, klien dapat berespon
dengan tepat terhadap stimulus yang diberikan
melalui suara dan visual, dan tidak terdapat
4) Sistem Perkemihan
Inspeksi : terpasang kateter urine dan berwarna kemerahan.
Palpasi : blass teraba kosong, tidak ada keluhan sakit
35
b) Hidung
Inspeksi : fungsi penciuman baik, dan tidak ada sekret.
c) Telinga
Inspeksi : tidak ada serumen, tidak ada perasaan penuh pada
telinga, dan fungsi pendengaran baik.
d) Wicara
Inspeksi : klien tidak mengalami gangguan bicara dan dapat
mengungkapkan kata-kata dengan jelas.
8) Sistem Integumen
Inspeksi : kulit kepala tampak bersih, rambut tidak lengket,
distribusi rambut merata, tidak mudah dicabut,
kuku tangan pendek, dan kuku kaki pendek.
Palpasi : turgor kulit baik, suhu 37,5 C, bila dicubit kembali
0
dalam waktu 2 detik.
9) Sistem Endokrin
Inspeksi : tidak mengalami pembesaran kelenjar tyroid dan
36
10. Data Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 23 Juni 2020
Tabel 3.7
Pemeriksaan Laboratorium
10^6/µl
RBC 4,47 g/dl 4,00 6,20
HGB 13,8 % 11,0 17,0
HCT 41,6 Hml3 35,0 55,0
MCV 43,2 Pg 80,0 100,0
MCH 30,9 g/dl 26,0 34,0
MCHC 33,2 % 31,0 35,5
RDW 14,7 10,0 16,0
37
12. Data Fokus
Nama pasien : Tn.S
No. RM : 09 67 x x x
Tabel 3.8
Data Fokus
5. Tampak meringis
38
B. Diagnosa Keperawatan
Tabel 3.9
Analisa Data
Kemungkinan
operasi.
Luka insisi bedah
2. Klien mengatakan
nyeri yang
3. Klien mengatakan
dirasakan 7 (nyeri
berat).
Data Objektif :
1. Tampak meringis
2 Faktor Resiko: Prosedur pembedahan Risiko infeksi
baring.
2. Terpasang kateter
urine.
Tabel 3.10
Intervensi Keperawatan
Rencana Keperawatan
Diagnosa
No NOC NIC
Keperawatan
1 Nyeri berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri:
dengan spasme otot perawatan selama 3x24 jam
Tabel 3.11
0
Diagnosa
Jam Implementasi Jam Evaluasi SOAP Paraf
Nyeri berhubungan 14.20 1. Mengukur tanda- 21.00 S:
pembedahan. mmHg, O:
2. Mengkaji Pernapasan 20
dirasakan 7 (nyeri A:
Hasil : Lanjutkan
teratasi.
P:
Lanjutkan
intervensi :
Diagnosa
Jam Implementasi Jam Evaluasi SOAP Paraf
Nyeri berhubungan 07.20 1. Mengukur tanda- 14.00 S:
pembedahan. mmHg, O:
2. Mengkaji Pernapasan 20
42
09.10 4. Menganjurkan klien P:
aktivitasnya. intervensi :
Suhu: 36,5 C A:
cairan selama P:
Diagnosa
Jam Implementasi Jam Evaluasi SOAP Paraf
Nadi 84 kali/menit, O:
Suhu 36,8 C.
2. Mengkaji Pernapasan 20
16.30 kali/menit.
karakteristik nyeri
P:
17.10
3. Mengatur klien Pertahankan
Ali dkk. 2017. Perbandingan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan
Comorbid Faktor Diabetes Mellitus Dan Hipertensi di Ruangan
Hemodialisa RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou. Manado. E-Jurnal
Keperawatan ( e-Kp). Vol. 5 no. 2.
Hutagol. 2016. Peningkatan kualitas hidup pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani terpai hemodialisa melalui physicological intervention di unit
hemodialisa RS Royal Prima Medan Tahun 2016. Jurnal Jumantik volume
2 nomor 1, Mei 2017.
Pradesya. 2015. Hubungan gagal ginjal kronik dengan edema paru ditinjau dari
gambaran radiologi di RS PKU Muhamadiyah Gamping Yogyakarta.
Pranandari & Supadmi. 2015. Faktor Resiko Gagal Ginjal Kronik di Unit
Hemodialisis RSUD Wates Kulon Progo. Majalah Farmaseutik, Vol. 11
No. 2.
29
30
Tim Pokja. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia : DPP PPNI. Edisi 1.
30