KAJIAN TEORI
14
15
kesulitan dalam hidupnya dan mengakibatkan kesusahan pada orang lain. Dari
orang macam itulah timbul kegagalan seluruh manusia (Carnagie, 2008).
Keenam, teleological value (nilai kemanfaatan), yaitu nilai yang lebih
mengedepankan unsur-unsur manfaat, pemimpin yang kental dengan nilai-nilai
ini, senantiasa melahirkan sikap, ucap, tindakan, serta keputusan yang
bermafaat secara individual maupun komunal. Nilai teleologis ini juga akan
memicu para pemimpin pendidikan untuk bersikap lebih responsif dan disiplin
dalam mengelola pendidikan. Alhasil tipikal kepemimpinan semacam ini,
mampu memberikan kemaslahatan bagi dirinya, peserta didik, tenaga
kependidikan, serta bagi institusi pendidikan, bahkan masyarakat sekitar.
Apabila keenam nilai tersebut tumbuh dalam jiwa kepemimpinan
seseorang, maka dapat dipastikan pemimpin tersebut memiliki sifat-sifat
beriman, bertakwa, tawakal, cerdas, jujur, adil, amanah/tanggung jawab,
disiplin, ikhlas. Dewasa ini, pemimpin yang memiliki karakteristik di atas,
adalah sosok yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan( Sauri 2018).
Allah itu dengan penuh ketulusan dan keyakinan yang sangat mendalam,
mereka tidak merasa terpaksa melaksanakan kegiatan yang mahdhah atau ghair
mahdhah tersebut, secara spontanitas mereka lakukan dengan sepenuh hati dan
merasa dipantau, diperhatikan, dilihat, dan ditatap oleh Allah swt. Sehingga
nilai kepercayaan itu merupakan nilai yang paling utama dan pertama.
Nilai keteladanan merupakan metode yang paling tepat dalam
menginternalisasi nilai-nilai pesantren, karena nilai keteladanannya itu di
ambil dari Rasulullah saw. Adapun hal yang diteladani dari pribadi Rasul Itu
yang sekaligus diterapkan di pesantren sekurang-kurangnya ada tiga hal : (1)
keteladanan dalam berucap; (2) keteladanan dalam berbuat, dan (3)
keteladanan dalam bertindak. Dalam istilah Arabnya adalah qaulun wa fi’lun
wa amalun bil arkani.
Kyai dan pendidik lainya berupaya sekuat tenaga untuk mengucapkan
yang keluar dari mulutnya itu harus ucapan yang berlandaskan al-qur'an yaitu:
a) Qaulan Sadida ( QS. 4 An-Nisa:9, 33 Al-Ahzab: 70 )
Qaulan sadida di dalam al-qur'an di ungkapkan dalam konteks
pembicaraan mengenai wasiat. Hamka ( 1987) menafsirkan qaulan sadida
dalam konteks ayat 9 An-Nisa, yaitu orang yang memberi wasiat harus
menggunakan ucapan yang jelas dan jitu: tidak meninggalkan keraguan bagi
orang yang di tinggalkannya. Sedangkan qaulan sadida pada QS.Al-
Ahzab:70, upacan yang tepat yang timbul dari hati yang bersih Almaraghi
(1943, juz 3) melihat dari kontek ayat yang berkisar bagi para wali dan
orang di wasiati, yaitu orang di titipi anak yatim, dan perintah bagi mereka
untuk menyayangi anak yatim seperti anak-anaknya. Al- Buruswi ( 1996,
juz 4 ) qaulan sadida dalam konteks tutur kata kepada anak-anak yatim
yang harus dilakukan dengan cara yang lebih baik dengan penuh kasih
sayang seperti kepada anak sendiri. Berdasarkan pendapat para ahli tafsir
maka dapat di simpulkan bahwa qaulan sadida dari segi konteks ayat
mengandung makna kehawatiran dan kecemasan seorang pemberi wasiat
kepada anak-anaknya yang di gambarkan dalam bentuk ucapan yang lembut
(halus), jelas, jujur, tepat, baik, dan adil. Lemah lembut artinya
19
yang di pahami oleh orang di ajak bicara dan di ucapkan sesuai dengan
norma dan di arahkan kepada (obyek) yang tepat.
c) Qaulan Baligha ( QS.4 An-Nisa : 63 )
Qaulan baligha diartikan sebagai ucapan yang jelas, fasih dan terang
maknanya. Hamka (1983 jilid 5) meyebutkan qaulan baligha sebagai
ucapan yang sampai pada lubuk hati orang yang di ajak bicara yaitu kata-
kata yang fashehat dan balaghat (fasih dan tepat) yaitu kata-kata yang
keluar dari lubuk hati sanubari orang yang mengucapkannya. Alburuswi
(1996, juz 5) memaknai qaulan baligha yaitu dari segi cara
mengungkapkanya yaitu perkataan yang menyentuh hati hati sanubari
orang yang di ajak bicara. Almaraghi (1943) mengartikan qaulan baligha
dengan tablig salah satu sifat rasul yaitu (tablig dan baligha) berasal dari
kata dasar yang sama yaitu balaga yang artinya Nabi Muhammad saw
ditugasi untuk menyampaikan peringatan kepada umatnya dengan
perkataan yang menyentuh hati mereka. Assiddiqi (1977) memaknai qaulan
baligha yaitu dengan cara pengungkapan, yaitu perkataan yang membuat
orang lain terkesan atau mengesankan orang yang di ajak bicara. Rahmat
(1993) mengartikan dari sudut komunikasi yaitu ucapan yang fasih, jelas
maknanya, tenang, tepat mengungkapkan apa yang di kehendaki. Dapat di
simpulkan bahwa qaulan baligha diartikan sebagai ucapan yang benar dari
segi kata. Apabila dilihat dari segi sasaran atau ranah yang di sentuh itu di
artikan sebagai ucapan yang efektif.
d) Qaulan Masyura ( QS. 17 AL-Isra :28)
Secara bahasa masyura dalah perkataan yang mudah. Almaghari (1943,
jilid 2) mengartikan dalam konteks ayat ini yaitu ucapan yang lunak baik
dan ucapan janji yang tidak mengecewakan. Dilihat dari asbabun nuzulnya
ayat sebagaimana diriwayatkan oleh Saad bin Mansur ketika orang–orang
muzayyinah meminta kepada Rasul untuk memberinya kendaraan untuk
berperang. Rasul menjawab aku tidak mendapatakan lagi kendaraan untuk
kalian, mereka memalingkan diri sambil berlinangan air mata dan
menyangka bahwa Rasul itu marah kepada mereka. Maka turunlah ayat ini
21
2. Sejarah Pesantren
Histori asal muasal istilah “pesantren” tidak lepas dari awal mulanya
penyebaran islam yang dibawa oleh para wali. Awalnya, pesantren
merupakan pusat-pusat penyebaran islam yang merupakan sambungan
Zawiyah di India dan Timur Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa para
walilah yang merintis berdirinya model lembaga pendidikan islam tertua
di Indonesia yang disebut dengan pesantren.
31