Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH FARMAKOLOGI

ANALGESIK OPIOID DAN ANTAGONIS

Disusun Oleh : Kelompok 22


Anggota : Diana Andriani (08061282025071)
Diga Putri Nadila (08061382025091)
Deanova Insiratu (08061282025021)
Dwi Mutia (08061182025010)
Shabriena Syamil Hayati (08061282025046)
Athiya Nur Ramadhani (08061181823017)
Shiba Dwi Permata (08061381823108)

Dosen Pengampu : Herlina, M.Kes., Apt.

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah mengenai Analgesik Opioid dan Antagonis. Penulisan ini
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan pada mata kuliah
Farmakologi I, serta agar menambah ilmu pengetahuan saya tentang Analgesik
Opioid dan Antagonis.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang saya
peroleh dari buku panduan, serta informasi dari media massa yang berhubungan
dengan Analgesik Opioid dan Antagonis. Saya harap makalah ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua, seperti yang diketahui makalah ini masih jauh dari
sempurna. Maka dari itu, saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Palembang, 7 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN...................................................................................4
1.1 Latar Belakang.....................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah................................................................................5
1.3 Tujuan..................................................................................................5

BAB II : PEMBAHASAN....................................................................................6
2.1 Pengertian Analgesik Opioid...............................................................6
2.2 Obat-Obatan Golongan Analgesik Opioid.........................................10
2.3 Antagonis dan Agonis Parsial............................................................16
2.4 Interaksi Obat.....................................................................................23
2.5 Penggunaan Klinis Analgesik Opioid................................................23
2.6 Efek Samping Analgesik Opioid.......................................................26
2.7 Toleransi, Adiksi dan Abuse.............................................................27

BAB III : PENUTUP..........................................................................................30


3.1 Kesimpulan........................................................................................30
3.2 Saran..................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................31
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Analgesik adalah obat yang digunakan untuk meredakan rasa nyeri.
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri merupakan
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan
jaringan. Obat analgetik dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu obat golongan
opioid dan NSAID. Golongan Opioid bekerja pada sistem saraf pusat, sedangkan
golongan NSAID bekerja di reseptor saraf perier dan sistem saraf pusat.
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium. Golongan obat ini digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa
nyeri seperti pada fraktur dan kanker, seperti metadon, fentanil dan kodein.
Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis
alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain dan papaverin. Istilah analgesik
narkotik dahulu sering digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi karena
golongan obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau
menurunnya kesadaran maka istilah analgesik narkotik menjadi kurang tepat
(Farmakologi dan Terapi, 2016 : 214).
Opioid biasanya termasuk semua derivat alkaloid alami dan semisintesis
dari opium, sifat farmakologisnya mirip dengan pengganti sintesisnya.
Sebagaimana bahan-bahan campuran lain yang mempunyai efek menyerupai
opium disakat oleh antagonis reseptor opioid nonselektif, yaitu noloxone. Definisi
ini meliputi beberapa peptide endogen yang disintesis oleh sel saraf dan sel
medula adrenal, serta berinteraksi dengan reseptor opioid. Morfin dianggap
sebagai propite agonis opioid. Sumber dari opium, bahan mentahnya dan morfin
adalah salah satu unsur aktifnya berupa bunga madat atau opium. Unsur-unsur
dari tumbuhan ini telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu dan catatan
penggunaannya ditemukan dalam dokumen Mesir kuno, Yunani dan Romawi
(Katzung, 2002).
Adapun efek farmakologi opioid dan antagonis opioid umumnya secara
kualitatif sama dengan morfin, tetapi berbeda dalam potensinya. Morfin
digunakan sebagai standar untuk efek analgesik obat lain. Berdasarkan kerjanya
pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi: (1) Agonis penuh (kuat), (2)
Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang), (3) Campuran agonis dan
antagonis, serta (4) Antagonis. Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai
efek agonis, sedangkan agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis atau
sebagai antagonis dengan menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor
opioid dan mengurangi efeknya (Farmakologi dan Terapi, 2016 : 215).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari obat golongan Analgesik Opioid?
2. Bagaimana farmakokinetika dari obat golongan Analgesik Opioid?
3. Bagaimana farmakodinamika dari obat golongan Analgesik Opioid?
4. Bagaimana khasiat dan efek samping dari obat golongan Analgesik
Opioid?
5. Apa saja obat antagonis dan agonis parsial dari obat golongan Analgesik
Opioid?

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian dari obat golongan Analgesik Opioid.
2. Mengetahui bagaimana farmakokinetika dari obat golongan Analgesik
Opioid.
3. Mengetahui bagaimana farmakodinamika dari obat golongan Analgesik
Opioid.
4. Mengetahui khasiat dan efek samping dari obat golongan Analgesik
Opioid.
5. Mengetahui obat antagonis dan agonis parsial dari obat golongan
Analgesik Opioid.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Analgesik Opioid


Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium. Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau
menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai efek
farmakodinamik yang lain. Istilah analgesik narkotik dahulu seringkali digunakan,
akan tetapi karena golongan obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa
menyebabkan tidur atau menurunnya kesadaran. Maka istilah analgesik narkotik
menjadi kurang tepat (Farmakologi dan Terapi, 2016 : 214).
Peptida opioid bersifat endogen yang telah diidentifikasi menjadi 3 jenis
peptida opioid, yaitu enkefalin, endorfin dan dinorfin. Peptida opioid yang
didistribusi paling luas dan memiliki aktivitas analgesik adalah pentapeptida
metionin-enkefalin (met-enkefalin) dan leusin-enkefalin (leu-enkefalin). Salah
satu atau kedua pentapeptida tersebut terdapat didalam ke 3 protein prekusor
utama, yaitu preproopiomelanokortin, preproenkefalin (pro-enkefalin A) dan
preprodinorfin (pro-enkefalin B). Prekursor opioid endogen terdapat di daerah
otak yang berperan dalam modulasi nyeri dan juga dapat ditemukan di medula
adrenal dan plesksus saraf di usus (Ganiswarna, 2007).
Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui kerjanya di daerah otak
yang mengandung peptide dan memiliki sifat farmakologis yang menyerupai
opioid. Terdapat 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu (µ), delta (δ) dan kappa
(ҡ). Reseptor µ memperantarai efek analgesik mirip morfin, euphoria, depresi
nafas, miosis dan berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor ҡ diduga
memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi, serta miosis
dan depresi nafas yang tidak sekuat agonis µ. Selain itu, disusunan saraf pusat
juga didapatkan reseptor δ yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor epsion
yang sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas
seperti enkefalin (Farmakologi dan Terapi, 2016 : 214-215).
Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa reseptor δ memegang
peranan dalam menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. Dari
penelitian pada tikus, didapatkan bahwa reseptor δ dihubungkan dengan
berkurangnya frekuensi napas, sedangkan pada reseptor µ dihubungkan dengan
berkurangnya tidal volume. Reseptor µ ada 2 jenis, yaitu reseptor µ1 yang hanya
didapatkan di SSP dan dihubungkan dengan analgesia supraspinal, pelepasan
prolaktin, hipotermia dan katalepsi. Sedangkan, reseptor µ2 dihubungkan dengan
penurunan tidal volume dan bradikardia. Analgesia yang berperan pada tingkat
spinal berinteraksi dengan reseptor δ dan ҡ (Ganiswarna, 2007)

1. Mekanisme Kerja Analgesik Opioid dan Efek Untuk Setiap Reseptor


Obat analgesik bekerja di dua tempat utama, yaitu perifer dan sentral.
Golongan obat NSAID bekerja diperifer dengan menghambat pelepasan mediator
sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin
tidak terjadi. Sedangkan, analgesik opioid bekerja di sentral dengan cara
menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi
penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak
terjadi (Naharuddin, 2013 : 11).
Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang
mengalami metabolisme melalui enzim siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas
ini akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema,
rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin
meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu rangsangan nyeri
(Naharuddin, 2013 : 11-12).
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis
sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat NSAID memblok aksi dari
enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin dengan
menghasilkan efek positif (analgesia dan antiinflamasi) maupun negatif (ulkus
lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktivitas COX dihubungkan
dengan dua isoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan
sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1 terdapat pada
mukosa lambung, perenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses
hemeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi
ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan terutama terdapat
pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi, demam, nyeri
dan kardiogenesis (Naharuddin, 2013 : 12).
Kerusakan jaringan dapat menyebabkan pelepasan zat-zat kimia (misalnya
bradikinin, prostaglandin, ATP dan proton) yang menstimulasi reseptor nyeri
(kanan bawah) dan mengionisasi letupan pada serabut aferen primer yang
bersinaps pada lamina I dan II kornu posterior medula spinalis. Neuron relay dalm
kornu posterior menyampaikan informasi nyeri ke korteks sensoris melalui neuron
dalam talamus. Hanya sedikit yang diketahui tentang substansi transmitor yang
digunakan pada jalur nyeri asendens, tetapi beberapa serabut arefen primer
melepaskan peptida (misalnya substansi P yang berhubungan dengan gen
kalsitonin) (Neal, 2002).
Ada 3 jenis reseptor opioid, yaitu mu (μ), delta (δ) dan kappa (ҡ). Reseptor
mu (μ) dapat ditemukan di otak (amigdala posterior, hipotalamus, talamus dan
nukleus kaudatus), saraf tulang belakang dan jaringan lain di luar SSP (vaskular,
jantung, paru-paru, sistem imun dan saluran pencernaan). Reseptor ini penting
untuk mengekspresikan transmisi nyeri dan jalur modulasi, termasuk transmisi
saraf dalam system limbic, otak tengah, sumsum tulang belakang dan thalamus.
Reseptor opioid ada di seluruh tubuh, tetapi tidak termasuk pada saluran
gastroinstestinal (GI), sel kekebalan, kelenjar pituitary dan kulit. Di tempat-tempat
ini, reseptor opioid menjalankan fungsi analgesic dan non-analgesik variable. Ini
merupakan efek farmakologis dan fisiologis untuk setiap reseptor opioid.
(Farmakologi dan Terapi, 2016).

Tabel 1. Efek klinis pada reseptor opioid.


Mu (μ) Delta (δ) Kappa (ҡ)
Analgesia Analgesia
Depresi Menghambat
Analgesia
Efek Klinis Euforia pelepasan
Diuresis
Ketergantungan fisik dopamin
Disforia
Pernapasan Modulasi reseptor
Sedasi mu (μ)
2. Penggolongan Analgesik Opioid
Analgetik opioid dapat dibedakan menurut sumber, jenis zat kimia dan cara
kerjanya pada reseptor (Staff Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2009).
Berdasarkan sumber dan zat kimianya, analgetik opioid dibagi menjadi 3
golongan utama, yaitu :
1. Golongan morfin dan alkaloid alamiah lainnya.
2. Golongan opioid semi-sintesis, diturunkan dari rumus molekul morfin
dengan mengganti salah satu atau lebih gugus pada molekul morfin,
contohnya heroin, kodein, nalokson dan nalorin.
3. Golongan opioid sintesis, secara kimia tidak mempunyai kaitan dengan
rumus molekul opioid, tetapi mempunyai efek hampir sama dengan
opioid, termasuk meperidin.
Berdasarkan jenis zat kimiannya, obat golongan opioid dibagi menjadi 3
golongan, yaitu :
1. Derivat fenilpiperidin (morfin dan alkaloid opium alamiah lainnya),
termasuk tebain, kodein, heroin, hidromorfon, oksikodon, levorfan,
butorfanol, nalbufin, naltrekson dan nalokson.
2. Derivat fenilheptilamin (difenilheptan), termasuk metadon (analgesik)
dan propoksifen.
3. Derivat fenilpiperidin, termasuk meperidin (analgesik), alfaprodin,
anileridin, fentanil, difenoksilat dan loperamid.
Klasifikasi obat golongan opioid berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat
golongan opioid dibagai menjadi :
(1) Agonis penuh (kuat)
(2) Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang)
(3) Campuran agonis dan antagonis
(4) Antagonis
Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan
agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis atau sebagai antagonis dengan
menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan mengurangi
efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid
yang memiliki efek agonis pada subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu parsial
agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya. Berdasarkan rumus
bangunnya, obat golongan opioid dibagi menjadi derivat fenantren,
fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan dan benzomorfan (Farmakologi dan
Terapi, 2016 : 215).
Tabel 2. Penggolongan obat analgesik opioid.
Campuran
Agonis lemah
Struktur dasar Agonis kuat agonis- antagonis
sampai sedang
antagonis
Morfin Kodein Nalbufin Nalorfin
Fenantren Hidromorfon Oksikodon Buprenorfin Nalokson
Oksimorfon Hidrokodon Naltrekson
fenilheptilamin Metadon Propoksifen
Mepiridin Difenoksilat
Fenilpiperidin
Fentanil
Morfinan Levorfanol Butorfanol
Benzomorfan Pentasozin

2.2 Obat-Obatan Golongan Analgesik Opioid


MORFIN
a. Farmakodinamik
Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Morfin dosis kecil
(5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang menderita nyeri, sedih
dan gelisah dan pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa
perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Opioid menimbulkan
analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang terutama didapatkan
di SSP dan medula spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri.
Beberapa individu, terutama wanita dapat mengalami eksitasi oleh morfin,
misalnya mual dan muntah yang mendahului depresi, tetapi delirium dan konvulsi
jarang timbul. Kodein tidak menyebabkan depresi progresif bila dosisnya
dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi.
Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor μ dan κ
menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen
otonom inti saraf okulmotor. Miosis ini dapat dilawan oleh atropin dan
skopolamin. Pada dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa
menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik dapat menyebabkan
frekuensi napas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan morfin hampir selalu
disebabkan oleh depresi napas.
Morfin juga berefek di beberapa organ saluran cerna. Di lambung, morfin
menghambat sekresi HCl, menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus
bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus
berkontraksi, akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat. Di
usus halus, morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat
pencernaan makanan di usus halus. Di usus besar, morfin mengurangi atau
menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus dan
menyebabkan spasme usus besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan
tinja menjadi lebih keras.
Pada sistem kardiovaskular, pemberian morfin dosis terapi tidak
mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung. Perubahan
baru akan terjadi pada pemberian toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia
pada stadium akhir intoksikasi morfin. Morfin dan opioid lain menurunkan
kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi terhadap perubahan sikap. Pada
kulit, dosis terapi morfin menyebabkan vasodilatasi kulit, sehingga kulit tampak
merah dan terasa panas.

