Anda di halaman 1dari 23

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/328981574

ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI DAN AKSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Presentation · November 2018


DOI: 10.13140/RG.2.2.15040.17927

CITATIONS READS

0 61,382

1 author:

Nurfarhanah Nurfarhanah
Universitas Negeri Padang
28 PUBLICATIONS   14 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

PEMANFAATAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN METODE GROUP INVESTIGATION (GI) UNTUK MENGEMBANGKAN SIKAP PROFESIONAL MAHASISWA
BIMBINGAN DAN KONSELING View project

All content following this page was uploaded by Nurfarhanah Nurfarhanah on 16 November 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI DAN AKSIOLOGI DALAM
PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Nurfarhanah

1. ONTOLOGI PENDIDIKAN ISLAM


A. Pendahuluan
Pendidikan pada bangsa kita telah terjadi dikotomi, yakni antara
pendidikan umum dan pendidikan Islam. Dua hal ini telah menjadikan suatu
problem tersendiri dalam dunia pendidikan. Karena salah satu sisi yang
mengatasnamakan pendidikan Islam adalah sebuah pendidikan yang
dilakukan oleh sekelompok orang yang beragama Islam, nama lembaganya
adalah lembaga Islam, dan materinya di dominasi oleh ajaran-ajaran Islam
dari Al Qur'an dan Hadits yang merupakan landasan Islam. Jika demikian
akan bermunculan pula yang dinamakan pendidikan Kristen, pendidikan
Hindu dan lain-lain, bahkan bisa saja terjadi pendidikan Komunis, pendidikan
Atheis dan lain sebagainya. Kemudian bagaimana dengan pendidikan
umum, apakah yang dinamakan umum yang menyelenggarakan orang
umum, tidak terdapat simbol-simbol apapun, baik itu Islam, Kristen, Hindu
dan lain sebagainya. Apakah yang dinamakan pendidikan umum atau
pendidikan saja itu selama ini seperti yang diselenggarakan oleh pemerintah
yang berada dibawah naungan Diknas? Selanjutnya apa bedanya antara
pendidikan atau pendidikan umum dengan pendidikan Islam. Tetapi dalam
kajian kita saat ini lebih menekankan kepada hakikat pendidikan Islam
(ontologi pendidikan Islam). Adapun sebagaimana dalam pertanyaan
tersebut hanya membedakan wilayah umum ataukah wilayah Islam.
Dalam kajian tentang Filsafat Pendidikan Islam yang difokuskan
kepada Ontologi Pendidikan Islam ini berusaha untuk mengupas tentang
hakikat pendidikan Islam dan pola organisasi pendidikan Islam. Sementara
itu, ontologi sendiri memiliki arti ilmu hakikat.[1] Kalau kita membicarakan ilmu
hakikat ini sangat luas, apakah hakikat dibalik alam nyata ini, menyelidiki
hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang terbatas oleh panca
indera kita. Hakikat ialah realitas, realitas ialah ke-real-an, real yakni
kenyataan yang sebenarnya, kenyataan yang sesungguhnya, keadaan
sebenarnya sesuatu, bukanlah keadaan yang sementara atau keadaan
yang menipu, bukan pula keadaan yang berubah dan bukan sesuatu yang
fatamorgana. Jadi, ontologi pendidikan adalah menyelami hakikat dari
pendidikan Islam, kenyataan dalam pendidikan Islam dengan segala pola
organisasi yang melingkupinya, meliputi hakikat pendidikan Islam dan ilmu
pendidikan Islam, hakikat tujuan pendidikan Islam, hakikat manusia sebagai
subjek pendidikan yang ditekankan kepada pendidik dan peserta didik, dan
hakikat kurikulum pendidikan Islam.
Walaupun sebenarnya kajian yang penulis lakukan kali ini belum
mampu mengupas secara mendalam tentang hakikat pendidikan Islam dan
pola organisasi di dalamnya. Oleh karena itu, penting rasanya untuk
diutarakan bahwa masukan, kritik, dari hasil diskusi akan sekiranya
membantu dalam penyempurnaan dari tulisan ini dan akan lebih
menyenangkan apabila dalam kritik dan saran tersebut disertai rujukan yang
jelas, yang akan mempermudah dalam pelacakan.

B. Hakikat Pendidikan Islam dan Ilmu Pendidikan Islam


Berbicara masalah pendidikan merupakan suatu kajian yang cukup
menarik, karena pemahaman makna tentang pendidikan sendiri pun juga
beragam. Perlu diktehui bahwa banyak sekali istilah-istilah dalam pendidikan
itu sendiri, seperti pengajaran, pembelajaran, paedagogi, pendidikan,
pelatihan, dan lain sebagainya. Semua itu dapat kita jumpai dalam buku-
buku yang mengkaji tentang pendidikan.
Pendidikan menurut Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara
sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik
menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[2] Dalam pendidikan yang
dijelaskan tersebut di atas, bahwa dalam pendidikan terdapat beberapa
unsur:
1. Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan dilakukan secara sadar.
2. Ada pendidik, pemimpin atau penolong.
3. Ada peserta didik, anak didik.
4. Bimbingan itu mempunyai dasar dan tujuan.
5. Dalam usaha itu terdapat alat-alat yang dipergunakan.
Dari pemaknaan tersebut, dinyatakan bahwa pendidikan terbatas
kepada pengembangan anak didik oleh pendidik, jadi terdapat pengaruh
dari orang per orang atau manusia lain secara sadar. Kemudian,
bagaimana dengan pendidikan yang dilakukan secara pribadi, dilakukan
oleh alam, dilakukan oleh alam gaib dan lain sebagainya? apakah seperti
itu tidak termasuk pendidikan? Dan pemaknaan pendidikan menurut
Marimba ini yang dikatakan terbatas, karena pemahaman arti tersebut
hanya bersifat kelembagaan saja, baik di keluarga, sekolah maupun
masyarakat. Kenyataanya bahwa dalam proses menuju perkembangan
yang sempurna itu seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh orang lain, tetapi
ia juga menerima pengaruh(entah itu bimbingan atau bukan, tidak menjadi
soal) dari selain manusia.
Sementara itu, Al Syaibany memaknai pendidikan adalah suatu proses
pertumbuhan membentuk pengalaman dan perubahan yang dikehendaki
dalam tingkah laku individu dan kelompok hanya akan berhasil melalui
interaksi seseorang dengan perwujudan dan benda sekitar serta dengan
alam sekelilingnya, tempat ia hidup, benda dan persekitaran adalah
sebagian alam luas tempat insan itu sendiri dianggap sebagai bagian dari
padanya.[3] Dari pengertian tersebut dinyatakan bahwa al Syaibany
memahami bahwa pendidikan tidak hanya dipengaruhi dari individu lain,
akan tetapi adanya interaksi dengan alam sekelilingnya dimana ia berada
dan ia menjadi bagian di dalamnya. Menurut Ali Ashraf, bahwa pendidikan
adalah sebuah aktivitas tertentu yang memiliki maksud tertentu, yang
diarahkan untuk mengembangkan individu sepenuhnya.[4] Berbeda pula

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 2


dengan apa yang diungkapkan oleh Ali Ashraf, bahwa dalam memaknai
pendidikan bisa memerlukan suatu pengaruh, bimbingan ataupun panduan,
namun bisa juga tidak, yang terpenting jelas adanya aktifitas tertentu dalam
rangka mengembangkan individu secara penuh. Di sisi lain, Azyumardi Azra
menyatakan bahwa pendidikan lebih daripada sekedar pengajaran, yang
dapat dikatakan sebagai suatu proses transfer ilmu belaka, bukan
transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang
dicakupnya.[5] Jelas bahwa apa yang dinyatakan Azra, pengajaran lebih
berorientasi pada pembentukan tukang-tukang atau para spesialis yang
terkurung dalam ruang spesialisasinya yang sempit, karena itu perhatian dan
minatnya pun lebih bersifat teknis. Adapun istilah manapun yang akan
diambil terserah kita akan berpijak kemana, karena penulis tidak membatasi
makna pendidikan secara sebenarnya.
Dari penjelasan tentang pendidikan, maka bagaimana pula dengan
pendidikan Islam? Bagaimana pula dengan ilmu pendidikan Islam? Apakah
keduanya sama atau kah terdapat perbedaan?
Kata Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan tertentu,
yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan yang islami, yaitu
pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam, namun apakah itu yang
dinamakan pendidikan Islam? Menurut Azra, bahwa pendidikan yang
dilekatkan dengan kata Islam telah didefinisakan secara berbeda-beda oleh
berbagai kalangan, yang banyak dipengaruhi oleh pandangan
dunia(weltanschauung) masing-masing. Namun, pada dasarnya, semua
pandang yang berbeda itu bertemu dalam suatu pemahaman bahwa
pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk
menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif
dan efisien.[6]Dalam Islam dapat kita jumpai beberapa istilah tentang
pendidikan, yaitu al Ta’lim, al Ta’dib, al Riyadhat, al Tarbiyyahdan lain
sebagainya. Al Ta’lim dapat diartikan dengan pengajaran.[7]Tetapi menurut
Sayid Muhammad al Naquib al Attas, bahwa istilah al Ta’dib adalah istilah
yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian
pendidikan,sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam
istilah ini mencakup juga pendidikan untuk hewan.[8] Al Attas menjelaskan
bahwa Ta’dib berasal dari masdar Addaba yang diturunkan menjadi
kata Adabun, berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa
pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan
berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat
seseorang yang tepat dalam hubungannyadengan hakikat itu serta dengan
kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah
seseorang.[9] Definisi ini berbau filsafat, sehingga intinya adalah pendidikan
menurut Islam sebagai usaha agar orang mengenali dan mengakui tempat
Tuhan dalam kehidupan ini. Sebaliknya, Abdurrahman al Nahlawi
merumuskan definisi pendidikan dari kata al Tarbiyyah, yaitu pertama
kata raba-yarbu yang berarti bertambah, bertumbuh, seperti yang terdapat
dalam Al Qur'an surat al Rum ayat 39; kedua, rabiya-yarba yang berarti
menjadi besar; ketiga, dari kata rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki,
menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara. Menurut Imam al

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 3


Baidlawi, di dalam tafsirnya arti asal al rabb adalah al Tarbiyah, yaitu
menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit sehingga sempurna. Berdasarkan
ketiga kata itu, Abdurrahman al Bani menyimpulkan bahwa pendidikan
terdiri atas empat unsur, yaitu pertama, menjaga dan memelihara fitrah
anak menjelang dewasa; kedua,mengembangkan seluruh
potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju
kesempurnaan; keempat, dilaksanakan secara bertahap.[10] Dari sini, jelas
bahwa pendidikan menurut Islam adalah pengembangan seluruh potensi
anak didik secara bertahap menurut ajaran Islam.
Adapun pendidikan Islam, menurut M. Yusuf al Qardhawi adalah
pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya,
akhlak dan ketrampilannya. Karenanya pendidikan Islam berupaya
menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun
perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan
segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[11] Sementara itu,
Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses
penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan
kemampuan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan
fungsi manusia untuk beramal dan memetik hasilnya kelak di
akhirat.[12] Dengan demikian pendidikan Islam adalah suatu proses
pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan
Allah SWT Kepada Muhammad SAW.
Selain pendidikan Islam juga terdapat ilmu pendidikan Islam. Ilmu
pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Isinya ilmu
adalah teori, seperti ilmu bumi adalah teori tentang bumi, ilmu dagang
adalah teori tentang dagang dan lain sebagainya. Sehingga ilmu
pendidikan Islam adalah teori-teori tentang pendidikan berdasarkan Islam.
Sebenarnya apakah isi ilmu itu hanya teori? Secara esensialnya berupa teori,
tetapi secara lengkap isi suatu ilmu bukan saja teori, akan tetapi juga
penjelasan-penjelasan tentang teori itu serta kadang-kadang terdapat
data-data yang mendukung penjelasan itu.[13] Sehingga isi ilmu terdapat
tiga hal, yaitu teori, penjelasan dan data. Jadi, jika kita menemukan buku
ilmu pendidikan Islam, maka sudah sewajarnya berisi ketiga komponen
tersebut.
Pemahaman tentang ilmu pendidikan Islam, menurut Ahmad Tafsir
ilmu adalah sejenis pengetahuan manusia yang diperoleh dengan riset
terhadap obyek-obyek yang empiris, benar tidaknya suatu teori ilmu
ditentukan oleh logis tidaknya dan ada tidaknya bukti empiris. Bila teori itu
logis dan ada bukti empiris, maka teori ilmu itu benar.[14] Oleh karena itu,
dalam ilmu pendidikan Islam harus terdapat teori-teori yang dapat diuji
secara logis dan sekaligus empiris. Apabila tidak bisa, maka bukan
suatu ilmu pendidikan Islam, bahkan mungkin ilmu pendidikan Islam adalah
mistis (khayalan). Tafsir dalam bukunya menjelaskan definisi ilmu pendidikan
Islam sebatas untuk membedakan antara ilmu pendidikan Islam dan filsafat
pendidikan Islam. Filsafat pendidikan Islam merupakan kumpulan teori
pendidikan Islam yang hanya dapat dipertanggungjawabkan secara logis
dan tidak akan dapat dibuktikan secara empiris.[15] Masih menurut Tafsir

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 4


bahwa untuk memahami tentang ilmu pendidikan Islam dapat dilakukan
dengan cara merumuskan lebih dahulu definisi ilmu, definisi pendidikan dan
definisi Islam, setelah itu disusun rumusan tentang ilmu pendidikan Islam.[16]
C. Hakikat Tujuan Pendidikan Islam
Bahwa setiap kegiatan apapun tentunya memiliki suatu tujuan,
terdapat sesuatu yang ingin dicapai. Karena dengan tujuan itu dapat
ditentukan kemana arah suatu kegiatan. Ibarat orang berjalan, maka ada
sesuatu tempat yang akan dituju. Sehingga orang itu tidak mengalami
kebingungungan dalam berjalan, andaikata kebingungan pun sudah jelas
kemana ia akan sampai. Serupa dengan hal itu, tak ubahnya dalam dunia
pendidikan, apakah pendidikan Islam maupun non Islam. Maka sudah dapat
dipastikan akan memiliki suatu tujuan.
Tujuan, menurut Zakiah Darajat adalah sesuatu yang diharapkan
tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.[17] Sementara itu, Arifin
mengemukakan bahwa tujuan itu bisa jadi menunjukkan
kepada futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak
dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu.[18] Meskipun
banyak pendapat tentang pengertian tujuan, akan tetapi pada umumnya
pengertian itu berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan
untuk suatu maksud tertentu. Upaya untuk memformulasikan suatu bentuk
tujuan, tidak terlepas dari pandangan masyarakat dan nilai yang dianut
pelaku aktifitas itu. Sehingga tidak mengherankan apabila terdapat
perbedaan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing manusia, baik
dalam suatu masyarakat, bangsa maupun negara, karena perbedaan
kepentingan yang ingin dicapai.
Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam, Ahmad Tafsir
menyatakan bahwa suatu tujuan harus diambilkan dari pandangan hidup.
Jika pandangan hidupnya (philosophy oflife) adalah Islam, maka tujuan
pendidikan menurutnya haruslah diambil dari ajaran Islam.[19] Azra
menyatakan bahwa pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari
ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya tujuan pendidikan Islam tidak
terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan
pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya dan dapat
mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat.[20] Dalam
konteks sosial-masyarakat, bangsa dan negara –maka pribadi yang
bertaqwa ini menjadi rahmatan lil’alamin, baik dalam sekala kecil maupun
besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga
sebagai tujuan akhir pendidikan Islam (ultimate aims of islamic education).
Selain tujuan umum itu, tentu terdapat pula tujuan khusus yang lebih
spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui pendidikan Islam. Tujuan
khusus ini lebih praxis sifatnya, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya
tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan.
Dengan kerangka tujuan yang lebih praxis itu dapat dirumuskan harapan-
harapan yang ingin dicapai dalam tahap-tahap tertentu proses pendidikan,
sekaligus dapat dinilai hasil-hasil yang telah dicapai.[21]
Menurut Mohammad ’Athiyah al Abrasy, pendidikan budi pekerti
adalah jiwa dari pendidikan Islam dan Islam telah menyimpulkan bahwa

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 5


pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai
suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya sebenarnya dari
pendidikan Islam.[22]Definisi ini menggambarkan bahwa manusia yang ideal
harus dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah manusia yang sempurna
akhlaknya. Hal ini sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (‫)ﻻﺗﻤﻤﺎ ﻣﻜﺮم اﻻﺧﻼق‬
Sementara itu, Muhammad Quthb, berpendapat bahwa Islam
melakukan pendidikan dengan pendekatan yang menyeluruh terhadap
wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikit
pun, baik segi jasmani maupun rohani, baik kehidupannya secara mental
dan segala kegiatannya di bumi ini. Islam memandang manusia secara
totalitas, mendekatinya atas dasar apa yang terdapat dalam dirinya, atas
dasar fitrah yang diberikan Allah kepadanya, tidak ada sedikit pun yang
diabaikan dan tidak memaksa apa pun selain apa yang dijadikannya sesuai
dengan fitrahnya.[23] Pendekatan ini menunjukkan bahwa dalam rangka
mencapai pendidikan, Islam mengupayakan pembinaan seluruh potensi
manusia secara serasi dan seimbang. Dengan terbinanya potensi manusia
secara sempurna diharapkan ia dapat melaksanakan fungsi
pengabdiannya sebagai khalifa di muka bumi ini.
Selain itu, Ali Ashraf menyatakan bahwa pendidikan bertujuan
menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia
melalui latihan spiritual, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh
manusia. Karena itu pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi
pertumbuhan manusia dalam segala aspek spiritual, intelektual, imaginatif,
fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif dan
memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan.
Tujuan akhir pendidikan muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak
kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada
umumnya.[24]Pemahaman ini terkesan bahwa tujuan utama pendidika Islam
tiada lain adalah perwujudan pengabdian secara optimal kepada Allah
SWT. Untuk dapat melaksanakan pengabdian tersebut, harus dibina seluruh
potensi yang dimilikinya, baik potensi spiritual, intelektual, perasaan,
kepekaan dan sebagainya.
Dengan demikian, melihat berbagai tujuan yang telah dikemukakan
bahwa tujuan pendidikan Islam tiada lain adalah untuk mewujudkan insan
yang berakhlakul karimah yang senantiasa mengabdikan dirinya kepada
Allah SWT.

D. Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik)


Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang
belum juga berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk
yang sangat unik dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji
dari berbagai sudut pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi dan
lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang spesial dari
pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman Allah
dalam Al Qur'an Surat Al Baqarah, ayat 30:

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 6


Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui."
Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek
pendidikan, bahwa dalam dunia pendidikan manusialah yang banyak
berperan. Karena dilakukannya pendidikan itu tidak lain diperuntukan bagi
manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam pendidikan bahwa
manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta
didik.
Manusia sebagai pendidik, sebagaimana pemahaman Marimba
tentang pendidikan, bahwa salah satu unsur pendidikan adalah adanya
pembimbing (pendidik). Pendidik adalah orang yang memikul
pertanggunganjawab untuk mendidik.[25] Kita sudah dapat
membayangkan bahwa seorang pendidik adalah seorang manusia dewasa
yang bertanggungjawab atas hak dan kewajiban pendidikan anak didik,
tidak hanya membimbing dan menolong, akan tetapi lebih dari itu dengan
segala pertanggunganjawab yang dipikulnya. Sementara itu, Tafsir
mengatakan bahwa pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang
bertanggungjawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam,
orang yang paling bertanggungjawab tersebut adalah orang tua (ayah dan
ibu) anak didik, yang disebabkan oleh 2 faktor, yaitu pertama, karena
kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan
karena itu ia ditakdirkan pula bertanggungjawab mendidik anaknya. Kedua,
karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan
terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses
orang tua juga.[26] Adapun guru yang kita pahami adalah seorang pendidik
yang memberikan pelajaran kepada anak didik (murid), berupa mata
pelajaran di sekolah.[27] Walaupun demikian, pendidik yang utama
terhadap anak didik adalah kedua orang tua.
Pendidik dalam pengertian lain, ada beberapa istilah, seperti ustadz,
mu’alim, mu’adib, murabi dan lain sebagainya. Dari istilah-istilah itu pada
dasarnya mempunyai makna yang sama, yakni sama-sama pendidik (guru).
Pada hakikatnya pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang
bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan
mengupayakan seluruh potensi anak didik, baik afektif, kognitif dan
psikomotor.[28]
Senada dengan ini Moh. Fadhil al Jamali menyebutkan bahwa
pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan
yang baik sehingga terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan
kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia.[29] Sedangkan menurut al
Aziz, bahwa pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 7


menginternalisasikan nilai-nilai religious dan berupaya menciptakan individu
yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna.[30]Masing-
masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan
tanggungjawab sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena
dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan baik secara afektif, kognitif
maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat
perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus
mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu
menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan
bahagia baik di dunia dan di akhirat.
Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang
berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya
masing-masing.[31] Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang
konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian
tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah bukan lagi anak-
anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan
peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana
perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-
anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa
dalam sikap maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap
sebagai obyek atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan
sebagai subyek pendidikan, dengan cara melibatkan mereka dalam
memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.[32]
Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan
pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan
bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya
dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari Allah,
maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan
diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai
Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai
Allah.[33] Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif
tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut ilmu,
karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah. Ini
menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping
pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia agar menjadi
manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam.

E. Hakikat Kurikulum Pendidikan Islam


Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan
dalam suatu sistem pendidikan, karena kurikulum merupakan alat untuk
mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam
pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan.
Tujuan pendidikan di suatu bangsa atau negara ditentukan oleh falsafah
dan pandangan hidup bangsa atau negara tersebut. Berbedanya falsafah
dan pandangan hidup suatu bangsa atau negera menyebabkan berbeda
pula tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan tersebut. Begitu pula

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 8


perubahan politik pemerintahan suatu negara mempengaruhi pula bidang
pendidikan, yang sering membawa akibat terjadinya perubahan kurikulum
yang berlaku. Oleh karena itu, kurikulum bersifat dinamis guna lebih
menyesuaikan dengan berbagai perkembangan yang terjadi.
Kurikulum secara harfiah berasal dari kata curriculum yang berarti
bahan pengajaran. Ada pula yang mengatakan berasal dari bahasa
Perancis courier yang berarti berlari.[34]Kata kurikulum selanjutnya menjadi
suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan kepada sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah.
Pengertian ini sejalan dengan Crow and Crow, bahwa kurikulum adalah
rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun
secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu
program pendidikan tertentu.[35] Selain itu, ada pula yang berpendapat
bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disiapkan
berdasarkan rancangan yang sistematis dan koordinatif dalam rangka
mencapai suatu tujuan pendidikan yang ditetapkan.[36] Dari beberapa
definisi tersebut, bahwa kurikulum pada hakikatnya adalah rancangan mata
pelajaran bagi suatu kegiatan jenjang pendidikan tertentu dan dengan
menguasainya seseorang dapat dinyatakan lulus dan berhak memperoleh
ijazah.
Sementara itu, kurikulum dalam pendidikan Islam, yaitu kata manhaj,
yang bermakna jalan yang terang, atau jalan terang yang dilalui oleh
manusia pada bidang kehidupannya.[37] Jadi, kurikulum yang dimaksud
adalah jalan terang yang dilalui oleh pendidik atau guru latih dengan orang
yang dididik atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan,
ketrampilan dan sikap mereka.[38] Keberadaan kurikulum dalam pendidikan
Islam sebagai alat untuk mendidik generasi muda dengan baik dan
menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan kesediaan-
kesediaan, bakat-bakat, kekuatan-kekuatan, dan ketrampilan mereka yang
bermacam-macam dan menyiapkan mereka dengan baik untuk
menjalankan hak-hak dan kewajiban, memikul tanggungjawab terhadap
diri, keluarga, masyarakat, bangsanya dan turut serta secara aktif untuk
kemajuan masyarakat dan bangsanya.[39] Dengan demikian, kurikulum
hanya sebatas sarana untuk mendidik generasi muda dengan segala
potensi yang dimilikinya sehingga mampu memikul tanggungjawab bagi
dirinya, keluarga, masyarakat maupun bangsanya.
Ahmad Tafsir, merinci kurikulum dalam beberapa komponen, yaitu
tujuan, isi, metode atau proses belajar mengajar dan evaluasi. Setiap
komponen dalam kurikulum sebenarnya saling berkaitan bahkan masing-
masing merupakan bagian integral dari kulum tersebut.
Komponen tujuan mengarahkan atau menunjukkan suatu yang hendak
dituju dalam proses belajar mengajar. Dalam operasinya tujuan ini dibagi
menjadi bagian-bagian yang kecil. Bagian-bagian itu dicapai hari demi hari
dalam proses belajar mengajar, yang dirumuskan dalam rencana
pengajaran (lesson plan), disebut juga persiapan mengajar. Kemudian
komponen isi menunjukkan materi proses belajar mengajar tersebut. Materi
(isi) ini harus relevan dengan tujuan pengajaran yang telah dirumuskan.

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 9


Relevansi antara tujuan yang dingin dicapai dan isi proses belajar mengajar
tidak gampang dalam operasionalnya. Karena untuk merelevansikan
diperlukan pakar yang benar-benar ahli dalam merencanakan isi proses
tersebut. Komponen berikutnya adalah proses belajar mengajar,
mempertimbangkan kegiatan anak dan guru dalam proses belajar
mengajar, yakni dengan tidak membiarkan anak belajar sendirian, karena
hasil belajarnya kurang maksimal. Karena itu para ahli menyebutnya dengan
proses belajar mengajar sebab memang terdapat gabungan antara anak
didik belajar dan guru mengajar yang tidak dapat dipisahkan. Komponen
berikutnya evaluasiyakni kegiatan kurikuler berupa penilaian untuk
mengetahui berapa persen suatu tujuan dapat dicapai. Maka ada ilmu
khusus yang mempelajari tentang ini, yaitu teknik evaluasi. Dari hasil evaluasi
ini biasanya dinyatakan dengan angka-angka yang dicapai siswa.[40]
Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa kurikulum mempunyai peran
penting dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan. Apalagi ini tujuan
pendidikan Islam yang begitu kompleks, seorang anak didik tidak hanya
memiliki kemampuan secara afektif, kognitif maupun psikomotor, tetapi
dalam dirinya harus tertanam sikap dan pribadi yang berakhlakul karimah.

2. EPISTEMOLOGI DALAM PENDIDIKAN ISLAM


Pendidikan Islam sebagai suatu proses pengembangan potensi
kreatifitas peserta didik,bertujuan untuk mewujudkan manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Allah swt.,cerdas,terampil,memiliki etos kerja yang
tinggi,berbudi pekerti luhur, mandiri dan bertanggung jawab terhadap
dirinya,bangsa dan negara serta agama.Proses itu sendiri sudah berlangsung
sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Ilmu pendidikan islam merupakan prinsip,struktur,metodologi,dan objek yang
memiliki karakteristik epistemologi ilmu islam.Pengembangan pendidikan
islam adalah upaya memperjuangkan sebuah sistem pendidikan alternatif
yang lebih baik dan relatif dapat memenuhi kebutuhan umat islam dalam
menyelesaikan semua problematika kehidupan yang mereka hadapi sehari-
hari.

A. Pengertian Epistemologi
Secara etimologi,kata “Epistemologi” berasal dari bahasa
Yunani;”Episteme” dan “Logos”.” Episteme” berarti pengetahuan,sedangkan
“Logos” berarti teori,uraian atau alasan.Jadi Epistemologi berarti sebuah teori
tentang pengetahuan.Dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah “Theori of
Knowledge”.
Secara Terminologi,ada beberapa pendapat yaitu:
1. Dagobert D.Runes dalam bukunya “Dictionary of Philisophy”,mengatakan
Epistemologi sebagai cabang filsafat yang menyelidiki tentang keaslian
pengertian,struktur,mode,dan validitas pengetahuan.
2. Harun Nasution dalam bukunya “Filsafat Agama”,mengatakan bahwa
Epistemologi adalah ilmu yang membahas apa pengetahuan itu dan
bagaimana memperolehnya.

