Anda di halaman 1dari 40

1

PROPOSAL PENELITIAN

Analisis Faktor Kepatuhan Petugas Dalam


Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada
RSUD dr. Zainoel Abidin 2016

Ns. Devi Yanti, S. Kep (Ketua)


NIP. 19770820 200312 2 007
dr. Azzaki Abubakar, Sp.PD-KGEH (Anggota)
NIP. 19710729 200112 1 002
Zahrul Fuadi, SKM, M. Kes (Anggota)
NIP. 19731222 199603 1 001
Yenni Harianthy, S. Kep (Anggota)
NIP. 19820104 200504 2 001
Ns. Rosa Galica Gita Gressia, S.Kep (Anggota)
NIK. 000 000 704
dr. Shefina Pyeloni Harnold (Anggota)
NIK. 000 000 561

KERJASAMA
RUMAH SAKIT UMUM dr. ZAINOEL ABIDIN
DENGAN
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN
KEPADA MASYARAKAT (LPPM) UNSYIAH
TAHUN 2016
2

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Kegiatan : Analisis Faktor Kepatuhan Petugas Dalam
Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada RSUD dr.
Zainoel Abidin 2016
Peneliti/Pelaksana
Nama Lengkap : Ns. Devi Yanti, S. Kep
NIP : 19770820 200312 2 007
Tempat Tugas : Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Anggota Peneliti (1)
Nama Lengkap : dr. Azzaki Abubakar, Sp.PD-KGEH
NIP : 19710729 200112 1 002
Tempat Tugas : Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Anggota Peneliti (2)
Nama Lengkap : Zahrul Fuadi, SKM, M.Kes
NIP : 19731222 199603 1 001
Tempat Tugas : Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Anggota Peneliti (3)
Nama Lengkap : Yenni Harianthy, S. Kep
NIP : 19820104 200504 2 001
Tempat Tugas : Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Anggota Peneliti (4)
Nama Lengkap : Ns. Rosa Galica Gita Gressia, S. Kep
NIK : 000 000 704
Tempat Tugas : Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Anggota Peneliti (5)
Nama Lengkap : dr. Shefina Pyeloni Harnold
NIK : 000 000 561
Tempat Tugas : Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Institusi Mitra (jika ada)
Nama Institusi Mitra :
Alamat :
Penanggung Jawab :
Tahun Pelaksana : Tahun 2016
Biaya Keseluruhan : Rp. 29.977.000,-

Mengetahui, Banda Aceh, 19 April 2016


Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Ketua
Kepada Masyarakat (LPPM) Unsyiah

(Prof. Dr. Ir. H. Hasanuddin, MS) (Ns. Devi Yanti, S. Kep)


NIP : 19601114 198603 1 001 NIP : 19770820 200312 2 007
3

PROPOSAL PENELITIAN

Kategori : Tahun
: 2016
Instansi : Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Nama Ketua : Ns. Devi Yanti, S. Kep

I. KETERANGAN UMUM

1. Judul : Analisis Faktor Petugas Dalam


Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Pada RSUD dr. Zainoel Abidin
2. Dibiayai oleh : Anggaran Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD)
3. Nomor Kontrak :
4. Tanggal :
5. Jumlah Biaya Penelitian : Rp. 29.977.000,-
6. Jangka Waktu Penelitian : 4 (empat) bulan
7. Personalia Penelitian

No Nama Instansi Tugas


1. Ns. Devi Yanti, S. Kep RSUD dr. Zainoel Abidin Koordinasi
dr. Azzaki Abubakar,
2. RSUD dr. Zainoel Abidin Analisis Data
Sp.PD-KGEH
3. Zahrul Fuadi, SKM, M.Kes RSUD dr. Zainoel Abidin Analisis Data
4. Yenni Harianthy, S. Kep RSUD dr. Zainoel Abidin Pengumpul Data
5. Ns. Rosa Galica Gita RSUD dr. Zainoel Abidin Pengumpul Data
Gressia, S.Kep
6. dr. Shefina Pyeloni RSUD dr. Zainoel Abidin Pengumpul Data
Harnold

8. Lokasi Penelitian : Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel


Abidin
4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B Rumusan Masalah ......................................................................... 4
C Tujuan Penelitian........................................................................... 4

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN


A. Definisi Alat Pelindung Diri.......................................................... 6
B. Jenis Alat Pelindung Diri............................................................... 7
C. Area Berisiko Tinggi...................................................................... 16
D. Definisi Kepatuhan........................................................................ 18
E. Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan........................................ 19
E. Aturan Pemakaian APD................................................................. 23

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN


A. Kerangka Konsep Penelitian ...................................................... 29
B. Pertanyaan Penelitian.................................................................. 29
C. Definisi Operasional.................................................................... 30

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN


A. Desain Penelitian ........................................................................ 32
B. Tempat dan waktu penelitian....................................................... 32
C. Populasi Dan Sampel Penelitian.................................................. 32
D. Analisa Data................................................................................ 34
E. Jadwal Penelitian......................................................................... 35
5

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 36
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat
dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih
bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. Dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan khususnya pasal 165 : “Pengelola tempat kerja wajib melakukan
segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan,
pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja”.
Berdasarkan pasal di atas maka pengelola tempat kerja di rumah sakit
mempunyai kewajiban untuk menyehatkan para tenaga kerjanya. Salah
satunya adalah melalui upaya kesehatan kerja disamping keselamatan kerja
sehingga risiko terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan
Akibat Kerja (KAK) di rumah sakit dapat dihindari (Kemenkes RI tentang
standar kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit, 2010).
Secara global, WHO (2000) mencatat dari 35 juta pekerja kesehatan, 3 juta
terpajan pathogen darah (2 juta terpajan virus HBV; 0,9 juta terpajan virus
HBC dan 170.000 terpajan virus HIV/AIDS), lebih dari 90% terjadi di negara
berkembang dan 8-12% umumnya petugas rumah sakit sensitive terhadap
lateks. Selain itu ILO (2000) mencatat bahwa kematian akibat penyakit
menular yang berhubungan dengan pekerjaan terjadi pada laki-laki dengan
jumlah kasus 108.256 dan perempuan 517.404 kasus.
Berdasarkan Kemenkes Nomor 1087/MENKES/SK/VIII/2010 tentang
standar kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit mencatat bahwa gaya
berat yang ditanggung pekerja rata-rata lebih dari 20 kg. Keluhan subyektif
low back pain didapat pada 83.3% pekerja. Penderita terbanyak 30-49 : 63%
6

(Instalasi bedah sentral di RSUD Jakarta 2006); 65,4% petugas pembersih


suatu rumah sakit di Jakarta menderita dermatitis kontak iritan kronik tangan
(2004), dan pada penelitian yang dilakukan dr. Joseph tahun 2005-2007
mencatat bahwa angka KAK NSI mencapai 38-73% dari total petugas
kesehatan.
Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan
bahwa terjadinya kecelakaan di rumah sakit 41% lebih besar dari pekerja
industry lain. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit
pinggang, tergores/terpotong, luka bakar dan penyakit infeksi dan lain-lain.
Sejumlah kasus dilaporkan mendapatkan kompensasi pada pekerja rumah
sakit, yaitu sprains, strains : 52%; multiple injuries: 2,1% ; contusion,
crushing, bruising : 11% ; cuts, laceration, punctures : 10,8% ; fractures :
5,6% ; multiple injuries : 2,1% ; thermal burns : 2 % ; scratches, abrasion :
1,9% ; infection : 1,3% ; dermatitis : 1,2% ; dan lain-lain : 2,4% (Kemenkes,
2007).
Menurut Gun (1983, dalam Pedoman Manajemen Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) di rumah sakit), memberikan catatan bahwa terdapat
beberapa kasus penyakit kronis yang diderita petugas rumah sakit yakni
hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita), penyakit ginjal dan saluran
kemih (69% wanita), dermatitis dan urtikaria (57% wanita) serta nyeri tulang
dan pergeseran diskus intervertebratae. Ditambahkan juga bahwa terdapat
beberapa kasus penyakit akut yang diderita petugas rumah sakit lebih besar
1.5 kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi dan parasit,
saluran pernafasan, saluran cerna dan keluhan lain, seperti sakit telinga, sakit
kepala, gangguan saluran kemih, masalah kelahiran anak, gangguan pada saat
kehamilan, penyakit kulit dan sistem otot dan tulang rangka (Kemenkes,
2007).
Kesehatan kerja menurut WHO (1995), bertujuan untuk peningkatan dan
pemeliharaan derajat kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-
tingginya bagi pekerja di semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap
gangguan kesehatan pekerja yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan,
7

perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang
merugikan kesehatan, dan penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu
lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologis dan
psikologisnya. Secara ringkas merupakan penyesuaian pekerjaan kepada
manusia dan setiap manusia kepada pekerjaan atau jabatannya.
Besarnya angka kecelakaan kerja di dunia yang dikutip dari berbagai
maka harus diselenggarakan pengendalian risiko berupa eliminasi, substitusi,
teknik, administratif dan penggunaan alat pelindung diri (APD). Berbagai
upaya untuk mencegah kecelakaan kerja dan melindungi tenaga kesehatan
dengan penggunaan APD namun masih seringkali ditemukan tenaga kesehatan
yang tidak patuh dalam menggunakan APD. Menurut Sari (2012)
menyebutkan dalam penelitiannya bahwa 26,3 % tenaga kerja yang jarang
menggunakan APD pernah mengalami kecelakaan kerja saat bekerja. Hal ini
berarti kepatuhan dalam menggunakan APD juga memiliki hubungan untuk
terjadinya kecelakaan kerja.
Alat pelindung diri adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk
melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tubuh
tenaga kerja dari bahaya di tempat kerja (Barbara, 2001). Universal
precaution merupakan upaya pencegahan penularan penyakit dari tenaga
kesehatan dan sebaliknya, hal ini didasari penyebaran penyakit infeksius
melalui medium cairan tubuh dan darah. Pemakaian alat pelindung diri
merupakan upaya untuk menciptakan kesehatan dan keselamatan kerja yang
optimal. Kepatuhan penggunaan APD di rumah sakit dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain, motivasi, keterbatasan alat, dan juga sikap dan
perilaku dari petugas rumah sakit itu sendiri.
Kepatuhan petugas tidak hanya bersumber dari motivasi individu itu
sendiri untuk menggunakan APD, keterbatasan jumlah alat pelindung diri
yang disediakan oleh rumah sakit juga bisa meningkatkan jumlah resiko
seorang tenaga kesehatan tertular oleh penyakit. Disamping dua faktor lainya,
sikap dan perilaku yang dimiliki oleh masing- masing individu juga akan
mempengaruhi tingkat kepatuhan dalam penggunaan APD.
8

Banyak faktor yang menjadi penyebab tenaga kesehatan tidak patuh


menggunakan APD meskipun rumah sakit telah menyediakan APD dan
menerapkan peraturan yang mewajibkan tenaga kerja menggunakan APD. Hal
ini berarti masih ada yang perlu diteliti lebih lanjut terkait faktor yang
mungkin dapat menyebabkan tenaga kerja patuh dalam menggunakan APD.
Risiko terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang mungkin
terjadi karena pekerjaan membuat rumah sakit tidak cukup hanya menyediaan
APD dan mewajibkan tenaga kesehatan menggunakan APD ketika bekerja.
Rumah sakit juga harus menciptakan kepatuhan tenaga kesehatan untuk
menggunakan APD. Tahap paling dasar untuk menumbuhkan kesadaran
tenaga kesehatan supaya patuh menggunakan APD yaitu dengan pembentukan
budaya keselamatan menggunakan APD (Reason, 2007).

B. Rumusan Masalah
Bagaimana analisis faktor kepatuhan petugas dalam penggunaan alat
pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui analisis faktor kepatuhan petugas dalam
penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh 2016.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas radiologi dalam
penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh 2016.
b. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas laboratorium dalam
penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh 2016.
9

c. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas farmasi dalam


penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh 2016.
d. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas di ruang perawatan isolasi
penyakit menular dalam penggunaan alat pelindung diri pada RSUD
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016.
e. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas di kamar operasi dalam
penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh 2016.
f. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas di CSSD (Central Steryl
Suply Department) dalam penggunaan alat pelindung diri pada RSUD
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016.
g. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas di ruang incenerator
dalam penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh 2016.
h. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas di ruang laundry dalam
penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh 2016.
i. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas cleaning service dalam
penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh 2016.
j. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas dapur dan catering dalam
penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh 2016.
10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Alat Pelindung Diri


Alat pelindung diri adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk
melindungi seseorang dalam pekerjaan dan fungsinya mengisolasi tubuh
tenaga kerja dari bahaya tempat kerja. (Permenkses tenaga kerja dan
transmigrasi, 2010).
Menurut Suma’mur (2009), alat pelindung diri adalah suatu alat yang
dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakan
kerja. Perlengkapan pelindung diri yang dipakai oleh petugas harus menutupi
bagian-bagian tubuh petugas mulai dari kepala sampai telapak kaki.
Perlengkapan ini terdiri dari tutup kepala, masker sampai dengan alas kaki.
Perlengkapan-perlengkapan ini tidak harus digunakan/dipakai semuanya
bersamaan, tergantung dari tingkat risiko saat mengerjakan prosedur dan
tindakan medis serta perawatan.
Berdasarkan pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah
sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, alat pelindung diri diperlukan
untuk melindungi untuk beberapa bagian tubuh pekerja dari risiko pajanan
darah, cairan tubuh lain, sekret, eksreta, kulit yang tidak utuh (luka), dan
selaput lendir pasien. Jenis-jenis alat pelindung diri yang dibutuhkan di
sarana pelayanan kesehatan (Kemenkes RI , 2011), yaitu:
1. Sarung tangan
2. Masker
3. Alat Pelindung Mata
4. Topi
5. Gaun Pelindung
6. Apron
7. Pelindung Kaki
11

B. Jenis-Jenis Alat Pelindung Diri


Dari ketujuh alat pelindung diri (APD) tersebut tidak semuanya harus
dipakai setiap saat. Jenis alat pelindung diri yang digunakan tergantung pada
kegiatan atau proses kerja yang akan dilakukan.
1. Sarung tangan
Berdasarkan pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di
rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, sarung tangan
melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan penyakit dan
melindungi paien dari mikro organisme yang berada ditangan petugas
kesehatan. Sarung tangan merupakan penghalang (barrier) fisik paling
penting untuk mencegah penyebaran infeksi. Sarung tangan harus diganti
antara setiap kontak dengan satu pasien ke pasien lainnya. Penggunaan
sarung tangan dan kebersihan tangan, merupakan komponen kunci dalam
meminimalkan penyebaran penyakit dan mempertahankan suatu
lingkungan bebas infeksi (Garner dan Favero 1986). Selain itu,
pemahaman mengenai kapan sarung tangan steril atau disinfeksi tingkat
tinggi diperlukan dan kapan sarung tangan tidak perlu digunakan, penting
untuk diketahui agar dapat menghemat biaya dengan tetap menjaga
keamanan pasien dan petugas.
a. Tiga saat petugas perlu memakai sarung tangan :
1. Perlu untuk menciptakan barier protektif dan cegah kontaminasi
yang berat. Disinfeksi tangan tidak cukup untuk memblok
transmisi kontak bila kontaminasi berat. Misal menyentuh darah,
cairan tubuh, sekresi, mukus membran, kulit yang tidak utuh.
2. Dipakai untuk menghindari transmisi mikroba ditangan petugas
kepada pasien saat dilakukan tindakan terhadap kulit pasien yang
tidak utuh, atau mukus membran.
3. Mencegah tangan petugas terkontaminasi mikroba dari pasien
transmisi kepada pasien lain. Perlu kepatuhan petugas untuk
pemakaian sarung tangan sesuai standar. Memakai sarung tidak
menggantikan perlunya cuci tangan, karena sarung tangan dapat
12

berlubang walaupun kecil, tidak nampak selama melepasnya


sehingga tangan terkontaminasi.
b. Kapan pemakaian sarung tangan diperlukan
Meskipun efektifitas pemakaian sarung tangan dalam mencegah
kontaminasi dari petugas kesehatan telah terbukti berulang kali tetapi
pemakaian sarung tangan tidak menggantikan kebutuhan untuk
mencuci tangan. Sebab sarung tangan bedah lateks dengan kualitas
terbaik sekalipun, mungkin mengalami kerusakan kecil yang tidak
terlihat, sarung tangan mungkin robek pada saat digunakan atau tangan
terkontaminasi pada saat melepas sarung tangan (Kemenkes RI, 2011).
Sarung tangan digunakan setiap kali akan melakukan tindakan
yang kontak atau diperkirakan akan kontak dengan darah, cairan tubuh,
secret, eksreta, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda yang
terkontaminasi (ASHM, 2001). Saat ini dikenal tiga jenis sarung tangan
berdasarkan fungsinya (Dirjen P2MPL, 2010), yaitu:
a. Sarung tangan bersih untuk kegiatan rutin pada kulit dan selaput lender
misalnya tindakan medic pemeriksaan dalam, merawat luka terbuka.
b. Sarung tangan steril, biasanya digunakan untuk tindakan bedah
c. Sarung tangan rumah tangga, biasanya digunakan untuk membersihkan
alat, dan permukaan meja kerja. Sarung tangan tersebut dapat
digunakan lagi setelah dicuci bersih.
Saat mengenakan sarung tangan, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan (Dirjen P2MPL, 2010), diantaranya:
a. Saat sebelum memakai maupun setelah melepas sarung tangan harus
cuci tangan terlebih dahulu
b. Satu pasang sarung tangan hanya diperuntukkan untuk satu orang
pasien
c. Untuk sarung tangan yang dapat dicuci dan desinfeksi, sebaiknya tidak
dipakai lebih dari 3 kali
d. Tidak dianjurkan untuk memakai sarung tangan ganda karena
menurunkan kepekaan (raba) sehingga meningkatkan risiko
13

kecelakaan kerja Sarung tangan ganda boleh dikenakan jika tindakan


memakan waktu lama (> 60 menit), operasi di area yang sempit, dan
saat kemungkinan adanya kontak dengan darah/cairan tubuh dalam
jumlah yang sangat banyak.
2. Masker
Berdasarkan pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di
rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya , Masker harus cukup
besar untuk menutupi hidung, mulut, bagian bawah dagu, dan rambut pada
wajah (jenggot). Masker dipakai untuk menahan cipratan yang keluar
sewaktu petugas kesehatan atau petugas bedah berbicara, batuk atau bersin
serta untuk mencegah percikan darah atau cairan tubuh lainnya memasuki
hidung atau mulut petugas kesehatan. Bila masker tidak terbuat dari bahan
tahan cairan, maka masker tersebut tidak efektif untuk mencegah kedua
hal tersebut. Masker yang ada, terbuat dari berbagai bahan seperti katun
ringan, kain kasa, kertas dan bahan sintetik yang beberapa di antaranya
tahan cairan. Masker yang dibuat dari katun atau kertas sangat nyaman
tetapi tidak dapat menahan cairan atau efektif sebagai filter. Masker yang
dibuat dari bahan sintetik dapat memberikan perlindungan dari tetesan
partikel berukuran besar yang terbesar melalui batuk atau bersin ke orang
yang berada didekat pasien (kurang dari 1 meter). Namun masker bedah
terbalik sekalipun tidak dirancang untuk benar-benar menutup pas secara
erat (menempel sepenuhnya pada wajah) sehingga mencegah kebocoran
udara pada bagian tepinya. Dengan demikian, masker tidak dapat secara
efektif menyaring udara yang dihisap.

Pada perawatan pasien yang telah diketahui atau dicurigai menderita


penyakit menular melalui udara atau droplet, masker yang digunakan harus
dapat mencegah partikel mencapai membran mukosa dari petugas
kesehatan (Kemenkes RI, 2011)
a. Masker dengan efisiensi tinggi merupakan jenis masker khusus yang
direkomendasikan, bila penyaringan udara dianggap penting misalnya
pada perawatan seseorang yang telah diketahui atau dicurigai
14

menderita flu burung atau SARS. Masker dengan efisiensi tinggi


misalnya N-95 melindungi dari partikel dengan ukuran < 5 mikron
yang dibawa oleh udara. Pelindung ini terdiri dari banyak lapisan
bahan penyaring dan harus dapat menempel dengan erat pada wajah
tanpa ada kebocoran. Dilain pihak pelindung ini juga lebih
mengganggu pernapasan dan lebih mahal dari pada masker bedah.
Sebelum petugas memakai masker N-95 perlu dilakukan fist test pada
setiap pemakaiannya.Ketika sedang merawat pasien yang telah
diketahui atau dicurigai menderita penyakit menular melalui airborne
maupun droplet, seperti misalnya flu burung atau SARS, petugas
kesehatan harus menggunakan masker efisiensi tinggi. Pelindung ini
merupakan perangkat N-95 yang telah disertifikasi oleh US National
Institute for Occupational Safety dan Health (NIOSH), disetujui oleh
Europan CE, atau standard nasional/regional yang sebanding dengan
standar tersebut dari negara yang memproduksinya. Masker efisiensi
tinggi dengan tingkat efisiensi lebih tinggi dapat juga digunakan.
Masker efisiensi tinggi, seperti khususnya N-95 harus diuji
pengepasannya (fit test) untuk menjamin bahwa perangkat tersebut pas
dengan benar pada wajah pemakainya.
b. Pemakaian masker efisiensi tinggi
Petugas Kesehatan Harus :
1. Memeriksa sisi masker yang menempel pada wajah untuk melihat
apakah lapisan utuh dan tidak cacat. Jika bahan penyaring rusak
atau kotor, buang masker tersebut. Selain itu, masker yang ada
keretakan, terkikis, terpotong atau, terlipat pada sisi dalam masker,
juga tidak dapat digunakan.
2. Memeriksa tali-tali masker untuk memastikan tidak terpotong atau
rusak. Tali harus menempel dengan baik di semua titik sambungan.
3. Memastikan bahwa klip hidung yang terbuat dari logam (jika ada)
berada pada tempatnya dan berfungsi dengan baik.
15

c. Fit test untuk masker efisiensi tinggi


Fungsi masker akan terganggu/tidak efektif, jika masker tidak dapat
melekat secara sempurna pada wajah, seperti pada keadaan dibawah
ini :
1. Adanya janggut, cambang atau rambut yang tumbuh pada wajah
bagian bawah atau adanya gagang kacamata.
2. Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi dapat mempengaruhi
perlekatan bagian wajah masker.
3. Apabila klip hidung dari logam dipencet/dijepit, karena akan
menyebabkan kebocoran. Ratakan klip tersebut diatas hidung
setelah anda memasang masker, menggunakan kedua telunjuk
dengan cara menekan dan menyusuri bagian atas masker.
4. Jika mungkin, dianjurkan fit test dilakukan setiap saat sebelum
memakai masker efisiensi tinggi.

Pelindung wajah seperti masker dan kacamata digunakan untuk


melindungi selaput mukosa hidung, mulut dan mata dari risiko percikan
darah atau cairan tubuh pasien selama melakukan tindakan kepada pasien.
Berikut hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan pelindung wajah
(Dirjen P2MPL, 2010),yaitu:
a. Masker tanpa kacamata digunakan pada saat tertentu misalnya
menangani pasien tuberkulosis tanpa luka terbuka/perdarahan dan
digunakan ketika berada dalam jarak 1 meter dari pasien.
b. Pemakaian pelindung wajah lengkap (masker dan kaca mata)
diperlukan saat melaksanakan tindakan yang berisiko tinggi kontak
lama dengan darah dan cairan tubuh seperti pembersihan luka,
membalut luka, mengganti kateter, persalinan, dan dekontaminasi alat
bekas pakai.
c. Pelindung wajah, masker dan kaca mata harus dipilih dan digunakan
sedemikian rupa sehingga tidak menghalangi kelapangan dan
ketajaman pandangan petugas kesehatan.
16

3. Alat Pelindung Mata


Berdasarkan pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah
sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, alat pelindung mata
melindungi petugas dari percikan darah atau cairan tubuh lain dengan cara
melindungi mata. Pelindung mata mencakup kacamata (goggles) plastik
bening, kacamata pengaman, pelindung wajah dan visor. Kacamata
koreksi atau kacamata dengan lensa polos juga dapat digunakan, tetapi
hanya jika ditambahkan pelindung pada bagian sisi mata. Petugas
kesehatan harus menggunakan masker dan pelindung mata atau pelindung
wajah, jika melakukan tugas yang memungkinkan adanya percikan cairan
secara tidak sengaja ke arah wajah. Bila tidak tersedia pelindung wajah,
petugas kesehatan dapat menggunakan kacamata pelindung atau kacamata
biasa serta masker (Kemenkes RI, 2011).
Penutup kepala digunakan untuk mencegah jatuhnya mikroorganisme
yang ada di rambut dan kulit kepala petugas kesehatan terhadap alat-
alat atau daerah steril dan juga untuk melindungi kepala/rambut petugas
dari percikan darah dan bahan-bahan dari pasien (Dirjen P2MPL, 2010).
4. Topi
Berdasarkan pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah
sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, topi digunakan untuk
menutup rambut dan kulit kepala sehingga serpihan kulit dan rambut tidak
masuk ke dalam luka selama pembedahan. Topi harus cukup besar untuk
menutup semua rambut. Meskipun topi dapat memberikan sejumlah
perlindungan pada pasien, tetapi tujuan utamanya adalah untuk melindungi
pemakainya dari darah atau cairan tubuh yang terpecik atau menyemprot
(Kemenkes RI, 2011).
Tujuan dari pemakaian gaun pelindung yaitu untuk melindungi
petugas dari genangan atau percikan darah/cairan tubuh lain yang dapat
mencemari baju seragam. Selain itu, gaun pelindung juga digunakan untuk
mencegah tembusnya cairan tubuh kepada petugas. Dilihat dari
berbagai aspeknya, gaun pelindung dapat dibedakan menjadi gaun
17

pelindung tidak kedap air dan gaun pelindung kedap air, serta gaun
pelindung steril dan non-steril. Gaun pelindung steril digunakan oleh tim
bedah serta asistennya pada saat melakukan pembedahan (Dirjen P2MPL,
2010).
Gaun pelindung dipakai ketika, misalnya saat membersihkan luka,
melakukan irigasi, melakukan tindakan drainase, mengganti pembalut,
membuang cairan terkontaminasi ke dalam lubang pembuangan/WC/toilet,
mengganti pembalut, menangani pasien dengan perdarahan massif,
melakukan tindakan bedah, dan tindakan lain yang mengindikasikan
terjadinya paparan terhadap darah/cairan tubuh dalam waktu yang lama
dan dalam jumlah yang banyak (Dirjen P2MPL, 2010).
Dalam memakai gaun bedah, teknik yang digunakan adalah teknik
tanpa singgung. Yaitu dengan mengusakan agar bagian luar gaun tidak
bersinggungan langsung dengan kulit tubuh pemakai. Gaun bedah dapat
dipakai sendiri oleh pemakai atau dipakaikan oleh orang lain.
5. Gaun Pelindung
Berdasarkan pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di
rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, gaun pelindung
digunakan untuk menutupi atau mengganti pakaian biasa atau seragam
lain, pada saat merawat pasien yang diketahui atau dicurigai menderita
penyakit menular melalui droplet/airborne. Pemakaian gaun pelindung
terutama adalah untuk melindungi baju dan kulit petugas kesehatan dari
sekresi respirasi. Ketika merawat pasien yang diketahui atau dicurigai
menderita penyakit menular tersebut, petugas kesehatan harus mengenakan
gaun pelindung setiap memasuki ruangan untuk ,merawat pasien karena
ada kemungkinan terpercik atau tersemprot darah, cairan tubuh, sekresi
atau ekskresi. Pangkal sarung tangan harus menutupi ujung lengan gaun
sepenuhnya. Lepaskan gaun sebelum meninggalkan area pasien. Setelah
gaun dilepas, pastikan bahwa pakaian dan kulit tidak kontak dengan
bagian yang potensial tercemar, lalu cuci tangan segera untuk mencegah
berpindah organisme. Kontaminasi pada pakaian yang dipakai saat bekerja
18

dapat diturunkan 20-100x dengan memakai gaun pelindung. Perawat yang


memakai apron plastik pada saat merawat pasien bedah abdomen dapat
menurunkan transmisi S.aureus 30x dibandingkan perawat yang memakai
baju seragam dan ganti tiap hari (Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan pedoman Kewaspadaan Universal yang disusun oleh
Dirjen P2MPL (2010), sepatu pelindung digunakan untuk melindungi kaki
petugas dari tumpahan atau percikan darah/cairan tubuh lainnya serta
mencegah risiko tertusuk benda tajam dan kejatuhan alat kesehatan. Sepatu
khusus ini sebaiknya terbuat dari bahan tahan tusukan dan mudah dicuci
seperti karet atau plastik.
Sepatu ini digunakan khusus oleh petugas yang bekerja di ruang
bedah, laboratorium, ICU, ruang isolasi, ruang pemulasaran jenazah dan
petugas sanitasi. Sepatu hanya boleh digunakan di dalam ruangan tersebut
dan tidak boleh dipakai ke ruang lainnya.
6. Apron
Berdasarkan pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah
sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, apron yang terbuat dari
karet atau plastik, merupakan penghalang tahan air untuk sepanjang bagian
depan tubuh petugas kesehatan. Petugas kesehatan harus mengenakan
apron dibawah gaun penutup ketika melakukan perawatan langsung pada
pasien, membersihkan pasien, atau melakukan prosedur dimana ada risiko
tumpahan darah, cairan tubuh atau sekresi. Hal ini penting jika gaun
pelindung tidak tahan air. Apron akan mencegah cairan tubuh pasien
mengenai baju dan kulit petugas kesehatan (Kemenkes RI, 2011)
Alat pelindung telinga digunakan untuk mengurangi intensitas suara
yang masuk ke dalam telinga. Jenis alat pelindung telinga antara lain:
a. Sumbat telinga (Ear plug)
Ukuran dan bentuk saluran telinga tiap-tiap individu dan bahkan
untuk kedua telinga dari orang yang sama adalah bebeda. Untuk itu
sumbat telinga (Ear plug) harus dipilih sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan ukuran dan bentuk saluran telinga pemakainya. Pada
19

umumnya diameter saluran telinga antara 5-11 mm dan liang telinga


pada umumnya berbentuk lonjong dan tidak lurus. sumbat telinga (Ear
plug) dapat terbuat dari kapas, plastik, karet alami dan bahan sintetis.
Untuk Ear plug yang terbuat dari kapas, spons, dan malam (wax)
hanya dapat digunakan untuk sekali pakai (Disposable). Sedangkan
yang terbuat dari bahan karet plastik yang dicetak dapat digunakan
berulang kali (Non Disposable). Alat ini dapat mengurangi suara
sampai 20 dB.
b. Tutup telinga (Ear muff)
Alat pelindung tangan jenis ini terdiri dari dua buah tutup telinga
dan sebuah headband. Isi dari tutup telinga dapat berupa cairan atau
busa yang berfungsi untuk menyerap suara frekuensi tinggi. Pada
pemakaian untuk waktu yang cukup lama, efektivitas ear muff dapat
menurun karena bantalannya menjadi mengeras dan mengerut sebagai
akibat reaksi dari bantalan dengan minyak dan keringat pada
permukaan kulit. Alat ini dapat mengurang intensitas suara sampai
30 dB dan juga dapat melindungi bagian luar telinga dari benturan
benda keras atau percikan bahan kimia.
7. Pelindung Kaki
Berdasarkan pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah
sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, pelindung kaki digunakan
untuk melindungi kaki dari cedera akibat benda tajam atau benda berat
yang mungkin jatuh secara tidak sengaja ke atas kaki. Oleh karena itu,
sandal, “sandal jepit” atau sepatu yang terbuat dari bahan lunak (kain)
tidak boleh dikenakan. Sepatu boot karet atau sepatu kulit tertutup
memberikan lebih banyak perlindungan, tetapi harus dijaga tetap bersih
dan bebas kontaminasi darah atau tumpahan cairan tubuh lain. Penutup
sepatu tidak diperlukan jika sepatu bersih. Sepatu yang tahan terhadap
benda tajam atau kedap air harus tersedia dikamar bedah. Sebuah
penelitian menyatakan bahwa penutup sepatu dari kain atau kertas dapat
meningkatkan kontaminasi karena memungkinan darah merembes melalui
20

sepatu dan seringkali digunakan sampai diluar ruang operasi. Kemudian


dilepas tanpa sarung tangan sehingga terjadi pencemaran (Kemenkes RI,
2011).
Alat pelindung mata digunakan untuk melindungi mata dari percikan
bahan kimia korosif, debu dan partikel-partikel kecil yang melayang di
udara, gas atau uap yang dapat menyebabkan iritasi mata, radiasi
gelombang elegtromagnetik, panas radiasi sinar matahari, pukulan atau
benturan benda keras, dll. Jenis alat pelindung mata antara lain:
a. Kaca mata biasa (spectacle goggles)
Alat ini berfungsi untuk melindungi mata dari partikel-partikel kecil,
debu dan radiasi gelombang elegtromagnetik.
b. Goggles
Alat ini berfungsi untuk melindungi mata dari gas, debu, uap, dan
percikan larutan bahan kimia. Goggles biasanya terbuat dari plastic
transparan dengan lensa berlapis kobalt untuk melindungi bahaya
radiasi gelombang elegtromagnetik mengion.

C. Area Berisiko Tinggi dan Keharusan Memakai Alat Pelindung Diri di


RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

NO UNIT PETUGAS TINDAKAN AREA APD REFERENSI


1 Instalasi Radiografer Pengambilan Ruang X-Ray 1. Personal Kemenkes No.410/
Radiologi Foto monitoring Menkes/SK/III/ 2010
devices (film tentang perubahan
badge/TLD) atas Kemenkes
2. Apron single No.1014/Menkes/SK
side Pb /XI/ 2008 tentang
3. Thyroid standar pelayanan
shield radiologi diagnostik
di pelayanan
kesehatan
2 Instalasi Petugas Pengambilan Ruang 1. Sarung tangan Permenkes No. 43
Laboratorium Laboratorium sampel darah Pengambilan 2. Masker Tahun 2013 tentang
sampel 3. Seragam/gaun cara
4. Sepatu penyelenggaraan
tertutup laboratorium klinik
yang baik
21

NO UNIT PETUGAS TINDAKAN AREA APD REFERENSI


3 Instalasi Petugas Peracikan Ruang 1. Baju Pedoman dasar
farmasi farmasi obat kemoterapi pelindung dispensing sediaan
kemoterapi 2. Sarung tangan steril, depkes RI
3. Kacamata 2009
pelindung
4. Masker
disposable
4 Ruang Perawat Kontak Ruang 1. Masker N95 Pedoman
perawatan dengan perawatan pencegahan dan
isolasi pasien (tanpa TB Terpadu pengendalian infeksi
penyakit tindakan tuberculosis di
menular medis) fasilitas pelayanan
kesehatan,
Kemenkes 2012
5 Instalasi Dokter Tindakan Teater 1. Sarung SOP RSUD
bedah sentral operator operasi operasi tangan steril dr. Zainoel Abidin
2. Masker Banda Aceh
3. Sepatu boot
4. Baju
pelindung
5. Penutup
kepala
6. Kacamata
pelindung
7. Apron
6 Instalasi Petugas Dekontamina Ruang 1. Apron tahan Pedoman instalasi
CSSD CSSD si alat dekontaminas air/zat kimia pusat sterilisasi
i alat 2. Penutup (Central Sterile
kepala Supply
3. Masker Department/CSSD)
4. Kaca mata di rumah sakit,
pelindung Depkes (2009)
5. Sepatu boot
6. Sarung
tangan
7 IPSL Petugas Insenerasi Ruang 1. Helm Pedoman
incenerator Incenerator 2. Masker penatalaksanaan
wajah pengelolaan limbah
dilengkapi padat dan limbah
dengan filter cair di rumah sakit,
gas Depkes (2006)
3. Pelindung
mata
22

4. Overall/
seragam
5. Apron kedap
air
6. Sepatu boot
8 Instalasi Petugas Pencucian Ruang 1. Baju Pedoman
laundry laundry linen pencucian pelindung/ manajemen linen di
infeksius seragam rumah sakit, Depkes
2. Apron (2004)
3. Sarung
tangan
4. Sepatu boot
9 IPSL Petugas Penanganan Teater 1. Sarung SK Direktur tentang
cleaning ruang operasi operasi tangan daftar area berisiko
service yang 2. Masker di RSUD dr. Zainoel
terepapar Abidin
cairan tubuh
10 Instalasi gizi Petugas gizi Persiapan Ruang 1. Seragam Pedoman pelayanan
dan persiapan 2. Apron gizi rumah sakit,
pengelolaan pengelolaan 3. Topi Kemenkes (2013)
makanan makanan 4. Pelindung
kaki yang
tidak licin
5. Sarung
tangan
plastik

D. Definisi Kepatuhan
Menurut Soraona (1993) Kepatuhan merupakan ketaatan atau
ketidaktaatan pada perintah, aturan dan disiplin. Perubahan sikap dan perilaku
individu dimuai dari tahap kepatuhan, identifikasi, kemudian, internalisasi.
Sedangkan menurut Kelman (1985). Kepatuhan dimulai dari individu
mematuhi. Dimulai dari individu yang mematuhi anjuran tanpa kerelaan
karena takut hukuman atau sanksi. Tahap identifikasi adalah kepatuhan karena
merasa diawasi. Jadi pengukuran kepatuhan melalui identifikasi adalah
sementara dan kembali tidak patuh lagi bila sudah merasa tidak diawasi lagi.
Tahap internalisasi adalah tahap individu melakukan sesuatu karena
memahami makna, mengetahui pentingnya tindakan untuk penggunaan APD
secara rasional. Jadi kepatuhan dapat diukur dari individu yang mematuhi atau
23

mentaati karena telah memahami makna suatu ketentuan yang berlaku.


Perubahan sikap dan individu dimulai dari patuh terhadap aturan/institusi,
seringkali memperoleh imbalan/janji jika menurut anjuran/pedoman.
Menurut Sarwono (1993), mengemukakan bahwa patuh (compliance)
menghasilkan perubahan tingkah laku yang sementara, dan individu
cenderung kembali ke pandangan/ perilaku yang semulai jika pengawasan
kelompok mengendur atau jika ia pindah dari kelompoknya.

E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Petugas Dalam


Menggunakan Alat Pelindung Diri
1. Definisi Kepatuhan
Menurut Soekijo Notoatmojo, 1990 perilaku merupakan tindakan atau
perbuatan suatu orgnaisme yang dapat diamati dan dapat dipelajari.
Perilaku juga dapat diartikan sebagai suatu respon organisme atau
seseorang terhadap stimulus dari luar objek tersebut. Respon tersebut ada
2 bentuk yaitu :
a. Bentuk pasif (respon internal) yaitu yang terjadi di dalam diri manusia
dan tidak dapat secara langsung dilihat orang lain, misalnya: berpikir,
tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan, bentuk perilaku ini masih
terselubung (covert behaviour).
b. Bentuk aktif yaitu apabila jelas diobservasi secara langsung dimana
perilaku itu sudah tampak dalam bentuk tindakan yang nyata (overt
behaviour).
2. Teori Perilaku
Menurut Model Komunikasi (Mc Guire, 1964), menegaskan bahwa
perubahan pengetahuan dan sikap merupakan prekondisi bagi perubahan
perilaku kesehatan dan perilaku-perilaku yang lain. Variabel-variabel input
meiputi sumber pesan, pesan itu sendiri, saluran penyampaian dan
karakteristik penerima serta tujuan pesan- pesan tersebut. Variabel output
merujuk pada perubahan dalam faktor- faktor kognitif tertentu, seperti
24

pengetahuan, sikap, pembuatan keputusan dan perilaku-perilaku yang


dapat diobservasi.
Teori pemahaman sosial menurut Bandura (1977) menekankan pada
hubungan segitiga antara “orang” (menyangkut proses-proses kognitif),
perilaku dan lingkungan dalam suatu proses “Deterministrik resiprakal”
(kualitas resiprakal). Pemahaman sosial menjembatani jurang pemisah
antara model-model kognitif atau model yang berorientasi pada pembuatan
keputusan rasional. Teori pemahaman sosial melihat perilaku sebagai
fungsi “self efficacy” (self confidence) dan harapan hasil dari seseorang.
Menurut model kepercayaan kesehatan (Health Belief Model, Backer
1974, 1979), perilaku ditentukan oleh apakah seseorang percaya bahwa
mereka rentan terhadap masalah kesehatan tertentu, menganggap masalah
ini serius, meyakini efektivitas tujuan pengobatan dan pencegahan, tidak
mahal, dan menerima anjuran untuk mengambil tindakan kesehatan.
Menurut Lowrence Green (1980) bahwa perilaku dipengaruhi oleh 3
faktor antara lain :
a. Faktor pengaruh (predisposising factor) yaitu faktor yang berasal dari
diri manusia itu sendiri, antara lain pendidikan, pengetahuan, sikap
dan persepsi.
b. Faktor pemungkin (enabling factor)
Faktor pemungkin meliputi kemampuan dan sumber daya yang
penting dalam membentuk perilaku sehat. Yang termasuk dalam
sumber daya tersebut yaitu : ketersediaannya fasilitas penunjang
kesehatan, alat pencegah kecelakaan dan perundang - undangan.
Kegagalan dalam mempertimbangkan akibat dari faktor pemungkin
ini, untuk keberhasilan perilaku dapat membawa masalah yang serius,
contohnya usaha pendidikan atau pelatihan untuk meningkatkan
motivasi penggunaan fasilitas pencegahan kecelakaan lebih lanjut.
Ketersediaan fasilitas pencegahan kecelakaan, misalnya alat pelindung
diri yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
terbentuknya perilaku manusia.
25

c. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)


Berdasarkan penelitian Roger (1974) mengungkapkan bahwa sebelum
seseorang menghadapi perilaku baru di dalam dirinya terjadi tahapan
proses, yaitu :
1) Kesadaran (awwarness), dimana orang tersebut menyaari
antinya mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus/ objek.
2) Ketertarikan (interest), seseorang mulai tertarik
kepada stimulus.
3) Evaluation, yaitu menimbang-nimbang baik atau tidaknya
stimulus tersebut.
4) Trial, seseorang telah mencoba berperilaku baru.
5) Adaptation, bahwa subjek telah berperilaku sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya.
Faktor reinforcement penting dalam peranan meyakinkan organisme
yang akhirnya dapat dapat secara efektif mengubah sikap. Faktor ini
merupakan satu incentives yang menggertakan stimulus oval sehingga
dapat terjadi perubahan. Faktor ini dapat berupa komunikasi yang
menentukan dalam menyakinkan organisme yang tergantung dari
aspek-aspek :
a) Stimulus yang dikomunikasikan tergantung pada arti
argumentasiya dan himbauannya
b) Sumber relevansi yang dapat dipercaya
c) Cara penyajian yang disampaikan dalam bentuk komunikasi
(teknik)
Dari ketiga faktor tersebut dapat membentuk suatu perilaku pekerja
dalam hal penggunaan alat pelindung diri. Namun demikian bukan
berarti perilaku manusia yang salah tidak dapat berubah. Perubahan
perilaku seseorang dari suatu sifat yang sebelumnya dinilai kurang
baik kearah sifat atau perilaku yang baik sesuai dengan yang
diinginkan memerlukan waktu yang lama dan melalui beberapa
tahapan, seperti :
26

a) Tahap tahu: pada tahap ini individu berkenalan dengan suatu


inovasi tetapi belum memperoleh informasi yang jelas, sehingga
individu belum tertarik untuk mencari inovasi tersebut.
b) Tahap tertarik: individu mulai tertarik dan ingin mengetahui lebih
lanjut mengenai inovasi tersebut.
c) Tahap penelitian : individu mulai menilai apakah inovasi tersebut
cocok untuk dirinya atau individu memerlukan dukungan bahwa
apa yang dilakukan sudah benar.
d) Tahap mencoba: individu mulai menerapkan inovasi tersebut
apakah cocok untuk dirinya atau tidak.
e) Tahap menerima: individu menerima inovasi tersebut dan sudah
mulai menjalankan gagasannya karena mereka merasa cocok dan
yakin bahwa pembaharuan tersebut memberikan manfaat baginya.
Namun bila ditinjau secara umum seseorang melakukan inovasi
tersebut atau terjadinya perubahan tingkah laku ada 3 hal, yaitu:
a) Karena adanya ancaman/perintah sehingga dilakukan karena takut
dan terpaksa, tetapi kejadian ini sifatnya hanya sementara,
terjadinya perubahan perilaku tidak lama, bila ancaman tersebut
tidak ada lagi maka tidak akan dilakukan lagi.
b) Karena adanya imbalan atau diberi hadiah, sifatnya pun hanya
sementara dan waktunya pun cepat karena bila seseorang tersebut
telah merasa tidak membutuhkan lagi imbalan tersebut telah
merasa tidak membutuhkan lagi imbalan tersbut atau tidak
diadakan lagi maka ia akan kembali pada perilakunya yang lama.
c) Dengan cara diadakan program pendidikan, caranya lebih baik
dari yang telah disebutkan di atas, karena pendidikan membuat
kesadaran dan keyakinan. Sifat perubahan ini bersifat lestari,
karena memang dirasakan manfaatnya walaupun jangka waktu
terjadinya perubahan ini lambat. Perubahan seperti inilah yang
diharapkan agar tercapainya tingkat derajat kesehatan setinggi-
tingginya.
27

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa seseorang akan


berubah perilakunya jika ada rasa takut terhadap sanksi yang
diberikan, merasa adanya penghargaan dan melalui pendidikan yang
dapat membuka wawasan berfikir dan meyakinkan seseorang tentang
atau perilaku yang diharapkan khususnya perubahan dalam
pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Bila dihubungkan dengan sikap, dasar utama terjadinya
perubahan sikap adalah adanya imbalan dan himbauan, dimana
individual mengasosiasikan realisasinya yang disertai dengan imbalan
dana hukuman.
Sedangkan menurut Green (1980), untuk diagnosa perencanaan,
pendidikan kesehatan hendaknya identifikasi faktor- faktor yang
menyebabkan perilaku realisasinya yang disertai dengan imbalan dan
hukuman.
Sedangkan menurut Green (1980) untuk diagnosis perencanaan
pendidikan kesehatan hendaknya identifikasi faktor- faktor yang
menyebabkan perilaku spasifik kesehatan jika perencanaan mengalami
kesulitan dalam memutuskan apakah suatu faktor predispossi,
pemungkin atau penguat, mereka harus mencatatnya dalam kategori
manapun yang paling tepat.

F. Aturan Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)


Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh APD agar dalam
pemakaiannya dapat memberikan perlindungan yang maksimal.
Menurut ILO (1989) dari beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh
semua jenis peralatan pelindung, maka hanya dua yang terpenting yaitu:
1. Apapun sifat dan bahayanya, peralatan atau pakaian harus memberikan
cukup perlindungan terhadap bahaya tersebut.
2. Peralatan atau pakaian harus ringan dipakainya dan awet dan membuat
rasa kurang nyaman sekecil mungkin, tetapi memungkinkan mobilitas,
penglihatan dan sebagainya yang maksimum.
28

Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu upaya untuk


menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat dengan
meminimalisasi resiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang
pada akhirnya akan berdampak terhadap produktivitas kerja yang optimal
diharapkan upaya K3 yang meliputi penyerasian antara kapasitas kerja,
beban kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara
sehat tanpa membahayakan diri sendiri maupun masyarakat disekitarnya.
International labour Organization (ILO) dan World Health Organitation
(WHO) dan Committee On Occupational Health pada tahun 1990 telah
menetapkan secara garis besar batasan dan tujuan kesehatan kerja, antara
lain :
a. Memberikan pemeliharaan peningkatan derajat kesehatan pada tingkat
yang setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun kesejahteraan
sosial masyarakat pekerja disemua lapangan.
b. Mencegah timbulnya gangguan kesehatan masyarakat yang
diakibatkan oleh keadaan atau kondisi lingkungan kerjanya.
c. Memberikan perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaan dan faktor
yang membahayakan kesehatannya.
d. Menempatkan dan memelihara pekerja disuatu lingkungan pekerja
yang sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970, bertujuan supaya
masyarakat dan lingkungan kerja menjadi aman, sehat dan sejahtera yang
pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas serba efisien. Hal yang
paling utama dalam Undang-Undang tersebut adalah suatu sistem
pencegahan, serta prangkat K3 di dalam suatu unit usaha, syarat-syarat K3
ditempat kerja, hak, kewajiban, tanggung jawab dan sanksi serta
pembinaan pekerja.
Dalam Peraturan Menteri No. Per. 05/Men/1996 disebutkan bahwa
untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun orang
lain berada di tempat kerja, serta sumber produksi, proses produksi dan
29

lingkungan kerja dalam keadaan aman, maka perlu penerapan sistem


manajemen K3.
Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan disebutkan
bahwa kesehatan kerja untuk salah satu kegiatan dalam mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya
kesehatan dengan pendekatan peningkatan kesehatan (promotif),
pencegahan penyakit (preventif), pengobatan penyakit (kuratif) dan
pemeliharaan kesehatan (rehabilitatif) yang terpadu dan
berkesinambungan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal
dengan tujuan terciptanya tenaga kerja yang sehat dan terbebas dari
penyakit akibat kerja dilaksanakan secara menyeluruh.
Dalam lingkungan kerja terdapat berbagai faktor bahaya yang dapat
merusak kondisi kesehatan dan produktivitas tenaga kerja, menimbulkan
gangguan kesehatan, penyakit bahkan kematian akibat kerja. Faktor-faktor
tersebut adalah :
a. Faktor fisik berupa : suhu / kebisingan, suhu / iklim, radiasi,
penerangan, getaran.
b. Faktor kimia berupa : gas, partikuat, cairan
c. Faktor biologi berupa : virus, bakteri
d. Faktor ergenami berupa : faktor yang mempengaruhi kesehatan antara
tenaga kerja dan pekerjaannya (cara kerja, posisi kerja, dan beban
kerja). Untuk mencegah kecelakaan dan kontrol kehilangan yang
paling penting adalah mengidentifikasi semua hazard dalam aktivitas
pekerjaan dimana kecelakaan dapat terjadi. Pekerja harus dapat
mengembangkan keahlian untuk membuat beberapa evaluasi.
Pencegahan kecelakaan yang digambarkan diatas dibagi dalam bentuk
kontrol yaitu : kontrol pada pekerja, kontrol pada lingkungan
pekerjaan, kontrol pada peralatan kerja dan mesin.
30

Penyebab kecelakaan salah satunya adalah kebiasaan dimana terdapat


suatu keadaan lingkungan tidak aman (Unisafe condition) atau tindakan
yang tidak memenuhi keselamatan (Unisafe act). Seringkali kecelakaan
merupakan kombinasi dari kedua faktor tersebut. Kadang- kadang
kecelakaan disebabkan kesalahan pada pekerja atau atau supervisor yang
dikombinasikan dengan tidak amannya peralatan, maintenance yang
kurang baik dan lain sebagainya.
Keadaan yang tidak aman (Unisafe Condition) adalah suatu kondisi
dalam lingkungan kerja dimana pekerja mempunyai potensi terjadi
kecelakaan. Hal ini dapat berupa :
a. Kondisi tempat kerja yang tidak baik.
b. Peralatan yang tidak aman, mesin dan alat pelindung
c. Design yang tidak baik atau tidak adekuat peralatan, mesin dan alat
pelindung
d. Penerangan, ventilasi, suara yang tidak baik
(sumber : Thomas J. Anton, 1989).
Beberapa tindakan-tindakan yang tidak memenuhi keselamatan
(Unisafe Act) yang umum ditemukan dalam tempat kerja adalah :
a. Penggunaan peralatan yang tidak cocok atau rusak.
b. Tidak menggunakan alat pelindung diri yang tidak ditentukan.
c. Tidak mengikuti prosedur keselamatan atau melanggar aturan
keselamatan.
d. House keeping yang tidak baik disekitar tempat kerja.
Banyak Unsafe Act terjadi karena pekerja tidak terlatih atau tidak
dimotivasi oleh supervisor pekerja, beberapa pekerja tidak memahami
tindakan yang penting, dimana dalam beberapa situasi akan meningkatkan
kesempatan untuk terjadi kecelakaan.
Resiko yang terjadi di tempat kerja tersebut harus dapat dikendalikan,
pengendalian dapat diterapkan dengan memahami hirarki pengendalian
yang berurutan dari yang tertinggi kemudian ke langkah berikutnya.
31

Adapun langkah-langkahnya :
a. Eliminasi, yaitu menghilangkan sama sekali bahaya yang ada.
b. Substitusi, bila eliminasi tidak dapat dilakukan maka upaya yang
harus dilakukan adalah mengganti dengan sesuatu yang kurang
berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali.
c. Pengendalian rekayasa, merupakan pilihan yang dilakukan setelah
substitusi dimana dengan memanfaatkan pengetahuan dibidang
rekayasan untuk menghilangkan atau mengurangi resiko seperti
modifikasi alat dan ventilasi, pengamanan dan lain-lain.
d. Pengendalian administratif, resiko dapat dikurangi dengan
menerapkan prosedur dan institusi kerja seperti :
1) Membuat persyaratan terhadap pembelian obat
2) Mengurangi waktu pemaparan
3) Pengaturan shif kerja
e. Alat pelindung diri, merupakan tahap terakhir dari hirarki
pengendalian bila upaya lainnya tidak memenuhi tujuan
menghilangkan ataupun mengurangi resiko secara maksimal.
Kewajiban tenaga kerja dan pengusaha yang berkaitan dengan alat
pelindung diri diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang
keselamatan kerja dimana terdapat pasal 9, 12 yaitu :
a. Pasal 9 ayat 1, menyebutkan bahwa pengurus diwajibkan
menunjukkan dan menjelaskan pada tenaga kerja baru tentang alat-alat
pelindung diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
b. Pasal 9 ayat 2, menyebutkan bahwa pengurus hanya dapat
mempekerjakan tenaga kerja yang bersangkutan setelah ia yakin
bahwa tenaga kerja tersebut telah memenuhi syarat 3 diatas.
c. Pasal 12 sub C, menyebutkan bahwa dengan peraturan perundang-
undangan diatur kewajiban dan atau hak untuk memakai alat
pelindung diri yang diwajibkan.
d. Pasal 12 sub C, menyebutkan bahwa tenaga kerja berhak menyatakan
keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat-syarat K3 serta alat-alat
32

pelindung diri yang diwajibkan ditunjuk olehnya kecuali dalam hal-


hal khusus ditentukan lain oleh pegawai yang masih dapat
dipertangung jawabkan.
33

BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN

A. Kerangka Konsep Penelitian


Kerangka konsep penelitian ini mengacu kepada panduan yang
disesuaikan pada masing-masing area berisiko tinggi dan keharusan memakai
alat pelindung diri (APD) pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Faktor kepatuhan
petugas area berisiko
dalam menggunakan Kepatuhan petugas dalam
APD : menggunakan APD

1. Pengetahuan
2. Ketersediaan APD
3. Peraturan

(Lawrence Green Theory)

B. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana faktor kepatuhan petugas kesehatan dalam pemakaian alat
pelindung diri (APD) di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun
2016?
2. Bagaimana faktor kepatuhan petugas radiologi dalam penggunaan alat
pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016.
3. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas laboratorium dalam
penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh 2016.
4. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas farmasi dalam penggunaan
alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016.
5. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas di ruang perawatan isolasi
penyakit menular dalam penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh 2016.
34

6. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas di kamar operasi dalam


penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh 2016.
7. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas di CSSD (Central Steryl
Suply Department) dalam penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh 2016.
8. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas di ruang incenerator dalam
penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh 2016.
9. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas di ruang laundry dalam
penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh 2016.
10. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas cleaning service dalam
penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh 2016.
11. Untuk mengetahui faktor kepatuhan petugas dapur dan catering dalam
penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh 2016.

C. Definisi Operasional
Cara Skala
No Variable Definisi operasional Alat ukur Hasil ukur
ukur ukur
1. Kepatuhan petugas Merupakan Alat yang Angket Lembar Ordinal Patuh
dalam penggunaan berfungsi untuk observasi
alat pelindung diri melindungi petugas dalam bentuk Tidak patuh
kesehatan dalam checklist
memberikan
pelayanan seperti
masker, sarung
tangan, gaun/appron,
pelindung
kepala/safety helmet,
sepatu pelindung,
penutup telinga, kaca
mata pelindung

No Variable Definisi operasional Cara Alat ukur Skala Hasil ukur


35

ukur ukur
2 Faktor kepatuhan Merupakan faktor Angket Lembar Ordinal
petugas area yang mempengaruhi kuesioner
berisiko dalam perilaku petugas dengan skala
menggunakan APD dalam menggunakan dichotomous
APD yang terdiri dari choice
pengetahuan,
ketersediaan alat dan
peraturan.
a Pengetahuan Merupakan faktor Angket Lembar Ordinal Tinggi
yang berasal dari kuesioner
dalam diri individu dengan skala Rendah
dalam bentuk dichotomous
informasi yang choice
diketahui petugas
area berisiko tentang
alat pelindung diri
yang dapat
mempengaruhi
kepatuhan petugas
area berisiko.
b Ketersediaan Merupakan faktor Angket Lembar Ordinal Tersedia
APD pemungkin yang kuesioner
dapat mempengaruhi dengan skala Kurang
kepatuhan petugas dichotomous tersedia
area berisiko dalam choice
bentuk ketersediaan
alat pelindung diri
yang sesuai dengan
prosedur tindakan
pada masing-masing
area.

c Peraturan Merupakan Angket Lembar Ordinal Baik


kebijakan, aturan kuesioner
ataupun wewenang dengan skala Kurang baik
yang diterapkan dan dichotomous
dijalankan oleh choice
pimpinan untuk
meningkatkan
kepatuhan petugas
dalam menggunakan
APD
36

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Sedangkan
desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional yang berarti setiap
subjek penelitian diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap
status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo,
2005, p. 145).

B. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai Mei sampai September 2016.

C. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah petugas kesehatan di RSUD
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang berjumlah 177.
2. Sampel penelitian
Adapun jumlah sampel minimal yang diambil pada variabel faktor
yang mempengaruhi kepatuhan petugas dalam menggunakan APD pada
penelitian ini adalah sebagai berikut :
37

Daftar sampel area berisiko di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

No Area Petugas Jumlah Sampel


1 Radiografer 32 16
2 Petugas pengambil sampel darah 4 3
3 Petugas Farmasi di ruang peracikan obat 5 5
kemoterapi
4 Perawat di ruang PTT 19 10
5 Dokter operator unit Obsgin dan
Ortopedi
a. Obsgin 11 6
b. Ortopedi 6 4
6 Petugas CSSD di area dekontaminasi 18 9
alat
7 Petugas Incenerator 2 2
8 Laundry 19 12
9 Cleaning Service di ruang operasi 9 5
10 Petugas catering di bagian pengolahan 52 21
makanan
Total 177 93

3. Cara Pengambilan Sampel


Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah
nonprobability sampling yaitu pengambilan sampel yang tidak didasarkan
atas kemungkinan yang tidak dapat diperhitungkan (Notoatmodjo, 2010, p.
124). Teknik pengambilan sampel untuk mengukur faktor kepatuhan
petugas dalam menggunakan APD adalah dengan metode accidental
sampling. Teknik ini digunakan pada sampel yang berada dilapangan saat
pengumpul data menuju area beriisko. Sampel dalam penelitian ini
berjumlah 93 orang. Sedangkan pada variabel kepatuhan petugas dalam
menggunakan APD, pengumpul data menggunakan teknik observasi.
Dimana tahapan observasi dilakukan selama 3 kali pada 2 shift yaitu pagi
dan sore pada masing-masing area berisiko.
38

D. Analisa Data
1. Univariat
Analisa univariat menggunakan metode statistik deskriptif untuk
masing-masing variabel penelitian. Analisis ini dilakukan terhadap tiap
variabel dari penelitian, umumnya analisis ini hanya menghasilkan
distribusi dan persentasi dari tiap variabel atau subvariabel. Untuk melihat
distribusi frekuensi antara variabel dependen dan variabel independen.
Untuk menilai keseluruhan jawaban responden maka akan ditetukan nilai

rata-rata ( x ) dengan cara membagi nilai total ( ∑ x ) yang diperoleh untuk


tiap-tiap sub-variabel dengan jumlah responden (n). Menurut Budiarto
(2002, p.70) mean/rata-rata nilai dapat diketahui dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:

∑x
x= n

Keterangan :
x = nilai rata-rata
Σx = jumlah nilai dari data responden
n = sampel
Setelah diolah, selanjutnya data yang telah dimasukkan ke dalam
tabel distribusi frekuensi ditemukan presentase perolehan (P) untuk tiap-
tiap kategori dengan menggunakan rumus (Budiarto, 2002, p.37) yaitu:
fi
×100 %
= n
p

Keterangan:
P = Persentase
fi = Frekuensi Teramati
n = Jumlah Populasi
39

E. Jadwal Penelitian
Tabel rincian penjadwalan kegiatan survei kepatuhan petugas dalam pemakaian
Alat Pelindung Diri (APD) di RSUD dr. Zainoel Abidin :

Bulan
No Uraian Pekerjaan
Mei Juni Juli Agsts Sept
1. Persiapan Penelitian
2. Pengambilan Sampel
3. Analisa Data
4. Penyusunan Laporan
5. Publikasi Hasil Penelitian
6. Pengawasan
40

DAFTAR PUSTAKA

Depnakertrans, 2004. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. Jakarta:


Depnakertrans

Ditjen P2MPL, 2004, Kepmenkes RI Nomor:1204/MENKES/SK/X/2004 tentang


Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

Elvia, Nova, 2013. Gambaran Pola Konsumsi Pangan dan Pola Penyakit Pada
Usia Lanjut Di Wilayah Kerja Puskesmas Tapaktuan Kecamatan
Tapaktuan Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2012. Skripsi Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Ismail, A. A. D. (2011) Akseptabilitas dan Pemanfaatan Pusat Informasi dan


Konsultasi Kesehatan Reproduksi Remaja pada Siswa Sekolah
Menengah Umum. Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat (BKM).

Putra. Moh Udin. 2012. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Terhadap


Penggunaan alat Pelindung Diri Pada mahasiswa Profesi Ilmu
Keperawatan Universitas. Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia
Depok.

Ramli, Soehatman. (2010). Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan Kerja


OHSAS 18001. Jakarta : Dian Rakyat

Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja Jakarta : CV Haji


Agung.

Anda mungkin juga menyukai