Anda di halaman 1dari 77

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.

1 (April 2020)
Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat)
https://jhlg.rewangrencang.com/

i
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis


Volume 1 Nomor 4 (Juli 2020)
Tema Hukum Internasional (Bulan Keempat)

Pemimpin Umum : Ivan Drago, S.H.


Editorial : Fazal Akmal Musyarri, S.H.
Desain : Jacky Leonardo
Kontributor : Dina Aprilia Iswara
Juan Maulana Alfedo
Melta Satya Rahayu Pujianti
Yanels Garsione Damanik
Distribusi : Guardino Ibrahim Fahmi
Liavita Rahmawati
Moch. Adrio Farezhi
Moh. Haris Lesmana
M. Rizky Andika P.

Redaksi Jurnal Hukum Lex Generalis


Klinik Hukum Rewang Rencang
Jl. Borobudur Agung No.26 Malang, Kode Pos 65142
Telp: 087777844417
Email: jhlg@rewangrencang.com
Website: Https://jhlg.rewangrencang.com/

Isi Jurnal Hukum Lex Generalis dapat Dikutip dengan Menyertakan Sumbernya
(Citation is permitted with acknowledgement of the source)

ii
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020)
Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat)
https://jhlg.rewangrencang.com/

DAFTAR ISI

Dina Aprilia Iswara


Optimalisasi Pengawasan Komisi Kejaksaan dalam Mengawasi Pelanggaran
Kode Etik Kasus Korupsi pada Jaksa ................................................................ 1

Dina Aprilia Iswara


Rekontruksi Regulasi terhadap KPK dalam Pemberantasan Kasus Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia .......................................................................................... 13

Juan Maulana Alfedo


Analisis Kasus Penyebaran Berita Bohong Terkait Covid-19 di Sumatera Selatan
dalam Perspektif Hukum Pidana ........................................................................ 29

Melta Setya Rahayu Pujianti dkk.


INTROSYM : Reformulasi Stolen Asset Recovery dalam Sistem Pemeriksaan
Delik Korupsi Sektor Swasta .............................................................................. 43

Yanels Garsione Damanik


Problematika Pencegahan dan Kejahatan di Bidang Ekonomi ......................... 59

iii
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

KATA PENGANTAR DIREKTUR UTAMA REWANG RENCANG

Hukum Pidana seperti Pedang bermata dua, yang runcing untuk


menegakkan hukum, tetapi disisi lain juga mengurangi hak asasi manusia. Karena
itu pidana harus dijadikan alternatif penyelesaian sengketa yang paling terakhir
(Ultimum Remidium). Jurnal Hukum Lex Generalis kali ini membahas mengenai
Hukum Pidana. Terimakasih atas kontribusi para penulis. Selamat Membaca.

Malang, 21 Juli 2020

Ivan Drago, S.H.


CEO Rewang Rencang

iv
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020)
Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat)
https://jhlg.rewangrencang.com/

KATA PENGANTAR EDITORIAL

Selamat bahagia para pembaca, rekan sivitas akademika, praktisi dan


masyarakat umum pemerhati hukum. Selamat datang di Rewang Rencang :
Jurnal Hukum Lex Generalis. Jurnal ini kami buat sebagai bentuk dedikasi kami
terhadap dunia keilmuan hukum untuk menampung karya-karya tentang Hukum.
Adapun lima tujuan utama Jurnal Hukum Lex Generalis sebagai berikut:
1. Sebagai wadah penampung karya yang berhubungan dengan ilmu hukum;
2. Sebagai sarana memperluas wawasan pemerhati hukum;
3. Sebagai glosarium, ensiklopedia atau kamus umum ilmu hukum;
4. Sebagai garda rujukan umum untuk keperluan sitasi ilmiah;
5. Sebagai referensi ringan terkhusus bagi sivitas akademika yang berbahagia.
Kami sangat senang jika anda sekalian dapat memanfaatkan wawasan dan
ilmu yang termuat dalam Jurnal ini. Sebagai penutup, Editorial berterimakasih
banyak kepada para pihak yang mensukseskan Jurnal Hukum Lex Generalis yang
terbit pada bulan Juli 2020 bertema “Hukum Pidana” dan akan terbit setiap bulan
dengan tema atau topik berbeda, semoga dapat berlanjut hingga kesempatan
berikutnya.

Malang, 21 Juli 2020

Fazal Akmal Musyarri, S.H.


Dewan Editorial RR : JHLG

v
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Undangan untuk Berkontribusi


Dewan Editorial Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis mengundang
para akademisi hukum, praktisi hukum, pemerhati hukum dan masyarakat umum
untuk menyumbang karya-karyanya baik berupa makalah, opini hukum, esai, dan
segala bentuk karya tulis ilmiah untuk dimuat dalam edisi-edisi JHLG dengan
tema berbeda setiap bulannya. Untuk informasi lebih lanjut silahkan akses:
Https://jhlg.rewangrencang.com/

vi
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

OPTIMALISASI PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN DALAM


MENGAWASI PELANGGARAN KODE ETIK KASUS KORUPSI PADA
JAKSA
OPTIMIZATION OF SUPERVISION OF THE PROSECUTOR'S
COMMISSION IN SUPERVISING VIOLATIONS OF THE CODE OF
ETHICS OF CORRUPTION CASES ON PROSECUTORS
Dina Aprilia Iswara

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : dinaaprilia308@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Iswara, Dina Aprilia. Optimalisasi Pengawasan Komisi Kejaksaan dalam Mengawasi


Pelanggaran Kode Etik Kasus Korupsi pada Jaksa. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex
Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020).

ABSTRAK
Kode etik diperlukan dalam dunia profesi sebagai upaya mewujudkan
terlaksananya pedoman atau tuntunan tingkah laku yang dapat menjaga
kehormatan suatu profesi. Kode etik profesi dapat berkembang menjadi suatu
budaya di dalam masyarakat. Di Indonesia, kode etik profesi diikat oleh suatu
peraturan sesuai dengan profesi itu sendiri, termasuk salah satunya adalah kode
etik dan perilaku Jaksa yang tertuang di dalam Peraturan Jaksa Agung Republik
Indonesia Nomor PER–014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa. Kode
Perilaku Jaksa adalah serangkaian norma penjabaran dari Kode Etik Jaksa,
sebagai pedoman keutamaan yang mengatur perilaku Jaksa baik dalam
menjalankan tugas profesinya, menjaga kehormatan dan martabat profesinya,
maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Seperti
kode etik pada umumnya, kode etik profesi jaksa bertujuan mencegah terjadinya
kejahatan jabatan. Namun dalam tataran di lapangan, upaya mewujudkan kode
etik profesi Jaksa mengalami beberapa hambatan termasuk adanya kasus-kasus
berkaitan dengan kejahatan atau penyalahgunaan jabatan oleh oknum Jaksa
tertentu. Selain dikarenakan secara normatif kedudukan kejaksaan tidak diatur
secara tegas dalam konstitusi, juga dikarenakan struktur organisasi Kejaksaan
Republik Indonesia itu sendiri yang berada di dalam lingkungan pemerintah.
Maka tidak heran hal tersebut menjadi celah bagi Jaksa untuk melakukan
kejahatan profesi seperti korupsi. Maka solusi yang dapat ditawarkan adalah
membentuk mekanisme pengawasan terhadap profesi Jaksa yang disebut sebagai
Komisi Kejaksaan yang memiliki peran seperti Komisi Yudisial yang mengawasi
profesi hakim. Diperlukan restrukturisasi atas kinerja dari Komisi Kejaksaan
Indonesia dengan pengawasan perilaku dan kinerja, disamping memberikan
reward kepada para Jaksa yang berprestasi.
Kata Kunci: Kejahatan Profesi, Kode Etik, Komisi Kejaksaan, KPK

1
Dina Aprilia Iswara
Optimalisasi Pengawasan Komisi Kejaksaan dalam Mengawasi Pelanggaran Kode Etik
Kasus Korupsi pada Jaksa

ABSTRACT
A Code of ethics is needed in the world of the profession as an effort to realize the
implementation of guidelines or behavioral guidance that can maintain the honor
of a profession. The code of ethics of the profession can develop into a culture in
society. In Indonesia, the professional code of ethics is bound by regulation in
accordance with the profession itself, including one of which is the code of ethics
and behavior of the Prosecutor contained in the Attorney General's Regulation of
the Republic of Indonesia Number PER-014/A/JA/11/2012 concerning the
Prosecutor's Code of Conduct. The Prosecutor's Code of Conduct is a set of
norms of the description of the Prosecutor's Code of Ethics, as a guideline of
priority that regulates the behavior of prosecutors both in carrying out their
professional duties, maintaining the honor and dignity of their profession and in
conducting community relations outside the ministry. Like the code of ethics in
general, the prosecutorial profession's code of ethics aims to prevent the
occurrence of office crimes. But on the ground level, efforts to realize the
prosecutor's professional code of ethics experience several obstacles including
cases related to crime or abuse of office by certain prosecutors. In addition to
normatively, the position of the prosecutor is not strictly regulated in the
constitution, also because the organizational structure of the Prosecutor of the
Republic of Indonesia itself is within the government environment. So it is not
surprising that it becomes a loophole for prosecutors to commit professional
crimes such as corruption. Then the solution that can be offered is to establish a
mechanism of supervision of the prosecutor's profession called the Prosecutor's
Commission which has a role such as the Judicial Commission that oversees the
profession of judges. Restructuring is needed for the performance of the
Indonesian Prosecutor's Commission with the supervision of behavior and
performance, in addition to providing rewards to outstanding Prosecutors.
Keywords: Professional Crimes, Code of Ethics, Prosecutor's Commission,
Corruption Eradication Commission

2
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

A. PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik dimana
kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh undang-
undang.1 Tentunya, hierarki tertinggi peraturan perundang-undangan menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yakni Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Negara adalah suatu organisasi dalam suatu
wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.2
Sejatinya dalam menjalankan negara, tentunya ada sebuah undang-undang yang
mengatur di dalamnya yang bertujuan untuk keamanan negara itu sendiri. “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum”. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945. Norma ini bermakna di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum
merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis
dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.3 Oleh karena
itu, segala tindakan yang dilakukan oleh alat-alat negara termasuk Kejaksaan
ditujukan untuk menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.
Untuk dapat dikatakan sebagai negara hukum, suatu negara harus memiliki
ciri negara hukum. Salah satu ciri negara hukum adanya pemisahan kekuasaan
negara (Separation of Powers) yang akan diatur dalam konstitusi. Pemisahan dan
pembagian kekuasaan bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan dalam
satu tangan dan untuk menciptakan suatu keseimbangan kekuasaan yang
menjamin agar fungsi-fungsi itu dijalankan secara optimal, dan sekaligus
mencegah kekuasaan eksekutif mengambil ahli fungsi-fungsi kekuasaan lain.4
Pejabat yang melaksanakan penuntutan pidana tersebut dalam sistem hukum
pidana Indonesia di sebut dengan Jaksa. Kata Jaksa bersumber dari nama pejabat
hukum pada zaman kerajaan Majapahit yang di sebut “Adhyaksa”. Adhyaksa
adalah nama jabatan yang diaumpu Gajah Mada pada masa kerajaan Majapahit
yang lebih mirip seperti fungsi hakim pada sistem penegakan hukum modern.5

1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politk, Ikrar Mandiriabadi, Jakarta, 2010, Hlm.17.
3
Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, Hlm.1.
4
Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Pinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaran Modern),
Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 2003, Hlm.301.
5
Marwan Effendy, Op.Cit., Hlm.56.

3
Dina Aprilia Iswara
Optimalisasi Pengawasan Komisi Kejaksaan dalam Mengawasi Pelanggaran Kode Etik
Kasus Korupsi pada Jaksa

Ekistensi Kejaksaan Republik Indonesia dalam perspektif konsep Rechstaat,


Konsep The Rule of Law, dan konsep Negara Hukum Indonesia hendaknya
diwujudkan melalui konsep pembagian kekuasaan dalam penegakan hukum di
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terdapat beberapa peran dari kehadiran
Kejaksaan dalam dunia peradilan. Pertama, sebagai upaya preventif yang
membatasi, mengurangi atau mencegah kekuasaan pemerintah atau administrasi
negara (konsep Rechstaat) yang diduga sewenang-wenang yang dapat merugikan,
baik rakyat maupun pemerintah sendiri bahkan supaya tidak terjadi Kolusi,
Korupsi dan Nepotisme (KKN). Sedangkan upaya represifnya adalah menindak
kesewenang-wenangan pemerintah atau administrasi negara dan praktik-praktik
KKN. Kedua, Kejaksaan seharusnya ditempatkan pada kedudukan dan fungsi
yang mandiri dan independen untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam
penegakan hukum agar terwujud peradilan yang adil, mandiri dan independen
pula (konsep The Rule of Law). Ketiga, menjaga keserasian hubungan hak dan
kewajiban antara pemerintah dan rakyat melalui tugas penuntutan (penegakan
hukum) dalam proses peradilan (konsep Negara Hukum Indonesia).6
Setiap profesi di Negara Indonesia tentunya dibekali dengan etika profesi
sebagai acuan dalam melaksanakan pekerjaan, terlebih pada alat negara yang
salah satunya adalah Jaksa. Dalam pelaksanaan profesinya, Jaksa diawasi oleh
Komisi Kejaksaan. Namun, pengawasan ini dirasa kurang signifikan dan masih
ada keberpihakan di dalamnya. Oleh karena itu masih saja terjadi Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN). Melalui makalah ini, penulis hendak meneliti dan
mengkaji tentang urgensi dari pengawasan Komisi Kejaksaan dikarenakan masih
banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh Jaksa sebagai pelakunya.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penulis dalam makalah ini dapat
membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa urgensi dari optimaliasi pengawasan Komisi Kejaksaan dalam
mengawasi pelanggaran kode etik kasus korupsi pada Jaksa?
2. Bagaimana pengawasan Komisi Kejaksaan terhadap Jaksa?

6
Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, Hlm.53.

4
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

B. PEMAPARAN KASUS
Berikut kasus tentang pelanggaran kode etik pada Jaksa:
“Langgar Kode Etik, 25 Jaksa Dapat Sanksi Berat Kejagung”
JAKARTA (Pos Kota) – Sebanyak 25 Jaksa dikenakan sanksi berat terkait
pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku Jaksa, sepanjang 2016. “Jumlah ini
bagian dari 93 Jaksa yang dikenakan sanksi selama 2016. Sanksi ringan diberikan
kepasa 37 Jaksa dan 31 Jaksa kena sanksi sedang,” kata Kapuspenkum
Muhammad Rum, di Kejaksaan Agung, Kamis (5/1/2017). Menurut Rum, untuk
pegawai tata usaha Kejaksaan selama 2016, terdapat 74 orang yang dikenakan
aneka ragam sanksi, dari ringan, sedang dan berat. “Mereka adalah 24 orang
terkena sanksi ringan, 18 orang sanksi sedang dan 32 orang sanksi berat,” ungkap
Rum. Namun, Rum belum dapat menjelaskan bentuk-bentuk pelanggaran kode
etik dan pelanggaran disiplin pegawai negeri sipil, seperti diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 53 Tahun 2010. “Saya belum dapat infonya,” terang mantan
Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) DKI ini. Dari berbagai catatan, ada
beberapa Jaksa yang kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK selama 2016,
terkait dengan dugaan pengaturan perkara dan lainnya. Terakhir, KPK
menetapkan Jaksa Kejati Sumbar Fahrizal sebagai tersangka kasus dugaan suap
Rp 365 juta terkait pengaturan persidangan kasus peredaran gula tanpa label SNI,
di Padang. Lalu, OTT di Kejati DKI terkait penanganan kasus korupsi PT Brantas
Abipraya, tapi KPK hanya menciduk Marudut Pakpahan (diduga sebagai pengatur
perkara) dan dua orang petinggi PT Brantas (BUMN). Sementara, Kajati DKI
Sudung Situmorang dan Aspidsus Tomo Sitepu lolos dari jerat hukum karena
tidak terbukti. Beberapa hari kemudian, KPK OTT lagi di Kejati (Kejaksaan
Tinggi) Jabar dan menangkap tangan Jaksa Deviyanti Rohaini dan lalu Jaksa
Kejati Jawa Tengah Fahri Nurmalo. Yang terakhir ini, diserahkan langsung oleh
Kejagung ke KPK. Penangkapan ini diduga terkait penanganan kasus BPJS
Subang Jawa Barat. Yang mencenangkan, seorang Jaksa muda ditangkap dalam
OTT, kali ini oleh Kejaksaan. Yakni Ahmad Fauzi dengan uang Rp1,5 miliar
terkait kasus penjualan tanah kas desa di Jatim. (Ahli/Sir)7

7
Berita dapat diakses melalui tautan:
http://poskotanews.com/2017/01/05/langgar-kode-etik-25-Jaksa-dapat-sanksi-berat-kejagung/

5
Dina Aprilia Iswara
Optimalisasi Pengawasan Komisi Kejaksaan dalam Mengawasi Pelanggaran Kode Etik
Kasus Korupsi pada Jaksa

C. PEMBAHASAN
1. Konsep Negara Hukum di Indonesia
Dewasa ini sebagaimana yang sudah tertuang dalam dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Indonesia adalah negara
hukum dengan sistem demokrasi dimana itu artinya kekuasaan tertinggi berada di
tangan rakyat.8 Negara Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara yang
berdasar atas hukum (Rechsstaat), dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka
(Machtstaat).9 Oleh karena Negara Indonesia bukan merupakan negara kekuasaan
(Machtstaat), maka orientasi pemerintah dan penegak hukum adalah bagaimana
menegakkan keadilan dan kebenaran tanpa pandang bulu. Orientasi Status Quo
akan menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan dengan menghalalkan segala
cara.10 Fungsi daripada hukum itu adalah mengatur hubungan-hubungan antar
manusia, agar supaya segala kehidupan di dalam masyarakat berjalan dengan
lancar. Maka hal ini mengakibatkan bahwa tujuan daripada hukum itu adalah
mencapai ketertiban, keamanan dan keadilan didalam masyarakat. Maka jika kita
tinjau hukum positif kita sekarang ini, ternyata tidak saja hukum acara kita masih
belum memberikan kepastian hukum, akan tetapi disegala bidang hukum baik
dibidang hukum perdata, maupun di bidang publik.11 Perbuatan melanggar hukum
di Indonesia acapkali terjadi dan tak jarang dipandang menjadi sebuah hal yang
sudah biasa terjadi serta bukan sebuah ancaman untuk persatuan bangsa. Bahkan,
perbuatan melanggar hukum bukan hanya dilakukan oleh rakyat sebagai
pelakunya, namun juga pemerintah sebagai pembuat peraturan seringkali menjadi
pelaku dalam perbuatan melanggar hukum.
Masalah perbuatan melanggar hukum telah ada sejak peraturan perundang-
undang belum lengkap. Perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah disebut
sebagai “Onrechtmatige Overheidsdaad ”, dalam Bahasa Prancis disebut “Detour
Nement de Pouvoir ”.12 Negara Indonesia menganut asas Equality Before the Law.

8
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
9
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, Penerbit The
Biography Institute, Bekasi, 2007, Hlm.13.
10
Ramly Hutabarat, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law) di
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, Hlm.15.
11
Sunarji Hartono, Apakah The Rule of Law Itu?, Penerbit Alumni, Bandung, 1982,
Hlm.88.
12
Ramly Hutabarat, Op.Cit., Hlm.31.

