Anda di halaman 1dari 4

Nama : Maria Fallicia Evangeline

NIM : 200221100067

PERDAGANGAN OLEH ORANG DALAM (INSIDER TRADING)

Prinsip OECD ke-3, sub-prinsip B, melarang perdagangan oleh orang dalam (insider trading) dan
transaksi abusive lainnya yang memanfaatkan hubungan dekat dengan perusahaan, termasuk dengan
pemegang saham pengendali, untuk kepentingan pribadi yang merugikan perusahaan dan investor.
Keuntungan yang dapat diperoleh dari pemanfaatan hubungan tersebut, misalnya abnormal return dari
perubahan harga saham, menjadi motivasi terjadinya insider trading.

Menurut UU PM Pasal 95, perdagangan oleh orang dalam mencakup:

1. Pembelian atau penjualan atas efek emiten atau perusahaan publik;


2. Pembelian atau penjualan atas efek perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan emiten
atau perusahaan publik; oleh orang dalam dari emiten atau perusahaan publik yang
bersangkutan yang memiliki informasi orang dalam

Perdagangan oleh orang dalam juga mencakup upaya orang dalam yang (UU PM Pasal 96):

1. Mempengaruhi Pihak lain untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek dimaksud; atau
2. Memberi informasi orang dalam kepada Pihak mana pun yang patut diduganya dapat
menggunakan informasi dimaksud untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek.

Dalam Pasal 97 UU PM ditambahkan bahwa perdagangan oleh orang dalam juga mencakup
transaksi yang dilakukan oleh pihak lain yang memperoleh informasi orang dalam dari orang dalam
dengan cara melawan hukum. Transaksi efek emiten dan perusahaan publik yang dilakukan oleh
Perusahaan Efek yang memiliki informasi orang dalam emiten dan perusahaan publik tersebut juga
termasuk perdagangan oleh orang dalam, kecuali transaksi tersebut dilakukan atas perintah nasabahnya
dan Perusahaan Efek tidak memberikan rekomendasi kepada nasabahnya mengenai efek yang
bersangkutan (Pasal 98 UU PM). Dalam penjelasan atas pasal 95, orang dalam yang dimaksud dalam UU
PM adalah:

a. Komisaris, direktur, atau pegawai Emiten atau Perusahaan Publik;


b. Pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik;
c. Orang perseorangan yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya
dengan Emiten atau Perusahaan Publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi
orang dalam; atau
d. Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi Pihak sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, atau huruf c di atas.

Sanksi atas pelanggaran pelarangan perdagangan oleh orang dalam diatur dalam Pasal 104 UU PM,
yaitu terancam sanksi pidana 10 (sepuluh) tahun penjara dan denda maksimum Rp15 milyar.

FASILITAS PENGUNAAN HAK VOTING MELALUI KUSTODIAN ATAU CROSS BORDER


Kepemilikan saham pada suatu perusahaan pada umumnya melibatkan pihak lain yang berperan
sebagai kustodian. Kustodian memiliki saham di suatu perusahaan atas nama investor sehingga hak
suara yang dimilikinya seharusnya digunakan dalam kerangka kepentingan investor. Permasalahan yang
lebih kompleks dihadapi oleh investor asing. Investasi yang dilakukan oleh pemegang saham asing pada
umumnya melalui intermediaries lintas negara (cross-border). Kondisi tersebut menimbulkan
permasalahan dalam penentuan hak pemegang saham asing dalam menggunakan hak suaranya

Prinsip OECD ke-3, sub-prinsip A.3 dan A.4, berkait dengan kedua isu di atas. Pada sub-prinsip
A.3, OECD menegaskan bahwa penggunaan hak suara oleh kustodian harus dilakukan sesuai
kesepakatan dengan investor (beneficial owners). Penerapan sub-prinsip A.3 dalam kerangka hukum di
Indonesia terdapat pada UU PM yang mewajibkan kustodian menyampaikan seluruh informasi terkait
RUPS yang relevan kepada pemegang saham akhir atau ultimate shareholders

Sub-prinsip A.4 menegaskan perlunya upaya-upaya untuk menghilangkan pembatasan cross-border


voting. Peraturan di Indonesia telah menerapkan beberapa norma yang sesuai dengan sub-prinsip A.4.
yaitu kejelasan tentang pihak yang berhak menggunakan hak suara, periode pemanggilan pemegang
saham untuk RUPS yang memadai, serta pengakuan sistem perwakilan dan penggunaan teknologi dalam
penyelenggaraan RUPS. Berikut ketentuannya:

a. Pasal 83 UU PT mengatur bahwa pengumuman RUPS harus dilakukan paling lambat 14 (empat
belas) hari sebelum pemanggilan RUPS.
b. Pasal 85 UU PT yang memungkinkan pemegang saham mewakilkan kehadirannya di RUPS atau
Pasal 77 UU PT yang memungkinkan penggunaan media telekonferensi, video konferensi, atau
sarana media elektronik lainnya dalam pelaksanaan RUPS.

