Dosen Pengampu :
Arsy Anggrellanggi, S.Pd., M.Pd
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, karena atas
rahmat dan hidayahnya penulis dapat menulis sebuah makalah sebagai tugas yang diberikan oleh
dosen Pendidikan Inklusi yang berjudul “Makalah Konsep Filosofis, Teoritis, dan Pedagogis
Pendidikan Inklusif & Profil Peserta Didik Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif”. Tak lupa,
shalawat dan salam penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagaimana beliau telah
mengangkat derajat manusia dari alam kebodohan menuju alam yang penuh kecerdasan.
Dengan adanya makalah ini penulis berharap agar ikut andil dalam memanfaatkan ilmu
yang ada. Dalam penulisan makalah ini, penulis juga memberikan sejumlah materi yang dengan
judul disusun secara langkah demi langkah agar mudah dan cepat dipahami oleh pembaca. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dosen, yaitu Ibu Arsy Anggrellanggi, S.Pd., M.Pd yang telah
membimbing penulis dalam mata kuliah Pendidikan Inklusi.
Penulis berharap agar makalah ini dapat dijadikan sebagai pedoman bagi pembaca apabila
pembaca melakukan hal yang berkaitan dengan makalah ini. Penulis tetap menerima apabila
terdapat kritik dan saran dari pembaca guna menyempurnakan laporan ini. Penulis sadar bahwa
penulis hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.
Kelompok 7
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................... II
BAB I. PENDAHULUAN
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 14
B. Saran ................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
termasuk kategori ABK permanen adalah anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, Autis, ADHD(Attention Deficiency and Hiperactivity Disorders),
Anak Berkesulitan Belajar, Anak berbakat dan sangat cerdas (Gifted), dan lain-lain.
Berdasarkan hal tersebut, maka seorang guru perlu mendapatkan pelatihan dan
pemahaman mengenai pendidikan inklusi yang mencakup berbagai aspek termasuk
prinsip-prinsip pembelajarannya. Agar dapat menciptakan pendidikan yang sesuai tujuan
dan dapat meningkatkan potensi diri pada anak berkebutuhan khusus tunadaksa, autis
maupun yang lainnyam
2
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan peserta didik tunadaksa?
2. Apa yang dimaksud dengan peserta didik autis?
3. Bagaimana karakteristik dari peserta didik tunadaksa dan autis ?
4. Apa saja prinsip pembelajaran yang tepat bagi peserta didik tunadaksa dan autis?
5. Bagaimana metode yang digunakan dalam pembelajaran bagi peserta didik
tunadaksa dan autis?
C. Tujuan
1. Agar mahasiswa mendapatkan ilmu tentang peserta didik tunadaksa dan autis
dalam pendidikan inklusif
2. Agar mahasiswa mengetahui pentingnya belajar tentang pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus
3. Agar mahasiswa bisa terlatih dan terdidik untuk dapat menghargai, menghormati,
dan menerima satu sama lain dengan penuh empati.
D. Manfaat
1. Mengetahui pengertian serta karakteristik dari peserta didik tunadaksa dan autis
2. Mengetahui prinsip dan metode pembelajaran yang tepat bagi peserta didik
tunadaksa dan autis
4. Melatih dan menumbuhkan rasa saling menghargai, menghormati, dan menerima
satu sama lain dengan penuh empati.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
B. Pengertian Peserta Didik Autis
Menurut Reber (1985), Kata autism berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua
kata yaitu „aut‟ yang berarti “diri sendiri‟ dan “ism‟ yang secara tidak langsung
menyatakan orientasi atau arah atau keadaan (state). Sehingga autism sendiri dapat
didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asik dengan dirinya sendiri.
Pengertian ini menunjuk pada bagaimana anak – anak autis gagal bertindak dengan minat
pada orang lain, tetapi kehilangan beberapa penonjolan perilaku mereka. Ini tidak
membantu orang lain untuk memahami seperti apa dunia mereka.
Autis pertama kali diperkenalkan dalam suatu makalah pada tahun 1943 oeh
seorang psikiatris Amerika yang bernama Leo Kanner . ia menemukan sebelas anak yang
memiliki ciri – ciri yang sama, yaitu tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan
individu lain dan sangat tak acuh terhadap lingkungan di luar dirinya, sehingga perilakunya
seperti tampak hidup di dunia sendiri.
Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang berhubungan
dengan komunikasi , interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya tampak pada
sebelum usia 3 tahun. Bahkan autis infantile gejalanya sudah ada sejak bayi. Autis juga
merupakan suatu konsekuensi dalam kehidupan mental dari kesulitan perkembangan otak
yang kompleks yang mempengaruhi banyak fungsi –fungsi : persepsi (perceiving),
intending, imajinasi (imagining), dan perasaan (feeling). Autis juga dapat dinyatakan
sebagai suatu kegagalan dalam penalaran sistematis (systematic reasoning). Dalam suatu
analisis “microsociological‟ oleh Durig (1996) tentang logika pemikiran mereka dan
interaksi dengan yang lain , orang autis memiliki kekurangan pada “creative induction‟
atau membuat penalaran induksi yaitu penalaran yang bergerak dari premis-premis khusus
(minor) menuju kesimpulan umum, sementara deduksi , yaitu bergerak pada kesimpulan
khusus dari premis-premis (khusus) dan abduksi yaitu peletakan premis – premis umum
pada kesimpulan khusus, kuat( trevarthen, 1998).
5
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami
kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat
mengikuti pelajaran sama dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksa
yang mengalami kelainan pada sistem cerebral, tingkat kecerdasannya
berentang mulai dari tingkat idiocy sampai dengan gifted. Hardman (1990)
mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami
keterbelakangan mental (tunagrahita), 35% mempunyai tingkat kecerdasan
normal dan di atas normal. Sisanya berkecerdasan sedikit di bawah rata-
rata. Selanjutnya, P. Seibel (1984:138) mengemukakan bahwa tidak
ditemukan hubungan secara langsung antara tingkat kelainan fisik dengan
kecerdasan anak. Artinya, anak cerebral palsy yang kelainannya berat, tidak
berarti kecerdasannya rendah.
Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga
mengalami kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan persepsi
terjadi karena saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami
kerusakan sehingga proses persepsi yang dimulai dari stimulus merangsang
alat maka diteruskan ke otak oleh saraf sensoris, kemudian ke otak (yang
bertugas menerima dan menafsirkan, serta menganalisis) mengalami
gangguan. Kemampuan kognisi terbatas karena adanya kerusakan otak
sehingga mengganggu fungsi kecerdasan, penglihatan, pendengaran,
bicara, rabaan, dan bahasa, serta akhirnya anak tersebut tidak dapat
mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi terus menerus
melalui persepsi dengan menggunakan media sensori (indra). Gangguan
pada simbolisasi disebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan
apa yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan
mempengaruhi prestasi akademiknya.
- Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep
diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban
orang lain yang mengakibatkan mereka malas belajar, bermain dan perilaku
salah suai lainnya. Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang tua
6
dan disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan pribadi
anak. Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak tunadaksa
dapat mengakibatkan timbulnya problem emosi, seperti mudah tersinggung,
mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan
frustrasi. Problem emosi seperti itu, banyak ditemukan pada anak tunadaksa
dengan gangguan sistem cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka
tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosialnya.
- Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain
mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain,
seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan
bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak
tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan
motorik alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lidah, bibir, dan rahang
sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya,
bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan diucapkan dengan susah
payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, artinya ketidakmampuan
bicara karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia
motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya
melalui indra pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi
secara lisan. Anak cerebral palsy mengalami kerusakan pada pyramidal
tract dan extrapyramidal yang berfungsi mengatur sistem motorik. Tidak
heran mereka mengalami kekakuan, gangguan keseimbangan, gerakan
tidak dapat dikendalikan, dan susah berpindah tempat. Dilihat dari aktivitas
motorik, intensitas gangguannya dikelompokkan atas hiperaktif yang
menunjukkan tidak mau diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap
pendiam, gerakan lamban, dan kurang merespons rangsangan yang
diberikan; dan tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit
melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus,
seperti menulis, menggambar, dan menari.
7
2. Karakteristik Peserta Didik Autis
- Komunikasi
a. Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada
b. Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah bicara tapi
kemudian sirna.
c. Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
d. Mengoceh tanpa arti berulang-ulang dengan bahasa yang tidak dapat
dimengerti orang lain.
e. Bicara tidak dipakai untuk alat komunikasi.
f. Senang meniru atau membeo (echolalia). Bila senang meniru, dapat
hafal betul kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa mengerti artinya.
g. Sebagian dari anak ini tidak berbicara (nonverbal) atau sedikit
berbicara (kurang verbal) sampai usia dewasa.
h. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang
ia inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.
- Interaksi Sosial
a. Penyandang autistik lebih suka menyendiri
b. Tidak ada atau sedikit kontak mata atau menghindari untuk
bertatapan.
c. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.
d. Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh.
- Gangguan Sensoris
a. Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
b. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
c. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
d. Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.
- Pola Bermain
a. Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
b. Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.
c. Tidak kreatif, tidak imajinatif
8
d. Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu
rodanya diputar-putar.
e. Senang akan benda yang berputar seperti kipas angin, roda sepeda.
f. Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus
dan dibawa kemana-mana.
- Perilaku
a. Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (deficit).
b. Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang,
mengepakan tangan, berputar-putar dan melakukan gerakan yang
berulang-ulang.
c. Tidak suka pada perubahan.
d. Dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong.
