Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masa remaja merupakan masa terjadinya pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat baik fisik, psikologis dan sosial. Pola karakteristik
ini menyebakanremaja mempunyai rasa keingintahuan yang besar sehingga
suka mencoba banyak hal hal baru untuk mencari jati diri tapi kurang
memikirkan dampaknya. Dengan demikian remaja perlu di dukung dengan
informasi dan keterampilan yanh tepat dan benar agar tidak terjebak dalam
perilaku beresiki seperti infeksi menular seksual/ infeksi saluran reproduksi,
Human Immunodeficiency Virus ( HIV) dan acquired immune deficiency
syndrome ( AIDS),nyalahgunaan NAFZA ( narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainya), dan masalah gizi ( anemia/ kurang darah, kurang energi kronik (
KEK), obesitas / kegemukan.
Remaja cenderung memperoleh informasi kesehatan remaja mealaui
teman sebayanya, seperti di tunjukan oleh data SKRRI tahun 2007, dimana
sebesar 44,4 % remaja 46,9 % remaja laki laki menjadikanya sebagai sumber
informasi mengenai perubahan fisik saat pubertas. Selain itu, sebesar 63,7 %
remaja perrmpuan dan 56,7% remaja laki laki lebih suka curhat kan isi hatiya
tentang kesehatan reproduksinya dengan temannya di banding dengan orang
tua atau guru. Melihat kecenderungan tersebut, maka dibutuhkan remaja yang
terlatih menjadi konselor remaja.
Kelompok usia remaja merupakan kelompok yang cukup besar, sekitar
23 % dari seluruh populasi. Sebagai generasi penerus, kelompok ini
merupakan asset atau modal utama sumber daya manusia bagipembangunan
bangsa di masa yang akan datang. Kelompok remaja yang berkualitas
memegang peranan penting di dalam mencapai kelangsungan serta
keberhasilan tujuan pembangunan nasional.
Sejalan derasnya arus globalisasi yang melanda baerbagai sektor dan
sendi kehidupan, berkembang pula masalah kesehatan reproduksi remaja
( KKR) yang terjadi di masyarakat. Masalah tersebut, baik fisik, fsikis dan
psikososial yang mencakup perilaku sosial seperti kehamilan usia muda,
penyakit akibat hubungan seksual dan aborsi, maupun masalah akibat
pemakaian narkotik, zzat adiktif,alkohol dan merokok. Bila hal ini tidak di
tanggulangi dengan sebaik baiknya, bukan hanya menyebabkan masa depan
remaja yang suram, akan tetapi juga dapat menghancurkan masa depan
bangsa.
Salah satu penyebab masalah, kemungkinan karena faktor ketidak-
tauan, karena remaja tidak mendapat informasi yang jelas, benar dan tepat
mengenai kesehatan reproduksi remaja serta permasalahannya.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas remaja antara
lain adalah menigakatkan kualitas pelayanan kesehatan perdili remaja
( PKPR ), termasuk kualitas dalam memberikam informasi kesehatan remaja
dan pelayanan remaja.

B. TUJUAN
a. Tujuan umum
Tercapainya PKPR berkualitas di puskesmas dan tempat
pelayana remaja lainnya, dalam upaya mewujudkan remaja dengan
derajat kesehatan dan perkembangan berstandartertingg, memelihara
kesehatan sesuai dengan potensi seutuhnya dan memastikan
terpenuhinya kebutuhan tmbuh kembangnya serta menghargai dan
memenuhi hak-haknya sebagai individu.

b. Tujuan khusus
a) Tersedianya panduan penyelenggaraan bagi fasilitas dan
petugas pelaksana PKPR
b) Tersedianya instrumen pemantauan praktis pemenuhan Standar
Nasional PKPR dengan menggunakan beberapa kriteria terpilih.
c) . Terselenggaranya PKPR dengan kualitas yang baik, ajeg dan
merata di seluruh wilayah Republik Indonesia.

C. SASARAN
1. Sasaran populasi/ kasus
Semua anak usia 10 – 19 tahun di wilayah kerja puskesmas baleendah

2. Sasaran pelaksana
Tenaga bidan atau perawat atau dokter yang telah terpapar materi PKPR

D. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pedoman ini meliputi pelaksanaan konseling dan
pemeriksaan terpadu remaja di wilayah kerja puskesmas Baleendah.

E. BATASAN OPERESIONAL
Remaja masih termasuk ke dalam kelompok usia anak menurut WHO,
remaja adalah anak yang berusia antara anak yang berusia antara 10 – 19
tahun. Sedangkan menurut survei kesehatan reproduksi remaja indonesia
( SKRRI, 2007), remaja adalah laki laki atau perempuan yang belum kawin
dengan batasan usia meliputi 12 – 24 tahun.
BAB II

STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA


Petugas yang melayani PKPR di puskesmas bisa seorang dokter, bidan,
atau perawat yang terlatih .meraka akan melayani dengan sabar, ramah, siap
menampung segala permasalahan remaja serta siap berdiskusi. Petugas
khusus yang perduli remaja harus memenuhi kriteria :
a. Mempunyai perhatian dan perduli, baik budi, penuh pengertian, bersahabat,
memiliki kompetensi teknis dalam memberikan pelayanan khusus remaja,
mempunyai keterampilan komunikasi interpersonal dan konseling.
b. Mempunyai motivasi untuk menolong dan bekerja sama dengan remaja.
c. Tidak menghakimi, tidak bersikap dan berkomentar tidak menyenangkan
atau merendahkan
d. Dapat di percaya dan dapat menjaga kerahasiahaan
e. Mampu dan mau berkorbankan waktu sesuai kebutuhan
f. Dapat / mudah di temui pada kunjungan ulang
g. Menunjukan sikap menghargai kepada semua remaja dan tidak membeda
bedakan.
h. Mau memberikan informasi dan dukungan yang cukup hingga remaja dapat
memutuskan pilihan yang tepat untuk mengatasi masalahnya atau
memenuhi kebutuhannya.

B. JADWAL PELAKSANAAN
Jadwal pelaksanaan konseling remaja dilakukan pada setiap hari kerja, yaitu
senin- sampai dengan sabtu ( kecuali hari libur ) mulai pukul 08.00 – 12.00 wib.
BAB III
STANDAR FASILITAS DAN DENAH

Standar fasilitas untuk konseling remaja antara lain sebagai berikut :


- Buku register
- Tensi dewasa
- Thermometer
- Timbangan berdiri
- Microtoa
- Pengukur LILA

DENAH RUANGAN
Tempat periksa dan timbangan wastafel lemari

pint
u

meja
BAB
BAB IV
TATALAKSANA PELAYANAN

A. CARA MELAKSANAKAN KEGIATAN


a. Remaja datang ke puskesmas dengan cara pengambilan karcis dan mendaftar
ke bagian pendaftaran
b. Remaja di periksa di BP umum oleh dokter dokter umum dan setelah di
tentukan diagnosa remaja di anjurkan untuk pengambilan obat atau di anjurkan
untuk di berikan konseling
c. Remaja yang memerlukan konseling remaja tersebut menuju ke ruangan
konseling dan mememui konselor PKPR
d. Petugas menganamnesa keluhan remaja untuk mengetahui kebutuhan
konseling yang harus di berikan
e. Petugas mendengarkan keluhan atau masalah remaja yag di hadapi
f. Petugas memberikan solusi untuk setiap masalah dam memotivasi remaja
agar lebih baik lagi
g. Memastikan remaja mengerti tentang konseling yang di berikan dan petugas
meminta untuk datang kembali apabila remaja membutuhkan konseling

B. SASARAN
a. Remaja awal : 10 -13 tahun
b. Remaja tengah : 14- 16 tahun
c. Remaja akhir : 17 – 19 tahun

BAB V
LOGISTIK

C. PERSIAPAN OBAT DAN ALAT


a. OBAT
b. Amoksilin
c. Cefadrixil
d. Cefixime
e. tetracyclin
f. ciprofloxacin
g. metronidazole
h. parasetamol
i. ibupropen
j. asamefenamat
k. nistatin supp
l. ambroxol tab/sirup
m. GG tab/sirup
n. Betametason salp
o. Gentamicin salp
p. Miconazole salp

b. ALAT
a. timbangan injak
b. microtoa
c. tensi dewasa
d. lila
e. thermometer
d. stetoskop
BAB VI

KESELAMATAN PASIEN

Setiap kegiatan yang dilakukan pasti akan menimbulkan resiko atau dampak,
baik resiko yang terjadi pada masyarakat sebagai sasaran kegiatan maupun resiko
yang terjadi pada petugas sebagai pelaksana kegiatan. Keselamatan pada sasaran
harus diperhatikan karena masyarakat tidak hanya menjadi sasaran satu kegiatan
saja melainkan sasaran banyak program kesehatan lainya. Tahapan-tahapan dalam
mengelola keselamatan sasaran antara lain :

1. Identifikasi Resiko
Penanggungjawab program sebelum melaksanakan kegiatan harus
mengidentifikasi resiko terhadap segala kemungkinan yang dapat terjadi pada
saat pelaksanaan kegiatan, Identifikasi resiko atau dampak dari pelaksanaan
kegiatan dimulai sejak membuat perencanaan. Hal ini dilakukan untuk
meminimalisasi dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan kegiatan. Upaya
pencegahan risiko terhadap sasaran harus dilakukan untuk tiap kegiatan yang
akan dilakukan.
2. Analisa Resiko
Tahap selanjutnya adalah petugas melakukan analysis terhadap resiko atau
dampak dari pelaksanaan kegiatan yang sudah diidentifikasi. Hal ini perlu
dilakukan untuk menentukan langkah-langkah yang akan diambil dalam
menangani resiko yang terjadi.
3. Rencana Pencegahan Resiko dan meminimalisasi resiko
Setelah dilakukan identifikasi dan analisis resiko, tahap selanjutnya adalah
menentukan rencana yang akan dilakukan untuk mencegah terjadinya resiko atau
dampak yang mungkin terjadi. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah atau
meminimalisasikan resiko yang mungkin terjadi.
4. Rencana Upaya Pencegahan
Tahap selanjutnya adalah membuat rencana tindakan yang akan dilakukan untuk
mengatasi resiko atau dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan yang dilakukan.
Hal ini perlu dilakukan untuk menentukan langkah yang tepat dalam mengatasi
resiko atau dampak yang terjadi.
5. Monitoring dan evaluasi

Monitoring adalah penilaian yang dilakukan selama pelaksanaan kegiatan sedang


berjalan. Hal ini perlu dilakuan untuk mengetahui apakah kegiatan sudah berjalan
sesuai dengan perencanaan, apakah ada kesenjangan atau ketidaksesuaian
pelaksanaan dengan perencanaan, sehingga dengan segera dapat direncanakan
tindak lanjutnya. Tahap yang terakhir adalah melakukan evaluasi kegiatan. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui apakah tujuan sudah tercapai
BAB VII

KESELAMATAN KERJA

Keselamatan kerja atau Occupational Safety, dalam istilah sehari-hari sering


disebut Safety saja, secara folosofi diartikan sebagai suatu pemikiran dan upaya
untuk menjamin kebutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani petugas
dan hasil kegiatannya. Dari segi keilmuan diartikan sebagai suatu pengetahuan dan
penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan
penyakit akibat pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan merupakan rangkaian usaha
untuk menciptakan suasana kerja yang aman, kondisi keselamatan yang bebas dari
resiko kecelakaan dan kerusakan serta penurunan kesehatan akibat dampak dari
pekerjaan yang dilakukan, bagi petugas pelaksana dan petugas terjadi gangguan
kesehatan pada pekerja, keluarga masyarakat dan lingkungan sekitarnya

Dalam penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan


telah mengamankan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya
kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja,keluarga,
masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya sarana dan


prasarana kesehatan, maka resiko yang dihadapi petugas kesehatan merupakan
orang pertama yang terpapar terhadap masalah kesehatan, untuk itu semua petugas
kesehatan harus mendapat pelatihan tentang kebersihan, epidemiologi dan
desinfeksi. Sebelum bekerja dilakukan pemeriksaan kesehatan untuk memastikan
kondisi tubuh yang sehat. Menggunakan desinfeksi yang sesuai dan dengan cara
yang benar, mengelola limbah infeksius dengan benar dan harus menggunakan alat
pelindung diri yang benar.
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

Kinerja pelaksanaan pemeriksaan dan konseling di evaluasi menggunakan


indikator sebagai berikut :

a. Banyaknya kunjungan dan terjaringnya remaja yang bermasalah


b. Turunnya angka kejadian kesakitan pada remaja dan turunnya angka kenakalan
remaja

Hasil evaluasi di atas serta permasalahan yang di hadapi di bahas pada


pertemuan lokakarya mini bulanan, triwulan serta dalam kegiatan koordinasi lintas
program maupun lintas sektor lainnya.
BAB IX
PENUTUP
Pedoman ini sebagai acuan bagi karyawan puskesmas/ pelaksana dalam
pemeriksaan dan konseling dengan tetap memperhatikan prinsip proses
pembelajaran yang bermanfaat.
Kerberhasilan pelaksanaan konseling dan pemeriksaan remaja tergantung
pada cara pendekatan petugas kepada remaja dan bagaimana petugas memberikan
kenyaman
D. KELUARAN ( OUT PUT ) KUNTITATIF YANG DIHARAPKAN
Dengan mengacu kepada KAK seluruh kegiatan MTBS dapat di selenggarakan
secara efektif dan efisien oleh petugas MTBS puskesmas baleendah.

E. HASIL ( OUT COME ) KUANTITATIP YANG DI HARAPKAN


Dengan di selenggarakannya kegiatan MTBS secara efektif dan efisien di
harapkan dapat meningkatkan kinerja yang tinggi, serta dapat terus bersinergi
dengan program lain di puskesmas baleendah yang pada akhirnya dapat
meningkatkan derajat kesehatan secara optimal dan menurunkan angka
kematian bayi dan balita.

F. LOKASI PELAKSANAAN DAN PEKERJAAN


Kegiatan ini dilaksanakan di ruang poli MTBS puskesmas baleendah

G. RENCANA RINCIAN PEKERJAAN


- Penyusunan KAK
- Pelayanan di poli MTBS
- Pencatatan dan pelaporan
- Pembuatan RTL
- Rencana peningkatan kerja

H. FAKTOR HAMBATAN PELAKSANAAN KEGIATAN


Dalam proses penyelenggaraan MTBS di puskesmas baleendah masih
mengalami hambatan diantaranya petugas MTBS belum terlatih dalam
tatalaksana MTBS dan orang tua yang tidak sabar dengan waktu pemeriksaan
mtbs yang membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit perpasien.

I. DOKUMEN PENDUKUNG
- Buku pedoman MTBS dan bagan MTBS
- Formilir MTBS
- Register harian
- Buku rekam medis.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Undang-Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 menekankan pentingnya upaya
peningkatan dan pembangunan kesehatan serta pemberdayaan masyarakat. Di dalam rencana
strategi Pembangunan Kesehatan Tahun 2015 sampai dengan 2019 yaitu untuk meningkatkan derajat
kesehatan dan status gizi masyarakat melalui melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemeratan pelayanan kesehatan.
Sasaran pokok Renstra 2015-2019 yakni meningkatnya status kesehatan gizi ibu dan anak,
meningkatnya pengendalian penyakit, meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan terutama di daerah terpencil, meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan universal melalui
Kartu Indonesia Sehat, terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan, obat dan vaksin, meningkatkan
responsivitas sistem kesehatan (Kemenkes RI, 2015). Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak
harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas
serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak. Kehidupan anak usia dibawah lima tahun
merupakan bagian yang sangat penting. Usia tersebut merupakan landasan yang membentuk masa
depan, kesehatan, kebahagiaan, pertumbuhan, perkembangan dan hasil pembelajaran anak di
sekolah, keluarga, 2 serta masyarakat. Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak janin
dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 tahun (Kemenkes RI, 2014). Upaya kesehatan
anak diharapkan mampu menurunkan angka kematian anak. Indikator angka kematian yang
berhubungan dengan anak diantaranya Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB),
dan Angka Kematian Balita (AKABA). Berdasarkan hasil Survei Riskesdas terhadap pelayanan
kesehatan anak balita menunjukkan bahwa capaian indikator pelayanan kesehatan anak balita pada
tahun 2013 sebesar 70,12% dan belum memenuhi target Renstra pada tahun 2013 yang sebesar 83%,
hanya 4 provinsi di Indonesia yang memiliki capaian melebihi target yakni DKI Jakarta, Bali,
Yogyakarta dan Jawa Tengah. Capaian indikator ini juga mengalami penurunan dibandingkan tahun
2012 sebesar 73,52% (Kemenkes RI, 2014,a). Laporan dari UNICEF (2013) mengatakan di Indonesia
jumlah kematian balita setiap tahun turun dari estimasi 12,6 juta pada tahun 1990 menjadi sekitar 6,6
juta pada tahun 2012, namun angka ini masih cukup tinggi. Angka kematian bayi sebanyak 24 per
1000 kelahiran hidup, sementara angka kematian balita sebanyak 44 per 1000 kelahiran hidup.
Diharapkan pada tahun 2015 angka kematian bayi turun menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup dan
angka kematian balita turun menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2014,b). Angka
kematian bayi dan balita di Indonesia banyak disebabkan oleh penyakit pneumonia. Populasi yang
rentan terserang pneumonia yakni anak-anak usia kurang dari 2 tahun. Berdasarkan data Riskesdas
tahun 2013, Jawa Tengah menduduki posisi ke 3 dalam tingginya angka kematian balita akibat
pneumonia.

Jumlah penderita pneumonia pada balita 0,05). Tidak adanya hubungan antara motivasi tenaga
kesehatan dengan pelaksanaan MTBS diduga petugas kesehatan yaitu dokter, bidan, dan perawat
mempunyai tugas rangkap yaitu selain sebagai petugas MTBS. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh
penulis melalui wawancara pada bidan yang bertugas di Puskesmas Jatipuro dan Puskesmas Jatiyoso
diperoleh data bahwa alur pelaksanaan MTBS belum berjalan dengan baik, belum semua petugas
mendapatkan pelatihan MTBS, dari dua puskesmas tersebut belum memiliki ruang MTBS khusus
sehingga alur pelayanan masih digabung dengan ruang KIA/KB. Tiga petugas mengungkapkan
seharusnya setiap puskesmas memiliki ruang MTBS tersendiri sehingga diharapkan pemeriksaan
terhadap balita sakit lebih rinci dan kondusif. Untuk kelengkapan pengisian lembar MTBS, semua
petugas yang diwawancara belum mengisi lembar dengan lengkap. Dua petugas 6 mengungkapkan
pengisian lembar MTBS dilakukan dengan lengkap saat ada kasus kegawatdaruratan. Semua petugas
mengungkapkan bahwa pengisian lembar MTBS membutuhkan waktu yang lama dan tingkat
ketelitian yang tinggi. Setelah dilakukan penggalian informasi terkait alasan tidak mengisi lembar
MTBS dengan lengkap yaitu dikarenakan kurangnya pelatihan dan penyegaran tentang
perkembangan MTBS, tidak adanya reward terhadap keberhasilan atau punishment terhadap
pelanggaran jika mereka tidak melengkapi lembar tersebut. Hal ini menyebabkan kurangnya motivasi
dan sikap petugas kesehatan terhadap kepatuhan pelaksanaan MTBS. Penelitian Hastuti (2014)
menyebutkan adanya hubungan yang signifikan antara sikap bidan dengan kelengkapan pengisian
partograf di Boyolali dengan hasil uji statistik diperoleh nilai p value (0,045) < (0,05). Perilaku
seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu pengetahuan, sikap, keinginan,
kehendak, motivasi dan juga niat. Penelitian tersebut tidak sejalan dengan penelitian Suprihatin
(2014) bahwa berdasarkan hasil uji statistik dengan fisher`s exact test diperoleh nilai p value (0,499) >
(0,05), hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara sikap dengan kelengkapan pengisian
lembar pengkajian keperawatan umum. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka peneliti
ingin melakukan penelitian mengenai “Hubungan Motivasi dan Sikap Bidan dengan Kelengkapan
pengisian lembar MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) di Puskesmas Kabupaten Karanganyar “. 7
B. Masalah Penelitian Masalah dari penelitian ini adalah “adakah hubungan antara motivasi dan sikap
bidan dengan kelengkapan pengisian lembar MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) di Puskesmas
Kabupaten Karanganyar ?”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis hubungan motivasi dan sikap bidan dengan kelengkapan pengisian lembar MTBS
(Manajemen Terpadu Balita Sakit) di Kabupaten Karanganyar. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan
motivasi bidan dalam pengisian lembar MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) di Kabupaten
Karanganyar. b. Mendeskripsikan sikap bidan terhadap penerapan MTBS dalam pelayanan balita sakit
di Kabupaten Karanganyar. c. Mendeskripsikan kelengkapan pengisian lembar MTBS oleh bidan di
Puskesmas Kabupaten Karanganyar d. Menganalisis hubungan motivasi bidan dengan kelengkapan
pengisian lembar MTBS di Kabupaten Karanganyar. e. Menganalisis hubungan sikap bidan dengan
kelengkapan pengisia

Anda mungkin juga menyukai