PERLAKUAN SETARA TERHADAP PEMEGANG SAHAM DALAM PROSES DAN PROSEDUR RUPS

RUPS merupakan organ tertinggi dalam perusahaan. Berbagai keputusan penting/strategis


tentang perusahaan diputuskan melalui RUPS. Prinsip OECD ke-3, sub-prinsip A.5, menegaskan perlunya
membangun proses dan prosedur RUPS yang menjamin perlakuan yang setara kepada seluruh
pemegang saham. Proses dan prosedur yang menyulitkan dan berbiaya tinggi harus dihindarkan.
Perusahaan harus berupaya mengembangkan jalur komunikasi dan pengambilan keputusan pemegang
saham yang lebih baik. Segala hambatan terhadap partisipasi pemegang saham dalam RUPS harus
dihilangkan. Penggunaan teknologi informasi harus dioptimalkan untuk menghilangkan hambatan
tersebut

Berikut Pedoman Pokok Pelaksanaan yang terkait dengan penyelenggaraan RUPS:

a. Pemegang saham diberikan kesempatan untuk mengajukan usul mata acara RUPS sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
b. Panggilan RUPS harus mencakup informasi mengenai mata acara, tanggal, waktu dan tempat
RUPS;
c. Bahan mengenai setiap mata acara yang tercantum dalam panggilan RUPS harus tersedia di
kantor perusahaan sejak tanggal panggilan RUPS, sehingga memungkinkan pemegang saham
berpartisipasi aktif dalam RUPS dan memberikan suara secara bertanggung jawab
d. Penjelasan mengenai hal-hal lain yang berkaitan dengan mata acara RUPS dapat diberikan
sebelum dan atau pada saat RUPS berlangsung:
e. Risalah RUPS harus tersedia di kantor perusahaan, dan perusahaan menyediakan fasilitas agar
pemegang saham dapat membaca risalah tersebut.

PENGUNGKAPAN INFORMASI BENTURAN KEPENTINGAN ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS

Direktur dan/atau komisaris dapat mempengaruhi keputusan/tindakan perusahaan yang


menguntungkan kepentingan pribadinya namun merugikan perusahaan. Kepemilikan terkonsentrasi
(misalnya pada kepemilikan keluarga) dan struktur perusahaan konglomerasi pada beberapa negara.
meningkatkan potensi benturan kepentingan direktur dan/atau komisaris, yang umumnya perwakilan
pemegang saham pengendali, dengan kepentingan perusahaan, khususnya kepentingan pemegang
saham non-pengendali. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk menangani kemungkinan benturan
kepentingan direktur dan/atau komisaris dengan kepentingan perusahaan.

Prinsip OECD ke-3, sub-prinsip C, menegaskan kewajiban komisaris dan direktur untuk
mengungkapkan kepada Dewan Komisaris, jika mereka secara langsung, tidak langsung, atau atas nama
pihak ketiga, memiliki kepentingan material terhadap transaksi atau kegiatan yang secara langsung
mempengaruhi perusahaan. Benturan kepentingan tersebut dapat disebabkan oleh hubungan bisnis,
hubungan keluarga, atau hubungan khusus lainnya di luar perusahaan, yang dapat memengaruhi
objektifitas penilaian direktur dan/atau komisaris terhadap transaksi atau aspek tertentu yang
berpengaruh terhadap perusahaan.

Kewajiban pengungkapan informasi benturan kepentingan direktur dan komisaris tersebut


diatur secara tidak langsung pada beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. UU PT Pasal
99 ayat (1) melarang Direksi mewakili Perseroan jika terdapat benturan kepentingan antara Direksi dan
Perseroan. Pasal 101 mewajibkan anggota Direksi melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang
dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain
untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.

Pedoman Umum GCG Indonesia juga mengatur secara tidak langsung kewajiban pengungkapan
informasi benturan kepentingan direktur dan komisaris dalam Bab III tentang Etika Bisnis dan Pedoman
Perilaku, bagian 3.2, yaitu sebagai berikut:

a. Benturan kepentingan adalah keadaan dimana terdapat konflik antara kepentingan ekonomis
perusahaan dan kepentingan ekonomis pribadi pemegang saham, komisaris dan direktur, serta
karyawan perusahaan:
b. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, komisaris dan direktur serta karyawan perusahaan
harus senantiasa mendahulukan kepentingan ekonomis perusahaan diatas kepentingan
ekonomis pribadi atau keluarga, maupun pihak lainnya;
c. Komisaris dan direktur serta karyawan perusahaan dilarang menyalahgunakan jabatan untuk
kepentingan atau keuntungan pribadi, keluarga dan pihak-pihak lain;
d. Dalam hal pembahasan dan pengambilan keputusan yang mengandung unsur benturan
kepentingan, pihak yang bersangkutan tidak diperkenankan ikut serta;
e. Pemegang saham yang mempunyai benturan kepentingan harus mengeluarkan suaranya dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai dengan keputusan yang diambil oleh pemegang
saham yang tidak mempunyai benturan kepentingan:
f. Setiap komisaris dan direktur serta karyawan perusahaan yang memiliki wewenang
pengambilan keputusan diharuskan setiap tahun membuat pernyataan tidak memiliki benturan
kepentingan terhadap setiap keputusan yang telah dibuat olehnya dan telah melaksanakan
pedoman perilaku yang ditetapkan oleh perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai