Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MEKANISME PERTAHANAN DIRI


Mata Kuliah : Psikologi Kesehatan
Dosen Pengampu : Dr. Yonathan Ramba,S.Pd, S.Ft,Physio.,M.Si

Disusun Oleh :
Siti Maqnuni (PO713241201042)

D-III Fisioterapi
Politeknik Kesehatan Kemenkes Makassar
2021
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur saya haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah
memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah. Sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “MEKANISME PERTAHANAN DIRI” dengan baik tanpa ada
halangan yang berarti.

Makalah ini telah saya selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu saya sampaikan banyak terima kasih kepada segenap pihak
yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini.

Namun tidak lepas dari itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan
baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada
kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun
kritik demi memperbaiki makalah ini.
Dengan karya ini saya berharap dapat membantu pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa Indonesia melalui pengembangan internet di desa-desa.

Demikian yang bisa saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA

JUDUL............................................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR.......................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
Latar Belakang................................................................................................................4
Rumusan Masalah...........................................................................................................4
Tujuan............................................................................................................................. 4
BAB II
PEMBAHASAN................................................................................................................5
Pengertian Mekanisme Pertahanan Diri..........................................................................5
Mekanisme Pertahanan Diri Sigmund Freud..................................................................6
Faktor – Faktor yang Memunculkan Mekanisme Pertahanan Diri................................10
Ciri – ciri Mekanisme Pertahanan Diri.........................................................................11
Konsep Taktik Bertahan (Defense Tactic)....................................................................11
BAB III
PENUTUP.......................................................................................................................15
Kesimpulan................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Mekanisme pertahanan diri merupakan pendalaman dari struktur kepribadian. Mekanisme


pertahanan diri sangat berguna untuk melindungi pikiran, diri, atau ego sendiri dari kecemasan
dan sanksi sosial. Dengan kata lain mekanisme pertahanan diri dapat menjadi tempat pelarian
dari situasi yang tidak sanggup untuk dihadapi baik secara sadar maupun tidak.

Mekanisme pertahanan pada prinsipnya muncul dalam diri seseorang manakala dihadapkan
pada situasi yang menimbulkan kecemasan. Orang cenderung menyembunyikan hal-hal negatif
dalam dirinya. Situasi ini tidak menguntungkan dalam perkembangan kepribadian seseorang.

Rumusan Masalah

1. Apa itu mekanisme pertahanan diri?


2. Apa saja faktor-faktor yang memunculkan mekanisme pertahanan diri?
3. Apa saja ciri-ciri pertahanan diri?
4. Apa itu defense tactik?
5. Bagaimana mekanisme pertahanan diri menurut Sigmud Freud?

Tujuan

1. Mengetahui maksud dari mekanisme pertahanan diri


2. Mengetahui faktor-faktor yang memunculkan mekanisme pertahanan diri
3. Mengetahui ciri-ciri pertahann diri
4. Mengetahui maksud defense tactik
5. Mengetahui mekanisme pertahanan diri menurut Sigmud Freud
6.
BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Mekanisme Pertahanan Diri

Mekanisme pertahanan diri tak bisa terlepas dari struktur kepribadian karena mekanisme
pertahanan diri sendiri berfungsi untuk melindungi ego. Sebelum masuk pada pengertian
mekanisme pertahanan diri, disini akan dipaparkan sedikit mengenai struktur kepribadian.

Menurut teori Freud, kepribadian terdiri dari tiga sistem utama: id, ego, dan superego (Wade
& Tavris, 2007).

a. Id yang telah ada sejak manusia dilahirkan merupakan sumber energi psikologis yang
tidak disadari dan motivasi untuk menghindari rasa sakit dan mendapatkan kesenangan.
Id memiliki dua insting yang saling bersaing: insting hidup atau seksual (yang
digerakkan oleh energi psikis yang disebut libido) dan insting kematian atau
agresivitas. Saat energi muncul di dalam id, hasilnya adalah ketegangan. Id dapat
melepaskan ketegangan ini dalam bentuk aksi refleks, gejala fisik, atau gambaran
mental dan pemikiran tak tersensor.