6
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Istilah ini lazim digunakan dalam hukum tata negara, sebab hampir setiap negara
mencantumkan masalah ini dalam konstitusiya karena hal ini merupakan norma
hukum yang melindungi hak-hak asasi warga negara yakni bahwa semua warga
negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.13
2. Tinjauan Umum Etika Profesi Hukum
Apakah profesi itu menurut Ilmu Hukum? Yang terbaik adalah definisi dari
Roscoe Pound di dalam bukunya The Lawyer From Antiquity to Modern Times
bahwa “The word (proffesion) refers to a group of men pursuing a learned art as
common calling in the spirit of a public service because it may incidentally be a
means of liverlihood”. Menurut Ilmu Hukum Profesi, di dalam dunia modern ini
terdapat lima profesi (dalam arti ilmiah), yaitu:14
1. Profesi Dokter.
2. Profesi Hukum.
3. Profesi Dosen.
4. Profesi Akuntan.
5. Profesi Minister (ulama).
Manifestasi konkret dari suatu kode etik adalah terlaksananya pedoman atau
tuntunan tingkah laku yang sudah digariskan suatu kode etik pada profesi.
Pelaksanaan suatu profesi merupakan karya pelayanan masyarakat. Ini membawa
akibat pelaksanaan etika profesi dalam kode etik tersebut terkait dengan
kebudayaan yang berkembang di dalam masyarakat.15 Nilai-nilai etik itu dapat
dibedakan antara nilai yang bersifat normatif (Normative Ethics) dan nilai yang
bersifat deskriptif (Descriptive Ethics). Normative Ethics menggambarkan
standar-standar tentang perbuatan yang benar dan salah, sedangkan Descriptive
Ethics berkenaan dengan penyelidikan empiris mengenai keyakinan-keyakinan
atas moral seseorang.16

13
Ramly Hutabarat, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law) di
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, Hlm.31.
14
Soemarno P. Wirjanto, Ilmu Hukum Profesi, Pro Justitia, No. Ke-11, Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1980, Hlm.849.
15
Livia V. Pelle, Peranan Etika Profesi Hukum terhadap Upaya Penegakan Hukum di
Indonesia, Lex Crimen, Vol.1, No.3 (Juli-September 2012), Hlm.24.
16
Jimly Asshiddqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi (Perspektif Baru tentang “Rule Of
Law and Rule of Ethics” & “Constitutional Law and Constitutional Ethics”), Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, 2014, Hlm.97.

7
Dina Aprilia Iswara
Optimalisasi Pengawasan Komisi Kejaksaan dalam Mengawasi Pelanggaran Kode Etik
Kasus Korupsi pada Jaksa

Dewasa ini, kode etik profesi di Indonesia diikat oleh sebuah peraturan
sesuai dengan profesi itu sendiri. Seperti Jaksa Indonesia di lingkungan Kejaksaan
diikat oleh sebuah kode etik dan pedoman perilaku Jaksa yang tertuang dalam
bentuk Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER–
014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa. Kode Perilaku Jaksa adalah
serangkaian norma penjabaran dari Kode Etik Jaksa, sebagai pedoman keutamaan
yang mengatur perilaku Jaksa baik dalam menjalankan tugas profesinya, menjaga
kehormatan dan martabat profesinya, maupun dalam melakukan hubungan
kemasyarakatan di luar kedinasan.17
Kode etik profesi bermanfaat untuk menjadi pedoman dalam beretika ketika
menjalankan profesinya. Sehingga bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan
jabatan. Pada umumnya, para penulis telah mengaitkan pengertian mengenai
kejahatan jabatan dengan sifat dari perilaku ataupun menurut Prof. Simons juga
disebut sebagai de ambtelijke hoedanigheid van den dader atau sifat pelaku
sebagai seorang Ambtenaar.18
3. Optimalisasi Pengawasan Komisi Kejaksaan dalam Mengawasi
Pelanggaran Kode Etik Kasus Korupsi pada Jaksa
Dewasa ini mengacu pada konsep negara hukum di Indonesia (Rechstaat),
maka tidak perlu dipertanyakan kembali peranan sarjana hukum dan profesi
hukum di Negara Indonesia. Di masa sekarang, kedudukan Kejaksaan belum
diatur secara tegas dalam konstitusi. Padahal dalam mewujudkan negara hukum,
adalah sesuatu yang penting dan karena menyangkut konstitusional suatu bangsa
dan negara. Dikarenakan hal tersebut, maka terdapat peran strategis lembaga
penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan. Oleh karena itu kedudukan lembaga
negara pelaksana kekuasaan yudisial termasuk kategori sebagai organ negara yang
pokok atau utama (Auxiliary Organ). Oleh karena Kejaksaan merupakan organ
negara utama, maka sumber atribusi kewenangan lembaga yudisial sepatutnya
harus diatur secara jelas di dalam konstitusi.

17
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER–014/A/JA/11/2012 tentang
Kode Perilaku Jaksa
18
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan &
Kejahatan Jabatan Tertentu sebagai Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,
2009, Hlm.51.

8
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Kemacetan dalam pemberantasan korupsi mengakibatkan lembaga


Kejaksaan menjadi kewenangannya dialihkan kepada institusi lain. Penyebab
Kejaksaan tidak dapat menuntaskan kasus tindak pidana Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme adalah dikarenakan kedudukan Kejaksaan yang masih berada di
lingkungan pemerintah. Tak jarang hal ini menjadi sebuah celah bagi para Jaksa
untuk melakukan tindakan tercela yakni korupsi. Sekretaris Eksekutif Indonesia
Legal Roundtable (ILR) Firmansyah Arifin mengatakan perlu ada pengawasan
eksternal terhadap lembaga penegak hukum agar tidak sewenang-wenang dalam
menjalankan tugasnya.19
Sebenarnya, lembaga pengawas itu sudah terbentuk. Komisi Yudisial
bertugas mengawasi integritas Hakim, Komisi Kepolisian Nasional bertugas
untuk mengawasi kinerja Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan untuk memastkan
para Jaksa bekerja sesuai koridor hukum. Produk hukum mereka berupa
rekomendasi yang diserahkan kepada masing-masing lembaga tersebut.20 Jaksa
adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.21
Setiap perbuatam yang melanggar atau melawan hukum akan diproses sesuai
hukum acara berlaku dan tentunya patuh pada asas Equality Before the Law.
Supremasi hukum artinya kekuasaan tertinggi dipegang oleh hukum. Baik rakyat
maupun pemerintah tunduk pada hukum. Jadi yang berdaulat adalah hukum.22
Komisi Kejaksaan merupakan sebuah badan hukum yang memiliki
wewenang untuk mengawasi Jaksa. Maraknya kasus pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh Jaksa, sejatinya hal ini merupakan sebuah urgensi untuk
mengoptimalisasi pengawasan Komisi Kejaksaan. Pada tahun 2017 saja sudah
membludak kasus korupsi dan suap oleh Jaksa. Kenyataanya ini terjadi karena
kurangnya pengawasan yang signifikan oleh Komisi Kejaksaan di Indonesia.

19
Ambranie Nadia Kemala Movanita, Komisi Yudisial, Kompolnas, dan Komisi Kejaksaan
Tak Efektif Awasi Kinerja Penegak Hukum, diakses dari https://komisi-Kejaksaan.go.id/komisi-
yudisial-kompolnas-dan-komisi-Kejaksaan-tak-efektif-awasi-kinerja-penegak-hukum, diakses
pada 22 Oktober 2017, jam 16.05 WIB.
20
Ambranie Nadia Kemala Movanita, Ibid..
21
Nolla Tesalonika Makaliki, Pemberhentian Jaksa dari Tugas dan Kewenangan sebagai
Pejabat Fungsional, Lex et Societatis, Vol.I, No.1 (Januari-Maret 2013), Hlm.102.
22
Arif Rudi Setiyawan, Sukses Meraih Profesi Hukum Idaman, Penerbit CV. Andi,
Yogyakarta, 2010, Hlm.90.

9
Dina Aprilia Iswara
Optimalisasi Pengawasan Komisi Kejaksaan dalam Mengawasi Pelanggaran Kode Etik
Kasus Korupsi pada Jaksa

Adapun hal itu dapat dilihat melalui seberapa banyak laporan yang diajukan ke
penegak hukum. Karena tak jarang dari pihak Komisi Kejaksaan itu sendiri
melindungi koruptor sehingga banyak kasus yang belum bisa ditindaklanjuti.
4. Pengawasan Komisi Kejaksaan terhadap Jaksa
Dewasa ini dengan adanya peran dari Komisi Kejaksaan seharusnya tercipta
Kejaksaan Negeri yang bersih dari penyimpangan-penyimpangan. Karena sebuah
pelanggaran yang dilakukan oleh Jaksa, baik kinerja ataupun mengenai kode etik
Jaksa menjadi acuan sebuah Kejaksaan yang bersih tersebut dan penyimpangan
tersebut. Amanah Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi
Kejaksaan Republik Indonesia mengisyaratkan dibentuknya Komisi Kejaksaan
Republik Indonesia dalam rangka upaya meningkatkan kinerja Kejaksaan.
Komisi Kejaksaan Indonesia dengan peran utama sebagai lembaga yang
bertugas mengawasi perilaku maupun “kinerja” para Jaksa dan Pegawai Tata
Usaha, disamping Kewenangan memberi reward kepada para Jaksa dan Pegawai
Tata Usaha Negara yang berprestasi. Dari uraian tersebut tergambar seperti apa
ruang lingkup tugas dari Komisi Kejaksaan. Namun yang perlu dicermati saat ini
adalah peranan dari pengawasan Komisi Kejaksaan yang kurang signifikan.

D. PENUTUP
Optimalisasi pengawasan Komisi Kejaksaan secara tegas sangat diperlukan
dalam rangka mewujudkan penegak hukum Jaksa yang bebas dari KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme). Komisi Kejaksaan merupakan sebuah badan hukum yang
memiliki wewenang untuk mengawasi Jaksa. Maraknya kasus pelanggaran kode
etik yang dilakukan oleh Jaksa, sejatinya merupakan sebuah urgensi untuk
mengoptimalisasi pengawasan Komisi Kejaksaan. Dalam makalah ini, penulis
berpendapat bahwa seharusnya Komisi Kejaksaan tidak perlu menggunakan rasa
pilih kasih yang berujung pada banyak Jaksa yang sebenarnya melakukan
tindakan KKN tetapi dilindungi oleh Komisi Kejaksaan. Setiap perbuatan yang
melanggar atau melawan hukum akan diproses sesuai dengan hukum acara
berlaku dan tentunya patuh pada asas Equality Before the Law. Supremasi hukum
artinya kekuasaan tertinggi dipegang oleh hukum. Baik rakyat maupun
pemerintah tunduk pada hukum. Sehingga yang berdaulat adalah hukum.

10
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Asshiddiqie, Jimly. 2007. Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia
Kontemporer. (Bekasi: Penerbit The Biography Institute).
Asshiddqie, Jimly. 2014. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi (Perspektif Baru
tentang “Rule Of Law and Rule of Ethics” & “Constitutional Law and
Constitutional Ethics”). (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika).
Budiarjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politk. (Jakarta: Penerbit Ikrar
Mandiriabadi).
Effendy, Marwan. 2005. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif
Hukum. (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama).
Hartono, Sunarji. 1982. Apakah The Rule of Law Itu?. (Bandung: Penerbit
Alumni).
Hutabarat, Ramly. 1985. Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the
Law) di Indonesia. (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia).
Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang. 2009. Delik-Delik Khusus Kejahatan
Jabatan & Kejahatan Jabatan Tertentu sebagai Tindak Pidana Korupsi.
(Jakarta: Penerbit Sinar Grafika).
Setiyawan, Arif Rudi. 2010. Sukses Meraih Profesi Hukum Idaman. (Yogyakarta:
Penerbit CV. Andi).
Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Politik (Pinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaran Modern). (Jakarta: Penerbit PT Gramedia).
Wirjanto, Soemarno P.. 1980. Ilmu Hukum Profesi, Pro Justitia. No. Ke-11,
(Bandung: Penerbit Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan).

Jurnal
Makaliki, Nolla Tesalonika. Pemberhentian Jaksa dari Tugas dan Kewenangan
sebagai Pejabat Fungsional. Lex et Societatis. Vol.I. No.1 (Januari- Maret
2013).
Pelle, Livia V.. Peranan Etika Profesi Hukum terhadap Upaya Penegakan Hukum
di Indonesia. Lex Crimen. Vol.1. No.3 (Juli-September 2012).

Website
Movanita, Ambranie Nadia Kemala. Komisi Yudisial, Kompolnas, dan Komisi
Kejaksaan Tak Efektif Awasi Kinerja Penegak Hukum. diakses dari
https://komisi-Kejaksaan.go.id/komisi-yudisial-kompolnas-dan-komisi-
Kejaksaan-tak-efektif-awasi-kinerja-penegak-hukum. diakses pada 22
Oktober 2017.
Poskota News. Langgar Kode Etik, 25 Jaksa dapat Sanksi Berat Kejagung.
diakses dari http://poskotanews.com/2017/01/05/langgar-kode-etik-25-
jaksa-dapat-sanksi-berat-kejagung/. diakses pada 17 Oktober 2017.

Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

11
Dina Aprilia Iswara
Optimalisasi Pengawasan Komisi Kejaksaan dalam Mengawasi Pelanggaran Kode Etik
Kasus Korupsi pada Jaksa

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 82. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5234.
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135.
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan Republik
Indonesia.
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER–014/A/JA/11/2012
tentang Kode Perilaku Jaksa. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 1230.

12
Dina Aprilia Iswara
Rekonstruksi Regulasi terhadap KPK dalam Pemberantasan Kasus Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia

REKONSTRUKSI REGULASI TERHADAP KPK DALAM


PEMBERANTASAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI
INDONESIA
RECONSTRUCTION OF REGULATIONS AGAINST KPK IN COMBATING
CORRUPTION CASES IN INDONESIA
Dina Aprilia Iswara

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : dinaaprilia308@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Iswara, Dina Aprilia. Rekonstruksi Regulasi terhadap KPK dalam Pemberantasan Kasus Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli
2020).

ABSTRAK
Korupsi merupakan kejahatan partikular yang memberikan kerugian khususnya
bagi keuangan negara. Korupsi sendiri dapat terjadi di berbagai sektor baik publik
maupun privat. Dikarenakan akibat dari korupsi yang memberikan skala besar,
maka muncul urgensi untuk pengembalian keuangan negara dari hasil korupsi.
Dalam sektor publik, dapat dilakukan penanggulangan korupsi dengan melakukan
pembuktian terbalik atau yang disebut sebagai Omkering van het Bewijslast atau
Reversal Burden of Proof dikarenakan sifat dari korupsi itu sendiri yang
sistematis dan sulit untuk diendus oleh penegak hukum. Sedangkan di sektor
privat, salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan institusi
Stolen Asset Recovery (StAR) yang merupakan hasil kerjasama antara World
Bank dan UNODC dengan negara-negara berkembang untuk mencegah pencucian
hasil korupsi, dengan Mutual Legal Assistance sebagai hulunya. Selain itu untuk
privat dalam sektor domestik dapat memanfaatkan peran dari Whistleblower yang
akan melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi di sektor swasta. Secara
umum untuk menekan atau meminimalisir kemungkinan terjadinya tindak pidana
korupsi, dapat digunakan langkah preventif-moralistik seperti menyiapkan tatanan
pemerintah yang berbasis Good Governance. Sedangkan selanjutnya diperkuat
dengan langkah yang bersifat represif-proaktif dengan mengoptimalkan
penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagai hilir dari penanganan korupsi di Indonesia.
Kata Kunci: Korupsi Sektor Publik dan Privat, KPK, Rekonstruksi Regulasi

13
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

ABSTRACT
Corruption is a particular crime that provides losses, especially to the country's
finances. Corruption itself can occur in various sectors both public and private.
Due to the consequences of corruption that provide large scale, there is an
urgency for the return of state finances from the results of corruption. In the
public sector, it can be done to counter corruption by doing a reverse proof or
what is referred to as Omkering van het Bewijslast or Reversal Burden of Proof
because of the nature of corruption itself that is systematic and difficult to sniff by
law enforcement. While in the private sector, one of the things that can be done is
to utilize the institution Stolen Asset Recovery (StAR) which is the result of
cooperation between the World Bank and UNODC with developing countries to
prevent the laundering of corruption, with Mutual Legal Assistance as its
upstream. In addition, private in the domestic sector can take advantage of the
role of whistleblowers who will report on alleged criminal acts of corruption in
the private sector. In general, to suppress or minimize the possibility of criminal
acts of corruption can be used preventive-moralistic measures such as preparing
a government order based on Good Governance. While further strengthened by
repressive-proactive measures by optimizing the use of the Corruption Act and the
Money Laundering Act as downstream from handling corruption in Indonesia.
Keywords: Public and Private Sector Corruption, Corruption Eradication
Commission, Regulatory Reconstruction

14
Dina Aprilia Iswara
Rekonstruksi Regulasi terhadap KPK dalam Pemberantasan Kasus Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia

A. PENDAHULUAN
Korupsi merupakan sebuah penyakit sosial bersifat universal yang telah ada
sejak awal perjalanan manusia.1 Permasalahan korupsi menjadi ancaman serius
terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat baik dalam lingkup nasional
maupun internasional.2 Korupsi tidak hanya terkait dengan kerugian keuangan
negara dan badan-badan usaha yang dalam kekayaannya terdapat penyertaan
keuangan negara, namun korupsi sektor swasta juga dapat mempengaruhi
kerusakan perkembangan pembangunan suatu negara.3 Perbuatan merugikan
keuangan negara dalam Tindak Pidana Korupsi, terlihat dari beberapa
kecenderungan perilaku korupsi akhir-akhir ini sangat meningkat dan masif.
Bahwa keuangan negara yang seharusnya diperuntukkan untuk kesejahteraan
rakyat banyak, hampir setiap hari dimakan oleh mereka yang tidak berhak untuk
dirinya sendiri dan maupun untuk kelompoknya.
Korupsi di Indonesia telah menjangkiti sistem kekuasaan secara terstruktur,
sistematik dan masif, membuat penyelenggaraan kekuasaan kemudian tidak
sepenuhnya mengabdi pada kepentingan rakyat.4 Negara Indonesia semakin
tersohor di mata internasional sebagai salah satu negara terkorup di dunia
dibuktikan atas analisis mengenai hal itu adalah laporan organisasi pengamat
korupsi Transparency International dari Berlin tentang Corruption Perceptions
Index (CPI) yang menempatkan Indonesia dalam urutan ke-89 dengan skor 38
pada awal tahun 2018. Sedangkan di Indonesia, menurut data Komisi
Pemberantas Korupsi selama 12 tahun terakhir terdapat 130 pihak swasta yang
terjerat kasus perkara korupsi.5 Hal ini ditengarai oleh lemahnya pengaturan
mengenai pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di sektor swasta. Akibat dari
korupsi sektor swasta berimbas pada rusaknya kinerja perusahaan, korupsi pasar
yang melemahkan persaingan sehat, harga yang adil dan efisiensi.
1
Azhar, Peranan Biro Anti Korupsi dalam Mencegah Terjadinya Korupsi di Brunei
Darusalam, Jurnal Litigasi, Vol.10 (2009), Hlm.160.
2
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Penerbit Kencana, Jakarta,
2003, Hlm.53.
3
Jamin Ginting, Korupsi Sektor Swasta, diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2012/02/09/03193438/korupsi.sektor.swasta, diakses pada 26
Mei 2019. jam 07.56 WIB.
4
Ikhwan Fahrojih, Hukum Acara Pidana Korupsi, Setara Press, Malang, 2016, Hlm.3.
5
Komisi Pemberantasan Korupsi, Berbagi “Resep” Berantas Korupsi Sektor Swasta,
diakses dari http://kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/3333-berbagi-resep-berantas-korupsi-
sektor-swasta, diakses pada 26 Mei 2019, jam 10.45 WIB.

15
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Mengingat urgensi yang cukup besar untuk mencegah dan mengadili Tindak
Pidana Korupsi di sektor swasta. Upaya untuk menangani delik korupsi di sektor
swasta sulit dilakukan jika menggunakan hukum acara pidana yang berlaku saat
ini. Mekanisme penyelidikan melalui tindakan pelaporan oleh Whistleblower tidak
diikuti dengan mekanisme perlindungan pengungkap fakta karena lemahnya dasar
hukum, perspektif penegak hukum yang rendah dan peran LPSK yang terbatas.6
Selain itu di tahap memperkuat bukti atau penyidikan terhadap perusahaan yang
diduga melakukan delik korupsi terkendala pada aset perusahaan yang disimpan
di Offshore Company yang menjamin kerahasiaan data dan pajak yang rendah,7
sehingga aparat penegak hukum terkendala ketika menelusuri aset yang disimpan
oleh offshore company tersebut.8
Pada saat ini terdapat tiga lembaga negara yang berwenang untuk
melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi yakni KPK, Kepolisian Negara RI,
dan Kejaksaan Agung RI. Kehadiran KPK dilatarbelakangi oleh ketidakberhasilan
penegakan hukum (Polisi dan Jaksa) disinyalir mereka menjadi bagian dari
Tindak Pidana Korupsi itu sendiri.9 Pembentukan KPK dikarenakan penegakan
hukum dalam memberantas korupsi tidak berjalan dengan baik. Padahal korupsi
di Indonesia sudah merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime)
karena telah meluas di seluruh Indonesia.10
Dampaknya jelas, negara dirugikan serta hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakatpun terabaikan. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi perlu
dilakukan melalui KPK yang bersifat independen dan diberi kewenangan luas.

6
Maharani S. Shopia, Hambatan dalam Perlindungan Hukum Bagi Whistle Blower, diakses
dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fabe1295851e/hambatan-dalam-perlindungan-
hukum-bagi-whistle-blower-pengungkap-fakta, diakses pada 26 Mei 2019, jam 11.00 WIB.
7
Giras Pasopati, Mengenal Skema Investasi Offshore ala Panama Papers, diakses dari
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160405133304-92-121810/mengenal-skema-investasi-
offshore-ala-panama-papers/, diakses pada 26 Mei 2019, Pukul 11.15 WIB.
8
Ambaranie Nadia Kemala Movanita, Banyak WNI Simpan Kekayaan di Luar Negeri,
Kejagung Sulit Telusuri Aset Koruptor, diakses dari
http://nasional.kompas.com/read/2016/04/06/09254391/Banyak.WNI.Simpan.Kekayaan.di.
LuarNegeri.Kejagung.Sulit.Telusuri.Aset.Koruptor, diakses pada 26 Mei 2019, jam 13.00 WIB.
9
Adnan Topan Husodo, Wacana Pembentukan KPK Perwakilan, diakses dari
http://www.antikorupsi.org/id/content/wacana-pembentukan-kpk-perwakilan, diakses pada 29 Mei
2019, jam 10.06 WIB.
10
Pandapotan Matondang, Gagasan Penataan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan
dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.7, No.1 (Januari 2018), Hlm.36.

16
Dina Aprilia Iswara
Rekonstruksi Regulasi terhadap KPK dalam Pemberantasan Kasus Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia

Sehingga pemberantasan korupsi diharapkan dapat dilakukan secara sistematis,


efektif dan maksimal, serta dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kehadiran Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk di Indonesia tahun 2002 masih tergolong
sangat baru jika dibandingkan dengan negara lain.
Keberhasilan negara tetangga dengan mendirikan badan khusus untuk
mencegah dan memberantas korupsi hendaknya menjadi bahan studi banding
yang positif bagi negara kita agar tidak terlintas lagi pemikiran untuk
mengkerdilkan atau menghapus KPK sebagai badan khusus yang bergerak
menggunakan metode penegakan hukum luar biasa serta mempunyai kewenangan
luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya
pemberantasan korupsi.11 Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sejatinya
telah dimuali kurang lebih empat dekade yang lalu, namun acapkali mengalami
kegagalan. Seiring perkembangan zaman melalui pergantian beberapa kepala
pemerintahan untuk mengatasi polemik yang ada, dibentuklah Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Melihat kembali terjadinya Tindak Pidana Korupsi bukanlah sebuah
kegiatan sepihak, melainkan terjadi karena ada hubungan birokrasi pemerintahan
dan para pengusaha. Berbagai manifestasi korupsi seperti katabelece, transfer
komisi, budaya paket atau Mark Up biaya pengeluaran yang mengakibatkan High
Cost Economy terjadi karena adanya interaksi birokrasi dan sektor usaha. Untuk
mengupayakan dalam menciptakan kondisi yang Good Governance, maka ketiga
domain yaitu meliputi pemerintah (state, dalam hal ini birokrasi sebagai
penyelenggara pemerintahan), sektor usaha, dan masyarakat umum harus saling
menunjang sesuai dengan kedudukan dan peran masing-masing. Dukungan tak
terbatas dan berkelanjutan dari semua pihak sangat dibutuhkan untuk keberhasilan
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

11
Moh. Askin, Fungsionalisasi KPK dalam Pemberantasan TIPIKOR: Kajian terhadap
RUU KPK, Varia Peradilan, No.379 (Juni 2017), Hlm.7.

17
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Upaya komprehensif perlu diterapkan guna mengatasi problematika Tindak


Pidana Korupsi baik dalam ruang lingkup nasional maupun internasional.
Terdapat beberapa hal yang perlu ditekankan bila menilik kembali potret
penyebab kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia: 1) kurang luasnya fokus
pemberantasan; 2) kurang komprehensifnya materi pemberantasan; 3) kurang
terpujinya perilaku pelaksana pemberantasan; 4) kurang independensinya lembaga
anti korupsi; dan 5) kurang dilibatkannya lingkungan pemberantasan. Menurut
hemat penulis, upaya preventif juga harus dicanangkan serta pengembalian
keuangan negara juga perlu diperhatikan kembali sehingga peranan dari Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam upaya penanganan korupsi di Indonesia tidak
melulu hanya untuk menjerat pelaku manusianya saja.
Sejalan dengan pemaparan penulis pada pendahuluan tulisan ini, dapat
ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa urgensi pengembalian kerugian keuangan negara pada kasus Tindak
Pidana Korupsi?
2. Bagaimana strategi dalam memberantas kasus Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia?

B. PEMBAHASAN
1. Urgensi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara pada Kasus Tindak
Pidana Korupsi
Perbuatan merugikan keuangan negara dalam Tindak Pidana Korupsi,
terlihat dari beberapa kecenderungan perilaku korupsi akhir-akhir ini sangat
meningkat dan masif, bahwa keuangan negara yang seharusnya diperuntukkan
untuk kesejahteraan rakyat banyak, hampir setiap hari dimakan oleh mereka yang
tidak berhak untuk dirinya sendiri dan kelompok. Rumusan keuangan negara yang
dipakai dalam Tindak Pidana Korupsi adalah Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara atau rumusan pada Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dapat dipakai dan saling melengkapi.

18
Dina Aprilia Iswara
Rekonstruksi Regulasi terhadap KPK dalam Pemberantasan Kasus Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia

Keuangan negara meliputi hak negara memungut pajak, mengeluarkan dan


mengedarkan uang, melakukan pinjaman, menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintah negara, dan membayar tagihan orang ketiga. Selain itu juga mengurusi
penerimaan dan pengeluaran daerah serta surat berharga, utang piutang, kekayaan
yang dipisahkan kekayaan orang lain dalam rangka penyelenggaraan tugas
pemerintah dan kekayaan orang lain dimana fasilitas negara digunakan.12
Hakekat pengertian keuangan negara secara substansial antara kedua
undang-undang tersebut tidak berbeda. Hanya pendekatan pengaturan yang
berbeda. Jika di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, pendekatan menitikberatkan dari aspek “objek, subjek, proses dan
tujuan”. Sedangkan penjelasan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih melihat dari aspek “wilayah
penguasaan pengelolaan keuangan negara”. Fakta yuridis formal pertimbangan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi
menyebutkan bahwa: 2) Tindak Pidana Korupsi sangat merugikan negara atau
perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus
diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan pada Pancasila dan Konstitusi tertinggi yakni UUD NRI 1945; 2)
Bahwa akibat Tindak Pidana Korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut eksistensi.13
Anomali korupsi dewasa ini merambah sebagai sebuah kejahatan partikular.
Masalah intralokal perlu mendapat penanganan komprehensif dan multidisipliner
sebagai langkah efektif dalam mencegah terwujudnya korupsi sebagai Organized
Crime. Salah satu sektor yang rentan terkena korupsi adalah sektor swasta
khususnya dalam hal aset. Dalam PSAK Nomor 16 Revisi 2011 menyebut bahwa
aset merupakan semua kekayaan yang dimiliki seseorang atau perusahaan baik
berwujud maupun tak berwujud yang berharga atau bernilai yang akan
mendatangkan manfaat bagi seseorang atau perusahaan tersebut.

12
Kompas, Century Gate Mengurai Konspirasi Penguasa-Pengusaha, Penerbit Media
Kompas Nusantara, Jakarta, 2010, Hlm.62.
13
Hernold Ferry Makawimbang, Memahami dan Menghindari Perbuatan Merugikan
Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Dan Pencucian Uang, Penerbit Thafa Media,
Yogyakarta, 2015, Hlm.8.

19
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Restrukturisasi aset sebagai salah satu kekayaan perusahaan memberikan


hak kepada perusahaan untuk menguasai dan mengendalikan aset yang dimiliki
serta dilakukankanya langkah akuisisi lintas batas negara (transnasional) terhadap
suatu aset. “The purpose of this convention is to promote cooperation to prevent
and combat transnasional organized crime more effectively” dalam Pasal 1
UNCATOC (The United Nations Conventions Against Transnasional Organized
Crime). Sebuah dogma bahwa Tindak Pidana Korupsi merupakan kejahatan yang
terorganisir dan melampaui batas yurisdiksi suatu negara atau transnasional.
Kriteria tersebut didukung dengan unsur-unsur dalam Pasal 3 UNCATOC
yang menyebutkan: 1) hal ini dilakukan di lebih dari satu negara; 2) hal ini
dilakukan di satu negara tetapi bagian substansialnya, perencanaan, arah,
persiapan, atau kontrol terjadi di negara lain; 3) hal ini dilakukan di satu negara
tetapi melibatkan suatu kelompok penjahat terorganisasi yang terlibat dalam
kegiatan kriminal di lebih dari satu negara; 4) hal ini dilakukan di satu negara
tetapi memiliki efek atau dampak yang substansial di negara lain.14
Salah satu cara yang ditawarkan oleh UNCAC sebagai bentuk padu-padan
terhadap proses hukum Tindak Pidana Korupsi di sektor swasta adalah dengan
menggunakan Asset Recovery (pengembalian asset). Salah satu inkompromitas
terhadap cara-cara konvensional adalah adanya pembuktian terbalik. Sistem
pembalikan beban pembuktian atau secara gramatikal disebut Omkering van het
Bewijslast atau Reversal Burden of Proof merupakan ranah sistem hukum
pembuktian dimana terdakwa membuktikan asal muasal harta kekayaannya di
muka pengadilan. Tentunya pembuktian terbalik ini tidak dapat diterapkan dalam
kasus-kasus sektor swasta, mengingat terdapat syarat-syarat suatu kasus dapat
menggunakan pembuktian terbalik: 1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara
diduga telah menerima suap terutama dari banyak pihak, dalam waktu yang lama
dan berkali-kali; 2) penerimaan suap tersebut sukar dibuktikan; 3) menimbulkan
kekayaan yang berlimpah ruah; dan 4) tidak seimbang dengan pendapatan.15

14
Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi: Kajian terhadap Harmonisasi
antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC),
Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2015, Hlm.52.
15
Ardi Ferdian, Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik pada Tindak Pidana Korupsi,
Jurnal Arena Hukum, Vol.5, No.3 (2012), Hlm.163.

20
Dina Aprilia Iswara
Rekonstruksi Regulasi terhadap KPK dalam Pemberantasan Kasus Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia

Dewasa ini, Stolen Asset Recovery (StAR) merupakan kemitraan diantara


World Bank dan UNODC yang mendukung upaya-upaya internasional untuk
menghentikan tempat penyimpanan dana korupsi. Stolen Asset Recovey bekerja
sama dengan negara berkembang dan pusat keuangan untuk mencegah pencucian
dari hasil korupsi dan untuk memfasilitasi lebih sistematis dan tepat waktu
pengembalian aset curian. Misi dari StAR itu sendiri diantaranya adalah
memberikan bantuan kepada beberapa negara atas permintaan dari negara-negara
tersebut untuk mengembangkan undang-undang yang digunakan untuk
memperkuat kerangka hukum yang tujuannya adalah untuk mendukung
pemulihan aset, membantu dalam pengembangan kerangka kerja kelembagaan
dan penguatan kapasitas yang tentunya untuk memulihkan aset negara tersebut.
Selain itu, StAR juga mempunyai misi untuk menyediakan analisis kebijakan dan
pengetahuan bangunan.
Konsep StAR sebagai garda terdepan fasilisator pengembalian aset dalam
lingkup Internasional belum dapat diimplikasikan di Indonesia. Perlu
restrukturisasi terhadap sistem peradilan Tindak Pidana Korupsi khususnya sektor
swasta sebagai upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang belum
maksimal. Menyadari masalah kompleks yang ditimbulkan korupsi, menurut
UNCAC memberikan sebuah grand-design dalam upaya pengembalian aset curian
dengan menggunakan Stolen Asset Recovery. Bab V dari konvensi menyediakan
kerangka kerja ini untuk pengembalian aset curian, mewajibkan negara-negara
pihak untuk mengambil langkah-langkah untuk menahan, menangkap, menyita,
dan mengembalikan hasil korupsi. Secara umum terdapat kesamaan dalam proses
pemulihan aset yang terbagi atas proses pidana dan perdata.
Proses Stolen Asset Recovery dimulai dengan dikumpulkannya bukti dan
aset oleh aparat penegak hukum. Selama pengumpulan, bukti-bukti yang telah ada
perlu diamankan untuk menghindari adanya intervensi kepentingan-kepentingan
yang dapat merusak sistem. Dalam yurisdiksi hukum sipil, perintah pembatasan
dan perampasan aset tersebut merupakan kewenangan jaksa dan hakim.
Penggunaan Stolen Asset Recovery tak ubahnya sebuah hubungan diplomatis yang
melibatkan dua atau lebih negara sehingga membutuhkan perjanjian pendamping
yang disebut Mutual Legal Assistance.

21
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Penambahan sistem Whistleblowing dalam hukum acara penindakan Tindak


Pidana Korupsi di sektor swasta merupakan suatu langkah efektif mengingat
Tindak Pidana Korupsi merupakan tindak pidana yang sulit dideteksi karena
dijalankan dengan sangat rapat sehingga sulit dirasakan oleh aparat penegak
hukum. Penegasan terhadap sistem Whistleblowing dilakukan untuk
menghilangkan persepsi ketakutan calon Whistleblower yang ingin melaporkan
suatu tindakan kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan tempat dia bekerja
atau pernah bekerja. Whistleblowing merupakan sistem yang paling umum
digunakan untuk mendeteksi adanya tindakan ilegal. Sedangkan StAR
dimasukkan untuk menelusuri aset perusahaan yang dilarikan ke Offshore
Company yang dapat digunakan sebagai barang bukti ataupun yang dapat
menunjang barang bukti.
Penyelamatan uang serta aset negara ini menjadi penting untuk dilakukan,
mengingat ada fakta dan fenomena yang terjadi selama ini bahwa pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan hanya bisa menyelamatkan 10-15 persen
saja dari total uang yang dikorupsi.16 Dilihat dari tujuan adanya pidana
pengembalian kerugian keuangan negara tidak terlepas dari tujuan pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi pada umumnya yakni: 1) Follow the Suspect; atau (2)
Follow the Money. Tujuan dari pendekatan Follow the Suspect adalah berfokus
pada upaya mencari, menemukan, menuntut dan menghukum pelaku, dan sedapat
mungkin mendatangkan efek jera terhadapnya agar tidak melakukan Tindak
Pidana Korupsi lagi pada waktu yang akan datang. Sedangkan tujuan pendekatan
Follow the Money merupakan upaya menelusuri (mencari, mengikuti) uang atau
harta kekayaan hasil kejahatan dari pelaku, kemudian sedapat mungkin dilakukan
upaya pengembaliannya kepada negara.17

16
Guntur Rambey, Pengembalian Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi Melalui
Pembayaran Uang Pengganti Denda, Jurnal De Lega Lata, Vol.1, No.1 (Januari 2016), Hlm.139.
17
Basir Rohromana, Pidana Pembayaran Uang Pengganti sebagai Pidana Tambahan
dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum Prioris, Vol.6, No.1 (2017), Hlm.47-48.

22
Dina Aprilia Iswara
Rekonstruksi Regulasi terhadap KPK dalam Pemberantasan Kasus Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia

2. Strategi dalam Memberantas Kasus Tindak Pidana Korupsi di


Indonesia
Berbagai kebijakan pemberantasan korupsi yang telah dikeluarkan
pemerintah sejauh ini hanya terfokus pada pelaku utama dari Tindak Pidana
Korupsi tanpa mengaitkan pada lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya
tindakan tersebut. Tak hanya itu saja, terfokus pada menjerat pelaku dan sedikit
mengesampingkan pengembalian kerugian keuangan negara yang diakibatkan dari
Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan. Kebijakan fokus tunggal juga pernah
dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Instruksi Presiden
Nomor 5 Tahun 2004. Seperti yang dilakukan Presiden Soeharto ketika
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 untuk membentuk
Operasi Budhi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan pendekatan
Public Office Centered dalam pemberantasan korupsi yang dapat dilihat
kesemuanya instruksi penanggulangannya ditujukan kepada birokrasi pemerintah
dan diantaranya terdapat kebijakan yang menyentuh pada sektor swasta.
Secara jujur harus diakui bahwa keberhasilan pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tidak hanya semata-mata bertumpu kepada langkah penegakan
hukum yang bersifat represif melainkan juga tergantung dari pelaksanaan langkah
prefentif yang efektif. Korupsi jangan dilihat sebagai sekadar penyimpangan atau
ulang orang-orang tidak berakhlak. Sebuah kunci untuk mencapai hasil dalam
mengadakan perubahan adalah mengubah kebijaksanaan dan sistem, bukan
memburu satu dua penjahat, membuat undang-undang dan peraturan baru, atau
mengeluarkan himbauan agar semua orang meningkatkan moral masing-masing.18
Langkah preventif dimaksud ialah dengan memepersiapkan tatanan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Good Governance). Mengenai langkah
tersebut secara yuridis telah mulai dilaksanakan dengan diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan
Berwibawa. Keberadaan peraturan tersebut disusun dan dipersiapkan untuk dapat
mencegah penyelenggara negara terjerumus ke dalam Tindak Pidana Korupsi dan
serta sekaligus dapat memayungi peraturan perundang-undangan lainnya.

18
Robert Klitgaar, Ronald Maclean-Abaroa, dan H. Lindsey Paris, Corrupt Cities, A
Partical Guide to Cure and Prevention, Penerbit Institute for Contemporary Studies Oakland,
California, 2000, Hlm.25.

23
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Langkah preventif-moralistik yang dimaksud diatas harus diperkuat dengan


langkah represif-proaktif yakni dengan menggunakan Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi dan juga Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai
sarana hukum di hilir yang diterapkan dapat menjaring pelarian atau peleburan
aset hasil Tindak Pidana Korupsi ke dalam berbagai bentuk aktivitas yang sah
dalam bisnis perdagangan lainnya.
Strategi pemberantasan korupsi di Indonesia harus menggunakan sekurang-
kurang empat pendekatan yaitu meliputi pendekatan hukum, pendekatan
moralistik dan keimanan, pendekatan edukatif, dan pendekatan sosio-kultural.
Pendekatan hukum memegang peranan yang sangat penting dalam pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, namun peraturan yang masih bersifat konvensional sudah
tidak memadai dalam menghadapi modus operandi Tindak Pidana Korupsi yang
bersifat sistematik dan meluas, merupakan “Extra Ordinary Crimes” yang perlu
pendekatan hukum baru yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara atau
hak-hak ekonomi dan sosial rakyat di atas kepentingan hak-hak individu tersangka
dan terdakwa. Keberhasilan pendekatan tersebut tidak semata-mata diukur dengan
keberhasilan produk legislasi, melainkan juga harus disertai langkah penegakan
hukum yang konsisten baik yang bersifat preventif-moralistik maupun yang
bersifat represif-proaktif.
Pendekatan moralistik dan keimanan merupakan rambu-rambu pembatas
untuk meluruskan jalannya langkah penegakan hukum tersebut dan memperkuat
integritas penyelenggara negara untuk selalu memegang teguh dan menjunjung
tinggi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan tugas
penegakan hukum terhadap korupsi. Pendekatan edukatif melengkapi kedua
pendekatan tersebut diatas dan berfungsi menggerakkan serta meningkatkan daya
nalar masyarakat sehingga dapat memahami secara komprehensif latar belakang
dan sebab terjadinya korupsi serta langkah pencegahannya. Pendekatan sosio
kultural berfungsi membangun kultur masyarakat yang mengutuk Tindak Pidana
Korupsi dengan melakukan kampanye publik yang meluas dan merata ke seluruh
pelosok tanah air yang bertujuan untuk menumbuhkan budaya anti korupsi di
semua kalangan masyarakat.

24
Dina Aprilia Iswara
Rekonstruksi Regulasi terhadap KPK dalam Pemberantasan Kasus Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia

Tidak hanya itu saja, masih terdapat beberapa langkah lagi yang dapat
ditawarkan menjadi langkah strategi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pertama, memprofesionalkan pejabat pemerintah dengan menentukan pedoman
profesional lebih tinggi untuk memperketat persyaratan jabatan dan
memberlakukan ujian tertulis. Hanya akuntan publik atau sarjana hukum yang
dianggap layak yang dapat menduduki posisi sebagai juru taksir pajak. Hal ini
guna mewujudkan pemerintah yang berintergitas dan menghapus stigma
masyarakat bahwa beberapa kalangan berebut kursi pemerintahan untuk
kesejahteraan individu sehingga berujung pada tindakan korupsi. Kedua,
mengidentifikasi pembayar pajak yang mungkin korupsi dalam menyampaikan
pendapatannya yang terlampau rendah atau menyampaikan pengeluaran yang
terlampau tinggi. Ketiga, memperketat sistem kontrol. Meluasnya korupsi internal
merupakan tanda lemahnya sistem akunting dan kontrol sehingga perlu adanya
perubahan seperti sistem pembayaran pajak yang diperluas melalui bank bukan
melalui pegawai pajak pendapatan, surat-surat konfirmasi untuk memeriksa
pembayaran wajib pajak, lebih banyak pemeriksaan dan audit mendadak di
tempat, pengawasan lebih ketat terhadap pegawai pengumpul pajak oleh kantor
pendapatan wilayah, menggunakan tanda terima pajak tunggal bukan lagi banyak
formulir dan langkah menghentikan penggunaan tanda terima resi palsu, cap serta
materai pajak palsu. Keempat, memperketat pengawasan pada provinsi dan daerah
TK II yang acapkali tak terjamah sehingga banyak korupsi yang tidak terlihat.

C. PENUTUP
Perkembangan korupsi yang sangat luas dan mengakibatkan kesengsaraan
sebagian besar rakyat Indonesia merupakan alasan rasional yang memadai untuk
menegaskan bahwa korupsi merupakan pelanggaran atas hak-hak ekonomi dan
sosial rakyat Indonesia. Kualitas, kuantitas dan intensitas perkembangan korupsi
sedemikian itu tidak cukup hanya ditangani oleh cara-cara biasa melainkan harus
dengan cara yang luar biasa. Cara-cara luar biasa telah ditawarkan oleh penulis
pada makalah ini, dan kepada prinsip-prinsip umum sebagaimana dimuat dalam
Pasal 5 Undang-Undang KPK yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas,
kepentingan umum, dan proporsionalitas.

25
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Berdasarkan prinsip tersebut, maka keberadaan Komisi Pemberantasan


Korupsi dan wewenang yang dimilikinya menunjukkan sebagai lembaga tinggi
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini diwujudkan dalam beberapa
hal yakni pimpinan komisi memiliki status pejabat tinggi negara, Komisi
Pemberantasan Korupsi haruslah merupakan lembaga yang independen dan
bertanggungjawab langsung kepada publik, memiliki kewenangan yang luas
termasuk melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sendiri,
mengambil alih wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dari
Kepolisian Republik Indonesia atau Kejaksaan Republik Indonesia, memiliki
wewenang menangkap atau menahan pejabat tinggi negara tanpa harus meminta
izin presiden dan memiliki wewenang membekukan rekening tersangka dan/atau
terdakwa tanpa izin gubernur Bank Indonesia dan cukup melaporkan saja.
Independensi dan wewenang yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi diharapkan menjadi lembaga yang berwibawa, memiliki integritas serta
menjadi satu-satunya lembaga harapan terakhir dan kepercayaan masyarakat
Indonesia dalam pemberantasan korupsi baik untuk masa kini dan masa
mendatang. Lembaga ini juga sangat diharapkan dapat mengikis kepercayaan para
koruptor yang sering berlindung dan menarik manfaat dari prinsip bahwa korupsi
itu merupakan “low risk and high profit activity”.

26
Dina Aprilia Iswara
Rekonstruksi Regulasi terhadap KPK dalam Pemberantasan Kasus Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Atmasasmita, Romli. 2003. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis. (Jakarta:
Penerbit Kencana).
Fahrojih, Ikhwan. 2016. Hukum Acara Pidana Korupsi. (Malang: Penerbit Setara
Press).
Klitgaar, Robert, Ronald Maclean-Abaroa, dan H. Lindsey Paris. 2000. Corrupt
Cities, A Partical Guide to Cure and Prevention. (California: Penerbit
Institute for Contemporary Studies Oakland).
Kompas. 2010. Century Gate Mengurai Konspirasi Penguasa-Pengusaha.
(Jakarta: Penerbit Media Kompas Nusantara).
Kristian dan Yopi Gunawan. 2015. Tindak Pidana Korupsi: Kajian terhadap
Harmonisasi antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC). (Bandung: Penerbit Refika Aditama).
Makawimbang, Hernold Ferry. 2015. Memahami dan Menghindari Perbuatan
Merugikan Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian
Uang. (Yogyakarta: Penerbit Thafa Media).

Publikasi
Askin, Moh.. Fungsionalisasi KPK dalam Pemberantasan TIPIKOR: Kajian
terhadap RUU KPK. Varia Peradilan. Nomor 379 (Juni 2017).
Azhar. Peranan Biro Anti Korupsi dalam Mencegah Terjadinya Korupsi di
Brunei Darusalam. Jurnal Litigasi. Vol.10 (2009).
Ferdian, Ardi. Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik pada Tindak Pidana
Korupsi. Jurnal Arena Hukum. Vol.5. No.3 (2012).
Matondang, Pandapotan. Gagasan Penataan Kewenangan Penyelidikan dan
Penyidikan dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Ilmu Hukum. Vol.7. No.1
(Januari 2018).
Rambey, Guntur. Pengembalian Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi
Melalui Pembayaran Uang Pengganti Denda. Jurnal De Lega Lata. Vol.1.
No.1 (Januari 2016).
Rohromana, Basir. Pidana Pembayaran Uang Pengganti sebagai Pidana
Tambahan dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum Prioris. Vol.6.
No.1 (2017).

Website
Ginting, Jamin. Korupsi Sektor Swasta. diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2012/02/09/03193438/korupsi.sektor.swa
sta. diakses pada 26 Mei 2019.
Husodo, Adnan Topan. Wacana Pembentukan KPK Perwakilan. diakses dari
http://www.antikorupsi.org/id/content/wacana-pembentukan-kpk-
perwakilan. diakses pada 29 Mei 2019.
Komisi Pemberantasan Korupsi. Berbagi “Resep” Berantas Korupsi Sektor
Swasta. diakses dari http://kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/3333-
berbagi-resep-berantas-korupsi-sektor-swasta. diakses pada 26 Mei 2019.

27
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Movanita, Ambaranie Nadia Kemala. Banyak WNI Simpan Kekayaan di Luar


Negeri, Kejagung Sulit Telusuri Aset Koruptor. diakses dari
http://nasional.kompas.com/read/2016/04/06/09254391/Banyak.WNI.Simpa
n.Kekayaan.di. LuarNegeri.Kejagung.Sulit.Telusuri.Aset.Koruptor. diakses
pada 26 Mei 2019.
Pasopati, Giras. Mengenal Skema Investasi Offshore ala Panama Papers. diakses
dari http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160405133304-92-
121810/mengenal-skema-investasi-offshore-ala-panama-papers/. diakses
pada 26 Mei 2019.
Shopia, Maharani Siti. Hambatan dalam Perlindungan Hukum Bagi Whistle
Blower. diakses dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fabe1295851e/hambatan-
dalam-perlindungan-hukum-bagi-whistle-blower-pengungkap-fakta. diakses
pada 26 Mei 2019.

Sumber Hukum
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang
Bersih dan Berwibawa. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 75. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 387.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 137. Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4250.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
137. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4286.
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004.
Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 16 Revisi 2011.
The United Nations Convention against Transnational Organized Crime 2000.
The United Nations Convention against Corruption 2003.

28
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

ANALISIS KASUS PENYEBARAN BERITA BOHONG TERKAIT


COVID-19 DI SUMATERA SELATAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM
PIDANA
ANALYSIS OF CASES OF SPREADING FAKE NEWS RELATED TO
COVID-19 IN SOUTH SUMATRA IN THE PERSPECTIVE OF CRIMINAL
LAW
Juan Maulana Alfedo

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : alfedojuan73@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Alfedo, Juan Maulana. Analisis Kasus Penyebaran Berita Bohong Terkait Covid-19 di Sumatera
Selatan dalam Perspektif Hukum Pidana. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1.
No.4 (Juli 2020).

ABSTRAK
Kemajuan teknologi dan informasi di era modern telah memberikan implikasi
kompleks dalam kehidupan masyarakat. Selain memberikan kemudahan dalam
mengakses informasi, di satu sisi juga membawa dampak negatif yang dapat
merugikan orang perorangan, masyarakat dan negara. Salah satu dampak negatif
yang ditimbulkan ialah adanya penyalahgunaan media elektronik sebagai sarana
untuk menyebarkan berita bohong (Hoaks). Berita bohong (Hoaks) merupakan
usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengarnya untuk
mempercayai suatu berita palsu. Menurut data Kementerian Komunikasi dan
Informatika sepanjang April 2019 terdapat 486 kasus Hoaks di Indonesia. Salah
satu kasus berita bohong (Hoaks) yang pernah terjadi ialah penyebaran berita
bohong (Hoaks) terkait Covid-19 di Sumatera Selatan yang dilakukan oleh oknum
Pegawai Negeri Sipil (PNS) di salah satu Puskesmas melalui postingan di media
sosial. Akibat penyebaran berita bohong (Hoaks) tersebut menyebabkan
masyarakat sekitar khawatir dan ketakutan, mengingat Covid-19 merupakan jenis
virus yang memiliki sifat menular dan berbahaya. Ditinjau dari perspektif hukum
pidana, penyebaran berita bohong (Hoaks) merupakan salah satu bentuk tindak
pidana dimana pelakunya dapat dijerat sanksi pidana sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo. Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kata Kunci: Berita Bohong (Hoaks), Covid-19, Hukum Pidana, Media
Elektronik

29
Juan Maulana Alfedo
Analisis Kasus Penyebaran Berita Bohong Terkait Covid-19 di Sumatera Selatan
dalam Perspektif Hukum Pidana

ABSTRACT
Advances in technology and information in the modern era have had complex
implications in people's lives. In addition to providing ease in accessing
information, on the one hand, it also brings negative impacts that can harm
individuals, communities, and countries. One of the negative impacts caused is the
misuse of electronic media as a means to spread fake news (Hoax). Fake news
(Hoax) is an attempt to deceive or outsmart the reader or listener to believe fake
news. According to data from the Ministry of Communication and Informatics
throughout April 2019, there were 486 cases of hoaxes in Indonesia. One of the
cases of fake news (Hoax) that has occurred is the spread of fake news (Hoax)
related to Covid-19 in South Sumatra carried out by civil servants (PNS) in one of
the Health Centers through posts on social media. As a result of the spread of fake
news (Hoax) causes the surrounding community to worry and fear, considering
that Covid-19 is a type of virus that has infectious and dangerous properties. In
view of the perspective of criminal law, the spread of fake news (Hoax) is one
form of criminal acts where the perpetrator can be charged with criminal
sanctions in accordance with applicable laws and regulations, namely the
Criminal Code (Criminal Code) and Law No. 11 of 2008 Jo. Law No. 19 of 2016
concerning Information and Electronic Transactions.
Keywords: Fake News (Hoax), Covid-19, Criminal Law, Electronic Media

30
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

A. PENDAHULUAN
Teknologi informasi (Information Technology) memiliki peranan yang
sangat penting di era modern seperti saat ini.1 Masifnya perkembangan teknologi
informasi memberikan berbagai implikasi kompleks terhadap aktivitas manusia
dalam kehidupan sehari-hari.2 Percepatan perkembangan teknologi informasi
salah satunya didukung dengan kehadiran internet. Sejak awal kehadirannya,
pengguna internet di seluruh negara di dunia terus meningkat setiap tahunnya,
termasuk pengguna internet di Indonesia.
Namun dengan semakin meningkatnya jumlah pengguna internet tersebut di
samping mempunyai dampak positif bagi kehidupan manusia, juga membawa
dampak negatif yang dapat merugikan orang perorangan, masyarakat dan negara.
Dampak positif internet di era modern saat ini salah satunya memberikan
kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses informasi secara online melalui
Media Elektronik.3 Hal ini selaras dengan kebebasan dan kemudahan untuk
memperoleh informasi sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 28F Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi4:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia”.
Namun dengan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses informasi
melalui Media Elektronik, di sisi lain juga membawa dampak negatif yakni
adanya penyalahgunaan Media Elektronik sebagai sarana penyebaran Berita
Bohong atau Hoaks. Berita Bohong (Hoaks) adalah usaha untuk menipu atau
mengakali pembaca atau pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang
pencipta berita palsu tersebut mengetahui bahwa berita tersebut adalah palsu.5

1
Agus Raharjo, Cybercrime : Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Hlm.1.
2
Joko Purnomo, Irza Khurun’in, Raissa Ardianti, Globalisasi dan Politik Pembangunan
Internasional, Penerbit UB Press, Malang, 2017, Hlm.37.
3
Cintya Putri Rimandhini, Pertanggungjawaban Pidana Penyebaran Berita Bohong
(Hoaks) Melalui Media Elektronik (Studi Analisis Beredarnya Konten Video Telur Palsu Oleh
Syahroni Daud), Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2018, Hlm.2.
4
Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5
Dedi Rianto Rahadi, Perilaku Pengguna dan Informasi Hoaks di Media Sosial, Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.5, No.1 (2017), Hlm.61.

31
Juan Maulana Alfedo
Analisis Kasus Penyebaran Berita Bohong Terkait Covid-19 di Sumatera Selatan
dalam Perspektif Hukum Pidana

Dilihat dari segi historis, istilah Hoaks sendiri mulai digunakan sekitar tahun 1808
yang berasal dari kata hocus yang berarti untuk mengelabuhi. Kata hocus sendiri
merupakan singkatan dari hocus pocus, sejenis mantra yang kerap digunakan
dalam pertunjukan sulap.6
Perkembangan Hoaks sendiri sudah bisa ditelusuri sebelum tahun 1600-an.
Kebanyakan informasi pada era tersebut disebarkan tanpa komentar. Para
pembaca bebas menentukan validitas atau kebenaran informasi berdasarkan
pemahaman, kepercayaan atau agama, serta penemuan ilmiah terbaru pada masa
itu. Kebanyakan Hoaks pada masa itu terbentuk karena spekulasi. Misalnya saja,
saat Benjamin Franklin pada 17 Oktober 1745 Pennsylvania Gazetten melansir
tentang batuan China yang dapat digunakan untuk mengobati rabies, kanker, dan
penyakit yang mematikan lainnya. Bagaimanapun, validitas informasi itu hanya
didasari oleh testimoni personal. Satu minggu kemudian, sebuah surat klarifikasi
di Gazette mengklaim bahwa batuan tersebut ternyata terbuat dari tanduk rusa dan
tidak memiliki kemampuan medis apapun.
Pada tahun 1726, penulis Jonathan Swift menggunakan strategi Hoaks untuk
menerbitkan cerita berjudul Travels Into Several Remote Nations of the World.
Perkembangan Hoaks semakin pesat pada pertengahan pertama abad XIX. Seiring
dengan itu, jumlah komunitas sains semakin melesat di Amerika Serikat, dan
banyak dari mereka yang menerbitkan penemuan Hoaks yang menggemparkan.
Salah satu Hoaks yang paling menggemparkan saat itu adalah The Great Moon
Hoaks yang dilansir pada 1835 di The Sun, New York.7
Kasus Hoaks hampir terjadi di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.
Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, sepanjang April 2019
terdapat 486 kasus Hoaks di Indonesia. Ferdinandus Setu selaku Kepala Biro
Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga memaparkan
kategori konten Hoaks yang berhasil diidentifikasi selama Agustus 2018 hingga
April 2019 antara lain sebagai berikut: kategori politik 620 kasus, kategori
pemerintahan 210 kasus, kategori kesehatan 200 kasus, kategori fitnah 159 kasus,

6
Mac Aditiawarman, dkk., Hoaks dan Hate Speech di Dunia Maya, Penerbit Lembaga
Kajian Aset Budaya Indonesia Tonggak Tuo, Padang, 2019, Hlm.3.
7
Reni Julani, Media Sosial Ramah Sosial VS Hoaks, Jurnal Program Studi Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol.8, No.2 (2017), Hlm.142-143.

32
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

dan kategori kejahatan 113 kasus.8 Hampir sebagian besar kasus Hoaks yang
terjadi di Indonesia dilakukan melalui sosial media seperti Facebook, Twitter,
Instagram, WhatsApp, YouTube, dan di berbagai Media Elektronik lainnya.
Salah satu kasus Hoaks yang terjadi di Indonesia adalah penyebaran Berita
Bohong Covid-19 di Sumatera Selatan yang dilakukan melalui post di media
sosial. Akibatnya, masyarakat sekitar khawatir mengingat Covid-19 merupakan
virus yang menular dan berbahaya. Ditinjau dari perspektif hukum pidana,
penyebaran Berita Bohong atau Hoaks dikategorikan sebagai tindak pidana yang
akibat perbuatan yang dilakukan pelaku dapat dikenai ancaman pidana penjara
dan denda. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis ingin menganalisis lebih
dalam terkait kasus penyebaran Berita Bohong Covid-19 di Sumatera Selatan
dalam perspektif hukum pidana sehingga dapat diketahui apakah kasus tersebut
memenuhi unsur-unsur tindak pidana serta pasal manakah yang tepat untuk
menjerat pelaku tindak pidana tersebut. Oleh karena itu penulis terdorong untuk
menulis sebuah paper dengan judul “Analisis Kasus Penyebaran Berita Bohong
Terkait Covid-19 di Sumatera Selatan dalam Perspektif Hukum Pidana”.
Adapun rumusan masalah yang diangkat oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Berita Bohong (Hoaks)?
2. Bagaimana kronologi kasus penyebaran Berita Bohong terkait Covid-19 di
Sumatera Selatan?
3. Bagaimana analisis kasus penyebaran Berita Bohong terkait Covid-19 di
Sumatera Selatang dalam perspektif hukum pidana?

B. PEMBAHASAN
1. Berita Bohong (Hoaks)
Berita Bohong adalah hasil akhir dari berita yang direkayasa melalui proses
perekayasaan berita.9 Berita Bohong di dalamnya terdapat isi yang tidak sesuai
dengan kebenaran atau keadaan yang ada sebenarnya (Materiële Waarheid).10

8
Tsarina Maharani, Kominfo Identifikasi 486 Hoaks sepanjang April 2019, 209 Terkait
Politik, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4532182/kominfo-identifikasi-486-Hoaks-
sepanjang-april-2019-209-terkait-politik, diakses pada 19 Maret 2020.
9
Pareno Sam Abede, Manajemen Berita antara Idealisme dan Realita, Penerbit Papyrus,
Surabaya, 2005, Hlm.73.
10
Adami Chazawi dan Ferdian Ardi, Tindak Pidana Pemalsuan, Penerbit PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2016, Hlm.236.

33
Juan Maulana Alfedo
Analisis Kasus Penyebaran Berita Bohong Terkait Covid-19 di Sumatera Selatan
dalam Perspektif Hukum Pidana

Muhammad Alwi Dahlan, ahli komunikasi dari Universitas Indonesia (UI),


berpendapat bahwa Berita Bohong (Hoaks) merupakan manipulasi berita yang
sengaja dilakukan dan bertujuan untuk memberikan pengakuan atau pemahaman
yang salah. Hal itu sebenarnya sudah terjadi sejak lama, namun kecanggihan
teknologi membuat penyebaran kabar tersebut menjadi lebih luas dan seperti
prestasi tersendiri bagi sang pembuat Berita Bohong (Hoaks) jika ia berhasil
menyebarluaskannya.11 Sedangkan menurut Dedi Rianto Rahadi, Berita Bohong
(Hoaks) adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengarnya
untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu
bahwa berita tersebut adalah palsu.12
Hoaks pada umumnya bertujuan untuk bercanda atau sekedar untuk
mendapat kesenangan saja. Kenyataannya Hoaks dijadikan alat propaganda
dengan tujuan politis, misalnya melakukan pencitraan atau sebaliknya,
memburukkan citra seseorang atau kelompok. Banyak ditemukan Berita Bohong
(Hoaks) yang di jadikan berita untuk menghasut, memberikan ramalan-ramalan,
bahkan untuk menyudutkan pemerintah. Berita Bohong juga bertujuan membuat
pikiran siapapun pembacanya ke arah yang menyesatkan. Berita Bohong
merupakan contoh negatif kebebasan berbicara dan berpendapat di media sosial.
Dengan mudahnya menyebarkan Hoaks yang membuat siapapun bisa melakukan
perbuatan ini, Hoaks menjadi salah satu fenomena kejahatan dunia maya yang
mengkhawatirkan.13 Menurut dewan pers ciri-ciri Hoaks sebagai berikut14 :
a. Menimbulkan kepanikan, kebencian, dan permusuhan.
b. Sumber yang tidak jelas, pemberitaannya sering tidak mencantumkan
sumber dasar dan sering menyudutkan pihak tertentu.
c. Bermuatan pandangan negatif, judul yang provokatif, terkesan
menyalahkan dan biasanya fakta dan data yang asli disembunyikan.
d. Sering menggunakan huruf kapital, penebalan kata, serta tidak ada
cantuman sumber informasi. Biasanya penyebar Hoaks menuliskan:
“copy paste dari “grup sebelah” atau “kiriman teman”.

11
Cintya Putri Rimandhini, Pertanggungjawaban Pidana Penyebaran Berita Bohong
(Hoaks) Melalui Media Elektronik (Studi Analisis Beredarnya Konten Video Telur Palsu Oleh
Syahroni Daud), Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2018, Hlm.54.
12
Dedi Rianto Rahadi, Perilaku Pengguna dan Informasi Hoaks di Media Sosial, Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.5, No.1 (2017), Hlm.61.
13
Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik (Studi Kasus; Prita
Mulyasari), Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2009, Hlm.40.
14
Janner Simarmata, dkk., Hoaks dan Media Sosial: Saring Sebelum Sharing, Penerbit
Yayasan Kita Menulis, Medan, 2019, Hlm.4.

34
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Adapun jenis-jenis informasi yang dapat dikategorikan sebagai Berita


Bohong (Hoaks) antara lain sebagai berikut15:
a. Berita Bohong (Fake News): Berita yang berusaha menggantikan berita
asli dan bertujuan untuk memalsukan atau memasukkan ketidakbenaran
dalam suatu berita.
b. Tautan Jebakan (Clickbait): Tautan yang diletakkan secara strategis di
dalam suatu situs dengan tujuan untuk menarik orang masuk ke situs
lainnya. Konten di dalam tautan ini sesuai fakta, namun judulnya dibuat
berlebihan atau dipasang gambar yang menarik untuk memancing
pembaca.
c. Bias Konfirmasi (Confirmation Bias): kecenderungan untuk
menginterpretasikan kejadian yang baru terjadi sebaik bukti dan
kepercayaan yang sudah ada.
d. Misinformation: Informasi yang salah atau tidak akurat terutama yang
ditujukan untuk menipu.
e. Satire: Sebuah tulisan yang menggunakan humor, ironi ataupun hal yang
dibesar-besarkan untuk mengomentari kejadian yang sedang hangat.
f. Pasca Kebenaran (Post-Truth) : Kejadian dimana emosi lebih berperan
daripada fakta untuk membentuk opini publik.
g. Propaganda: Aktivitas menyebarluaskan informasi, fakta, argumen,
gosip, setengah-kebenaran, atau bahkan kebohongan untuk
mempengaruhi opini publik.
2. Kronologi Kasus Penyebaran Berita Bohong Terkait Covid-19 di
Sumatera Selatan
Pada hari Selasa, 17 Maret 2020, Satreskrim Polres Muaraenim, Sumatera
Selatan mengamankan HNI yang berumur 20 Tahun sebagai pelaku penyebaran
Berita Bohong alias Hoaks terkait virus Corona atau Covid-19. Selain HNI, polisi
juga mengamankan oknum PNS yang bekerja di salah satu Puskesmas. Menurut
Kasat Rekrim, AKP Dwi Satya, HNI diamankan karena sudah menyebarkan
Hoaks ada yang meninggal dunia di Sukabumi karena terinfeksi Virus Corona.

15
Janner Simarmata, dkk., Hoaks dan Media Sosial: Saring Sebelum Sharing, Penerbit
Yayasan Kita Menulis, Medan, 2019, Hlm.5-6.

35
Juan Maulana Alfedo
Analisis Kasus Penyebaran Berita Bohong Terkait Covid-19 di Sumatera Selatan
dalam Perspektif Hukum Pidana

HNI diamankan setelah memposting kabar bohong di sosial media milik pribadi.
Postingannya di media sosial yang diunggah 4 Maret itu membuat warga khawatir
mengingat Covid-19 merupakan virus jenis baru yang tergolong berbahaya.
Setelah diamankan oleh Satreskrim Polres Muaraenim, HNI terus diperiksa
secara intensif oleh penyidik gabungan di Polres Muaraenim dan Polda Sumsel.
Selain HNI, jajaran Subdit Siber Reskrimsus Polda Sumsel yang juga turut
mengamankan oknum PNS yang berdinas di salah satu puskesmas di Palembang.
Dengan kasus yang sama PNS tersebut juga diamankan terkait penyebaran Berita
Bohong (Hoaks) terkait Covid-19. Saat ini, oknum PNS tersebut juga masih
dalam pemeriksaan untuk mengetahui dan memastikan pelaku di tahan atau tidak
karena sampai saat ini masih diperiksa untuk dikembangkan lebih lanjut.16
3. Analisis Kasus Penyebaran Berita Bohong Terkait Covid-19 di
Sumatera Selatan dalam Perspektif Hukum Pidana
Pada dasarnya, hukum pidana memang berfokus pada pengaturan tentang
permasalahan kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat. Hukum pidana
menjadi penjaga atau pelindung agar masyarakat terhindar dari kejahatan. Hukum
pidana hadir di tengah masyarakat sebagai sarana masyarakat dalam membasmi
kejahatan. Maka dari itu, pengaturan hukum pidana berkisar pada perbuatan apa
saja yang dilarang atau diwajibkan kepada warga negara yang terkait dengan
perbuatan kejahatan.17 Unsur perbuatan merupakan salah satu unsur pokok tindak
pidana di samping unsur kesalahan.18 Roeslan Saleh mengungkapkan pendapatnya
mengenai pengertian perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diatur oleh
aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.19 Menurut
Moeljatno, unsur-unsur yang perlu ada untuk memenuhi syarat adanya suatu
perbuatan dalam arti hukum pidana atau untuk adanya perbuatan pidana yaitu20:

16
Raja Adil Siregar, Polisi Amankan 2 Penyebar Hoaks Corona di Sumsel, Ada PNS
Puskesmas, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4944614/polisi-amankan-2-penyebar-
Hoaks-corona-di-sumsel-ada-pns-puskesmas, diakses pada 19 Maret 2020.
17
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Penerbit PT. Refika
Aditama, Bandung, 2011, Hlm.1-2.
18
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Penerbit PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm.85.
19
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian
Dasar dalam Hukum Pidana, Penerbit Aksara Baru, Jakarta, 1981, Hlm.1.
20
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Penerbit Bina Aksara,
Jakarta, 1983, Hlm.60.

36
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan). Mengenai unsur ini bahwa hakikatnya


tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir, oleh
karena perbuatannya, yang mengandung kelakuan serta akibat yang
ditimbulkan karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir.
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
d. Unsur melawan hukum objektif.
e. Unsur melawan hukum subjektif.
Ditinjau dari perspektif hukum pidana, sudah jelas bahwasannya perbutan
menyebarkan Berita Bohong merupakan perbuatan yang dilarang dan merupakan
suatu tindak pidana. Hoaks telah menjadi bentuk tindak pidana sebagai bagian
implikasi perkembangan globalisasi teknologi dan informasi. Mengingat
perbuatan penyebaran Berita Bohong (Hoaks) hampir sebagian besar dilakukan di
Media Elektronik. Dalam pengaturan hukum pidana di Indonesia, tindak pidana
penyebaran Berita Bohong termasuk perbuatan yang dilarang yang diatur dalam
Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 ayat (1), dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Adapun bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
Pasal 27 Ayat (3) berbunyi :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan Penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik”.
Pasal 28 ayat (1) berbunyi :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan Berita Bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik”.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan yang dikategorikan
sebagai Berita Bohong (Hoaks). Terkait ancaman hukumannya diatur dalam Pasal
45 ayat (3) berbunyi:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 Ayat (3)
dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 4(empat) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah)”.

37
Juan Maulana Alfedo
Analisis Kasus Penyebaran Berita Bohong Terkait Covid-19 di Sumatera Selatan
dalam Perspektif Hukum Pidana

Pasal 45A Ayat (1) yang berbunyi :


“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan Berita Bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik 39 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Pasal 45A Ayat (2) yang berbunyi :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan Individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras
dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Pengaturan mengenai Berita Bohong (Hoaks) tidak hanya terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik saja, namun juga diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP menyiarkan kabar
bohong diatur dalam Pasal 390 yang berbunyi:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, dengan menyiarkan kabar bohong yang
meyebabkan harga barang-barang dagangan, dana-dana atau surat-surat
berharga menjadi turun atau naik diancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan”.
Jika dikaitkan dengan kasus penyebaran Berita Bohong (Hoaks) terkait
Covid-19 di Sumatera Selatan, perbuatan pelaku telah memenuhi unsur Pasal 28
ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: “setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan Berita Bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi
elektronik.” Adapun jika diuraikan unsur-unsurnya sebagai berikut21:
a. Unsur Objektif:
1) Subyek: Setiap orang, yang dalam hal ini ditunjukan kepada pelaku
penyebar Berita Bohong Hoaks yakni HNI dan oknum PNS yang
berdinas di salah satu puskesmas di Palembang.

21
Muhammad Taufiqurrohman, Hoaks di Media Sosial Facebook dan Twitter dalam
Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dan Hukum Islam, Skripsi, IAIN Tulungagung, Tulungagung, 2018, Hlm.72-74.

38
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

2) Perbuatan: menyebarkan, yang dalam hal ini menyebarkan berita yang


tidak sesuai dengan fakta yakni terkait Covid-19 di Sumatera Selatan.
3) Objek: Berita Bohong dan menyesatkan. Berita Bohong sama artinya
dengan bersifat palsu. Artinya, sesuatu yang disiarkan itu mengandung
hal yang tidak benar. Ada persamaan dengan bersifat menyesatkan,
ialah isi apa yang disiarkan mengandung hal yang tidak sebenarnya
dan meyesatkan memberitahukan suatu kabar yang kosong, akan
tetapi juga menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian.
Berita yang menjadi objek dalam kasus ini adalah berita Covid-19.
4) Akibat: mengakibatkan kerugian konsumen. Yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam transaksi elektronik adalah semua bentuk
kerugian. Tidak saja kerugian yang dapat dinilai uang, tetapi segala
bentuk kerugian. Seperti timbulnya perasaan cemas, malu, kesusahan,
hilangnya harapan mendapatkan kesenangan atau keuntungan, dan
sebagainya. Hal ini sesuai dengan kasus Hoaks Covid-19 di Sumatera
Selatan yang mengakibatkan masyarakat khawatir dan takut.
b. Unsur Subyektif:
Dengan sengaja dan tanpa hak: Dengan sengaja yang dapat diartikan
bentuk kesengajaan dan tanpa hak menyebarkan Berita Bohong dan
menyesatkan, terbukti melakukan dalam hal melaksanakan delik yang
diancamkan dalam pasal itu. Tanpa hak disini diartikan sebagai melawan
hukum, yaitu tanpa adanya hak sendiri (Zonder Eigen Recht),
bertentangan dengan hukum pada umumnya (in strijd met het recht in het
algemeen), bertentangan dengan hak pribadi seseorang (in strijd met een
anders subjectieve recht), bertentangan dengan hukum objektif (tegen het
objectieve recht), dalam penyebaran Berita Bohong (Hoaks) merupakan
tindakan yang melawan hukum dan bertentangan dengan hak pribadi.
Sehingga atas perbuatannya, pelaku penyebar Berita Bohong atau Hoaks
terkait Covid-19 di Sumatera Selatan dapat dikenai sanksi pidana yakni dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebagaimana telah diatur dalam Pasal
45A ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

39
Juan Maulana Alfedo
Analisis Kasus Penyebaran Berita Bohong Terkait Covid-19 di Sumatera Selatan
dalam Perspektif Hukum Pidana

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain
sebagai berikut:
a. Hoaks merupakan Berita Bohong yang di dalamnya terdapat isi yang
tidak sesuai dengan kebenaran atau keadaan yang ada sebenarnya dengan
tujuan menimbulkan kekhawatiran terhadap orang lain.
b. Perbuatan menyebarkan Berita Bohong (Hoaks) termasuk dalam tindak
pidana, dimana pengaturannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dimana pelakunya dapat dikenai sanksi pidana.
c. Kasus penyebaran Berita Bohong (Hoaks) terkait Covid-19 di Sumatera
Selatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, dimana pelakunya
dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo. Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
2. Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan sebagai berikut:
a. Bagi aparat penegak hukum untuk segera melakukan proses hukum
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila mengetahui
kasus penyebaran Berita Bohong (Hoaks) baik di Media Elektronik
maupun non-elektronik.
b. Bagi masyarakat agar tidak mudah percaya terhadap setiap informasi di
Media Elektronik maupun non-elektronik serta melakukan penyaringan
terhadap informasi dan mengecek kebenarannya.

40
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abede, Pareno Sam. 2005. Manajemen Berita antara Idealisme dan Realita.
(Surabaya: Penerbit Papyrus).
Aditiawarman, Mac, dkk.. 2019. Hoaks dan Hate Speech di Dunia Maya.
(Padang: Penerbit Lembaga Kajian Aset Budaya Indonesia Tonggak Tuo).
Chazawi, Adami dan Ferdian Ardi. Tindak Pidana Pemalsuan. (Jakarta: Penerbit
PT. RajaGrafindo Persada).
Effendi, Erdianto. 2011. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. (Bandung:
Penerbit PT. Refika Aditama).
Maramis, Frans. 2012. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. (Jakarta:
Penerbit PT. RajaGrafindo Persada).
Moeljatno. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. (Jakarta:
Penerbit Bina Aksara).
Purnomo, Joko, Irza Khurun’in, Raissa Ardianti. Globalisasi dan Politik
Pembangunan Internasional. (Malang: Penerbit UB Press).
Raharjo, Agus. 2002. Cybercrime : Pemahaman dan Upaya Pencegahan
Kejahatan Berteknologi. (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti).
Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua
Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana. (Jakarta: Penerbit Aksara Baru).
Simarmata, Janner, dkk.. Hoaks dan Media Sosial: Saring Sebelum Sharing.
(Medan: Penerbit Yayasan Kita Menulis).
Sunarso, Siswanto. 2009. Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik (Studi
Kasus; Prita Mulyasari). (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta).

Publikasi
Julani, Reni. Media Sosial Ramah Sosial VS Hoaks. Jurnal Program Studi
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol.8. No.2 (2017).
Rahadi, Dedi Rianto. Perilaku Pengguna dan Informasi Hoaks di Media Sosial.
Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Vol.5. No.1 (2017).

Website
Maharani, Tsarina. Kominfo Identifikasi 486 Hoaks sepanjang April 2019, 209
Terkait Politik. diakses dari https://news.detik.com/berita/d-
4532182/kominfo-identifikasi-486-Hoaks-sepanjang-april-2019-209-terkait-
politik. diakses pada 19 Maret 2020.
Siregar, Raja Adil. Polisi Amankan 2 Penyebar Hoaks Corona di Sumsel, Ada
PNS Puskesmas. diakses dari https://news.detik.com/berita/d-
4944614/polisi-amankan-2-penyebar-Hoaks-corona-di-sumsel-ada-pns-
puskesmas. diakses pada 19 Maret 2020.

Karya Ilmiah
Rimandhini, Cintya Putri. 2018. Pertanggungjawaban Pidana Penyebaran Berita
Bohong (Hoaks) Melalui Media Elektronik (Studi Analisis Beredarnya
Konten Video Telur Palsu Oleh Syahroni Daud). Skripsi. (Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia).

41
Juan Maulana Alfedo
Analisis Kasus Penyebaran Berita Bohong Terkait Covid-19 di Sumatera Selatan
dalam Perspektif Hukum Pidana

Taufiqurrohman, Muhammad. 2018. Hoaks di Media Sosial Facebook dan Twitter


dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik dan Hukum Islam. Skripsi. (Tulungagung: IAIN
Tulungagung).

Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum
Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1958 Nomor 127. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1660.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952.

42
Melta Setya Rahayu Pujianti, Fazal Akmal Musyarri dan Paradisa Eksakta Gheosa
INTROSYM : Reformulasi Stolen Asset Recovery dalam Sistem Pemeriksaan Delik
Korupsi Sektor Swasta

INTROSYM : REFORMULASI STOLEN ASSET RECOVERY DALAM


SISTEM PEMERIKSAAN DELIK KORUPSI SEKTOR SWASTA
INTROSYM: REFORMULATION OF STOLEN ASSET RECOVERY IN THE
PRIVATE SECTOR CORRUPTION INVESTIGATION SYSTEM
Melta Setya Rahayu Pujianti, Fazal Akmal Musyarri dan Paradisa Eksakta
Gheosa

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : meltasrp@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Pujianti, Melta Setya Rahayu. INTROSYM : Reformulasi Stolen Asset Recovery dalam Sistem
Pemeriksaan Delik Korupsi Sektor Swasta. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis.
Vol.1. No.4 (Juli 2020).

ABSTRAK
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” adalah
adagium Lord Acton, sebagai refleksi adanya penyelewengan eksekutif dalam
bentuk intervensi terhadap independensi saksi dari perusahaan terlapor. Selaras
dengan pemikiran Romli Atmasasmita yang menyatakan meningkatnya angka
korupsi di sektor swasta disebabkan karena ketidakberanian saksi dalam
melaporkan kasus itu. Didukung oleh Laboratorium Ilmu Ekonomi UGM yang
menyebutkan kerugian negara akibat korupsi swasta mencapai 40,53%, penulis
menggagas ide Integrated Proofing System (INTROSYM), yang merupakan
sistem penindakan kasus korupsi terpadu yang melibatkan perusahaan yang
meliputi tahapan pelaporan saksi dari pihak dalam (whistle blower). Namun
terdapat aset korupsi yang dilarikan ke luar negeri, terutama ke negara tertentu
seperti Swiss. Negara tersebut menyimpan rahasia aset dengan ketat sehingga sulit
untuk dilakukan pembuktian meskipun pihak yang meminta pembukaan kasus dan
pembuktian adalah negara tempat pihak pemilik aset. Sehingga dibutuhkan suatu
regulasi khusus yang dapat membuka transparansi pembuktian aset suatu
perusahaan yang disimpan di luar negeri. Stolen Asset Recovery (StAR)
merupakan kerjasama antara World Bank dan merupakan produk dari United
Nation of Drugs and Crime yang mengimplementasikan UNCAC. StAR
memudahkan negara dalam membuka kasus dan melakukan pembuktian terhadap
aset perusahaan. Selama ini sudah banyak negara yang menerapkan STAR, namun
hanya diterapkan pada aset yang dimiliki oleh individu maupun pejabat negara.
Sehingga StAR dapat lebih dioptimalkan fungsinya dengan menerapkannya pada
aset yang dimiliki oleh perusahaan. Diharapkan pengejakulantahan INTROSYM
dapat menurunkan tindak pidana korupsi di sektor swasta yang susah di brantas
dan diselesaikan di ranah hukum Indonesia.
Kata Kunci: INTROSYM, Stolen Aset Recovery, Whistle Blower

43
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

ABSTRACT
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” is Lord Acton's
adagium, in reflection of executive misconduct in the form of intervention in the
independence of reported companies. In line with the thinking of Romli
Atmasasmita who stated that the increasing number of corruption in the private
sector was due to the unwillingness of witnesses in reporting the case. Supported
by UGM's Economic Sciences Laboratory which said state losses due to private
corruption reached 40.53%, the author initiated the idea of Integrated Proofing
System (INTROSYM), which is a system of cracking down on integrated
corruption cases involving companies that include the stages of reporting
witnesses from insiders (whistleblowers). However, there are corrupt assets that
are rushed abroad, especially to certain countries such as Switzerland. The
country keeps assets secret so strictly that it is difficult to prove even though the
party requesting the opening of the case and proof is the country where the asset
owner. So that a special regulation is needed that can open transparency of proof
of the assets of a company stored abroad. Stolen Asset Recovery (StAR) is a
partnership between the World Bank and is a product of the United Nations of
Drugs and Crime that implements UNCAC. StAR makes it easier for the state to
open cases and prove the company's assets. So far, many countries have
implemented STAR, but only applied to assets owned by individuals and state
officials. So that StAR can be further optimized by applying it to assets owned by
the company. It is expected that the enforcement of INTROSYM can reduce the
crime of corruption in the private sector that is difficult to do and solve in the
realm of Indonesian law.
Keywords: INTROSYM, Stolen Aset Recovery, Whistle Blower

44
Melta Setya Rahayu Pujianti, Fazal Akmal Musyarri dan Paradisa Eksakta Gheosa
INTROSYM : Reformulasi Stolen Asset Recovery dalam Sistem Pemeriksaan Delik
Korupsi Sektor Swasta

A. PENDAHULUAN
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001, korupsi adalah perbuatan melawan hukum
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara. Namun undang-undang tersebut
hanya menyasar kepada keuangan negara.1 Padahal korupsi tak hanya terkait
dengan kerugian negara dan BUMN, tetapi juga di sektor swasta yang dapat
memengaruhi kerusakan pembangunan suatu negara.2
Menurut hasil survey Global Corruption Report oleh Transparency
International, kerugian akibat korupsi swasta secara global dalam kurun waktu
lima tahun terakhir mencapai 300 miliar US$.3 Sedangkan di Indonesia menurut
data Komisi Pemberantas Korupsi, selama 12 tahun terakhir terdapat 130 pihak
swasta yang terjerat kasus perkara korupsi.4 Hal ini ditengarai oleh lemahnya
pengaturan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi di sektor swasta.
Akibat dari korupsi sektor swasta berimbas pada rusaknya kinerja perusahaan,
korupsi pasar yang melemahkan persaingan sehat, harga yang adil dan efisiensi.5
Mengingat urgensi yang cukup besar untuk mencegah dan mengadili tindak
pidana korupsi di sektor swasta. Upaya untuk menangani delik korupsi di sektor
swasta sulit dilakukan jika menggunakan hukum acara pidana yang berlaku saat
ini. Mekanisme penyelidikan melalui tindakan pelaporan oleh Whistleblower tidak
diikuti dengan mekanisme perlindungan pengungkap fakta karena lemahnya dasar
hukum, perspektif penegak hukum yang rendah dan peran LPSK yang terbatas.6

1
Indonesia Corruption Watch, Perlu Dibuat Aturan Korupsi di Sektor Swasta, diakses dari
http://www.antikorupsi.org/en/content/perlu-dibuat-aturan-korupsi-di-sektor-swasta, diakses pada
17 September 2016, jam 15.16 WIB.
2
Jamin Ginting, Korupsi Sektor Swasta, Harian Kompas, Nomor 13/VII, tanggal 9 Februari
2012, Hlm.1-3.
3
Indonesia Corruption Watch, Korupsi di Sektor Swasta, diakses dari
http://www.antikorupsi.org/en/content/korupsi-di-sektor-swasta, diakses pada 17 September 2016,
jam 21.35 WIB.
4
Komisi Pemberantasan Korupsi, Berbagi “Resep” Berantas Korupsi Sektor Swasta,
diakses dari http://kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/3333-berbagi-resep-berantas-korupsi-
sektor-swasta, diakses pada 17 September 2016, jam 22.18 WIB.
5
Indonesia Corruption Watch, Op.Cit..
6
Hukum Online, Hambatan dalam Perlindungan Hukum Bagi Whistle Blower, diakses dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fabe1295851e/hambatan-dalam-perlindungan-
hukum-bagi-whistle-blower-pengungkap-fakta, diakses pada 19 September 2016, jam 01.15 WIB.

45
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Selain itu di tahap memperkuat bukti atau penyidikan terhadap perusahaan yang
diduga melakukan delik korupsi terkendala pada aset perusahaan yang disimpan
di Offshore Company yang menjamin kerahasiaan data dan pajak yang rendah7,
sehingga aparat penegak hukum terkendala ketika menelusuri aset yang disimpan
oleh Offshore Company tersebut.8
Berdasarkan paparan fakta tersebut, penulis mengajukan gagasan Introsym
(Integrated Proofing System), yaitu suatu rangkaian pengungkapan fakta,
perlindungan Whistleblower dan penelusuran aset perusahaan dalam tahap
penyelidikan dan penyidikan dugaan delik korupsi di sektor swasta dalam hukum
acara. Penelusuran aset diimplementasikan melalui StAR (Stollen Asset Recovery)
yang banyak digunakan oleh negara dalam penyidikan aset negara yang dicuri.
Berdasarkan paparan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah yang dapat
ditarik adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana korelasi antara tindak pidana korupsi sektor swasta dengan
aset?
2. Bagaimana implementasi introsym dalam sistem tindak pidana korupsi?

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Korupsi dan Tindak Pidana Korupsi
a. Pengertian Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin yakni “Corruption” atau
“Corruptus” yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.
Secara harfiah, istilah tersebut berarti segala macam perbuatan yang tidak baik.
Seperti halnya yang dikatakan oleh Andi Hamzah sebagai kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.9

7
Giras Pasopati, Mengenal Skema Investasi Offshore ala Panama Papers, diakses dari
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160405133304-92-121810/mengenal-skema-investasi-
offshore-ala-panama-papers/, diakses pada 19 September 2016, jam 01.55 WIB.
8
Kompas, Banyak WNI Simpan Kekayaan di Luar Negeri, Kejagung Sulit Telusuri Aset
Koruptor, diakses dari
http://nasional.kompas.com/read/2016/04/06/09254391/Banyak.WNI.Simpan.Kekayaan.di.Luar.N
egeri.Kejagung.Sulit.Telusuri.Aset.Koruptor, diakses pada 19 September 2016, jam 01.59 WIB.
9
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Penerbit
Bayumedia Publishing, Malang, 2003, Hlm.1.

46
Melta Setya Rahayu Pujianti, Fazal Akmal Musyarri dan Paradisa Eksakta Gheosa
INTROSYM : Reformulasi Stolen Asset Recovery dalam Sistem Pemeriksaan Delik
Korupsi Sektor Swasta

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-


Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang dimaksud dengan korupsi adalah setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.10
b. Macam Jenis Korupsi
Menurut Beveniste, korupsi didefinisikan kedalam empat jenis yaitu :
1) Discretionery Corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijakan. Sekalipun nampaknya
bersifat sah, tetapi sebenarnya bukanlah praktik-praktik yang dapat
diterima oleh para anggota organisasi.
2) Illegal Corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan
regulasi hukum.
3) Mercenary Corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang
dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
4) Ideology Corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary
yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.
c. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperkaya
diri sendiri atau kelompok dimana kegiatan tersebut melanggar hukum karena
telah merugikan bangsa dan negara. Dari sudut pandang hukum, kejahatan tindak
pidana korupsi mencakup unsur-unsur sebagai berikut :
1) Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, dan sarana;
2) Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
3) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Tahapan Pemeriksaan dalam Hukum Acara Pidana
a. Penyelidikan
Menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP jo. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang. Penyidik mempunyai kewenangan antara lain :

10
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2.

47
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak


pidana; Mencari keterangan dan barang bukti; Menyuruh berhenti
seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri; Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab.
2) Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penahanan; Pemeriksaan dan penyitaan surat; Mengambil sidik jari
dan memotret seseorang; Membawa dan menghadapkan kepada
penyidik.
b. Penyidikan
Pasal 1 angka 1 KUHAP jo. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Adapun wewenang penyidik berdasarkan Pasal 7 ayat (1) KUHAP yaitu :
Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; Menyuruh berhenti
seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; Melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; Melakukan pemeriksaan
dan penyitaan surat; Mengambil sidik jari dan memotret seorang; Memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; Mendatangkan
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara,
Mengadakan penghentian penyidikan; dan Mengadakan tindakan lain menurut
hukum yang bertanggungjawab.
c. Penuntutan
KUHAP dalam Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 mengatur mengenai
tahap penuntutan. Dimana pengertian dari penuntutan telah disebutkan dalam
Pasal 1 angka 7 KUHAP yang berbunyi, penuntutan adalah tindakan penuntut
untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

48
Melta Setya Rahayu Pujianti, Fazal Akmal Musyarri dan Paradisa Eksakta Gheosa
INTROSYM : Reformulasi Stolen Asset Recovery dalam Sistem Pemeriksaan Delik
Korupsi Sektor Swasta

d. Pemeriksaan Sidang Pengadilan11


1) Acara Pemeriksaan Biasa,
Dimulai dengan penyerahan berkas perkara, lalu sidang pertama yaitu
proses pemeriksaan identitas terdakwa dan pembacaan surat dakwaan,
sidang kedua yang berisi pengajuan eksepsi oleh terdakwa atau
penasihat hukum, sidang ke tiga adalah proses pembuktian, pada
sidang keempat yaitu pembacaan tuntutan penuntut umum, pada
sidang kelima, keenam dan ketujuh adalah tanya jawab yaitu
pembacaan Pledoi oleh terdakwa atau penasihat hukum, pembacaan
Nader Requisitoir oleh penuntut umum dan pembacaan Nader Pledoi
oleh terdakwa atau penuntut umum. Dan sidang terakhir yaitu
musyawarah majelis hakim dan pembacaan putusan.
2) Acara Pemeriksaan Singkat
Yang diperiksa sebagaimana menurut Pasal 203 ayat (1) KUHAP
adalah perkara kejahatan atau pelanggaran yang termasuk ketentuan
Pasal 20512 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta
penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
3) Acara Pemeriksaan Cepat
Terbagi menjadi acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan acara
pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas.
e. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pasal 270 KUHAP menentukan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu
panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya. Sejalan dengan ketentuan
KUHAP tersebut dijelaskan bahwa dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwasannya
pelaksanaan putusan atau yang sering disebut sebagai eksekusi pengadilan dalam
suatu perkara pidana dilakukan oleh jaksa.

11
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Penerbit Rangkang Education,
Yogyakarta, 2012, hlm.332.
12
Pasal 205 KUHAP : (1) yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan
ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau
denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang
ditentukan dalam paragraph 2 bagian ini.

49
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

3. Stolen Asset Recovery (StAR)


Stolen Asset Recovery merupakan kemitraan yang diselenggarakan antara
World Bank dan UNODC yang mendukung upaya-upaya internasional untuk
menghentikan tempat penyimpanan dana korupsi. Stolen Asset Recovey
bekerjasama dengan negara berkembang dan pusat keuangan untuk mencegah
pencucian dari hasil korupsi dan untuk memfasilitasi lebih sistematis dan tepat
waktu pengembalian aset curian.
Misi dari Stolen Asset Recovery atau StAR itu sendiri diantaranya adalah
memberikan bantuan kepada beberapa negara atas permintaan dari negara-negara
tersebut untuk mengembangkan undang-undang yang digunakan untuk
memperkuat kerangka hukum yang tujuannya adalah untuk mendukung
pemulihan aset, membantu dalam pengembangan kerangka kerja kelembagaan
dan penguatan kapasitas yang tentunya untuk memulihkan aset negara tersebut.
Selain itu, StAR juga mempunyai misi untuk menyediakan analisis kebijakan dan
bangunan pengetahuan.13

C. PEMBAHASAN
1. Korelasi Antara Tindak Pidana Korupsi Sektor Swasta dengan Aset
Anomali korupsi dewasa ini merambah sebagai sebuah kejahatan partikular.
Korupsi sebagai kejahatan kerah putih, kejahatan terorganisir, kejahatan
transnasional, kejahatan luar biasa hingga sebagai kejahatan multidimensional.
Sebuah permasalahan intralokal yang perlu mendapatkan penanganan
komprehensif dan multidisipliner sebagai langkah efektif dalam mencegah
terwujudnya korupsi sebagai Organized Crime. Salah satu sektor yang rentan
terhadap tindak pidana korupsi adalah sektor swasta, khususnya aset. Dalam
PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) Nomor 16 Revisi 2011
menyebutkan bahwa aset merupakan semua kekayaan yang dimiliki seseorang
atau perusahaan baik berwujud maupun tak berwujud yang berharga atau bernilai
yang akan mendatangkan manfaat bagi seseorang atau perusahaan tersebut.

13
World Bank, StAR, diakses dari http://StAR.worldbank.org/StAR/, diakses pada 12
Oktober 2016, jam 23.24 WIB.

50
Melta Setya Rahayu Pujianti, Fazal Akmal Musyarri dan Paradisa Eksakta Gheosa
INTROSYM : Reformulasi Stolen Asset Recovery dalam Sistem Pemeriksaan Delik
Korupsi Sektor Swasta

Sehingga secara faedah, aset merupakan sentral kekayaan dari suatu


perusahaan. Restrukturisasi aset sebagai salah satu kekayaan perusahaan
memberikan hak kepada perusahaan untuk menguasai dan mengendalikan aset
yang dimiliki serta dilakukannya langkah akuisisi lintas batas negara (akuisisi
transnasional) terhadap suatu aset.
“The purpose of this convention is to promote cooperation to prevent and
combat transnasional organized crime more effectively” Pasal 1 UNCATOC (The
United Nations Conventions Against Transnational Organized Crime). Sebuah
dogma bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang terorganisir dan
melampaui batas yurisdiksi suatu negara atau yang bersifat transnasional. Kriteria
tersebut didukung dengan unsur-unsur dalam Pasal 3 UNCATOC yang
menyebutkan: (1) Hal ini dilakukan di lebih dari satu negara; (2) hal ini dilakukan
di satu negara tetapi bagian substansialnya, perencanaan, arah, persiapan, atau
kontrol terjadi di negara lain; (3) hal ini dilakukan di satu negara tetapi melibatkan
suatu kelompok penjahat terorganisasi yang terlibat dalam kegiatan kriminal di
lebih dari satu negara; (4) hal ini dilakukan di satu negara tetapi memiliki efek
atau dampak yang substansial di negara lain.14
Pasal 22 The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
memberikan ruang lingkup tindak pidana korupsi di sektor swasta yang berbunyi:
“Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as
may be necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally
in the course of economic, financial or commercial activities, embezzlement by a
person who direct or works, in any capacity, in a private sector entity of any
property, private funds or securities or any other thing of value entrusted to him
or her by virtue of his or her position”. Hal ini mirip konstruksi Pasal 372 jo.
Pasal 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: “Penggelapan yang dilakukan
oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan
kerja atau karena pencariannya atau karena mendapat upah untuk itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.

14
Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi: Kajian terhadap Harmonisasi
antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC),
Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2015, Hlm.52.

51
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Berbeda halnya dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi yang belum secara tegas memberikan pengaturan terhadap
tindak pidana korupsi di sektor swasta. Tentunya undang-undang tersebut belum
mengelaborasikan Pasal 22 UNCAC sehingga hal ini menimbulkan konsekuensi
bahwa tindak pidana korupsi di sektor swasta hanya sebatas pada tindak pidana
korupsi konvensional. Dari sinilah muncul gagasan penulis bahwa dalam proses
hukum nantinya pun akan menggunakan subsistem-subsistem konvensional.15
Salah satu cara yang ditawarkan oleh UNCAC sebagai bentuk padu-padan
terhadap proses hukum tindak pidana korupsi di sektor swasta adalah dengan
menggunakan Asset Recovery (Pengembalian Aset). Dimana hal ini dituangkan
dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 75 UNCAC, yang mana dalam ketentuan
umumnya memuat bahwa setiap negara wajib bekerjasama seluas-luasnya dalam
hal pengembalian aset. Secara yurisdiksi, Indonesia termasuk ke dalam negara
G20 yang seharusnya dapat memberlakukan Stollen Asset Recovery (StAR).
Apabila hal ini dilihat dari sudut pandang normatif pun Indonesia telah
meratifikasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Coruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi, 2003), tentunya sedikit-banyak Indonesia telah mampu
mengelaborasikan StAR sebagai bagian dari proses hukum tindak pidana korupsi.
Praktik peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia memandang bahwa
tindak korupsi merupakan Extraordinary Crime (Kejahatan Luar Biasa) sehingga
penanganan yang dilakukan pun dengan cara-cara yang luar biasa (non-
konvensional). Salah satu inkompromitas terhadap cara-cara konvensional adalah
adanya pembuktian terbalik. Sistem pembalikan beban pembuktian atau secara
gramatikal disebut Omkering van het Bewijslast atau Reversal Burden of Proof
merupakan ranah sistem hukum pembuktian dimana terdakwa membuktikan asal
muasal harta kekayaannya dimuka pengadilan. Tentunya pembuktian terbalik ini
tidak dapat diterapkan dalam kasus-kasus sektor swasta, mengingat terdapat
syarat-syarat suatu kasus dapat menggunakan pembuktian terbalik:

15
Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi: Kajian terhadap Harmonisasi
antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC),
Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2015, Hlm.199.

52
Melta Setya Rahayu Pujianti, Fazal Akmal Musyarri dan Paradisa Eksakta Gheosa
INTROSYM : Reformulasi Stolen Asset Recovery dalam Sistem Pemeriksaan Delik
Korupsi Sektor Swasta

(1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara diduga telah menerima suap
terutama dari banyak pihak, dalam waktu yang lama dan berkali-kali;
(2) penerimaan suap tersebut sukar dibuktikan;
(3) menimbulkan kekayaan yang berlimpah ruah;
(4) tidak seimbang dengan pendapatan.16
Dilihat dari syarat-syarat di atas, sistem pembuktian terbalik merupakan
sistem bagi penyalahgunaan jabatan. Konsep StAR sebagai garda terdepan
fasilitator pengembalian aset dalam lingkup Internasional belum dapat
diimplikasikan di Indonesia. Diperlukan suatu upaya restrukturisasi terhadap
sistem peradilan tindak pidana korupsi khususnya sektor swasta sebagai upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi yang belum maksimal.
2. Implementasi Introsym dalam Sistem Tindak Pidana Korupsi
Introsym merupakan rangkaian penindakan tindak pidana di sektor korupsi
yang memasukkan sistem Whistleblowing dan StAR ke dalam hukum acara tindak
pidana korupsi konvensional, sehingga penindakan untuk tindak pidana korupsi di
sektor swasta berbeda dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di sektor publik.
Introsym merupakan singkatan dari Integrated Proofing System atau sistem
pembuktian yang terintegrasi untuk mendukung penindakan tindak pidana korupsi
yang terjadi di sektor swasta. Sistem Whistleblowing dan Stolen Asset Recovery
atau StAR dapat dipenetrasikan ke dalam tahapan penyelidikan dan penyidikan,
sedangkan tahapan penuntutan, pengadilan hingga pelaksanaan putusan hakim
tetap menggunakan hukum acara konvensional yang pada umumnya digunakan
dalam penindakan tindak pidana korupsi. Adapun penjelasan dari sistem
Whistleblowing dan StAR tersebut adalah sebagai berikut.
a. Whistleblowing System
Whistleblowing system adalah salah satu rangkaian dalam Introsym yaitu
sistem pengungkapan praktik ilegal, tidak bermoral atau melanggar
hukum yang dilakukan oleh anggota organisasi (pegawai atau mantan
pegawai) yang terjadi di dalam organisasi tempat mereka bekerja.17

16
Ardi Ferdian, Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik pada Tindak Pidana Korupsi,
Jurnal Arena Hukum, Vol.5, No.3 (2012), Hlm.163.
17
Rajawali Nusindo, Prosedur Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System), diakses
dari http://nusindo.co.id/prosedur-pelanggaran-whistleblowing-system-rajawali-nusindo/, diakses
pada 15 Oktober 2016, jam 20.31 WIB.

53
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Integrasi dari sistem whistleblowing dikelola oleh Kepolisian Republik


Indonesia sebagai garda awal hukum acara pidana, terutama dalam
tahapan penyelidikan sebagai tahap yang menentukan apakah suatu
peristiwa dapat dikatakan sebagai tindak pidana atau bukan. Dalam hal
ini, pelaporan yang dilakukan oleh pelapor merupakan salah satu bentuk
sumber tindakan yaitu Laporan (Aangifte). Pelaporan dapat dilakukan
melalui kantor Kepolisian yang tersebar disetiap daerah atau melalui
website khusus Whistleblowing. Hak dari pelapor menurut UNCAC bagi
negara yaitu wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu sesuai
dengan sistem hukum nasionalnya dan kemampuannya untuk
memberikan perlindungan yang efektif terhadap kemungkinan
pembalasan atau intimidasi bagi saksi dan ahli yang memberikan
kesaksian mengenai kejahatan serta keluarga dan orang terdekatnya.
Untuk mendukung hak tersebut, Kepolisian Republik Indonesia dapat
bekerjasama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
b. Stolen Asset Recovery
Menyadari masalah kompleks yang ditimbulkan korupsi, The United
Nations Convention Against Corruption memberikan sebuah grand-
design dalam upaya pengembalian aset curian dengan menggunakan
Stollen Asset Recovery. Bab V dari konvensi menyediakan kerangka
kerja ini untuk pengembalian aset curian, mewajibkan negara-negara
pihak untuk mengambil langkah-langkah untuk menahan, menangkap,
menyita, dan mengembalikan hasil korupsi. Secara umum terdapat
kesamaan dalam proses pemulihan aset yang terbagi atas proses pidana
dan proses perdata (non conviction based).

54
Melta Setya Rahayu Pujianti, Fazal Akmal Musyarri dan Paradisa Eksakta Gheosa
INTROSYM : Reformulasi Stolen Asset Recovery dalam Sistem Pemeriksaan Delik
Korupsi Sektor Swasta

Proses Stollen Asset Recovery dimulai dengan dikumpulkannya bukti dan


aset oleh aparat penegak hukum. Selama pengumpulan, bukti-bukti yang telah ada
perlu diamankan untuk menghindari adanya intervensi kepentingan-kepentingan
yang dapat merusak sistem. Dalam yurisdiksi hukum sipil, perintah pembatasan
dan perampasan aset tersebut merupakan kewenangan jaksa dan hakim.
Penggunaan Stollen Asset Recovery tak ubahnya sebuah hubungan diplomatis
yang melibatkan dua atau lebih negara sehingga membutuhkan perjanjian
pendamping yang disebut Mutual Legal Assistance.
Penambahan sistem Whistleblowing dalam hukum acara penindakan tindak
pidana korupsi di sektor swasta merupakan suatu langkah efektif mengingat
tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang sulit dideteksi karena
dijalankan dengan sangat rapat sehingga sulit dirasakan oleh aparat penegak
hukum. Penegasan terhadap sistem Whistleblowing dilakukan untuk
menghilangkan persepsi ketakutan calon Whistleblower yang ingin melaporkan
suatu tindakan kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan tempat dia bekerja
atau pernah bekerja. Whistleblowing merupakan sistem yang paling umum
digunakan untuk mendeteksi adanya tindakan ilegal. Sedangkan StAR
dimasukkan untuk menelusuri aset perusahaan yang dilarikan ke Offshore
Company yang dapat digunakan sebagai barang bukti atau menunjang barang
bukti. Sehingga Introsym dapat digambarkan dalam bagan seperti berikut ini.

55
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari beberapa pemaparan yang penulis sajikan di atas dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
a. Tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan kejahatan partikular.
Implementasi The United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) belum termanifestasikan ke dalam Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi) sehingga ada perbedaan dengan proses pemeriksaan
pidana non-konvensional. Perlu adanya perhatian khusus terhadap aset
dikarenakan aset sebagai kekayaan perusahaan.
b. Introsym adalah rangkaian hukum acara dengan mengimplementasikan
sistem Whistleblowing dan StAR dalam proses hukum di Indonesia
dengan cara : Pengumpulan intelejen dan bukti serta menelusuri aset;
Mengawasi aset; Proses peradilan; Penegakkan tuntutan; dan
Pengembalian aset.

2. Saran
Indonesia sebagai salah satu negara G20 memiliki kapabilitas untuk
menerapkan Stollen Asset Recovery sebagai salah satu bantuan pembuktian dalam
proses pidana. Penerapan StAR ini tentunya perlu melakukan harmonisasi agar
tidak mengganggu stabilitas hukum nasional. Kedepannya diharapkan StAR dapat
diimplementasikan secara teknis dan terstruktur agar penanggulangan tindak
pidana korupsi di sektor swasta dapat tertanggulangi.

56
Melta Setya Rahayu Pujianti, Fazal Akmal Musyarri dan Paradisa Eksakta Gheosa
INTROSYM : Reformulasi Stolen Asset Recovery dalam Sistem Pemeriksaan Delik
Korupsi Sektor Swasta

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Chazawi, Adami. 2003. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia.
(Malang: Penerbit Bayumedia Publishing).
Kristian dan Yopi Gunawan. 2015. Tindak Pidana Korupsi: Kajian terhadap
Harmonisasi antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC). (Bandung: Penerbit Refika Aditama).
Sofyan, Andi. 2012. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. (Yogyakarta:
Penerbit Rangkang Education).

Publikasi
Ferdian, Ardi. Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik pada Tindak Pidana
Korupsi. Jurnal Arena Hukum. Vol.5. No.3 (2012).

Surat Kabar
Ginting, Jamin. Korupsi Sektor Swasta. Harian Kompas. Nomor 13/VII. tanggal 9
Februari 2012.

Website
Hukum Online. Hambatan dalam Perlindungan Hukum Bagi Whistle Blower.
diakses dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fabe1295851e/hambatan-dalam-
perlindungan-hukum-bagi-whistle-blower-pengungkap-fakta. diakses pada 19
September 2016.
Indonesia Corruption Watch. Korupsi di Sektor Swasta. diakses dari
http://www.antikorupsi.org/en/content/korupsi-di-sektor-swasta. diakses pada 17
September 2016.
Indonesia Corruption Watch. Perlu Dibuat Aturan Korupsi di Sektor Swasta.
diakses dari http://www.antikorupsi.org/en/content/perlu-dibuat-aturan-korupsi-
di-sektor-swasta. diakses pada 17 September 2016.
Komisi Pemberantasan Korupsi. Berbagi “Resep” Berantas Korupsi Sektor
Swasta. diakses dari http://kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/3333-berbagi-
resep-berantas-korupsi-sektor-swasta. diakses pada 17 September 2016.
Kompas. Banyak WNI Simpan Kekayaan di Luar Negeri, Kejagung Sulit Telusuri
Aset Koruptor. diakses dari
http://nasional.kompas.com/read/2016/04/06/09254391/Banyak.WNI.Simpan.Kek
ayaan.di.Luar.Negeri.Kejagung.Sulit.Telusuri.Aset.Koruptor. diakses pada 19
September 2016.
Pasopati, Giras. Mengenal Skema Investasi Offshore ala Panama Papers. diakses
dari http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160405133304-92-
121810/mengenal-skema-investasi-offshore-ala-panama-papers/. diakses pada 19
September 2016.
Rajawali Nusindo. Prosedur Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System).
diakses dari http://nusindo.co.id/prosedur-pelanggaran-whistleblowing-system-
rajawali-nusindo/. diakses pada 15 Oktober 2016.
World Bank. StAR. diakses dari http://StAR.worldbank.org/StAR/. diakses pada
12 Oktober 2016.

57
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Sumber Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 387.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 137. Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4250.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4358.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Coruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi, 2003). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 32. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4620.
The United Nations Conventions Against Transnasional Organized Crime 2000.
The United Nations Convention Against Coruption, 2003.

58
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

PROBLEMATIKA PENCEGAHAN DAN KEJAHATAN DI BIDANG


EKONOMI
PROBLEMS WITH PREVENTION AND CRIME IN THE ECONOMIC
FIELD
Yanels Garsione Damanik

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : yanelsgarsione@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Damanik, Yanels Garsione. Problematika Pencegahan dan Kejahatan di Bidang Ekonomi.


Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020).

ABSTRAK
Karena kompleksitas masalah kejahatan di dalam ekonomi, maka dibentuklah
RKUHP dikarenakan adanya desakan untuk mewujudkan peraturan perundang-
undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada masa kini dan
masa yang akan datang. KUHP pada saat ini dinilai sudah tidak dapat menjawab
kevakuman hukum karena tidak dapat dijeratnya berbagai perilaku yang
merugikan dan mengancam masyarakat, tapi belum atau tidak diatur di KUHP.
Sistem solusi cepat yang tambal sulam tersebut dikritisi oleh berbagai ahli pidana
sebagai tumbuhan atau bangunan liar yang tidak bersistem, tidak konsisten,
bermasalah secara yuridis, dan bahkan menggerogoti, mencabik-cabik sistem
bangunan induk. Permasalahannya adalah RKUHP tidak mengatur tindak pidana
ekonomi secara khusus. Beberapa tindak pidana yang berkaitan dengan ekonomi
yang diatur dalam beberapa undang-undang dimasukkan ke dalam RKUHP tapi
perumusannya hanya dibatasi pada beberapa kategori tindak pidana saja yaitu
tindak pidana yang membahayakan lingkungan, pertanggung jawaban korporasi,
tindak pidana pemalsuan materai, segel, cap negara, dan merek, tindak pidana
perbuatan curang, dan tindak pidana terhadap kepercayaan dalam menjalankan
usaha. Sayangnya, tim perumus tidak jelas dalam menetapkan kriteria yang
digunakan untuk memilih dan/atau mengesampingkan tindak-tindak pidana
khusus di luar KUHP ke dalam RKUHP. Sehingga tidak jelas sampai sejauh mana
batasan tindak pidana ekonomi diakomodasi dalam RKUHP. Di dalam pasal-pasal
RKUHP yang mengatur mengenai beberapa tindak pidana ekonomi tersebut juga
pun tidak luput dari permasalahan terutama berkaitan dengan istilah dan
pengertian yang dipakai di dalam RKUHP, kerancuan mengenai beberapa konsep
pidana, dan duplikasi. Pengaturan dipilih ke dalam RKUHP tanpa melakukan
sinkronisasi dengan pengaturan tindak pidana lainnya sehingga pengaturan
beberapa tindak pidana menjadi tumpang tindih. Dengan keadaan seperti ini,
RKUHP tersebut akan tetap mempertahankan sistem hukum pidana yang ada
sekarang dan tujuan pembentukan RKUHP menjadi tidak tercapai.
Kata Kunci: Pembaharuan Hukum Pidana, Problematika Hukum, RKUHP

59
Yanels Garsione Damanik
Problematika Pencegahan dan Kejahatan di Bidang Ekonomi

ABSTRACT
Because of the complexity of the problem of crime in the economy, the RKUHP
was formed because of the insistence on realizing criminal laws and regulations
in accordance with the current and future circumstances and situations. The
Criminal Code is currently considered unable to answer the legal vacuum
because it cannot be ensnared in various behaviors that harm and threaten the
community, but have not been or are not regulated in the Criminal Code. The
patchwork system of quick solutions is criticized by various criminal experts as
illegal, inconsistent, juridically problematic, and even gnawing, shredding the
parent building system. The problem is that the RKUHP does not regulate
economic crimes specifically. Some criminal acts related to the economy
stipulated in some laws are incorporated into the RKUHP but its formulation is
limited to a few categories of criminal acts, namely criminal acts that endanger
the environment, corporate liability, criminal acts of falsification of stamps, seals,
state stamps, and brands, criminal acts of fraud, and criminal acts of trust in
conducting business. Unfortunately, the drafting team is unclear in setting the
criteria used to select and/or rule out specific criminal acts outside the Criminal
Code into the RKUHP. So it is not clear to what extent the limits of economic
crimes are accommodated in the RKUHP. The articles of the RKUHP that
regulate some economic crimes are also not spared from problems, especially
related to the terms and understandings used in the RKUHP, confusion about
some criminal concepts, and duplication. The settings are selected into the
RKUHP without synchronizing with other criminal settings so that the
arrangement of some criminal acts becomes overlapping. Under these
circumstances, the RKUHP will still maintain the existing criminal law system
and the purpose of establishing the RKUHP will not be achieved.
Keywords: Criminal Law Reform, Legal Problems, RKUHP

60
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

A. PENDAHULUAN
Dalam konteks studi kejahatan, perbuatan pidana disebut sebagai Legal
Definition of Crime. Dalam perspektif hukum pidana, Legal Definition of Crime
dibedakan menjadi apa yang disebut sebagai Mala in Se dan Mala Prohibita.1
Dikatakan sebagai Mala in Se adalah perbuatan-perbuatan yang sejak awal telah
dirasakan sebagai suatu ketidakadilan karena bertentangan dengan kaidah-kaidah
dalam masyarakat sebelum ditetapkan oleh undang-undang sebagai suatu
perbuatan pidana. Mala in Se selanjutnya dapat disebut sebagai kejahatan.2 Salah
satu kejahatan yang menjadi fokus pembahasan penelitian ini adalah Kejahatan
Ekonomi (Economic Crimes).
Secara umum, kejahatan ekonomi dirumuskan sebagai kejahatan yang
dilakukan karena atau untuk motif-motif ekonomi (crime undertaken for
economic motives). Kejahatan ekonomi bisa dilihat secara sempit maupun dalam
arti luas. Secara yuridis, kejahatan ekonomi dapat dilihat secara sempit sebagai
tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7/Drt./1955
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Di
samping itu, kejahatan ekonomi juga dapat dilihat secara luas yaitu semua tindak
pidana di luar Undang-Undang Nomor 7/Drt./1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang bercorak atau bermotif
ekonomi atau yang dapat mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan
perekonomian dan keuangan negara yang sehat.3
Kegiatan di bidang perekonomian dan keuangan negara yang sehat dapat
meliputi bidang yang sangat luas dan saling terkait. Bidang tersebut antara lain
meliputi dalam bidang usaha perdagangan, industri dan perbankan. Pengertian dan
ruang lingkup kejahatan ekonomi dalam arti luas inilah yang dalam istilah asing
biasa disebut dengan istilah Economic Crimes, Crime as Business, Business
Crime, Abuse of Economic Power, atau Economic Abuses.4

1
Piers Beirne dan James Messerschmidt, Criminology, Penerbit Hardcourt Brace College
Publisher, California, 1995, Hlm.13.
2
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Penerbit Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2016, Hlm.101.
3
Supriyanta, Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi, Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan,
Vol.7, No.1 (2007), Hlm.42.
4
Supriyatna, Ibid..

61
Yanels Garsione Damanik
Problematika Pencegahan dan Kejahatan di Bidang Ekonomi

Salah satu kejahatan ekonomi yang menjadi contoh yang diangkat dalam
penelitian ini adalah Kasus Kecurangan Beras yang dilakukan oleh PT Jatisari. PT
Jatisari merupakan perusahaan beras yang memproduksi beras kemasan berbagai
merek. Dari hasil penyidikan diketahui bahwa beras kemasan tersebut tidak sesuai
baik secara label maupun kualitasnya. Terhadap tersangka, dijerat dengan Pasal
62 jo. Pasal 8 ayat (1) huruf E, F dan I, serta Pasal 9 huruf H Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan/atau Pasal 144 jo. Pasal
100 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan/atau
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau Pasal 382 KUHP.
Dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun.5
Lalu terdapat juga kasus 16 pemegang polis asuransi Jiwa Bakrie Life yang
memutuskan melaporkan manajemen Bakrie Life ke Bareskrim Polri karena tidak
memenuhi kewajiban berupa membayar polis. Mereka adalah pemilik produk
Diamond Investa yang diterbitkan oleh Bakrie Life.6 Dalam hal ini, aturan sudah
ketat mengatur namun masih saja kejahatan dalam bidang ekonomi itu terjadi. Di
dalam undang-undang terkait pun sudah banyak yang dibenahi namun tetap saja
para pelaku masih melakukan kejahatan. Dalam proses penegakannya pula
seharusnya sudah memenuhi standar yang ada dan mengikuti peraturan-peraturan
dalam undang-undang, namun tetap saja kejahatan dibidang ekonomi itu terjadi.
Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk menulis mengenai
judul penelitian makalah terkait “Problematika Pencegahan dan Kejahatan di
Bidang Ekonomi”. Adapun rumusan masalah yang akan diangkat oleh penulis
dalam makalah ini adalah Apa Problematika Pencegahan dan Pemberantasan
Kejahatan di Bidang Ekonomi?

5
Putranegara Batubara, Kasus Kecurangan Beras, Polisi: Berkas Direktur PT Jatisari
Masih Diteliti JPU, diakses dari
https://nasional.okezone.com/read/2017/09/29/337/1785643/kasus-kecurangan-beras-polisi-
berkas-direktur-pt-jatisari-masih-diteliti-jpu, diakses pada 12 Desember 2019.
6
Lidya Julita Sembiring, 11 Tahun Digantung, Nasabah Laporkan Bakrie Life ke Polisi,
diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/investment/20190410132901-21-65732/11-tahun-
digantung-nasabah-laporkan-bakrie-life-ke-polisi, diakses pada 12 Desember 2019.

62
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

B. PEMBAHASAN
1. Problematika Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Ekonomi
Hukum pidana ekonomi adalah bagian dari hukum pidana yang mempunyai
ciri tersendiri yaitu sifat ekonomisnya.7 Banyak para praktisi dan akademisi
memberikan definisi tentang apa itu tindak pidana ekonomi. Tindak pidana
ekonomi sebagai suatu bentuk tindak pidana yang melanggar berbagai aturan di
bidang ekonomi jelas mempunyai kerakter sendiri. A. Mulder mengatakan bahwa
hukum pidana ekonomi mempunyai kekhususan yakni8:
a. Sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan atau pasar;
b. Bersifat elastis;
c. Sanksi dapat diperhitung oleh mereka yang bersangkutan.
Tindak pidana ekonomi, seperti yang dikemukakan di atas bersifat elastis
dan tergantung pasar dan adanya kemungkinanan para pihak yang bersangkutan
menetukan sanskinya. Namun dari aspek makro, tindak pidana di bidang ekonomi
berdampak sangat luas yakni dapat merusak bahkan menghancurkan stabilitas dan
pembangunan ekonomi itu sendiri. Secara umum, tindak pidana ekonomi dibagi
menjadi dua pengertian yaitu meliputi pengertian dalam arti sempit dan arti luas.
Terlepas dari perbedaannya, kedua pengertian itu mempunyai persamaan yaitu
keduanya mempunyai motif ekonomi dan/atau mempunyai pengaruh negatif
terhadap kegiatan perekonomian dan keuangan negara serta dunia usaha.9
Tindak pidana di bidang perekonomian dalam arti sempit adalah seluruh
tindakan yang tercantum Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Tindak pidana
jenis ini disebut sempit karena secara substansial memuat sebagian kecil dari
kegiatan ekonomi secara menyeluruh. Undang-Undang Darurat ini mulai berlaku
pada tanggal 13 Mei tahun 1955 karena keadaan yang mendesak yang diakibatkan
oleh kesulitan ekonomi pada saat itu. Undang-undang ini dikeluarkan dengan
harapan dapat mencegah terjadinya kerugian negara pada saat itu.10

7
Kartin S. Hulukati, Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Ekonomi dengan Undang-
Undang Nomor 7/DRT/1955, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 2003, Hlm.41-42.
8
Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1986, Hlm.2.
9
Yoserwan, Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana di
Bidang Ekonomi di Indonesia, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol.40, No.2 (2011), Hlm.124.
10
Patricia Ringiwati, Tindak Pidana Ekonomi dalam RKUHP: Quo Vadis, Penerbit Aliansi
Nasional Refomasi KUHP, Jakarta, 2016, Hlm.3.

63
Yanels Garsione Damanik
Problematika Pencegahan dan Kejahatan di Bidang Ekonomi

Tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah semua tindak pidana di luar
Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan,
dan Peradilan Tindakan Pidana Ekonomi. Hal ini mencakup pelbagai tindak
pidana di bidang perekonomian yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
lainnya seperti Undang-Undang tentang Korupsi, Undang-Undang tentang
Perbankan Undang-Undang Persaingan Perusahaan, Undang-Undang tentang
Asuransi, Undang-Undang tentang Merek, Undang-Undang tentang Paten,
Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup dan lain-lain. Banyak diantara
undang-undang tersebut bersifat administratif, artinya mengatur hal-hal yang
bersifat administrasi tetapi disertai dengan sanksi pidana. Namun, ada juga
undang-undang yang khusus mengatur tindak pidana tertentu seperti Undang-
Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.11
Karena kompleksitas masalah kejahatan di dalam ekonomi, maka
dibentuklah RKUHP dikarenakan adanya desakan untuk mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada masa
kini dan masa yang akan datang. KUHP pada saat ini dinilai sudah tidak dapat
menjawab kevakuman hukum karena tidak dapat dijeratnya berbagai perilaku
yang merugian dan mengancam masyarakat tetapi belum atau tidak diatur dalam
KUHP. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah membentuk berbagai undang-
undang baru secara sektoral. Solusi tersebut bukan tanpa tantangan. Duplikasi
norma aturan dalam KUHP dengan norma di luar KUHP, penjatuhan pidana yang
tidak terstruktur dan sistematis, serta terlalu banyaknya undang-undang yang
membuat ketentuan khusus dan seringnya perubahan norma hukum pidana
merupakan tantangan besar yang dihadapi para ahli dan praktisi hukum.12
Sistem solusi cepat yang tambal sulam tersebut dikritisi oleh berbagai ahli
pidana sebagai tumbuhan liar yang tak bersistem, tak konsisten, bermasalah secara
yuridis, bahkan menggerogoti dan mencabik-cabik sistem bangunan induk.13

11
Patricia Ringiwati, Tindak Pidana Ekonomi dalam RKUHP: Quo Vadis, Penerbit Aliansi
Nasional Refomasi KUHP, Jakarta, 2016, Hlm.3.
12
Shinta Agustuna, Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam Kerangka Pembaruan
Hukum Pidana Indonesia, in Review RUU KUHP dan Upaya Pemberantasan Korupsi, Penerbit
ICW, Jakarta, 2015, Hlm.2. dalam Laporan Akhir Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
13
Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru: Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem
Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Pustaka Magister, Semarang, 2007. dalam NA RUU KUHP.

64
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Tujuan nasional yang dirumuskan pada alinea keempat UUD NRI 1945 tersebut
yaitu: 1) Untuk melindungi segenap bangsa Indonesia; dan 2) Untuk memajukan
kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila. Hal itu berarti ada dua tujuan
nasional, yaitu (Social Defence) dan (Social Welfare) yang menunjukkan adanya
asas keseimbangan dalam tujuan pembangunan nasional.14
Selaras dengan pendapat dengan Prof. Eddy bahwa orientasi dari Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
adalah pada keadilan retributif. Fokus dari keadilan retributif ini adalah
pembalasan dan itu merupakan Relic of Barbarism.15 Sejalan dengan pendapat
Prof. Eddy bahwa hal itu sudah ketinggalan zaman, yang diutamakan adalah RUU
KUHP lebih mengedepankan sebuah keadilan yang korektif, rehabilitatif dan
restoratif. Yaitu keadilan yang berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah.16
Orientasi dari keadilan korektif, rehabilitatif dan restoratif ini fokusnya
adalah menciptakan kaidah hukum yang isinya memberikan sebuah kompensasi
yang memadai bagi pihak yang dirugikan. Tindakan koreksi ini bukan hanya
mengambil keuntungan yang diperoleh oleh satu pihak diberikan kepada pihak
lain dalam arti suatu pembalasan dengan mengizinkan orang yang dilukai untuk
melukai balik. Tetapi timbal balik dalam konteks ini dilakukan dengan pertukaran
atas nilai tertentu sehingga mencapai taraf proporsi.17 Singkatnya, keadilan
korektif adalah keadilan yang digunakan untuk mengembalikan kesetaraan.18
Maka dari itu RUU KUHP ini harus disambut dengan positif dan perlu adanya
proses sosialisasi terhadap masyarakat karena penulis melihat adanya urgensi
politik, sosiologis, dan praktis, dan juga untuk menunjukan identitas kita sebagai
bangsa yang menghargai nilai-nilai yang hidup di masyarakat, serta juga
menghilangkan sebuah Relic of Barbarism yang fokusnya pada pembalasan akan
tetapi beralih pada hukum pidana yang korektif, rehabilitatif dan restoratif.

14
Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 2009, Hlm.43.
15
Marcus Priyo Gunarto, Sikap Memidana yang Berorientasi pada Tujuan
Pemidanaan, Jurnal Mimbar Hukum, Vol.21, No.1, (2009), Hlm.97.
16
Bernard L. Tanya, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintang Ruang dan Generasi,
Penerbit Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, Hlm.42-43.
17
Muchamad Ali Safa’at, Pemikiran Keadilan (Plato, Aristoteles, dan John
Rawls), Penerbit Universitas Brawijaya, Malang, 2011, Hlm.7.
18
H. Herri Swantoro, Harmonisasi Keadilan Dan Kepastian Dalam Peninjauan Kembali,
Penerbit Kencana, Jakarta, 2017, Hlm.180.

65
Yanels Garsione Damanik
Problematika Pencegahan dan Kejahatan di Bidang Ekonomi

Secara teori yang dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul
Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman
yaitu “ Rechtsstaat ”. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara
Hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “ The Rule of
Law ”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan
istilah “ Rechtsstaat ” itu mencakup empat elemen penting, yaitu19:
a. Perlindungan hak asasi manusia.
b. Pembagian kekuasaan.
c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
d. Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap
Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “ The Rule of Law ”, yaitu20:
a. Supremacy of Law.
b. Equality before the law.
c. Due Process of Law.
Keempat prinsip “ Rechtsstaat ” yang dikembangkan oleh Julius Stahl
tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip “ The
Rule of Law ” yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri
Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “ The International
Commission of Jurist ”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan
prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (Independence and Impartiality of
Judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam
setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara
Hukum menurut “ The International Commission of Jurists ” itu adalah21:
a. Negara harus tunduk pada hukum.
b. Pemerintah menghormati hak-hak individu.
c. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

19
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, Makalah, diakses dari
http://www.jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, diakses pada
13 Oktober 2019, Hlm.2.
20
Jimly Asshiddiqie, Ibid., Hlm.3.
21
Jimly Asshiddiqie, Ibid., Hlm.3.

66
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Penulis berpendapat bahwa inilah bentuk dari tanggung jawab Indonesia


terhadap adanya Equality Before the Law dan memberikan apa yang seharusnya
diberikan kepada masyarakat (Sum Qui Que Tribuere), yaitu sebuah keadilan
yang mencerminkan penghargaan dan perlindungan hak asasi manusia (keadilan
korektif, rehabilitatif dan restoratif).22 Lalu dilihat dari teori perjanjian masyarakat
(Theory of Society Agreement) oleh John Locke yang menyatakan bahwa “Ketika
manusia ingin membentuk negara, maka semua hak-hak yang ada pada diri
manusia harus dijamin didalam undang-undang sebagai bentuk penghargaan dan
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia”. Maka oleh karena itu, pembaharuan
RUU KUHP ini adalah bentuk dari peranan pemerintah dalam rangka
penghargaan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.23
Dengan adanya pembaharuan RUU KHUP ini terbentuklah kontrak sosial
yang baru (Upgraded) baik vertikal maupun horizontal antara pemerintah dan
terhadap manusia yang lainnya. Thomas Hobbes berpendapat bahwa “Apabila
terjadi ketiadaan hukum, maka itu akan menimbulkan anarki yang mengerikan.
Manusia kembali ke dalam keadaan alamiah, yaitu dimana tidak ada hukum yang
mengatur maka manusia bisa melakukan penindasan, pembunuhan dan
perampasan terhadap hak asasi manusia. Manusia menjadi Homo Homini Lupus
(serigala bagi manusia yang lainnya) dan Bellum Ominium Contra Omnes (Perang
antar manusia melawan sesamanya).”24
Kondisi seperti itulah yang tidak diinginkan. Maka dengan dasar teori ini
penulis gunakan sebagai analisis terhadap pentingnya dibentuknya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
yaitu dengan adanya KUHP, maka akan tercipta ketertiban dan keamanan di
dalam masyarakat. Lalu pentingnya juga untuk meningkatkan perlindungan dan
penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia maka diperlukan pembaharuan-
pembaharuan dalam RUU KUHP agar tidak ada dengan alasan ketiadaan hukum,
seseorang dengan sesuka hatinya melanggar Hak Asasi Manusia yang lainnya.

22
H. Herri Swantoro, Harmonisasi Keadilan Dan Kepastian Dalam Peninjauan Kembali,
Penerbit Kencana, Jakarta, 2017, Hlm.180.
23
Masyhur Effendi, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional,
Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993, Hlm.29.
24
Daya Negri Wijaya, Kontrak Sosial Menurut Thomas Hobbes dan John Locke, Jurnal
Sosiologi Pendidikan Humanis, Vol.1, No.2 (2016), Hlm.187.

67
Yanels Garsione Damanik
Problematika Pencegahan dan Kejahatan di Bidang Ekonomi

Dan perlu diketahui bahwa pembaharuan RUU KUHP ini adalah juga ciri
dari hukum yang responsif, yaitu sebuah respon negara terhadap belum
diakomodasinya perlindungan dan Hak Asasi Manusia yang belum dijangkau oleh
KUHP sebelumnya. Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan
demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan
untuk membuat pemerintah senang. Melainkan hukum ada demi kepentingan
rakyat di dalam masyarakat. Negara berusaha menjangkau hal itu demi terciptanya
tujuan nasional yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.25
Namun permasalahannya adalah RKUHP tidak mengatur tindak pidana
ekonomi secara khusus. Beberapa tindak pidana yang berkaitan dengan ekonomi
yang diatur dalam beberapa undang-undang dimasukkan ke dalam RKUHP, tapi
perumusannya hanya dibatasi pada beberapa katetori tindak pidana saja yaitu
tindak pidana yang membahayakan lingkungan, pertanggungjawaban korporasi,
tindak pidana pemalsuan materai, segel, cap negara, dan merek, tindak pidana
perbuatan curang dan tindak pidana terhadap kepercayaan dalam menjalankan
usaha. Sayangnya, tim perumus tidak jelas dalam menetapkan kriteria yang
digunakan untuk memilih dan/atau mengesampingkan tindak-tindak pidana
khusus di luar KUHP ke dalam RKUHP. Sehingga tidak jelas sampai sejauh mana
batasan tindak pidana ekonomi diakomodasi dalam RKUHP.
Di dalam pasal-pasal RKUHP yang mengatur mengenai beberapa tindak
pidana ekonomi tersebut pun juga tidak luput dari permasalahan terutama
berkaitan dengan istilah dan pengerti yang dipakai di dalam RKUHP, kerancuan
mengenai beberapa konsep pidana dan duplikasi. Pengaturan dipilih ke dalam
RKUHP tanpa melakukan sinkronisasi dengan pengaturan tindak pidana lainnya
sehingga pengaturan beberapa tindak pidana menjadi tumpang tindih. Dengan
keadaan seperti ini, RKUHP tersebut akan tetap mempertahankan sistem hukum
pidana yang ada sekarang dan tujuan pembentukan RKUHP menjadi tidak
tercapai.

25
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Penerbit Nusamedia, Bandung,
2007, Hlm.2.

68
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Karena kompleksitas masalah kejahatan dalam ekonomi, dibentuklah
RKUHP dikarenakan adanya desakan untuk mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi
pada masa kini dan masa yang akan datang. KUHP pada saat ini dinilai
sudah tidak dapat menjawab kevakuman hukum karena tidak dapat
dijeratnya berbagai perilaku yang merugiakan. Salah satu tujuan nasional
pada alinea keempat UUD NRI 1945, menunjukkan terdapat dua tujuan
nasional, yaitu “perlindungan masyarakat” (social defence) dan
“kesejahteraan masyarakat” (social welfare) yang mencerminkan adanya
asas keseimbangan dalam tujuan pembangunan nasional.
b. Namun permasalahannya adalah RKUHP tidak mengatur tindak pidana
ekonomi secara khusus. Beberapa tindak pidana yang berkaitan dengan
ekonomi yang diatur dalam beberapa undang-undang dimasukkan ke
dalam RKUHP tapi perumusannya hanya dibatasi pada beberapa katetori
tindak pidana saja. Di dalam pasal-pasal RKUHP yang mengatur
mengenai beberapa tindak pidana ekonomi tersebut pun juga tidak luput
dari permasalahan terutama berkaitan dengan istilah dan pengertian yang
dipakai di dalam RKUHP, kerancuan mengenai beberapa konsep pidana,
dan duplikasi. Pengaturan dipilih ke dalam RKUHP tanpa melakukan
sinkronisasi dengan pengaturan tindak pidana lainnya.
2. Saran
Saran yang paling utama adalah untuk badan legilatif di Indonesia (DPR) yaitu
untuk terus mengembangkan hukum pidana ke arah yang lebih baik demi
tercapainya tujuan hukum yaitu, Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan. Lalu
untuk para akademisi dan praktisi dalam hal akan digantinya KUHP yang lama
dengan RUU KUHP yang sebagainya jangan ditanggapi dengan antipati dan
penilaian negatif terhadap RUU KUHP. Para akademisi dan praktisi diharapkan
juga bisa memberikan sumbangsih pemikiran yang kritis terhadap pembaharuan
hukum pidana ke arah hukum yang lebih responsif dan ke arah hukum yang lebih
baik lagi demi tercapainya suatu tujuan hukum.

69
Yanels Garsione Damanik
Problematika Pencegahan dan Kejahatan di Bidang Ekonomi

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Agustuna, Shinta. 2015. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam Kerangka
Pembaruan Hukum Pidana Indonesia, in Review RUU KUHP dan Upaya
Pemberantasan Korupsi. (Jakarta: Penerbit ICW).
Arief, Barda Nawawi. 2007. RUU KUHP Baru: Sebuah
Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. (Semarang:
Penerbit Pustaka Magister). Beirne, Piers dan James Arief, Barda Nawawi.
2009. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan. (Semarang: Penerbit Universitas
Diponegoro).
Effendi, Masyhur. 1993. Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan
Internasional. (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia).
Nonet, Philippe dan Philip Selznick. 2007. Hukum Responsif. (Bandung: Penerbit
Nusamedia).
Messerschmidt. 1995. Criminology. (California: Penerbit Hardcourt Brace
College Publisher).
Hamzah, Andi. 1986. Hukum Pidana Ekonomi. (Jakarta: Penerbit Erlangga).
Hiariej, Eddy O.S.. 2016. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. (Yogyakarta: Penerbit
Cahaya Atma Pustaka).
Ringiwati, Patricia. 2016. Tindak Pidana Ekonomi dalam RKUHP: Quo Vadis.
(Jakarta: Penerbit Aliansi Nasional Refomasi KUHP).
Swantoro, H. Herri. 2017. Harmonisasi Keadilan dan Kepastian dalam
Peninjauan Kembali. (Jakarta: Penerbit Kencana).
Tanya, Bernard L.. 2013. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintang Ruang
dan Generasi. (Yogyakarta: Penerbit Genta Publishing).

Publikasi
Supriyanta. Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi. Jurnal Ekonomi dan
Kewirausahaan. Vol.7. No.1 (2007).
Gunarto, Marcus Priyo. Sikap Memidana yang Berorientasi pada Tujuan
Pemidanaan. Jurnal Mimbar Hukum. Vol.21. No.1, (2009).
Wijaya, Daya Negri. Kontrak Sosial Menurut Thomas Hobbes dan John Locke.
Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis. Vol.1. No.2 (2016).
Yoserwan. Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Tindak
Pidana di Bidang Ekonomi di Indonesia. Jurnal Masalah-Masalah Hukum.
Vol.40. No.2 (2011).

Karya Ilmiah
Hulukati, Kartin S.. 2003. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Ekonomi dengan
Undang-Undang Nomor 7/DRT/1955. Tesis. (Semarang: Universitas
Diponegoro).
Safa’at, Muchamad Ali. 2011. Pemikiran Keadilan (Plato, Aristoteles, dan John
Rawls). Makalah. (Malang: Universitas Brawijaya).

70
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020)
Tema/Edisi : Hukum Pidana (Bulan Ketujuh)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Website
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Negara Hukum Indonesia. Makalah. diakses dari
http://www.jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indon
esia.pdf. diakses pada 13 Oktober 2019.
Batubara, Putranegara. Kasus Kecurangan Beras, Polisi: Berkas Direktur PT
Jatisari Masih Diteliti JPU. diakses dari
https://nasional.okezone.com/read/2017/09/29/337/1785643/kasus-
kecurangan-beras-polisi-berkas-direktur-pt-jatisari-masih-diteliti-jpu.
diakses pada 12 Desember 2019.
Sembiring, Lidya Julita. 11 Tahun Digantung, Nasabah Laporkan Bakrie Life ke
Polisi. diakses dari
https://www.cnbcindonesia.com/investment/20190410132901-21-65732/11-
tahun-digantung-nasabah-laporkan-bakrie-life-ke-polisi. diakses pada 12
Desember 2019.

Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 27. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 801.
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum
Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1958 Nomor 127. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1660.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 122. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5164.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5360.
Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Sumber Lain
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.

71

Anda mungkin juga menyukai