KERJASAMA
RUMAH SAKIT UMUM dr. ZAINOEL ABIDIN
DENGAN
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA
MASYARAKAT (LPPM) UNSYIAH
TAHUN 2016
HALAMAN PENGESAHAN
2
Peneliti/Pelaksana
Nama Lengkap : Ns. Devi Yanti, S. Kep
NIP : 19770820 200312 2 007
Tempat Tugas : Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Anggota Peneliti (1)
Nama Lengkap : dr. Azzaki Abubakar, Sp.PD-KGEH
NIP : 19710729 200112 1 002
Tempat Tugas : Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Anggota Peneliti (2)
Nama Lengkap : Zahrul Fuadi, SKM, M.Kes
NIP : 19731222 199603 1 001
Tempat Tugas : Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Anggota Peneliti (3)
Nama Lengkap : Yenni Harianthy, S. Kep
NIP : 19820104 200504 2 001
Tempat Tugas : Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Anggota Peneliti (4)
Nama Lengkap : Ns. Rosa Galica Gita Gressia, S. Kep
NIK : 000 000 704
Tempat Tugas : Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Anggota Peneliti (5)
Nama Lengkap : dr. Shefina Pyeloni Harnold
NIK : 000 000 561
Tempat Tugas : Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Institusi Mitra (jika ada)
Nama Institusi Mitra :
Alamat :
Penanggung Jawab :
Tahun Pelaksana : Tahun 2016
Biaya Keseluruhan : Rp. 29.977.000,-
I. KETERANGAN UMUM
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iv
ABSTRAK....................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B Rumusan Masalah ......................................................................... 4
C Tujuan Penelitian........................................................................... 4
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 66
B. Saran ........................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 71
5
ABSTRAK
Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan bahwa terjadinya
kecelakaan di rumah sakit 41% lebih besar dari pekerja industri lain. Perlunya
pengendalian risiko terhadap angka kejadian kecelakaan petugas melalui penggunaan
alat pelindung diri untuk melindungi kesehatan dan keselamatan petugas terhadap
berbagai potensi bahaya risiko pekerjaan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
analisis faktor kepatuhan petugas dalam penggunaan alat pelindung diri pada RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2016. Metode penelitian yang digunakan adalah
deskriptif kuantitatif. Teknik pengambilan sampel yaitu accidental sampling. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada sepuluh area berisiko di rumah sakit sebagian besar berada pada
kategori tidak patuh kecuali perawat di ruang PTT. Pada sub variabel analisis faktor
kepatuhan petugas dalam menggunakan APD menunjukkan bahwa pengetahuan petugas
sebagian besar berada pada kategori tinggi sebanyak 50 orang (53,8%), ketersediaan APD
sebagian besar berada pada kategori tersedia sebanyak 48 orang (51,6%), dan penerapan
peraturan tentang APD oleh pimpinan kepada staf sebagian besar berada pada kategori baik
sebanyak 62 orang (66,7%). Adanya monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap
kepatuhan petugas dalam menggunakan alat pelindung diri sehingga kesehatan dan
keselamatan kerja petugas dapat terjamin.
ABSTRACT
Results Reports of the National Security Council (NSC) in 1988 showed that the occurrence
of accidents in hospitals 41% more big from other industrial workers. The Importance of risk
control officer accident figures through use protective tool to review the health and safety
officers protect against different hazard risk of employment. This research is to review
analysis factor obedience of employee in using personal protective equipment in general
hospital dr. zainoel abidin 2016. The research methods used is quantitative descriptive.
Sampling methode used accidental sampling. Research results indicate that from ten risk
areas in the hospital are mostly big in no obedient category except nurse in ward of
Tuberculosis at sub variables factor analysis using personal protective equipment showed that
knowladge is high category (53.8%), the availability of personal protective equipment is
quantity category (51.6%), and the aplication of rule obedience in personal protective
equipment by leader is good category. The monitoring and evaluation continously on staff for
used personal protective equipment is needed by leader so that health and safety of staff is
guaranteed.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan
karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan
kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus
tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh
masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Dalam Undang-
Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan khususnya pasal 165 : “Pengelola
tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan,
peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja”.
Berdasarkan pasal di atas maka pengelola tempat kerja di rumah sakit mempunyai
kewajiban untuk menyehatkan para tenaga kerjanya. Salah satunya adalah melalui upaya
kesehatan kerja disamping keselamatan kerja sehingga risiko terjadinya Penyakit Akibat
Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) di rumah sakit dapat dihindari
(Kemenkes RI tentang standar kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit, 2010).
Secara global, WHO (2000) mencatat dari 35 juta pekerja kesehatan, 3 juta terpajan
pathogen darah (2 juta terpajan virus HBV; 0,9 juta terpajan virus HBC dan 170.000
terpajan virus HIV/AIDS), lebih dari 90% terjadi di negara berkembang dan 8-12%
umumnya petugas rumah sakit sensitive terhadap lateks. Selain itu ILO (2000) mencatat
bahwa kematian akibat penyakit menular yang berhubungan dengan pekerjaan terjadi
pada laki-laki dengan jumlah kasus 108.256 dan perempuan 517.404 kasus.
Berdasarkan Kemenkes Nomor 1087/MENKES/SK/VIII/2010 tentang standar
kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit mencatat bahwa gaya berat yang
ditanggung pekerja rata-rata lebih dari 20 kg. Keluhan subyektif low back pain didapat
pada 83.3% pekerja. Penderita terbanyak 30-49 : 63% (Instalasi bedah sentral di RSUD
Jakarta 2006); 65,4% petugas pembersih suatu rumah sakit di Jakarta menderita
dermatitis kontak iritan kronik tangan (2004), dan pada penelitian yang dilakukan dr.
Joseph tahun 2005-2007 mencatat bahwa angka KAK NSI mencapai 38-73% dari total
petugas kesehatan.
Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan bahwa
terjadinya kecelakaan di rumah sakit 41% lebih besar dari pekerja industry lain. Kasus
yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong, luka
8
bakar dan penyakit infeksi dan lain-lain. Sejumlah kasus dilaporkan mendapatkan
kompensasi pada pekerja rumah sakit, yaitu sprains, strains : 52%; multiple injuries:
2,1% ; contusion, crushing, bruising : 11% ; cuts, laceration, punctures : 10,8% ;
fractures : 5,6% ; multiple injuries : 2,1% ; thermal burns : 2 % ; scratches, abrasion :
1,9% ; infection : 1,3% ; dermatitis : 1,2% ; dan lain-lain : 2,4% (Kemenkes, 2007).
Menurut Gun (1983, dalam Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3) di rumah sakit), memberikan catatan bahwa terdapat beberapa kasus penyakit kronis
yang diderita petugas rumah sakit yakni hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita),
penyakit ginjal dan saluran kemih (69% wanita), dermatitis dan urtikaria (57% wanita)
serta nyeri tulang dan pergeseran diskus intervertebratae. Ditambahkan juga bahwa
terdapat beberapa kasus penyakit akut yang diderita petugas rumah sakit lebih besar 1.5
kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi dan parasit, saluran pernafasan,
saluran cerna dan keluhan lain, seperti sakit telinga, sakit kepala, gangguan saluran
kemih, masalah kelahiran anak, gangguan pada saat kehamilan, penyakit kulit dan sistem
otot dan tulang rangka (Kemenkes, 2007).
Kesehatan kerja menurut WHO (1995), bertujuan untuk peningkatan dan
pemeliharaan derajat kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi
pekerja di semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja yang
disebabkan oleh kondisi pekerjaan, perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari
risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan, dan penempatan serta pemeliharaan
pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologis dan
psikologisnya. Secara ringkas merupakan penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan
setiap manusia kepada pekerjaan atau jabatannya.
Besarnya angka kecelakaan kerja di dunia yang dikutip dari berbagai maka harus
diselenggarakan pengendalian risiko berupa eliminasi, substitusi, teknik, administratif dan
penggunaan alat pelindung diri (APD). Berbagai upaya untuk mencegah kecelakaan kerja
dan melindungi tenaga kesehatan dengan penggunaan APD namun masih seringkali
ditemukan tenaga kesehatan yang tidak patuh dalam menggunakan APD. Menurut Sari
(2012) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa 26,3 % tenaga kerja yang jarang
menggunakan APD pernah mengalami kecelakaan kerja saat bekerja. Hal ini berarti
kepatuhan dalam menggunakan APD juga memiliki hubungan untuk terjadinya
kecelakaan kerja.