b. Ego merupakan sistem kedua yang muncul setelah id. Ego adalah wasit antara
kebutuhan insting dan tuntutan sosial masyarakat. Ego tunduk terhadap kenyataan
hidup, mengekang hasrat id terhadap seks dan agresivitas sampai sarana yang secara
sosial tepat dapat ditemukan. Freud berpendapat, ego disadari sekaligus tidak disadari
dan mewakili “akal sehat dan penilaian yang baik”.

c. Superego yang merupakan sistem terakhir yang muncul, mewakili moralitas dan
otoritas orang tua; termasuk di dalamnya suara hati yang memberitahu kita saat kita
berbuat salah. Superego yang sebagian disadari namun lebih besar lagi tidak disadari,
menilai aktivitas id, memberikan perasaan menyenangkan, yaitu kebanggaan dan
kepuasan saat kita berhasil melakukan sesuatu, dan perasaan buruk, yaitu perasaan
bersalah dan malu saat kita melanggar peraturan.

Mekanisme pertahanan diri atau ego termasuk dalam teori psikoanalisis Sigmund Freud.
Sigmund Freud (dalam Koeswara, 1991:46) mengartikan mekanisme pertahanan diri sebagai
strategi yang digunakan individu untuk mencegah kemunculan terbuka dari dorongan-dorongan
id dan untuk menghadapi tekanan superego atas ego dengan tujuan agar kecemasan bisa
dikurangi atau diredakan. Semium (2006:426—429) memaparkan bahwa dalam aliran
psikoanalisis Sigmund Freud, mekanisme pertahanan diri adalah strategi psikologis yang
dilakukan seseorang, sekelompok orang, atau bahkan suatu bangsa untuk berhadapan dengan
kenyataan dan mempertahankan citra diri. Senada dengan Semium, Siswantoro (2005:100)
menjelaskan bahwa “Mekanisme pertahanan diri atau defense mechanism merupakan reaksi
terhadap frustrasi yang dialami secara tidak sadar untuk mengurangi tekanan batin yang
menimbulkan rasa sakit atau stres”. Jadi, sebenarnya mekanisme pertahanan diri melibatkan
unsur penipuan diri. Kendati demikian, manusia lazim menggunakan berbagai mekanisme
pertahanan dalam hidupnya. Mekanisme tersebut menjadi patologis bila penggunaannya secara
terus menerus membuat seseorang berperilaku maladaptif sehingga kesehatan fisik dan/atau
mental orang itu turut terpengaruhi.

Dalam pandangan Freud, ego harus menyelesaikan konflik antara tuntutan realitas, harapan,
id, dan pembatasan dari superego, melalui mekanisme pertahanan (defense mechanism).
Mekanisme pertahanan merupakan metode yang tidak disadari untuk mendistorsikan realitas,
yang digunakan oleh ego untuk melindungi dirinya dari kecemasan yang disebabkan oleh adanya
konflik antara ketiga struktur kepribadian. Ketika ego menangkap bahwa tuntutan id dapat
membahayakan, timbullah kecemasan, yang mengingatkan ego untuk menyelesaikan konflik
melalui mekanisme pertahanan (Santrock, 2007).

Fudyartanta (2012) mengatakan jika individu mengalami tekanantekanan kecemasan yang


berlebihan, egonya kadang-kadang terpaksa menempuh cara-cara ekstrem untuk menghilangkan
tekanan. Cara-cara ini disebut mekanisme-mekanisme pertahanan diri.

Mekanisme pertahanan diri adalah proses-proses yang digunakan ego untuk menyimpangkan
kenyataan untuk melindungi dirinya sendiri (Friedman & Schustack, 2006).

Mekanisme pertahanan diri berfungsi menolak atau mengubah kenyataan, namun juga
sekaligus melindungi kita dari konflik dan kecemasan. Mekanisme pertahanan diri ini menjadi
tidak sehat saat menimbulkan perilaku merugikan dan masalah emosional (Wade & Tavris,
2007).

Gross (2013) menyatakan mekanisme pertahanan diri menurut definisinya tidak disadarinya,
yang sebagian membuatnya efektif. Mereka melibatkan membohongi diri sendiri dan distorsi
realitas dengan derajat tertentu; ini mencegah kita agar tidak dibuat kewalahan oleh ancaman
temporer atau trauma dan dapat memberikan “ruang untuk bernafas” untuk berdamai dengan
konflik atau menemukan cara-cara alternatif untuk mengatasinya. Sebagai langkah jangka
pendek, mereka menguntungkan, perlu, dan “normal”, tetapi sebagai solusi jangka panjang untuk
berbagai masalah kehidupan, mereka biasanya dianggap tidak sehat (dan bahkan membentuk
dasar banyak neurosis).

Mekanisme Pertahanan Diri Sigmund Freud


Pemahaman tentang kesadaran dan ketidaksadaran manusia merupakan salah satu
sumbangan terbesar dari pemikiran Freud. Menurutnya, kunci untuk memahami perilaku dan
problema kepribadian bermula dari hal tersebut. Ketidakasadaran itu tidak dapat dikaji langsung,
karena perilaku yang muncul itu merupakan konsekuensi logisnya. Menurut Corey, bukti klinis
untuk membenarkan alam ketidaksadaran manusia dapat dilihat dari hal-hal berikut, seperti:
1. mimpi; hal ini merupakan pantulan dari kebutuhan, keinginan dan konflik yang terjadi
dalam diri,
2. salah ucap sesuatu; misalnya nama yang sudah dikenal sebelumnya,
3. sugesti pasca hipnotik,
4. materi yang berasal dari teknik asosiasi bebas, dan
5. materi yang berasal dari teknik proyeksi, serta isi simbolik dari simptom psikotik.
Sedangkan kesadaran itu merupakan suatu bagian terkecil atau tipis dari keseluruhan pikiran
manusia. Hal ini dapat diibaratkan seperti gunung es yang ada di bawah permukaan laut, dimana
bongkahan es itu lebih besar di dalam ketimbang yang terlihat di permukaan. Demikianlah juga
halnya dengan kepribadian manusia, semua pengalaman dan memori yang tertekan akan
dihimpun dalam alam ketidaksadaran.
Bagian yang tidak kalah penting dari teori Freud adalah tentang kecemasan. Corey
mengartikan kecemasan itu adalah sebagai suatu keadaan tegang yang memaksa kita untuk
berbuat sesuatu. Kecemasan ini menurutnya berkembang dari konflik antara sistem id, ego dan
superego tentang sistem kontrol atas energi psikis yang ada. Fungsinya adalah mengingatkan
adanya bahaya yang datang.
Sedangkan menurut Hall dan Lindzey, kecemasan itu ada tiga: kecemasan realita, neurotik
dan moral.
1. kecemasan realita adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari dunia luar dan derajat
kecemasan semacam itu sangat tergantung kepada ancaman nyata.
2. kecemasan neurotik adalah rasa takut kalau-kalau instink akan keluar jalur dan
menyebabkan sesorang berbuat sesuatu yang dapat mebuatnya terhukum, dan
3. kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri. Orang yang hati
nuraninya cukup berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan norma moral.
Untuk menghadapi tekanan kecemasan yang berlebihan, sistem ego terpaksa mengambil
tindakan ekstrim untuk menghilangkan tekanan itu. Tindakan yang demikian itu, disebut
mekanisme pertahanan (defence mechanisme) atau mekanisme pertahanan diri. Sebab tujuannya
adalah untuk mempertahankan ego terhadap tekanan kecemasan. Dalam teori Freud, bentuk-
bentuk mekanisme pertahanan diri adalah sebagai berikut :
a. Represi.
Mekanisme pertahanan yang paling penting adalah represi. Dalam represi, pikiran,
ide, atau keinginan ditiadakan dari kesadaran (Pervin dan John, 1997). Represi adalah
mekanisme pertahanan yang paling kuat, umum dan meresap, menurut Freud. Represi
terjadi untuk mendorong impuls-impuls id yang tidak dapat diterima dan kenangan-
kenangan traumatik keluar dari kesadaran dan kembali ke ketidaksadaran Represi adalah
pondasi dari segala mekanisme pertahahan. Tujuan dari semua pertahanan psikologis
adalah untuk menekan impuls-impuls yang mengancam, atau mendorongnya keluar dari
kesadaran (Halonen dan Santrock, 1996; Santrock, 2003). Freud mengatakan bahwa
pengalaman masa kecil kita, banyak diantaranya bersifat seksual, terlalu mengancam dan
menimbulkan stress jika dihadapi secara sadar, dan kita mengurangi rasa cemas dari
konflik ini melalui represi (Santrock, 2003).

b. Rasionalisasi.
Rasionalisasi adalah mekanisme pertahanan psikoanalitik yang muncul ketika ego
tidak menerima motif sesungguhnya dari perilaku individu dan menggantinya dengan
motif terselubung (Halonen dan Santrock, 1996). Mekanisme ini banyak digunakan oleh
para pelajar. Di sini sebuah aksi dipersepsikan, tapi motif yang menyebabkannya tidak.
Perilaku diinterpretasi ulang sehingga perilaku tersebut terlihat masuk akal dan dapat
diterima (Pervin dan John, 1997).

c. Displacement.
Displacement adalah mekanisme pertahanan yang muncul ketika individu mengubah
perasaan-perasaan yang tidak dapat diterima dari satu obyek ke obyek yang lain yang
lebih dapat diterima (Halonen dan Santrock, 1996). Pemuasan dilakukan dengan obyek
pengganti karena pemuasan dengan obyek yang asli dihambat atau dicegah oleh
kekuatan- kekuatan eksternal (Prihanto, 1993).

d. Sublimasi.
Sublimasi dianggap sebagai mekanisme pertahanan yang penting secara sosial.
(Pervin dan John, 1997). Sublimasi muncul ketika ego menggantikan impuls-impuls
yang tidak dapat diterima dengan perilaku yang lebih diterima oleh masyarakat (Halonen
dan Santrock, 1996). Sublimasi adalah jenis pertahanan yang berhasil, dan karena tidak
memiliki karakter mekanisme yang spesifik sublimasi tidak mudah untuk dideteksi
(Bellak dan Abrams, 1997).

e. Proyeksi.
Proyeksi adalah mekanisme pertahanan yang muncul ketika kita melimpahkan
kelemahan, masalah, dan kesalahan kita pada orang lain (Halonen dan Santrock, 1996).
Mekanisme pertahanan ini dianggap mekanisme pertahanan yang paling primitif. Dalam
proyeksi, yang berada didalam (internal) dan tidak dapat diterima terproyeksi dan terlihat
sebagai eksternal. Contohnya, ketika individu tidak dapat menerima sifat permusuhan
dalam diri, individu melihat orang-orang lain menunjukkan permusuhan tersebut (Pervin
dan John, 1997). Proyeksi terjadi dalam upaya melindungi ego dari rasa bersalah atau
rasa takut/kawatir (Prihanto, 1993).

f. Reaksi formasi.
Reaksi formasi adalah mekanisme pertahanan yang muncul ketika individu
mengekspresikan impuls yang tidak dapat diterima dengan menunjukkan atau
mengekspresikan yang sebaliknya (Halonen dan Santrock, 1996; Pervin dan John, 1997).
Contoh: perasaan benci terhadap seseorang diganti dengan cinta kepada orang tersebut.
Untuk membedakan cinta yang sesungguhnya dengan yang palsu, Hall dan Lindzey
menjelaskan bahwa yang palsu akan menunjukan sifat yang berlebih- lebihan atau
dilakukan secara demonstratif (Prihanto 1993).

g. Regresi.
Regresi adalah mekanisme pertahanan yang muncul ketika perilaku individu
menunjukkan karakteristik dari level perkembangan yang sebelumnya (Halonen dan
Santrock 1996). Regresi yang paling sering terjadi adalah 'infantilisme atau kembali ke
pola perilaku masa kanak-kanak (Prihanto, 1993)

h. Fiksasi.
Fiksasi adalah mekanisme pertahanan yang muncul ketika individu tetap berada pada
tahap perkembangan sebelumnya karena kebutuhan-kebutuhannya tidak tercukupi atau
terlalu tercukupi (Halonen dam Santrock, 1996)

i. Denial.
Denial adalah jenis pertahanan yang sering digunakan (Bellak dan Abrams, 1997).
Denial dapat terjadi dengan meyangkal kenyataan atau meyangkal impuls-impuls.
Penyangkalan akan kenyataan biasa terlihat dimana orang berusaha untuk menghindari
ancaman yang dikenal (Pervin dan John, 1997).

j. Isolasi.
Mekanisme pertahanan ini bekerja dengan cara mengisolasi kejadian-kejadian dalam
ingatan atau mengisolasi emosi dari isi memori atau impuls. Dalam isolasi, impuls,
pikiran, atau aksi tidak memungkiri kenyataan, tapi memungkiri emosi yang
menyertainya (Pervin dan John, 1997). Contohnya, individu tetap tenang sementara
membicarakan kejadian yang paling menegangkan. Kata-kata "saya betul-betul tidak
peduli" merupakan ciri dari individu yang melakukan isolasi Dengan mekanisme
pertahanan ini, individu mampu untuk melepas dirinya dari segala perasaannya (Bellak
dan Abrams, 1997)

k. Withdrawal atau avoidance.


Withdrawal atau avoidance merupakan mekanisme pertahanan dimana individu
menarik diri atau menghindari obyek yang telah atau pernah memberikan trauma
Contohnya, Jika seorang anak digigit oleh seekor anjing, anak tersebut kemudian
memutuskan untuk menghindari berada dekat-dekat anjing manapun untuk jangka waktu
tertentu (Bellak dan Abrams, 1997).

l. Undoing.
Undoing berhubungan dengan reaksi formasi. Proses yang terjadi dalam reaksi
formasi adalah tindakan yang dilakukan mengkontradiksi kenyataan sesungguhnya
sedangkan dalam undoing, ada satu langkah lagi yang dilakukan Ketika sesuatu yang
positif dilakukan (secara nyata atau tidak) merupakan lawan dari sesuatu yang (secara
nyata atau dalam imajinasi) telah dilakukan sebelumnya (Bellak dan Abrams, 1997). 

m. Fantasi.
Merupakan usaha individu untuk mengurangi ketegangan dengan cara berangan-
angan tentang keinginannya dan kepuasan diri dengan menciptakan kehidupan khayalan
dalam pikiran mereka sendiri (Kaplan dan Sadock's, 1997).

Faktor – Faktor yang Memunculkan Mekanisme Pertahanan Diri

Menurut Metia (2015) ada beberapa faktor yang memunculkan mekanisme pertahanan diri,
antara lain :

a. Kecemasan

Kecemasan adalah variable penting dari hampir semua teori kepribadian. Kecemasan
sebagai dampak dari konflik yang menjadi bagian kehidupan yang tak terhindarkan,
dipandang sebagai komponen dinamika kepribadian yang utama. Kecemasan adalah fungsi
ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga
dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai (Alwisol, 2015).

Freud (dalam Fudyartanta, 2012) membagi kecemasan menjadi tiga macam, yakni:

 Kecemasan realistis, yaitu rasa takut kepada bahaya-bahaya nyata dari dunia luar.
 Kecemasan neuritik, yaitu rasa takut jangan-jangan insting akan lepas kendali dan
menyebabkan sang pribadi berbuat sesuatu yang berakibat ia dihukum.
Kecemasan bukanlah ketakutan kepada insting-insting itu sendiri, melainkan
ketakutan terhadap hukuman yang mungkin terjadi jika suatu insting dipuaskan.
 Kecemasan moral atau rasa bersalah, terjadi karena rasa takut kepada suara hati.
Pada orang-orang yang super egonya berkembang dengan baik, akan cenderung
merasa bersalah jika mereka melakukan atau bahkan berpikir untuk melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan moral dimana ia dibesarkan.
Apabila kecemasan timbul, maka itu akan mendorong orang untuk melakukan sesuatu
supaya tegangan dapat direduksikan atau dihilangkan; mungkin dia akan lari dari daerah
atau tempat yang menimbulkan kecemasan atau ketakutan itu, atau mencegah impuls-
impuls yang berbahaya, atau menuruti kata hati (Suryabrata, 2016).

b. Konflik

Menurut Walgito (2006) konflik adalah suatu situasi di mana dua orang atau lebih
tidak setuju terhadap hal-hal atau situasi-situasi yang berkaitan dengan keadaan, keadaan
yang antagonis. Dengan kata lain, konflik akan timbul apabila terjadi aktivitas yang tidak
memiliki kecocokan (incompatible).

c. Stres
Menurut Hinkle (dalam Gaol, 2016) stress dipahami sebagai kekuatan, tekanan,
ketegangan atau usaha yang kuat diberikan pada sebuah objek material atau pada
seseorang “organ atau kekuatan mental”.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang


memunculkan bentuk-bentuk mekanisme pertahanan diri di antaranya kecemasan,
konflik, dan stress.

Ciri – ciri Mekanisme Pertahanan Diri

Semua mekanisme pertahanan mempunyai tiga persamaan ciri (Alwisol, 2015):

a. Mekanisme pertahanan itu beroperasi pada tingkat tak sadar.


b. Mekanisme pertahanan selalu menolak, memalsu, atau memutarbalikkan kenyataan.
c. Mekanisme pertahanan itu mengubah persepsi nyata seseorang, sehingga kecemasan
menjadi kurang mengancam.

Menurut Suryabrata (2016) Semua mekanisme pertahanan itu mempunyai kesamaan sifat-sifat,
yaitu:

a. Kesemuanya itu menolak, memalsukan, atau mengganggu kenyataan;


b. Kesemuanya itu bekerja dengan tidak disadari, sehingga orangnya yang bersangkutan tak
tahu (tak menginsyafi) apa yang sedang terjadi.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri mekanisme pertahanan
diri di antaranya: beroperasi pada tingkat tak sadar sehingga yang bersangkutan tidak tau apa
yang sedang terjadi; selalu menolak, memalsu, atau memutarbalikkan kenyataan; mengubah
persepsi nyata seseorang untuk mengurangi kecemasan.
Konsep Taktik Bertahan (Defense Tactic)

Bentuk lain dari mekanisme pertahanan adalan taktik pertahanan. Secara umum memiliki
tujuan yang sama yaitu menyembunyikan realita dari orang lain, tetapi keduanya merupakan
aktivitas yang berbeda. Mekanisme pertahanan merupakan aktivitas intrapersonal sedangkan
taktik pertahanan merupakan petahanan yang mengarah pada interpersonal. Beberapa bentuk
taktik pertahanan adalah ;

1. Pedestaling (bertumpuan).
Konseli menggunakan taktik ini untuk mengharapkan konselor sebagai tumpuan
dalam hidupnya. Dalam kaitan ini paling tidak taktik bertahan berfungi untuk ;
memposisikan konselor sebagai orang yang sulit untuk berhadapan langsung dengannya;
konseli memposisikan dirinya sebagai orang yang selalu berada di abawah konselor
sehingga peran social yang dilakukan adalah apa yang disarankan oleh konselor; karena
sejak awal konseli ingin mendapatkan jawaban atas masalah yang dihadapinya maka
konseli tidak ingin dianalisa secara psikologis.

2. Humor.
Walaupun humor secara umum merupakan perilaku yang sehat, tetapi dalam
konseling perilaku ini dapat dijadikan sebagai taktik bertahan. HUmir dapat dijadikan
sebagai perilaku bertahan dalam tiga hal yaitu ; dijadikan sebagai media untuk
mengalihkan topic bahasan ; dijadikan sebagai cara menyatakan kemarahan kepada
konselor dan dapat dijadikan sebagai alat untuk menyembunyikan ketertarikan.

3. Agreebleness (menyetujui).
Konseli yang bertahan dengan cara ini ditandai dengan persetujuan semua yang
dikatakan oleh konselor, tanpa mempertimbangkan apakah yang dikatakan konselor
sesuai dengan keyakinannya atau tidak. Dalam konseling, agreeableness mempunyai
fungsi bertahan untu ; menghindari konflik dengan konselor; menyembunyikan jati diri
yang sebenarnya dan untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab atas pengambilan
keputusan.

4. Cuteness (bersikap manis).


Bersikap manis biasanya ditampakkan oleh orang dewasa untuk menyelamatkan diri
dari perilaku yang tidak tepat. Bersikap manis biasanya bersifat non verbal yang meliputi
gerakan amta, mulut, goyangan kepala dan bahasa tubuh. Perilaku ini memilki fungsi ;
jika seseorang mempersepsikan diri sebagai orang yang manis maka persepsi tersebut
akan menyembunyikan perilaku mereka yang merusak. Perilaku manis terkadang
digunakan untuk merayu konselor agar menyukai dan melindungi konseli. Bersikap
manis akan menyembunyikan kecemasan seseorang akan tanggung jawabnya dalam
menyelesaikan masalah.

5. Being confuse (berbuat bingung).


Merupakan sebagai cara bertahan dengan alas an ; kebingungan dapat dijadikan
pelindung konseli dalam menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan. Daripada
mengakui adanaya kecemasan akibat suatu peristiwa, seseorang terkadang mengalihkan
perhatiannya pada perasaan bingung mengapa hal itu terjadi, alasan lain menampakkan
kebingungan adalah adar konselor sulit mengambil tindakan. Bersikap bingung juga akan
membuat konselor menjadi bingung sehingga proses konseling terselubung oleh perilaku
“bingung” sehingga tidak dapat menyentuh masalah yang sebenarnya. Dengan
kebingungan dimungkinkan akan saling menyalahkan.

6. Acting stupid (bertindak bodoh).


Berperilaku bodoh menunjukkan tanggapan seseorang dimana dia berpura-pura tidak
memahami konsekuensi dari perilakunya yang merusak. Tindakan berpurapura bodoh
dapat muncul karena beberapa alasan yaitu perilaku tersebut dapat melindungi dari
kenyataan yang menimbulkan kecemasan, menghindarkan seseorang dari tanggung jawab
terhadap perilaku mereka, dengan perilaku pura-pura bodoh dapat mengaburkan
permsalahan sebenarnya sehingga konselor terkesan dipaksa untuk focus pada kebodohan
tersebut bukan pada perilaku merusak yang sebenarnya.

7. Helplessness (ketidakberdayaan).
Sebagian konseli mengikuti prose konseling dengan tanpa harapan. Mereka
melakukan hal ini dengan salah satu sebab tidak mampu menggambarkan masalah yang
dihadapi. Konseli tidak tahu apa yang menjadi penyebab masalah dan tidak tahu harus
berbuat apa untuk mengatasi masalah yang dialaminya. Ketidakberdayaan merupakan
taktik bertahan karena menganggap konselor sebagai pihak yang harus menangani
masalah konseli. Konseli menganggap peran konselor sebagai seseorang yang harus
mengetahui masalah konseli, apa yang menyebabkan dan bagaimana menyelesaikannya.
Selama konseli merasa tidak berdaya maka konseli tetap merasa tidak ada perubahan
sehingga menyebabkan konselor yakin bahwa konseli benarbenar dalam keadaan tidak
berdaya.

8. Being upset (merasa kesal).


Konseli yang datang kepada konselor kadang-kadang merasa kesal, namun rasa kesal
dapat merupakan sebuah pertahanan karena dapat memberikan gangguan yang memadai
sehingga konseli tidak mengenali apa yang menyebabkan ia merasa kesal atau langkah-
langkah apa yang harus dilakukannya.

