Anda di halaman 1dari 23

Makalah

“TAUHID : SEMANGAT KEBEBASAN, HUMANISME, DAN FILANTROPI


ISLAM”

Oleh:
ANJAS NUARI SIREGAR

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)

KOMISARIAT FE UNIMED

CABANG MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat-NYA saya
dapat menyelesaikan makalah ini.

Berikut penulis mempersembahkan makalah sebagai syarat mengikuti Intemediate


Training (LK II) HMI Cabang Ciputat dengan judul “ Tauhid : Semangat Kebebasan,
Humanisme, Dan Filantropi Islam” Yang menurut saya menjadi hal yang sangat penting
untuk kiba bahas bersama.

Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan demi perbaikan makalah
ini.

Medan, 7 Juli 2021

Penulis
Tauhid : Semangat Kebebasan, Humanisme, Dan Filantropi Islam

Oleh: Anjas Nuari Siregar


HMI Komisariat Fakultas Ekonomi (FE)
Universitas Negeri Medan (UNIMED)
Cabang Medan
ABSTRAK

Tauhid diperuntukan bagi anak-anak dan dewasa, sementara dasar-dasarnya


diajarkan pada masa anak-anak. Thalbah Hisman dkk (2010: 115) menjelaskan bahwa
pembelajaran diwaktu kecil akan sulit dilupakan, bahkan tidak akan ditinggalkan sampai
menjadi guru besar di universitas yang paling terkemuka sekalipun. (Lukluk Sismiyati,
2012:2).
Pandangan Tauhid dalam pemikiran Ali Syari’ati, dia sebut dengan istilah Tauhid Wujud
yang ilmiah dan analitis. Ali Syari’ati memandang Tauhid lebih dari sekedar teologi,
melainkan memandang Tauhid sebagai pandangan dunia. Ali Syari’ati tidak mendedah
konsep Tauhid dengan pendekatan teoogis, mistis, ataupun filosofis, tapi merefleksikan
Tauhid dalam kerangka pandangan dunia dan ideologi. Basis ontologis Tauhid Wujud
sebagai pandangan dunia adalah memandang semesta sebagai satu kesatuan, tidak terbagi
atas dunia kini dan akhirat nanti, atas yang alamiah dan yang supra alamiah, atau jiwa dan
raga. Tauhid Wujud memandang seluruh eksistensi sebagai bentuk tunggal, organisme
tunggal yang memilliki kesadaran, cipta, rasa, dan karsa.

Untuk menjadikan Islam sebagai ideologi yang mampu dipraksiskan dalam kehidupan
dan memberi implikasi yang positif bagi manusia. Pada tahap pertema, Syari’ati berangkat
dari satu pertanyaan mendasar mengenai kedudukan manusia dalam berhubungan dengan
Tuhan dan alam semesta. Untuk menjelaskan hal tersebut, terlebih dahulu meletakkan
pandangan dunia Tauhid sebagai pandangan dunia yang mendasar. Tauhid tak sekedar
pemahaman, lebih dari itu, Tauhid adalah ideologi pembebasan.

Dalam islam kebebasan didalam diri manusia selalu dipertanggungjawabkan setiap


pribadi, maka dari itu setiap pribadi dala islam adalah merdeka. Kemerdekaaan itu setelah ia
terikat dalam ketauhidan yang ia pilih. Keterikatannya ialah didalam hukum syariat. Ia bisa
bebas bertindak dalam segi humanisme namun bakal ada pertanggungjawaban.

Humanisme dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang.


Humanisme mengingatkan kita akan gagasangagasan seperti kecintaan akan peri
kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh
lebih signifikan; humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep
perikemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme
mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya
mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. Kamus umum mendefinisikan
humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai,
karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada
otoritas supernatural manapun.
Filantropi sesungguhnya adalah ibadah bagian dari ibadah maaliyyah ijtimaiyyah, yaitu
ibadah di bidang harta yang memiliki posisi sosial yang sangat penting dan menentukan.
Filantropi dalam Islam seyogyanya dijadikan sebagai kebutuhan dan life style (gaya hidup)
seorang Muslim. Kekuatan dan kelemahan keimanan dan keislaman seseorang antara lain
ditentukan oleh sikap kedermawanan dan kepedulian sosialnya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam (bahasa Arab: ‫اإلس??الم‬, translit. al-islām,  dengarkan) adalah salah satu agama dari
kelompok agama yang diterima oleh seorang nabi (agama samawi) yang
mengajarkan monoteisme tanpa kompromi, iman terhadap wahyu, iman terhadap akhir
zaman, dan tanggung jawab. Bersama para pengikut Yudaisme dan Kekristenan, seluruh
muslim–pengikut ajaran Islam–adalah anak turun Ibrahim. Islam dianut oleh
1,8 miliar orang di seluruh dunia sehingga menjadi agama terbesar kedua setelah Kristen.
Islam adalah agama yang mengajarkan ketauhidan,yang artinya dalam ajaran Islam
ketauhidan itu berarti keyakinan akan Ke-Esaan Allah. Kalimat Tauhid ialah kalimat La
Illaha Illallah yang berarti tidak ada Tuhan melainkan Allah.

Tauhid merupakan landasan Islam yang paling penting. Seseorang yang benar tauhidnya,
maka dia akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Tauhid yang tidak benar,
akan menjatuhkan seseorang ke dalam kesyirikan. Kesyirikan merupakan dosa yang akan
membawa kecelakaan di dunia serta kekekalan di dalam azab neraka. Allah SWT berfirman
dalam Al Qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 48, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan mengampuni yang lebih ringan daripada itu bagi orang-orang yang Allah
kehendaki”. (Al Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah, 2013: 101).

Pengajaran tauhid kepada pribadi ummat islam, mengesakan Allah dalam hal beribadah
kepada-Nya, menjadikannya lebih mencintai Allah daripada selain-Nya, tidak ada yang
ditakutinya kecuali Allah merupakan hal pokok yang harus dilakukan seorang muslim.
Setiap muslim harus menekankan bahwa setiap langkah manusia selalu dalam pengawasan
Allah SWT. Penerapan konsep tersebut adalah dengan berusaha menaati peraturan dan
menjauhi larangan-Nya. Seorang pendidik harus mampu menyesuaikan tingkah lakunya
dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam. Pendidikan tauhid ini adalah pendidikan yang
paling pokok di atas hal-hal penting lainnya.

Allah memerintahkan hal ini secara jelas di dalam Al Qur‟an melalui kisah Luqman
dengan anaknya yang tertuang dalam QS. Luqman ayat 13, “Dan (ingatlah) ketika Luqman
berkata kepada anaknya, di waktu ia memberikan pelajaran kepadnya: “Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kedzaliman yang amat besar” (Al Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah, 2013:513).

Panggilan “anakku” merupakan kalimat singkat untuk menunjukan kasih sayang.


Nasehat ini tidak diawali dengan perintah ibadah. Allah tidak mengawali firman-Nya
dengan “beribadahlah kepada Allah”, akan tetapi dengan “janganlah menyekutukan Allah”.
Kalimat tersebut menyimpulkan bahwa ibadah tidak akan bisa diterima selama masih dalam
keadaan musyrik. (Lukluk Sismiati, 2012: 1).

Rasulullah SAW memberikan contoh penanaman aqidah yang kokoh ketika beliau
mengajari anak paman beliau, Abdullah bin Abbas ra. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-
Imam At-Tirmidzi dengan sanad yang hasan, Ibnu Abbas bercerita “Pada suatu hari aku
pernah berboncengan di belakang Nabi (di atas kendaraan), beliau berkata kepadaku:
“Wahai anak, aku akan mengajari engkau beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah
akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika
engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah
kepada Allah”. (Shahih At-Tirmidzi nomor 2516).

Demikian perhatian Rasulullah terhadap aqidah anak-anak, Adil Syadi (2007: 5)


menyebutkan saat ini mayoritas kita telah melupakan masalah aqidah ketauhidan terhadap
Allah. (Lukluk Sismiyati, 2012:2)

Uraian diatas menjelaskan pentingnya perkara tauhid. Tauhid diperuntukan bagi anak-
anak dan dewasa, sementara dasar-dasarnya diajarkan pada masa anak-anak. Thalbah
Hisman dkk (2010: 115) menjelaskan bahwa pembelajaran diwaktu kecil akan sulit
dilupakan, bahkan tidak akan ditinggalkan sampai menjadi guru besar di universitas yang
paling terkemuka sekalipun. (Lukluk Sismiyati, 2012:2).

Dalam pandangan Ali Syari’ati Tauhid adalah ephisentrum kehidupan dan modus
eksistensi. Tauhid meniscayakan pandangan dunia yang teosentrik dengan orientasi
menuntun manusia dalam gerak evolusi eksistensial menjadi manusia teomorphis, manusia
yang mengatribusi sifat-sifat Ketuhanan.

Pandangan Tauhid dalam pemikiran Ali Syari’ati, dia sebut dengan istilah Tauhid Wujud
yang ilmiah dan analitis. Ali Syari’ati memandang Tauhid lebih dari sekedar teologi,
melainkan memandang Tauhid sebagai pandangan dunia. Ali Syari’ati tidak mendedah
konsep Tauhid dengan pendekatan teoogis, mistis, ataupun filosofis, tapi merefleksikan
Tauhid dalam kerangka pandangan dunia dan ideologi. Basis ontologis Tauhid Wujud
sebagai pandangan dunia adalah memandang semesta sebagai satu kesatuan, tidak terbagi
atas dunia kini dan akhirat nanti, atas yang alamiah dan yang supra alamiah, atau jiwa dan
raga. Tauhid Wujud memandang seluruh eksistensi sebagai bentuk tunggal, organisme
tunggal yang memilliki kesadaran, cipta, rasa, dan karsa.

Untuk menjadikan Islam sebagai ideologi yang mampu dipraksiskan dalam kehidupan
dan memberi implikasi yang positif bagi manusia. Pada tahap pertema, Syari’ati berangkat
dari satu pertanyaan mendasar mengenai kedudukan manusia dalam berhubungan dengan
Tuhan dan alam semesta. Untuk menjelaskan hal tersebut, terlebih dahulu meletakkan
pandangan dunia Tauhid sebagai pandangan dunia yang mendasar. Tauhid tak sekedar
pemahaman, lebih dari itu, Tauhid adalah ideologi pembebasan.

Pandangan dunia Tauhid mengindikasikan secara langsung bahwa kehidupan adalah


suatu bentuk yang tunggal. Kehidupan adalah kesatuan dalam trinitas tiga hipotesis, yaitu
Tuhan, manusia, dan alam Tauhid menyatakan bahwa alam adalah sebuah totalitas kreasi
harmoni. Hal ini tentu saja berbeda secara fundamental dengan pandangan dunia yang
membagi realitas dunia ke dalam dua kategori yang dikotomistik-binerian; materi-non
materi, jasmani-ruhani, khalq-makhluk, alam fisik-alam gaib, serta individu-masyarakat.
Dalam pandangan Ali Syari’ati, hal tersebut adalah syirik atau lawan dari Tauhid karena
menentang pandangan kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam. Dengan kata lain
pandangan dunia Tauhid adalah pandangan dunia yang melihat kenyataan sebagai realitas
yang holistik, universal, integral dan monistik.

Dunia tauhid menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan,
selain Dia adalah kekuatan yang tidak mutlak alias palsu. Tauhid menjamin kebebasan
manusia dan memuliakan hanya semata kepadaNya. Pandangan ini menggerakkan manusia
untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu, dan kenistaan manusia atas manusia.
Tauhid memiliki esensi sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan
pembebasan. Implikasi logis dari pandangan dunia Tauhid adalah bahwa menerima kondisi
masyarakat yang penuh kontradiksi dan diskriminasi sosial, serta menerima pengkotak-
kotakan dalam masyarakat sebagai syirik. Dengan demikian, dalam pandangan Ali Syari’ati,
masyarakat tanpa kelas adalah sebuah konsekuensi dari Tauhid.

Dalam islam kebebasan didalam diri manusia selalu dipertanggungjawabkan setiap


pribadi, maka dari itu setiap pribadi dala islam adalah merdeka. Kemerdekaaan itu setelah ia
terikat dalam ketauhidan yang ia pilih. Keterikatannya ialah didalam hukum syariat. Ia bisa
bebas bertindak dalam segi humanisme namun bakal ada pertanggungjawaban.

Batasan manusia dalam bertindak didalam merdekanya adalah batasan takdir.


Pergerakan kita terhadap adanya takdir sebelum tindakan ini disebut perbudakan dalau
dalam teori sosiologi adalah sirik. Mengakui adanya tadir sebelum adanya tindakan disebut
dengan adanya sirik atau disebut dengan perbudakan. Mengakui adanya takdir namun
berdiam diri ini disebut jahil terhadap diri sendiri. Justru mengakui takdir itu memberi ruang
luas terhadap sebuah ikhtiar manusia dalam meletakkan semua aspek tindakan untuk
membuka ruang berekspresi, membangun sebuah pemikiran kreatif dalam bertindak, dan
takdir itu adalah puncak dari tindakan manusia.

Sebenarnya manusia itu mempunyai potensi, potensi yang dapat dikembangkan dengan
jalan yang baik. Namun sebaliknya jika potensi itu dibiarkan saja atau malah dirusak maka
akan berdampak negatif. Jika kita dapat menerapkan dan mengamalkan religius kita dengan
baik. Pasti akan mudah untuk mengembangkan potensi kita. Perlu kita ketahui juga
pendidikan Islam dengan paradigma humanistik disini dihasilkan dari upaya refleksi dan
rekonstruksi sejarah Islam yang ada, khususnya pada masa 5 abad pertama, serta dari nilai-
nilai normatif Islam, dan dari trends humanisme universal.

Makna kemanusiaan harus selalu dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan
dengan realitas dan konteks yang baru. Kemanusiaan perlu dilihat bukan sebagai esensi tetap
atau situasi akhir. Makna kemanusiaan adalah proses menjadi manusiawi dalam interaksi
antar manusia dengan konteks dan tantangan yang terus berkembang.

Humanisme dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang.


Humanisme mengingatkan kita akan gagasangagasan seperti kecintaan akan peri
kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh
lebih signifikan; humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep
perikemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme
mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya
mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. Kamus umum mendefinisikan
humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai,
karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada
otoritas supernatural manapun.

Melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar amerika dalam beberapa hari
belakangan ini hingga menembus angka tiga belas ribuan, menimbulkan kekhawatiran
sejumlah kalangan terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Masyarakat masih ingat
betapa krisis moneter tahun 1997-1998 membawa dampak luas terhadap kondisi kehidupan
bangsa. Tingkat kemiskinan penduduk, pengangguran dan kerawanan sosial di tengah
masyarakat, selalu memiliki keterkaitan dengan kondisi makro perekonomian negara.
Pengalaman pahit masa lalu memberi pelajaran berharga kepada kita semua, sehingga
diperlukan langkah antisipasi agar krisis besar yang pernah melanda negeri ini tidak
terulang.

Suatu hal yang tak boleh dilupakan adalah pilar-pilar sosial dan ekonomi bangsa
Indonesia tidak hanya bertumpu pada nilai tukar mata uang rupiah. Tetapi masih ada pilar
sosial yang terus menerus menopang dan merekat kehidupan masyarakat, yaitu pilar
filantropi umat Islam. Filantropi (kedermawanan) adalah kesadaran untuk memberi dalam
rangka mengatasi kesulitan dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat secara luas
dalam berbagai bidang kehidupannya. Bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, tempat
tinggal dan lain sebagainya. Dalam pandangan ajaran Islam, filantropi adalah perbuatan
yang sangat mulia, bagian utama dari ketakwaan seorang muslim, perbuatan yang akan
mengundang keberkahan, rahmat dan pertolongan Allah, perbuatan yang akan
menyelamatkan kehidupan secara luas.

Potensi filantropi umat Islam terwujud dalam bentuk zakat yang hukumnya wajib, infak,
shadaqah, wakaf, hibah dan derma-derma lainnya. Dalam surat At-Taubah [9] ayat 60 dan
103, surat Al-Baqarah [2] ayat 177 dan 261, Surat Ali Imran [3] ayat 92, ayat 133 dan 134,
surat Faathir [35] ayat 29 dan 30 dan sejumlah ayat lain dalam Al Quran dijelaskan
kedudukan dan peran filantropi khususnya zakat, infak dan shadaqah sebagai bukti
keimanan dan kecintaan seseorang muslim terhadap perbuatan baik yang membawa
keberuntungan dunia dan akhirat.

