Anda di halaman 1dari 34

IDENTIFIKASI SIFAT FISIS BATU APUNG IJO BALIT YANG

TERAKTIVASI SECARA FISIKA

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh:
Sinta Devi Hariyanti
NIM : G1B017055

PROGRAM STUDI FISIKA


FAKULTAS MATEMATIIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM UNIVERSITAS MATARAM
2021
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................ii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................iv
DAFTAR TABEL ...........................................................................................v
BAB I. PENDAHULUAN ...............................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian.............................................................................2
1.5 Batasan Masalah ...............................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................4
BAB III LANDASAN TEORI.........................................................................6
3.1 Batu Apung ......................................................................................6
3.2 Potensi Aplikasi Batu Apung............................................................8
3.3Metode Aktivasi.................................................................................9
3.4 Densitas dan Porositas.......................................................................10
3.5 Struktur Mikro...................................................................................12
3.6 Karakterisasi Material ......................................................................15
BAB IV METODE PENELITIAN ..................................................................19
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................19
4.2 Alat dan Bahan .................................................................................19
4.3 Prosedur Penelitian............................................................................21
4.4 Analisis Data.....................................................................................22
4.5 Interpretasi Data................................................................................ 23
4.6 Diagram Alir.....................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Batu Apung...................................................................................6
Gambar 3.2 Cakupan Struktur Mikro...............................................................12
Gambar 3.3 Susunan atom kristal dan amorf....................................................13
Gambar 3.4 Perpotongan bidang dan sumbu....................................................15
Gambar 3.5 Diagram X-Ray Difractometer......................................................15
Gambar 3.6 Difraksi bidang sinar-X................................................................17
Gambar 3.7 Prinsip Kerja SEM........................................................................18

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1Data Potensi Ketersediaan Batu Apung.............................................7
Tabel 3.2Komposisi Kimia Batu Apung..........................................................8
Tabel 3.3Penggunaan batu apung untuk sektor industry..................................8
Tabel 4.1 Peralatan Penunjang Penelitian........................................................19
Tabel 4.2 Alat Karakterisasi.............................................................................20
Tabel 4.3 Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian...............................21

v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Secara geografis, letak Indonesia berada di atas lempeng vulkanik Eurasia-
Australia- Pasifik (Ring of fire) dan terletak pada jalur pegunungan berapi yang
membuat Indonesia kaya akan deposit bahan galian mineral non-logam yang
melimpah seperti berbagai jenis batuan alam salah satunya yaitu batu apung
(pumice). Batuan ini terbentuk dari magma asam oleh aksi letusan gunungapi
yang mengeluarkan materialnya ke udara, dan kemudian mengalami tarsnportasi
secara horizontal dan terakumulasi sebagai batuan piroklastik yang mengandung
silica, alumina, soda, besi oksida dengan warna yang beragam seperti putih, abu-
abu, kebiruan, abu-abu gelap, kemerah-merahan, kekuningan, hingga jingga,
selain itu batu apung juga memiliki porositas tinggi sehingga berpotensi sebagai
adsorben maupun sebagai katalis. Çifçi dan Meriç (2016) melaporkan bahwa
aplikasi batu apung sebagai adsorben Cr(VI) memiliki kapasitas adsorpsi
maksimum lebih tinggi dibandingkan bentonit, klinoptilolit, dan arang aktif serta
secara ekonomi 100 kali lebih murah dibandingkan penggunaan kitin, kitosan dan
arang aktif.
Jumlahnya yang berlimpah di alam, menjadikan batu apung sebagai salah
satu potensi material alam yang paling diminati. Pesebaran batu apung yang ada di
Indonesia cukup beragam, mulai dari wilayah barat sampai wilayah timur. Di
wilayah timur terdapat Pulau Lombok yang menjadi salah satu daerah penghasil
batu apung terbanyak di Indonesia. Potensi sumber daya batu apung di Lombok
diperkirakan sekitar 44.581.539 ton salah satunya di desa Ijo Balit, Labuan Haji,
Kabupaten Lombok Timur. Perkembangan sektor industri dan konstruksi yang
semakin pesat, terutama di negara-negara maju mengakibatkan permintaan akan
batu apung di Indonesia terutama di Lombok semakin lama semakin meningkat.
Eksplorasi yang dilakukan oleh para pengusaha batu apung Ijo Balit masih
bersifat manual yaitu hanya memanfaatkan keberadaan yang tersingkap di
permukaan tanah. Hal ini tentu kurangnya pengetahuan masyarakat sehingga
diperlukannya informasi serta suatu inovasi pengolahan guna meningkatkan nilai
jual dari batu apung karena berdasarkan Undang-undang Mineral dan Batubara

1
(UU Minerba) pasal 102 dan 103 (UU Minerba No. 4, 2009) tentang larangan
ekspor mineral mentah. Kementerian ESDM juga mengeluarkan Peraturan
Menteri (Permen) No. 1 tahun 2014 (Peraturan Menteri ESDM, 2014) mengenai
peningkatan nilai tambah mineral. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi
lebih lanjut mengenai karakteristik batu apung Lombok mengingat potensi batu
apung yang dapat di aplikasikan dalam banyak sektor dan memiliki banyak
pemandafaatan salah satunya sebagai bahan baku pembuatan adsorben.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana sifat fisis dan fasa dari serbuk batu apung Ijo Balit?
2. Bagaimana pengaruh suhu aktivasi terhadap sifat fisis dan fasa dari serbuk
batu apung Ijo Balit?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui sifat fisis dan fasa dari serbuk batu apung Ijo Balit
2. Untuk mengetahui pengaruh suhu aktivasi terhadap sifat fisis dan fasa dari
serbuk batu apung Ijo Balit
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah
1. Memberikan informasi mengenai densitas porositas, morfologi struktur
mikro, fasa dari batu apung dalam bentuk serbu baik yang teraktivasi
ataupun belum teraktivasi secara fisis
2. Memberikan rujukan untuk penelitian selanjutnya, khususnya mengenai
identifikasi dari karakteristik batu apung.
3. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan
adsorben.
1.5 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dari penelitian ini adalah
1. Batu Apung yang digunakan berasal dari Ijo Balit Labuhan Haji Kabupaten
Lombok Timur
2. Suhu yang digunakan untuk proses aktivasi adalah 350o dan 550o C