- Emosi
a. Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa,
menangis tanpa alasan.
b. Tempertantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang tidak
diberikan keinginannya.
c. Kadang suka menyerang dan merusak.
d. Kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri.
e. Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.
9
diusahakan untuk memfungsikan indera-indera lain yang masih dapat
berfungsi.
b. Prinsip Individualisasi.
Penanganan pendidikan pada peserta didik tunadaksa perlu
memperhatikan prinsip individualisasi, artinya kemampuan masingmasing
diri individu lebih dijadikan titik tolak dalam memberikan pendidikan pada
mereka. Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap
peserta didik secara mendalam, baik tingkat kemampuan dalam menyerap
materi pelajaran, kecepatan dalam belajar, serta perilaku penting lainnya,
sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing peserta didik
mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.
2. Prinsip-prinsip Pembelajaran bagi Peserta Didik Autis
a. Terstruktur
Pendidikan dan pengajaran bagi anak autist diterapkan prinsip
terstruktur, artinya dalam pendidikan atau pemberian materi pengajaran
dimulai dari bahan akar/materi yang paling mudah dan dapat dilakukan oleh
anak. Setelah kemampuan tersebut dikuasai, ditingkatkan lagi ke bahan ajar
yang setingkat di atasnya namun merupakan rangkaian yang tidak
terpisahkan dari materi sebelumnya. Sebagai contoh, untuk mengajarkan
anak mengerti dan memahami makna dari instruksi “ambil bola merah”,
maka materi pertama yang harus dikenalkan kepada anak adalah konsep
pengertian kata “ambil”. Setelah anak mengenal dan menguasai kata
tersebut langkah selanjutnya adalah mengaktualisasikan instruksi “ambil
bola merah” kedalam perbuatan konkrit. Struktur pendidikan dan
pengajaran bagi anak autis meliputi: Struktur waktu, struktur ruang, dan
struktur kegiatan.
b. Terpola
Kegiatan anak autis biasanya terbentuk dari rutinitas yang terpola
dan terjadwal, baik di sekolah maupun di rumah (lingkungannya). Kegiatan
ini mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali.Oleh karena itu dalam
10
pendidikannya harus dikondisikan atau dibiasakan dengan pola yang
teratur.
Namun bagi anak dengan kemampuan kognitif yang telah
berkembang, dapat dilatih dengan memakai jadwal yang disesuaikan
dengan situasi dan kondisi lingkungannya, supaya anak dapat menerima
perubahan dari rutinitas yang berlaku (menjadi lebih fleksibel). Diharapkan
pada akhirnya anak lebih mudah menerima perubahan, mudah
menyesuaiakan diri dengan lingkungan (adaftif) dan dapat berperilaku
secara wajar (sesuai dengan tujuan behavior therapi
c. Terprogram
Prinsip dasar terpogram berguna untuk memberikan arahan dari
tujuan yang ingin dicapai dan memudahkan dalam melakukan evaluasi.
Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip dasar sebelumnya. Sebab dalam
program materi pendidikan harus dilakukan secara bertahap dan
berdasarkan pada kemampuan anak, sehingga apabila target program
pertama tersebut menjadi dasar target program kedua, demikian pula
selanjutnya.
d. Konsisten
Dalam pelaksanaan pendidikan dan terapi perilaku bagi anak austik,
prinsip konsistensi mutlak diperlukan . Artinya apabila anak berperilaku
positif memberikan respon positif terhadap stimulan (rangsangan), maka
guru pembimbing harus cepat memberikan respon positif
(reward/penguatan),begitu pula apabila anak berperilaku negatif, harus
secepatnya diberikan punishment yang mendidik. Hal tersebut juga
dilakukan dalam ruang dan waktu lain yang berbeda dalam rangka
pemeliharaan secara tetap dan tepat, dalam arti respon yang diberikan harus
sesuai dengan perilaku sebelumnya.
Konsistensi memiliki arti ”tetap”. Bila diartikan secara bebas
konsisten mencakup tetap dalam berbagai hal, ruang dan waktu. Konsisten
bagi guru pembimbing berarti tetap dalam bersikap,merespon dan
memperlakukan anak sesuai dengan karakter dan kemampuan yang dimiliki
11
masing-masing individu anak autis. Sedangkan arti konsisten bagi anak
adalah tetap dalam mempertahankan dan menguasai kemampuan sesuai
dengan stimulan yang muncul dalam ruang dan waktu yang berbeda.
Orangtua pun dituntut konsisten dalam pendidikan bagi anaknya,
yakni dengan bersikap dan memberikan perlakuan terhadap anak sesuai
dengan program pendidikan yang telah disusun bersama antara pembimbing
dan orang tua sebagai wujud dari generalisasi pembelajaran di sekolah dan
di rumah.
E. Metode yang digunakan dalam Pembelajaran Bagi Peserta Didik Tuna Daksa dan
Autis
Metode yang digunakan dalam pembelajaran anak tuna daksa dan autis tentunya berbeda.
Hal ini ditentukan oleh kebutuhan setiap anak. Karakterisitik anak tuna daksa adalah
anggota gerak tubuh tidak lengkap, bentuk anggota tubuh dan tulang belakang tidak
normal, kemampuan gerak sendi terbatas, ada hambatan dalam melaksanakan aktifitas
kehidupan sehari hari. Untuk anak tuna daksa metode pengajaran yang dapat digunakan
adalah metode ceramah, diskusi berkelompok, praktek.
Untuk peserta didik autis sendiri, ada beberapa metode pendekatan yang dapat digunakan,
antara lain:
1. Discrete Trial Training (DTT) : Training ini didasarkan pada Teori Lovaas yang
mempergunakan pembelajaran perilaku. Dalam pembelajarannya digunakan
stimulus respon atau yang dikenal dengan orperand conditioning. Dalam
prakteknya guru memberikan stimulus pada anak agar anak memberi respon.
Apabila perilaku anak itu baik, guru memberikan reinforcement (penguatan).
Sebaliknya perilaku anak yang buruk dihilangkan melalui time out/ hukuman/kata
“tidak”
2. Intervensi LEAP (Learning Experience and Alternative Program for Preschoolers
and Parents) menggunakan stimulus respon (sama
dengan DTT) tetapi anak langsung berada dalam lingkungan sosial (dengan teman-
teman). Anak autistik belajar berperilaku melalui pengamatan perilaku orang lain.
12
3. Floor Time merupakan teknik pembelajaran melalui kegiatan intervensi interaktif.
Interaksi anak dalam hubungan dan pola keluarga merupakan kondisi penting
dalam menstimulasi perkembangan dan pertumbuhan kemampuan anak dari segi
komunikasi, sosial, dan perilaku anak.
4. TEACCH (Treatment and Education for Autistic Childrent and Related
Communication Handicaps) merupakan pembelajaran bagi anak dengan
memperhatikan seluruh aspek layanan untuk pengembangan komunikasi anak.
Pelayanan diprogramkan dari segi diagnosa, terapi/treatment, konsultasi,
kerjasama, dan layanan lain yang dibutuhkan baik oleh anak maupun orangtua
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam keberjalanan pendidikan inklusi, setiap anak dikelompokkan menurut
kebutuhannya masing-masing. Begitu pula dengan peserta didik tuna daksa dan peserta
didik autis. Metode yang digunakan dalam pembelajaran anak tuna daksa dan autis
tentunya berbeda. Hal ini ditentukan oleh kebutuhan setiap anak. Untuk menentukan
metode pembelajaran yang tepat, guru harus mengetahui prinsip pembelajaran yang benar
untuk setiap siswa. Untuk anak tuna daksa, prinsip pembelajaran yaitu prinsip multisensori
dan prinsip individualisme. Sedangkan untuk anak autis, prinsipnya terstruktur, terpola,
terprogram, konsisten. Untuk anak tuna daksa metode pengajaran yang dapat digunakan
adalah metode ceramah, diskusi berkelompok, praktek. Sedangkan untuk peserta didik
autis sendiri dibutuhkan berbagai macam pendekatan, mulai dari Discrete Trial Training
(DTT) hingga TEACCH (Treatment and Education for Autistic Childrent and Related
Communication Handicaps).
B. Saran
Dalam memberikan pengajaran, guru harus mengetahui karakteristik dan
kebutuhan setiap anak dengan memperhatikan prinsip pembelajaran yang tepat dan benar.
14
DAFTAR PUSTAKA
Astati. (TT). Modul 7 Karakteristik dan Pendidikan Anak Tunadaksa dan Tunalaras Pengantar
Pendidikan luar biasa. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia
Handajani, Sri. (2016). Modul Guru Pembelajaran SLB Tunadaksa Kelompok Kompetensi I.
Bandung : B. PPPPTK TK DAN PLB BANDUNG
Mahasir. (2021). Pengelolaan Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar Negeri Kota Padang.
Palembang. Jurnal Pendidikan Tembusai. Vol.5:3
Mahmud, M. (2010). Anak Autis. Bandung : PLB-FIP-UPIBANDUNG
Mulyasa, E. (2004). Implementasi Kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran KBK. Bandung :
Remaja Rosdakarya
Nani, W. (2018). Pengaruh Model Pembelajaran PBLTerhadap Hasil Belajar Matematika Siswa
Tunadaksa. Surabaya. Jurnal Pendidikan Khusus. Vol 10:2
Nurkolis. (20005) Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta : Grasindo
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
15