Anda di halaman 1dari 49

SOP LOGROOL

Dosen Pengampu:

Di Susun Oleh Kelompok 2

Arintina Herawati : 2019.C.11a.

Adyendy : 2019.C.11a.0995

Desri Handayai : 2019.C.11a.1004

Fatricia Viona Lorensa : 2019.C.11a.1009

Fordianus Candy : 2019.C.11a.1010

Malisa : 2019.C.11a.1017

Niko Wibowo : 2019.C.11a.1021

Tina Novela : 2019.C.11a.1030

Tri Berger : 2019.C.11a.1031

Sunardi : 2019.C.11a.1029

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

PRODI SARJANA KEPERAWATAN

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


BAB I
PENDAHULUAN

A. DESKRIPSI MATA KULIAH


Mata kuliah ini menguraikan konsep kegawat daruratan, penatalaksanaan pasien gawat
darurat mencakup bantuan hidup dasar (basic life support ) dan bantuan hidup lanjut
(advanced life support). Juga akan dibahas tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
berbagai kegawatan yang lazim mencakup system tubuh dan kegawatan di komunitas yaitu
disaster nursing. Proses perkuliahan dilaksanakan di kelas dan praktikum di laboratorium untuk
tindakan BLS dan dilanjutkan di klinik untuk penerapan secara langsung ketrampilan yang
sudah dilatih di laboratorium.

B. TUJUAN MATA KULIAH


Setelah menyelesaikan mata kuliah ini mahasiswa mampu memahami:
1. Konsep dasar dan prinsip kegawat daruratan.
2. Memahami konsep pertolongan pasien gawat darurat mencakup bantuan hidup dasar
dan lanjutan.
3. Menerapkan konsep dan prinsip gawat darurat dalam pertolongan pasien pada
berbagai kondisi dan tingkat usia.
4. Melaksanakan pengkajian air way, breating dan circulation pada pasien gawat
darurat.
5. Melaksanakan pembebasan jalan napas.
6. Melaksanakan pernapasan buatan pada pasien dengan henti napas.
7. Melaksanakan resusitasi jantung paru pada pasien henti napas dan henti jantung.
8. Melaksanakan Balut bidai pada pasien dengan gangguan dislokasi dan patah tulang
9. Memahami asuhan keperawatan pada pasien gawat darurat bidang medical bedah,
bidang anak, bidang obstetric, bidang psikiatri dan bidang komunitas (disaster
nursing).
10. Memahami penanganan korban bencana massal.

C. KOMPETENSI MATA KULIAH


1. Konsep dasar penanganan pasien gawat darurat.
2. Pengkajian KGD (airway, breating dan circulation, drug, defibrilator, disability)
3. Pembebasan jalan napas.
4. Pemberian napas buatan.
5. Resusitasi jantung paru.
6. Etika dan hukum dalm KGD

7. SPGDT
8. Triase
9. Konsep dasar BHD
10. Asuhan KGD sistem pernafasan (Trauma torak, epistaksis, asma bronkhial)
11. Asuhan KGD sistem cardiovaskular ( Cardiac ares, cardiac arteri disease, shock,
dengue shock syndrom, HT emergency)
12. Asuhan KGD sistem Pencernaan ( hematemesis, trauma abdomen, GI dehidrasi,
keracunan makanan, OD/keracunan obar)
13. Asuhan KGD sistem perkemihan (retensi urine, trauma saluran kemih)
14. Asuhan KGD sistem muskuluskeletal ( fraktur, multifle trauma, luka bakar,
sengatan, gigitan anjing/ular)
15. Asuhan KGD sistem endokrin ( hipoglikemia, hiperglikemia, ketoasidosis diabetik)
16. Asuhan KGD sistem persyarafan (kejang demam pada anak, epilefsi, troke)
17. Asuhan KGD pada keadaan bencana (dissaster) dikomunitas

D. STRATEGI PERKULIAHAN
Pendekatan perkuliahan ini adalah pendekatan Student Center Learning. Dimana
Mahasiswa lebih berperan aktif dalam proses pembelajaran. Metode yang digunakan lebih
banyak menggunakan metode ISS (Interactive skill station) dan Problem base learning.
Interactive skill station diharapkan mahasiswa belajar mencari materi secara mandiri
menggunakan berbagai sumber kepustakaan seperti internet, expert dan lain lain, yang
nantinya akan didiskusikan dalam kelompok yang telah ditentukan. Sedangkan untuk
beberapa pertemuan dosen akan memberikan kuliah singkat diawal untuk memberikan
kerangka pikir dalam diskusi. Untuk materi-materi yang memerlukan keterampilan, metode
yang yang akan dilakukan adalah simulasi dan demonstrasi di laboratorium.

E. BAHAN BACAAN
1. David Knight, dkk, tindakan–tindakan gawat darurat, Jakarta, Kedokteran
EGC
2. John Mills, MD, dkk, Gawat darurat paru-paru,Jakarta, Kedokteran EGC
3. Mary T, Ho, MD, dkk, resusitasi kardiopulmonar & syok, Jakarta
4. Michael S, Jastremski, prosedur kedaruratan, Jakarta, kedokteran EGC
5. Marry E. Mancini, Prosedur keperawatan darurat, Jakarta, kedokteran EGC
6. Nancy L. Caroline, Emergency care in streets, Boston, little brown and
compaby
7. H. Tabbrani rab, Prof. DR, Agenda gawat darurat, jilit 1,2,3 Bandung, penerbit
Aliumni.

8. Keperawatan Emergensi (Emergency nursing secrets: Kathleen S.Oman dkk,


alih bahasa dr. Andry Hartono), EGC.
9. Sudiharto & Sartono (2013) . Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta:
Sagung Seto
10. Dewi Kartikawati N, (2012). Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat
Darurat. Jakarta: Salemba Medika
11. I Made Bakta, Prof.DR.Dr. dkk., Gawat Darurat dibidang penyakit dalam.
Jakarta: EGC
BAB II
MATERI PEMBELAJARAN

1) Kompetensi Dasar
Mahasiswa mengetahui dan memahami konsep dasar penanganan pasien gawat darurat
2) Materi
Konsep dasar keperawatan gawat darurat (KGD) :
1. Definisi dan tujuan KGD
2. Rentang Konsep gawat darurat (pra hospital, intra hospital, post hospital)
3. Falsafah dan paradigma KGD
4. Dilema dalam penanganan KGD
5. Peran dan fungsi perawat dalam KGD
6. Komunikasi dalam KGD.
7. Situasi gawat darurat dan kritis.
8. Standar praktik KGD
3) Indikator Pencapaian
Mahasiswa mengetahui dan memahami :
1. Definisi dan tujuan KGD
2. Rentang Konsep gaat darurat (pra hospital, intra hospital, post hospital)
3. Falsafah dan paradigma KGD
4. Dilema dalam penanganan KGD
5. Peran dan fungsi perawat dalam KGD
6. Komunikasi dalam KGD.
7. Situasi gawat darurat dan kritis.
8. Standar praktik KGD
URAIAN MATERI
I. KONSEP DASAR KEPERAWATAN GAWAT DARURAT (KGD) :
a. Definisi dan tujuan KGD
a) Definisi KGD
Keperawatan gawat darurat merupakan pelayanan keperawatan yang
komprehensif diberikan kepada pasien dengan injury akut atau sakit yang
mengancam kehidupan. Sebagai seorang spesialis, perawat gawat darurat
menghubungkan pengetahuan dan keterampilan untuk menangani respon pasien
pada resusitasi, syok, trauma, ketidakstabilan multisistem, keracunan dan
kegawatan yang mengancam jiwa lainnya.
b) Tujuan KGD
1) Mencagah kematian dan cacat pada pasien gawat darurat hingga dapat hidup
dan berfungsi kembali dalam masyarakat.
2) Merujuk pasien gawat darurat melalui sistem rujukan untuk memperoleh
penanganan yang lebih memadai.
3) Penanggulangan korban bencana.
Untuk dapat mencegah kematian, petugas harus tau penyebab kematian, yaitu :

b. Rentang Konsep gawat darurat (pra hospital, intra hospital, post hospital)
1. Pra Hospital
 Pelayanan gawat darurat di luar rumah sakit
 Perpanjangan pelayanan gawat darurat di komunitas
 Merupakan pintu masuk bagi pasien dalam kondisi kritis untuk mendapatkan
 pelayanan gawat darurat di tempat kejadian
Yang Terkait dalam Pre Hospital adalah :
 Personel : tim medis petugas ambulance, relawan
 Training
 Call center
 Komunikasi
 Transportasi : manual, dengan alat
 Partisipasi awam/orang terdekat korban
 Fasilitas
 Publc Safety gency : polisi, pemadam kebakaran
Peralatan minimal dalam pelayanan pre hospital :
 APD
 Peralatan resusitasi : defibrilator, airway ventilation adjuncts, peralatan
akses vaskuler
 Imobilisasi spinal
 Imobilisasi ekstremitas
 Oksigen dan sungkup
 Obat-obat live saving : adrenalin, sulfas tropin, amiodaron, glukosa,
nitrogliserin,, sodium bicarbonal dll
Sistem rujukan dalam prehospital :
• The rigt patient on the right time to the right hospital
• Dirujuk ke rumah sakit terdekat yang memungkinkan ( sesuai kondisi
klinis pasien)
c. Falsafah dan paradigma KGD
1) Bidang cakupan keperawatan gawat darurat : pre hospital, intrahospital, post
hospital
2) Resusitasi pemulihan bentuk kesadaran seseorang yang tampak mati akibat
berhentinya fungsi jantung dan paru berorientasi pada otak.
3) Pertolongan diberikan karena keadaan yang mengancam kehidupan.
4) Terapi kegawatan intensive: tindakan terbaik untuk klien sakit krisis karena
tidaksegera di intervensi menimbulkan kerusakan organ yang akhirnya
meninggal.
5) Mati klinis : henti nafas, sirkulasi terganggu, henti jantung, otak tidak berfungsi
untuk sementara (reversibel).resusitasi jantung paru (RJP) tidak dilakukan bila:
kematian wajar, stadium terminal penyakit seperti kanker yang menyebar keotak
setelah 1/2 -1 jam RJP gagal dipastikan fungsi otak berjalan.
6) Mati Biologis: Kematian tetap karena otak kekurangan oksigen.
7) Mati Klinis 4-6 menit, kemudian mati biologis
8) Fatwa IDI mati : jika fungsi pernapasan seperti jantung berhenti secara pasti.
d. Dilema dalam penanganan KGD
e. Peran dan fungsi perawat dalam KGD
f. Komunikasi dalam KGD.
g. Situasi gawat darurat dan kritis.
h. Standar praktik KGD
II. ETIKA DAN HUKUM DALAM KGD
a. Kode Etik Profesi Keperawatan
b. Prinsip Etik dalam Kondisi Gawat Darurat
c. Hukum Kesehatan dan Ruang Lingkup
d. Aspek Etik dalam KGD
e. Upaya Pencegahan Malpraktik dalam KGD
III. 1. SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU
2. TRIASE
Prinsip – prinsip triase yang utama sekali harus dilakukan adalah: 1. Triase umumnya
dilakukan untuk seluruh pasien 2. Waktu untuk Triase per orang harus lebih dari 30 detik 3.
Prinsip utama Triase adalah melaksanakan prioritas dengan urutan “nyawa” > “fungsi” >
“penampilan”. 4. Pada saat melakukan Triase, maka kartu Triase akan dipasangkan kepada
korban luka untuk memastikan urutan prioritasnya (Zailani, dkk, 2009).
Triase (Triage) berasal dari kata perancis yang berarti “menyeleksi”. Dulu istilah ini
dipakai untuk menyeleksi buah anggur untuk membuat minuman anggur yang bagus atau
memisahkan biji kopi sesuai kualitasnya. Setelah itu, konsepnya semakin berkembang dan
konsep yang dipakai seperti sekarang ini ditetapkan setelah perang dunia I. Triase bencana
adalah suatu sistem untuk menetapkan prioritas perawatan medis berdasarkan berat ringannya
suatu penyakit ataupun tingkat kedaruratannya, agar dapat dilakukan perawatan medis yang
terbaik kepada korban sebanyak-banyaknya, di dalam kondisi dimana tenaga medis maupun
sumber-sumber materi lainnya serba terbatas (Zailani dkk, 2009).
Menurut Kathleen dkk (2008), triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan
terfokus dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia,
peralatan serta fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau
menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas
penanganannya.
Menurut Pusponegoro (2010), triase berasal dari bahasa Prancis trier bahasa Inggris
triage dan diturunkan dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Yaitu proses khusus
memilah pasien berdasarkan beratnya cedera atau penyakit untuk menentukan jenis perawatan
gawat darurat.
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat
kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas penanganan dan
sumber daya yang ada (Wijaya, S, 2010).
 Prinsip-prinsip Triase
Prinsip – prinsip triase yang utama sekali harus dilakukan adalah:
a. Triase umumnya dilakukan untuk seluruh pasien
b. Waktu untuk Triase per orang harus lebih dari 30 detik
c. Prinsip utama Triase adalah melaksanakan prioritas dengan urutan “nyawa”
> “fungsi” > “penampilan”.
d. Pada saat melakukan Triase, maka kartu Triase akan dipasangkan kepada
korban luka untuk memastikan urutan prioritasnya (Zailani, dkk, 2009).
 Metode Triase
Simple Triage and Rapid Treatment (START) adalah metode yang telah
dikembangkan atas pemikiran bahwa Triase harus “akurat”, “cepat”, dan “universal”. Metode
tersebut menggunakan 4 macam observasi yaitu, “bisa berjalan”, “bernafas”, “sirkulasi
darah”, dan “tingkat kesadaran” untuk menentukan tindakan dan penting sekali bagi seluruh
anggota medis untuk mampu melakukan Triase dengan metode ini (Zailani, dkk, 2009).
Untuk alur pelaksanaan triase pada korban bencana massal, dapat dilihat pada skema
berikut :

 Kategori Triase
Korban yang nyawanya dalam keadaan kritis dan memerlukan prioritas utama
dalam pengobatan medis diberi kartu merah. Korban yang dapat menunggu untuk beberapa
jam diberi kartu kuning, sedangkan korban yang dapat berjalan sendiri diberi kartu hijau.
Korban yang telah melampaui kondisi kritis dan kecil kemungkinannya untuk diselamatkan
atau telah meninggal diberi kartu hitam. Dalam kondisi normal, pasien yang sudah diambang
kematian dapat diselamatkan dengan pengobatan yang serius walaupun kemungkinannya
sangat kecil. Para petugas medis yang sudah terbiasa memberikan pelayanan medis yang
maksimal dan pantang menyerah terhadap pasien dengan kondisi seperti itu, mungkin akan
dihinggapi perasaan berdosa saat memberikan kartu hitam kepada korban. Disinilah letak
perbedaan antara pengobatan darurat dengan prinsip “terbaik untuk satu orang” dan
pengobatan bencana dengan prinsip “terbaik untuk semua” (Zailani, dkk, 2009).
Tabel. Kategori Triase

Prioritas Warna Kode Kategori Kondisi Penyakit / Luka


1 Merah I Priorotas Memerlukan pengobatan dengan
utama segera karena dalam kondisi yang
pengobatan sangat kritis yaitu tersumbatnya jalan

napas, dyspnea, pendarahan, syok,


hilang kesadaran.
menunggu untuk beberapa jam dan tidak akan
pengobatan berpengaruh terhadap nyawanya.

Tanda-tanda vital stabil.


3 Hijau III Ringan Mayoritas korban luka yang dapat
berjalan sendiri mereka dapat
melakukan rawat jalan.
4 Hitam 0 Meninggal Korban sudah meninggal ataupun
tidak dapat diselamatkan.
 Kartu Triase
Hasil Triase dicatat secara sederhana di kartu triase, kemudian digantungkan
di leher atau di salah satu tangan dan kaki pasien. Triase bukanlah proses
yang dilakukan berulang kali untuk memonitor apakah terjadi perubahan
pada kondisi pasien. Jadi, prosesnya perlu dilakukan setiap saat pada korban
atau berulang-ulang ketika mereka akan dipindahkan ke lokasi baru, misalnya
ditempat bencana, pusat pertolongan pertama, sebelum diangkut, di pintu masuk
rumah sakit, sebelum operasi/pembedahan, dan lain-lain (Zailani, dkk, 2009).

Triase lapangan dilakukan pada tiga kondisi:


1. Triase di Tempat (Triase Satu)
Triase ditempat dilakukan di “tempat korban ditemukan” atau pada tempat
penampungan yang dilakukan oleh tim pertolongan pertama atau tenaga medis
gawat darurat. Triase di tempat mencakup pemeriksaan, klasifikasi, pemberian
tanda dan pemindahan korban ke pos medis lanjutan.
2. Triase Medik
Triase ini dilakukan saat korban memasuki pos medis lanjutan oleh tenaga
medis yang berpengalaman (sebaiknya dipilih dari dokter yang bekerja di Unit
Gawat Darurat, kemudian ahli anestesi dan terakhir oleh dokter bedah). Tujuan
triase medis adalah menentukan tingkat perawatan yang dibutuhkan oleh korban.

3. Triase Evakuasi
Triase ini ditujukan kepada korban yang dapat dipindahkan ke rumah sakit yang
telah siap menerima korban bencana masal. Jika pos medis lanjutan dapat
berfungsi efektif, jumlah korban dalam status “merah” akan berkurang, dan
akan diperlukan pengelompokkan korban kembali sebelum evakuasi
dilaksanakan. Tenaga medis di pos medis lanjutan dengan berkonsultasi dengan
pos komando dan rumah sakit tujuan berdasarkan kondisi korban akan membuat
keputusan korban mana yang harus dipindahkan terlebih dahulu, rumah sakit
tujuan, jenis kendaraan dan pengawalan yang akan dipergunakan.

Contoh kartu triase:


No. Nama Umur Jeni
s
L P
Alamat Telepon
Pelaksanaan Triase: Nama
Tanggal : Pukul : Petugas
AM
Institusi Pengangkutan Institusi pelayanan Medis
Lokasi Pelaksanaan Triase
V Kesadaran Sadar total, Sadar setelah
I distimulasi
T Sadar, Tidak sadar
Pernapasan Sulit Napas, Tidak bernapas
A
/ Menit
L
Denyut / Menit Teratur, tidak teratur, tidak
teraba
S
Tekanan Darah / MmHg
I
G
N

Kategori Triase
0 I II
III
IV. PENGKAJIAN KEPERAWATAAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

A. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen
segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari
Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang
mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009)
:
 Airway maintenance dengan cervical spine protection
 Breathing dan oxygenation
 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
 Disability-pemeriksaan neurologis singkat
 Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap
langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika
langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat
melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan
peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai
pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary
survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci
untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh
pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR
(assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza., & Pletz,
2009) :

a) General Impressions
 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
 Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
 Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas.
Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson,
2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang
belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada
kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah
pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan
bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial
penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko
untuk mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
 Lakukan intubasi
c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson &
Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds,
dan penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.

 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.


 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter
dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar),
jika diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi
sesuai kebutuhan.
d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.
Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan
pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin,
penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-
tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah
terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan
pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension
pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan
eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan
dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan
secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
f) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga
memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan.
Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya
selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup
pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan
ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa,
maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan
mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)
Alur Primary Survey pada Pasien Medical Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care Council,
2012) :
B. Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to
toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah
kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok
telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan
bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat
masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency
Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh
langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien
yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang
pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan
memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah,
maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau vertebra
lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga
(Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan kondisi
pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat digunakan beberapa
pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association, 2007):
 C. have you ever felt should Cut down your drinking?
 A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
 G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
 E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver or get
rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah konsumsi
alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam proses
pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam setahun terakhir ini
seberapa sering pasanganmu” (Emergency Nursing Association, 2007):
 Hurt you physically?
 Insulted or talked down to you?
 Threathened you with physical harm?
 Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :
 Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyerinya
lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan
saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
 Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam,
ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien
mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
 Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri terlokalisasi
di satu titik atau bergerak?
 Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada
nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
 Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa lama
nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah
merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya
atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-
tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen,
tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut
Emergency Nurses Association,(2007).

Komponen Nilai normal Keterangan


Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau
monitor tekanan intracranial
dengan pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas,
pengaruh lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan injury.
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi
perlu dievaluais irama
jantung, frekuensi, kualitas
dan kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi
meliputi frekuensi, auskultasi
suara nafas, dan inspeksi dari
usaha bernafas. Tada dari
peningkatan usah abernafas
adalah adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi
interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat
penuh.
Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan
hal ini penting bagi pasien
dengan gangguan respirasi,
penurunan kesadaran,
penyakit serius dan tanda
vital yang abnormal.
Pengukurna dapat dilakukan
di jari tangan atau kaki.
Tekanan darah 120/80mmHg Tekana darah mewakili dari
gambaran kontraktilitas
jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan tahanan
vaskuler perifer. Tekanan
sistolik menunjukkan cardiac
output, seberapa besar dan
seberapa kuat darah itu
dipompakan. Tekanan
diastolic menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.
Berat badan Berat badan penting diketahui
di UGD karena berhubungan
dengan keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi
lain yang tergantung dengan
berat badan.

2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang dengan cedera
ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita.
Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi,
laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta
adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit.
Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah
pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus,
ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah
konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri,
gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan,
serta diplopia
2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan
palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai
keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
4) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan
daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,
pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil
meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon
nyeri
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,
edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan
suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap
jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi.
Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder..

d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,
ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan
tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker,
frekuensi dan irama denyut jantung, (lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi
jantung (murmur, gallop, friction rub)

e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada
keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan
kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri
tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya
trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites,
luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka ,
dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas
(ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang
hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan
DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi
organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera
karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer
penderita ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).

f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis
menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam
keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk
mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema,
atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum
memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen
rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus
musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya
darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan
jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20
sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia
subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita,
walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi,
kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali
mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan
minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih
harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi,
hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.
(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa
untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat pelapasi
jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan,
jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra
kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah),
mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau
kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam,
lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot,
kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya
nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15
detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat
pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat
menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat
disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat
dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin
menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat
didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum
dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi syok
yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam keadaan
tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini
dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita
mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan
pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet,
luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada
kolumna vertebra periksa adanya deformitas.

i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam status neirologis dapat
dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna
vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar
servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan
yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja,
sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh
tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi
neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran
perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus
diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada
perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP
Dr. M.Djamil, 2006). Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran dalam
mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon sensori
C. Focused Assessment
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian pada area
keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey, secondary survey,
anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan pemeriksaan obyektif (Head to
toe). Di beberapa negara bagian Australia mengembangkan focused assessment ini dalam
pelayanan di Emergency Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA dan beberapa
Negara Eropa tidak menggunakan istilah Focused Assessment tetapi dengan istilah
Definitive Assessment (O’keefe et.al, 1998).
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa dilakukan
sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan. Yang paling
banyak dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik atau
bahkan dilakukan pemeriksaan ulangan dengan tujuan segera dapat dilakukan tindakan
definitif.

D. Reassessment
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali (reassessment)
yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di gawat darurat adalah :
Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro
Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask Airway ,
maupun Endotracheal Tube (salah satu dari
peralatan airway) tetap efektif untuk
menjamin kelancaran jalan napas.
Pertimbangkan penggunaaan peralatan
dengan manfaat yang optimal dengan risiko
yang minimal.

Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan


pasien :
 Pemeriksaan definitive rongga dada
dengan rontgen foto thoraks, untuk
meyakinkan ada tidaknya masalah
seperti Tension pneumothoraks,
hematotoraks atau trauma thoraks
yang lain yang bisa mengakibatkan
oksigenasi tidak adekuat
 Penggunaan ventilator mekanik
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin
perfusi jaringan khususnya organ vital tetap
terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta
menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat
penanganan resusitasicairan.
 Pemasangan cateter vena central
 Pemeriksaan analisa gas darah
 Balance cairan
 Pemasangan kateter urin

Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary


survey, perlu didukung dengan :
 Pemeriksaan spesifik neurologic yang
lain seperti reflex patologis, deficit
neurologi, pemeriksaan persepsi
sensori dan pemeriksaan yang lainnya.
 CT scan kepala, atau MRI

Exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan


 Rontgen foto pada daerah yang
mungkin dicurigai trauma atau fraktur
 USG abdomen atau pelvis

E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika penderita
dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan secondary
survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti :
1) Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien dengan perdarahan
dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi kita bisa mngethaui perdarahan yang
terjadi organ dalam. Pemeriksaan endoskopi dapat mendeteksi lebih dari 95% pasien
dengan hemetemesis, melena atau hematemesis melena dapat ditentukan lokasi perdarahan
dan penyebab perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan yaitu:
a. Esofagus :Varises,erosi,ulkus,tumor
b. Gaster :Erosi, ulkus, tumor, polip, angio
displasia, Dilafeuy, varises
gastropati kongestif
c. Duodenum :Ulkus, erosi,
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises dan
perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non variceal bleeding)
(Djumhana, 2011).

2) Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus
dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini dapat
menilai lebih baik pada mukosa saluran napas normal, hiperemis atau lesi infiltrat yang
memperlihatkan mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga dapat menilai
penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa intrabronkial, tumor intra
bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening,
yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening
subkarina atau intra bronkus (Parhusip, 2004).

3) CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus emergensi seperti
emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan menentukan tingkatan
dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan dan memisahkan antara
jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu, alat ini bagus juga untuk
menilai kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir, CT-scan dapat
mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke iskemik, dan menjadi baku emas dalam
diagnosis stroke (Widjaya, 2002). Pemeriksaaan CT. scan juga dapat mendeteksi kelainan-
kelainan seerti perdarahan diotak, tumor otak, kelainan-kelainan tulang dan kelainan
dirongga dada dan rongga perur dan khususnya kelainan pembuluh darah, jantung
(koroner), dan pembuluh darah umumnya (seperti penyempitan darah dan ginjal (ishak,
2012).
4) USG
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non invasif menggunakan gelombang
suara dengan frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz) untuk menghasilkan
gambaran struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat mendengar gelombang suara 20-
20.000 hertz .Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14 kilohertz digunakan untuk
diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat yang disebut transducer atau
probe. Obyek didalam tubuh akan memantulkan kembali gelombang suara yang kemudian
akan ditangkap oleh suatu sensor, gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan
ditayangkan di layar. Daerah yang tercakup tergantung dari rancangan alatnya.
Ultrasonografi yang terbaru dapat menayangkan suatu obyek dengan gambaran tiga
dimensi, empat dimensi dan berwarna. USG bisa dilakukan pada abdomen, thorak
(Lyandra, Antariksa, Syaharudin, 2011)

5) Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan di ruang
gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang
dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari suatu
katoda. Film polos dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut melintasi pasien
dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian besar radiasi
menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang dihasilkan tampak
berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap radiasi, meyebabakan pejanan pada film
maksimal sehingga film nampak berwarna hitam. Diantara kedua keadaan ekstrem ini,
penyerapan jaringan sangat berbeda-beda menghasilkan citra dalam skala abu-abu.
Radiologi bermanfaat untuk dada, abdoment, sistem tulang: trauma, tulang belakang,
sendi penyakit degenerative, metabolic dan metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi
penggunaannya dalam membantu diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan seharian di
departemen radiologi adalah pemeriksaan foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa
pentingnya pemeriksaan ini. Ini karena pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah
dan mudah dilakukan berbanding pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak,
2012).
6) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat digunakan pada
kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli paru,
udara bebas dalam peritoneum dan faktor. Kelemahan lainnya adalah prosedur
pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang
memiliki, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat diapaki pada pasien yang
memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran (Widjaya,2002).
VI KONSEP DASAR BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

1) Definisi

Bantuan hidup dasar (Basuc life support) adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga
jalan napas (airway) tetap terbuka, menunjang pernapasan dan sirkulasi dan tanpa
menggunakan alat-alat bantu (Soerianata, 1996).
Istilah basuc life support mengacu pada mempertahankan jalan nafas dan sirkulasi.
Basuc life support ini terdiri dari beberapa elemen: penyelamatan pernapasan (juga
dikenal dengan pernapasan dari mulut ke mulut) dan kompresi dada eksternal. Jika semua
digabungkan maka digunakan istilah Resusitasi Jantung Paru (RJP) (Handley, 1997).
Bantuan hidup dasar adalah tindakan darurat untuk membebaskan jalan napas,
membantu pernapasan dan mempertahankan sirkulasi darah tanpa menggunakan alat bantu
(Alkatiri, 2007).
2) Tujuan
Tujuan utama dari bantuan hidup dasar adalah suatu tindakan oksigenasi darurat
untuk mempertahankan ventilasi paru dan mendistribusikan darah-oksigenasi ke jaringan
tubuh (Alkatiri, 2007).
Tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat secara efektif pada organ
vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan
jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal (Latief, 2009).
3) Tindakan
Gambar Algoritma Bantuan HIdup Dasar

4) Periksa Respon dan Layanan Kedaruratan Medis

Berteriak didekat kuping Pemeriksaan kesadaran dilakukan untuk menentukan


pasien sadar atau tidak dengan cara memanggil, menepuk bahu atau wajah korban. Jika
pasien sadar, biarkan pasien dengan posisi yang membuatnya merasa nyaman, dan bila
perlu lakukan kembali penilaian kesadaran setelah beberapa menit. Jika pasien tidak
sadar segera meminta bantuan dengan cara berteriak “TOLONG!” atau dengan
menggunakan alat komunikasi dan beritahukan
dimana posisi anda (penolong) (ERC Guidelines, 2010).

Pemeriksaan kesadaran korban (sumber: European Resuscitation Council


Guidelines for Resuscitation 2010).korban “apakah anda baik- baik saja?”

5) Pembebasan Jalan Napas (Airway Support)

Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan
sebagian, dan progresif dan/atau berulang (ATLS, 2004). Penyebab utama obstruksi jalan
napas bagian atas adalah lidah yang jatuh kebelakang dan menutup nasofaring. Selain itu
bekuan darah, muntahan, edema, atau trauma dapat juga menyebabkan obstruksi tersebut.
Oleh karena itu, pembebasan jalan napas dan menjaga agar jalan napas tetap terbuka dan
bersih merupakan hal yang sangat penting dalam BLS (Van Way, 1990).
Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin
jatuh kebelakang dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat
segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin-lift maneuver) atau dengan
mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw-thrust maneuver). Tindakan-tindakan yang
digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera
spinal. Oleh karena itu, selama mengerjakan prosedur-prosedur ini harus dilakukan
immobilisasi segaris (in-line immobilization) dan pasien/korban harus diletakkan di atas
alas/permukaan yang rata dan keras (IKABI, 2004).
Teknik-teknik mempertahankan jalan napas (airway):

a. tindakan kepala tengadah (head tilt)

Tindakan ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan
penolong mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah (Latief dkk,
2009).
b. Tindakan dagu diangkat (chin lift)

Jari-jemari satu tangan diletakkan dibawah rahang, yang kemudian secara


hati-hati diangkat keatas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari dapat
juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan secara bersamaan
dagu dengan hati-hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan
hiperekstensi leher (IKABI, 2004)

Gambar. Head-tilt, chin-lift maneuver (sumber: European Resuscitation

Council Guidelines for Resuscitation 2010).


c. tindakan mendorong rahang bawah (jaw-thrust)

pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorong kedepan
pada sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher.
(Latief dkk, 2009).

Gambar Jaw-thrust maneuver (sumber: European Resuscitation Council

Guidelines for Resuscitation 2010).

6) Bantuan Napas dan Ventilasi (Breathing Support)

Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Pada keadaan normal, oksigen


diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke seluruh tubuh
(Smith,
2007).

Breathing support merupakan usaha ventilasi buatan dan oksigenasi dengan


inflasi tekanan positif secara intermitten dengan menggunakan udara ekshalasi
dari mulut ke mulut, mulut ke hidung, atau dari mulut ke alat (S-tube masker
atau bag valve mask) (Alkatri, 2007).
Breathing support terdiri dari 2 tahap :

1. Penilaian Pernapasan

Menilai pernapasan dengan memantau atau observasi dinding dada


pasien dengan cara melihat (look) naik dan turunnya dinding
dada, mendengar (listen) udara yang keluar saat ekshalasi, dan
merasakan (feel) aliran udara yang menghembus dipipi penolong
(Mansjoer, 2009).

Gambar Look, listen, and feel (sumber: European Resuscitation Council

Guidelines for Resuscitation 2010).

2. Memberikan bantuan napas

Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut (mouth-to-mouth),


mulut ke hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau mulut ke
mulut via sungkup (Latief dkk, 2009).
a. Pada bantuan napas mulut-ke-mulut (mouth-to-mouth) jika tanpa alat,
maka penolong menarik napas dalam, kemudian bibir penolong
ditempelkan ke bibir pasien yang terbuka dengan erat supaya tidak bocor
dan udara ekspirasi dihembuskan ke mulut pasien sambil menutup kedua
lubang hidung pasien dengan cara memencetnya.

Gambar Ventilasi buatan mulut ke mulut (sumber: European

Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010).

b. Pada bantuan napas mulut-ke-hidung (mouth-to-nose), maka udara


ekpsirasi penolong dhembuskan kehidung pasien sambil menutup mulut
pasien. Tindakan ini dilakukan kalau mulut pasien sulit dibuka (trismus)
atau pada trauma maksilo-fasial.
c. Pada bantuan napas mulut-ke-sungkup pada dasarnya sama dengan mulut-
ke-mulut. Bantuan napas dapat pula dilakukan dari mulut-ke-stoma atau
lubang trakeostomi pada pasien pasca bedah laringektomi.
Frekuensi dan besar hembusan sesuai dengan usia pasien apakah korban bayi,
anak atau dewasa. Pada pasien dewasa, hembusan sebanyak 10-12 kali per
menit dengan tenggang waktu antaranya kira-kira 2 detik. Hembusan
penolong dapat menghasilkan volum tidal antara 800-1200 ml (Latief dkk,
2009).

7) Sirkulasi (Circulation Support)

Merupakan suatu tindakan resusitasi jantung dalam usaha mempertahankan


sirkulasi darah dengan cara memijat jantung, sehingga kemampuan hidup sel-sel saraf
otak dalam batas minimal dapat dipertahankan (Alkatri, 2007).
Dilakukan dengan menilai adanya pulsasi arteri karotis. Penilaian ini
maksimal dilakukan selama 5 detik. Bila tidak ditemukan nadi maka dilakukan
kompresi jantung yang efektif, yaitu kompresi dengan kecepatan 100 kali per menit,
kedalaman 4-5 cm, memberikan kesempatan jantung mengembang (pengisian
ventrikel), waktu kompresi dan relaksasi sama, minimalkan waktu terputusnya
kompresi dada. Rasio kompresi dan ventilasi 30:2 (Mansjoer, 2009).

Tempat kompresi jantung luar yang benar ialah bagian tengah separuh bawah
tulang dada. Pada pasien dewasa tekan tulang dada kebawah menuju tulang punggung
sedalam 3-5 cm sebanyak 60-100 kali per menit.tindakan ini akan memeras jantung
yang letaknya dijepit oleh dua bangunan tulang yang keras yaitu tulang dada dan
tulang punggung. Pijatan yang baik akan menghasilkan denyut nadi pada karotis dan
curah jantung sekitar 10-15% dari normal (Latief dkk, 2009).

Gambar. Posisi penolong pijat jantung (sumber: European Resuscitation

Council Guidelines for Resuscitation 2010).

Periksa keberhasilan tindakan resusitasi jantung paru dengan memeriksa


denyut nadi arteri karotis dan pupil secara berkala. Bila pupil dalam keadaan
konstriksi dengan reflex cahaya positif, menandakan oksigenasi aliran darah otak cukup.
Bila sebaliknya yang terjadi, merupakan tanda kerusakan otak berat dan resusitasi dianggap
kurang berhasil (Alkatiri, 2007).
Penghentian RJP

Hentikan usaha RJP jika terjadi hal-hal berikut:

a. Korban sadar kembali (dapat bernapas dan denyut nadi teraba kembali).
b. Digantikan oleh penolong terlatih lain atau layanan kedaruratan medis.
c. Penolong kehabisan tenaga untukmelanjutkan RJP.
d. Keadaan menjadi tidak aman.
(Asih, 1996)
8) Posisi Pemulihan (Recovery Position)

Recovery position dilakukan setelah pasien ROSC (Return of Spontaneous

Circulation). Urutan tindakan recovery position meliputi:

a. Tangan pasien yang berada pada sisi penolong diluruskan ke atas

b. Tangan lainnya disilangkan di leher pasien dengan telapak tangan pada


pipi pasien
c. Kaki pada sisi yang berlawanan dengan penolong ditekuk dan ditarik ke
arah penolong, sekaligus memiringkan tubuh korban ke arah penolong
Dengan posisi ini jalan napas diharapkan dapat tetap bebas (secure
airway) dan mencegah aspirasi jika terjadi muntah. Selanjutnya, lakukan
pemeriksasn pernapasan secara berkala (Resuscitation Council UK, 2010).

Gambar Recovery position (sumber: European Resuscitation Council

Guidelines for Resuscitation 2010)

9) Indikasi Bantuan Hidup Dasar

Tindakan RJP sangat penting terutama pada pasien dengan cardiac


arrest karena fibrilasi ventrikel yang terjadi di luar rumah sakit, pasien di
rumah sakit dengan fibrilasi ventrikel primer dan penyakit jantung iskemi, pasien
dengan hipotermi, overdosis, obstruksi jalan napas atau primary respiratory arrest
(Alkatiri dkk, 2007).
Pada beberapa keadaan, tindakan resusitasi tidak dianjurkan (tidak efektif),
antara lain: bila henti jantung (arrest) telah berlangsung lebih dari 5 menit (oleh
karena biasanya kerusakan otak permanen telah terjadi pada saat ini), pada
keganasan stadium lanjut, payah jantung refrakter, edema paru-paru refrakter, syok
yang mendahului arrest, kelainan neurologic yang berat, serta pada penyakit
ginjal, hati dan paru yang lanjut (Alkatiri dkk, 2007).

10) Henti Napas (Respiratory Arrest)

Henti Napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya
serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas,
obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir,
serangan infark jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-
lain (Latief dkk, 2009).
Tanda dan gejala henti napas berupa tidak sadar (pada beberapa kasus terjadi
kolaps yang tiba-tiba), pernapasan tidak tampak atau pasien bernapas dengan
terengah-engah secara intermitten, sianosis dari mukosa buccal dan liang
telinga, pucat secara umum, nadi karotis teraba (Muriel, 1995).
Pada awal henti nafas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit.
Kalau henti napas mendapat pertolongan dengan segera maka pasien akan
terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung
yang mungkin menjadi fatal (Latief dkk, 2009).

11) Henti Jantung (Cardiac Arrest)

Henti jantung adalah keadaan terhentinya alran darah dalam system sirkulasi
tubuh secara tiba-tiba akibat terganggunya efektifitas kontraksi jantung saat sistolik
(Mansjoer, 2009).
Berdasarkan etiologinya henti jantung disebabkan oleh penyakit jantung
(82,4%); penyebab internal nonjantung (8,6%) seperti akibat penyakit paru,
penyakit serebrovaskular, penyakit kanker, perdarahan saluran cerna
obstetrik/pediatrik, emboli paru, epilepsi, diabetes mellitus, penyakit ginjal; dan
penyebab eksternal nonjantung (9,0%) seperti akibat trauma, asfiksisa, overdosis
obat, upaya bunuh diri, sengatan listrik/petir (Mansjoer, 2009).
Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti napas.
Umumnya walaupun kegagalan pernapasan telah terjadi, denyut jantung dan
pembuluh darah masih dapat berlangsung terus sampai kira-kira 30 menit. Pada
henti jantung dilatasi pupil kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi pupil mulai terjadi
45 detik setelah aliran darah ke otak berhenti dan dilatasi maksimal terjadi dalam
waktu 1 menit 45 detik. Bila telah terjadidilatasi pupil maksimal, hal ini
menandakan sudah 50% kerusakan otak irreversible (Alkatiri dkk, 2007).
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis, femoralis,
radialas), disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau
satu- satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi dengan ranngsang cahaya dan
pasien dalam keadaan tidak sadar (Latief dkk, 2009).
STAANDAR OPERASIONAL PROSEDURE
Spinal Log Roll
(Prosedur Operasional Tetap)
Judul SOP : Spinal Log Roll
No. Dokumen :
No. Revisi :
Tanggal Mulai Berlaku :
Halaman :

I Pengertian

Log roll adalah sebuah teknik yang digunakan untuk memiringkan klien yang
badannya setiap saat dijaga pada posisi lurus sejajar (seperti sebuah batang kayu).

II Tujuan

Mempertahankan alignment anatomis yang benar dalam usaha untuk mencegah


kemungkinan cedera neurologis lebih lanjut dan mencegah penekanan area cedera.

III Tenaga

1. Satu penolong untuk menahan kepala klien


2. Dua penolong untuk menahan dada, abdomen dan lengan bawah.
Tambahan satu orang mungkin juga akan dibutuhkan pada saat
melakukan log roll klien trauma yang gemuk, tinggi atau memiliki cedera
pada lengan bawah.
3. Satu penolong melakukan prosedur yang dibutuhkan (misalnya pengkajian
tulang belakang klien).
IV Indikasi

1. Pasien Trauma Spinal


2. Prosedur log roll diimplementasikan pada tahapan-tahapan manajemen
pasien trauma termasuk :
 Sebagai bagian dari primary and secondary survey untuk
memeriksa tulang belakang klien.
 Sebagai bagian dari proses pemindahan dari dan ke tempat tidur
(seperti di radiologi)
 Untuk pemberian perawatan collar servikal atau area tertekan
 Memfasilitasi fisioterapi dada dan lain-lain.
V Sarana Medis

1. Handscoon

VI Prosedur Pelaksanaan

1. Jelaskan prosedur pada pasien dengan mempertimbangkan status


kesadaran klien dan minta klien untuk tetap berbaring dan menunggu
bantuan. Pastikan colar terpasang dengan benar.
2. Jika mungkin, pastikan peralatan seperti kateter indwelling, kateter
interkosta, ventilator tube dan lain-lain pada posisinya untuk mencegah
overekstensi dan kemungkian tertarik keluar selama perubahan posisi.
3. Jika klien diintubasi atau terpasang tracheostomy tube, suction jalan nafas
sebelum log roll dianjurkan, untuk mencegah batuk yang mugkin
menyebabkan malalignment secra anatomis selama prosedur log roll.
4. Tempat tidur harus diposisikan sesuai tinggi badan penolong yang
menahan kepala dan penolong lainnya.
5. Klien harus dalam posisi supine dan alignment secara anatomis selama
prosedur log roll.
6. Tangan proksimal klien harus diaduksi sedikit untuk menghindari
berpindah ke peralatan monitor misalnya selang intravena perifer. Tangan
distal klien harus diekstensikan dengan alignment pada thorak dan
abdomen, atau tekuk kearah dada klien jika mungkin misalnya jika tangan
cedera. Satu bantal harus ditepatkan diantara kaki-kaki klien.
7. Penolong 1, bantu menahan bagian atas badan klien, tempatkan satu
tangan melampaui bahu klien untuk menopang area dada posterior, dan
tangan yang lain melingkari paha klien.
8. Penolong 2, bantu menahan abdomen dan tangan bawah klien, bertumpuk
dengan penolong 1 untuk menempatkan satu tangan di bawah punggung
klien, dan tangan lainnya melingkari betis klien.

9. Dengan aba-aba dari penolong panahan kepala, klien diputar secara


alignment anatomis denga tindakan yang lembut.

10. Satu penolong melakukan prosedur yang dibutuhkan (misalnya pengkajian


tulang belakang klien; catat jika terdapat brushing, jejas pada daerah
belakang atau punggung Klien).
11. Penyelesaian aktivitas, penolong penahan kepala akan memberi aba-aba
untuk mengembalikan klien pada posisi lateral dengan bantal penahan.
Klien harus ditingggalkan dalam posisi alignment anatomis yang benar
setiap waktu
VII Dokumentasi
DAFTAR TILIK
Spinal Log Roll
(Prosedur Operasional Tetap)
Judul SOP : Spinal Log Roll
No. Dokumen :
No. Revisi :
Tanggal Mulai Berlaku :
Halaman :

Dilakukan Ket

KELENGKAPAN SARANA Ya Tida


k

1. Handscoon
2. Brankar
3. Tandu
Standar Operasional Prosedur

Memulai Prosedur

1. Jelaskan prosedur pada pasien dengan mempertimbangkan status


kesadaran klien dan minta klien untuk tetap berbaring dan
menunggu bantuan. Pastikan colar terpasang dengan benar.

2. Jika mungkin, pastikan peralatan seperti kateter indwelling, kateter


interkosta, ventilator tube dan lain-lain pada posisinya untuk
mencegah overekstensi dan kemungkian tertarik keluar selama
perubahan posisi.

3. Jika klien diintubasi atau terpasang tracheostomy tube, suction jalan


nafas sebelum log roll dianjurkan, untuk mencegah batuk yang
mugkin menyebabkan malalignment secara anatomis selama
prosedur log roll.
4. Tempat tidur harus diposisikan sesuai tinggi badan penolong yang
menahan kepala dan penolong lainnya.

5. Klien harus dalam posisi supine dan alignment secara anatomis


selama prosedur log roll.

6. Tangan proksimal klien harus diaduksi sedikit untuk menghindari


berpindah ke peralatan monitor misalnya selang intravena perifer.
Tangan distal klien harus diekstensikan dengan alignment pada
thorak dan abdomen, atau tekuk kearah dada klien jika mungkin
misalnya jika tangan cedera. Satu bantal harus ditepatkan diantara
kaki-kaki klien.

7. Penolong 1, bantu menahan bagian atas badan klien, tempatkan satu


tangan melampaui bahu klien untuk menopang area dada posterior,
dan tangan yang lain melingkari paha klien.
8. Penolong 2, bantu menahan abdomen dan tangan bawah klien,
bertumpuk dengan penolong 1 untuk menempatkan satu tangan di
bawah punggung klien, dan tangan lainnya melingkari betis klien.
9. Dengan aba-aba dari penolong panahan kepala, klien diputar secara
alignment anatomis denga tindakan yang lembut.
10. Satu penolong melakukan prosedur yang dibutuhkan (misalnya
pengkajian tulang belakang klien; catat jika terdapat brushing, jejas
pada daerah belakang atau punggung Klien).
11. Penyelesaian aktivitas, penolong penahan kepala akan memberi
aba-aba untuk mengembalikan klien pada posisi lateral dengan
bantal penahan. Klien harus ditingggalkan dalam posisi alignment
anatomis yang benar setiap waktu
Mendokumentasikan dalam catatan

Mencatat semua hasil pemeriksaan dan tindakan pada pasien yaitu hari/
tanggal pemeriksaan, nama pasien, umur pasien, alamat pasien,hasil
tindakan, dan nama petugas.
Nilai Protap Tindakan
(1 x.....) + (4
x.....) =

19

I. Responsi
Nilai
No. Aspek yang Dinilai Keterangan
1 2 3 4

1 Ketepatan Menjawab

2 Kemampuan mengemukakan rasional

3 Kejelasan mengemukakan pendapat

4 Penampilan, sikap selama respone

Nilai Responsi
(1 x.....) + (2 x.....) + (3 x......) + (4 x.....)
=
4

II. Sikap
Nilai
No. Aspek yang Dinilai Keterangan
1 2 3 4

1 Etis

2 Dedikatif

3 Santun

Nilai Sikap
(1 x.....) + (2 x.....) + (3 x......) + (4 x.....)
=
3

Nilai Akhir
(60% x Nilai I) + (30% x Nilai II) + (10% x Nilai III) =...................
Keterangan penilaian
1. Nilai Protap Tindakan
 Ya bernilai angka “1”
 Tidak bernilai angka “4”
2. Nilai Responsi dan Nilai Sikap
 1 = Kurang
 2 = Cukup
 3 = Baik
 4 = Baik Sekali

Palangka Raya, Kamis, 30 Juni 2022

Penguji,

……

Pembalutan dan Pembidaian

Anda mungkin juga menyukai