Filantropi sesungguhnya adalah ibadah bagian dari ibadah maaliyyah ijtimaiyyah, yaitu
ibadah di bidang harta yang memiliki posisi sosial yang sangat penting dan menentukan.
Filantropi dalam Islam seyogyanya dijadikan sebagai kebutuhan dan life style (gaya hidup)
seorang Muslim. Kekuatan dan kelemahan keimanan dan keislaman seseorang antara lain
ditentukan oleh sikap kedermawanan dan kepedulian sosialnya. Oleh karena itu diperlukan
langkah-langkah yang strategis dan kontinyu untuk menguatkan sikap ini, antara lain
melalui upaya:

Pertama, terus menerus dilakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang
urgensi sikap filantropi dalam meraih kebahagiaan hidup dunia akhirat. Sarana filantropi
dalam Islam, seperti kesadaran berzakat, berinfaq, bershadaqah, dan berwakaf memerlukan
penguatan dan penaatan dalam pengelolaannya agar mencapai hasil yang diharapkan, yaitu
berdampak terhadap kehidupan masyarakat luas.

Kedua, menguatkan peran dan manfaat badan atau lembaga yang bergerak di bidang
filantropi, seperti Baznas, LAZ, dan yang lainnya agar semakin dipercaya oleh masyarakat
dan mudah dijangkau oleh kalangan dhuafa. Ketika lembaga-lembaga tersebut (Baznas dan
LAZ) dikelola dengan standar profesionalitas yang tinggi bukan berarti berubah menjadi
“lembaga elite” yang serba birokratis dan memiliki jarak dengan kaum mustad’afin.
Kualitas SDM, sistem IT yang canggih adalah justru untuk memudahkan pelayanan, baik
bagi masyarakat pemberi maupun masyarakat penerima dana Ziswaf.

Ketiga, memperluas pemanfaatan dana filantropi di samping untuk hal-hal yang bersifat
konsumtif dan sesaat, juga hal-hal yang bersifat jangka panjang dalam rangka memotong
mata rantai kemiskinan, seperti biaya untuk pendidikan, kesehatan, perbaikan ekonomi,
penyediaan tempat tinggal yang layak, dan lain-lain.

Keempat, kerjasama dengan berbagai pihak agar gerakan filantropi ini menjadi gerakan
bersama yang bersifat masif. Dalam Alquran ditegaskan. ”Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. At-Taubah [9]: 71).

Pilar filantropi atau bisa disingkat ZISWAF yang apabila dikelola dan didukung
sepenuhnya melalui politik ekonomi negara, merupakan modal dan kekuatan umat dan
masyarakat dalam mengantisipasi berbagai gejolak dan tekanan perekonomian yang tidak
stabil. Sumber pendanaan yang berasal dari Ziswaf selama ini telah banyak memberi
kontribusi terhadap pembangunan kesejahteraan rakyat. Mestinya hal itu terakomodir dalam
Sasaran dan Kebijakan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang disusun pemerintah.

Umat Islam selama ini secara proaktif telah berbuat sesuatu dalam merespon kebutuhan
penguatan peran filantropi Islam dalam bingkai dan koridor hukum-hukum syariat dan
kemaslahatan umat sesuai maqashid syariah. Semangat filantropi umat Islam Indonesia,
menurut sebuah survei, tergolong tinggi. Sejauh ini filantropi telah banyak menjadi studi,
kajian, penelitian dan mewarnai partisipasi masyarakat (civil society) dalam pembangunan
kesejahteraan sosial. Filantropi seperti kita tahu mengalami perkembangan pesat di berbagai
negara muslim dalam beberapa dekade terakhir, baik dari segi potensi, konsep
pemberdayaan, pemanfaatan, dan berbagai masalah yang melingkupinya.

Dalam pandangan secara umum, praktek filantropi dengan segala dimensi, varian dan
kreativitasnya memberi isyarat menggembirakan tentang gambaran peradaban Islam masa
depan. Islam seperti diketahui mengajarkan dasar-dasar keadilan sosial dan kesejahteraan
yang paripurna. Islam mengajarkan umatnya agar memperhatikan nasib fakir miskin dan
kaum dhuafa yang terpinggirkan dalam sistem ekonomi liberal dan kapitalis. Islam tidak
sebatas menganjurkan menolong yang kaum lemah, bahkan mewajibkan orang-orang yang
memiliki harta untuk mengeluarkan zakat karena dalam harta itu terdapat hak kaum miskin.

Khusus mengenai “zakat”, perlu dipahami bahwa kedudukannya bukanlah filantropi


biasa. Selain sebagai rukun Islam, zakat adalah bagian yang intrinsik dari sistem keuangan
Islam. Zakat memiliki kekhususan dan tempat tersendiri dalam ajaran Islam maupun dalam
kehidupan bernegara. Dalam buku Dasar-Dasar Ekonomi Islam (1979) Prof H Zainal Abidin
Ahmad memaparkan peran zakat yang menjadi dasar kewajiban negara untuk mencampuri
pendistribusian harta.

“Negara dapat menggunakan kekuasaannya untuk memaksa golongan yang mampu


supaya memberikan iuran kemanusiaan yang dinamakan zakat untuk meringankan
penderitaan hidup golongan yang tidak berkecukupan serta membantu kepentingan
masyarakat dan negara. Di samping zakat yang wajib, Islam memberi pula kekuasaan
kepada negara untuk meletakkan kewajiban keuangan lainnya atas nama negara terhadap
orang-orang yang mampu. Pedoman yang harus dipegang teguh oleh negara, ialah
kemakmuran seluruh rakyat, menghilangkan batas-batas antara kaya dan miskin, proletar
dan borjuis, buruh dan majikan.”

Dalam Kongres Umat Islam Indonesia ke-6 di Yogyakarta yang dilaksanakan tahun
2015 sebagai puncak pertemuan organisasi dan tokoh-tokoh muslim Indonesia yang digelar
lima tahun sekali, salah satu isu penting yang dibahas dan melatar-belakangi perumusan
rekomendasi Kongres Umat Islam Indonesia ialah agenda penguatan peran ekonomi umat
Islam. Disadari bahwa diperlukan langkah nyata untuk mengatasi kemiskinan dan
keterpinggiran ekonomi masyarakat muslim di tengah pusaran liberalisasi ekonomi global
dewasa ini. Sejalan dengan itu, penguatan filantropi Islam merupakan bagian integral dari
langkah penguatan ekonomi umat dan menyangkut banyak aspek kehidupan umat.

Kenyataan sosiologis di Indonesia dan di negara-negara serumpun kawasan ASEAN,


menunjukkan peran filantropi Islam, khususnya zakat, infak, sedekah dan wakaf (Ziswah)
merupakan “instrumen terdepan” – kalau belum dikatakan instrumen utama – dalam upaya
mengatasi masalah kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan umat dan bangsa.

Pemerintah terus mendorong dan memfasilitasi tumbuh-berkembangnya lembaga


filantropi, termasuk lembaga keuangan syariah dalam skala kecil, mikro dan menengah
dengan merangkul dan mensinergikan semua komponen dan organisasi umat dalam
semangat amal jama’i. Pranata sosial dan infrastruktur perekonomian umat, seperti
perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah (Baitulmal Wat Tamwil, Baitul Qiradh,
Koperasi Syariah) serta lembaga pengelola zakat dan wakaf, yakni Badan Amil Zakat
Nasional, lembaga-lembaba amil zakat yang dibentuk atas swadaya masyarakat, Badan
Wakaf Indonesia dan lainnya harus menjadi simpul kekuatan ekonomi umat yang efektif.

Untuk itu yang diperlukan antara lain adalah konsistensi penerapan regulasi, peningkatan
kapasitas organisasi, serta akuntabilitas lembaga filantropi sebagai pengelola amanah dan
dana masyarakat. Undang-Undang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Wakaf beserta
peraturan pelaksananya di Indonesia telah memberikan fondasi yang kuat untuk
pengembangan ZISWAF.