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 10


3. Fudyartanto,mengatakan bahwa Epistemologi adalah ilmu filsafat
tentang pengetahuan atau dengan kata lain filsafat pengetahuan.
4. Anton Suhono, Epistemologi adalah teori mengenai refleksi manusia atas
kenyataan.
5. The Liang Gie, Epistemologi adalah sebagai cabang filsafat yang
bersangkutan dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan,pra
anggapan-pra anggapan dan dasar-dasarnya serta reabilitas umum dari
tuntutan akan pengetatuan.
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa Epistemologi adalah
sebuah ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan
pengetahuan dan dipelajari secara substantif.Hal ini selaras dengan definisi
Epistemologi yang terdapat didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-
batas pengetahuan.
Oleh karena itu, Epistemologi bersangkutan dengan masalah-masalah yang
meliputi :
1. Filsafat,yaitu cabang ilmu dalam mencari hakikat dan kebenaran
pengetahuan.
2. Metode,memiliki tujuan untuk mengantarkan manusia mencapai
pengetahuan.
3. Sistem,bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.

B. Teori Tentang Epistemologi


Dalam teori Epistemologi terdapat beberapa aliran.Aliran-aliran tersebut
mencoba menjawab pertanyaan bagaimana manusia memperoleh
pengetahuan.
Pertama,golongan yang mengemukakan asal atau sumber pengetahuan
yaitu aliran :
1. Rasionalisme,yaitu aliran yang mengemukakan,bahwa sumber
pengetahuan manusia ialah pikiran,rasio,dan jiwa.
2. Empirisme,yaitu aliran yang mengemukakan,bahwa sumber
pengetahuan manusia berasal dari pengalaman manusia itu sendiri,melalui
dunia luar yang ditangkap oleh panca indranya.
3. Kritisme ( Transendentalisme), yaitu aliran yang mengemukakan ,bahwa
sumber pengetahuan manusia itu berasal dari dunia luar dan dari jiwa atau
pikiran manusia sendiri.
Kedua,golongan yang mengemukakan hakikat pengetahuan manusia
inklusif didalamnya aliran-aliran:
1. Realisme,yaitu aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia
adalah gambaran yang baik dan tepat tentang kebenaran.Dalam
pengetahuan yang baik tergambar kebenaran seperti sesungguhnya.
2. Idealisme, yaitu aliran yang berpendapat,bahwa pengetahuan hanyalah
kejadian dalam jiwa manusia,sedangkan kenyataan yang diketahui manusia
semuanya terletak diluar dirinya.

C. Teori Tentang Pendidikan

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 11


Pembahasan mengenai teori pendidikan,dikenal ada tiga macam
aliran:
1. Aliran nativisme yang dipelopori oleh Schopenhauer,Ia mengatakan
bahwa bakat mempunyai peranan yang penting.Tidak ada gunanya orang
mendidik kalau bakat anak memang jelek.
2. Aliran empirisme yang dipelopori Jhon Lock.Ia mengatakan bahwa
pendidikan itu perlu sekali.Teorinya terkenal dengan istilah “Teori
Tabularasa”.Ini artinya bahwa kelahiran anak diumpamakan sebagai kertas
putih-bersih yang dapat diwarnai setiap orang.Dalam konteks
pendidikan,pendidik adalah orang yang mampu memberi “warna”
terhadap anak didik.
3. Aliran convergensi yang dipelopori Wiliam Stern.Aliran ini mengakui kedua
aliran sebelumnya.Oleh karena itu,menurut aliran ini,pendidikan sangat
perlu,namun bakat(pembawaan) yang ada pada anak didik juga
mempengaruhi keberhasilan pendidikan.
Aliran convergensi adalah aliran yang banyak dianut oleh para pendidik
dewasa ini.Sementara aliran nativesme dan emperisme telah mulai usang
dan mulai banyak ditinggalkan oleh penganutnya.
Dalam pandangan islam, kemampuan dasar atau pembawaan
disebut dengan fitrah.Secara etimologis, fitrah berarti sifat asal, kesucian,
bakat dan pembawaan. Secara terminologi, Muhammad al-Jurjani
menyebutkan, bahwa fitrah adalah tabiat yang siap untuk menerima
agama islam.
Kata fitrah disebutkan dalam al-Quran pada surat al-Rum ayat 30 sebagai
berikut:

ِ ‫ﷲِ َذﻟِ َﻚ اﻟﺪﱢﯾﻦُ ْاﻟﻘَﯿﱢ ُﻢ َوﻟَ ِﻜ ﱠﻦ أَ ْﻛﺜَ َﺮ اﻟﻨﱠ‬


َ‫ﺎس َﻻ ﯾَ ْﻌﻠَ ُﻤﻮن‬ ِ ‫ﺎس َﻋﻠَ ْﯿﮭَﺎ َﻻ ﺗَ ْﺒ ِﺪﯾ َﻞ ﻟِ َﺨ ْﻠ‬
‫ﻖ ﱠ‬ َ ‫ﷲِ اﻟﱠﺘِﻲ ﻓَﻄَ َﺮ اﻟﻨﱠ‬ ْ ِ‫ﻓَﺄَﻗِ ْﻢ َوﺟْ ﮭَ َﻚ ﻟِﻠﺪﱢﯾ ِﻦ َﺣﻨِﯿﻔًﺎ ﻓ‬
‫ﻄ َﺮةَ ﱠ‬

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Bila diinterpretasikan lebih jauh,kata fitrah bisa berarti bermacam-
macam, sebagaimana yang telah diterjemahkan dan didefenisikan oleh
banyak pakar.Diantara arti-arti yang dimaksud adalah :
1. Fitrah berarti thuhr (suci)
2. Fitrah berarti islam(agama islam)
3. Fitrah berarti tauhid (mengakui keesaan Allah)
4. Fitrah berarti ikhlas (murni)
5. Fitrah berarti kecenderungan manusia untuk menerima dan berbuat
kebenaran
6. Fitrah berarti al-Gharizah(insting)
7. Fitrah berarti potensi dasar untuk mengabdi kepada Allah
8. Fitrah berarti ketetapan atas manusia baik kebahagiaan maupun
kesengsaraan.
Timbulnya berbagai interpretasi kata fitrah diatas tidak terlepas dari
sudut pandang masing-masing pakar dalam melihat kata fitrah

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 12


tersebut.Namun,yang jelas dari berbagai interpretasi tentang kata fitrah
semua memiliki persamaan yaitu adanya hubungan manusia dengan sang
pencipta.
Dalam kaitannya dengan teori kependidikan dapat dikatakan,bahwa fitrah
mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada paham
converagent.Karena,fitrah mengandung makna kejadian yang didalamnya
mengandung potensi dasar beragama yang benar dan lurus(al-Din al-
Qayyim) yaitu islam.Namun potensi dasar ini bisa diubah oleh lingkungan
sekitarnya.
Kalau melihat hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
berbunyi :

ّ‫ﺼﺮاﻧﮫ ﯾﮭ ّﻮداﻧﮫ ﻓ ﺎﺑﻮاه اﻟﻔﻄ ﺮة ﯾﻮﻟ ﺪﻋﻠﻰ ﻣﺎاﻟﻤﻮﻟﻮداﻻ‬


ّ ‫اوﯾﻨ‬
“Tidak ada anak manusia dilahirkan kecuali atas dasar fitrah,maka kedua
orang tuanya mendidiknya menjadi yahudi atau nasrani”(HR.Abu Hurairah)

Dapat dipahami bahwa fitrah sebagai pembawaan sejak lahir bisa


dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya,bahkan ia tak akan dapat
berkembang sama sekali tanpa adanya pengaruh lingkungan
tersebut.Sementara lingkungan itu sendiri dapat diubah bila tidak
favorable(tidak menyenangkan karena tidak sesuai cita-cita manusia).
Namun demikian,meskipun fitrah dapat dipengaruhi lingkungan,tetapi
kondisinya tidaklah netral.Ia memiliki sifat yang dinamis,reaktif dan responsif
terhadap pengaruh dari luar.Dengan istilah lain,dalam proses
perkembangannya, terjadi interaksi (saling mempengaruhi) antara fitrah dan
lingkungan sekitarnya,sampai akhir hayat manusia.

D. Hubungan Epistemologi dengan Pendidikan


Adapun Hubungan Epistemologi dengan Pendidikan antara lain :
1. Sama-sama memiliki perkembangan yang menyebabkan timbulnya ilmu-
ilmu baru,
2. Sama-sama berlangsung secara kontinyu dari satu generasi ke generasi
berikutnya dan juga melakukan inovasi yang tiada henti,
3. Sama-sama berlangsung dalam dunia yang disengaja dan tidak
disengaja,
4. Sama-sama dalam bentuk proses yang akan membawa seseorang
memperoleh kecakapan baik fisik maupun mental.

E. Teori Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam


Berbicara mengenai epistemologi ilmu pendidikan islam akan timbul
pertanyaan,bagaimana cara mengembangkan ilmu pendidikan islam
sendiri?.Dalam mengembangkan sebuah disiplin ilmu dapat dilakukan
dengan cara mengembangkan teori-teori tersebut,begitu pula dalam
mengembangkan ilmu pendidikan islam.Mengembangkan teori berarti
merevisi teori-teori yang ada,memahami teori yang lama dan atau
membuat teori yang baru.

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 13


Merevisi teori yang ada dalam pendidikan islam berarti
menyempurnakan teori yang ada agar sesuai dengan
kebutuhan.Sedangkan membuat teori berarti merancang teori yang sama
sekali baru.
Secara teori pendidikan islam sebagai disiplin ilmu merupakan konsep
pendidikan yang mengandung berbagai teori yang dapat dikembangkan
dari hipotesa-hipotesa yang bersumber dari al-Quran maupun hadits baik
dari segi sistem,proses dan produk yang diharapkan mampu
membudayakan umat manusia agar bahagia dan sejahtera dalam
hidupnya.
Dari segi teori,pendidikan islam dapat diartikan sebagai studi tentang
proses kependidikan yang bersifat progresif menuju kearah kemampuan
optimal anak didik yang berlangsung diatas landasan nilai-nilai ajaran islam.

F. Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam


Dalam mengembangkan ilmu pendidikan islam diperlukan beberapa
hal,antara lain :
1. Landasan atau basis filsafat yang akan dijadikan dasar pengembangan
ilmu
pendidikan islam.
2. Paradigma bagi penyusunan metodologi pengembangan ilmu
pendidikan
islam.
3. Metodologi pengembangan ilmu pendidikan islam.
4. Model-model penelitian untuk digunakan dalam penelitian pendidikan
islam.
5. Organisasi yang bersekala nasional.
kelima hal diatas merupakan landasan atau orientasi kerja dalam
mengembangkan ilmu pendidikan islam.Filsafat yang dapat digunakan
sebagai landasan dalam pengembangan ilmu pendidikan islam ialah filsafat
yang mampu mengakomodir pendapat bahwa:
1. Sumber pengetahuan ialah Allah.
2. Teori ilmu pendidikan islam tidak boleh bertentangan dengan wahyu.

3. AKSIOLOGI DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN UMUM

A. Aksiologi Dalam Perspektif Islam


Kata “ilmu” secara etimologis dalam berasal dari bahasa Arab (‫)ﻋﻠ ﻢ‬
mengandung arti mengetahui, mengenal memberi tanda dan petunjuk
yang berantonim dari makna naqid al-jahl (tidak tahu). Karena itu, dipahami
bahwa ilmu adalah sebagai suatu pengetahuan secara praktis yang dipakai
untuk menunjuk pada pengetahuan sistematis tentang masalah-masalah
yang berhubungan dengan subyek tertentu.
Untuk lebih jelasnya, perlu pula dikemukakan beberapa pendapat
tentang pengertian ilmu secara terminologi. Dalam hal ini menurut John
Ziman menyatakan bahwa ilmu adalah kajian tentang dunia material yang
memiliki obyek tertentu. Pengertian ini mengindikasikan bahwa ilmu memiliki

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 14


batasan tertentu yang harus dikelolah sehingga bermuara pada suatu
pengetahuan tentang sesuatu. Selanjutnya menurut Al-Qadhi ‘Abd. al-
Jabbar bahwa ‫( ﻣﺎﺗﻨﺎوﻟ ﮫ اﻟ ﻰ اﻟﻌ ﺎﻟﻢ ﺳ ﻜﻮن ﯾﻘﺘﻀ ﻰ اﻟﻌﻠ ﻢ‬ilmu adalah suatu makna
yang dapat menentramkan hati bagi seorang alim terhadap apa yang telah
dicapainya). Pengertian ini mengindikasikan adanya ketentraman dan
ketenangan jiwa apabila berhasil dalam pencariannya. Walaupun demikian,
pengertian ini (menurut penulis) hanya berlaku kepada mereka yang
bergelut dalam ilmu-ilmu yang bermanfaat. Dalam pandangan Imam al-
Gazali bahwa ‫( اﻟﻘﻠ ﺐ ﻓ ﻰ اﻟﻤﺜ ﺎل ﺣﺼ ﻮل ھﻮ اﻟﻌﻠ ﻢ‬ilmu itu adalah tejadinya
gambaran di dalam hati).
Pengertian ini mengindikasikan bahwa gambaran esensi sesuatu itu ada di
dalam hati, bukan berarti yang dimaksud di sini hanya semata-semata hati
saja.
Al-Gazali menganggap bahwa hati adalah bagian dari‫ ﺑﺼ ﯿﺮة‬yang di
dalamnya tercakup akal. Berdasarkan hal ini maka ia mengembalikan
pengertian ilmu ke dalam dua komponen yaitu ‫ اﻟﺒﻄﻨﯿ ﺔ اﻟﺒﺼ ﯿﺮة‬yaitu akal
dan hati, hakikat atau esensi sesuatu sebagai obyek pokok dan cara
terjadinya gambaran sesuatu itu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia dikatakan
bahwa pengertian ilmu adalah pengetahuan secara mutlak tentang sesuatu
yang disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu dan dapat
digunakan untuk merenungkan gejala-gejala tertentu di bidang
pengetahuan. Pengertian ini megindikasikan bahwa ilmu itu memiliki corak
tersendiri menurut suatu ketentuan yang terwujud dari hasil analisis-analisis
secara konprehensif.
Dari beberapa pengertian ilmu yang telah disebutkan di atas, maka
dapat dipahami bahwa batasan ilmu merujuk pada hasil interaksi manusia
dengan obyek tertentu yang akan menghasilkan sesuatu pengetahuan dan
itulah yang disebut ilmu. Dalam pandangan Nurcholish Madjid salah seorang
pemikir Muslim di Indonesia juga bahwa ilmu pengetahuan itu netral. Lebih
lanjutnya menurutnya bahwa, Ilmu pengetahuan baik yang alamiah
maupun yang sosial adalah netral. Artinya tidak mengandung nilai (bebas
nilai) kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh
manusia yang memiliki dan menguasainya.
Apa yang dikemukakan Nurcholish Madjid di atas mengindikasikan ilmu
pengetahuan berkaitan dengan aksiologi. Dalam hal ini, Aksiologi menurut
bahasa berasal dari bahasa yunani “axios” yang berarti bermanfaat dan
‘logos’ berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara istilah, aksiologi adalah
ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut
kefilsafatan. Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi
adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai
(kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan demikian aksiologi adalah
studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata
lain, apakah yang baik atau bagus itu.
Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan
yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan
manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik.
Dengan demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 15


mempelajari tentang nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu.
Berbicara mengenai nilai itu sendiri dapat kia jumpai dalam kehidupan
seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan curang. Hal itu semua
mengandung penilaian karena manusia yang dengan perbuatannya
berhasrat mencapai atau merealisasikan nilai. Nilai yang dimaksud adalah
sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan
tentang apa yang dinilai.
Secara singkat dapat dikatakan, perkataan “nilai” kiranya mempunyai
macam-macam makna seperti (1) mengandung nilai, artinya berguna; (2)
merupakan nilai, artinya baik atau benar, atau indah; (3) mempunyai nilai
artinya merypakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat
menyebab-kan orang mengambil sikap menyetujui, atau mempunyai sifat
nilai tertentu; (4) memberi nilai artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal
yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu. Nilai
ini terkait juga dengan etika dan nilai estetika. Nilai etika adalah teori
perbuatan manusia yang ditimbang menurut baik atau buruk dan tentang
hak dan kewajiban moral. Sedangkan nilai estika adalah telaah filsafat
tentang keindahan serta keindahan, dan tanggapan manusia terhadapnya.
Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral
persoalan karena menyangkut tanggung jawab, baik tanggung jawab
pada diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan.
Ilmu pengetahuan pun mendapatkan pedoman untuk bersikap penuh
tanggung jawab, baik tanggungjawab ilmiah maupun tanggungjawab
moral. Tanggungjawab ilmiah adalah sejauhmana ilmu pengetahuan
melalui pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk
memperoleh pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk
memperoleh kebenaran obyektif, baik secara korehen-idealistik,
koresponden realistis maupun secara pragmatis-empirik. Jadi berdasarkan
tanggungjawab ini, ilmu pengetahuan tidak dibenarkan untuk mengejarkan
kebohongan, dna hal-hal negatif lainnya.
Berdasar dari apa yang telah diuraikan dipahami ilmu pengetahuan
mengandung nilai, dan kebenaran nilai ilmu pengetahuan yang
dikandungnya bukan untuk kebesaran ilmu pengetahuan semata yang
berdiri hanya mengejar kebenaran obyektif yang bebas nilai melainkan
selalu terikat dengan kemungkinan terwujudnya kesejahteraan dan
kebahagiaan umat manusia.
Sejak awal kehadirannya, Islam sudah memberikan penghargaan
yang begitu besar kepada ilmu. Wahyu pertama yang diturunkan pada
Rasulullah Muhammad adalah “iqra’” atau perintah untuk membaca. Jibril
memerintah Muhammad untuk membaca dengan menyebut nama
Tuhanmu yang menciptakan. Jadi, dari kata iqra’ inilah, umat Islam
diperintah untuk membaca yang kemudian lahir makna untuk memahami,
mendalami, menelaah, menyampaikan, maupun mengetahui dengan
dilandasi “bismi rabbik”, dalam arti, hasil-hasil bacaan dan pemahaman itu
nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan (Shihab, 2001:433). Al
Qur’an dan hadits kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang
dikembangkan oleh umat Islam dalam spectrum yang seluas-luasnya

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 16


(Achmadi, 2005:33)
Ilmu pengetahuan dalam sejarah tradisi Islam tidaklah berkembang pada
arah yang tak terkendali, melainkan pada arah maknawi dan umat
berkuasa untuk mengendalikannya.Kekuasaan manusia atas ilmu
pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh. Eksistensi ilmu
pengetahuan bukan saja untuk mendesak pengetahuan, melainkan
kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan
dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Yang Maha Pencipta.
Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteknya, dan agama yang
menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada
tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi
Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan
tidak mengarahkan ilmu pengetahuan hanya pada praksisnya atau
kemudahan-kemudahan pada material duniawi. Solusi yang diberikan Al
Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikan dengan nilai adalah
dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya,
sehingga ia menjadi berkah dan rahmat bagi manusia dan alam, bukan
sebaliknya membawa mudharat atau penderitaan (Tafsir, 1997:173). Ilmu
tidaklah bebas nilai, karena antara logika dan etika harus berdialektika, jadi
bukan hanya penggabungan ilmu dan agama saja. Akal digunakan
dengan mengoperasionalkan otak, berusaha mencari kebenaran sesuai
dengan kemampuan ilmu pengetahuan masing-masing. Hal ini akan
menimbulkan logika yang menjadikan manusia sebagai seorang intelektual
atau ilmuwan.
Dalam Islam, ilmu senantiasa didasarkan pada Al Qur’an agar tidak
bebas nilai. Nilai dalam Islam tidak berdasarkan sesuatu adat dan budaya
tetapi berdasarkan wahyu dan kehendak Allah. Melakukan yg wajib adalah
diperintah oleh Allah dan disukaiNya sehingga mendapat ganjaran
kebajikan. adapun jika melakukan yang haram dan dibenci oleh Allah maka
pantas baginya balasan yang buruk.
Seorang ilmuwan muslim tidak hanya diharapkan berkata
benar,namun juga baik,indah dan bernilai, misalnya jika seorang ilmuwan
sekuler berkata bahwa untuk bebas dari penyakit kelamin harus memakai
kondom jika berhubungan dengan pelacur, maka ilmuwan muslim berkata
bahwa berhubungan dengan pelacur itu dilarang dalam islam. Contoh lain
dari kebenaran akal yang tidak beretika moral misalnya menceraikan istri
yang tidak dapat memberi anak, sistem perang atau jihad yang tidak
berperikemanusiaan, menampar murid yang tidak bisa menjawab soal, dan
lainnya.
Prinsip-prinsip semua ilmu dipandang oleh kaum muslimin berada
dalam Al Qur’an, dan Al Qur’an dan hadits menciptakan iklim yang kondusif
bagi pengembangan ilmu dengan menekankan keutamaan menuntut ilmu,
dan pencarian ilmu apapun pada akhirnya bermuara pada penegasan
tauhid. Dalam perjalanan ilmu dalam dunia Islam, para ilmuwan Muslim
berangkat dari membaca Al Qur’an dalam proses penemuannya, misalnya
Abu Musa al Jabir ibn Hayyan (721-815), Muhammad ibn Musa al Khawarizmi
(780-850), Tsabit ibn Qurrah (9100), Ibn Sina (926), Al Farabi (950), Ibn Batutah

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 17


(1304-1377), Ibn Khaldun (1332-1406), dan masih banyak tokoh lainnya
(Achmadi, 2005:12).

AKSIOLOGI: hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti menjawab:


1. untuk mempelajari apa nilai ilmu tersebut,
2. untuk apa kegunaan ilmu tersebut,
3. Keberadaan ilmu pengetahuan tersebut secara fungsional atas manfaat
bagi kehidupan Manusia / MASYARAKAT banyak.
CONTOH AKSIOLOGI: seperti ILMU Komputer:
1. untuk mempelajari apa nilai ilmu tersebut,
Misal: negatif atau positif untuk kehidupan manusia
Baik atau buruk untuk kehidupan manusia
2. untuk apa kegunaan ilmu tersebut,
Misal: Membuat program di perusahaan (positif)
Menyebarkan informasi secara cepat (positif)
Untuk meng hack/mencuri data (negatif)
3. Keberadaan ilmu pengetahuan tersebut secara fungsional atas
manfaat bagi kehidupan Manusia banyak.
Misal; internet dapat membuat jarak dan waktu tidak berarti lagi
Masyarakat cepat mendapat informasi

ALUR PENGUJIAN:
INDUKTIF / DEDUKTIF

Fakta / fenomena / kejadian alam / kejadian


buatan

Penyusun kerangka fikir

Perumusan hipotesis

Analisis metodologi

Pengujian Hipotesis

Ditolak

Hasil Pengujian
Diterima Kebenaran

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 18


KEBENARAN

Pd kenyataan ilmu yg berkembang tdk bisa menanggulangi bbp


masalah yg dihadapi manusia, adanya sifat pengrusa kan oleh ilmu thdp
alam semsta, dan sifat kebenaran ilmunya yg relatif, yg diakibatkan
kesalahan pemanduan dlm pola fikir, rasional yg termengerti oleh suatu
faham ttt, atau terlepasnya ilmu dr agama. Ini mengakibatkan arah
perkembangan ilmu semakin keliru.

Dg demikian Kebenaran menjadi relatif:

1. Kebenaran ada pd diri masing2

2. Kebenaran yg ditangkap indera jadi diragukan.

3. Kebenaran pd seseorang belum tentu benar bagi yg lainnya.

Dg demikian KEBENARAN HAKIKI / MUTLAK: adalah ada pd sang Kholiq


maha pencipta. Petunjuk2 dr Kholiq tersimpan dlm KITAB SUCI (AL-QURAN
DAN HADIST, ZABUR, TAUROT, INJIL). Hukum normative dari sang kholiq
merupakan yg paling benar (mutlak benar) seperti perintah dan larangan-
Nya. Ini memuat alasan2 kebahagi an manusia di dunia maupun akhirat.

Contoh: perintah sang Kholiq yg jelas:

1. menggunakan akal dlm sebab akibat: (Ali Imran: 190)

Sesungguhnya dlm penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya


malam dan siang terdpt tanda2 bagi orang yg BERAKAL.
2. Akibat menjlnkan perintah sang Kholiq: (Al-Hadid: 11)

Siapakah yg mau meminjamkan kpd Allah pinjaman yg baik, maka


Allah akan melipatgandakan pinjaman itu utknya, dan dia akan
memperoleh pahala yg banyak.

4. Jadi Fungsi Al-quran dan hadist dg ilmu (science) adalah sumber


kebenaran mutlak, sbg pemandu mencari kebenaran, sbg alat ukur
bagi kebenaran rasional, dan kebenaran empirik

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 19


KESIMPULAN

Pendidikan merupakan salah satu bentuk upaya untuk melakukan


perubahan, maka penting rasanya untuk memahami ontologi
pendidikannya, apalagi ini pendidikan Islam. Islam sebagai suatu agama
dan ajaran mempunyai peran penting dalam menentukan arah kebijakan
pendidikan dengan segala komponen yang melingkupinya, baik itu makna
pendidikan itu sendiri, obyek manusianya, tujuan maupun kurikulumnya.
Sehingga dari ini dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan yang diinginkan
dalam suatu proses pendidikan.
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan atas
dasar-dasar ajaran Islam, yakni Al Qur'an dan Hadits sebagai pedoman
hidup bagi seluruh umat Islam. Dalam Al Qur'an dan Hadits telah jelas bahwa
keberadaan manusia dimuka bumi adalah sebagai khalifah yang
mengemban peran penting dalam mengelola bumi dan segala isinya demi
kemaslahatan umat. Dan dengan pendidikan diharapkan manusia tidak
melakukan hal-hal yang menyebabkan kerusakan di muka bumi ini.
Salah satu sarana yang dibutuhkan dalam melaksanakan pendidikan
itu adalah dengan keberadaan kurikulum yang jelas. Sehingga, materi apa
yang akan disampaikan dan tujuan apa yang ingin dicapai dalam proses
belajar mengajar tersebut dapat diarahkan dan hasil yang diinginkan dapat
diukur (dievaluasi). Kemudian nantinya dapat dilakukan perbaikan yang
akan mengarah kepada kesempurnaan.

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 20


DAFTAR PUSTAKA

Al Naquib al Attas, Syed Muhammad, Konsep Pendidikan Dalam Islam, terj.


Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1984.
Al Qardhawi, Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna, terj.
Bustami A, Gani et.al, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Al Toumy al Syaibany, Omar Muhammad ,Falsafatut Tarbiyah
Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, tt.
Arifin, HM., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Athiyah al Abrasyi, Mohammad, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj.
Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990.
D. Marimba, Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al
Ma’arif, 1989.
Darajat, Zakaiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan
Islam, Bandung: al Ma’arif, 1980.
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Quthb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, Bandung: al
Ma’arif, 1984.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, Bandung: Citra Adirya Bakti, 1991.
Salih Abdullah, Abdurrahman, Educational Theory a Quranic
Outlook, Makkah al Mukarramah: Umm al Qura University, tt.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994.
____________, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capr, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.

[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 28.
[2] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al
Ma’arif, 1989}, 19.
[3] Omar Muhammad al Toumy al Syaibany, Falsafatut Tarbiyah
Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, tt), 57.
[4] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996),
1.
[5] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 3.
[6] Ibid, 3.
[7] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 2.

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 21


[8] Syed Muhammad al Naquib al Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, terj.
Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1984), 52.
[9] Ibid, 63.
[10] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan......29.
[11] Yusuf al Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna, terj.
Bustami A, Gani et.al, Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 157.
[12] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan
Islam (Bandung: al Ma’arif, 1980), 6.
[13] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan......12
[14] Ibid, 14.
[15] Ibid, 15.
[16] Ibid, 23.
[17] Zakaiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 29.
[18] HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 223.
[19] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,(Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994), 46.
[20] Lihat misalnya surat Al Dzariyat ayat 56: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia kecuali untuk mengabdi kepadaku” atau surat Al Imran ayat 102:
“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan
sebenar-benar taqwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan
Islam”.
[21] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam…….8
[22] Mohammad Athiyah al Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj.
Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 15.
[23] Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun,
(Bandung: al Ma’arif, 1984), 27.
[24] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan……..2
[25] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat……..37.
[26] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan………………….74.
[27] Ibid, 75.
[28] Ramayulis, Ilmu Pendidikan ………..85.
[29] Ibid, 85.
[30] Ibid, 85.
[31] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), 79.
[32] Ibid, 79.
[33] Ibid, 80.
[34] S. Nasution, Pengembangan Kurikulum (Bandung: Citra Adirya Bakti,
1991), 9.
[35] Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Rake Sarasin,
1990), 75.
[36] Abdurrahman Salih Abdullah, Educational Theory a Quranic
Outlook (Makkah al Mukarramah: Umm al Qura University, tt), 123.
[37] Omar Mohammad al Toumy al Syaibany, Falsafatut Tarbiyah……….478.
[38] Ibid, 478.
[39] Ibid, 476
[40] Ahamd Tafsir, Ilmu Pendidikan……54-55.

Ontologi,Epistimilogi dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam Halaman 22

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai