Anda di halaman 1dari 4

PENGERTIAN PENALARAN DEDUKTIF

Refensi 1

Penalaran Deduktif adalah suatu kerangka atau cara berfikir yang bertolak dari sebuah
asumsi atau pernyataan yang bersifat umum untuk mencapai sebuah kesimpulan yang bermakna
lebih khusus. Ia sering pula diartikan dengan istilah logika minor, dikarenakan memperdalami
dasar-dasar pensesuaian dalam pemikiran dengan hukum, rumus dan patokan-patokan tertentu.
Pola penarikan kesimpulan dalam metode deduktif merujuk pada pola berfikir yang disebut
silogisme. Yaitu bermula dari dua pernyataan atau lebih dengan sebuah kesimpulan. Yang mana
kedua pernyataan tersebut sering disebut sebagai premis minor dan premis mayor. Serta selalu
diikuti oleh penyimpulan yang diperoleh melalui penalaran dari kedua premis tersebut. Namun
kesimpulan di sini hanya bernilai benar jika kedua premis dan cara yang digunakan juga benar,
serta hasilnya juga menunjukkan koherensi data tersebut. Contoh dari penggunaan premis dalam
deduksi: Premis Mayor: Perbuatan yang merugikan orang lain adalah dosa. Premis Minor:
Menipu merugikan orang lain. Kesimpulan: Menipu adalah dosa. Selain itu, matematika sebagai
salah satu disiplin keilmuan. yang yang menerapkan prinsip koherensi di dalam pembuktian
kebenarannya.

Penalaran deduktif merupakan salah satu cara berfikir logis dan analistik, yang tumbuh dan
berkembang dengan adanya pengamatan yang semakin intens, sistematis, dan kritis. Juga
didukung oleh pertambahan pengetahuan yang diperoleh manusia, yang akhirnya akan bermuara
pada suatu usaha untuk menjawab permasalahan secara rasional sehingga dapat dipertanggung
jawabkan kandungannya, tentunya dengan mengesampingkan hal-hal yang irasional. Adapun
penyelesaian masalah secara rasional bermakna adanya tumpuan pada rasio manusia dalam
usaha memperoleh pengetahuan yang benar. Dan paham yang mendasarkan dirinya pada proses
tersebut dikenal dengan istilah paham rasionalisme. Metode deduktif dan paham ini saling
memiliki keterikatan yang saling mewarnai, karena dalam menyusun logika suatu pengetahuan
para ilmuan rasionalis cenderung menggunakan penalaran deduktif.

Lebih jauh lagi deduksi sering lahir dari sebuah persangkaan mayoritas orang. Sehingga
hampir bisa dikatakan bahwa setiap keputusan adalah deduksi, Dan setiap deduksi diambil dari
suatu generalisasi yang berupa generalisasi induktif yang berdasar hal-hal khusus yang diamati.
Generalisasi ini terjadi karena adanya kesalahan dalam penafsiran terhadap bukti yang ada.
Generalisasi induktif sering terjadi dari banyaknya tumpuan pada pengamatan terhadap hal-hal
khusus yang kenyataanya tidak demikian. seperti halnya kesalahan dokter dalam mendiagnosis
penyakit pasien, hal ini terjadi karena tanda-tandanya sama namun bisa jadi ada penyakit lain
dengan tanda-tanda seperti itu, ataupun kasus polisi yang menyelidiki barang bukti di tempat
tindakan kriminal.

Ada beberapa teori yang sering dikaitkan dengan penalaran deduktif. Di antaranya “teori
koherensi”, serta “teori kebenaran pragmatis.” Hal yang disebut terakhir merupakan sebuah
proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta real yang mendukung
semua pernyataan sebelumnya. Adapun pencetus teori ini adalah Charles S. Pierce dalam sebuah
makalah dengan judul “how to make our ideas clear?” yang terbit pada tahun 1878. Bagi
seorang penggiat pragmatisme, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan ada tidaknya
fungsional hal tersebut dalam kehidupan praktis. Dengan kata lain, sebuah pernyataan bernilai
benar jika berkonsekuensi dengan adanya kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Sehingga
penalaran deduktif juga sering diartikan sebagai sebuah metode eksperimen.

Kelebihan model ini adalah terletak pada faktor kebutuhan fokus yang intens dalam
menganalisa suatu pengertian dari segi materinya, sehingga penggunaan waktu bisa lebih
efisien. Bahkan dari segi lain keterampilan yang digunakan bisa tersusun lebih rapi, hal ini bisa
terjadi karena poin-poin yang ingin dicapai sudah jelas. Terlebih pendekatan ini sesuai untuk
digunakan dalam proses pembelajaran, seperti halnya guru memberikan penerangan sebelum
memulai pembelajaran. Selain itu pada deduksi, kesimpulannya merupakan suatu konsekuensi
logis dari premis-premisnya. Sehingga pada suatu penalaran yang baik, kesimpulan dapat
menjadi benar manakala premis-premisnya benar. Adapun kelemahannya terletak pada aktifitas
penarikan kesimpulan yang dibatasi pada ruang lingkup tertentu. Serta jika salah satu dari kedua
premisnya, atau bahkan keduanya salah maka kesimpulan yang didapat berdasarkan premis
tersebut akan salah pula. Kelemahan lainnya adalah kesimpulan yang diambil berdasarkan
logika deduktif tak mungkin lebih luas dari premis awalnya, sehingga sulit diperoleh kemajuan
ilmu pengetahuan jika hanya mengandalkan logika deduktif. Selain itu manakala argumennya
diuji kebenarannya, maka yang mungkin teruji hanya bentuk atau pola penalarannya tapi bukan
materi premisnya, jadi benar salahnya premis tersebut tidak dapat diuji.
Mustofa, Imron. "Jendela Logika dalam Berfikir; Deduksi dan Induksi sebagai Dasar Penalaran
Ilmiah." EL-BANAT: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam 6.2 (2016): 1-21.

Mundiri, Logika. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Supriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.

Referensi 2

Logika deduktif adalah suatu metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum
kemudian dihubungkan kebagian-bagian yang khusus dalam penyusunan fakta guna mencapai
kesimpulan yang logis. Dalam logika deduktif, berpikir melalui penataan pernyataan yang
disebut silogisme yang terdiri (1) dasar pemikiran utama (premis mayor), (2) dasar pemikiran
kedua (premis minor), dan (3) kesimpulan (Kertayasa, 2012: 32). Dua proposisi yang pertama
berfungsi sebagai premis, sedang yang ketiga sebagai konklusi. Jumlah termnya ada tiga, yaitu
term subjek, term predikat, dan term medius. Term medius berperan sebagai penghubung antara
premis mayor dengan premis minor di dalam menarik konklusi, dan term medius itu tidak boleh
muncul pada konklusi. Term medius di samping sebagai penghubung kedua premis, juga
memiliki peran yang sangat vital, yaitu sebagai ‘key reason’ dari konklusi. Silogisme ini dapat
dipakai sebagai salah satu cara untuk mengetahui sesuatu secara logika sebagaimana
dikemukakan Fraenkel dan Wallen (1993: 5).

Berpikir deduktif atau berpikir rasional Merupakan sebagian dari berpikir ilmiah.
Penalaran deduktif yang dipergunakan dalam berpikir rasional merupakan salah satu unsur dari
metode Logiko-Hipotetiko-Verifikatif atau metode ilmiah. Dalam penalaran deduktif, menarik
suatu simpulan dimulai dari pernyataan umum menuju pernyataan-pernyataan khusus dengan
menggunakan rasio (berpikir rasional). Aristoteles (dalam Mundiri, 2000: 85-86) menyebut
penalaran deduktif dengan istilah silogisme. Aristoteles membatasi silogisme, sebagai argument
yang konklusinya diambil secara pasti dari premis-premis yang menyatakan permasalahan yang
berlainan. Soekadijo (1985: 40) menyatakan silogisme dalam logika tradisional digunakan
sebagai bentuk standar dari penalaran deduktif. Misalnya, semua mahasiswa mampu berlogika;
Joko adalah mahasiswa, maka Joko mampu berlogika. Simpulan apakah Joko mampu berlogika
atau tidak masih tergantung kebenaran premis-premis sebelumnya.

Konsepsi umum yang diketahui adalah sebagai model deduktif dari penjelasan ilmiah.
Peran logika adalah untuk menetapkan pernyataan yang dijelaskan konsekuensi hukum logika
(atau teori) yang bertindak menjelaskan hubungan dengan informasi tertentu lainnya. Walaupun
pengetahuan yang diperoleh dari penalaran yang memenuhi hukum logika belum terjamin
kebenarannya, namun logika tetap merupakan dasar untuk memperoleh pengetahuan yang benar.
Tanpa logika, penalaran tidak mungkin dilakukan, dan tanpa penalaran tidak akan ada
pengetahuan yang benar (Sudarminta, 2002: 40). Menurut Sudjana (1988: 9), hasil atau produk
berpikir deduktif dapat digunakan untuk menyusun hipotesis, yakni jawaban sementara yang
kebenarannya masih perlu diuji atau dibuktikan melalui proses keilmuan selanjutnya. Hipotesis
merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang dibahas. Hipotesis
berfungsi sebagai penunjuk jalan yang memungkinkan kita untuk mendapatkan jawaban, karena
alam itu sendiri membisu dan tidak responsif terhadap pertanyaan-pertanyaan.

Haeniah, Nurul. "Logika Dalam Pembelajaran." JURNALISTRENDI: JURNAL LINGUISTIK,


SASTRA, DAN PENDIDIKAN 4.1 (2019): 300-308.
Kertayasa, I Nyoman. 2012. Logika, Riset, dan Kebenaran. Widyatech 10(3): 29-44.
Mundiri. 2000. Logika. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Fraenkel, Jack R. and Norman E. Wallen. 1993. How to Design and Evaluate Research in
Education. Second Edition. New York: McGraw-Hill, Inc.

Anda mungkin juga menyukai