Anda di halaman 1dari 3

1.

Klaim jokowi soal ibukota baru bebas banjir memang benar adanya, di wilayah pusat
pemerintahan yang nantinya dikelola oleh badan otoritas IKN ini musykil terjadi banjir karena
kondisi topografi nya daerah perbukitan, tetapi banjir parah mengancam daerah pedesaan di
bawahnya, dan itu sudah terjadi sekarang
Bukan hanya banjir ketika musim hujan, tetapi juga kekeringan ketika musim kemarau, itulah
yang terjadi di wilayah kawasan inti pemerintahan kelak, di desa pemaluan yang jaraknya 9km
dari istana presiden, pasokan air bersih mutlak hanya memgandalkan air hujan, dan saat musim
kemarau, warga harus membeli air dengan harga yang relative mahal, yakni 600-800 ribu
perbulan hanya untuk air saja.
Riset BPPT 2020 menyebut, ada masalah terkait ketersediaan air baku di ibukota baru kelak,
krisis air baku tak hilang seketika hanya dengan mengebor tanah saja, dan potensi air tanah di
wilayah IKN sangat rendah.
2. Telah tersedia lahan yang dikuasai pemerintah seluas 180ribu hektar, argument Jokowi.
Masalahnya di Kawasan IKN, Sebagian besar lahan di IKN telah dikuasai oleh izin izin korporasi
pada sektor kehutanan, pertanian, ataupun pertambangan. Izin pertambangan di daerah IKN
sudah mencapai 144 izin konsesi tambang, beberapa di antaranya dikuasai oleh elite Jakarta.
Pertanyaan nya adalah bagaimana skema untuk pembebasan lahan lahan yang telah dikuasai
oleh korporasi tersebut?
Bukan hanya itu, berdasarkan riset yang telah kami dapatkan ada kegelisahan yang dialami oleh
masyarakat pesisir teluk Balikpapan terhadap pemindahan ibukota, teluk Balikpapan akan jadi
jalur akses masuk konstruksi dan distribusi barang menuju IKN, ekosistem flora dan fauna kian
terancam dengan aktivitas manusia yang semakin massif, kehidupan nelayan juga kian terusik
sebab susahnya mencari ikan sebab kondisi laut yang semakin dan akan semakin tercemar.
Pertama, argumentasi populasi yang terlalu besar terkonsentrasi di Jawa bisa dengan mudah
dibantah dengan membangun pusat-pusat industri yang menggerakkan perekonomian daerah.
Namun, sampai sekarang, Jawa menjadi tujuan utama investasi karena Jawa memang
menyediakan fasilitas dan kenyamanan yang lebih baik dibandingkan dengan daerah lain di
Indonesia. Pemerintah juga harusnya bisa membatasi urbanisasi dengan membuat pengetatan
penerimaan kerja dan pemberian tunjangan sosial seperti yang dilakukan pemerintahan Cina di
kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai. Bahkan, untuk lebih mudahnya untuk membantah
argumentasi pemerintah adalah dengan bertanya balik, apakah argumentasi pemerintah tersebut
sudah didukung oleh hasil beberapa penelitian yang bersifat data dan ilmiah??
Dengan demikian, para komunitas akademisi dan praktisioner bisa mengkaji bersama. Ataukah
kebijakan tersebut hanya berdasarkan kebijakan yang hanya berpusat pada analisa pemerintah
sendiri yang di mana masyarakat publik sendiri siapa saja tim dan orang yang menganalisis
probabilitas impak, dampak, dan potensi dari capaian dari kebijakan tersebut?? Atau jangan-
jangan, semua hanya perkiraan kasar dari pemerintah??
Kedua, argumentasi kontribusi yang terlalu besar di Jawa. Sangat lumrah Jawa memberikan
kontribusi PDB lebih besar dari provinsi lainnya karena pembangunan dan politik yang terlalu
Jawa-sentris. Akibatnya, pembangunan hanya terpusat di Jawa dan pada saat yang sama
menjadikan Jawa sebagai tujuan investasi yang lebih menarik dibandingkan dengan wilayah lain
di Indonesia. Investor yang menanamkan modalnya pasti juga menginginkan karyawan dan
pemilik perusahaan untuk bisa tinggal di daerah yang mampu memberikan kenyamanan dan
jaminan kualitas pendidikan bagi anak-anak dan keluarga mereka. Pertanyaannya kemudian,
apakah dengan memindah pemerintahan diluar Jawa akan membuat investor melirik wilayah lain
selain Jawa dan Kalimantan? Selain itu, kebijakan bagi hasil dari penjualan hasil tambang,
minyak, dan gas yang sebagian besar proporsinya masih harus diberikan ke pemerintah pusat
menjadikan pemerintah daerah tidak menikmati secara keseluruhan dari hasil kekayaan alam
mereka. Apakah variabel seperti ini juga menjadi pertimbangan untuk pemerintah?
Ketiga, krisis ketersediaan air. Jakarta memang memiliki masalah penurunan muka tanah 75 cm
per tahun. Tentu dengan kondisi seperti ini akan mengancam wajah ibu kota yang sudah pasti
kerap diliputi masalah banjir. Namun, persoalan penggunaan air tanah untuk industri jasa,
perhotelan, dan bahkan untuk konsumsi rumah tangga tidak mampu terselesaikan sampai
sekarang. Selain itu, masalah sampah dan pencemaran air sungai yang seharusnya bisa menjadi
sumber air bersih untuk warga juga tidak mampu diatasi dengan baik. Tentu tidak mudah untuk
mengatasi masalah tersebut mengingat begitu besarnya jumlah populasi di Jakarta sendiri. Tapi,
tidak lantas kemudian muncul argumentasi bahkan permasalahan tersebut tidak mampu
diselesaikan. Karena meski pun Jakarta sudah tidak lagi mengemban beban sebagai ibu kota,
tidak lantas kemudian akan mampu mengurai permasalahan tersebut, apalagi masalah
manajemen limbah dan sampah yang masih sangat semrawut. Apa hanya karena masalah
ketersediaan air kemudian jadi alasan utama ibu kota harus pindah??? Bahkan, kalau saja air
banjir bisa ditampung pertahunnya, bisa digunakan sebagai cadangan air. Tetapi, tentu saja itu
hanya bisa dilakukan apabila pemerintah pusat dan daerah Jakarta tidak terjebak pada permainan
politik ‘siapa yang bertanggung jawab pada siapa?’ sehingga permasalahan tersebut hanya mirip
permainan bola pingpong.
Keempat, konversi lahan yang luar biasa di Jawa. Konversi lahan ini tentu disebabkan oleh
banyak faktor termasuk pada bangunan, properti, bisnis, dan juga disebabkan oleh melonjaknya
jumlah penduduk. Namun, yang menjadi pertanyaan besar, kalau ibu kota dipindahkan di luar
Jawa, berapa besar potensi lahan yang tidak akan dikonversikan pertahunnya?? Mengingat laju
pertumbuhan infrastruktur masih sangat didominasi oleh Jawa, maka kemungkinan besar
lapangan pekerjaan akan masih terpusat disana. Ini tentu tidak menjawab masalah pelik yang
tinggalkan. Terlebih lagi, tidak ada data yang jelas berapa persen dari persentase penduduk Jawa
yang akan berkurang atau pindah kalau ibu kota pindah keluar Jawa??
Terkesan pemindahan ibu kota hanya melarikan dari masalah yang tidak terselesaikan, terlebih
bisa memunculkan masalah baru. Bahkan, keputusan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk
memindahkan ibu kota negara ke Kabupaten Kutai Kartanegara dan sebagian di Kabupaten
Penajam Passer Utara memicu banyak perdebatan publik.

Anda mungkin juga menyukai