b. Farmakokinetik
Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L. yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan, yaitu
golongan fenantren (morfin dan kodein) dan golongan benizilisonkinolin
(noskapin dan papaverin). Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat
diabsorpsi melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa dan juga
dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih
rendah dibanding secara parenteral. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian
morfin mengalami konjugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian
dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya (Farmakologi
dan Terapi, 2016 : 226).
Ekskresi morfin terjadi melalui ginjal dengan sebagian kecil morfin bebas
ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonjugasi ditemukan dalam
empedu, sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung. Kodein
mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2 yang kemudian dikeluarkan oleh
paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-demetilasi, dimana urin mengandung
bentuk bebas dan bentuk konjugasi dari kodein, norkodein dan morfin
(Farmakologi dan Terapi, 2016 : 226).
c. Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid.
Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai infark miokard, neoplasma,
kolik renal, oklusio akut vaskular parifer, pulmonal, perikarditis akut dan nyeri
akibat trauma, misalnya luka bakar dan pascabedah.
d. Efek Samping
Morfin menghasilkan efek sentral yang meliputi analgesia, euforia, sedasi,
depresi napas, depresi pusat vasomotor (menyebabkan hipotensi postural), miosis
akibat stimulasi nukleus saraf III (kecuali petinin yang mempunyai aktivitas
menyerupai atropin yang lemah), mual, serta muntah yang disebabkan oleh
stimulasi chemoreceptor trigger zone. Obat tersebut juga menyebabkan
penekanan batuk, tetapi hal ini tidak berkaitan dengan aktivitas opioidnya. Morfin
bisa menyebabkan pelepasan histamin dengan vasodilatasi dan rasa gatal (At a
Glance Farmakologi Medis, 2006 : 65).
e. Toleransi
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap efek
eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara morfin,
dihidromorfinon, metopon, kodein dan heroin. Toleransi akan timbul setelah 2-3
minggu. Timbul toleransi terhadap efek analgesik, tetapi tidak terhadap efek
konstipasi. Potensi penyalahgunaan tinggi dan dapat menyebabkan insomnia,
nyeri, peningkatan aktivitas saluran cerna dan kegelisahan.
MEPIRIDIN DAN DERIVAT FENILPIPERIDIN
a. Farmakodinamik
Meperidin dan derivat fenilpiperidin memiliki efek farmakodinamik yang
serupa dengan yang lain. Meperidin terutama bekerja sebagai agonis reseptor µ.
Pada susunan saraf pusat, meperidin menimbulkan analgesia sedasi, euforia,
depresi napas dan efek sentral lain. Efek analgetik meperidin mulai timbul 15
menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2 jam (Farmakologi
dan Terapi, 2016 : 222).
b. Farmakokinetik
Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik, akan
tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Setelah PO,
sekitar 50% obat mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar maksimal
dalam plasma tercapai dalam 1-2 jam. Metabolisme meperidin terutama
berlangsung di hati. Pada manusia, meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam
meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konjugasi. Meperidin bentuk
utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin
ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demetilasi (Farmakologi dan
Terapi, 2016 : 226).
c. Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih
pendek daripada morfin, misalnya untuk tindakan diagnostik. Meperidin
digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat pra-
anestesi. Untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin,
meperidin kurang menyebabkan depresi napas pada janin.
d. Efek Samping
Banyak efek samping yang telah diketahui yang menyertai penggunaan
narkotik, dan perawat harus bersikap waspada ketika memberikan obat-obat
ini.Yang paling penting adalah tanda-tanda depresei pernapasan (pernapasan <
10/menit). Efek samping yang lain adalah hipotensi ortostatik (turunnya tekanan
darah ketika bangun dari posisi duduk atau berbaring), takikardia, mengantuk dan
mental berkabut, konstipasi, dan retensi urin, Juga konstriksi pupil (suatu tanda
intoksi- kasi), toleransi, dan ketergantungan psikolo- gis serta fisik dapat terjadi
pada penggunaan jangka panjang (Kee dan Hayes, 1996 ).
Peningkatan metabolisme narkotik menyebabkan terjadinya toleransi,
sehingga diperlukan dosis narkotik yang lebih tinggi.Jika pemakaian kronik dari
narkotik dihentikan, gejala-gejala putus obat (disebut sebagai sindroma
abstinensi) biasanya terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah pemakaian narkotik
terakhir.Sindroma abstinensi disebabkan oleh ketergantungan fisik. Iritabilitas,
diaforesis (berkeringat), gelisah, kedutan otot, serta meningkatnya denyut jantung
dan tekanan darah adalah contoh-contoh dari gejala- gejala putus obat, Gejala-
Gejala putus obat akibat narkotik paling tidak menyenangkan tetapi tidak seberat
atau tidak begitu 26 mengancam nyawa seperti pada gejala-gejala putus obat
akibat hipnotik-sedatif (suatu proses yang dapat menyebabkan kejang).
Kontraindikasi pemakaian analgesik narkotik adalah kontraindikasi bagi
pasien dengan cedera kepala. Narkotik memperlambat pernapasan, sehingga
mengakibatkan penumpukan karbon dioksida (CO2).Dengan bertambahnya
retensi CO2, pembuluh darah berdilatasi (vasodila- tasi), terutama pembuluh
darah otak, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Analgesik
narkotik diberikan kepada klien dengan gangguan pernapasan hanya akan
mengakibatkan bertambah beratnya. distres pernapasan. Pada penderita asma,
opioid dapat merelaksasikan atau malah mengkonstriksikan saluran bronkus.
Narkotik dapat menyebabkan hipotensi dan tidak merupakan indikasi bagi klien
yang syok atau mereka yang mempunyai tekanan darah sangat rendah (Kee dan
Hayes, 1996 ).
Meperidine tidak dianjurkan digunakan lebih dari 48 jam, dengan dosis
maksimal 600 mg dalam 24 jam, karena akumulasi salah satu metabolitnya,
normeperidine, dapat menyebabkan neuroeksitasi dan kejang. Kejang yang
berkaitan dengan toksisitas normeperidine tidak dapat diobati dengan nalokson,
bahkan beberapa laporan kasus menyatakan bahwa kejang dapat diperberat
dengan pemberian nalokson. Keracunan normeperidine dapat terjadi bila
meperidine diberikan kepada individu dengan gangguan ginjal (Rehatta dkk,
2019).
e. Toleransi
Secara klinis, tramadol terbukti mempunyai efek samping yang lebih rendah
dibandingkan dengan opioid lainnya dalam hal depresi pernafasan, konstipasi, dan
bahaya adiksi. Depresi pernafasan dan ketergantungan tramadol lebih rendah
dibandingkan kodein atau opioid lain karena tramadol juga bekerja pada jalur
nonopioid. Depresi pernafasan akibat tramadol dapat dihambat oleh nalokson, tapi
pemberian nalokson dapat mempertinggi kemungkinan kejang. Oleh sebab itu
pasien dengan riwayat kejang atau sedang mengkonsumsi obat penghambat Mono
Amin Oksidase (MAO) atau penghambat selektif serotonin tidak boleh diberikan
tramadol. Selain itu, tramadol juga tidak boleh diberikan pada pasien bekas
pecandu narkotika (Kee dan Hayes, 1996).

METADON DAN OPIOID LAINNYA


a. Farmakodinamik
 Metadon
Pada susunan saraf pusat, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat
dengan efek 10 mg morfin. Setelah pemerian metadon berulang kali timbul efek
sedasi yang jelas, mungkin karena adanya akumulasi. Dosis ekuianalgetik
menimbulkan depresi napas yang sama kuat seperti morfin dan dapat bertahan
lebih dari 24 jam setelah dosis tunggal. Metadon juga berefek antitusif,
menimbulkan hiperglikemia, hipotemia dan pelepasan ADH. Di otot polos,
metadon menimbulkan relaksasi sediaan usus dan menghambat efek spasmogenik
asetilkolin atau histamin. Metadon juga menimbulkan spasme saluran empedu
pada manusia dan hewan coba. Ureter mengalami relaksasi, mungkin karena telah
terjadi antidiuresis. Pecandu metadon timbul toleransi efek miosis yang cukup
kuat. (Farmakologi dan Terapi, 2016 : 226).
 Propoksifen
Propoksifen memiliki efek analgesik yang bekerja di daerah sentral.
Propoksifen terutama terikat pada reseptor μ meskipun kurang selektif
dibandingkan morfin. Propoksifen 65-100 mg secara oral memberikan efek yang
sama kuat dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg propoksifen parenteral
menimbulkan analgesia yang sama kuat dengan 50 mg meperidin parenteral.
Tetapi, propoksifen menimbulkan perasaan panas dan iritasi di tempat suntikan.
Kombinasi propoksifen dengan asetosal berefek analgesik yang jauh lebih baik
dibandingkan dengan obat yang diberikan tersendiri. Obat ini tidak memiliki efek
antitusif (Farmakologi dan Terapi, 2016 : 226).
b. Farmakokinetik
 Metadon
Setelah suntikan metadon SC ditemukan kadar dalam plasma yang tinggi
selama 10 menit pertama. Sekitar 90% metadon terikat protein plasma. Metadon
diabsorbsi baik oleh usus dan dapat ditemukan dalam plasma darah setelah 30
menit PO dan kadar puncak dicapai setelah 4 jam. Metadon cepat keluar dari
darah dan menumpuk dalam paru, hati, ginjal, limpa dan sebagian kecil yang
masuk ke otak. Kadar maksimal metadon dalam otak dicapai dalam 1-2 jam
setelah pemberian parenteral (Farmakologi dan Terapi, 2016 : 226).
Biotransformasi metadon terutama berlangsung di hati. Salah satu reaksi penting
ialah dengan cara N-demetilasi. Sebagian besar metadon yang diberikan akan
ditemukan dalam urin dan tinja sebagai hasil biotransformasi yaitu pirolidin dan
pirolin. Kurang dari 10% mengalami ekskresi bersama empedu. (Farmakologi dan
Terapi, 2016 : 226).
Farmakokinetik metadon berupa aspek absorbsi, distribusi, metabolisme,
dan eliminasinya.
- Absorbsi via rute oral merupakan rute yang paling banyak digunakan karena
penyerapan yang cukup baik pada saluran pencernaan, bioavailabilitasnya
mencapai 80%, dengan rentang perbedaan penyerapan antar individu
berkisar 36-100%. 30 menit setelahnya sudah dapat dideteksi didalam
plasma dan mencapai konsentrasi puncak dalam waktu 4 jam. Absorbsi via
rute intramuskular atau subkutan dosis tunggal methadone onset dan durasi
efek analgesik adalah 4-8 jam. Konsentrasi puncak terjadi dalam 1-2 jam
didalam sistem saraf pusat. Pemberian secara subkutan dapat memberikan
efek samping reaksi inflamasi lokal ditempat injeksi, maka pemberian harus
dicampur dengan hyaluronidase dan didilusi pada 16 mL 0.9% saline, serta
rotasi tempat penyuntikan. Absorbsi via rute rektal bioavailabilitas
methadone rata-rata 76%, hampir sama dengan pemberian oral, namun
mencapai konsentrasi puncak lebih cepat dari pemberian oral yaitu dalam
1,4 jam setelah administrasi. Absorbsi via rute intravena onset methadone
bekerja setelah 10-20 menit dan bertahan dalam 4-8 jam. Pemberian
methadone intravena diadministrasi lewat patient-controlled analgesia pump
(PCA), infus kontinu dan/atau bolus intermiten. Absorbsi via intranasal atau
sublingual dapat meredakan nyeri dalam 5 menit.
- Distribusi,Volume distribusi 1.0 - 8.0 L/kg. Methadone bersifat lipofilik dan
didistribusikan secara luas pada seluruh jaringan tubuh. Methadone
berikatan kuat dengan plasma protein terutama a1-acid glycoprotein (85-
90%). Methadone juga menetap di liver dan jaringan tubuh lain karena
sifatnya yang lipofilik. Methadone melewati plasenta dan didistribusikan ke
ASI.
- Metabolisme Methadone mengalami biotransformasi di hepar, oleh enzim
sitokrom P450 terutama CYP3A4 N-demethylation, CYP2B6, dan
CYP2C19, dimana enzim ini mengubah methadone menjadi pyrrolidines
dan pyrroline (metabolit mayor), EDDP (inaktif metabolit) dan komponen-
komponen inaktif lainnya. Kemudian metabolit ini diekskresikan 21% di
urine, dan dalam persentase lebih kecil diekskresikan lewat cairan empedu,
feses, dan keringat.
- Eliminasi,Waktu paruh methadone adalah 24-36 jam, tergantung dari dosis
dan rute pemberian methadone. Pada pemberian intravena waktu paruhnya
berkisar antara 8-59 jam. Pemberian oral 100 atau 120 mg setiap hari pada
terapi adiksi narkotika waktu paruhnya berkisar antara 13-47 jam dengan
rata-rata 25 jam. Pada pasien post operatif waktu paruhnya 9-87 jam, pada
pasien dependensi opiat 8.5-7.5 jam, pada pasien rawat jalan nyeri
malignansi kronis waktu paruhnya ~120 jam. Eliminasi methadone
dimediasi oleh renal dan saluran pencernaan lewat ekskresi urin dan fekal.
Methadone diekskresi melalui filtrasi glomerular dan reabsorbsi renal,
jumlah methadone yang diekskresikan di urin meningkat seiring dengan
turunnya pH urin (asidik). Ekskresi methadone lewat fekal dimediasi oleh
ekskresi cairan empedu.
- Tingkat resistensi atau toleransi methadone dikatakan rendah jika
dibandingkan dengan opioid jenis lain seperti morfin (10-kali peningkatan
dosis). Hipotesis yang menjelaskan mengapa hal ini dapat terjadi adalah
bahwa methadone memiliki kemampuan untuk menginternalisasi reseptor μ
dan antagonis reseptor NMDA sehingga menurunkan risiko toleransi
dibandingkan dengan opioid lain seperti morfin dan oksikodon.
- Toleransi methadone menyebabkan berkurangnya keefektifan methadone
atau bahkan tidak efektif sama sekali, sehingga harus ada peningkatan dosis
secara konsisten. Toleransi methadone banyak terjadi pada penggunaan
jangka panjang untuk terapi pemeliharaan dependensi narkotika dan nyeri
malignansi kronis. Pada penelitian cross-sectional yang dilakukan oleh
Stefan Gutwinski, et al. pada 600 pasien, ditemukan peningkatan sebesar 1.5
kali dosis dalam durasi 20 tahun MMT (Methadone Management Therapy).
Dosis yang digunakan pada penelitian adalah 90-100 mg per hari dengan
rata-rata lama pemakaian 7.5 – 30 tahun.
Analgesik opioid digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai berat,
terutama yang pada bagian viseral.Penggunaan berulang dapat mengakibatkan
ketergantungan dan toleransi, tapi ini bukan alasan tidak digunakannya dalam
mengatasi nyeri pada penyakit terminal. Penggunaan opioid kuat mungkin sesuai
untuk beberapa kasus nyeri kronis non-keganasan; pengobatan sebaiknya diawasi
oleh dokter spesialis dan kondisi pasien sebaiknya dikaji setiap interval tertentu.
 Propoksifen
Propoksifen adalah derivate metadon yang digunakan sebagai analgesik
untuk menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Propoksifen diabsorpsi setelah
pemberian secara oral maupun parenteral. Efektivitas jauh berkurang jika
propoksifen diberikan PO. Biotransformasi propoksifen dengan cara N-demetilasi
yang terjadi dalam hati. Dimetabolisme separuh pada lintasan pertama dengan
waktu paruh selama 15 jam. Propoksifen biasanya digunakan dalam kombinasi
dengan aspirin atau dengan asetaminofen untuk memperoleh efek analgesik yang
lebih daripada yang didapatnya sendiri (Farmakologi dan Terapi, 2016 : 226).
c. Indikasi
 Metadon
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri yang
dapat dipengaruhi morfin, tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit
lebih kuat dibandingkan dengan morfin. Metadon merupakan antitusif yang baik
dengan efek antitusif 1,5-2 mg/ oral sesuai dengan 15-20 mg kodein, tetapi
kemungkinan timbul adiksi pada metadon jauh lebih besar daripadakodein.
 Propoksifen
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga
sedang,yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi propoksifen
bersama asetosal dapat berefek sama kuat seperti kombinasi kodein bersama
asetosal. Dosis propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4 kali 65 mg sehari
dengan atau tanpa asetosal.
d. Efek Samping
 Metadon
Metadon dapat menyebabkan efek samping seperti perasaan ringan, pusing,
kantuk, fungsi mental terganggu, berkeringat, pruritus, mual dan muntah. Efek
samping ini lebih sering timbul pada pemberian oral daripada pemberian
parenteral dan lebih sering timbul pada pasien berobat jalan. Efek samping yang
jarang timbul adalah delirium, halusinasi lintas dan urtikaria hemoragik. Bahaya
utama pada takar lajak metadon adalah berkurangnya ventilasi pulmonal.
 Propoksifen
Pada dosis terapi propoksifen tidak banyak mempengaruhi sistem
kardiovaskular. Pemberian 130 mg propoksifen PO pada orang dewasa sehat tidak
banyak mengubah reaksi terhadap CO2. Dengan dosis ekuianalgetik insiden efek
samping propoksifen, seperti mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk
kurang lebih sama dengan kodein. Dosis toksik biasanya menimbulkan efek
depresi SSP dan depresi napas, tetapi jika dosis lebih besar lagi akan timbul
konvulsi.
e. Toleransi
 Metadon
Toleransi metadon dapat timbul terhadap efek analgetik, mual, anoreksia,
miotik, sedasi, depresi napas dan efek kardiovaskular, tetapi tidak timbul terhadap
konstipasi. Toleransi ini lebih lambat daripada toleransi terhadap morfin.
Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian metadon secara kronik dapat
dilakukan dengan cara menghentikan obat atau dengan memberikan nalorfin.
 Propoksifen
Propoksifen dapat menimbulkan adiksi yang lebih kecil kemungkinannya
daripada kodein. Penghentian tiba-tiba pada terapi propoksifen akan menimbulkan
gejala putus obat ringan. Dosis oral propoksifen yang besar (300-600 mg) dapat
menimbulkan efek subjektif yang menyenangkan, tetapi tidak serupa dengan
morfin. Obat ini cukup iritatif pada pemberian secara SC, sehingga tidak
digunakan secara parenteral.

2.3 Agonis dan Antagonis Campuran


1. Alkaloid semisintetik
Nalbufin
Nalbufin adalah agonis-antagonis opioid yang secara kimia mirip dengan
oksimorfon dan nalokson. Nalbufin dimetabolisme terutama di hepar. Efek
samping yang paling sering adalah sedasi pada pemberian nalbufin. Tidak seperti
pentazosin dan butorfanol, nalbufin tidak menyebabkan pelepasan katekolamin
sehingga hemodinamik pasien relatif stabil. Oleh karena itu, nalbufin merupakan
pilihan yang tepat untuk digunakan pada pasien dengan gangguan jantung, seperti
pada tindakan kateterisasi jantung.
Farmakokinetik:
 Penyerapan: Waktu untuk memuncak konsentrasi plasma: 30 menit (IM).
 Distribusi: Melintasi plasenta dan didistribusikan dalam ASI (jumlah
kecil). Ikatan protein plasma: Sekitar 50%.
 Metabolisme: Menjalani metabolisme first-pass yang luas pada mukosa
dan hati GI.
 Ekskresi: Melalui urin dan feses (sebagai obat dan konjugat yang tidak
berubah). Waktu paruh eliminasi: 5 jam.
Gejala : Depresi pernapasan, efek CV, efek CNS lainnya, mengantuk, disforia
ringan.
Cara Mengatasi: Pengobatan suportif. Admin IV langsung dari antagonis opiat
(mis. Nalokson atau nalmefene) sebagai penangkal khusus.
Admin oksigen, cairan IV dan vasopresor sesuai kebutuhan.
Gejala putus obat opioid :
 Menggigil, merinding, berkeringat meningkat rasa panas atau dingin,
pilek, mata berair , diare , nyeri otot
 Napas berisik, desahan, napas pendek, napas yang berhenti saat tidur
 Detak jantung lambat atau denyut nadi lemah
 Perasaan pusing, seperti Anda akan pingsan
 Nyeri dada, kesulitan bernapas
 Tingkat kortisol rendah – mual , muntah , kehilangan nafsu makan,
pusing, kelelahan atau kelemahan yang memburuk
 Masalah hati – mual, sakit perut bagian atas, gatal, kehilangan nafsu
makan, urin gelap, tinja berwarna tanah liat, penyakit kuning (kulit atau
mata menguning)
Kontra ndikasi melalui tansdermal:
 Pasien dengan atau diduga ileus paralitik, depresi pernapasan berat, atau
asma bronkial berat.
 Penatalaksanaan nyeri akut, intermiten, ringan, atau jangka pendek
(termasuk pasca operasi).
 Pemberian buprenorfin IV dan diazepam oral secara bersamaan.

2. Opioid sintetik
a. Derivat benzomorfan
Pentazosin
Pentazosin merupakan agonis dan antagonis reseptor dengan dan opioid
yang lemah pada reseptor potensi sekitar 1/5 dari obat nalorfin. Pentazosin
diserap baik melalui rute oral maupun perenteral yang kemudian dimetabolisme di
hepar melui proses oksidasi menjadi glukoronid inaktif yang akan diekskresikan
terutama melalui urin dan kemudian empedu. Dengan dosis 10-30 mg intravena
atau 50 mg oral, setara dengan kodein 60 mg, mampu mengatasi nyeri sedang.
Efek samping yang sering terjadi dari pentazosin adalah sedasi yang
kemudian diikuti dengan diaforesis dan pusing. Pentazosin menyebabkan
pelepasan katekolamin pada tubuh kita sehingga Pentazosin sebesar 20-30 mg
intra muscular mempunyai efek analgesia, sedasi dan depresi pernafasan yang
setara dengan 10 mg morfin. Tidak seperti morfin, pentazosin tidak memiliki efek
miosis pada pupil mata.

b. Derivat morfinian
Butorfanol
Butorfanol adalah agonis dan antagonis opioid yang menyerupai pentazosin.
Efek agonisnya 20 kali lebih besar dan efek antagonisnya 10 hingga 30 kali lebih
besar, jika dibandingkan dengan pentazosin. Butorfanol memiliki afinitas yang
lemah sebagai antagonis pada reseptor u dan afinitas yang sedang pada reseptor k
untuk menghasilkan analgesia dan efek anti menggigil. Pada prakteknya
butorfanol 2-3 mg intramuscular menghasilkan efek analgesia dan depresi
pernafasan setara dengan morfin 10 mg.
Butorfanol terutama dimetabolisme menjadi metabolit inaktif
hidroksibutorfanol yang diekskresi terutama di empedu dan sebagian kecil pada
urin. Efek samping yang paling sering adalah sedasi, mual dan diaphoresis. Efek
pelepasan katekolamin yang dimiliki pentazosin juga dimilikioleh butorfanol ini
sehingga akan didapat peningkatan laju nadi dan tekanan darah pada pasien.
Indikasi :
 Nyeri sedang sampai berat
 Anestesi
 Analgesia obstetric
Kontraindikasi : Depresi pernapasan signifikan, asma brosur akut atau berat
yang tidak terpantau.
Efek yang paling sering sering dilaporkan adalah :
 Batuk menghasilkan lender
 Sulit bernafas
 Sesak napas
 Sesak di dada
Hindari penggunaan agonis-antagonis campuran (misalnya pentazocine,
nalbuphine dan butorphanol) atau analgesik agonis parsial (misalnya buprenorfin)
pada pasien yang menerima analgesik agonis opioid penuh, agonis-antagonis
campuran dan analgesik agonis parsial dapat mengurangi efek analgesik dan dapat
memicu gejala putus obat. Saat menghentikan terapi pada pasien yang bergantung
secara fisik, dosis diturunkan secara bertahap dan jangan tiba-tiba menghentikan
terapi pada pasien.

2.4 Antagonis dan Agonis parsial


1. Antagonis opioid
Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan
banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila opioid
endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stres atau syok. Nalokson
merupakan prototip antagonis opioid yang relatif murni, demikian pula naltrekson
yang dapat diberikan per oral dan memperlihatkan masa kerja yang lebih lama
daripada nalokson. Kedua obat ini merupakan antagonis kompetitif pada reseptor
μ, k dan δ, tetapi afinitasnya terhadap reseptor μ jauh lebih tinggi. Dalam dosis
besar keduanya memperlihatkan beberapa efek agonis, tetapi efek ini tidak berarti
secara klinis.
Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya di samping memperlihatkan
efek antagonis, menimbulkan efek otonomik, endokrin, analgetik dan depresi
napas mirip efek yang ditimbulkan morfin. Obat-obat ini merupakan antagonis
kompetitif titik reseptor μ, tetapi juga memperlihatkan efek agonis pada reseptor-
reseptor lain.
a. Farmakodinamik
 Efek tanpa pengaruh opioid
Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa nalokson dapat menurunkan
ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya tinggi, mengantagonis
efek analgetik placebo, dan mengantagonis analgesia yang terjadi akibat
perangsangan lewat jarum akupunktur. Semua efek ini diduga berdasarkan
antagonisme nalokson terhadap opioid endogen yang dalam keadaan lebih aktif.
Namun, masih perlu pembuktian lebih lanjut efek nalokson ini sebab banyak
faktor fisiologi yang berperan dalam analgesia di atas. Dugaan yang sama juga
timbul tentang efek nalokson terhadap hipotensi pada hewan dalam keadaan syok
dan efeknya dalam mencegah overeating dan obesitas pada tikus-tikus yang
diberi stres berat.
Efek subjektif yang ditimbulkan nalorfin pada manusia tergantung dari
dosis, sifat orang yang bersangkutan dan keadaan. Pemberian 10-15 mg nalorfin
atau 10 mg morfin menimbulkan analgesia sama kuat pada pasien dengan nyeri
pasca bedah. Efek tersebut diduga disebabkan oleh kerja agonis pada reseptor k.
Pada beberapa persen pasien timbul reaksi yang tidak menyenangkan, misalnya
rasa cemas, perasaan yang aneh, sampai timbulnya day dreams yang mengganggu,
atau lebih berat lagi timbul halusinasi, paling sering halusinasi visual. Semua efek
ini juga timbul akibat sifat agonisnya pada reseptor opioid k, meskipun kerjanya
pada reseptor ᵟ, mungkin juga berperan.
Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi napas yang diduga
karena kerjanya pada reseptor k. Berbeda dengan morfin, depresi napas ini tidak
bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini, terutama levalorfan
memperberat depresi napas oleh morfin dosis kecil, tetapi mengantagonis depresi
napas akibat morfin dosis besar.
 Efek dengan pengaruh opioid
Semua efek agonis opioid pada reseptor μ diantagonis oleh nalokson dosis
kecil (0,4-0,8 mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi napas meningkat dalam
1-2 menit setelah pemberian nalokson pada pasien dengan depresi napas akibat
agonis opioid; efek sedative dan efek terhadap tekanan darah juga segera
dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson juga menyebabkan kebalikan efek dari
efek psikotomimetik dan disforia akibat agonis-antagonis. Antagonisme nalokson
ini berlangsung selama 1-4 jam, tergantung dari dosisnya.
Antagonisme nalokson terhadap efek agonis sering disertai dengan
terjadinya fenomena overshoot misalnya berupa peningkatan frekuensi opioid.
Fenomena ini diduga berhubungan dengan terungkapnya (unmasking)
ketergantungan fisik akut yang timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.
Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik terhadap morfin,
dosis kecil nalokson SK akan menyebabkan gejala putus obat yang berat. Gejala
ini mirip dengan gejala akibat penghentian tiba-tiba pemberian morfin, hanay
timbulnya ebberapa ment setelah penyuntikan dan berakhir setelah 2 jam. Berat
dan lama berlangsungnya sindrom ini tergantung dari dosis antagonis dan
beratnya ketergantungan.
b. Farmakokinetik
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat
setelah penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap, tetapi karena hampir
seluruhnya mengalami metabolisme lintas pertama maka harus diberikan
parenteral. Obat ini dimetabolisme di hati, terutamadengan glukoronidasi. Waktu
paruhnya kira-kira jam dengan masa kerja 1-4 jam.
Naltrekson efektif etelah pemberian per oral, kadar puncaknya dalam
plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam, waktu paruhnya sekitar 3 jam dan masa
kerjanya mendekati 24 jam. Metabolitnya, 6-naltreksol, merupakan opioid yang
lemah dan masa kerjanya panjang. Naltrekson lebih poten dari nalokson,
padapasien adiksi opioidpemberian 100mg secaraoral dapat menghambat efek
euforia yang ditimbulkan oleh 25 mg heroin IV selama 48 jam.
c. Toleransi dan Ketergantungan Fisik
Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat agonis.
Jadi, hanya timbul pada efek subyektif, sedative, dan psikotomimetik dari nalorin.
Pemberhentian tiba-tiba pemberian nalorfin kronis dosis tinggi menyebabkan
gejala putus obat yang khas tetapi lebih ringan daripada gejala putus obat morfin.
Nalokson, nalorfin dan levalorfan kecil kemungkinannya untuk disalahgunakan
sebab tidak menyebabkan ketergantungan fisik, tidak menyokong ketergantungan
fisik morfin, dan dari segi subyektif dianggap sebagai obat yang kurang
menyenangkan bagi para pecandu.
d. Indikasi
Antagonis opioid ini diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akibat
takar lanjak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat opioid
sewaktu persalinan, atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid; dalam hal
ini nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan untuk
mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik terhadap opioid.
e. Sediaan dan Posologi
Nalorfin HCl (Nalin HCl), tersedia untuk penggunaan parenteral, masing-
masing mengandung 0,2 mg nalorfin/ ml untuk anak, 5 mg nalorfin/ml untuk
orang dewasa. Serta, tersedia levalorfan 1 mg/ml dan nalokson 0,4 mg/ml. Pada
intoksikasi opioid diberikan 2 mg nalokson dalam bolus IV yang mungkin perlu
diulang. Karena waktu paruh yang singkat, dosis ini diulang tiap 20-60 menit,
terutama pada keracunan opioid kerja lama misalnya metadon. Cara lain ialah
memberikan dosis 60% dari dosis awal setiap jam setelah dosis awal.

2. Agonis Parsial
PENTASOZIN
a. Farmakodinamik
Pentazosin merupakan obat antagonis lemah pada reseptor μ, tetapi
merupakan agonis yang kuat pada reseptor k sehingga tidak mengantagonis
depresi napas oleh morfin. Efeknya terhadap SSP mirip dengan efek opioid yaitu
menyebabkan analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia yang timbul agaknya
karena efeknya pada reseptor k, karena sifatnya berbeda dengan analgesia akibat
morfin.
Analgesia timbul lebih dini dan hilang lebih cepat daripada morfin. Setelah
pemberian secara IM analgesia mencapai maksimal dalam 30-60 menit dan
berakhir setelah 2-3 jam. Setelah pemberian oral efek maksimal dalam 1-3 jam
dan lama kerja agak panjang daripada setelah pemberian IM. Depresi napas yang
ditimbulkannya tidak sejalan dengan dosis. Pada dosis 60-90 mg obat ini
menyebabkan disforia dan efek psikotomimetik.
b. Farmakokinetik
Pentazosin diserap baik melalui cara pemberian apa saja, tetapi karena
mengalami metabolisme lintas pertama, bioavailabilitas per oral cukup bervariasi.
Obat ini dimetabolisme secara intensif di hati untuk kemudian diekskresi sebagai
metabolit melalui urin. Pada pasien sirosis hepatis klirensnya sangat berkurang.
c. Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang, tetapi kurang
efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat ini juga digunakan untuk
medikasi praanestetik. Bila digunakan untuk analgesia obstetrik, pentazosin dapat
mengakibatkan depresi napas yang sebanding meperidin.
d. Toleransi
Toleransi dapat timbul terhadap efek analgetik dan efek subjektif pada
pemberian berulang. Ketergantungan fisik dan psikis dapat pula terjadi, tetapi
kemungkinannya jauh lebih kecil.
e. Sediaan dan Posologi
Dosis yang dianjurkan pada orang dewasa adalah 30 mg IV/IM yang dapat
diulang tiap 3-4 jam bila perlu dengan dosis total maksimal 360 mg/hari. Setiap
kali penyuntikan dianjurkan dosis tidak melebihi 30 mg IV atau 60 mg IM.
Sedapat mungkin pemberian SK dihindarkan. Untuk analgesia obstetrik diberikan
dosis tunggal 20 atau 30 mg secara IM. Bila kontraksi uterus menjadi teratur,
dapat diberikan 20 mg IV dan dapat diulangi 2 atau 3 kali dengan interval 2-3 jam
bila diperlukan. Untuk penggunaan ini tersedia larutan 30 mg/mL dalam vial 1;
1,5; 2 dan 10 mL.

BUTORFANOL
a. Farmakodinamik
Butorfanol secara kimia mirip levorfanol akan tetapi profil kerjanya mirip
pentazosin. Pada pasien pascabedah, suntikan 2-3 mg butorfanol menimbulkan
analgesia dan depresi napas menyerupai efek akibat suntikan 10 mg morfin atau
80 mg meperidin. Dosis analgetik butorfanol juga meningkatkan tekanan arteri
pulmonal dan kerja jantung.
b. Farmakokinetik
Butorfanol mirip dengan morfin dalam hal mula kerja, waktu tercapainya
kadar puncak dan masa kerja, sedangkan waktu paruhnya kira-kira 3 jam.
c. Indikasi
Butorfanol efektif untuk mengatasi nyeri akut pascabedah sebanding dengan
morfin, meperidin atau pentazosin. Demikian pula butorfanol sama efektif dengan
meperidin untuk medikasi praanestetik akan tetapi efek sedasinya lebin kuat.
Untuk pasien payah jantung dan infark miokard, morfin dan petidin lebih
bermanfaat dibandingkan butorfanol karena efeknya pada tekanan arteri pulmonal
dan kerja jantung. Obat ini tidak dianjurkan digunakan untuk nyeri yang
menyertai infark miokard akut. Dosis butorfanol yang dianjurkan untuk dewasa
ialah dosis 1-4 mg IM atau 0,5-2 mg IV dan dapat diulang 3-4 jam.
d. Efek Samping
Efek samping utama butorfanol adalah kantuk, rasa lemah, berkeringat, rasa
mengambang dan mual. Sedangkan efek psikotomimetik lebih kecil dibanding
pentazosin pada dosis ekuianalgetik. Kadang-kadang terjadi gangguan
kardiovaskular yaitu palpitasi dan gangguan kulit ras.

BUPRENORFIN
a. Farmakodinamik
Buprenorfin, suatu agonis parsial reseptor μ, merupakan derivat fenantren
yang poten dan sangat lipofilik. Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain
pada SSP seperti morfin. Masa kerjanya meskipun bervariasi umumnya lebih
panjang daripada morfin. Depresi pernapasan dan efek lain yang ditimbulkan
buprenorfin dapat dicegah oleh penggunaan nalokson sebelumnya, akan tetapi
nalokson dosis tinggipun sulit untuk mengatasi efek yang sudah ditimbulkan oleh
buprenorfin.
b. Farmakokinetik
Buprenorfin diabsorpsi relatif baik. Buprenorin 0,4-0,8 mg sublingual
menimbulkan analgesia yang baik pada pasien pascabedah. Kadar puncak dalam
darah dicapai dalam 5 menit setelah suntikan IM dan dalam 1-2 jam setelah
penggunaan secara oral atau sublingual. Masa paruh dalam plasma sekitar 3 jam,
tetapi tidak/kecil hubungannya dengan kecepatan hilangnya efek buprenorfin.
c. Indikasi
Buprenorfin dapat menimbulkan ketergantungan fisik dengan gejala dan
tanda-tanda putus obat seperti morfin, tetapi tidak terlalu berat. Selain sebagai
analgesik, buprenorfin juga bermanfaat untuk terapi penunjang pasien
ketergantungan opioid, dan pengobatan adiksi heroin. Dosis untuk menimbulkan
analgesia 0,3 mg IM atau IV tiap 6 jam, atau 0,4-0,8 mg sublingual. Untuk terapi
penunjang pasien ketergantungan opioid dosis 6-8 mg kurang lebih sama dengan
60 mg metadon.
TRAMADOL
a. Farmakodinamik
Tramadol adalah analog kodein sintetik yang merupakan agonis reseptor μ
yang lemah. Sebagian dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh inhibisi ambilan
norepinefrin dan serotonin. Tramadol sama efektif dengan morfin atau meperidin
untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih
lemah. Untuk nyeri persalinan tramadol sama efektif dengan meperidin dan
kurang menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus.
b. Farmakokinetik
Bioavabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral 68% dan 100% bila
digunakan secara IM. Tramadol mengalami metabolisme di hati dan di ekskresi
oleh ginjal dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan 7,5 jam untuk
metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam setelah penggunaan secara oral
dan mencapai puncak dalam 2-3 jam. Lama analgesia sekitar 6 jam dan dosis
maksimal per hari yang dianjurkan adalah 400 mg.
c. Efek samping
Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut kering, sedasi, dan
sakit kepala. Depresi pernapasan nampaknya kurang dibandingkan dengan dosis
ekuianalgetik morfin, dan derajat konstipasinya kurang daripada dosis ekuivalen
kodein. Tramadol dapat menyebabkan konvulsi atau kambuhnya serangan
konvulsi. Depresi napas akibat tramadol dapat diatasi oleh nalokson akan tetapi
penggunaan nalokson meningkatkan risiko konvulsi.
Analgesia yang ditimbulkan tramadol tidak dipengaruhi oleh nalokson.
Ketergantungan fisik terhadap tramadol dan penyalahgunaan dilaporkan dapat
terjadi. Meskipun potensi untuk penyalahgunaan tidak/ belum jelas, tramadol
sebaiknya dihindarkan pada pasien dengan sejarah adiksi. Karena efek inhibisinya
terhadap ambilan serotonin, tramadol sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang
menggunakan penghambat monoamin-oksidase (MAO).

2.5 Interaksi Obat


Efek depresi SSP dari beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang
oleh fenotiazin, penghambat monoamine oksidase dan antidepresi trisiklik.
Mekanisme supraaditif ini tidak diketahui dengan tepat, mungkin menyangkut
perubahan dalam kecepatan biotransformasi opioid atau perubahan pada
neurotransmitter yang berrperan dalam kerja opioid. Beberapa fenotiazin
mengurangi jumlah opioid yang diperlukan untuk menimbulkan tingkat analgesia
tertentu. Tetapi efek sedasi dan depresi napas akibat morfin akan diperberat oleh
fenotiazin.
Beberapa derivate fenotiazin meningkatkan efek sedasi, tetapi dalam saat
yang sama bersifat antianalgetik dan meningkatkan jumlah opioid yang
diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Dosis kecik amfetamin meningkatkan
efek analgetik dan euphoria morfin dan dapat mengurangi efek sedasinya. Selain
itu, didapatkan sinergisme analgetik antara opioid dan obat-obat sejenis aspirin.
Adapun tabel dari interaksi obat dan alasan-alasan untuk mengkombinasikan obat
opioid dengan obat lain, sebagai berikut :
Tabel 3. Interaksi-interaksi obat opioid.
Kelompok obat Interaksi dengan opioid
Meningkatkan depresi sistem saraf pusat,
Sedatif-Hipnotika
khusunya depresi napas
Meningkatkan sedasi, efek depresi napas dan
Antipsikosis penenang
penonjolan efek-efek kardiovaskular (kerja
(transquilizer)
antimuskarinik dan penyekatan 𝛼)
Kontraindikasi terhadap semua analgesik
Inhibitor MAO opioid karena tingginya insiden koma
hiperpireksia dan hipertensi

2.6 Penggunaan Klinis Analgesik Opioid


Kegunaanan algesik opioid adalah untuk mengurangi nyeri sedang hingga
berat terutama pada bagian visera. Penggunaan secara berulang dapat
menimbulkan ketergantungan dan toleransi, tetapi hal ini bukan menjadi alasan
untuk tidak digunakan dalam mengatasi nyeri pada penyakit terminal. Penggunaan
opioid kuat mungkin sesuai untuk beberapa kasus nyeri kronis non ganas.
Pengobatan sebaiknya diawasi oleh dokter spesialis dan kondisi pasien sebaiknya
diobservasi setiap jangka waktu tertentu (Mengenal Pereda Nyeri dalam
Kedokteran Gigi, 2020 : 53).
Opioid digunakan secara klinis untuk tindakan sebagai berikut (Pengantar
Farmakologi, 2020 : 111) :
a) Sebagai pereda nyeri (analgesi)
Nyeri yang parah dan terus menerus (konstan) biasanya dapat diatasi
dengan penggunaan opioid. Sedangkan, nyeri tajam, sebentar datang dan
sebentar hilang (intermiten) tampaknya sukar untuk dihilangkan. Sebuah
percobaan harus dilakukan untuk menguantifikasi nyerinya, sehingga hasil
digunakan untuk memilih agent yang tepat dan untuk memonitor efeknya.
Dalam mengevaluasi, pertimbangan bagaimana cara pemberian pengobatan
(oral maupun parenteral), masa kerja efek tertinggi, lama terapi dan
pengalaman lampau dengan opioid sangatlah penting.
Nyeri yang dihubungkan dengan kanker dan penyakit terminal harus
diterapi secara adekuat dan berhubungan dengan toleransi dan
ketergantungan harus dikesampingkan untuk membuat pasien merasa
nyaman. Jika terdapat gangguan pada saluran cerna mencegah penggunaan
morfin rilis-lambat dan sistem transdermal fentanyl dapat digunakan dalam
periode lebih lama yaitu mingguan atau bulanan. Obat-obatan stimulan
seperti amphetamine dapat mengatasi kerja analgesik dari opioid dan karena
itu sangat berguna untuk penderita dengan nyeri kronis.
b) Edema paru akut
Rasa lega yang dihasilkan dengan pemberian morfin secara intervena
pada keadaan sesak karena adanya edema paru yang berhubungan dengan
kegagalan ventrikel kiri sangatlah luar biasa. Mekanisme tersebut tidak
jelas, tetapi mungkin berkaitan dengan berkurangnya pikiran cemas oleh
karena sesak napas dan gelisah, serta menurunnya kardiak preload dan
afterload.
c) Batuk
Supresi atau penekanan batuk dapat dilakukan dengan pemberian dosis
yang lebih rendah daripada dosis yang diperlukan untuk analgesi. Namun,
pada tahun terakhir ini penggunaan analgesik opioid untuk melegakan batuk
sangat sedikit karena sejumlah besar senyawa sintesis yang efektif dan tidak
mengandung efek analgesik ataupun aditif yang dikembangkan (Katzung,
2002).
d) Diare
Diare dari hampir segala macam penyebab dapat dikendalikan dengan
analgesik opioid, tetapi kalau itu berhubungan dengan infeksi yang tepat.
Dulu preparat bahan dasar opium (misalnya paregoric) dipakai untuk
mengendalikan diare, tetapi sekarang digantikan dengan sintesis yang
membeikan efek lebih selektif pada gastrointestinal. Dapat juga memberikan
sedikit atau tanpa efek sistem saraf pusat setelah digunakan, seperti
diphenoxylate.
e) Aplikasi dalam anestesi
Opioid sering kali digunakan sebagai obat-obat pramedikasi sebelum
anestesi dan pembedahan karena memiliki sifat sedatif, anticemas dan
analgesinya. Opioid juga sering dipakai dalam operasi, dikarenakan dua
alasan yaitu sebagai tambahan untuk agen-agen anestesik yang lain dan
kedua dalam pemberian dosis yang tinggi (misalnya fentanyl). Sangat umum
dalam operasi kardiovaskular dan jenis-jenis bedah yang berisiko tinggi
lainnya, dimana sasaran utama penggunaan opioid adalah meminimalkan
depresi kardiovaskular.
Penggunaan klinis pada obat golongan analgesik opioid terbagi menjadi
dua, antara lain :
1. Analgesik opioid kuat
Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri tumpul yang tidak
terlokalisasi dengan baik (visceral). Nyeri somatic dapat ditentukan dengan
jelas dan bias diredakan dengan analgesic opioid lemah atau dengan obat
antiinflamasi nonsteroid. Morfin parenteral banyak digunakan untuk
mengobati nyeri hebat dan morfin oral merupakan obat terpilih pada
perawatan terminal.
2. Analgesik opioid lemah
Analgesik opioid lemah digunakan pada nyeri ringan sampai sedang.
Analgesik ini bias menyebabkan ketergantungan dan cenderung
disalahgunakan. Akan tetapi, bupre morfin kurang menarik untuk pecandu
karena tidak memiliki efek yang hebat (At a Glance Farmakologi Medis,
2006 : 65).

2.7 Efek Samping Analgesik Opioid


Berbagai obat analgetik opioid memiliki efek samping yang sama meskipun
terdapat perbedaan kualitatif dan kuantitatif. Efek samping pada umumnya berupa
mual, muntah, konstipasi dan rasa mengantuk. Dosis yang lebih besar dapat
menimbulkan depresi napas dan hipotensi (Mengenal Pereda Nyeri dalam
Kedokteran Gigi, 2020 : 53). Morfin dan analgesik opioid lainnya menimbulkan
sejumlah besar efek yang tidak diinginkan, diantaranya :
1. Supresi SSP, misalnya sedasi, menekan pernapasan dan batuk, miosis,
hipotermia dan perubahan suasana jiwa. Akibat stimulasi langsung dari
CTZ (Chemo Trigger Zone) timbul mual dan muntah. Pada dosis yang
lebih tinggi mengakibatkan menurunnya aktivitas mental dan motoris.
2. Saluran napas, bronkokontriksi, pernapasan menjadi dangkal dan
frekuensinya menurun.
3. Sistem sirkulasi dan vasodilatasi perifer pada dosis tinggi hipotensi, serta
brakikardia.
4. Saluran cerna, motilitas berkurang, kontraksi sfinkter kandung empedu,
sekresi pankreas, usus dan empede berkurang.
5. Saluran urogenital dan retensi urin menjadi berkurang.
6. Histamin-liberator, urtikaria dan gatal-gatal karena menstimulasi
pelepasan histamin.
7. Kebiasaan dengan resiko adiksi pada penggunaan lama, bila terapi
ditentukan dapat terjadi gejala absitensi.
8. Pada kehamilan dan laktasi, opioid dapat melintasi plasenta tetapi boleh
digunakan sampai beberapa waktu sebelum persalinan. Bila diminum
terus-menerus, zat ini dapat merusak janin akibat depresi pernapasan dan
memperlambat persalinan. Bayi dari ibu yang ketagihan menderita gejala
absitensi. Selama laktasi, ibu dapat menggunakan opioid karena hanya
sedikit yang terdapat dalam air susu ibu.
2.8 Toleransi, Adiksi dan Abuse
a. Toleransi
Toleransi adalah peristiwa dimana dosis obat perlu ditingkatkan terus-
menerus untuk mencapai efek terapeutis yang sama. Tidak begitu banyak obat
bersifat menimbulkan toleransi yang berarti, sedangkan di lain pihak banyak
sekali obat dapat digunakan bertahun-tahun tanpa menimbulkan toleransi, antara
lain glikosid digitalis. Toleransi dibagi menjadi 3 macam, antara lain :
1. Toleransi primer (bawaan) terdapat pada sebagian orang dan hewan
tertentu, misalnya kelinci sangat tahan terhadap atropine atau zat yang
sangat toksis untuk manusia dan binatang yang menyusui.
2. Toleransi sekunder (yang diperoleh) bias timbul setelah suatu obat
digunakan untuk beberapa waktu, dimana organism menjadi kurang
rentan terhadap obat tersebut. Peristiwa ini juga disebut kebiasaan atau
habituasi.
3. Toleransi silang dapat terjadi antara zat-zat dengan struktur kimiawi
serupa (diazepam dan oksazepam), atau jarang sekali antara beberapa zat
berlainan, misalnya alkohol dan barbital.
4. Tachyfylaxis adalah toleransi yang timbul dengan pesat sekali (dalam
waktu beberapa jam), bila pemberian obat diulang dalam jangka waktu
singkat, misalnya efedrin dan propranolol dalam tetes mata terhadap
glaucoma (Obat-Obat Penting, 2007 : 42).

b. Adiksi
Adiksi merupakan bentuk penyalahgunaan obat yang sangat serius dan
terjadi dengan obat-obat narkotika, kokain dan hashiz. Adiksi drugs dapat
disembuhkan dengan cara menggantikan morfin, heroin, kokain dan sebagainya
dengan metadon dalam dosis yang setara. Kemudian, secara berangsur-angsur
dosis diturunkan sampai akhirnya pasien bebas obat sama sekali. Dasar terapi ini
adalah bahwa metadon, amfetamin dan stimulan lain pada umumnya juga bias
menimbulkan toleransi dan adiksi (Obat-Obat Penting, 2007 : 44).
Ada indikasi kuat bahwa terjadinya toleransi dan ketergantungan berkaitan
erat dengan aktivasi dari system dopamine di otak. Semua zat yang bersifat adiksi
berkhasiat meningkatkan jumlah dopamine secara akut, yang dihubungkan dengan
efek fori, labilitas emosional, kekacauan dan histeri. Contoh obatnya adalah
heroin, amfetamin, marihuana, alkohol, nikotin dan kofein yang mencetuskan
pelepasan dopamin secara berlebihan, sedangkan kokain menghambat re-
uptakenya. Lebih dari sepuluh neuro transmitter lain, diantaranya non-adrenalin
dan serotonin memegang peranan pula pada adiksi, tetapi pengaruhnya jauh lebih
ringan.
Pengobatan adiksi terutama ditujukan pada dua aspek, yaitu penghentian
penggunaan (with drawal) dan rehabilitasi sosial pasien. Pada pengobatan harus
diperhatikan beberapa faktor, yaitu :
1. Taraf ketergantungan fisik penderita harus ditelaah
2. Penderita harus diberikan drug lain, seperti metadon atau klonidin untuk
menekan gejala abstinensi serius sambil lambat-laun mengurangi
dosisnya (terapi substitusi).
3. Gejala with drawal dari narkotika juga dapat diringankan dengan
pemberian obat hipertensi atau migraine klonidin (catapres dan dixarit).
Obat ini dapat memberikan efek samping seperti turunnya tekanan darah,
pusing-pusing, restlessness, tidak bisa tidur, mudah tersinggung, detak
jantung lebih cepat dan sakit kepala.

c. Abuse
“Drug abuse” (penyalahgunaan) berarti penggunaan berlebihan yang terus
menerus atau kadang-kadang dari suatu obat secara tidak layak, yakni
menyimpang dari indikasi pengobatan yang lazim. Substance abuse
(penyalahgunaan obat) merupakan keadaan bila seseorang tergantung secara
psikologis pada substansi, membutuhkan lebih banyak lagi substansi untuk
mendapatkan efek yang sama (toleransi), dan fisiknya akan merespon secara
negatif ketika substansi tersebut tidak lagi digunakan. Definisi lain dari substance
abuse dalam arti luas, meliputi penyalahgunaan obat-obatan seperti alcohol,
kokain, heroin dan nikotin yang terdapat dalam tembakau, kafein yang terkandung
dalam kopi, atau minuma nringan (Pendidikan Keperawatan Gerontik, 2016 : 97).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Analgesik opioid adalah kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium yang dapat digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa
nyeri, meskipun juga memperlihatkan efek farmakodinamik dan
farmakokinetik yang lain.
2. Farmakokinetik pada morfin tidak dapat menembus kulit secara utuh,
namun dapat diabsorbsi melalui kulit yang luka, serta dapat menembus
mukosa dan absorbsi di usus. Dimana pemberian secara oral memberikan
efek yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian secara
parenteral.
3. Farmakodinamik pada morfin memberikan efek terhadap SSP berupa
analgesik dan narkosis dengan cara berikatan dengan reseptor opioid
yang didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan pada tranmisi
dan modulasi nyeri.
4. Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita
berdasarkan idiosinkrasi, serta dapat menimbulkan reaksi alergik, seperti
urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.
5. Contoh obat-obatan yang tergolong analgesik opioid adalah morfin,
meperidin, metadon dan propoksifen.

3.2 Saran
Obat golongan analgesik opioid memiliki jenis yang banyak dengan
berbagai efek samping pada setiap masing-masing obat. Maka, disarankan agar
pemilihan dan penggunaan obat-obatan ini lebih diperhatikan ketika
mengonsumsi, serta pengawasan yang tepat oleh para medis saat pemakaiannya.
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswarna. 2007, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Balai Penerbit FKUI,


Jakarta, Indonesia.
Gunawan, Sulistia Gan. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6, Badan Penerbit
FKUI, Jakarta, Indonesia.
Katzung, B. G., M. D., Ph. D. 2002, Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba
Medika, Jakarta, Indonesia.
Muhith, A. Siyoto, S. 2016, Pendidikan Keperawatan Gerontik, CV Andi Offset,
Yogyakarta, Indonesia.
Naharuddin, Maknunah. 2013, Pengaruh Pemberian Pramedikasi Tramadol
terhadap Durasi Ambang Nyeri setelah Pencabutan Gigi, Fakultas
Kedokteran Gigi, Universitas Trisakti, Jakarta, Indonesia.
Neal, M. J. 2006, At a Glance Farmakologi Medis, Penerbit Erlangga, Jakarta,
Indonesia.
Pusporini, Ratih dan Fuadiyah, Diena. 2020, Mengenal Pereda Nyeri dalam
Kedokteran Gigi, Tim UB Press, Malang, Indonesia.
Rinidar, Isa, M. Armansyah, T, Pengantar Farmakologi Analgesik-Antipiretik-
Antiinflamasi, Syiah Kuala University Press, Aceh, Indonesia.
Staff Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteras Universitas
Sriwijaya. 2009, Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2, EGC,
Jakarta, Indonesia.
Tjay, T. H. Rahardja, K. 2007, Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan dan
Efek-efek Sampingnya Edisi Keenam, PT Elex Media Komputindo,
Jakarta, Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai