Anda di halaman 1dari 21

TUTORIAL

Pasien anak laki – laki rujukan dari RS. Poso dibawa oleh ibunya tanggal 18
januari 2019 dengan usia 6 tahun 5 bulan berat badan 18 kg datang ke Rumah Sakit
Undata Palu dengan keluhan lemas sejak 1 minggu yang lalu. Lemas yang dirasakan
terus menerus dan lemas tidak membaik dengan istirahat. Pada hari ke 3 pasien
lemas, pasien juga mengeluhkan adanya BAB 1 kali berwarna kecoklatan dengan
konsistensi lunak berbentuk bulat – bulat , tidak ada lendir, tidak ada darah dan
tidak berbusa. Pasien juga mengeluhkan adanya muntah 1 kali berwarna kecoklatan
disertai gumpalan darah dengan volume ± ¾ gelas aqua. Riwayat panas, mimisan ,
gusi berdarah 1 kali. BAK lancar. Pasien sudah mendapatkan transfusi PRC sebanyak
3 kantong di RS Ampana dan didiagnosa dengan penyakit Susp.Leukemia

Saat datang di RSUD UNDATA Palu, anak dalam keadaan umum lemah
dengan kesadaran compos mentis,nadi 120 kali , pernapasan 24 kali, suhu 36 derajat
celcius, sebelumnya suhu saat di UGD 38 derajat celcius jam 02.00 WITA dan
diberikan paracetamol injeksi 200 mg dan pada saat masuk di ruangan PICU jam
07.00 WITA suhu 36 derajat celcius. Status Gizi baik. Kulit tampak kuning Pada
pemeriksaan kepala didapatkan bentuk kepala normocephal, rambut hitam,
konjunctiva anemis (+/+), ikterik (+/+), Hidung rhinorrea (-), Bibir pucat kering, Mulut
sianosis (-), Tonsil T1/T1 dan pada pemeriksaan leher tidak ditemukan pembesaran
kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan thorax didapatkan bentuk simetris, vokal
fremitus kanan kiri simetris , perkusi sonor , vesikular (+/+), Rhonki (-/-), Whezing
(-/-), pada pemeriksaan jantung didapatkan inspeksi ictus cordis di SIC V pada linea
midclavicularis kiri, , palpasi ictus cordis teraba di SIC V pada midclavicularis kiri,
perkusi batas jantung normal, dan auskultasi bunyi jantung I/II murni regular.Pada
pemeriksaan abdomen tampak perut datar, peristaltik kesan normal , nyeri tekan (+)
pada regio hipocondric dextra,hepatomegali (+) timpani (+). Pada pemeriksaan
anggota gerak ekstremitas atas bawah hangat dan tidak edema.
Pemeriksaan Laboratorium

18/01/19 06.20 18/01/19 11.38 19/01/19


RBC 3,41 x 106 /uL 3,29 x 106 /Ul 4,4 x 106 /uL
HGB 9,9 mg/dl 9,8 mg/dl 12,1 mg/dl
HCT 30,9 % 30 % 36,4 %
PLT 8 x 103/uL 9 x 103/uL 39 x 103/uL
WBC 1,3 x 103/uL 1,2 x 103/uL 1,1 x 103/uL
GDS - 98 mg/dl -
Ureum - 21 mg/dl -
Creatinin - 0,2 mg/dl -
SGOT - 134 u/L -
SGPT - 276 u/L -

Apusan Darah Tepi


18/01/19
a. Eritrosit : Normositik normokrom, Anisopoikilositosis, Ovasit (+),
Normoblast (+)
b. Leukosit : Jumlah menurun, granulasi toksik (+), vakuolisasi (+),
limfosit atipik (+), ditemukan sel pleomorfik curiga blast.
c. Trombosit : Jumlah menurun , morfologi normal
Kesan : - Anemia normositik normokrom, disertai leukopenia dengan
tanda infeksi
- Trombositopenia
- Keganasan Hematologi tidak dapat disingkirkan.
RESUME

Pasien anak laki – laki rujukan dari RS. Ampana dibawa oleh ibunya tanggal
18 januari 2019 dengan usia 6 tahun 5 bulan berat badan 18 kg datang ke Rumah
Sakit Undata Palu dengan keluhan lemas sejak 1 minggu yang lalu. Lemas yang
dirasakan terus menerus dan lemas tidak membaik dengan istirahat. Pada hari ke 3
pasien lemas, pasien juga mengeluhkan adanya BAB 1 kali berwarna kecoklatan
dengan konsistensi lunak berbentuk bulat – bulat , tidak ada lendir, ada darah dan
tidak berbusa. Pasien juga mengeluhkan adanya muntah 1 kali berwarna kecoklatan
disertai gumpalan darah dengan volume ± ¾ gelas aqua. mimisan , gusi berdarah ,
perdarahan spontan di. BAK lancar. Pasien sudah mendapatkan transfusi PRC
sebanyak 3 kantong di RS Ampana dan didiagnosa dengan penyakit Susp.Leukemia
Pada pemeriksaan fisik tampak anak dalam keadaan umum lemah dengan
kesadaran compos mentis,nadi 120 kali , pernapasan 24 kali, suhu 36,9 derajat
celcius, Status Gizi baik. Kulit tampak kuning Pada pemeriksaan kepala didapatkan
konjunctiva anemis (+/+), ikterik (+/+), Bibir pucat kering, pemeriksaan kelenjar
getah bening, paru, jantung dalam batas normal dan abdomen didapatkan nyeri
tekan pada regio hipocondric dextra dan hepatomegali (+).
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin terakhir pada tanggal 18/01//19
post transfusi WBC 200 cc dan transfusi trombosit 2 kantong didapatkan RBC 4,4 x
106/uL, HGB 12,1 mg/dl, HCT 36,4%, PLT 39 x 10 3/uL, WBC 1,1 x 103/uL. Pemeriksaan
Kimia darah pada tanggal 17/01/19 didapatkan GDS 98 mg/dl, Ureum 21 mg/dl,
Creatinin 0,2 mg/dl, SGOT 134 u/L, SGPT 276 u/L. Pada pemeriksaan analisis darah
tepi pada tanggal 18/01/19 didapatkan kesan anemia normositik normokrom,
disertai leukopenia dengan tanda infeksi, trombositopenia dan keganasan
hematologi tidak dapat disingkirkan.

DIAGNOSIS KERJA

Myelodysplastic syndrome

DIAGNOSIS BANDING

- Leukemia

TERAPI

- IVFD ringer lactat 19 tpm


- Injeksi Meropenem 400 mg/8jam/iv
- Injeksi Dexametason 1 amp/iv/12 jam
- Paracetamol drips 200 mg/ 8 jam

ANJURAN

- Pemeriksaan biopsi sumsum tulang


PEMBAHASAN

HEMATOPOIESIS
Hematopoiesis adalah pembentukan dan perkembangan sel-sel darah.
Hematopoiesis merupakan proses produksi (mengganti sel yang mati) dan
perkembangan sel darah dari sel induk/asal/stem sel, dimana terjadi proliferasi,
maturasi dan diferensiasi sel yang terjadi secara serentak.Proliferasi sel
menyebabkan peningkatan atau pelipat gandaan jumlah sel, dari satu sel
hematopoietik pluripotent menghasilkan sejumlah sel darah. Maturasi merupakan
proses pematangan sel darah, sedangkan diferensiasi menyebabkan beberapa sel
darah yang terbentuk memiliki sifat khusus yang berbeda-beda.
Hematopoiesis pertama kali berlangsung dalam kantong kuning telur (yolk
sac) dan berlanjut dihati, limpa, nodus limfe, dan seluruh sumsum tulang janin yang
sedang berkembang.Setelah lahir dan masa kanak-kanak, sel-sel darah terbentuk
dalam sumsum semua tulang.Pada orang dewasa, sel darah hanya terbentuk pada
sumsum tulang merah (Red Bone Marrow) yang ditemukan dalam tulang
membranosa seperti sternum, iga, vertebra, dan tulang ilia girdel pelvis. Sel-sel
darah yang sudah matang masuk ke sirkulasi utama dari sumsum tulang melalui
vena rangka.
Red bone marrow (RBM) merupakan jaringan ikat yang sangat
tervaskularisasi yang terletak pada rongga-rongga mikroskopik diantara traberkula
jaringan tulang spons. RBM terutama terdapat pada tulang aksial, pektoral, dan
pelvis, dan pada epifisa proksimal dari humerus dan femur. Sekitar 0,005-0,1% sel-
sel RBM merupakan derivasi dari mesenkim, yang dinamakan pluripotent stem cells
atau hemositoblast. Sel-sel ini memiliki kapasitas untuk berkembang menjadi banyak
tipe sel lain. Pada bayi yang baru lahir, seluruh bone marrow merupakan RBM yang
aktif dalam produksi sel darah. Seiring dengan pertumbuhan individu, rata-rata
produksi sel darah berkurang; RBM pada rongga medular tulang panjang menjadi
tidak aktif dan digantikan oleh yellow bone marrow (YBM) yang merupakan sel-sel
lemak. Pada kondisi-kondisi tertentu, seperti saat terjadi pendarahan, YBM dapat
berubah menjadi RBM dengan ekstensi RBM kearah YBM, dan repopulasi YBM oleh
pluripotent stem cells.
Stem cells pada RBM memperbanyak diri sendiri, berproliferasi, dan
berdiferensiasi menjadi sel yang selanjutnya akan berkembang menjadi sel darah,
makrofag, sel retikular, sel mast, dan adiposit. Sebagian stem cells juga membentuk
osteoblast, chondroblast, dan sel-sel otot. Sel retikular memproduksi serabut
retikular, yang membentuk stroma untuk menunjang sel-sel RBM. Saat sel darah
selesai diproduksi di RBM, sel tersebut masuk ke sirkulasi darah melalui sinusoid
(sinus), kapiler-kapiler yang membesar dan mengelilingi sel-sel dan serabut RBM.
Terkecuali limfosit, sel-sel darah tidak membelah setelah meninggalkan RBM.
Untuk membentuk sel darah, pluripotent stem cells di RBM memproduksi 2
jenis stem cells lanjutan, yang memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi
beberapa jenis sel. Sel-sel ini dinamakan myeloid stem cells dan lymphoid stem cells.
Sel myeloid memulai perkembangannya di RBM, dan selanjutnya akan menghasilkan
sel-sel darah merah, platelet, monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil. Sel lymphoid
mulai berkembang di RBM dan mengakhiri perkembangannya di jaringan-jaringan
limpatik; sel-sel ini akan membentuk limfosit.
Saat berlangsung hematopoiesis, beberapa sel myeloid berdiferensiasi
menjadi sel progenitor. Sel myelod yang lain dan sel-sel lymphoid berkembang
langsung menjadi sel prekursor. Sel-sel progenitor tidak lagi memiliki kemampuan
untuk memperbanyak dirinya sendiri, dan sebagai gantinya membentuk elemen
darah yang lebih spesifik.
Pada tahap selanjutnya, sel-sel ini dinamakan sel prekursor, dikenal juga
dengan sebutan blast. Melalui beberapa tahap pembelahan, sel-sel ini berkembang
menjadi sel darah yang sebenarnya. Sebagai contoh, monoblast berkembang
menjadi monosit, myeloblast eosinofilik berkembang menjadi eosinofil, dan
seterusnya. Sel prekursor dapat dikenali dan dibedakan gambaran mikroskopisnya. 1
Gambar Hematopoiesis
Gambar Hematopoiesis
DEFINISI

Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang


ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. Pada anemia
aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga
menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan
trombositopenia. Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan
anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang
sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia
hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.
Menurut The International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut
anemia aplastik bila didapatkan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin < 10 g/dl atau
hematokrit < 30 %; hitung trombosit < 50.000/mm3; hitung leukosit < 3.500/mm3
atau granulosit < 1.5x109/l.
ETIOLOGI
Secara etiologik penyakit ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu :
1. Faktor kongenital/anemia aplastik yang diturunkan : Sindroma Fanconi yang
biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus,
anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya
2. Faktor didapat
Sebagian anemia aplastik didapat bersifat idiopatik sebagian lainnya
dihubungkan dengan :
a. Bahan kimia : Benzene, Insektisida
b. Obat : Kloramfenikol, antirematik, antitiroid, mesantoin (antikonvulsan)
c. Infeksi : Hepatitis, Tuberkulosis Milier
d. Radiasi :Radioaktif, sinar rontgen

KLASIFIKASI ANEMIA APLASTIK


Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
A. Klasifikasi menurut kausa:
1. Idiopatik: bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50%
kasus.
2. Sekunder: bila kausanya diketahui.
3. Konstitusional: adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya
anemia Fanconi
B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis
Tabel Klasifikasi Anemia Aplastik Berdasarkan Tingkat Keparahan
Anemia Aplastik Berat - Seluraritas sumsum tulang < 25% atau 25-50%
dengan < 30% sel hematopoietik residu, dan
- Dua dari tiga kriteria berikut:
 netrofil < 0,5x109/l
 trombosit < 20x109/l
 retikulosit < 20x109/l
Anemia Aplastik Sangat Berat Sama seperti anemia aplastik berat kecuali
Anemia Aplastik Tidak Berat netrofil < 0,2x109/l
Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia
aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum
tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari
tiga kriteria berikut :
- netrofil < 1,5x109/l
- trombosit < 100x109/l
- hemoglobin < 10 g/dl

PATOFISIOLOGI

Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik


yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan
oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan
(acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen
toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang
didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik
yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang
langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali)
mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien
dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic
sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga
mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini
menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi,
contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara).
Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik
dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat
disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini
dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA
dan RNA. Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin
merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun
mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan
dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel.
“Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi
antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel,
yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).

MANIFESTASI KLINIK

Gejala yang muncul berdasarkan gambaran sumsum tulang yang berupa aplasia
sistem eritropoitik, granulopoitik dan trombopoitik, serta aktifitas relatif sisteln
limfopoitik dan sistem retikuloendotelial. Aplasia sistem eritropoitik dalam darah
tepi akan terlihat sebagai retikulositapenia yang disertai dengan merendahnya kadar
Hb, hematokrit dan hitung eritrosit serta MCV(mean corpuscular volume). Secara
klinis anak tampak pucat dengan berbagai gejala anemia lainnya seperti anoreksia,
lemah, palpitasi, sesak karena gagal jantung dan sebagainya. Oleh karena sifatnya
aplasia sistem hematopoitik, maka umumnya tidak ditemukan ikterus, pembesaran
limpa, hepar maupun kelenjar getah bening.

DIAGNOSIS

Dibuat berdasarkan gejala klinis berupa panas, pucat, perdarahan, tanpa adanya
organomegali (hepato-splenomegali).Gambaran darah tepi menunjukkan
pansitopenia dan limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dengan pemeriksaan
biopsi sumsum tulang yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong
dan jaringan lemak; aplasia sistem eritropoitik,granulopoitik dan trombopoitik. Di
antara sel sumsum tulang yang sedikit ini banyak ditemukan liinfosit, sel SRE (sel
plasma,fibrosit,osteoklas,sel endotel).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia
yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda
regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi
menandakan bukan anemia aplastik. Presentase retikulosit umumnya normal atau
rendah. Pada sebagian kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%.
Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte
count) maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga. Adanya
retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang
pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis.
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah
putih menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif
terdapat pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm 3 dan
trombosit kurang dari 20.000/mm 3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah
neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat.
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal.
Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit
bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic
anemia). Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang
berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik
trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan
berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia
aplastik dapat ditegakkan.
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya
memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya
trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin
ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.
Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk
erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar
Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan
inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi.

Gambar Apusan
Darah Tepi pada Anemia Aplastik

Gambar Adanya Retikulosit Menunjukkan Bukan Anemia Aplastik


B. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan
daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit,
sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan
kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini.
Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah
hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan
normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah.
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan
gambaran hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat
kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat
hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum
tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis. Suatu
spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30% sel pada
individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada individu yang
berumur lebih dari 60 tahun.
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila
selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari
30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.
Gambar Sumsum Tulang Normal dan Aplastik

PENATALAKSANAAN

Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat


granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan
kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan
pasien
Tabel Penanganan Awal Anemia Aplastik

Penanganan Awal Anemia Aplastik

 Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang


diduga menjadi penyebab anemia aplastik.
 Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang
dibutuhkan.
 Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai
yang dibutuhkan.
 Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.
 Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme
spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan;
bila berat badan kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram
negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang
belum mendapat terapi G-CSF.
 Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan
histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu
transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin
dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid. Terapi standar
untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang.
Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling
donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus
dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya
mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD
(Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai
komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi
dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastic.

A. Pengobatan Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa
packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan
pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm 3.
Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit
dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor
acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan
zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang
cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak
dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup
leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.
B. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte
globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau
ALG diindikasikan pada :
1. Anemia aplastik bukan berat
2. Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
3. Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat
pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan
granulosit lebih dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin
melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan
stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi
alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid. Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan
menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik. Sebuah protokol
pemberian ATG dapat dlihat pada tabel dibawah ini.
Tabel Protokol Pemberian ATG pada Anemia Aplastik
Protokol Pemberian ATG pada Anemia Aplastik
Dosis test ATG :
ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada
lengan dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada
lengan sebelahnya. Bila tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat
diberikan.
Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :
Asetaminofen 650 mg peroral
Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus
Hidrokortison 50 mg intravena perbolus
Terapi ATG :
ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :
Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan
ATG dan dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi
serum sickness, tapering dosis setiap 2 minggu.
Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon
maksimal kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien
usia 50 tahun atau lebih mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg.
Dosis juga harus diturunkan bila terdapat kerusakan fungsi ginjal
atau peningkatan enzim hati.

Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi


ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada
anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi
sebesar 46%.
Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi
imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki
kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid.
Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif
daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas
sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan
siklosporin. Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk
imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai
kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun.
Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps
dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.
C. Terapi Penyelamatan (Salvage Theraphies)
Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktor-
faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik.Pasien yang
refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus
imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda
tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci.
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte-
Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan
tetapi neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan
neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor
pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas
terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah
digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan
pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada
beberapa pasien.
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan
sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk
ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen
digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi
imunosupresif.

D. Transplantasi Sumsum Tulang


Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia
aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan
tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil
pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA).
Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum
dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan
terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula
kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host
Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang
lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.
DIAGNOSIS BANDING

PROGNOSIS

Prognosis bergantung pada :


a. Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau aseluler.
b. Kadar Hb F yang lebih dari 200 mg% memperlillatkan prognosis yang lebih baik.
c. Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis yang lebih baik.
d. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di indonesia karena kejadian infeksi
masih tinggi.Gambaran sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik
untuk menentukan prognosis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rudolph, A. 2014. Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 2. Jakarta: EGC


2. Permono, B. 2012. Buku Ajar Hemato-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia
3. Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC
4. Hendry Irawan. 2013. Pendekatan Diagnosis Anemia Pada Anak. Vol. 40. No. 6.
diaskes 2 Maret 2017. dari <www.kalbemed.com>
5. Laksmi, N. M. D. et al. 2010. Anemia Aplastik. Bagian Patologi Klinik FK
Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
6. Fauzi, M. Diagnosis dan Indikasi Transfusi Darah Pada Anemia Aplastik. Bagian
Patologi Klinik FK Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
7. Isyanto & Maria, A. 2005. Masalah pada Tatalaksana Anemia Aplastik Didapat.
Sari Pediatri. Vol. 7. No. 1. diakses 2 Maret 2017. dari <www.saripediatri.org>
8. Judith C, et al. 2009. Guidelines For the Diagnosis and Management of Aplastic
Anemia. British Journal Of Haematology
9. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee GR,
Foerster J, et al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 9 th ed. Philadelpia-London:
Lee& Febiger, 2012;911-43.
10. Longo. 2010. Harrisons Hematology and Oncology 6 ed.McGraw-Hill: New York
11. You/ng NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic
Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2013;153-68.

Anda mungkin juga menyukai