Alat pelindung diri adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi
seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tubuh tenaga kerja dari bahaya di
9
B. Rumusan Masalah
Bagaimana analisis faktor kepatuhan petugas dalam penggunaan alat pelindung diri
pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui analisis faktor kepatuhan petugas dalam penggunaan alat
pelindung diri pada RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016.
10
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui analisis faktor kepatuhan petugas radiografer dalam
menggunakan alat pelindung diri di Instalasi Radiologi RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh 2016.
2. Untuk mengetahui analisis faktor kepatuhan petugas pengambil sampel darah
dalam menggunakan alat pelindung diri di Instalasi Laboratorium RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh 2016.
3. Untuk mengetahui analisis faktor kepatuhan peracik obat kemoterapi dalam
menggunakan alat pelindung diri di Instalasi Farmasi RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh 2016.
4. Untuk mengetahui analisis faktor kepatuhan perawat dalam menggunakan alat
pelindung diri di Ruang Perawatan TB Terpadu (PTT) RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh 2016.
5. Untuk mengetahui analisis faktor kepatuhan dokter operator dalam menggunaan
alat pelindung diri di Instalasi Bedah Sentral RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh 2016.
6. Untuk mengetahui analisis faktor kepatuhan petugas CSSD dalam menggunakan
alat pelindung diri di Instalasi CSSD (Central Steryl Supply Department) RSUD
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016.
7. Untuk mengetahui analisis faktor kepatuhan petugas incenerator dalam
penggunaan alat pelindung diri di Instalasi Pemeliharaan Sanitasi dan Lingkungan
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016.
8. Untuk mengetahui analisis faktor kepatuhan petugas pencucian linen dalam
menggunakan alat pelindung diri di Instalasi Loundry RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh 2016.
9. Untuk mengetahui analisis faktor kepatuhan petugas cleaning service dalam
menggunakan alat pelindung diri di Instalasi Bedah Sentral RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh 2016.
10. Untuk mengetahui analisis faktor kepatuhan petugas penyajian makanan dalam
menggunakan alat pelindung diri di Instalasi Gizi RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh 2016.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Sarung tangan
Berdasarkan pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit
dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, sarung tangan melindungi tangan dari
bahan yang dapat menularkan penyakit dan melindungi paien dari mikro organisme
yang berada ditangan petugas kesehatan. Sarung tangan merupakan penghalang
(barrier) fisik paling penting untuk mencegah penyebaran infeksi. Sarung tangan
harus diganti antara setiap kontak dengan satu pasien ke pasien lainnya. Penggunaan
sarung tangan dan kebersihan tangan, merupakan komponen kunci dalam
meminimalkan penyebaran penyakit dan mempertahankan suatu lingkungan bebas
infeksi (Garner dan Favero 1986). Selain itu, pemahaman mengenai kapan sarung
tangan steril atau disinfeksi tingkat tinggi diperlukan dan kapan sarung tangan tidak
perlu digunakan, penting untuk diketahui agar dapat menghemat biaya dengan tetap
menjaga keamanan pasien dan petugas.
a. Tiga saat petugas perlu memakai sarung tangan :
1. Perlu untuk menciptakan barier protektif dan cegah kontaminasi yang berat.
Disinfeksi tangan tidak cukup untuk memblok transmisi kontak bila
kontaminasi berat. Misal menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, mukus
membran, kulit yang tidak utuh.
2. Dipakai untuk menghindari transmisi mikroba ditangan petugas kepada pasien
saat dilakukan tindakan terhadap kulit pasien yang tidak utuh, atau mukus
membran.
3. Mencegah tangan petugas terkontaminasi mikroba dari pasien transmisi
kepada pasien lain. Perlu kepatuhan petugas untuk pemakaian sarung tangan
sesuai standar. Memakai sarung tidak menggantikan perlunya cuci tangan,
karena sarung tangan dapat berlubang walaupun kecil, tidak nampak selama
melepasnya sehingga tangan terkontaminasi.
b. Kapan pemakaian sarung tangan diperlukan
Meskipun efektifitas pemakaian sarung tangan dalam mencegah kontaminasi dari
petugas kesehatan telah terbukti berulang kali tetapi pemakaian sarung tangan
tidak menggantikan kebutuhan untuk mencuci tangan. Sebab sarung tangan bedah
lateks dengan kualitas terbaik sekalipun, mungkin mengalami kerusakan kecil
yang tidak terlihat, sarung tangan mungkin robek pada saat digunakan atau tangan
terkontaminasi pada saat melepas sarung tangan (Kemenkes RI, 2011).
13
Sarung tangan digunakan setiap kali akan melakukan tindakan yang kontak
atau diperkirakan akan kontak dengan darah, cairan tubuh, secret, eksreta, kulit yang
tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi (ASHM, 2001). Saat
ini dikenal tiga jenis sarung tangan berdasarkan fungsinya (Dirjen P2MPL, 2010),
yaitu:
a. Sarung tangan bersih untuk kegiatan rutin pada kulit dan selaput lender misalnya
tindakan medic pemeriksaan dalam, merawat luka terbuka.
b. Sarung tangan steril, biasanya digunakan untuk tindakan bedah
c. Sarung tangan rumah tangga, biasanya digunakan untuk membersihkan alat, dan
permukaan meja kerja. Sarung tangan tersebut dapat digunakan lagi setelah dicuci
bersih.
Saat mengenakan sarung tangan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan (Dirjen
P2MPL, 2010), diantaranya:
a. Saat sebelum memakai maupun setelah melepas sarung tangan harus cuci tangan
terlebih dahulu
b. Satu pasang sarung tangan hanya diperuntukkan untuk satu orang pasien
c. Untuk sarung tangan yang dapat dicuci dan desinfeksi, sebaiknya tidak dipakai
lebih dari 3 kali
d. Tidak dianjurkan untuk memakai sarung tangan ganda karena menurunkan
kepekaan (raba) sehingga meningkatkan risiko kecelakaan kerja Sarung tangan
ganda boleh dikenakan jika tindakan memakan waktu lama (> 60 menit), operasi
di area yang sempit, dan saat kemungkinan adanya kontak dengan darah/cairan
tubuh dalam jumlah yang sangat banyak.
2. Masker
Berdasarkan pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit
dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya , Masker harus cukup besar untuk menutupi
hidung, mulut, bagian bawah dagu, dan rambut pada wajah (jenggot). Masker dipakai
untuk menahan cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan atau petugas bedah
berbicara, batuk atau bersin serta untuk mencegah percikan darah atau cairan tubuh
lainnya memasuki hidung atau mulut petugas kesehatan. Bila masker tidak terbuat
dari bahan tahan cairan, maka masker tersebut tidak efektif untuk mencegah kedua hal
tersebut. Masker yang ada, terbuat dari berbagai bahan seperti katun ringan, kain kasa,
kertas dan bahan sintetik yang beberapa di antaranya tahan cairan. Masker yang
dibuat dari katun atau kertas sangat nyaman tetapi tidak dapat menahan cairan atau
14
efektif sebagai filter. Masker yang dibuat dari bahan sintetik dapat memberikan
perlindungan dari tetesan partikel berukuran besar yang terbesar melalui batuk atau
bersin ke orang yang berada didekat pasien (kurang dari 1 meter). Namun masker
bedah terbalik sekalipun tidak dirancang untuk benar-benar menutup pas secara erat
(menempel sepenuhnya pada wajah) sehingga mencegah kebocoran udara pada
bagian tepinya. Dengan demikian, masker tidak dapat secara efektif menyaring udara
yang dihisap.
Pada perawatan pasien yang telah diketahui atau dicurigai menderita penyakit menular
melalui udara atau droplet, masker yang digunakan harus dapat mencegah partikel
mencapai membran mukosa dari petugas kesehatan (Kemenkes RI, 2011)
a. Masker dengan efisiensi tinggi merupakan jenis masker khusus yang
direkomendasikan, bila penyaringan udara dianggap penting misalnya pada
perawatan seseorang yang telah diketahui atau dicurigai menderita flu burung atau
SARS. Masker dengan efisiensi tinggi misalnya N-95 melindungi dari partikel
dengan ukuran < 5 mikron yang dibawa oleh udara. Pelindung ini terdiri dari
banyak lapisan bahan penyaring dan harus dapat menempel dengan erat pada
wajah tanpa ada kebocoran. Dilain pihak pelindung ini juga lebih mengganggu
pernapasan dan lebih mahal dari pada masker bedah. Sebelum petugas memakai
masker N-95 perlu dilakukan fist test pada setiap pemakaiannya.Ketika sedang
merawat pasien yang telah diketahui atau dicurigai menderita penyakit menular
melalui airborne maupun droplet, seperti misalnya flu burung atau SARS, petugas
kesehatan harus menggunakan masker efisiensi tinggi. Pelindung ini merupakan
perangkat N-95 yang telah disertifikasi oleh US National Institute for
Occupational Safety dan Health (NIOSH), disetujui oleh Europan CE, atau
standard nasional/regional yang sebanding dengan standar tersebut dari negara
yang memproduksinya. Masker efisiensi tinggi dengan tingkat efisiensi lebih
tinggi dapat juga digunakan. Masker efisiensi tinggi, seperti khususnya N-95
harus diuji pengepasannya (fit test) untuk menjamin bahwa perangkat tersebut pas
dengan benar pada wajah pemakainya.
b. Pemakaian masker efisiensi tinggi
Petugas Kesehatan Harus :
1. Memeriksa sisi masker yang menempel pada wajah untuk melihat apakah
lapisan utuh dan tidak cacat. Jika bahan penyaring rusak atau kotor, buang
15
masker tersebut. Selain itu, masker yang ada keretakan, terkikis, terpotong
atau, terlipat pada sisi dalam masker, juga tidak dapat digunakan.
2. Memeriksa tali-tali masker untuk memastikan tidak terpotong atau rusak. Tali
harus menempel dengan baik di semua titik sambungan.
3. Memastikan bahwa klip hidung yang terbuat dari logam (jika ada) berada pada
tempatnya dan berfungsi dengan baik.
c. Fit test untuk masker efisiensi tinggi
Fungsi masker akan terganggu/tidak efektif, jika masker tidak dapat melekat
secara sempurna pada wajah, seperti pada keadaan dibawah ini :
1. Adanya janggut, cambang atau rambut yang tumbuh pada wajah bagian
bawah atau adanya gagang kacamata.
2. Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi dapat mempengaruhi perlekatan
bagian wajah masker.
3. Apabila klip hidung dari logam dipencet/dijepit, karena akan menyebabkan
kebocoran. Ratakan klip tersebut diatas hidung setelah anda memasang
masker, menggunakan kedua telunjuk dengan cara menekan dan menyusuri
bagian atas masker.
4. Jika mungkin, dianjurkan fit test dilakukan setiap saat sebelum memakai
masker efisiensi tinggi.
Pelindung wajah seperti masker dan kacamata digunakan untuk melindungi
selaput mukosa hidung, mulut dan mata dari risiko percikan darah atau cairan tubuh
pasien selama melakukan tindakan kepada pasien. Berikut hal yang harus
diperhatikan dalam menggunakan pelindung wajah (Dirjen P2MPL, 2010),yaitu:
a. Masker tanpa kacamata digunakan pada saat tertentu misalnya menangani pasien
tuberkulosis tanpa luka terbuka/perdarahan dan digunakan ketika berada dalam
jarak 1 meter dari pasien.
b. Pemakaian pelindung wajah lengkap (masker dan kaca mata) diperlukan saat
melaksanakan tindakan yang berisiko tinggi kontak lama dengan darah dan cairan
tubuh seperti pembersihan luka, membalut luka, mengganti kateter, persalinan,
dan dekontaminasi alat bekas pakai.
c. Pelindung wajah, masker dan kaca mata harus dipilih dan digunakan sedemikian
rupa sehingga tidak menghalangi kelapangan dan ketajaman pandangan petugas
kesehatan.
16
6. Apron
Berdasarkan pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, apron yang terbuat dari karet atau plastik,
merupakan penghalang tahan air untuk sepanjang bagian depan tubuh petugas
kesehatan. Petugas kesehatan harus mengenakan apron dibawah gaun penutup ketika
melakukan perawatan langsung pada pasien, membersihkan pasien, atau melakukan
prosedur dimana ada risiko tumpahan darah, cairan tubuh atau sekresi. Hal ini penting
jika gaun pelindung tidak tahan air. Apron akan mencegah cairan tubuh pasien
mengenai baju dan kulit petugas kesehatan (Kemenkes RI, 2011).
Alat pelindung telinga digunakan untuk mengurangi intensitas suara yang masuk
ke dalam telinga. Jenis alat pelindung telinga antara lain:
a. Sumbat telinga (Ear plug)
Ukuran dan bentuk saluran telinga tiap-tiap individu dan bahkan untuk kedua
telinga dari orang yang sama adalah bebeda. Untuk itu sumbat telinga (Ear plug)
harus dipilih sedemikian rupa sehingga sesuai dengan ukuran dan bentuk saluran
telinga pemakainya. Pada umumnya diameter saluran telinga antara 5-11 mm dan
liang telinga pada umumnya berbentuk lonjong dan tidak lurus. sumbat telinga
(Ear plug) dapat terbuat dari kapas, plastik, karet alami dan bahan sintetis. Untuk
Ear plug yang terbuat dari kapas, spons, dan malam (wax) hanya dapat digunakan
untuk sekali pakai (Disposable). Sedangkan yang terbuat dari bahan karet plastik
yang dicetak dapat digunakan berulang kali (Non Disposable). Alat ini dapat
mengurangi suara sampai 20 dB.
b. Tutup telinga (Ear muff)
Alat pelindung tangan jenis ini terdiri dari dua buah tutup telinga dan sebuah
headband. Isi dari tutup telinga dapat berupa cairan atau busa yang berfungsi
untuk menyerap suara frekuensi tinggi. Pada pemakaian untuk waktu yang cukup
lama, efektivitas ear muff dapat menurun karena bantalannya menjadi mengeras
dan mengerut sebagai akibat reaksi dari bantalan dengan minyak dan keringat
pada permukaan kulit. Alat ini dapat mengurang intensitas suara sampai 30
dB dan juga dapat melindungi bagian luar telinga dari benturan benda keras atau
percikan bahan kimia.
7. Pelindung Kaki
Berdasarkan pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, pelindung kaki digunakan untuk melindungi
19
kaki dari cedera akibat benda tajam atau benda berat yang mungkin jatuh secara tidak
sengaja ke atas kaki. Oleh karena itu, sandal, “sandal jepit” atau sepatu yang terbuat
dari bahan lunak (kain) tidak boleh dikenakan. Sepatu boot karet atau sepatu kulit
tertutup memberikan lebih banyak perlindungan, tetapi harus dijaga tetap bersih dan
bebas kontaminasi darah atau tumpahan cairan tubuh lain. Penutup sepatu tidak
diperlukan jika sepatu bersih. Sepatu yang tahan terhadap benda tajam atau kedap air
harus tersedia dikamar bedah. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penutup sepatu
dari kain atau kertas dapat meningkatkan kontaminasi karena memungkinan darah
merembes melalui sepatu dan seringkali digunakan sampai diluar ruang operasi.
Kemudian dilepas tanpa sarung tangan sehingga terjadi pencemaran (Kemenkes RI,
2011).
Alat pelindung mata digunakan untuk melindungi mata dari percikan bahan kimia
korosif, debu dan partikel-partikel kecil yang melayang di udara, gas atau uap yang
dapat menyebabkan iritasi mata, radiasi gelombang elegtromagnetik, panas radiasi
sinar matahari, pukulan atau benturan benda keras, dll. Jenis alat pelindung mata
antara lain:
a. Kaca mata biasa (spectacle goggles)
Alat ini berfungsi untuk melindungi mata dari partikel-partikel kecil, debu dan
radiasi gelombang elegtromagnetik.
b. Goggles
Alat ini berfungsi untuk melindungi mata dari gas, debu, uap, dan percikan larutan
bahan kimia. Goggles biasanya terbuat dari plastic transparan dengan lensa
berlapis kobalt untuk melindungi bahaya radiasi gelombang elegtromagnetik
mengion.
C. Area Berisiko Tinggi dan Keharusan Memakai Alat Pelindung Diri di RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh
radiologi diagnostic
di sarana pelayanan
kesehatan
tangan
D. Definisi Kepatuhan
Menurut Soraona (1993) Kepatuhan merupakan ketaatan atau ketidaktaatan pada
perintah, aturan dan disiplin. Perubahan sikap dan perilaku individu dimuai dari tahap
kepatuhan, identifikasi, kemudian, internalisasi. Sedangkan menurut Kelman (1985).
Kepatuhan dimulai dari individu mematuhi. Dimulai dari individu yang mematuhi
anjuran tanpa kerelaan karena takut hukuman atau sanksi. Tahap identifikasi adalah
22
kepatuhan karena merasa diawasi. Jadi pengukuran kepatuhan melalui identifikasi adalah
sementara dan kembali tidak patuh lagi bila sudah merasa tidak diawasi lagi. Tahap
internalisasi adalah tahap individu melakukan sesuatu karena memahami makna,
mengetahui pentingnya tindakan untuk penggunaan APD secara rasional. Jadi kepatuhan
dapat diukur dari individu yang mematuhi atau mentaati karena telah memahami makna
suatu ketentuan yang berlaku. Perubahan sikap dan individu dimulai dari patuh terhadap
aturan/institusi, seringkali memperoleh imbalan/janji jika menurut anjuran/pedoman.
Menurut Sarwono (1993), mengemukakan bahwa patuh (compliance) menghasilkan
perubahan tingkah laku yang sementara, dan individu cenderung kembali ke pandangan/
perilaku yang semulai jika pengawasan kelompok mengendur atau jika ia pindah dari
kelompoknya.
2. Teori Perilaku
Menurut Model Komunikasi (Mc Guire, 1964), menegaskan bahwa perubahan
pengetahuan dan sikap merupakan prekondisi bagi perubahan perilaku kesehatan dan
perilaku-perilaku yang lain. Variabel-variabel input meiputi sumber pesan, pesan itu
sendiri, saluran penyampaian dan karakteristik penerima serta tujuan pesan- pesan
tersebut. Variabel output merujuk pada perubahan dalam faktor- faktor kognitif
tertentu, seperti pengetahuan, sikap, pembuatan keputusan dan perilaku-perilaku yang
dapat diobservasi.
23
unit usaha, syarat-syarat K3 ditempat kerja, hak, kewajiban, tanggung jawab dan
sanksi serta pembinaan pekerja.
Dalam Peraturan Menteri No. Per. 05/Men/1996 disebutkan bahwa untuk
menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain berada di
tempat kerja, serta sumber produksi, proses produksi dan lingkungan kerja dalam
keadaan aman, maka perlu penerapan sistem manajemen K3.
Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan disebutkan bahwa
kesehatan kerja untuk salah satu kegiatan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan
peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), pengobatan
penyakit (kuratif) dan pemeliharaan kesehatan (rehabilitatif) yang terpadu dan
berkesinambungan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal dengan
tujuan terciptanya tenaga kerja yang sehat dan terbebas dari penyakit akibat kerja
dilaksanakan secara menyeluruh.
Dalam lingkungan kerja terdapat berbagai faktor bahaya yang dapat merusak
kondisi kesehatan dan produktivitas tenaga kerja, menimbulkan gangguan kesehatan,
penyakit bahkan kematian akibat kerja. Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Faktor fisik berupa : suhu / kebisingan, suhu / iklim, radiasi, penerangan, getaran.
b. Faktor kimia berupa : gas, partikuat, cairan
c. Faktor biologi berupa : virus, bakteri
d. Faktor ergenami berupa : faktor yang mempengaruhi kesehatan antara tenaga
kerja dan pekerjaannya (cara kerja, posisi kerja, dan beban kerja). Untuk
mencegah kecelakaan dan kontrol kehilangan yang paling penting adalah
mengidentifikasi semua hazard dalam aktivitas pekerjaan dimana kecelakaan
dapat terjadi. Pekerja harus dapat mengembangkan keahlian untuk membuat
beberapa evaluasi. Pencegahan kecelakaan yang digambarkan diatas dibagi dalam
bentuk kontrol yaitu : kontrol pada pekerja, kontrol pada lingkungan pekerjaan,
kontrol pada peralatan kerja dan mesin.
Penyebab kecelakaan salah satunya adalah kebiasaan dimana terdapat suatu
keadaan lingkungan tidak aman (Unisafe condition) atau tindakan yang tidak
memenuhi keselamatan (Unisafe act). Seringkali kecelakaan merupakan kombinasi
dari kedua faktor tersebut. Kadang- kadang kecelakaan disebabkan kesalahan pada
pekerja atau atau supervisor yang dikombinasikan dengan tidak amannya peralatan,
maintenance yang kurang baik dan lain sebagainya.
28
Keadaan yang tidak aman (Unisafe Condition) adalah suatu kondisi dalam
lingkungan kerja dimana pekerja mempunyai potensi terjadi kecelakaan. Hal ini dapat
berupa :
a. Kondisi tempat kerja yang tidak baik.
b. Peralatan yang tidak aman, mesin dan alat pelindung
c. Design yang tidak baik atau tidak adekuat peralatan, mesin dan alat pelindung
d. Penerangan, ventilasi, suara yang tidak baik
(sumber : Thomas J. Anton, 1989).
Beberapa tindakan-tindakan yang tidak memenuhi keselamatan (Unisafe Act)
yang umum ditemukan dalam tempat kerja adalah :
a. Penggunaan peralatan yang tidak cocok atau rusak.
b. Tidak menggunakan alat pelindung diri yang tidak ditentukan.
c. Tidak mengikuti prosedur keselamatan atau melanggar aturan keselamatan.
d. House keeping yang tidak baik disekitar tempat kerja.
Banyak Unsafe Act terjadi karena pekerja tidak terlatih atau tidak dimotivasi oleh
supervisor pekerja, beberapa pekerja tidak memahami tindakan yang penting, dimana
dalam beberapa situasi akan meningkatkan kesempatan untuk terjadi kecelakaan.
Resiko yang terjadi di tempat kerja tersebut harus dapat dikendalikan,
pengendalian dapat diterapkan dengan memahami hirarki pengendalian yang
berurutan dari yang tertinggi kemudian ke langkah berikutnya. Adapun langkah-
langkahnya :
a. Eliminasi, yaitu menghilangkan sama sekali bahaya yang ada.
b. Substitusi, bila eliminasi tidak dapat dilakukan maka upaya yang harus dilakukan
adalah mengganti dengan sesuatu yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya
sama sekali.
c. Pengendalian rekayasa, merupakan pilihan yang dilakukan setelah substitusi
dimana dengan memanfaatkan pengetahuan dibidang rekayasan untuk
menghilangkan atau mengurangi resiko seperti modifikasi alat dan ventilasi,
pengamanan dan lain-lain.
d. Pengendalian administratif, resiko dapat dikurangi dengan menerapkan prosedur
dan institusi kerja seperti :
1) Membuat persyaratan terhadap pembelian obat
2) Mengurangi waktu pemaparan
3) Pengaturan shif kerja
29
e. Alat pelindung diri, merupakan tahap terakhir dari hirarki pengendalian bila
upaya lainnya tidak memenuhi tujuan menghilangkan ataupun mengurangi resiko
secara maksimal.
Kewajiban tenaga kerja dan pengusaha yang berkaitan dengan alat pelindung diri
diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja dimana
terdapat pasal 9, 12 yaitu :
a. Pasal 9 ayat 1, menyebutkan bahwa pengurus diwajibkan menunjukkan dan
menjelaskan pada tenaga kerja baru tentang alat-alat pelindung diri bagi tenaga
kerja yang bersangkutan.
b. Pasal 9 ayat 2, menyebutkan bahwa pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga
kerja yang bersangkutan setelah ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah
memenuhi syarat 3 diatas.
c. Pasal 12 sub C, menyebutkan bahwa dengan peraturan perundang- undangan
diatur kewajiban dan atau hak untuk memakai alat pelindung diri yang
diwajibkan.
d. Pasal 12 sub C, menyebutkan bahwa tenaga kerja berhak menyatakan keberatan
kerja pada pekerjaan dimana syarat-syarat K3 serta alat-alat pelindung diri yang
diwajibkan ditunjuk olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh
pegawai yang masih dapat dipertangung jawabkan.
30
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
Faktor kepatuhan
petugas area berisiko
dalam menggunakan Kepatuhan petugas dalam
APD : menggunakan APD
1. Pengetahuan
2. Ketersediaan APD
3. Peraturan
B. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana analisis faktor kepatuhan petugas radiografer dalam menggunakan alat
pelindung diri di Instalasi Radiologi RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016.
2. Bagaimana analisis faktor kepatuhan petugas pengambil sampel darah dalam
menggunakan alat pelindung diri di Instalasi Laboratorium RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh 2016.
3. Bagaimana analisis faktor kepatuhan peracik obat kemoterapi dalam menggunakan
alat pelindung diri di Instalasi Farmasi RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016.
4. Bagaimana analisis faktor kepatuhan perawat dalam menggunakan alat pelindung
diri di Ruang Perawatan TB Terpadu (PTT) RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
2016.
5. Bagaimana analisis faktor kepatuhan dokter operator dalam menggunaan alat
pelindung diri di Instalasi Bedah Sentral RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
2016.
31
C. Definisi Operasional
Cara Skala
No Variable Definisi operasional Alat ukur Hasil ukur
ukur ukur
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A Desain Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Sedangkan desain
penelitian yang digunakan adalah cross sectional yang berarti setiap subjek penelitian
diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel
subjek pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2005, p. 145).
Daftar sampel area berisiko di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
D Analisa Data
1. Univariat
Analisa univariat menggunakan metode statistik deskriptif untuk masing-
masing variabel penelitian. Analisis ini dilakukan terhadap tiap variabel dari
penelitian, umumnya analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentasi dari
tiap variabel atau subvariabel. Untuk melihat distribusi frekuensi antara variabel
dependen dan variabel independen. Untuk menilai keseluruhan jawaban responden
35
maka akan ditetukan nilai rata-rata ( x ) dengan cara membagi nilai total ( ∑ x ) yang
diperoleh untuk tiap-tiap sub-variabel dengan jumlah responden (n). Menurut
Budiarto (2002, p.70) mean/rata-rata nilai dapat diketahui dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
∑x
x= n
Keterangan :
x = nilai rata-rata
Σx = jumlah nilai dari data responden
n = sampel
Setelah diolah, selanjutnya data yang telah dimasukkan ke dalam tabel
distribusi frekuensi ditemukan presentase perolehan (P) untuk tiap-tiap kategori
dengan menggunakan rumus (Budiarto, 2002, p.37) yaitu:
fi
×100 %
= n
p
Keterangan:
P = Persentase
fi = Frekuensi Teramati
n = Jumlah Populasi
E Jadwal Penelitian
Tabel rincian penjadwalan kegiatan survei kepatuhan petugas dalam pemakaian Alat
Pelindung Diri (APD) di RSUD dr. Zainoel Abidin :
Bulan
No Uraian Pekerjaan
Mei Juni Juli Agsts Sept
1. Persiapan Penelitian
2. Pengambilan Sampel
3. Analisa Data
4. Penyusunan Laporan
36
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A Hasil Penelitian
Pengumpulan data dilaksanakan di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Penelitian ini menggunakan kuesioner yang mengukur faktor kepatuhan petugas dalam
menggunakan APD terhadap 93 responden. Adapun hasil penelitian yang didapatkan
adalah sebagai berikut :
1. Data Demografi
Data demografi dari responden merupakan subjek penelitian yang tidak dianalisis
secara statistic akan tetapi hanya ditampilkan dalam bentuk gambaran sebagai
pendukung pembahasan penelitian. Data demografi responden pada penelitian ini
meliputi : usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, status kepegawaian, masa kerja,
instalasi/unit tempat bekerja, sosialisasi APD, dan pelatihan sesuai tupoksi kerja.
Distribusi data demografi dalam penelitian ini terdiri dari petugas yang bekerja pada
area berisiko di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh adalah sebagai berikut :
Tabel 5.1
Distribusi Data Demografi Petugas Area Berisiko di RSUD
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=93)
No Kategori Frekuensi %
Usia
Remaja awal 17 18,3
Dewasa awal 35 37,6
1
Dewasa akhir 24 25,8
Lansia awal 15 16,1
Lansia akhir 2 2,2
93 100
Jenis Kelamin
2 Laki-laki 45 48,4
Perempuan 48 51,6
93 100
Pendidikan Terakhir
3 Pendidikan rendah 1 1,1
Pendidikan menengah 41 44,1
37
Dari tabel 5.1 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar usia responden berada
pada usia dewasa awal sebanyak 35 orang (37,6%), sebagian besar jenis kelamin
adalah perempuan sebanyak 48 orang (51,6%), pendidikan terakhir sebagian besar
pada kategori pendidikan tinggi sebanyak 50 orang (53,8%), lalu pada status
kepegawaian sebagian besar kontrak sebanyak 46 orang (49,5%). Masa kerja sebagian
besar <5 tahun sebanyak 43 orang (46,2%) dan unit bekerja sebagian besar
merupakan staf di instalasi gizi sebanyak 21 orang (22,6%). Sebagian besar petugas
yang mendapatkan sosialisasi APD sebanyak 52 orang (55,9%) dan sebagian besar
petugas yang mendapatkan pelatihan sesuai tupoksi kerja sebanyak 61 orang (65,6%).
38
2. Data Univariat
Analisa univariat menggunakan metode statistic deskriptif untuk masing-masing
variabel penelitian. Analisis ini dilakukan terhadap tiap variabel dari penelitian,
umumnya analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentasi dari tiap variabel
atau subvariabel.
a Faktor Kepatuhan Petugas
Adapun sub variabel dalam penelitian ini terdiri dari pengetahuan, ketersediaan
APD dan peraturan. Uraian hasil analisa data univariat pada masing-masing sub
variabel adalah sebagai berikut :
I. Pengetahuan
Tabel 5.2
Distribusi Pengetahuan Petugas tentang APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=93)
No Kategori Frekuensi %
1 Tinggi 50 53,8
2 Rendah 43 46,2
93 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Pada tabel di atas didapatkan bahwa pengetahuan petugas tentang APD di
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh sebagian besar berada pada
kategori tinggi sebanyak 50 orang (53,8%).
II. Ketersediaan APD
Tabel 5.3
Distribusi Ketersediaan APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=93)
No Kategori Frekuensi %
1 Tersedia 48 51,6
2 Tidak tersedia 45 48,4
93 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Pada tabel di atas didapatkan bahwa ketersediaan APD di RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh sebagian besar berada pada kategori tersedia
sebanyak 48 orang (51,6%).
III. Peraturan
Tabel 5.4
Distribusi Peraturan
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=93)
No Kategori Frekuensi %
39
1 Baik 62 66,7
2 Kurang 31 33,3
93 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Pada tabel di atas didapatkan bahwa penerapan peraturan tentang APD
oleh pimpinan kepada staf di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
sebagian besar berada pada kategori baik sebanyak 62 orang (66,7%).
Adapun uraian distribusi faktor kepatuhan petugas pada area berisiko
adalah sebagai berikut :
a) Instalasi Radiologi
I. Pengetahuan
Tabel 5.5
Distribusi Pengetahuan Petugas tentang APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=16)
No Kategori Frekuensi %
1 Tinggi 6 37,5
2 Rendah 10 62,5
93 100
Pada tabel di atas didapatkan bahwa
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016) pengetahuan petugas tentang APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh sebagian besar berada pada
kategori rendah sebanyak 10 orang (62,5%).
II. Ketersediaan APD
Tabel 5.6
Distribusi Ketersediaan APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=16)
No Kategori Frekuensi %
1 Tersedia 3 18,7
2 Tidak tersedia 13 81,3
93 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Pada tabel di atas didapatkan bahwa ketersediaan APD di RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh sebagian besar berada pada kategori tidak
tersedia sebanyak 13 orang (81,3%).
III. Peraturan
Tabel 5.7
Distribusi Peraturan
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=16)
No Kategori Frekuensi %
40
1 Baik 1 6,3
2 Kurang 15 93,7
93 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
b) Instalasi Laboratorium
I. Pengetahuan
Tabel 5.8
Distribusi Pengetahuan Petugas tentang APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=3)
No Kategori Frekuensi %
1 Tinggi 2 66,7
2 Rendah 1 33,3
93 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Pada tabel di atas didapatkan bahwa pengetahuan petugas tentang APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh sebagian besar berada pada
kategori tinggi sebanyak 2 orang (66,7%).
II. Ketersediaan APD
Tabel 5.9
Distribusi Ketersediaan APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=3)
No Kategori Frekuensi %
1 Tersedia 3 100
2 Tidak tersedia 0 0
93 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Pada tabel di atas didapatkan bahwa ketersediaan APD di RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh seluruhnya berada pada kategori tersedia
sebanyak 3 orang (100%).
III. Peraturan
Tabel 5.10
Distribusi Peraturan
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=3)
41
No Kategori Frekuensi %
1 Baik 1 33,3
2 Kurang 2 66,7
93 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
III. Peraturan
Tabel 5.13
Distribusi Peraturan
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=5)
No Kategori Frekuensi %
1 Baik 3 60
2 Kurang 2 40
93 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Tabel 5.15
Distribusi Ketersediaan APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=10)
No Kategori Frekuensi %
1 Tersedia 6 60
2 Tidak tersedia 4 40
5 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
43
Tabel 5.16
Distribusi Peraturan
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=10)
No Kategori Frekuensi %
1 Baik 2 20
2 Kurang 8 80
93 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Tabel 5.18
Distribusi Ketersediaan APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=10)
No Kategori Frekuensi %
44
1 Tersedia 6 60
2 Tidak tersedia 4 40
10 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Pada tabel di atas didapatkan bahwa ketersediaan APD di RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh sebagian besar berada pada kategori
tersedia sebanyak 6 orang (60%).
III. Peraturan
Tabel 5.19
Distribusi Peraturan
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=10)
No Kategori Frekuensi %
1 Baik 10 100
2 Kurang 0 0
10 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Tabel 5.20
Distribusi Pengetahuan Petugas tentang APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=9)
No Kategori Frekuensi %
1 Tinggi 9 100
2 Rendah 0 0
9 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Pada tabel di atas didapatkan bahwa pengetahuan petugas tentang APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh seluruhnya berada pada
kategori tinggi sebanyak 9 orang (100%).
II. Ketersediaan APD
Tabel 5.21
Distribusi Ketersediaan APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=9)
No Kategori Frekuensi %
45
1 Tersedia 2 22,2
2 Tidak tersedia 7 77,8
9 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Pada tabel di atas didapatkan bahwa ketersediaan APD di RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh sebagian besar berada pada kategori tidak
tersedia sebanyak 7 orang (77,8%).
III. Peraturan
Tabel 5.22
Distribusi Peraturan
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=9)
No Kategori Frekuensi %
1 Baik 8 88,8
2 Kurang 1 22,2
9 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Pada tabel di atas didapatkan bahwa penerapan peraturan tentang APD
oleh pimpinan kepada staf di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
sebagian besar berada pada kategori baik sebanyak 8 orang (88,8%).
1 Tersedia 0 0
2 Tidak tersedia 2 100
2 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Pada tabel di atas didapatkan bahwa ketersediaan APD di RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh seluruhnya berada pada kategori tidak
tersedia sebanyak 2 orang (100%).
III. Peraturan
Tabel 5.25
Distribusi Peraturan
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=2)
No Kategori Frekuensi %
1 Baik 2 100
2 Kurang 0 0
2 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Tabel 5.27
Distribusi Ketersediaan APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=12)
No Kategori Frekuensi %
47
1 Tersedia 4 33,3
2 Tidak tersedia 8 66,7
12 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Pada tabel di atas didapatkan bahwa ketersediaan APD di RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh sebagian besar berada pada kategori tidak
tersedia sebanyak 8 orang (66,7%).
III. Peraturan
Tabel 5.28
Distribusi Peraturan
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=12)
No Kategori Frekuensi %
1 Baik 10 83,3
2 Kurang 2 16,7
12 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Tabel 5.30
Distribusi Ketersediaan APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=5)
No Kategori Frekuensi %
48
1 Tersedia 5 100
2 Tidak tersedia 0 0
5 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Pada tabel di atas didapatkan bahwa ketersediaan APD di RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh seluruhnya berada pada kategori tersedia
sebanyak 5 orang (100%).
III. Peraturan
Tabel 5.31
Distribusi Peraturan
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=5)
No Kategori Frekuensi %
1 Baik 4 80
2 Kurang 1 20
5 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Tabel 5.33
Distribusi Ketersediaan APD
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=21)
No Kategori Frekuensi %
49
1 Tersedia 11 52,4
2 Tidak tersedia 10 47,6
21 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
Pada tabel di atas didapatkan bahwa ketersediaan APD di RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh sebagian besar berada pada kategori
tersedia sebanyak 11 orang (52,4%).
III. Peraturan
Tabel 5.34
Distribusi Peraturan
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016 (n=21)
No Kategori Frekuensi %
1 Baik 21 100
2 Kurang 0 0
21 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)
2. Instalasi Laboratorium
SARUNG SERAGAM/ SEPATU
TANGAN MASKER GAUN TERTUTUP KESIMPULAN
OBSERVASI I 1 0 1 1 0
OBSERVASI II 1 1 1 0 0
OBSERVASI III 1 1 1 0 0
OBSERVASI IV 1 0 1 0 0
OBSERVASI V 1 1 1 0 0
OBSERVASI VI 1 1 1 0 0
100% 67% 100% 17% Tidak patuh
3. Instalasi Farmasi
50
OBSERVASI I 1 1 0 1 0
OBSERVASI II 1 1 0 1 0
OBSERVASI III 1 1 0 1 0
OBSERVASI IV 1 1 0 1 0
OBSERVASI V 1 1 0 1 0
OBSERVASI VI 1 1 0 1 0
100% 100% 0% 100% Tidak patuh
4. Instalasi Perawatan TB Terpadu
MASKER N95 KESIMPULAN
OBSERVASI I 1 100
OBSERVASI II 1 100
OBSERVASI III 1 100
OBSERVASI IV 1 100
OBSERVASI V 1 100
OBSERVASI VI 1 100
100% Patuh
5. Instalasi Bedah Sentral
SARUNG SEPATU BAJU PENUTUP KACA
TANGAN MASKER BOOT PELINDUNG KEPALA MATA APRON KESIMPULAN
OBSERVASI I 1 1 0 1 1 0 1 0
OBSERVASI II 1 1 0 1 1 0 1 0
OBSERVASI III 1 1 0 1 1 0 1 0
OBSERVASI IV 1 1 0 1 1 0 1 0
OBSERVASI V 1 1 0 1 1 0 1 0
OBSERVASI VI 1 1 0 1 1 0 1 0
Tidak
100% 100% 0% 100% 100% 0% 100% patuh
6. Instalasi CSSD
APRON
PENUTUP KACA MATA SEPATU SARUNG
TAHAN AIR/ MASKER KESIMPULAN
KEPALA PELINDUNG BOOT TANGAN
ZAT KIMIA
OBSERVASI I 1 1 1 0 0 1 0
OBSERVASI II 1 1 1 1 0 1 0
OBSERVASI III 1 1 1 1 0 1 0
OBSERVASI IV 1 1 1 0 0 1 0
OBSERVASI V 1 1 1 0 0 1 0
OBSERVASI VI 1 1 1 0 0 1 0
Tidak
100% 100% 100% 33% 0% 100% patuh
OBSERVASI I 0 0 0 1 0 1 0 0
51
OBSERVASI II 0 0 0 1 0 1 0 0
OBSERVASI III 0 0 0 1 0 1 0 0
OBSERVASI IV 0 0 0 1 0 1 0 0
OBSERVASI V 0 0 0 1 0 1 0 0
OBSERVASI VI 0 0 0 1 0 1 0 0
Tidak
0% 0% 0% 100% 0% 100% 0% patuh
8. Instalasi Laundry
SARUNG TANGAN SEPATU
BAJU SERAGAM APRON KULIT BOOT KESIMPULAN
OBSERVASI I 1 1 0 0 0
OBSERVASI II 1 0 0 0 0
OBSERVASI III 1 1 0 0 0
OBSERVASI IV 1 1 0 0 0
OBSERVASI V 1 0 0 0 0
OBSERVASI VI 1 1 0 0 0
100% 67% 0% 0% Tidak patuh
9. IPSL (Petugas Kebersihan di IBS)
SARUNG
Apron TANGAN MASKER KESIMPULAN
OBSERVASI I 0 1 0 0
OBSERVASI II 0 1 0 0
OBSERVASI III 0 1 0 0
OBSERVASI IV 0 1 0 0
OBSERVASI V 0 1 0 0
OBSERVASI VI 0 1 0 0
0% 100% 0% Tidak patuh
OBSERVASI I 1 1 1 0 1 0
OBSERVASI II 1 1 1 0 0 0
OBSERVASI III 1 1 1 0 1 0
OBSERVASI IV 1 1 1 0 0 0
OBSERVASI V 1 1 1 0 1 0
OBSERVASI VI 1 1 1 0 1 0
100% 100% 100% 0% 67% Tidak patuh
B Pembahasan
1. Analisis kepatuhan petugas dalam penggunaan APD
Hasil pengumpulan data pada analisis kepatuhan petugas dalam menggunakan APD
pada area berisiko sebagian besar berada pada kategori tidak patuh. Ditinjau dari hasil
pengumpulan data, pengetahuan petugas yang bekerja pada 10 area berisiko sebagian
besar berada pada kategori tinggi sebanyak 50 orang (53,8%), untuk ketersediaan
52
APD sebagian besar berada pada kategori tersedia sebanyak 48 orang (51,6%), dan
penerapan peraturan tentang APD oleh pimpinan kepada staf sebagian besar berada
pada kategori baik sebanyak 62 orang (66,7%). Sosialisasi APD sebagian besar
pernah mendapatkan sosialisasi sebanyak 52 orang (55,9%) dan pelatihan sesuai
tupoksi kerja sebagian besar tidak pernah mendapatkan sebanyak 61 orang (65,6%).
Alat pelindung diri merupakan salah satu upaya dalam menjamin mutu pelayanan dan
keselamatan pasien serta petugas yang bekerja khususnya pada area yang berisiko
tinggi. Terdapat beberapa hal yang perlu ditingkatkan seperti pemahaman staf melalui
sosialisasi berkala dan pelaksanaan pelatihan sesuai tupoksi kerja menjadi hal yang
perlu diperhatikan. Selain itu perlunya monitoring dan evaluasi dari unit terkait seperti
: ketersediaan SPO tertulis tentang APD apa saja yang harus digunakan berdasarkan
prosedur/tindakan, kualitas dan kuantitas APD yang tersedia dan yang digunakan,
evaluasi berkala unit outsourcing dalam penyediaan APD sehingga APD yang
disesuaikan oleh petugas sesuai dengan standar yang diinginkan oleh rumah sakit,
evaluasi secara reguler kepada unit terkait kepada staf dalam menggunakan APD
lengkap, adanya punishment and reward kepada petugas/unit yang telah
menggunakan APD dengan lengkap.
Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu bagian dari perlindungan bagi
tenaga kerja dan bertujuan untuk mencegah serta mengurangi terjadinya kecelakaan
dan penyakit akibat kerja dan di dalamnya termasuk menjamin petugas dalam
keadaan sehat dan selamat, menjaga sarana dan prasarana aman dan efisien serta
memperlancar proses kegiatan saat bekerja, melindungi petugas dari gangguan
kesehatan fisik, mental dan sosial yang dapat diakibatkan oleh kondisi dan lingkungan
kerja sehingga diharapkan produktivitas petugas yang bekerja khususnya di area
berisiko pada RSUD dr. Zainoel Abidin ini dapat dipertahankan apabila memasuki
usia pensiun dan menikmati hari tuanya tanpa mengalami gangguan penyakit akibat
pekerjaan.
bahwa petugas radiografer dalam menggunakan APD berada pada kategori tidak
patuh.
Pelayanan radiologi merupakan salah satu pelayanan yang memegang peranan
penting dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit, untuk itu perlu memperhatikan
aspek keselamatan kerja khususnya terkait radiasi. Keselamatan kerja radiasi
merupakan upaya yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar dosis radiasi
pengion yang mengenai manusia dan lingkungan hidup tidak melampaui nilai batas
yang ditentukan. Salah satu upaya dalam melindungi petugas terhadap radiasi yang
ada pada pelayanan radiologi adalah menggunakan APD yang lengkap.
APD yang lengkap akan mengurangi dan melindungi petugas radiologi terhadap
berbagai efek radiasi yang berdampak buruk terhadap kesehatan seperti timbulnya
berbagai penyakit akibat radiasi yaitu radiodermatitis, katarak, dan sterilitas. Untuk
itu perlunya peningkatan pengawasan dari kepala unit dan pihak manajemen rumah
sakit terhadap kepatuhan petugas dalam menggunakan APD, adanya pemeriksaan
berkala untuk menilai dosis radiasi yang diterima serta adanya monitoring dan
evaluasi terhadap ketersediaan APD di pelayanan radiologi sehingga kesehatan dan
keselamatan kerja petugas dalam memberikan pelayanan terjamin dan meminimalkan
segala risiko yang dapat timbul akibat paparan radiasi.
bahan habis pakai dan peralatan kerja, memastikan semua petugas memahami dan
dapat menghindari bahaya infeksi, melakukan pengawasan petugas dalam
menggunakan alat pelindung diri dan memastikan kesehatan petugas seperti
pemberian imunisasi dan pemantauan kesehatan secara berkala. Insiden yang berisiko
tinggi terjadi pada petugas pengambil sampel adalah tertusuk jarum, untuk itu
pemahaman akan bahaya/dampak yang ditimbulkan seperti penyebaran infeksi
terhadap berbagai mikrobiologi perlu ditekankan kembali kepada petugas sehingga
dapat menggunakan APD dengan lengkap saat memberikan pelayanan.
komplikasi yang dapat membahayakan nyawa. Salah satu upaya dalam menurunkan
angka kejadian komplikasi terhadap pasien dan menjaga kesehatan dan keselamatan
petugas adalah menggunakan APD. Bahaya mekanik yang mungkin terjadi di ruang
operasi yaitu tertusuk benda tajam, terpotong, tersayat, terpapar cairan tubuh pasien
dll. Ditinjau dari hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa ketersediaan sepatu
boot dan google/kaca mata pelindung khususnya di ruang operasi ortopedi dan obsgin
perlu ditindaklanjuti. Selain itu kualitas mutu dari APD yang tersedia seperti
handscoon steril, apron, masker, dll juga harus dimonitoring sehingga pelayanan di
kamar operasi menjamin mutu dan keselamatan baik bagi pasien maupun kepada
petugas kesehatan.
sebanyak 8 orang (66,7%). Ketersediaan APD sebagian besar berada pada kategori
tidak tersedia sebanyak 8 orang (66,7%). Sedangkan pada penerapan peraturan
sebagian besar berada pada kategori baik sebanyak 10 orang (83,3%). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kepatuhan petugas laundry berada pada kategori tidak patuh.
Hasil observasi terhadap kepatuhan petugas dalam menggunakan APD khususnya
pemakaian sepatu boot dan handscoon kulit seluruhnya tidak dipakai oleh petugas
(0%).
Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit adalah melalui
pelayanan menunjang medis khususnya dalam pengelolaan linen di rumah sakit.
Untuk mendapatkan kualitas linen yang baik, nyaman dan siap pakai, diperlukan
perhatian khusus seperti kemungkinan terjadinya pencemaran infeksi dan efek
penggunaan bahan kimia.
Upaya kesehatan kerja menurut UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan khususnya
pasal 23 tentang kesehatan kerja, menyatakan bahwa kesehatan kerja harus
diselenggarakan di semua tempat kerja khususnya pada area yang berisiko terhadap
bahaya kesehatan. Perlunya keserasian terhadap keamanan fasilitas dan alat pencucian
linen, kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja. Bila lingkungan kerja tidak
diantisipasi dengan baik maka akan menjadi beban tambahan bagi petugasnya.
Adapun beberapa potensi bahaya pada area pencucian adalah bahaya
mikrobiologi/penyakit atau gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh
mikroorganisme seperti mycobacterium tuberculosis, virus hepatitis B, virus HIV,
bahaya bahan kimia (detergen, pemutih pakaian, pengharum linen, dan larutan
enzimatik), bahaya fisika (kebisingan, listrik, panas, radiasi dan getaran), bahaya
ergonomik (mengangkat beban yang berat, posisi berdiri yang lama, posisi duduk
yang tidak stabil), bahaya psikososial (tuntutan pekerjaan yang berat, stres),
kecelakaan kerja (kebakaran, terpleset/terjatuh).
Mengingat potensi bahaya yang berisiko tinggi bagi petugas laundry, penting bagi
petugas untuk benar-benar memahami dan mendapatkan pelatihan tentang bagaimana
menjaga kesehatan dan keselamatan kerja seperti penggunaan APD yang lengkap
sehingga kualitas pelayanan yang diberikan selaras dengan keamanan dan
kenyamanan petugas yang bekerja. Selain itu terdapat beberapa kendala yang perlu
diperhatikan dan ditindak lanjuti khususnya bagi manajemen rumah sakit seperti APD
yang belum tersedia (alas kaki anti slip, sarung tangan rumah tangga). Dalam upaya
meningkatkan mutu dan keselamatan bagi pasien dan sumber daya manusia, beberapa
59
fasilitas yang fungsinya sudah mulai menurun seperti mesin cuci dan eksospen,
berpotensi meninmbulkan kecelakaan kerja sehingga perlu diperbaiki demi menjaga
kualitas pelayanan.
kunci dalam pengolahan makanan yang aman dan sehat, karena petugas gizi tersebut
adalah vector yang dapat mencemari bahan pangan baik berupa cemaran fisik, kimia,
maupun biologis. Ditinjau dari hasil pengumpulan data ditemukan bahwa sebagian
besar berada pada kategori rendah sebanyak 13 orang (61,9%), hal ini menjadi
perhatian khusus bagi kepala unit terkait untuk memberikan informasi tentang APD
dan bagaimana menerapkan prinsip personal hygiene, sehingga petugas dapat
mengimplementasikan informasi tersebut saat melakukan tugasnya.
Ada beberapa persyaratan khusus lainnya bagi petugas gizi yang juga perlu
diperhatikan seiring dengan penggunaan APD yang lengkap yaitu kondisi kesehatan,
kebersihan diri, kebiasaan mencuci tangan, perilaku petugas penyajian makanan
dalam melakukan kegiatan, penampilannya serta kebersihan dari peralatan
pengolahan makanan.
C Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian melibatkan banyak unit (10 area berisiko) sehingga analisis dan evaluasi
masih perlu ditingkatkan lagi pada penelitian selanjutnya.
2. Kunjungan observasi dilakukan 3 kali pada 2 shift. Jika jumlah kunjungan
ditingkatkan maka keakuratan data akan semakin baik.
3. Hasil obeservasi hanya menilai kepatuhan APD saat bertugas sehingga item
pendukung lainnya harus ditelaah lebih lanjut pada penelitian selanjutnya dan
berharap kualitas analisis semakin baik. Adapun item pendukung tersebut seperti :
a. Cara memakai APD yang baik dan benar
b. Cara melepaskan APD yang baik dan benar
c. Memperhatikan etika hygiene seperti kuku panjang, memakai perhiasan yang
berlebihan, cat kuku, kuku buatan serta prinsip mencuci tangan setelah dan
sebelum bertugas
61
BAB VI
PENUTUP
A Kesimpulan
1. Analisis faktor kepatuhan petugas dalam menggunakan alat pelindung diri di RSUD
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2016
a Hasil pengumpulan data pada analisis kepatuhan petugas dalam menggunakan
APD pada 10 area berisiko sebagian besar berada pada kategori tidak patuh
kecuali perawat di ruang PTT.
b Ditinjau dari hasil pengumpulan data, pengetahuan petugas sebagian besar berada
pada kategori tinggi sebanyak 50 orang (53,8%).
c Ketersediaan APD sebagian besar berada pada kategori tersedia sebanyak 48
orang (51,6%), dan
d Penerapan peraturan tentang APD oleh pimpinan kepada staf sebagian besar
berada pada kategori baik sebanyak 62 orang (66,7%).
2. Analisis faktor kepatuhan petugas radiografer dalam menggunakan alat pelindung
diri di Instalasi Radiologi
a. Sebagian besar pengetahuan berada pada kategori rendah sebanyak 10 orang
(62,5%),
b. Ketersediaan APD sebagian besar berada pada kategori tidak tersedia sebanyak
13 orang (81,3%),
c. Pada penerapan peraturan sebagian besar berada pada kategori kurang sebanyak
15 orang (93,7%).
d. Hasil observasi menunjukkan bahwa petugas radiografer dalam menggunakan
APD berada pada kategori tidak patuh.
3. Analisis faktor kepatuhan petugas pengambil sampel darah dalam menggunakan alat
pelindung diri di Instalasi Laboratorium
a. Sebagian besar pengetahuan berada pada kategori tinggi sebanyak 2 orang
(66,7%).
b. Ketersediaan APD seluruhnya berada pada kategori tersedia sebanyak 3 orang
(100%),
c. Pada penerapan peraturan sebagian besar berada pada kategori kurang sebanyak 2
orang (66,7%).
62
c. Sedangkan pada penerapan peraturan sebagian besar berada pada kategori baik
sebanyak 4 orang (80%).
d. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan petugas cleaning service berada
pada kategori tidak patuh
11. Analisis faktor kepatuhan petugas penyajian makanan dalam menggunakan alat
pelindung diri di Instalasi Gizi
a. Tingkat pengetahuan sebagian besar berada pada kategori rendah sebanyak 13
orang (61,9%).
b. Ketersediaan APD sebagian besar berada pada kategori tersedia sebanyak 11
orang (52,4%).
c. Sedangkan pada penerapan peraturan seluruhnya berada pada kategori baik
sebanyak 21 orang (100%).
d. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan petugas penyajian makanan di
Instalasi Gizi berada pada kategori tidak patuh
B Saran
1. Alat pelindung diri merupakan salah satu upaya dalam menjamin mutu pelayanan dan
keselamatan pasien serta petugas yang bekerja khususnya pada area yang berisiko
tinggi. Terdapat beberapa hal yang perlu ditingkatkan seperti pemahaman staf melalui
sosialisasi berkala dan pelaksanaan pelatihan sesuai tupoksi kerja menjadi hal yang
perlu diperhatikan.
2. Selain itu perlunya monitoring dan evaluasi dari unit terkait seperti :
a Ketersediaan SPO tertulis tentang APD apa saja yang harus digunakan
berdasarkan prosedur/tindakan.
b Kualitas dan kuantitas APD yang tersedia dan yang digunakan.
c Evaluasi berkala unit outsourcing dalam penyediaan APD sehingga APD yang
disesuaikan oleh petugas sesuai dengan standar yang diinginkan oleh rumah sakit.
d Evaluasi secara reguler kepada unit terkait kepada staf dalam menggunakan APD
lengkap.
e Adanya punishment and reward kepada petugas/unit yang telah menggunakan
APD dengan lengkap.
65
DAFTARA PUSTAKA
Elvia, Nova, 2013. Gambaran Pola Konsumsi Pangan dan Pola Penyakit Pada Usia Lanjut
Di Wilayah Kerja Puskesmas Tapaktuan Kecamatan Tapaktuan Kabupaten Aceh
Selatan Tahun 2012. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara
Putra. Moh Udin. 2012. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Terhadap Penggunaan alat
Pelindung Diri Pada mahasiswa Profesi Ilmu Keperawatan Universitas. Fakultas
Keperawatan Universitas Indonesia Depok.
Ramli, Soehatman. (2010). Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan Kerja OHSAS
18001. Jakarta : Dian Rakyat
Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja Jakarta : CV Haji Agung.