9. Religiousity.
Religiusitas dalam konteks pertahanan berbeda dengan religiusitas yang sehat.
Keyakinan/agama dijadikan pelarian dari masalah yang dihadapi. Konseli mengharapkan
pertolongan dari Tuhannya tanpa ada upaya untuk menyelesaikan masalahnya. Agama
dapat menjadi pertahanan jika konseli menggunakannya untuk menekan perasaan marah,
cemburu, keraguan dan tidak percaya. Konseli seperti ini menganggap bahwa memiliki
perasaan-perasaan tersebut membuat mereka menjadi pribadi yang lebih buruk. Faktanya
jika mereka bukan orang yang “religious” maka mereka akan mencari cara agar tidak
bersinggungan dengan perasaan yang dapat menimbulkan kecemasan. Agama dapat
digunakan oleh konseli agar tetap berada pada jarak yang aman sehingga tidak terlalu
mencampuri urusan konseli. Konselor dipaksa untuk menghirmati keyakinan konseli
(meskipun bias terjadi keyakinan tersebut bersifat merusak).

10. Decoying.
Konseli dengan model ini akan melakukan pertahanan atas kekeliruan yang mereka
lakukan dengan berbagai argumentasi yang sekiranya dengan argumentasi itu dapat
membujuk konselor tidak masuk dalam wilayah persoalan yang sebenarnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Mekanisme pertahanan diri adalah salah satu fungsi ego yang berperan penting demi
melindungi ego dari ancaman-ancaman yang dapat menimbulkan kecemasan dengan cara
menyimpangkan kenyataan atau pemutarbalikkan kenyataan, meskipun dianggap suatu bentuk
penipuan diri, namun ada juga mekanisme pertahanan diri yang dianggap matang karena
digunakan secara efektif dan positif.
Mekanisme pertahanan diri merupakan hal yang wajar dilakukan. Semua mekanisme
pertahanan diri yang muncul baik secara sadar maupun tidak berfungsi untuk mereduksi perasaan
tertekan, cemas, stres, dan konflik yang menyerang.
Mekanisme bertahan sering dipakai untuk melakukan defense secara intrapersonal,
sedangkan taktik bertahan cenderung interpersonal. Kedua jenis sistem bertahan sama-sama
dipakai untuk menutupi atau menolak realita sebagai bentuk ketidakmampuan individu dalam
memandang dirinya secara obyektif. Sistem bertahan cenderung muncul secara tidak disadari
oleh individu tetapi dapat terlihat melalui refleksti pikiran, perasaan, dan motif seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
Sari, Wulan Permata. 2019. GAMBARAN PEREBEDAAN MEKANISME PERTAHANAN DIRI
PADA REMAJA DITINJAU DARI SEKOLAH UMUM, PONDOK PESANTREN, DAN PANTI
ASUHAN. Fakultas Psikologi. Universitas Medan Area.

Dachrud, Musdalifah, Aris Soleman. 2018. MEMAHAMI PENCITRAAN POLITIK MELALUI


PENDEKATAN MEKANISME PERTAHANAN DIRI. Potret Pemikiran. journal.iain-
manado.ac.id

Piliang, Wilda Srihastuty Handayani. 2018. MEKANISME PERTAHANAN DIRI TOKOH


SENTRAL DALAM ANTOLOGI CERPEN “CERITA PENDEK TENTANG CERITA CINTA
PENDEK” KARYA DJENAR MAESA AYU (KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA). 6(2), 1-7.

Sanyata, Sigit. 2009. MEKANISME DAN TAKTIK BERTAHAN: PENOLAKAN REALITA


DALAM KONSELING. 1-10.

Urmeneta, Celeste. 2008. MEKANISME PERTAHANAN DIRI WANITA DARI ORANGTUA


YANG BERCERAI DALAM MENJALIN KEINTIMAN DENGAN PRIA. Program Studi Psikologi.
Fakultas Psikologi. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai