JURUSAN FARMASI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah mengenai Analgesik Opioid dan Antagonis. Penulisan ini
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan pada mata kuliah
Farmakologi I, serta agar menambah ilmu pengetahuan saya tentang Analgesik
Opioid dan Antagonis.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang saya
peroleh dari buku panduan, serta informasi dari media massa yang berhubungan
dengan Analgesik Opioid dan Antagonis. Saya harap makalah ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua, seperti yang diketahui makalah ini masih jauh dari
sempurna. Maka dari itu, saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN...................................................................................4
1.1 Latar Belakang.....................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah................................................................................5
1.3 Tujuan..................................................................................................5
BAB II : PEMBAHASAN....................................................................................6
2.1 Pengertian Analgesik Opioid...............................................................6
2.2 Obat-Obatan Golongan Analgesik Opioid.........................................10
2.3 Antagonis dan Agonis Parsial............................................................16
2.4 Interaksi Obat.....................................................................................23
2.5 Penggunaan Klinis Analgesik Opioid................................................23
2.6 Efek Samping Analgesik Opioid.......................................................26
2.7 Toleransi, Adiksi dan Abuse.............................................................27
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................31
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian dari obat golongan Analgesik Opioid.
2. Mengetahui bagaimana farmakokinetika dari obat golongan Analgesik
Opioid.
3. Mengetahui bagaimana farmakodinamika dari obat golongan Analgesik
Opioid.
4. Mengetahui khasiat dan efek samping dari obat golongan Analgesik
Opioid.
5. Mengetahui obat antagonis dan agonis parsial dari obat golongan
Analgesik Opioid.
BAB II
PEMBAHASAN
b. Farmakokinetik
Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L. yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan, yaitu
golongan fenantren (morfin dan kodein) dan golongan benizilisonkinolin
(noskapin dan papaverin). Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat
diabsorpsi melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa dan juga
dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih
rendah dibanding secara parenteral. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian
morfin mengalami konjugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian
dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya (Farmakologi
dan Terapi, 2016 : 226).
Ekskresi morfin terjadi melalui ginjal dengan sebagian kecil morfin bebas
ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonjugasi ditemukan dalam
empedu, sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung. Kodein
mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2 yang kemudian dikeluarkan oleh
paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-demetilasi, dimana urin mengandung
bentuk bebas dan bentuk konjugasi dari kodein, norkodein dan morfin
(Farmakologi dan Terapi, 2016 : 226).
c. Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid.
Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai infark miokard, neoplasma,
kolik renal, oklusio akut vaskular parifer, pulmonal, perikarditis akut dan nyeri
akibat trauma, misalnya luka bakar dan pascabedah.
d. Efek Samping
Morfin menghasilkan efek sentral yang meliputi analgesia, euforia, sedasi,
depresi napas, depresi pusat vasomotor (menyebabkan hipotensi postural), miosis
akibat stimulasi nukleus saraf III (kecuali petinin yang mempunyai aktivitas
menyerupai atropin yang lemah), mual, serta muntah yang disebabkan oleh
stimulasi chemoreceptor trigger zone. Obat tersebut juga menyebabkan
penekanan batuk, tetapi hal ini tidak berkaitan dengan aktivitas opioidnya. Morfin
bisa menyebabkan pelepasan histamin dengan vasodilatasi dan rasa gatal (At a
Glance Farmakologi Medis, 2006 : 65).
e. Toleransi
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap efek
eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara morfin,
dihidromorfinon, metopon, kodein dan heroin. Toleransi akan timbul setelah 2-3
minggu. Timbul toleransi terhadap efek analgesik, tetapi tidak terhadap efek
konstipasi. Potensi penyalahgunaan tinggi dan dapat menyebabkan insomnia,
nyeri, peningkatan aktivitas saluran cerna dan kegelisahan.
MEPIRIDIN DAN DERIVAT FENILPIPERIDIN
a. Farmakodinamik
Meperidin dan derivat fenilpiperidin memiliki efek farmakodinamik yang
serupa dengan yang lain. Meperidin terutama bekerja sebagai agonis reseptor µ.