2
3. Digunakan sebagai bahan baku pembuatan adsorben
4. Alat Karakterisasi yang digunakan hanya XRD dan SEM
5. Sifat fisis yang diamati adalah densitas, porositas dan morfologi

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Batu apung adalah batuan beku yang terbentuk dari lava melalui proses
pendinginan dan penurunan tekanan secara cepat. Berdasarkan hasil analisis
kimia, pada penelitian Mourhly (2015) diketahui bahwa presentase batu apung
didominasi oleh komponen SiO2 sebanyak 48% dan komponen Al2O3 sebanyak
14,9%. Fadhillah (2017) telah melakukan penelitian mengenai struktur mikro pori
batu apung Lombok. Dari hasil analisis morfologi yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa unsure Si lebih banyak ditemukan dibagian dinding pori.
Unsur Al lebih banyak ditemukan di pori bagian dalam batu apung. Unsur Na
yang kadarnya lebih sedikit ditemukan di bagian tepi diding batas pori dan unsure
O lebih banyak ditemukan bercampur dengan unsure yang lain. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ridha dan Darmanto (2016) terhadap batu apung
Lombok diperoleh data densitas asli sebesar 0.610-0.753 g/cm 3, densitas kering
0.594-0.73 g/cm3, densitas jenuh 1.057-1.148 g/cm3, porositas 32.02-51.20%,
volume pori spesifik 0.435-0.817 cm3/g.
Derwanta dkk (2019) telah melakukan penelitian mengenai karakteristik batu
apung dari ternate yang diaplikasian pada proses pemucatan CPO. Pada
penelitiannya, batu apung yang akan dijadikan sampel dihaluskan menggunakan
griding untuk mendapatkan butiran halus yang kemudian diayak menggunakan
ayakan 200mesh. Dari hasil XRD diperoleh bahwa batu apung merupakan
material amorf dengan mineral penyusunnya yaitu anthoinite, barrerite, chamosite
IIb, chantalite, coebuleolactite, datolite, natrolite, raspite, teschemncherite, dan
tincalconite. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kumaningtyas
(2017) mengenai analisis struktur nano batu apung Lombok menggunakan metode
BET yang dikarakterisasi menggunakan XRD diketahui bentuk puncak yang
landai menunjukkan bahwa batu apung Lombok bersifat amorf sebagaimana ciri
dari material amorf yaitu puncaknya lebar dan tidak runcing seperti pada material
kristal dan dari puncak-puncak tersebut dapat diidentifikasi fasanya seperti SiO 2
dengan fasa quartz, Fe2O3 dengan fasa hematite, dan Al2O3 dengan fasa corundum.
Indah dkk (2018) telah melakukan penelitian mengenai modifikasi batu apung
alami secara aktivasi fisika dan kimia untuk menghilangkan ion seng dari larutan

4
air. Aktivasi fisika dilakukan dengan variasi suhu 300oC, 450oC, 600oC dimana
dari hasil SEM diketahui bahwa pada suhu 300 oC dan 450oC batu apung memiliki
pori-pori yang sedikit terbuka yang menyebabkan peningkatan volume pori dan
luas permukaan adsorben, sehingga dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi dari
adsorben. Namun, batu apung yang diaktivasi pada suhu 600oC tampaknya
memiliki pori-pori yang lebih sedikit, kemungkinan ini disebabkan karena
kerusakan pada struktur pori-pori adsorben yang disebabkan oleh suhu yang
terlalu panas sehingga memiliki kemampuan adsorbs yang lebih rendah
dibandingkan dengan batu apung tanpa aktivasi. Samin (2002) juga melakukan
kajian adsorbs Cr3+ pada breksi batu apung wukusari. Aktivasi fisis dilakukan
dengan menggunakan suhu 300o, 500o, 700o, 900o C selama 2 jam. Proses aktivasi
sendiri dilakukan bertujuan untuk mengubah struktur kristal dan luas permukaan.
Hasil menunjukkan bahwa suhu yang paling optimum pada penyerapan logam
adalah pada suhu 500o C. Trianasari dkk (2017) telah melakukan mengenai
karakterisasi kandungan silika pada batu apung. Batu apung yang akan digunakan
dipreparasi terlebih dahulu. Proses preparasi sendiri dimulai dengan mencuci batu
apung kemudian dikeringan pada temperatur 80o-100o C dalam waktu semalam.
Batu apung yang telah kering kemudian digerus menggunakan mortar. Serbuk
hasil dari penggerusan, disaring menggunakan ayakan 45 μm atau bisa yang lebih
kecil lagi, dan kemudian dicuci dengan akuabides. Setelah serbuk selesai dicuci
lalu diaktivasi pada temperatur 450oC selama 4 jam. Hasil XRD menunjukkan
puncak-puncak yang hadir pada sampel akibat belum sempurnanya penghilangan
fasa campuran dari batu apung. Selain itu, berdasarkan analisis pencocokan kurva
antara data XRD dan pangkalan data PCPDFWIN, fasa lain yang ada dalam
sampel yang teramati adalah fasa Fe2O3 (JCPDS 39-1346) berada pada 2θ sebesar
23,84°. Kemudian teramati pula fasa Na2O (JCPDS 03-1074) berada pada 2θ
sebesar 28,18°, sedangkan hasil SEM menunjukkan bahwa mikrostruktur yang
dihasilkan pada sampel memiliki butir-butir lebih homogen dengan bentuk
bermacam-macam dan batas antar butirnya cukup jelas. Hal ini diduga karena
sampel diaktivasi pada temperatur yang relatif rendah, yaitu 450 °C.
BAB III

LANDASAN TEORI

5
3.1 Batu Apung

Batu apung adalah batuan beku yang terbentuk dari lava melalui proses
pendinginan dan penurunan tekanan secara cepat. Erupsi gunung berapi
menghamburkan material volkanik ke udara yang memiliki suhu jauh lebih rendah
dibandingkan pada saat material tersebut berada di dalam bumi. Perubahan suhu
secara cepat mengakibatkan material yang sebelumnya berupa cairan pekat
(magma) akibat suhu tinggi di dalam bumi, kemudian membentuk padatan pada
saat dierupsikan ke atmosfer dengan suhu yang jauh lebih rendah (Ridha dan
Darminto 2016). Penurunan tekanan membentuk gelembung (pori) sebagai akibat
dari penurunan kelarutan air dan CO2 terlarut dalam lava, sehingga terjadi
pembebasan gas secara cepat. Batu apung memiliki karakteristik yaitu berat
rendah (low-density) dengan struktur berpori (85%), memiliki luas permukaan
spesifik yang besar, berporositas tinggi, serta memiliki kapasitas adsorpsi air
tinggi (20-30%) (Sepehr et al. 2013 ; Shamargandi et al,2012).
Batu apung umumnya berwarna pucat, mulai dari putih, krem, biru atau
abu-abu, hijau-coklat hingga hitam (Asgari et al. 2012).

Gambar 3.1 Batu Apung


Batu apung memiliki sifat basa atau asam berdasarkan proporsi kandungan silika
dan aluminanya. Kandungan silika tinggi membuat batu apung bersifat abrasif.
Porositas yang tinggi dan kekayaan kandungan alumina dan silika menjadikan
batu apung potensial untuk dimanfaatkan sebagai adsorben, filter bed, dan bahan
pendukung dalam pengolahan air dan air limbah.
Batu apung yang ada di tanah Lombok berasal letusan gunung Rinjani
bertahun tahun silam, salah satunya daerah dengan potensi batu apung tertinggi di
Lombok adalah Desa Ijo Balit Kecamatan Labuhan Haji.

6
Tabel 3.1 Data potensi ketersediaan penambangan batu apung di Kabupaten
Lombok Timur
Lokasi Ketersediaan Deposit
Awal (m3) Saat ini (%) Saat ini (m3)
Desa Lendangjaran, Desa 4.698 80 3.751
Jenggik, Kec. Montong
Gading
Desa Ambung, Desa 50.400 50 25.200
Rempung, Kec.
Masbagik
Desa Bagik Payung, Kec. 84.135 30 25.240
Suralaga
Desa Geres Lauk, Kec. 1.209.101 40 483.640
Labuhan Haji
Desa Ijobalit, Kec. 1.363.302 40 545.321
Labuhan Haji
Desa Dasan Baru- 70.004 40 28.002
Lempak Daya, Desa
Korleko Kec. Labuhan
Haji
Desa Dasan Lekok, Desa 18.400 20 3.680
Korleko, Kec. Labuhan
Haji
Sumber : ESDM Kabupaten Lombok Timur

Batu apung memiliki komposisi kimia seperti yang tertera dalam Tabel
3.1. Senyawa kimia mayoritas adalah SiO2 dengan prosentase sebesar 58,62% ini
disebabkan karena batu apung terbentuk dari pembekuan secara cepat material
erupsi gunung berapi, sehingga batu apung mengandung banyak pori dari skala
makro hingga ke skala mikro. Karakteristik batu apung meliputi; pori-pori batu
apung yang pada umumnya terpisah antara satu sama lain, batu apung merupakan

7
material yang ringan, dapat mengapung di air dalam jangka waktu yang lama, dan
memiliki permeabilitas yang rendah serta memiliki karakteristik isolasi yang
tinggi. Kandungan Al2O3 yang ada pada batu apung membuat batu apung menjadi
tahan terhadap temperatur tinggi (Bı̇ nı̇ ci et al., 2012).

Tabel 3.2 Komposisi Kimia Batu Apung


Komposisi Presentase (%)
SiO2 58,62
Al2O3 12,08
Fe2O3 12,25
CaO 6,64
TiO2 1,43
K2O 7,87
Sumber : Ridha, 2016

3.2 Potensi Aplikasi Batu Apung


Batu apung telah banyak dimanfaatkan salah satunya pada bidang konstruksi
yang merupakan sektor utama yang memanfaatkan batu apung sebagai bahan
baku campuran dalam membuat beton ringan dan bata ringan, selain dari sektor
kontruksi adapun sektor-sektor lain yang menggunakan batu apung sebagai salah
satu bahan baku utamanya yaitu industri tekstil, sektor agrikultur, industri kimia,
dan sektor teknologi. Supriadi R.A, dkk (2010) menjabarkan penggunaan batu
apung untuk sektor industri, dapat dilihat pada Tabel 3.3
Tabel 3.3 Penggunaan batu apung untuk sektor industri
Industri Kegunaan Drajad Ukuran Butir
Cat - Pelapis anti slip Kasar
- Cat sekat akustik Kasar
- Bahan pengisi cat tekstur Halus - kasar
- Flattening agent Sangat Halus
Kimia - Media Filtrasi Kasar
- Chemical carrier Kasar
- Pemicu korek api belerang Halus – kasar

8
Logam dan - Pembersih dan pemoles Sangat Halus
Plastik - Vibratory and barrier Sangat halus – sedang
finishing Sedang
- Pressure blasting Halus
- Electro – plating Sangat Halus
- Pembersih gelas dan kaca
Komponder - Bubuk sabun tangan Sedang
- Pembersih gelas dan kaca Sangat Halus
Kosmetik dan - Pemoles dan penambal Halus
odol gigi Bubuk Cair
- Pemerata Kulit
Karet - Bahan Penghapus Sedang
- Bahan Cetakan Sangat Halus
Kulit - Untuk mengkilap Sedang
Kaca dan - Pemerosesan tabung TV Halus
Cermin - Pemoles dan pengkilapp Halus
tabung Tv Sangat halus
- Bevel finishing Sangat Halus
- Penghalus potongan kaca
Elektronika - Pembersih papan sirkuit Sangat Halus
Tembikar - Bahan Pengisi Halus
Sumber : Supriadi R.A, dkk. 2010

Keterangan:
Kasar = 8-30 mesh, sedang = 30-100 mesh, halus = 100-200 mesh, sangat halus >
200 mesh.

3.3 Metode Aktivasi


Batu apung sendiri dapat dimodifikasi karakteristiknya dengan metode
aktivasi. Proses aktivasi dilakukan dengan tujuan untuk mengubah struktur kristal
dan luas permukaan reaktifnya, selain itu aktivasi dapat meningkatkan kapasitas
adsorpsi dan sifat yang diinginkan sesuai dengan penggunaannya. Aktivasi sendiri
terbagi menjadi dua cara, yaitu aktivasi secara kimia dan fisika.

9
a. Aktivasi Fisika
Aktivasi fisika merupakan proses pemutusan rantai karbon dari senyawa
organik dengan bantuan panas, uap dan CO2 (Sembiring, dkk, 2003). Aktivasi
fisik dapat dilakukan dengan cara memperkecil ukuran partikel yang bertujuan
memperluas permukaan reaktif adsorben atau menggunakan uap air, gas karbon
dioksida, oksigen,dan nitrogen. Gas-gas tersebut berfungsi untuk mengembangkan
struktur rongga yang ada pada adsorben sehingga memperluas permukaannya,
menghilangkan konstituen yang mudah menguap dan membuang produksi tar atau
hidrokarbon-hidrokarbon pengotor yang ada pada adsorben. Kenaikan temperatur
aktivasi pada kisaran 450°C-700°C dapat meningkatkan luas permukaan spesifik
dari adsorben (Raharjo, 1997).
b. Aktivasi Kimia
Aktivasi secara kimia dilakukan menggunakan larutan asam atau basa
kuat. Aktivasi dengan larutan asam kuat dilakukan untuk melarutkan pengotor
larut asam (senyawa oksida dari logam alkali dan alkali tanah). Aktivasi dengan
larutan basa kuat bertujuan menata kembali posisi kation penyeimbang yang akan
dipertukarkan dengan kation adsorbat (Yuliusman et al 2013).

3.4 Densitas dan Porositas


a. Densitas
Densitas merupakan sifat fisis yang menyatakan kepadatan suatu material.
Densitas menggambarkan kerapatan ikatan material penyusun batuan. Tingkat
densitas batuan dipengaruhi oleh : (1) Jenis dan jumlah mineral serta
presentasenya, (2) Porositas batuan, dan (3) Fluida pengisi rongga. Densitas
batuan meliputi densitas asli (natural density) yaitu densitas batuan dalam
keadaan aslinya, densitas kering (dry density) yaitu densitas batuan dalam keadaan
susut setelah batuan dipanaskan, dan desitas jenuh (saturated density) yaitu
densitas batuan dalam keadaan jenuh setelah batuan dijenuhkan dalam suatu
fluida. Benda yang memiliki densitas yang besar akan memiliki kerapatan massan
yang besar. Dengan begitu semakin mampat antar partikel penyusun benda, maka
nilai densitasnya semakin besar untuk benda yang sama (Smith, 2001).
b. Porositas

10
Porositas adalah tingkatan banyaknya lubang (porous) rongga atau pori-
pori di dalam batuan. Batuan dikatakan mempunyai porositas tinggi apabila pada
batuan tersebut banyak dijumpai lubang (vesicles) atau pori-pori. Sebaliknya,
batuan dikatakan mempunyai porositas rendah apabila kenampakannya kompak,
padat atau tersemen dengan baik sehingga sedikit sekali atau bahkan tidak
terdapat pori-pori didalamnya (Gapsari, 2012). Ada dua jenis porositas yang
dikenal dalam bentuk reservoir, yaitu porositas absolute merupakan rasio volume
pori-pori total batuan dan porositas efektif merupakan rasio volume pori-pori yang
saling berhubungan terhadap volume total batuan. Perbedaan dari kedua jenis
porositas tersebut hanya untuk dalam mengidentifikasi jenis porositas. Porositas
juga diartikan sebagai nilai kemampatan dari suatu benda. Semakin mampat benda
tersebut, maka akan memiliki nilai porositas yang kecil. Rentang nilai porositas
ada pada nilai 0 dan 1 atau sebagai persentase antara 0-100%. Porositas
bergantung pada jenis bahan, ukuran bahan, distribusi pori, sementasi, riwayat
diagenetik dan komposisinya (Smith, 2001).
Densitas dan Porositas sendiri dapat diketahui dengan menggunakan
prinsip dari hukum Archimedes. Dimana hukum terserbut memberikan gaya pung
yang akan digunakan untuk menentukan besarnya densitas batuan berdasarkan
metode penyelupan batuan didalam fluida cair. Nilai densitas dan porositas dari
suatu batuan memiliki hubungan yang tidak sebanding, dimana apabila suatu
batuan memiliki nilai densitas yang relative tinggi terhadap batuan lainnya, maka
porositas batuan tersebut realtif lebih rendah terhadap batuan lainnya. Hal ini
tentunya sangat berkesusaian berdarakan pengertian densitas dan porositas itu
sendiri, dimana densitas merupakan nilai kerapatan partikel pada batu itu sendiri,
sedangkan untuk porositas merupakan tingkat adanya rongga diantara partikel-
partikel batuan tersebut. Densitas dan porositas suatu material berpori, dapat
diukur dengan alat yang dinamakan piknometer.

3.5 Struktur Mikro


Secara istilah mikrografi merupakan suatu teknik untuk memperoleh gambar
pencitraan yang memperlihatkan fasa dari sebuah material, sehingga dapat diketahui sifat
dan karakteristik dari material tersebut. Mikrografi merupakan suatu proses yang
11
menunjukkan gambar struktur mikro dari suatu material. Struktur mikro merupakan
kumpulan atom atom yang mempunyai geometri tertentu dan berulang. Adapun manfaat
dari pengamatan struktur mikro ini diantaranya adalah untuk mempelajari hubungan
antara sifat-sifat bahan dengan struktur dan cacat pada bahan sehingga dapat diperkirakan
sifat bahan jika hubungan tersebut sudah diketahui. Pemeriksaan struktur mikro
memberikan informasi tentang bentuk struktur, ukuran butir dan banyaknya bagian
struktur yang berbeda. Dimana cakupan struktur mikro material dijabarkan secara rinci
pada gambar 3.2 (Fadlillah, 2017).

Gambar 3.2 Cakupan Struktur Mikro (Fadlillah, 2017)

Identifikasi fasa sendiri dapat diketahui melalui pola difraksi yaang diperoleh dari
difraktometer yang menggambarkan status kristalinitas material yang diuji.
Keberadaan suatu fasa kristal diketahui dari adanya puncak-puncak difraksi
sedangkan untuk material amorf pola akan berbentuk punuk difraksi. Pada
dasarnya identifikasi fasa didasarkan pada pencocokan data posisi-posisi puncak
difraksi terukur dengan basis-data (database) fasafasa yang telah dikompilasi,
misalnya dalam bentuk kartu PDF (PowderDiffraction File). Komposisi fasa
kristla dapat dihitung menggunakan metode analisis lanjut dari data difraksi yang
telah terukur , metode yang digunakan yaitu metode Rietveld.
3.5. 1 Kristal

12
Kristal terbentuk dari komposisi atom-atom, ion-ion atau molekul-molekul
zat padat yang memiliki susunan berulang dan jarak yang teratur dalam tiga
dimensi. Pada hubungan lokal yang teratur, suatu kristal harus memiliki rentang
yang panjang pada koordinasi atom-atom atau ion dalam pola tiga dimensi
sehingga menghasilkan rentang yang panjang sebagai karakteristik dari bentuk
kristal tersebut. Ditinjau dari struktur atom penyusunnya, bahan padat dibedakan
menjadi tiga yaitu kristal tunggal (monocrystal), polikristal (polycrystal), dan
amorf (Smallman, 2000:13). Pada kristal tunggal, atom atau penyusunnya
mempunyai struktur tetap karena atom-atom atau molekul-molekul penyusunnya
tersusun secara teratur dalam pola tiga dimensi dan pola-pola ini berulang secara
periodik dalam rentang yang panjang tak berhingga. Struktur amorf menyerupai
pola hampir sama dengan kristal, akan tetapi pola susunan atom-atom, ion-ion
atau molekul-molekul yang dimiliki tidak teratur dengan jangka yang pendek.
Amorf terbentuk karena proses pendinginan yang terlalu cepat sehingga atom-
atom tidak dapat dengan tepat menempati lokasi kisinya. Susunan dua-
dimensional simetris dari dua jenis atom yang berbeda antara kristal dan amorf
ditunjukan pada gambar 3.3

Gambar 3.3 (a) Susuna atom kristal (b) Susunan atom amorf
(Smallman, 1999:13)
Susunan khas atom-atom dalam kristal disebut struktur kristal. Struktur
kristal dibangun oleh sel satuan (unit cell) yang merupakan sekumpulan atom
yang tersusun secara khusus, secara periodik berulang dalam tiga dimensi dalam
suatu kisi kristal (crystal lattice). Geometri kristal dalam ruang dimensi tiga yang
merupakan karakteristik kristal memiliki pola yang berbeda-beda. Suatu kristal
yang terdiri dari jutaan atom dapat dinyatakan dengan ukuran, bentuk, dan
susunan sel satuan yang berulang dengan pola pengulangan yang menjadi ciri

13
khas dari suatu kristal. Berdasarkan kisi bidang dan kisi ruang, kristal mempunyai
14 kisi dan berdasarkan perbandingan sumbu-sumbu kristal dan hubungan sudut
satu dengan sudut yang lain, kristal dikelompokkan menjadi 7 sistem kristal
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3.4

Tabel 3.4 Tujuh sistem Kristal dan empat belas kisi Bravais

Sumber: Van Vlack, 2004: 62

Dalam sistem tiga dimensi, kisi kristal akan membentuk pasangan bidang-
bidang sejajar dan berjarak sama yang disebut bidang-bidang kisi. Bidang-bidang
kisi inilah yang akan menentukan arah permukaan dari suatu kristal. Arah suatu
bidang dapat dinyatakan dengan parameter numeriknya. Indeks Miller merupakan
harga kebaikan dari parameter numerik yang dinyatakan dengan simbol (h k l).

14
Pada Gambar 3.4, secara umum perpotongan bidang dengan sumbu dinyatakan
dengan 2a, 2b, dan 3c sehingga parameter numeriknya adalah 2, 2, 3 dan indeks
Miller dari bidang di bawah adalah:
(hkl) = h : k : l = ½ : ½ : 1/3

(hkl) = (1/2 ½ 1/3 ) atau (3 3 2)

Gambar 3.4 Perpotongan bidang dan sumbu


3.6 Karakteriasasi Material

Karakteristik serbuk batu apung dengan menggunakan XRD atau X–Ray


Diffraction bertujuan untuk mengetahui struktur kristal dari serbuk batu apung
dan untuk mengetahui morfologi dari batu apung meggunakan alat karakterisasi
SEM atau Scanning Electron Microscopy.

3.6.1 XRD (X–Ray Diffraction)

XRD (X–Ray Diffraction) adalah teknik analisa yang bertujuan untuk


mengetahui pembentukan fasa kristalin pada material dengan cara menentukan
parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel. Diagram
skematik XRD ditunjukkan oleh Gambar 3.6. Prinsip dasar kerja XRD adalah
pendifraksian sinar X oleh bidang-bidang atom dalam kristal padatan.

15
Gambar 3.5 Diagram X-Ray Difractometer : T = Sumber Sinar-X, S = Sampel
yang Diuji, C = Detektor dan O = sumbu rotasi (Callister, 2014).

Prinsip kerja XRD secara umum adalah sebagai berikut: pertama, XRD
terdiri dari tiga bagian utama, yaitu tabung sinar-X, tempat objek yang diteliti, dan
detektor sinar-X. Kedua, sinar-X dihasilkan pada tabung sinar-X yang berisi
katoda dan memanaskan filamen, sehingga menghasilkan elektron. Ketiga,
perbedaan tegangan menyebabkan percepatan elektron akan menembaki objek.
Ketika elektron mempunyai tingkat energi yang tinggi dan menabrak elektron
dalam objek sehingga dihasilkan pancaran sinar-X. Keempat, objek dan detektor
berputar untuk menangkap dan merekam intensitas refleksi sinar-X. Detektor
merekam dan memproses sinyal sinar-X dan mengolahnya dalam bentuk grafik.
Sinar-X adalah radiasi elektromagnetik dengan rentang panjang gelombang
kurang lebih dari 0,01 nm hingga 10 nm (energinya kurang lebih dari 100 eV
hingga 100 KeV). Namun panjang gelombang sinar-X yang digunakan untuk
analisa kristal adalah 0,05 nm – 0,2 nm, dimana panjang gelombang tersebut sama
dengan orde konstanta kisi kristal, sehingga sinar-X sangat berguna untuk
menganalisis struktur kristal. Jika sinar-X dikenai pada suatu material, maka
intensitas sinar yang dihamburkan akan lebih rendah dari intensitas sinar yang
datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh material dan juga
penghamburan oleh atom-atom dalam material tersebut. Berkas sinar yang
dihamburkan tersebut ada yang saling menghilangkan, karena fasanya berbeda
dan ada yang saling menguatkan karena fasanya sama. Berkas sinar yang saling
menguatkan itulah yang disebut sebagai berkas difraksi sinar-X. Intensitas sinar-X

16
terdifraksi bergantung pada berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tersebut berasal dari polarisasi sinar-X, penyerapan sinar-X, faktor geometri,
posisi dan getaran atom-atom karena adanya pengaruh temperatur (Smallman,
1999). Peristiwa difraksi yang terjadi pada kisi kristal, dapat dilukiskan seperti
Gambar 3.6

Gambar 3.6 Difraksi bidang sinar – X (Callister, 2014)


Sinar yang berinterferensi saling menguatkan (bersifat konstruktif) terjadi
ketika sinar-sinar yang terdifraksi beda lintasannya sebesar kelipatan bulat dari
panjang gelombang sinar-X, misal λ, 2λ, 3λ dan seterusnya. Sehingga interferensi
maksimum terjadi bila :

𝑛𝜆 = 2𝑑ℎ . sin 𝜃 (3.1)

dengan dhkl adalah jarak antar bidang atom dalam kristal, λ adalah panjang
gelombang sinar-X (λ = 1,5406 Ǻ), n bilangan bulat (1,2,3,...dst) yang
menyatakan orde berkas hambur dan θ adalah sudut hamburan difraksi (Saptari,
2013).

3.5.2 Scanning Electron Microcope – Energy Dispersive X-ray


Scanning electron microscope (SEM) adalah salah satu jenis mikroskop
elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan bentuk
permukaan dari sampel yang dianalisis. Prinsip kerja dari SEM adalah dengan
menggambarkan permukaan benda atau material dengan berkas elektron yang
dipantulkan dengan energi tinggi. Permukaan material yang disinari atau terkena
berkas elektron akan memantulkan kembali berkas elektron atau dinamakan
berkas elektron sekunder ke segala arah. Tetapi dari semua berkas elektron yang

17
dipantulkan terdapat satu berkas elektron berintensitas tertinggi yang dipantulkan
oleh sampel yang akan dianalisis. Pengamatan sampel dilakukan dengan
menembakkan berkas elektron yang berintensitas tertinggi ke permukaan sampel,
kemudian scan keseluruh permukaan material pengamatan. Karena luasnya daerah
pengamatan, dapat dibatasi lokasi yang akan diamati dengan melakukan zoom-in
atau zoom-out. Dengan memanfaatkan berkas pantulan dari benda tersebut maka
informasi dapat diketahui dengan menggunakan program pengolahan citra yang
terdapat di dalam komputer.

Gambar 3.7 Prinsip kerja SEM (Schweitzer, 2014)


Untuk mengetahui komposisi kimia pada permukaan sampel, sebagian
besar alat SEM dilengkapi dengan kemampuan energy dispersive x-ray (EDX).
EDX dihasilkan dari sinar-X, yaitu dengan menembakkan sinar-X pada posisi
yang ingin diketahui komposisinya. Setelah ditembakkan pada posisi yang
diinginkan maka akan muncul puncak – puncak tertentu yang mewakili suatu
unsur yang terkandung. Dengan EDX juga bisa membuat elemental mapping
(pemetaan elemen) dengan memberikan warna berbeda – beda dari masing –
masing elemen di permukaan sampel. EDX bisa digunakan untuk menganalisa
secara kuantitatif dari persentase masing – masing elemen. SEM-EDX dapat
memberikan informasi tentang topografi, morfologi, komposisi dari sampel yang
dianalisis (Girao, 2017). Topografi adalah kemampuan untuk menganalisa
permukaan dan teksture. Morfologi adalah kemampuan untuk menganalisa bentuk

18
dan ukuran dari benda sampel. Komposisi adalah kemampuan menganalisa
komposisi dari permukaan benda secara kuantitatif dan kualitatif.

19
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan dari bulan September 2021- Februari 2022.
Penelitian ini, dilakukan dari beberapa tahapan yaitu proses preparasi, aktivasi,
dan karakterisasi. Proses preparasi, uji densitas prositas, aktivasi dilakukan di
Laboratorium Fisika Lanjut, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Univeristas Mataram. Selanjutnya proses karakterisasi batu apung dengan XRD
dan SEM dilakukan di Laboratorium Mineral dan Material Maju FMIPA,
Univesitas Malang .

4.2 Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
4.2.1 Peralatan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel
berikut ini:

Tabel 4.1 Peralatan Penunjang Penelitian

No. Peralatan Fungsi

1. Ayakan 325 mesh Untuk mengayak serbuk batu apung agar


ukuran yang didapat seragam.

2. Furnace Untuk mengkalsinasi serbuk batu apung

3. Mortar Untuk menumbuk batu apung sehingga


didapatkan batu apng dengan ukuran
serbuk

4. Neraca Digital Untuk menimbang massa sampel

5. Oven Untuk mengeringkan batu apung pada


saat preparasi

20
6. Palu Untuk memecahkan batu apung agar
ukurannya lebih kecil

7. Piknometer Untuk meguji densitas sampel

8. Plastik Klip Untuk menyimpan sampel serbuk batu


apung

4.2.2 Alat Karakterisasi


Adapun alat untuk mengkarakterisasi sampel dapat dilihat pada
tabel berikut ini:

Tabel 4.2 Alat Karakterisasi

No. Peralatan Fungsi

1. X-Ray Difraction Untuk mengetahui struktur Kristal dari


(XRD) batu apung yang akan digunakan sebagai
adsorben

2. Scenning Electron Untuk mengetahui morfologi dari batu


Microscope apung yang akan digunakan sebagai
(SEM) adsorben seperti luas permukaan spesifik
dari adsorben.

Tabel 4.3 Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian

No. Bahan-bahan Fungsi

1. Aquades Untuk menetralkan sampel batu


apung

2. Batu Apung Digunakan sebagai bahan dasar dari


adsorben

21
4.3 Prosedur Penelitian

Secara garis besar prosedur yang akan dilakukan dalam penelitian ini
meliputi preparasi serbuk batu apung, aktivasi fisika, dan karaketrisasi serbuk batu
apung. Karakterisasi sendiri akan dilakukan dengan dua tahap, yaitu sebelum
serbuk batu apung diberikan perlakuan aktivasi fisika dan setelah serbuk batu
apung diberikan perlakuan aktivasi fisika

4.3.1 Preparasi sampel batu apung

Batu apung yang akan digunakan sebagai sampel dicuci terlebih dahulu
menggunakan air hingga bersih untuk menghilangkan pengotor, kemudian batu
apung dikeringkan dibawah sinar matahari selama 3 hari. Batu apung kemudian
dikeringkan kembali menggunakan oven pada suhu 80oC selama 4 jam untuk
menghilangkan kadar air yang masih tersisa. Setelah itu, batu apung dihaluskan
selama kurang lebih 5 jam dengan menggunakan mortar hingga halus dan
kemudian diayak menggunakan ayakan 325 mesh untuk mendapatkan serbuk batu
apung dengan ukuran yang seragam. Setelah didapat serbuk batu apung yang
seragam, kemudian batu apung disimpan untuk diuji densitas porositasnya serta
dikarakterisasi dengan XRD dan SEM untuk dilihat fasa dan morfologi dari
serbuk batu apung sebelum diberikan perlakuan aktivasi secara fisika.

a) Pengujian Densitas Serbuk

Piknometer dioven terlebih dahulu sebelum digunakan selama 15 menit


pada suhu 100oC. Setelah dioven, pastikan piknometer dalam keadaan kering dan
bersih kemudian piknometer ditimbang untuk diketahui besar massanya dan
dicatat sebagai massa piknometer (m1). Setelah itu, piknometer yang berisii
aquades ditimbang dan dicatat sebagai massa piknometer dan aquades (m 2).
Kemudian sebanyak 2gram serbuk batu apung dimasukkan kedalam piknometer
dan ditimbang serta dicatat massanya sebagai m3. Piknometer yang telah diisi
dengan aquades dan serbuk kemudian ditimbang massanya dan dicatat sebagai
massa m4.

b) Pengujian Porositas Serbuk

22
Prosedur untuk menentukan besarnya porositas serbuk suatu sampel
dilakukan dengan langkah awal yaitu gelas beaker kosong 50ml diukur tinggi dan
diameternya. Kemudian, gelas beaker diisi serbuk sebanyak seperempat dari
tinggi gelas beaker dicatat tingginya sebagai tinggi serbuk. Setelah itu, serbuk
dikeluarkan dari gelas beaker, dan gelas beaker diisi dengan air sekitar setengah
dari tinggi gelas beaker, diukur tinggi gelas beaker dan dicatat sebagai tinggi air.
Serbuk dimasukkan lagi keadalam gelas beaker yang berisi air, diukur tingginya
dan dicatat sebagai tinggi campuran.

4.3.2 Aktivasi Fisika

Serbuk batu apung tanpa perlakuan aktivasi yang sudah di uji densitas
porositasnya dan dikarakterisasi dengan XRD dan SEM, kemudian diberikan
perlakuan aktivasi secara fisika yaitu dengan cara, serbuk batu apung dikalsinasi
pada furnace dengan variasi suhu 350o C dan 550o C selama 3 jam. Setelah di
furnace, serbuk batu apung kemudian dilakukan pengujian densitas porositas dan
karaketarisasi dengan XRD dan SEM kembali.

4.4 Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah


perhitungan secara manual dan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excell,
Origin Pro 8.5 dan analisis langsung menggunakan kompuuter pada masing-
masing alat uji karakterisasi. Setelah semua data yang diperoleh dimasukkan,
kemudian hasilnya dianalisis. Adapun persamaan yang digunakan untuk
memperoleh parameter yang diinginkan antara lain:

 Penentuan densitas dan porositas serbuk batu apung

Densitas Serbuk :

m3−m1
⍴a = x ⍴o
( m2−m1 ) −(m4 −m3)

Keterangan :
𝜌𝑎 = Densitas Serbuk (gr/cm3)
ρo = Densitas air (gr/cm3)

23
m1 = Massa piknometer kosong (gr)
m2 = Massa piknometer + air (gr)
m3 = Massa piknometer + serbuk (gr)
m4 = Massa piknometer + aquades +serbuk (gr)

Porositas Serbuk

( V ¿ ¿ air−V serbuk )−V campuran


P= ¿ x 100 %
(V ¿ ¿ air−V serbuk )¿

Keterangan :
𝑃 = Porositas (%)
𝑉𝑎i𝑟 = volume air (cm)
𝑉𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 = volume serbuk (cm)
𝑉𝑐𝑎𝑚𝑝𝑢𝑟𝑎𝑛 = volume air+serbuk (cm)

4.5 Interperetasi Data

Pada penelitian ini, interpretasi data dilakukan dengan mengumpulkan data


berupa gambar, grafik, hasil rujukan jurnal yang berkaitan dan data analisis
berupa soft file yang mengandung informasi yang dibutuhkan yaitu berupa
variabel-variabel yang berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai seperti: sifat
fisis seperti densitas, porositas morfologi dan fasa dari serbuk batu apung. Data
yang diperoleh melalui dokumentasi, perhitugan dan pengolahan data secara
langsung menggunakan program komputer yang terdapat pada masing-masing alat
uji karakterisasi serta menganalisa jurnal-jurnal yang berkaitan untuk memenuhi
tujuan dilaksanakannya penelitian ini.

4.6 Diagram Alir Penelitian

24
Mulai

Preparasi Batu Apung

Serbuk Batu Apung

Uji Densitas Uji XRD Uji SEM


porositas

Aktivasi Fisika dengan variasi suhu 350o C dan


550o C

Sampel Batu Apung


teraktivasi

Uji densitas porositas Uji XRD Uji SEM

Analisis Karaketristik

Hasil

DAFTAR PUSTAKA

25
Asgari, G., Roshani, B., & Ghanizadeh, G. (2012). The Investigation Of Kinetic
and Isotherm Of Fluoride Adsorption Onto Fuctionalized Pumice Stone . J
Hazard Material , 123-132.

Binici,H., & Durgun, M. (2012). Investigation Of Durability Properties Of


Concrete Pipes Incorporating Balst Furnace Slag And Ground Basaltic
Pumice As Fine Aggregates . 366-372.

Calliester, W., & Retwisch, D. (2014). Materials Science and Engineering: An


Intrroduction (Edisi Kesembilan) . Amerika Serikat: Wiley.

Çifçi, D. İ. (2016). A Review On Pumice For Water And Watewater Treatment.


18131-18143.

Darwanta, Abulais, D. M., & Himawan. (2019). Karakterisasi Batu Apung dari
Ternate serta Aplikasi Pada Proses Pemucatan CPO (Crude Palm Oil).
AVOGADRO Jurnal Kimia , 17-20.

Fadlilah, A. (2017). Analisi Struktur Mikro Pori Batu Apung Lombok. Surabaya:
Depatermen Fisika Fakultas Matematikas Dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Intitut Teknnologi Sepuluh November .

Girao, A., Capturo, G., & Ferro, M. C. (2017). Application Of Scanning Electron
Microscopy Energy Dispersive X-Ray Spectroscopu (SEM-EDS).
Comprehensive Analytical Chemistry , 153-168.

Indah, S., Denny, H., Budhi, P., Tivany, E., & Riyan, H. P. (2019). Modificition
Of Natural Pumice By Physical And Chemical Treatments For Removal
Of Zinc Ions From Aqueous Solution 6009.

Kusumaningtyas, M. (2017). Analisis Struktur Nano Batu Apung Lombok


Menggunakan Metode BET (Brunauer-Emmet-Teller). Skripsi. Surabaya:
Institut Teknologi Sepuluh November.

Mourhly, Asmaa, Mariam, K., Hamidi, A. E., Halim, M., & Arsalen, S. (2015).
The Synthesis and Characterization of Low-Cost Mesoporous Silica
SiO2 From Local Pumice Rock .

26
Mourhly., Asmaa., Mariam Khachani., Adnane El Hamidi., Mohammed Kacimi.,
Mohammed Halim dan Said Arsalen. 2015. The Synthesis and
Characterization of Low-Cost Journal Nanomaterials and
Nanotechnology .

Raharjo, Z. (1997). Pembuatan Karbon Atif Dari Serbuk Gergajian Pohon Jati
dengan NacL sebagai Bahan Pengaktif. Skripsi Tidak Diterbitkan .
Malang: Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Brawijaya.

Ridha, M., & Darminto. (2016). Analisis Densiras, Porositas dan Struktur Mikro
Batu Apung Lombok Dengan Variasi Lokasi Menggunakan Metode
Archimedes dan Software Image-J. Jurnal Fisika dan Aplikasinya , 124-
130.

Samin, & Susanna, T. (2002). Kajian Adsorpsi Cr3+ Pada Wukusari Breksi Batu
Apung. Prosiding Pertemuan dan Prestasi Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Nuklir , 56-63.

Schwitzer, J. (2014). Scanning Electron Microsope. Arikel Diakses pada 2


Februari 2017 dari https://www.purdue.edu/ehps/rem/rs/sem.htm.

Sembiring, M., & Sinaga, T. (2003). Arang Aktif (Pengenalan dan Proses
Pembuatannya). Sumatera Utara: USU Digital Library.

Sepher, M., Zarrabi, M., Kazemian, H., Amrane, A., Yaghmaian, K., & Ghaffari,
H. (2013). Removal Of Hardness Agents, Calcium and Magnesium By
Natural And Alkaline Modified Pumice Stones In Single and Binary
System. Applied Surface Science , 295-305.

Smallman, R., & Bishop, R. (2000). Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa
Material Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.

Smith, F. W. (2001). The Physical and Chemistry of Materials. New York: John
Willey & Sons.

27
Supriadi R.A, d. (2010). Makalah Bahan Galian "Batu Apung". Univesitas
Mataram.

Trianasari, Manurung, P., & Karo-Karo, P. (2017). Analisis dan Karakterisasi


Kandungan Silika (SiO2) sebagai Hasil Ekstrasi Batu Apung. Jurnal
Teori dan Aplikasi Fisika , 179-185.

Yuliusman, & Diana, A. (2013). Adsorption Of Carbon Monoxide (CO) Gas and
Clearing Fire Somek Using Activated Carbon From Coconut. The 13th
International Conference on QIR , 496-503.

28
29

Anda mungkin juga menyukai