Semoga Allah SWT meridhai ikhtiar kita semua dalam membangun dan melindungi
kehidupan umat.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu:
1. Bagaimana Spirit Kebebasan ?
2. Bagaimana semangat kebebsan bisa terapkan dalam humanisme?
3. Bagaimana Filantropi islam dalam pemberdayan ekonomi umat?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu:
1. Untuk Mengetahui Spirit Kebebasan dalam islam
2. Untuk Mengeteahui semangat kebebsan bisa terapkan dalam humanisme.
3. Untuk Mengetahui Filantropi islam dalam pemberdayan ekonomi umat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Spirit Kebebasan Islam


Islam sebagaimana halnya agama samawi yang lainnya (Nasrani dan Yahudi)
merupakan suatu agama yang bersumber dari wahyu yang berasal dari Tuhan Yang Maha
Esa, dan disampaikan kepada manusia melalui para rasul-Nya. Islam sebagai suatu agama
yang berasal dari wahyu Tuhan dan diperuntukkan bagi ummat manusia, sudah barang tentu
ajaran-ajarannya tidak sekedar mencakup satu bidang kehidupan, namun meliputi berbagai
segi kehidupan manusia. Dengan ungkapan lain, ajaran Islam mencakup dua dimensi, yakni
dimensi teologis normatif dan sosial-empiris-historis.

Tauhid merupakan inti dari seluruh bangunan ajaran Islam, yang terefleksikan dalam
kalimat “La ilaha illa Allah” (tidak ada Tuhan selain Allah). Hal ini merupakan suatu
pernyataan pengetahuan tentang realitas yang utuh, integral, holistik dan tidak dikotomis,
juga mengandung makna dan semangat “pembebasan” dan transformasi yang asasi dan
integral.

Islam disebut juga agama “ethnic monotheism” yakni agama yang mendasarkan pada
dua prinsip utama; menyeru pada Tuhan yang satu (Esa) dan berbuat kebajikan. Kedua hal
tersebut sebenarnya merupakan bentuk pengetahuan tentang realitas yang diformulasikan
dalam kalimat “La ilaha illa Allah” (Tauhid).

Dalam pandangan teologi tradisional, tauhid hanya bermakna keesaan Tuhan


(monoteisme murni) Allah adalah satu, kepada siapa semuanya bergantung. Penafsiran ini
jelas hanya berangkat dari satu perspektif tauhid, yakni perspektif teologi. Sebagai
konsekuensi logis dari bentuk penafsiran ini adalah “teologi klasik, secara implisit tidaklah
mensiratkan pembebasan manusia”, karena konsen utama teologi ini adalah soal
pembebasan dalam wilayah metafisik dan diluar proses kesejarahan. Diskursus teologi
klasik cenderung lebih mengarah pada speculative exercise dan bahkan tidak jarang
berujung pada pertumpahan darah. Perhatian teologi klasik bukan tentang dunia, tapi soal
akhirat.

Sementara dalam pandangan Engineer, Nurcholish Madjid dan Amien Rais, tauhid tidak
sekedar dilihat dari dimensi teologis, namun juga dari perspektif sosiologis. Untuk itu,
tauhid menurut Engineer tidak hanya berarti keesaan Tuhan tetapi juga kesatuan manusia
yang dalam perwujudannya ditandai dengan adanya masyarakat yang egaliter (masyarakat
tanpa kelas). Begitupun Amien Rais melihat bahwa keesaan Tuhan sebagai sumber bagi
kesatuan kemanusiaan, penciptaan, tuntunan hidup, dan kesatuan tujuan hidup. Hal ini
berarti bahwa pandangan dunia tauhid bersifat utuh dan secara inheren mengandung
semangat pembebasan dan transformasi yang integral. Sementara Cak Nur, tauhid sebagai
komitmen manusia pada Tuhan memiliki dimensi pembebasan kemanusiaan yang sangat
berarti, yakni dimensi pembebasan diri (self liberation) dan dimensi pembebasan sosial
(social liberation).

1. Makna Istilah Pembebasan.


Dalam bukunya Freedom, A New Analysis, Maurice Craston, sebagaimana diungkap
oleh Nico Syukur Dister memberi contoh bagaimana perkataan “bebas” yang satu dan
sama itu dapat menunjukkan bermacam-macam kenyataan. Seperti pemakaian terma
“kebebasan” oleh Lord Acton yang menggambarkan sejarah manusia dari sudut perjuangan
untuk memperoleh kebebasan. Dalam pandangan ini kebebasan bukan sesuatu yang telah
dimiliki manusia demi kodrat, melainkan sesuatu yang perlu diperjuangkan. Akan tetapi
Rousseau menegaskan dengan pernyataannya yang terkenal, “ Manusia telah lahir dalam
kebebasan, tetap dimana-mana ia terbelenggu”.

Kalau saja perkataan “bebas” hanya memiliki satu arti saja, maka Acton dan Rousseau
sudah pasti bertentangan pendapatnya mengenai suatu fakta. Acton beranggapan bahwa
manusia sedang berkembang menjadi lebih bebas dari pada semula, sedangkan Rousseau
menyatakan bahwa bangsa manusia kurang bebas dari pada semula. justru karena kata
“bebas” mempunyai berbagai arti. Untuk itu tidak dapat disimpulkan bahwa keduanya
bertentangan pendapatnya tentang fakta dalam sejarah, mereka hanya memakai kata
“kebebasan” dalam arti yang berbeda.

Kebebasan yang menurut Acton diperjuangkan manusia ialah kebebasan dari belenggu
alam. Bangsa manusia sekarang (jauh lebih) bebas dari penyakit, kelaparan,
ketidaknyamanan, kebodohan, dan takhayul, (dari pada semula/sebelumnya). Bentuk
kebebasan ini oleh Acton disebut Citra progressif. sementara kebebasan menurut Rousseau
adalah kebebasan dari belenggu institusiinstitusi politik yang telah maju, seperti polisi,
pajak, wajib militer dan lain-lain. Dengan kembali kepada cara-cara hidup yang lebih
primitif dan alamiah (Back to nature) orang mengharapkan dapat dibebaskan dari belenggu-
belenggu ini. Bentuk kebebasan ini disebut citra romantik.

Berdasar pada uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa arti kata “ bebas”, “kebebasan”
dan “pembebasan” baru menjadi jelas jika dikatakan dari apa seseorang telah dibebaskan.
Oleh karena itu, kebebasan pada dasarnya adalah tidak adanya penghalang atau pembatas,
paksaan atau halangan, beban atau kewajiban untuk memperoleh harkat, martabat dan hak-
hak asasinya yang luhur dan agung

Selanjutnya istilah “pembebasan” yang dipakai dalam konteks agama, pertama kali
muncul pada gereja Kristen di Amerika Latin, baik oleh pastor ataupun para aktivis muda
yang menyadari bahwa kondisi sosial politik di Amerika Latin sangat buruk dan gereja
terlibat erat dalam masalah ini. Karena gereja tetap menerima bantuan dari rezim diktator,
mengakui dan menyokongnya. Gustavo Guiterres (1979) seorang juru bicara kelompok ini
mengecam situasi tersebut dengan menerbitkan bukunya “ Teologia de Liberation” atau
teologi pembebasan.

Teologi menurut pengikutnya tidak boleh hanya bersifat spekulatif dan tidak sekedar
bertujuan memberikan kepuasan emosional kepada manusia, lebih dari sekedar itu harus
memberikan dan menjadi pedoman untuk mewujudkan suatu masyarakat yang egaliter dan
adil. Sekalipun untuk maksud tersebut harus menggunakan analisis Marxis untuk mengerti
lebih baik sistem sosial plitik.

Sekali lagi dalam konteks ini, teologi sebagaimana dipahami oleh Gustavo dan
pengikutnya tidak sekedar membatasi diri pada wilayah pemikiran yang spekulatif
(metafisik) ahistoris, tetapi harus mencakup juga wilayah praktis empiris hirtoris. Dengan
ungkapan lain bahwa teologi disamping mampu melahirkan kesadaran agama (bertuhan)
yang bersifat rasional juga dapat membentuk kesadaran beragama (bertuhan) yang bersifat
kritis.

2. Semangat Liberasi dalam Teologi Klasik.


Islam sebagai agama yang menganut paham kesatuan antara dunia dan akhirat, alam
idea dan alam realis, yang abstrak dan yang kongkrit, substansi da bentuk, transenden dan
imanen, sakral dan profan serta lahir dan bathin, denga sendirinya menuntut adanya pola
pemahaman dan interpretasi terhadap maknamakna yang ada dibalik teks dengan
menggunakan kekuatan akal (rasio). ). Islam menurut Charles Kurzman, memiliki tradisi
interpretasi liberal atas teks-teks yang dimilikinya. Interpretasi itu berkembang dari tradisi
Islam sendiri, bukan hasil adapsi dari luar Islam.

Sebenarnya tradisi liberalisme dalam Islam sudah dimulai sejak zaman klasik. Zuly
Qadir menegaskan kalau tradisi liberalisme Islam telah dimulai sejak masa para filosof dan
ahli hukum serta ulama mutakallimin. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai aliran
dalam Islam, baik di bidang filsafat, teologi, maupun hukum, seperti Qadariyah, Mu’tazilah,
Syiah dan kelompok-kelompok rasional lainnya.

Terdapat beberapa aliran teologi klasik yang dapat dikatakan mengusung dan
menyuarakan semangat liberasi, yang bisa dilihat dari doktrin-doktrinnya dan interpretasi
mereka terhadap ayat-ayat al-Quran. Terkait dengan hal ini Asghar Ali Engineer
mengemukakan ada empat aliran teologi klasik yang menyuarakan semangat liberasi, yaitu
Khawarij, Mu’tazilah, Syi’ah dan Qaramitah.

Pertama yang menyuarakan semangat liberasi adalah kelompok Khawarij. Pada awalnya
Khawarij merupakan pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar dari barisannya, karena tidak
setuju dengan sikap Ali yang telah menerima arbitrase atau tahkim sebagai jalan untuk
menyelesaikan persengketaan tentang khalifah dengan pihak Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan.

Secara garis besar Khawarij terbagi menjadi dua kelompok besar yang dapat mewakili
sekte-sekte yang ada dalam aliran Khawarij. PertamaAl-Azariqah yang namanya diambil
dari Nafi Ibn Al-Azraq. Kelompok ini memiliki pandangan politik dan teologis yang
ekstrim. Slogan mereka yang terkenal adalah La Hukm Illa Li Allah (tidak ada hukum
kecuali hukum Allah). Semua keputusan dan penilaian harus sesuai denganal-Quran.
Interpretasi mereka terhadap al-Quran bersifat legal formalistik.

Berbeda dengan kelompok pertama, aliran kedua an-Najdat memiliki pandangan politik
dan teologis yang moderat. Orang Islam Yang tidak tinggal di wilayahnya dan tidak
mendukung mereka secara aktif tidak dicap sebagai kafi atau keluar dari Islam, tetapi dicap
sebagai hipokrit (munafik).

Mu’tazilah adalah aliran teologi klasikkedua yang mengumandangkan semangat


pembebasan dan kebesan berpikir. Istilah Mu’tazilah digunakan untuk menyebut Wasil bin
Atha’ dan para pengikutnya yang diisolir oleh gurunya, alHasan al-Basri akibat isu al-
manzilah bayn al-manzilatayn. Mu’tazilah kadang disebut juga dengan Qadariyah, karena
isu al-qadr yang dikemukakan oleh mazhab ini.

Mazhab Mu’tazilah dikenal sebagai pendekar pemikiran rasional karena banyak


menyandarkan pada akal daripada tradisi. Rationalistik objectivis merupakan karakteristik
pemikiran Mu’tazilah. Menurut mazhab ini, jika terjadi kontradiksi antara akal dan wahyu,
maka akal harus didahulukan, karena tidakla mungkin menemukan makna teks tanpa
perantara akal. kecenderungan ini membuat mereka dalam memahami kitab suci lebih
mendasarkan pada ta’wil (interpretasi metaforis).

Dalam wacana pemikiran teologi klasik aliran Mu’tazilah dikenal sebagai pendorong
kebebasan berpikir (free will). Mereka sering diasosiasikan dengan faham Qadariyah yang
berpandangan bahwa manusia sendirilah yang bertanggungjawab atas apa yang mereka
perbuat, bukan Tuhan (sebagaimana diyakini oleh aliran Asy’ariyah).

Kaum Mu’tazilah memiliki doktrin yang terkenal dengan al-ushul alkhamsa (lima
prinsip), yakni (1) Doktrin tauhidi (2) Keadilan Tuhan (3) Janji dan ancaman (4) teori posisi
antara dua posisi (al manzilah bayna manzilatayn); (5) kewajiban bagi setiap orang yang
beriman untuk menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran (amar ma’ruf nahy
munkar).

Meskipun Mu’tazilah mempunyai doktrin keadilan sebagaimana disebut diatas, tapi


yang dimaksud disini adalah keadilan Tuhan, dalam artian bahwa Tuhan tidak bisa berbuat
tidak adil dan akan senantiasa melakukan perbuatan yang baik. Dalam hal ini keadilan
Tuhan adalah semacam kewajiban permanen bagi-Nya. Dengan demikian ke-Mahakuasaan
Tuhan dibatasi oleh tuntutan keadilan. Apakah dengan demikian Tiuhan tidak bisa berbuat
tidak adil?. Menurut pandangan Mu’tazilah Tuhan bisa saja berbuat demikian, namun Dia
tidak mau karena ada kebijaksanaan dan Rahmat-Nya. Dengan demikian konsep
keadilanyang dimaksud adalah keadilan di alam sana ( Metafisik transendental) bukan
keadilan kini dan disini (Historis Imanen).

Sebagai konsekuensi dari konsep keadilan adalah Tuhan tidak dapat memutuskan
bahwa seseorang akan diselamatkan dan yang lain akan dicelakakan diakhirat nanti tanpa
memepertimbangkan perbuatan mereka di dunia. Dalam konteks ini, Mu’tazilah
mengembangkan konsep kebebasan manusia dan tanggungjawabnya. Dalam artian bahwa
manusia bebas untuk berbuat apa saja karena dia sendirilah yang akan bertanggungjawab
atas apa yang diperbuatnya, beriman atau kufur, taat atau tidak manusialah yang
menentukannya. Sungguh tidak adil jika Tuhan yang menentukan apakah seseorang beriman
atau kafir, taat atau tidak taat.
Aliran teologi ketiga yang mengembangkan spirit pembebasan adalah Syi’ah. Pada
awalnya aliran ini merupakan gerakan politik yang besar. Mereka adalah sekelompok orang
pendukung Ali bin Abi Thalib. Kaum Syi’ah beranggapan bahwa Ali memiliki hak atas
kekhalifahan tersebut berdasarkan ketetapan Tuhan dan mandat dari Nabi Muhammad.
Secara garis besar Syi’ah dibagi kedalam tiga kelompok besar, yakni Syi’ah Asy’ariah
(Syi’ah dua belas imam), Syi’ah Zaidiyah (Syi’ah lima imam) dan Syi’ah Ismailiyah (Syi’ah
tujuh imam).

Aliran keempat yang dianggap oleh Engineer menyuarakan dan mengusung liberasi
adalah Qaramitah. Aliran ini sebenarnya merupakan fase pertama dari Syi’ah Tujuh yang
terbentuk pada tahun 890. Nama Qaramitah berasal dari nama pemimpinnya, yakni Hamdan
Qarmat, seorang petani yang menjadi peletak dasar gerakan ini. Aliran Qaramitah
merupakan gerakan yang mengkombinasikan antara doktrin agama dengan gerakan revolusi
dan program keadilan sosial serta pembagian kembali harta kekayaan.

Qaramitah merupakan sebuah gerakan “akar rumput” yang berasal dari kalangan petani
dan pekerja. Semangat dan tujuan gerakan ini untuk menciptakan persamaan dan keadilan.
Namun demikian, cara-cara yang mereka tempuh terkadang bersifat sewenag-wenang,
serampangan dan anti demokrasi.

Dari uraian di atas tampak bahwa keempat aliran teologi tersebut bersifat ambigu,
dalam artian di satu sisi aliran-aliran tersebut mengusung dan mengumandangkan semangat
liberasi, keadilan dan persamaan, namun disisi lain mereka bertindak intoleran, sewenang-
wenang dan anti demokrasi. Dan jika ditambah dengan aliran teologi yang lain seperti
Asy’ariyah, Maturidiyah, Murji’ah dan sebagainya, maka sosok teologi klasik yang abstrak,
ahistoris dan absurd akan semakin tampak.

Terkait dengan hal di atas, Engineer, di samping memberikan apresiasi secara positif
terhadap keempat aliran teologi di atas juga mengkritisinya dengan menegaskan bahwa
teologi klasik dalam bentuknya yang diterima hingga sekarang tidaklah secara implisit
mensiratkan pembebasan manusia, karena konsen utama teologi tersebut adalah soal
pembebasan dalam wilayah metafisik dan diluar proses kesejarahan. Lebih lanjut dia
menegaskan bahwa diskursus teologi klasik cenderung lebih mengarah pada speculative
ercise dan bahkan tidak jarang menyebabkan pertumpahan darah. Perhatian utama teologi
klasik bukanlah tentang dunia, akan tetapi tentang akhirat.

Dengan wataknya yang bersifat metafisik–normatif dan deduktif-spekulatif serta


berorientasi pada dimensi teosentris semata, maka tidak aneh jika kalam klasik (teologi)
kurang atau bahkan tidak memiliki kepekaan terhadap persoalanpersoalan umat dan
persoalan-persoalan kemanusiaan universal

3. Pandangan Dunia Tauhid: Sumber dan Dasar Pembebasan.


Tauhid sebagai episentrum bagi seluruh bangunan ajaran Islam tidak dimaknai sebatas
pernyataan monoteistik bahwa Tuhan ini Esa. Lebih dari itu, tauhid menurut Ali Syariati
seperti dikutip oleh Syarifuddin Gazal jug a merupakan pandangan dunia yang melihat
seluruh dunia merupakan sistem yang utuh-menyeluruh, harmonis, hidup dan sadar diri yang
melampaui segala dikotomi, dibimbing oleh tujuan Ilahi yang sama. Pernyataan ini menurut
Ismail Raji al-Faruqi mengandung makna yang paling agung dan paling kaya dalam seluruh
khazanah Islam. Segala keragaman, kekayaan, dan sejarah, kebudayaan, dan pengetahuan,
kebijaksanaan dan peradaban Islam terangkum dalam kalimat “La Ilaha illallah”.

Doktrin tauhid tidak hanya mempunyai konsekuensi relijius, tapi juga mempunyai
implikasi sosial-ekonomi. Nabi Muhammad SAW ketika mendakwahkan kalimat La ilaha
illa Allah, tidak hanya berarti menegasikan berhala-berhala yang ada di Ka’bah, akan tetapi
juga menolak untuk mengakui pemegang otoritas yang punya vested interest sangat kuat
pada masanya dan struktur sosial yang ada di bawah kekuasaan mereka.

Dengan demikian, doktrin tauhid memiliki dua dimensi, yakni dimensi spiritual
(religius) dan dimensi sosial politik. Aspek relijius berkaitan dengan penegasian berhala-
berhala yang disembah oleh masyarakat Mekkah. Sedangkan aspek sosial-politik berkaitan
dengan perlawanan nabi Muhammad SAW terhadap dominasi dan hegemoni kelompok-
kelompok tertentu dalam bidang ekonomi. Dalam konteks ini, tauhid oleh Asghar tidak
sekedar dilihat dari kacamata teologisnya, namun juga dari sisi sosiologisnya. Hal ini
disebabkan Islam tidak membedakan apalagi memisahkan antara kehidupan spiritual dan
kehidupan sosial.

Pandangan hidup tauhid tidak mempertentangkan antara dunia dan akhirat, antara yang
alamidan yang adialami, antara yang imanen dan transenden, atau antara jiwa dan raga.
Sebaliknya pandangan dunia tauhid melihat alam sebagai satu kesatuan (unity of the whole
universe). Bila dihubungkan dengan kehidupan riel manusiaberarti tauhid disamping tidak
mengakui kontradiksi berdasarkan kelas sosial, keturunan dan latar belakang geografis, juga
menolak kontradiksi legal, sosial, politik, rasial, ekonomi dan bahkan kontradiksi nasional
antar bangsa.

Tauhid sebagai komitmen manusia kepada Tuhan, memiliki dimensi pembebasan


manusia dan kemanusiaan yang sangat berarti. Menurut Nurholis Madjid pembebasan yang
diaksud adalah: 1) pembebasan diri (self liberation) dari hawa nafsu (hawa al-nafs) yang
menghalangi manusia untuk menerima kebenaran karena kesombongan dan sikap tertutup
maupun sikap fanatik karena merasa telah berilmu. Pembebasan diri itu sejatinya merupakan
salah satu makna esensial dari kalimat persaksian (syahadat) dengan formulasi negatif-
konfirmasi “La ilaha illa’llah”, yang berimplikasi pada peningkatan harkat dan martabat
kemanusiaan seseorang; 2) Tauhid mengandung pembebasan sosial. Dalam al-Quran,
prinsip tauhidatau pandangan hidup berketuhanan Yang Maha Esa langsung dikaitkan
dengan sikap menolak thagut. Kata thagut selalu diartikan sebagai kekuatan sewenang-
wenang, otoriter, tiranik atau apa-apa yang melewati batas. Dan salah satu efek pembebasan
sosial dari semangat tauhid adalah kesanggupan seseorang untuk melepaskan diri dari
belenggu kekuatan tiranik.

Tauhid sebagai suatu pandangan dunia yang total memberikan pesan kepada setiap
Muslim untuk membangun suatu masyarakat yang bebas dari eksploitatif, feodalistik dan
menghindari pelapisan (stratifikasi) masyarakat berdasarkan kelas, ras, latar belakang
genetik dan sebagainya, yang oleh Asghar disebut sebagai masyarakat Islami yang tidak
akan mengakui adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, apakah berdasarkan ras, suku,
agama dan kelas. Lebih lanjut ia menegaskan, jika masih ada tirani eksploitasi dan mental
perbudakan, maka belum bisa dikatakan sebagai masyarakat Islami, (masyarakat egaliter
atau masyarakat tanpa kelas).

Maka jelas, tauhid sebagai dasar dan sumber pembebasan manusia memberikan dua
bentuk pembebasan yakni; 1) Pembebasan dari praktek penyembahan sesama manusia dan
difokuskan hanya menyembah Allah semata, 2) Perjuangan yang terus menerus untuk
melawan kekuatan status quo sebagai manifestasi keimanan pada Allah yang Esa. Dalam
konteks ini Ali Syari’ati menegaskan bahwa keistimewaan tawhid yang diaktualisasikan
oleh para nabi melalui agama-agama monoteisme pada tahap awal manifestasinya
merupakan gerakan melawan status quo dalam pengertian; pemberontakan melawan
pemerasan dan penindasan, serta revolusi yang menyeru penghambaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Sementara itu tawhid sebagai kekuatan pendobrak, memiliki fungsi praktis
idealis; praktis sebagai kekuatan untuk membangun kembali peradaban Islam dan idealis
sebagai sentrum seluruh pengetahuan.

Dari uraian di atas jelas bahwa tawhid tidak hanya terkait dengan persoalan- persoalan
metafisis belaka, namun terkait dan difokuskan juga pada persoalanpersoalan keduniaan
manusia. Hal ini telah diimplementasikan oleh nabi Muhammad dan para nabi sebelumnya
dalam wujud perlawanan terhadap dominasi hegemoni penguasa atau kelompok tertentu
dalam struktur sosial, ekonomi maupun politik yang berlangsung pada zamannya masing-
masing. Namun sayang sekali semangat al-Quran yang bersifat induktif dan konkret ini
tidak menjadi fokus bahasan para teolog klasik, dan sebaliknya mereka disibukkan leh
persoalan-persoalan metafisis belaka. Kondisi inilah yang kemudian mendorong Asghar
untuk mengembalikan semangat al-Quran yang bersifat induktif dan konkret ke dalam
rancang bangun pemikiran teologi masa kini, yang ia sebut dengan teologi pembebasan.

B. Humanisme
Humanisme Dalam Islam
Secara normatif humanisme dalam Islam ditempatkan dalam posisi yang sangat tinggi,
sebab penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan (humanisme) ditentukan langsung
oleh Allah. Islam menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan manusia sebagai satu-satunya
makhluk yang dijadikan-Nya “sebaik-baiknya” dan ditempatkan dalam posisi “paling
istimewa” diantara mahkluk yang lain. Oleh karena itu, manusia wajib menempatkan
martabat manusia dan kemanusiaan pada tempat yang “sebaik-baiknya”. Allah berfirman
dalam surat Bani Israil (17) ayat 70, yang Artinya :

Sesungguhnya telah Kami muliakan Bani (anak-anak) Adam dan Kami angkut
mereka dengan kendaraan di darat dan di laut serta Kami beri rezeki mereka
dengan yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk
yang Kami jadikan, dengan kelebihan (yang sempurna).

