Anda di halaman 1dari 10

PENGURUS BESAR

PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII)


‫الطلبة المسلمون االندونسيون‬
(Central Board of Indonesian Moslem Student’s Association)
Sekretariat :Jl. Menteng Raya No. 58 Jakarta Pusat 10340 - Indonesia Telp./Fax.(021)3153572,
Hp.081284468131 website: www.pbpii.org email: pbpii.untukindonesia@gmail.com

Nomor : PB/SEK/093/VIII/1444-2022
Lamp :-
Hal : Himbauan

Yang Kami Hormati


PW PII, PD PII, Serta Kader PII se-Nasional
di -
Tempat

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Salam silaturahmi kami sampaikan kepada kawan-kawan Kader PII se-


Nasional, semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan dan
kemudahan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari, Aamiin.

Sehubungan telah dirilisnya hasil kajian PB PII terkait Isu Pendidikan


Nasional, maka dengan ini kami Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia.
Menyerukan kepada seluruh Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah serta
Kader PII se-Nasional untuk melakukan :

1. Mengkaji peta permasalahan Pendidikan di wilayah dan daerah.


2. Melakukan konsolidasi dengan masyarakat melalui Tandatangan Petisi.
3. Memasang Baliho/Spanduk di Sekretariat masing-masing dengan tema
“Pendidikan Gagal Merdeka”.
4. Melakukan Aksi Masa dan Simpatik jika memungkinkan di Wilayah dan
Daerah masing-masing.

Adapun hasil kajian Isu Pendidikan PB PII disampaikan secara terlampir.

Demikian surat ini kami sampaikan dengan maksud memperkokoh gerkan


PII yang solid dan terstuktur. Semoga dapat dipahami sebagaimana mestinya.
Atas dukungan dan kerjasamanya kami mengucapkan Jazaakumullah
KhairanKatsiraan.

Billahittaufiq Wal Hidayah


Wassalamu’alaikumWr. Wb
Jakarta, 17 Muharam 1443 H
15 Agustus 2021 M

PENGURUS BESAR
PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII)
PERIODE 2021-2023

RAFANI TUAHUNS AZIZ FAUZUL ADZIM


Ketua Umum Sekretaris Jendral
Press Release
Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia
77 Tahun Pendidikan Gagal Merdeka
“Menagih Tanggung Jawab Negara atas Hak Pendidikan”
Jakarta, 15 Agustus 2020
Pendidikan merupakan salah satu agenda penting dalam pembangunan sumber daya manusia di Indonesia,
atas kesadaran itu juga sejatinyan Undang-undang dasar 1945 telah menegaskan pendidikan sebagai bagian
orientasi yang dimuat didalam tubuhnya. Pasal 30 UUD 1945 mencantumkan beebrapa hal fundamental
terkait Pendidikan.
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur
dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelengaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama
dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.1
Dari muatan UUD 1945 tersebut kita dapat memahami bahwasannya pendidikan merupakan hak bagi warga
negara yang harus terpenuhi serta patut diushakan oleh pemerintah, baik dalam infrastruktur, konten dan
hal lainnya yang menunjang terhadap kelancaran proses pendidikan di Indonesia.
Pada praktiknya pelaksanaan pendidikan masih jauh dari amanat UUD 1945 sebagai landasan hukum
bernegara di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari persoalan-persoalan yang muncul ke permukaan,
mulai dari masalah ketimpangan, isu korupsi juga persoalan kebijakan dan system pemerintahan yang gagal
mengakomodir kepentingan masyarakat.
Data bps yang dirilis pada 2020 setidaknya telah menunjukan Kesenjangan pendidikan antar kelompok
ekonomi yang masih menjadi permasalahan dan semakin lebar seiring dengan semakin tingginya jenjang
pendidikan. Kesenjangan pendidikan juga masih tinggi apabila dibandingkan antar wilayah. Pembelajaran
berkualitas juga belum berjalan secara optimal dan merata antar wilayah.2
Kondisi tersebut makin mencekam dengan angka anak putus sekolah Pada 2020, ada 44.516 orang anak
yang putus sekolah di tingkat SD. Kemudian, jumlah anak putus sekolah di tingkat sekolah menengah
pertama (SMP) yakni sebanyak 15.042 orang, Jumlah ini naik 32,20% dari tahun sebelumnya yang
sebanyak 11.378 orang. Berikutnya, sebanyak 12.063 orang anak putus sekolah di tingkat sekolah
menengah kejuruan (SMA/Sederajat).

1
UUD 1945, Pasal 30 ayat 1-5.
2
Bps, 2020. Potret Pendidikan Indonesia “Statistik Pendidikan ”.
Alih-alih melakukan perubahan terhadap Pendidikan, Negara malah membuat gaduh dengan melakukan
reformulasi terhadap sistem pendidikan Nasional melalui RUU Sisdiknas 2022. Rencana tersebutpun
menuai banyak penolakan dari berbagai organasisasi, praktisi dan pengamat pendidikan dengan alasan
RUU yang dirancang terkesan memaksakan.
Ada bebrapa hal yang kemudian menjadi catatan PB PII terhadap RUU Sisdiknas 2022 yang diusulkan oleh
kemendikbudristek.
- Cacat Proses
Perumusan RUU sisdiknas minim melibatkan partsipasi public serta dirasa tidak transparan, hal ini
bisa dilihat dari prosesnya yang Tidak mengindahkan Asas pembentukan peraturan perundang-
undangan dalam undang-undang republic Indonesia no. 12 tahun 2011 tentang peraturan
pembentukan Perundang-undangan pasal 5. Sehingga tidak setiap pemilik kepentingan
mendapatkan akses penuh terhadap rancangan UU Sisdiknas

- Menjadikan Pelajar Objek Pendidikan


Tidak ada hak pelajar, Dalam RUU Sisdiknas hanya memuat Hak Warga Negara (pasal 7), Orang
Tua (Pasal 9) dan Pemerintah (Pasal 13). Sementara Hak Pelajar tidak diatur dalam Undang Undang
Sementara dalam UU Sisdiknas 2003 disediakan Porsi Hak bagi Peserta didik / Pelajar dalam pasal
12.
Evaluasi hanya ditujukan pada Pelajar, Pasal Bab XIII evaluasi hanya terdiri antara Evaluasi Pelajar
dan Evaluasi Sistem Pendidikan (pasal 101). Dari 9 pasal evaluasi, tidak ada poin keterlibatan
pelajar dalam proses evaluasi pendidikan (Pasal 102 – 111)
- Mengerdilkan Makna Pendidikan
Dari total 155 Pasal yang ada hanya 5 pasal yang menyinggung pendidikan Non-Formal (23 – 28)
dan 1 pasal pendidikan informal (29) serta 1 pasal yang menyingung Kelompok masyarakat dengan
Kondisi kesulitan akses Pendidikan (73)
- Menjerumuskan Lebih dalam Pendidikan Ke Paradigma Liberal
RUU Sisdiknas mendorong lebih jauh paradigma pendidikan nasional ke corak Liberalisme
Pendidikan dalam Rancangan Revisi Uu Sisdiknas dalam jenis pendidikan semua berorientasi pada
dunia kerja dan usaha, terlebih ada wewenang Dunia Usaha dan Industri untuk terlibat merumuskan
Kurikulum (95)
Usaha untuk mengawal Ruu Sisdiknas sudah banyak dilakukan bukan hanya oleh PII tetapi juga oleh
kelompok guru, Praktisi, akademisi dan elemen lainnya. Salah satu bentuk ikhtiar dari beberapa elemen ini
juga terimplementasikan dalam Website Kawalruusisdiknas.Id yang ditujukan untuk masyarakat luas yang
berkepentingan terhdap dunia Pendidikan
Kemerdekaan Telah “Mati”
Menyatir dari portal daring Tirto.id, kebijakan Kampus Merdeka menurut Mendikbud Nadiem Makarim
dapat “melepaskan belenggu kampus agar lebih mudah bergerak”. Lebih mudah bergerak dalam hal apa
juga belum disebutkan. Apakah lebih mudah bergerak untuk komersialisasi pendidikan?
Kebijakan Kampus Merdeka mengubah beberapa hal, seperti sistem akreditasi perguruan tinggi, hak belajar
tiga semester di luar prodi, kemudahan PTN untuk menjadi PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan
Hukum), dan izin perguruan tinggi untuk membuka prodi baru. Poin kemudahan menjadi PTN BH menjadi
sorotan. Dalam buku berjudul Melawan Liberalisasi Pendidikan (2013) garapan Darmaningtyas, dkk.
misalnya, dijelaskan bahwa PTN BH pada dasarnya melepaskan tanggung jawab negara dalam menjamin
pendidikan bagi warganya.
Padahal, kita mafhum setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan tertuang dalam UUD 1945
Pasal 31 Ayat 1. PTN-BH, singkatnya, menjadikan kampus harus bisa bergerak sendiri mencari pendanaan
untuk biaya operasional PTN. Hal itu kemudian berakibat pada biaya kuliah yang semakin tinggi.
Terlepas dari itu, kebijakan Merdeka Belajar—“Kampus Merdeka”—ini sekiranya bisa menarik bagi
mahasiswa, sebab kata Mas Nadiem, Merdeka Belajar menawarkan esensi kemerdekaan berpikir dalam
proses belajar-mengajar. Barangkali, kebijakan Kampus Merdeka selaras dengan pernyataan dari Bill
Beattie.
Bill Beattie (1912) menyatakan tujuan pendidikan seharusnya untuk mengajarkan kita cara bagaimana
berpikir, bukan apa yang harus dipikirkan. Kampus Merdeka menjadi harapan mahasiswa untuk bisa
berpikir dan berdiskusi di mimbar akademis dengan tenang tanpa hambatan. Akan tetapi, harapan terhadap
“kemerdekaan” dalam kegiatan akademis seperti halnya diskusi ilmiah dengan tema tertentu ternyata tidak
sepenuhnya dilindungi dan didukung oleh kebijakan “Kampus Merdeka”. Lalu apanya yang merdeka?
Kampus Merdeka dan Kebebasan Akademik
Kebijakan Kampus Merdeka tidak terlepas dari kritik. Robertus Robert, Sosiolog Universitas Negeri
Jakarta, dalam kolomnya berjudul Belenggu Kampus Merdeka (Majalah Tempo: 2020) menyatakan bahwa
universitas saat ini memang memerlukan kemerdekaan, tapi tidak sekadar merdeka dari ruang kuliah.
Universitas-universitas kita perlu merdeka dari rasa takut terhadap kritik, terhadap pengetahuan dan
kebenaran; merdeka dari birokratisasi, dari instrumentalisasi ekonomi.
Sebuah hal yang mendasar bahwa kebebasan akademik diakui dan dihormati secara universal. Kita bisa
ambil contoh di Indonesia saja, kebebasan akademik sudah dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Lebih khususnya lagi, kebebasan akademik sudah
diatur di undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang “Pendidikan Tinggi” Pasal 8 ayat (1) yang
menyatakan bahwa: “Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.”
Kebebasan akademik ialah kebebasan sivitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan tridarma.
Kebebasan akademik bukan hanya berlaku bagi dosen dan tenaga pendidikan saja, akan tetapi mahasiswa
juga. Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta
bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik. Sudah seharusnya kampus-kampus di Indonesia tidak
melarang bahkan wajib melindungi dan memfasilitasi kegiatan mahasiswa di mimbar kebebasan akademis.
Selain soal pelarangan diskusi, kita pun memiliki sejarah buruk soal kebebasan akademik. Misalnya saja,
sepanjang tahun 2019, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KKAI) mencatat setidaknya ada
enam kasus penyerangan terhadap kebebasan berpendapat dosen maupun mahasiswa di Indonesia. Kasus
itu meliputi terbunuhnya mahasiswa massa aksi, persekusi, ancaman pembunuhan, kriminalisasi,
pembubaran pers mahasiswa, hingga pemberian hukuman terhadap mahasiswa.
Menurut laporan dari organisasi hukum Lokataru Foundation mencatat sejak 2015 terdapat setidaknya
seratus sepuluh mahasiswa di Indonesia yang mendapatkan sanksi dari pihak kampus karena terlibat aksi
demo. Sepanjang September 2019 hingga Januari 2020 sebanyak 43 mahasiswa telah dijatuhi sanksi
dropout, sebelas sanksi skorsing setelah melakukan demonstrasi.
Menyoal demontrasi, kita teringat demonstrasi yang terjadi belakangan ini bertajuk “Tolak Omnibus Law
UU Cipta Kerja”. Sudah seharusnya Kemendikbud membela kampus dan mahasiswa yang belakangan ini
diserang, ditangkap, diintimidasi, bahkan hingga ditembak peluru karet.
Hal yang terjadi justru sebaliknya, Kemendikbud melalui suratnya tentang “Imbauan pembelajaran secara
daring dan sosialisasi UU Cipta Kerja”, yang isinya kurang lebih mengimbau mahasiswa tidak lagi ikut
unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja dan fokus kegiatan pembelajaran jarak jauh/daring.
Kemdikbud justru malah membela kepolisian dan melarangan hak berekspresi mahasiswa yang sudah kita
ketahui telah dijamin oleh UUD 1945. Yang tak kalah reaksionisnya, beberapakali Kemendikbudristek
dengan begitu terbukanya melakukan intervensi terhadap Lembaga Pendidikan (Sekolah Menengah)
melalui surat himbauan pada 8 April, dimana mengintruksikan kepada Lembaga dibawah mendikbud untuk
melakukan pencegahan terhadap Gerakan “STM Bergerak”
Apakah pelarangan demonstrasi ada kaitannya dengan penguasa? Dalam hal ini, Ben Laksana dalam
esainya di Indoprogres.com berjudul “Merdeka Belajar Gaya Menteri Nadiem: Apanya yang Merdeka?”
menyatakan pendidikan kita hari ini hanya menggiring kita menjadi homo economicus atau manusia
ekonomi semata.

Diharapkan Atau Malah Dipaksa


Pendidikan kita tak mengenal kebebasan. Tunduklah terhadap apa yang sudah ada, dan kita akan menjadi
warga negara yang ideal , yang diidamkan, yang menjadi panutan, tentunya di mata si pembuat aturan.
Mahasiswa “diharapkan atau malah dipaksa” tunduk dan menjadi homo economicus yang pro terhadap UU
Cipta Kerja, patuh, dan fokus kegiatan perkuliahan hingga akan lupa ada masyarakat yang harus dibela
karena hak-haknya terancam.
Dari berbagai macam bentuk pelarangan diskusi hingga serangan terhadap mimbar akademis, menjadi bukti
nyata bahwa “Kampus Merdeka” tak sepenuhnya merdeka. Padahal, kita sudah paham kampus memerlukan
kemerdekaan akademik. Kalau kata Robertus Robert, kemerdekaan akademik ialah jantung universitas. Ia
bukan sekadar norma yang ditunjukkan untuk melindungi akademikus mengajar, meneliti,
mempublikasikan pikiran, dan terlibat sebagai warga negara. Lebih dari itu, ia adalah syarat agar belajar itu
mungkin.
Kampus merdeka diharapkan bisa memberikan ruang kebebasan untuk menimba ilmu pengetahuan bagi
mahasiswa. Kemerdekaan mahasiswa dalam berpengetahuan dan “sinau” terhadap persoalan dan gejolak
yang terjadi di masyarakat. Seperti halnya dalam buku “Sekolah Itu Candu” gubahan Roem Topatimasang
yang menyatakan bahwa,
“Pelajar dan mahasiswa dipisahkan dari persoalan masyarakat yang sebenarnya. Mereka hanya belajar,
belajar, dan belajar. Padahal ketidakadilan terus berlangsung. Mereka mengejar ijazah sementara rakyat
megap-megap cari sesuap nasi. Apakah sekolah macam itu masih ada?”.
Kampus dimerdekakan, tapi belum tentu mahasiswanya merdeka. Jangan sampai kebijakan Kampus
Merdeka menjadi ironi, karena ketika kampusnya merdeka tetapi mahasiswanya tidak. Kita pun akan ingat
lagu berjudul “Merdeka” gubahan band indi asal Jakarta, Efek Rumah Kaca, lirik itu berbunyi, Kami adalah
orang yang merdeka/ Kami hidup dalam kebebasannya/ Damai lahir batinnya.
Salah kaprah Pendidikan, salah kiprah Kementrian
Percepatan Pembangunan Pendidikan Nasional, merupakan satu hal mendesak bagi masyarakat pelajar
Indonesia, di tengah-tengah masa depan yang akan penuh dengan persaingan baik tingkat nasional dengan
bonus demografi, ataupun persaingan di tingkat global. Orientasi pada kemajuan pendidikan dan reformasi
pendidikan serta digitalisasi sejak awal kepemimpinan Jokowi-maruf merupakan tema yang kerap diusung
dalam rumusuan rumusan formulatif Presiden dan wapres

Penunjukan Nadiem Makarim Pada periode kedua Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Pendidikan,
Kebudayaan, Riset & Teknologi alasannya karena telah berhasil dalam melakukan perubahan teknologi di
Indonesia dengan membangun Gojek. Kepercayaan ini dipertaruhkan Jokowi agar terjadi akselerasi
teknologi di bidang pendidikan Nasional. Termasuk memudahkan para pelajar dalam mengakses
pendidikan, sehingga tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang tak mendapatkan pendidikan yang baik,
bermutu, sebagaimana yang tertera dalam RPJMN 2020- 2024 yang berfokus pada pembangunan dan
peningkatan kualitas dan pemerataan layanan pendidikan.

Namun hingga saat ini, di tengah situasi pandemi yang semestinya menjadi ruang bagi Menteri mantan
CEO perusahaan teknologi raksasa Indonesia itu untuk membuktikan kepiawaiannya menggunakan
teknologi untuk mengakselerasi bidang pendidikan, justru malah berbanding terbalik. Nadiem Makarim
dalam kebijakannya, tak mampu memanfaatkan teknologi untuk mempercepat pembangunan di bidang
pendidikan. Alih alih, Nadiem malah berkutat pada program-program jargonistik yang tak tentu arah.

Data bps yang dirilis pada 2020 setidaknya telah menunjukan Kesenjangan pendidikan antar kelompok
ekonomi masih menjadi permasalahan dan semakin lebar seiring dengan semakin tingginya jenjang
pendidikan. Kesenjangan pendidikan juga masih tinggi apabila dibandingkan antar wilayah. Pembelajaran
berkualitas juga belum berjalan secara optimal dan merata antar wilayah. Sejumlah langkah sudah
dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sayangnya, upaya yang
dilakukan belum dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.3

Semenjak ditetapkannya sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan RI, kebijakan nadiem makarim
banyak menuai kontroversi, dan penolakan oleh berbagai elemen masyarakat baik praktisi, akademisi dan
organisasi. Pasalnya beberapa Program yang dirumuskan nadiem makarim dirasa terlalu besar
mengeluarkan anggaran namun tidak sesuai dengan orientasi pendidikan nasional yang termuat dalam
sisdiknas.

Salah satu program yang sangat kontroversi diawal jabatannya sebagai menteri ialah Program Organisasi
Penggerak, dimana anggaran yang dicanangkan dalam program tersebut berkisar sekitar Rp. 595 miliyar

3
Bps, 2020. Potret Pendidikan Indonesia “Statistik Pendidikan”.
yang dialokasikan untuk 156 ormas.4 Dalam lampiran peraturan sekertaris jenderal kemendikbud tertuang
skema pembiayayaan dibuat dengan dengan tiga kategori yaiut Gajah (Kategori I) dengan jumlah 20
Miliyar, Macan (Kategori II) 5 Miliyar dan Kijang (Kategori III) 1 Miliyar.5 Persoalan yang kemudian
keliru ialah hamper sebagian besar penerima hibah tersebut tidak kredibel karna terdapat lembaga-lembaga
CSR yang semestinya sudah menjadi tugas mereka menggunakan dana perusahaan dalam berkolaborasi
memajukan pendidikan, justru masuk dalam institusi yang mendapatkan “jatah” dari anggaran pendidikan.

Selain itu, baru baru ini Nadiem juga membuat program boros anggaran yang tak sadar kondisi masyarakat
pelajar, seperti program pengadaan laptop yang nilainya mencapai 17 triliyun Rupiah. Secara sekilas,
mungkin ini merupakan hal baik karena memberikan fasilitas belajar kepada anak didik, namun sayangnya
infrastruktur teknologi lainnya tidak mencukupi. Layanan internet Indonesia masih sangat timpang antara
di kota dan pedesaan. Pengadaan laptop hanya akan menambah lebar jurang kualitas pelajar di kota dan
desa. Hal ini juga menunjukkan bahwa Nadiem sangat lemah memahami apa dan untuk apa pendidikan
Nasional itu. Lain halnya ialah pengadaan harga satuan laptop yang diluar nalar dengan bandrol 10 Juta/
laptop dengan spesifikasi mesin dibawah standar.

Terakhir yang tak kalah borosnya dari agenda nadiem ialah renovasi ruang kerja yang bernilai fantastis dan
tidak masuk akal dengan menghabiskan angka sebesar Rp. 5 Miliyar Rupiah. Klarifikasi pihak
kemendikbud atas itu ialaha proses renovasi yang dilakukan ialah keseluruhan dua lantai gedung A
keseluruhan lantai.6 Namun dengan anggaran yang sebesar itu tentu saja hal itu sangat disayangkan karna
berlebihan dalam penganggaran renovasi.

Salah kaprah kebijakan nadiem makarim sebagai mendikbud tidak hanya pada pengalokasian anggaran
yang tidak masuk akal. Tetapi juga melalui kebijakan kebijakan yang apolitis dan inkonstitusional dengan
adanya Permendikbud no.28 tahun 2021 tentang organisasi tata kerja kemendikbudristek yang
mengahpuskan Badan Standar Nasional Pendidikan, padahal jika kita pahami Bsnp merupakan produk dari
UU Sisdiknas 2003 sebagai pedoman konstitusi pendidikan nasional Indonesia.

Selain dari ragam kebijakan dan program nadiem makarim yang penuh dengan kontroversi, Koalisi Tiga
linbgkar mencatat beberapa apologi mendikbudristek sebagai bentuk indikasi dari ketidaksiapan dan
kegagalannya mengelola Kebijkakan. Catatan pertama adalah perumusan Kamus sejarah Indonesia Jilid II
yang menghilangkan beberapa peran tokoh agama yang berjuang melakukan perlawanan terhadap bangsa

4
https://news.detik.com/berita/d-5106489/komisi-x-ungkap-anggaran-rp-595-m-penggerak-kemendikbud-ini-rinciannya
5 PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL NOMOR 3 TAHUN 2020 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYALURAN
BANTUAN PEMERINTAH UNTUK PENINGKATAN KOMPETENSI PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
6 https://nasional.tempo.co/read/1504773/kemendikbud-angkat-bicara-soal-renovasi-ruang-kerja-nadiem-makarim-rp5-

miliar/full&view=ok
kolonial. Hal tersebut kemudian memicu respon dari berbagai kelompok masyarakat dan ormas islam. Pasca
dari itu nadiem makarim menyampaikan permohan maafnya dengan mendatangi salah satu ormas islam
terbesar di Indonesia.7

Bukan hanya itu, catatan kedua apologi nadim datang ketika sempat hilangnya frasa agama dalam draft peta
jalan pendidikan Indonesia 2020-2035. Hal tersebut mengundang banyak kekecewaan masyrakat yang
meyakini pendidikan agama sebagai bagian dari kurikulum pendidikan yang sesuai dengan jalan dan cita
cita pendidikan nasional. Atas kegaduhan tersebut kemudian nadiem makarim melakukan klarifikasi serta
menjanjikan frasa agama tidak akan terhapus dari Peta Jalan Pendidikan Nasional.8

Catatan terakhir, klarifikasi nadiem makarim dilakukan saat Mendikbud menetapkan Permendikbud No 6
tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler yang sangat diskriminatif dan tidak
berkeadilan. Pasalnya dalam Permen tersebut memuat beberapa syarat sekolah penerima Dana Bos yang
mengenyampingkan prinsip prinsip pemarataan, terutama Pasal 3 ayat (2) huruf d yang mendapatkan
banyak penolakan dari masyarakat tentang Sekolah Penerima Dana BOS Reguler yang tertera ketentuan
sekolah yang memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir.9

Tiga kasus tersebut setidaknya kami mencatat kinerja menteri nadiem makarim yang tidak benar benar
memahami pendidikan nasional khususnya untuk membangun kualitas dan menyelesaikan persolaan
ketimpangan yang terjadi di pendidikan Indonesia yang sesuai dengan amanat RPJM 2020-2024.

Offside di Pandemi

Sejak Presiden menyatakan secara resmi kasus corona di Indonesia pada 2 maret 2020, Menteri pendidikan
Nadiem makarim menetapkan surat edaran Pembelajaran jarak jauh pada 24 Maret 2020. Namun keputusan
tersebut faktanya telah memberikan persolan baru di daerah-daerah, khususnya masyarakat pedesaan dan
pelosok. Setidaknya ada dua persoalan yang kemudian menjadi fundamental dalam Pembelajaran jarak
jauh, Pertama, kebijakan PJJ tidak dibarengi dengan kurikulum alternative yang dapat memudahkan pihak
sekolah ataupun orangtua (keluarga) mengawal proses pembelajar bersama sama, sehingga pada tatanan
praktik banyak pihak yang kecolongan dalam mengawal PJJ. kedua, PJJ memaksa pemindahan ruang
belajar dari luring ke daring, hal tersebut sejatinya tidak relevan dengan kondisi masyarakat di pelosok yang
belum siap dengan fasilitas yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran jarak jauh. Hal lainnya
yang kemudian menjadi sorotaan di awal pandem ialah cost pendidikan yang naik karna biaya yang perlu

7
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210422170632-20-633558/di-depan-ketum-pbnu-nadiem-minta-maaf-soal-kisruh-
kamus
8
https://nasional.tempo.co/read/1440958/nadiem-revisi-draf-peta-jalan-pendidikan-2020-2035-frasa-agama-dipastikan-ada
9
Salinan peraturan menteri Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor. 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis
Pengelolaan dana bantuan operasional Sekolah Reguler.
dikeluarkan oleh masyarakat untuk kuota internet walaupun kemudian pada tanggal 27 agustus 2020
nadiem makarim merilis surat keputusan tentang bantuan internet pelajar.

Dampak dari kebijakan pendidikan jarak jauh yang tidak utuh ialah produksi angka putus sekolah. Rilis
riset ISEAS-Yusof Ishak Institut pada 21 agustus 2020 mencatat 69 juta pelajar kehilangan akses
pendidikan di Indonesia alasannya tidak lain karena Pembelajaran jarak jauh hanya memudahkan keluarga
yang mampu semata.10

Kegagalan nadiem dalam membaca kondisi nyatanya bukan hanya terjadi di era PJJ, namun di semester ini
mendikbud merilis surat edaran Pembelajaran Tatap Muka terbatas, dengan alasan mencegah terjadinya
learning loss. Lagi lagi kebijakan nadiem gagal menjadi solusi karna tidak utuh nya kebijakan yang
dirumuskan, hasilnya PTMT malah membuat klaster klaster baru corona di sekolah sekolah. Dari 432.335
satuan pendidikan yang melakukan PTMT tercatat hanya 9,93% atau sebanyak 40.593 yang mememiliki
kesiapan belajar, dan 43,69 % atau sebanyak 188.880 satuan pendidikan terindikasi telah terjadi kasus
Positif.11 Kekhawatiran Klaster kasus Covid di satuan pendidikan juga sempat diungkapkan oleh P2G,
pasalnya hasil pantauwan P2G dari September hinggan November ada sekitar 20 daerah yang sekolahnya
terpaksa menghentikan PTM karena ada siswa atau guru positif Covid-19.12

Keseriusan nadiem dalam melakukan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas telah kontradiktif dengan praktik
pengawalan serta memberikan jaminan kesehatan kepada Pelajajar dan guru. Bagaimana tidak dalam
kriteria wajib PTM pemerintah hanya memasukan kategori Guru yang telah di vaksin 100%, sedangkan
vaksin pelajar dalam hal itu tidak masuk didalamnya. Maka wajar jika kemudian Vaksinasi Pelajar berjalan
dengan lambat,yagn hanya baru dapat dilakukan pada 143.535 pelajar. Yang lebih rentan dari kebijakan
PTMT ialah Indonesia dinilai belum mencapai standar positivity rate WHO bahwa kondisi daerah aman
jika angka penularan sudah dibawah 5%.

Melalui serangkaian catatan-catatan yang telah diutaran tersebut kemudian kami menilai Nadiem Makarim
hari ini telah salah kaprah dalam menyetir kiprah kemendikbudristek;

1. Kebijakan-kebijakan yang dihadirkan mendikbud tidak dapat beradaptasi dengan masyarakat


sekitar, dampaknya ialah semakin memperpanjang ketimpangan pendidikan Kota dan Desa.

10
ivoox.id/iseas-sekolah-tutup-karena-pandemi-69-juta-pelajar-indonesia-makin-tertinggal-secara-
global?tag_from=kualitas-pendidikan
11
https://sekolah.data.kemdikbud.go.id/kesiapanbelajar

12
https://www.republika.co.id/berita/r28ywb384/p2g-20-daerah-tutup-sekolah-karena-ditemukan-kasus-covid19
2. Mendikbud tidak memiliki strategi pencapaian yang utuh dalam menyusun konsepsi pendidikan di
masa yang akan datang, setiap program dan kebijakannya selalu bersifat jargonistik dan tidak
memiliki daya subtansial. Beberapa hal tersebut dapat terlihat dari agenda POP dan bagi bagi laptop
yang syarat dengan Intrik dan boros anggaran, PJJ atau PTMT yang tidak pernah utuh
penyelenggaraannya dan patut di evaluasi.
3. Kebijakan Mendikbudristek tidak mampu melakukan harmonisasi antara kelompok masyarakat
yang timpang padak akhirnya produk dari kebijakan yang ada gagal melakukan integrasi dan
mengakselerasi masyarakat yang kesulitas terhadap akses Pendidikan.
4. Mendikbud tidak memiliki proses Latensi yang baik, sebagian besar agenda bersifat reaksionis dan
tidak mengindahkah nilai-nilai dan norma yang telah lama menjadi orientasi pendidikan nasional.

Atas dasar persoalan-persolan tersebut, Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PBPII) menilai di umur
Negara Republik Indonesia yang Ke – 77 Tahun nyatanya Pendidikan Kita masih Belum Merdeka, begitu
banyak permasalahan yang fundamental luput dari perhatian Pemerintah, negara gagal mencapai hasil yang
memuaskan dan salah kaparah dalam memaknai Pendidikan yang utuh hasilnya Secara kelembagaan
Kiprah pendidikan telah melenceng jauh dari tugas-tugasnya, Ketimpangan masih jadi primadona masalah
Pendidikan.

#NadiemOut
#KemendikbudristekGagal
#PendidikanGagalMerdeka
#PayungHitamPendidikanNasional

PENGURUS BESAR
PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII)
PERIODE 2021-2023

Anda mungkin juga menyukai