Pada susunan saraf pusat, meperidin menimbulkan analgesia sedasi, euforia,
depresi napas dan efek sentral lain. Efek analgetik meperidin mulai timbul 15
menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2 jam (Farmakologi
dan Terapi, 2016 : 222).
b. Farmakokinetik
Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik, akan
tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Setelah PO,
sekitar 50% obat mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar maksimal
dalam plasma tercapai dalam 1-2 jam. Metabolisme meperidin terutama
berlangsung di hati. Pada manusia, meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam
meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konjugasi. Meperidin bentuk
utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin
ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demetilasi (Farmakologi dan
Terapi, 2016 : 226).
c. Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih
pendek daripada morfin, misalnya untuk tindakan diagnostik. Meperidin
digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat pra-
anestesi. Untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin,
meperidin kurang menyebabkan depresi napas pada janin.
d. Efek Samping
Banyak efek samping yang telah diketahui yang menyertai penggunaan
narkotik, dan perawat harus bersikap waspada ketika memberikan obat-obat
ini.Yang paling penting adalah tanda-tanda depresei pernapasan (pernapasan <
10/menit). Efek samping yang lain adalah hipotensi ortostatik (turunnya tekanan
darah ketika bangun dari posisi duduk atau berbaring), takikardia, mengantuk dan
mental berkabut, konstipasi, dan retensi urin, Juga konstriksi pupil (suatu tanda
intoksi- kasi), toleransi, dan ketergantungan psikolo- gis serta fisik dapat terjadi
pada penggunaan jangka panjang (Kee dan Hayes, 1996 ).
Peningkatan metabolisme narkotik menyebabkan terjadinya toleransi,
sehingga diperlukan dosis narkotik yang lebih tinggi.Jika pemakaian kronik dari
narkotik dihentikan, gejala-gejala putus obat (disebut sebagai sindroma
abstinensi) biasanya terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah pemakaian narkotik
terakhir.Sindroma abstinensi disebabkan oleh ketergantungan fisik. Iritabilitas,
diaforesis (berkeringat), gelisah, kedutan otot, serta meningkatnya denyut jantung
dan tekanan darah adalah contoh-contoh dari gejala- gejala putus obat, Gejala-
Gejala putus obat akibat narkotik paling tidak menyenangkan tetapi tidak seberat
atau tidak begitu 26 mengancam nyawa seperti pada gejala-gejala putus obat
akibat hipnotik-sedatif (suatu proses yang dapat menyebabkan kejang).
Kontraindikasi pemakaian analgesik narkotik adalah kontraindikasi bagi
pasien dengan cedera kepala. Narkotik memperlambat pernapasan, sehingga
mengakibatkan penumpukan karbon dioksida (CO2).Dengan bertambahnya
retensi CO2, pembuluh darah berdilatasi (vasodila- tasi), terutama pembuluh
darah otak, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Analgesik
narkotik diberikan kepada klien dengan gangguan pernapasan hanya akan
mengakibatkan bertambah beratnya. distres pernapasan. Pada penderita asma,
opioid dapat merelaksasikan atau malah mengkonstriksikan saluran bronkus.
Narkotik dapat menyebabkan hipotensi dan tidak merupakan indikasi bagi klien
yang syok atau mereka yang mempunyai tekanan darah sangat rendah (Kee dan
Hayes, 1996 ).
Meperidine tidak dianjurkan digunakan lebih dari 48 jam, dengan dosis
maksimal 600 mg dalam 24 jam, karena akumulasi salah satu metabolitnya,
normeperidine, dapat menyebabkan neuroeksitasi dan kejang. Kejang yang
berkaitan dengan toksisitas normeperidine tidak dapat diobati dengan nalokson,
bahkan beberapa laporan kasus menyatakan bahwa kejang dapat diperberat
dengan pemberian nalokson. Keracunan normeperidine dapat terjadi bila
meperidine diberikan kepada individu dengan gangguan ginjal (Rehatta dkk,
2019).
e. Toleransi
Secara klinis, tramadol terbukti mempunyai efek samping yang lebih rendah
dibandingkan dengan opioid lainnya dalam hal depresi pernafasan, konstipasi, dan
bahaya adiksi. Depresi pernafasan dan ketergantungan tramadol lebih rendah
dibandingkan kodein atau opioid lain karena tramadol juga bekerja pada jalur
nonopioid. Depresi pernafasan akibat tramadol dapat dihambat oleh nalokson, tapi
pemberian nalokson dapat mempertinggi kemungkinan kejang. Oleh sebab itu
pasien dengan riwayat kejang atau sedang mengkonsumsi obat penghambat Mono
Amin Oksidase (MAO) atau penghambat selektif serotonin tidak boleh diberikan
tramadol. Selain itu, tramadol juga tidak boleh diberikan pada pasien bekas
pecandu narkotika (Kee dan Hayes, 1996).
2. Opioid sintetik
a. Derivat benzomorfan
Pentazosin
Pentazosin merupakan agonis dan antagonis reseptor dengan dan opioid
yang lemah pada reseptor potensi sekitar 1/5 dari obat nalorfin. Pentazosin
diserap baik melalui rute oral maupun perenteral yang kemudian dimetabolisme di
hepar melui proses oksidasi menjadi glukoronid inaktif yang akan diekskresikan
terutama melalui urin dan kemudian empedu. Dengan dosis 10-30 mg intravena
atau 50 mg oral, setara dengan kodein 60 mg, mampu mengatasi nyeri sedang.
Efek samping yang sering terjadi dari pentazosin adalah sedasi yang
kemudian diikuti dengan diaforesis dan pusing. Pentazosin menyebabkan
pelepasan katekolamin pada tubuh kita sehingga Pentazosin sebesar 20-30 mg
intra muscular mempunyai efek analgesia, sedasi dan depresi pernafasan yang
setara dengan 10 mg morfin. Tidak seperti morfin, pentazosin tidak memiliki efek
miosis pada pupil mata.
b. Derivat morfinian
Butorfanol
Butorfanol adalah agonis dan antagonis opioid yang menyerupai pentazosin.
Efek agonisnya 20 kali lebih besar dan efek antagonisnya 10 hingga 30 kali lebih
besar, jika dibandingkan dengan pentazosin. Butorfanol memiliki afinitas yang
lemah sebagai antagonis pada reseptor u dan afinitas yang sedang pada reseptor k
untuk menghasilkan analgesia dan efek anti menggigil. Pada prakteknya
butorfanol 2-3 mg intramuscular menghasilkan efek analgesia dan depresi
pernafasan setara dengan morfin 10 mg.
Butorfanol terutama dimetabolisme menjadi metabolit inaktif
hidroksibutorfanol yang diekskresi terutama di empedu dan sebagian kecil pada
urin. Efek samping yang paling sering adalah sedasi, mual dan diaphoresis. Efek
pelepasan katekolamin yang dimiliki pentazosin juga dimilikioleh butorfanol ini
sehingga akan didapat peningkatan laju nadi dan tekanan darah pada pasien.
Indikasi :
Nyeri sedang sampai berat
Anestesi
Analgesia obstetric
Kontraindikasi : Depresi pernapasan signifikan, asma brosur akut atau berat
yang tidak terpantau.
Efek yang paling sering sering dilaporkan adalah :
Batuk menghasilkan lender
Sulit bernafas
Sesak napas
Sesak di dada
Hindari penggunaan agonis-antagonis campuran (misalnya pentazocine,
nalbuphine dan butorphanol) atau analgesik agonis parsial (misalnya buprenorfin)
pada pasien yang menerima analgesik agonis opioid penuh, agonis-antagonis
campuran dan analgesik agonis parsial dapat mengurangi efek analgesik dan dapat
memicu gejala putus obat. Saat menghentikan terapi pada pasien yang bergantung
secara fisik, dosis diturunkan secara bertahap dan jangan tiba-tiba menghentikan
terapi pada pasien.
2. Agonis Parsial
PENTASOZIN
a. Farmakodinamik
Pentazosin merupakan obat antagonis lemah pada reseptor μ, tetapi
merupakan agonis yang kuat pada reseptor k sehingga tidak mengantagonis
depresi napas oleh morfin. Efeknya terhadap SSP mirip dengan efek opioid yaitu
menyebabkan analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia yang timbul agaknya
karena efeknya pada reseptor k, karena sifatnya berbeda dengan analgesia akibat
morfin.
Analgesia timbul lebih dini dan hilang lebih cepat daripada morfin. Setelah
pemberian secara IM analgesia mencapai maksimal dalam 30-60 menit dan
berakhir setelah 2-3 jam. Setelah pemberian oral efek maksimal dalam 1-3 jam
dan lama kerja agak panjang daripada setelah pemberian IM. Depresi napas yang
ditimbulkannya tidak sejalan dengan dosis. Pada dosis 60-90 mg obat ini
menyebabkan disforia dan efek psikotomimetik.
b. Farmakokinetik
Pentazosin diserap baik melalui cara pemberian apa saja, tetapi karena
mengalami metabolisme lintas pertama, bioavailabilitas per oral cukup bervariasi.
Obat ini dimetabolisme secara intensif di hati untuk kemudian diekskresi sebagai
metabolit melalui urin. Pada pasien sirosis hepatis klirensnya sangat berkurang.
c. Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang, tetapi kurang
efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat ini juga digunakan untuk
medikasi praanestetik. Bila digunakan untuk analgesia obstetrik, pentazosin dapat
mengakibatkan depresi napas yang sebanding meperidin.
d. Toleransi
Toleransi dapat timbul terhadap efek analgetik dan efek subjektif pada
pemberian berulang. Ketergantungan fisik dan psikis dapat pula terjadi, tetapi
kemungkinannya jauh lebih kecil.
e. Sediaan dan Posologi
Dosis yang dianjurkan pada orang dewasa adalah 30 mg IV/IM yang dapat
diulang tiap 3-4 jam bila perlu dengan dosis total maksimal 360 mg/hari. Setiap
kali penyuntikan dianjurkan dosis tidak melebihi 30 mg IV atau 60 mg IM.
Sedapat mungkin pemberian SK dihindarkan. Untuk analgesia obstetrik diberikan
dosis tunggal 20 atau 30 mg secara IM. Bila kontraksi uterus menjadi teratur,
dapat diberikan 20 mg IV dan dapat diulangi 2 atau 3 kali dengan interval 2-3 jam
bila diperlukan. Untuk penggunaan ini tersedia larutan 30 mg/mL dalam vial 1;
1,5; 2 dan 10 mL.
BUTORFANOL
a. Farmakodinamik
Butorfanol secara kimia mirip levorfanol akan tetapi profil kerjanya mirip
pentazosin. Pada pasien pascabedah, suntikan 2-3 mg butorfanol menimbulkan
analgesia dan depresi napas menyerupai efek akibat suntikan 10 mg morfin atau
80 mg meperidin. Dosis analgetik butorfanol juga meningkatkan tekanan arteri
pulmonal dan kerja jantung.
b. Farmakokinetik
Butorfanol mirip dengan morfin dalam hal mula kerja, waktu tercapainya
kadar puncak dan masa kerja, sedangkan waktu paruhnya kira-kira 3 jam.
c. Indikasi
Butorfanol efektif untuk mengatasi nyeri akut pascabedah sebanding dengan
morfin, meperidin atau pentazosin. Demikian pula butorfanol sama efektif dengan
meperidin untuk medikasi praanestetik akan tetapi efek sedasinya lebin kuat.
Untuk pasien payah jantung dan infark miokard, morfin dan petidin lebih
bermanfaat dibandingkan butorfanol karena efeknya pada tekanan arteri pulmonal
dan kerja jantung. Obat ini tidak dianjurkan digunakan untuk nyeri yang
menyertai infark miokard akut. Dosis butorfanol yang dianjurkan untuk dewasa
ialah dosis 1-4 mg IM atau 0,5-2 mg IV dan dapat diulang 3-4 jam.
d. Efek Samping
Efek samping utama butorfanol adalah kantuk, rasa lemah, berkeringat, rasa
mengambang dan mual. Sedangkan efek psikotomimetik lebih kecil dibanding
pentazosin pada dosis ekuianalgetik. Kadang-kadang terjadi gangguan
kardiovaskular yaitu palpitasi dan gangguan kulit ras.
BUPRENORFIN
a. Farmakodinamik
Buprenorfin, suatu agonis parsial reseptor μ, merupakan derivat fenantren
yang poten dan sangat lipofilik. Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain
pada SSP seperti morfin. Masa kerjanya meskipun bervariasi umumnya lebih
panjang daripada morfin. Depresi pernapasan dan efek lain yang ditimbulkan
buprenorfin dapat dicegah oleh penggunaan nalokson sebelumnya, akan tetapi
nalokson dosis tinggipun sulit untuk mengatasi efek yang sudah ditimbulkan oleh
buprenorfin.
b. Farmakokinetik
Buprenorfin diabsorpsi relatif baik. Buprenorin 0,4-0,8 mg sublingual
menimbulkan analgesia yang baik pada pasien pascabedah. Kadar puncak dalam
darah dicapai dalam 5 menit setelah suntikan IM dan dalam 1-2 jam setelah
penggunaan secara oral atau sublingual. Masa paruh dalam plasma sekitar 3 jam,
tetapi tidak/kecil hubungannya dengan kecepatan hilangnya efek buprenorfin.
c. Indikasi
Buprenorfin dapat menimbulkan ketergantungan fisik dengan gejala dan
tanda-tanda putus obat seperti morfin, tetapi tidak terlalu berat. Selain sebagai
analgesik, buprenorfin juga bermanfaat untuk terapi penunjang pasien
ketergantungan opioid, dan pengobatan adiksi heroin. Dosis untuk menimbulkan
analgesia 0,3 mg IM atau IV tiap 6 jam, atau 0,4-0,8 mg sublingual. Untuk terapi
penunjang pasien ketergantungan opioid dosis 6-8 mg kurang lebih sama dengan
60 mg metadon.
TRAMADOL
a. Farmakodinamik
Tramadol adalah analog kodein sintetik yang merupakan agonis reseptor μ
yang lemah. Sebagian dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh inhibisi ambilan
norepinefrin dan serotonin. Tramadol sama efektif dengan morfin atau meperidin
untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih
lemah. Untuk nyeri persalinan tramadol sama efektif dengan meperidin dan
kurang menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus.
b. Farmakokinetik
Bioavabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral 68% dan 100% bila
digunakan secara IM. Tramadol mengalami metabolisme di hati dan di ekskresi
oleh ginjal dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan 7,5 jam untuk
metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam setelah penggunaan secara oral
dan mencapai puncak dalam 2-3 jam. Lama analgesia sekitar 6 jam dan dosis
maksimal per hari yang dianjurkan adalah 400 mg.
c. Efek samping
Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut kering, sedasi, dan
sakit kepala. Depresi pernapasan nampaknya kurang dibandingkan dengan dosis
ekuianalgetik morfin, dan derajat konstipasinya kurang daripada dosis ekuivalen
kodein. Tramadol dapat menyebabkan konvulsi atau kambuhnya serangan
konvulsi. Depresi napas akibat tramadol dapat diatasi oleh nalokson akan tetapi
penggunaan nalokson meningkatkan risiko konvulsi.
Analgesia yang ditimbulkan tramadol tidak dipengaruhi oleh nalokson.
Ketergantungan fisik terhadap tramadol dan penyalahgunaan dilaporkan dapat
terjadi. Meskipun potensi untuk penyalahgunaan tidak/ belum jelas, tramadol
sebaiknya dihindarkan pada pasien dengan sejarah adiksi. Karena efek inhibisinya
terhadap ambilan serotonin, tramadol sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang
menggunakan penghambat monoamin-oksidase (MAO).
b. Adiksi
Adiksi merupakan bentuk penyalahgunaan obat yang sangat serius dan
terjadi dengan obat-obat narkotika, kokain dan hashiz. Adiksi drugs dapat
disembuhkan dengan cara menggantikan morfin, heroin, kokain dan sebagainya
dengan metadon dalam dosis yang setara. Kemudian, secara berangsur-angsur
dosis diturunkan sampai akhirnya pasien bebas obat sama sekali. Dasar terapi ini
adalah bahwa metadon, amfetamin dan stimulan lain pada umumnya juga bias
menimbulkan toleransi dan adiksi (Obat-Obat Penting, 2007 : 44).
Ada indikasi kuat bahwa terjadinya toleransi dan ketergantungan berkaitan
erat dengan aktivasi dari system dopamine di otak. Semua zat yang bersifat adiksi
berkhasiat meningkatkan jumlah dopamine secara akut, yang dihubungkan dengan
efek fori, labilitas emosional, kekacauan dan histeri. Contoh obatnya adalah
heroin, amfetamin, marihuana, alkohol, nikotin dan kofein yang mencetuskan
pelepasan dopamin secara berlebihan, sedangkan kokain menghambat re-
uptakenya. Lebih dari sepuluh neuro transmitter lain, diantaranya non-adrenalin
dan serotonin memegang peranan pula pada adiksi, tetapi pengaruhnya jauh lebih
ringan.
Pengobatan adiksi terutama ditujukan pada dua aspek, yaitu penghentian
penggunaan (with drawal) dan rehabilitasi sosial pasien. Pada pengobatan harus
diperhatikan beberapa faktor, yaitu :
1. Taraf ketergantungan fisik penderita harus ditelaah
2. Penderita harus diberikan drug lain, seperti metadon atau klonidin untuk
menekan gejala abstinensi serius sambil lambat-laun mengurangi
dosisnya (terapi substitusi).
3. Gejala with drawal dari narkotika juga dapat diringankan dengan
pemberian obat hipertensi atau migraine klonidin (catapres dan dixarit).
Obat ini dapat memberikan efek samping seperti turunnya tekanan darah,
pusing-pusing, restlessness, tidak bisa tidur, mudah tersinggung, detak
jantung lebih cepat dan sakit kepala.
c. Abuse
“Drug abuse” (penyalahgunaan) berarti penggunaan berlebihan yang terus
menerus atau kadang-kadang dari suatu obat secara tidak layak, yakni
menyimpang dari indikasi pengobatan yang lazim. Substance abuse
(penyalahgunaan obat) merupakan keadaan bila seseorang tergantung secara
psikologis pada substansi, membutuhkan lebih banyak lagi substansi untuk
mendapatkan efek yang sama (toleransi), dan fisiknya akan merespon secara
negatif ketika substansi tersebut tidak lagi digunakan. Definisi lain dari substance
abuse dalam arti luas, meliputi penyalahgunaan obat-obatan seperti alcohol,
kokain, heroin dan nikotin yang terdapat dalam tembakau, kafein yang terkandung
dalam kopi, atau minuma nringan (Pendidikan Keperawatan Gerontik, 2016 : 97).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Analgesik opioid adalah kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium yang dapat digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa
nyeri, meskipun juga memperlihatkan efek farmakodinamik dan
farmakokinetik yang lain.
2. Farmakokinetik pada morfin tidak dapat menembus kulit secara utuh,
namun dapat diabsorbsi melalui kulit yang luka, serta dapat menembus
mukosa dan absorbsi di usus. Dimana pemberian secara oral memberikan
efek yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian secara
parenteral.
3. Farmakodinamik pada morfin memberikan efek terhadap SSP berupa
analgesik dan narkosis dengan cara berikatan dengan reseptor opioid
yang didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan pada tranmisi
dan modulasi nyeri.
4. Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita
berdasarkan idiosinkrasi, serta dapat menimbulkan reaksi alergik, seperti
urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.
5. Contoh obat-obatan yang tergolong analgesik opioid adalah morfin,
meperidin, metadon dan propoksifen.
3.2 Saran
Obat golongan analgesik opioid memiliki jenis yang banyak dengan
berbagai efek samping pada setiap masing-masing obat. Maka, disarankan agar
pemilihan dan penggunaan obat-obatan ini lebih diperhatikan ketika
mengonsumsi, serta pengawasan yang tepat oleh para medis saat pemakaiannya.
DAFTAR PUSTAKA