Ketinggian martabat ini, diperoleh karena manusia merupakan satu-satunya makhluk


ciptaan Allah yang mau menerima tawaran “amanat” Tuhan dan berani memikulnya.
Penerimaan manusia akan beban ini, telah menempatkan manusia pada derajat yang lebih
tinggi dibanding semua makhluk Tuhan, bahkan malaikat karena hanya manusia saja yang
mampu melaksanakan taklif atas tugas kosmik Tuhan.

Taklif adalah landasan bagi kemanusiaan, makna dan kandungannya. Taklif adalah
makna kosmik manusia dan inilah yang menjadi dasar ciri humanisme Islam serta yang
menjadi pembeda dari humanisme Yunani-Romawi serta pandangan-pandangan tentang
manusia yang lainnya.

Tanggung jawab dan kewajiban (taklif) yang dibebankan kepada manusia sama sekali
tidak mengenal batas, yakni sepanjang menyangkut jangkauan dan ruang tindakannya.
Manusia bertangungjawab atas segala sesuatu yang terjadi di alam raya. Seluruh manusia
merupakan obyek tindakan moralnya dan seluruh alam semesta adalah panggung dan bahan
yang harus diolahnya.

Taklif (kewajiban) dan tanggung jawab hanya didefinisikan dalam batas-batas perbuatan
manusia sebagai individu sebagai suatu tindakan yang dilakukan secara sadar dan atas
kemauannya sendiri dalam ruang dan waktu. Manusia dalam melaksanakan taklif hanya
dituntut untuk melaksanakan sebatas kemampuannya saja. Sebab tidak ada kemampuan
berarti tidak ada kemerdekaan. Dengan demikian, manusia tidak akan dimintai tanggung
jawab etis kecuali dengan kemampuannya.

Kemerdekaan dalam batas pengabdian kepada Tuhan akan menetapkan nilai manusia
sementara keluhuran manusia merupakan akibatnya secara tidak langsung. Hubungan antara
manusia dengan Tuhan telah menjadikan manusia sadar kepada rasa persamaan sedangkan
kualitas manusia yang paling tinggi adalah kemerdekaan dalam persamaan. Semua manusia
adalah sama dengan semua makhluk Tuhan, kecuali bagi yang telah merdeka serta memilih
untuk mengikuti wahyu Tuhan.

Kemerdekaan adalah esensi dari kemanusiaan. Kemerdekaan dalam arti bebas untuk
memilih sehingga tidak ada paksaan. Jadi, individualitas adalah pernyataan asasi yang
pertama dan terakhir daripada kemanusiaan serta letak kebenarannya daripada nilai
kemanusiaannya itu sendiri. Sebab, individu adalah penanggungjawab dari perbuatannnya.
Dengan demikian, kemerdekaan pribadi adalah haknya yang pertama dan asasi.

Tetapi individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer daripada kemanusiaan.
Kenyataan lain sifatnya adalah sekunder, sebab manusia hidup ditengah alam sebagai
makhluk sosial. Oleh karena itu, kemerdekaan harus diciptakan dalam kontek hidup
bermasyarakat. Dengan demikian, sekalipun kemerdekaan adalah esensi daripada
kemanusiaan, tidak berarti bahwa manusia selalu merdeka dimana saja. Jadi, persamaan
merupakan esensi dari kemanusiaan selanjutnya. Konsekuensinya, kemerdekaan seseorang
dibatasi oleh kemerdekaan orang lain.

Dalam melaksanakan tindakan moralnya, manusia tidak hanya berhenti pada niat baik
semata tetapi mesti terdapat aktualisasi dalam bentuk “tindakan” karena keduanya memiliki
hubungan yang erat sebagaimana hubungan antara ilmu dan amal. Hal ini juga merupakan
konsekuensi iman seorang muslim yang mesti diaktualisasikan dalam Inilah esensi
tangggungjawab manusia untuk mengaktualisasikan dimensi moralnya melalui usaha dan
tindakan dari pola bentuk perbuatan. ilahi yang telah diwahyukan dalam bentangan ruang
dan waktu.

Dengan konsepsinya tentang Tuhan dan manusia, Islam tidak memisahkan kehidupan
antara spiritul dan duniawi. Humanisme Islam tidak mengesampingkan monoteisme mutlak
akan tetapi memberikan kepada manusia keagungan untuk mengembangkan kebajikan
dalam kehidupan. Penegasan manusia terhadap manusia dan ajaran tentang Tuhan yang
Maha Sempurna mengakibatkan humanisme yang seimbang serta tidak mengakibatkan
pengagungan terhadap individu.

Pendekatan sejarah juga memiliki bukti kuat bahwa humanisme memperoleh pijakan
yang kuat dalam Islam. Dalam sejarah, humanisme tidak hanya berhubungan dengan
kelompok Mu’tazilah. George Maksidi mencatat bahwa pada masa klasik, berbagai
kelompok humanis cukup memainkan peran penting dalam sejarah Islam.

Secara garis besar, sebagaimana dikutip Abdurrahman Mas’ud, Maksidi


mengkategorikan kelompok humanis tersebut dalam dua kategori, yaitu profesional dan
amatir. Kelompok pertama terdiri dari para duta besar, konselor, penegak hukum,
pembicara, sastrawan, pengadilan, perdana mentri, sejarawan dan tutor. Sementara itu,
kelompok kedua adalah para peramal, astrolog, astronom, ahli kaligrafi, pedagang, dokter
dan notaris. Para humanis ini memiliki latar belakang keagamaan yang beragam, dari
Mu’tazilah, Asya’ariyah, Hanafiyah sampai Malikiyyah.

Selain itu, pada abad X di Bagdad, Cordova, Cairo, Teheran, Shiras, dan Isfahan, Islam
adalah “agama humanis” ; agama yang sangat terbuka pada kebudayaan. Umat Islam pada
waktu itu banyak mempelajari filsafat Yunani, mendiskusikan berbagai aliran agama yang
ada, termasuk Chistiany dan Yahudi dengan Islam.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam mempunyai potensi nilai universalisme dan
humanisme. Keuniversalan Islam, dibuktikan dengan sikapnya yang lentur terhadap
perkembangan zaman yang terus bergulir. Islam semakin diharapkan tampil dengan tawaran
kultural yang produktif dan konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa
kebaikan untuk semua (rahmatan lil ‘alamiin).

Dalam mensosialisasikan nilai keuniversalannya, Islam banyak menghadapi kendala


yang berimplikasi pada termaginalnya nilai Islam. Hal ini disebabkan, Islam hadir dalam
wajah yang ekslusif dalam memandang tatanan sosial kemasyarakatan. Akibatnya, Islam
kurang membawa kesejukan spiritual dan belum mampu mengatasi problem zaman.

Melihat ironi sedemikian rupa, tepatlah kiranya apa yang pernah dikatakan oleh seorang
filosof humanis zaman klasik Islam Abu Hayyan At-Tauhidi sebagaimana dikutip oleh
Novrianto. At-Tauhidi menyatakan : “Al-insan asykala ‘alaihil insan” (sungguh manusia
telah sengsara oleh manusia yang lainnya).
Penyebab masalah ini adalah hadirnya pola pikir yang terlalu teosentris sehingga masalah
antroposentris kurang dikembangkan. Untuk itu, perlu adanya pergeseran paradigma
berfikir yang bersifat komprehensif integral.

Dalam kontek ini, kiranya Plotinus sebagaimana dikutip Zainul Arifin yang pernah
mencoba memahami dunia sebagai kesatuan yang utuh bisa dijadikan dasar rujukan.
Dengan pemahaman terhadap dunia dalam kesatuan yang utuh, manusia akan selalu
berusaha melihat hubungannya dalam kosmis yang besar. Manusia tidak hanya akan sensitif
terhadap masalah spiritual semata, tetapi selalu menyuarakan sem angat kemanusiaan.
Begitu pula sebaliknya.

C. Filantropi Islam
1. Pengertian Filantropi
Menurut bahasa, makna filantropi (philantropy) yaitu kemurahatian, sumbangan sosial,
atau kedermawanan dapat diartikan bahwa filantropi adalah suatu hal yang menunjukkan
cinta kepada manusia (John dan Hassan, 1995). Sedangkan menurut istilah filantropi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu philos (cinta) dan antrhopos (manusia), sehingga secara
harfiah dapat dimaknai sebagai pengkonsepan dari kegiatan memberi (giving), pelayanan
(service) dan asosiasi (association) (Chaider dan Irfan, 2005). Menurut James O. Midgley,
filantropi adalah salah satu bentuk pendekatan dari tiga pendekatan untuk memperkenalkan
kesejahteraan yang termasuk di dalamnya adalah upaya pengentasan kemiskinan yaitu
pendekatan social service (social administration), social work dan yang selanjutnya
philanthropy (Imron, 2011:36).

Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulkan jika filantropi dapat disebut suatu
kedermawaan, kemurahatian atau sumbangan sosial untuk orang lain yang lebih
membutuhkan atas dasar rasa cinta, hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan penerimanya. Filantropi yang diartikan kedermawanan saat ini dimaknai
dengan lebih fleksibel dan beragam di masyarakat. Konsep filantropi Islam juga diambil
dan diartikan dalam berbagai bentuk gambaran sosial serta ekonomi, baik yang bersifat
individu ataupun kolektif. Doktrin-doktrin agama mengenai keharusan memberi dan
membantu orang fakir serta miskin dengan cara menyalurkan sebagian harta benda dari
orang-orang mampu, sehingga menimbulkan inspirasi pada sebagian masyarakat untuk
membuat lembaga filantropi ini. Pada saat ini kegiatan filantropi tumbuh dengan sangat
cepat, hal tersebut terbukti dengan munculnya aktor-aktor penggerak filantropi Islam dari
berbagai background dan fungsi keorganisasian yang berbeda pula, walaupun itu organisasi
masyarakat sipil (yayasan-yayasan keagamaan), organisasi yang berorientasi pada
keuntungan (perusahaan-perusahaan), ataupun organisasi milik negara (aparatur
pemerintah) (Hilman, 2013:12).

2. Lembaga Pengelola Dana Filantropi Islam


Untuk memobilisasi dana filantropi agar dapat terkelola dengan terstruktur dan
sistematis sehingga kemudian nantinya bisa bermanfaat sebagaimana mestinya, jadi sudah
pasti diperlukan sebuah lembaga yang dapat menjadi penghubung antara si kaya dan si
miskin. Seperti yang telah di paparkan sebelumnya, jika yang jadi inti pada penelitian ini
adalah gambaran filantropi yang berfokus pada ZISWAF. Maka dari itu lembaga pengelola
filantropi yang dimaksud adalah lebih tertuju kepada lembaga pengelola ZISWAF.

Seluruh ketentuan tentang institusionalisasi zakat secara garis besar terdapat pada
Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 mengenai Pengelolaan Zakat, serta
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291
Tahun 2000 Mengenai Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Tetapi, UU No 39 Tahun 1999
berubah menggunakan UU No 23 Tahun 2011 mengenai pengelolaan zakat. Hal tersebut
disebabkan karena Undang-Undang No 39 Tahun 1999 dianggap sudah tidak cocok lagi
terhadap perkembangan kebutuhan hukum di masyarakat sehingga perlu adanya perubahan.
Pengelolaan zakat yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 mengenai
kegiatan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, serta pendayagunaan.

Pada peraturan perundang-undangan No 39 Tahun 1999 telah diakui adanya 2 tipe


lembaga yang bisa mengelola dana zakat serta filantropi pada umumnya yaitu:

a. Badan Amil Zakat (BAZ) yaitu lembaga atau organisasi yang di bentuk dari
kebijakan pemerintah pemerintah.
b. Lembagi Amil Zakat (LAZ), yaitu lembaga atau organisasi yang terbentuk
dari mansyarakat itu sendiri.

Tetapi, pada Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 dibandingkan pada UU No. 23


Tahun 2011, ada perbedaan struktur diinstitusi. Pada usaha untuk mencapai tujuan
pengelolaan zakat, dibentuklah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang bertempat di
ibukota negara, BAZNAS wilayah provinsi, dan BAZNAS wilayah kabupaten/kota.
BAZNAS dapat diartikan lembaga milik pemerintah nonstruktural yang sifatnya mandiri
dan memiliki tanggung jawab langsung kepada Presiden melalui Menterinya.

BAZNAS adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan tugas


mengelolaan zakat berskala nasional. Sedangkan guna membantu tugas BAZNAS dalam
menjalankan kegiatan pengumpulan, pendistribusian, serta pendayagunaan zakat, maka
masyarakat bisa mendirikan Lembaga Amil Zakat (LAZ). LAZ yang akan dibentuk harus
mendapatkan izin dari Menteri atau pejabat yang ditentukan oleh Menteri. LAZ
berkewajiban untuk selalu melaporkan secara berkala kepada BAZNAS dari kegiatan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang sudah diaudit syariat dan
keuangannya. Maka dari itu kedudukan LAZ tidak setara dengan BAZ.

3. Program Filantropi Kreatif


Helmut K. Anheier dan Diana Leat berpendapat bahwa filantropi kreatif memfokuskan
perhatiannya di beberapa aspek yang akan dijadikan untuk tolak ukurnya. Sebuah lembaga
filantropi bisa dikatakan sebagai lembaga filantropi kreatif jika dapat memenuhi beberapa
kriteria-kriteria berikut, yaitu :
a. Peran, suatu lembaga filantropi bisa dikatakan sebagai filantropi kreatif jika
dapat membuat program yang kreatif dan inovatif dan bisa berkontribusi
secara terus menerus guna menciptakan komunikasi dengan pihak luar yang
bertujuan untuk menggali permaslahan-permasalahan sosial. Hal tersebut ada
kaitannya dengan cara untuk menyusunan strategi dan program yang saling
berhubungan.
b. Sumber daya dan aset, filantropi dapat dikatakan kreatif apabila memiliki
modal namun modal yang dimaksud bukan hanya modal dana yang didapat
tetapi juga modal sosial.
c. Cara pandang program yang dapat berubah, bentuk kebijakan pada
filanropi kreatif bukan hanya memiliki sifat top-down maupun bottom-up,
tetapi harus dapat fleksibel dan juga berkemungkinan bahwa bentuk
kebijakan yang dimiliki merupakan campuran dari dua bentuk kebijakan
tersebut.
d. Kemampuan jaringan, filantropi dapat dikatakan kreatif apabila dapat
memanfaatkan kebebasan yang ia miliki tetapi juga harus memiliki jaringan
untuk salah satu kemampuan mereka dalam bergerak. Jaringan dalam hal ini
tercipta dari partisipasi dengan pihak-pihak lain baik lembaga pemerintah,
lembaga profit, maupun non profit.
e. Program planing, program yang akan diciptakan untuk usaha pemberdayaan
yaitu program yang fokus guna mengentaskan masalah yang ada dan
tentunya program harus kreatif. Pada perencanaannya itu diperlukan
kebebasan dan ruang guna menggali kemampuan yang ada.
f. Penyiaran, penyiaran menjadikan sesuatu yang paling penting pada suatu
lembaga dikarenakan berperan dalam mempublikasikan program-program
yang ada pada lembaga filantropi serta berkaitan dengan usaha pengumpulan
dana tersebut. Penyiaran dapat dilaksanakan menggunakan bermacam-macam
media baik elektronik, cetak, ataupun media sosial.
g. Pelaksanaan, butuh adanya strategi dan kerjasama pada pengimplementasian
program didalam persaingan suatu lembaga filantropi. Keadaan tersebut
terpaut dengan harapan lembaga filantropi itu untuk dapat selalu bertahan
pada saat melaksanakan kegiatannya selaku lembaga yang bergerak pada
filantropi.
h. Evaluasi kerja, penilaian serta evaluasi tentunya diharuskan bisa dalam
jangka panjang sesuai terhadap program yang telah dilakukan, kondisi
tersebut dapat disebabkan oleh filantropi kreatif meluangkan waktu, biaya,
dan pemahamannya mengenai bagaimana upaya menumbuhkan kebaikan
bersama apabila mengutip kata dari W. K. Kellog Foundation. Dari
penjelasan diatas penulis mengambil study kasus pada Lembaga Amil Zakat
Dompet Dhuafa yang memiliki program pemberdayaan yaitu Institut Mentas
Unggul.

Anda mungkin juga menyukai