Anda di halaman 1dari 19

IMPLEMENTASI UUD RI TAHUN 1945 PASAL 29 AYAT 2

dalam KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA, dan


BERNEGARA

D
I
S
U
S
U
N
OLEH
NAMA : LIAN AGUS HUTAURUK
KELAS : TPJJ I-A
PRODI : TEKNIK PERANCANGAN JALAN
JEMBATAN

POLITEKNIK NEGERI MEDAN

2015

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas seluruh berkat dan kasih
karunia yang di berikanNya tanpa perhitungan maupun pertimbangan apapun hingga
penulisan makalah yang membahas tentang Implementasi UUD RI 1945 pasal 29 ayat 2
dalam bermasyarakat ini dapat di rampungkan.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu, mendukung, dan yang serta memberikan masukan referensi dan
kritik dalam penyelesaian makalah ini.

Saya sangat menyadari bahwa kemungkinan besar dalam pembahasan makalah


ini ada suatu kesalahan yang di dapati secara sadar maupun tidak sadar, tidak lain
karena pembahasan ini adalah subyektif dan hasil interpretasi murni penulis terhadap
pendapat maupun referensi terhadap pasal 29 ayat 2, oleh karena itu saran dan kritik
yang bersifat mendukung sangat di harapkan. Dan Jika ada kesalahan dalam penulisan
makalah ini, saya mohon maaf yang sebesar - besarnya. Untuk itu, penulis berharap
makalah ini bermanfaat bagi pengembangan dan pengetahuan kita semua.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih.

2
DAFTAR ISI

 Halaman Judul ............................................................................................1


 Kata Pengantar ............................................................................................2
 Daftar isi .....................................................................................................3
 BAB I ( PENDAHULUAN )

A. Latar Belakang ...............................................................................4


B. Pengertian........................................................................................5
C. Ruang Lingkup................................................................................5
D. Rumusan Masalah...........................................................................5
E. Metode Pendekatan ........................................................................6

 BAB II ( PEMBAHASAN )

A. Pengertian Hak Kebebasan beragama .............................................7


B. Agama dikatakan sesat ...................................................................14
C. Penerapan kebebasan beragama di Indonesia ................................15

 BAB III ( PENUTUP )

A. Kesimpulan ....................................................................................18
B. Saran ..............................................................................................18

 Daftar Pustaka .............................................................................................19

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

UUD 1945 merupakan dasar Negara yang diharapkan menjamin perjalanan


kehidupan bangsa beserta warganya, tentunya dalam suatu sistem ketata-negaraan
mutlak hukumnya adanya suatu perundang-undangan atau peraturan yang mana
fungsi utama dari kesemuanya itu adalah guna mengatur dan mengendalikan arah
suatu sistem negara agar tidak melenceng dari jalurnya. tentunya dalam seluruh
aspek kehidupan bernegara, berbangsa,beragama, dan bermasyarakat di satu tanah air
yaitu indonesia. 
    Suatu negara yang demokrasi dan berlandaskan hukum ini tidak melarang
adanya suatu kepercayaan yang di anut oleh warga negaranya sendiri, dan tentunya
harus dilindungi dengan suatu perundang-undangan yang jelas, tegas yang mana
menjamin keamanan dalam menjalankan kehidupan beragama dalam suatu negara.
Kebebasan beragama merupakan amanat konstitusi. Dalam UUD 45 Pasal 29 ayat
(2) disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” Dalam hal ini Negara khatulistiwa atau Indonesia ini memiliki
suatu perundang-undangan yang mengatur urusan tentang kehidupan beragama yakni
terdapat pada pasal 29 ayat 1 dan 2, namun pembahasan pada makalah ini adalah
seputar menganalisa seberapa jauh implementasi UUD 1945 ayat 2 pada pasal 29
dalam sistem perundang-undang NKRI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Walaupun sudah adanya suatu Undang-undang yang menjamin hak untuk
memeluk agama, namun persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan di
Indonesia hingga kini masih menjadi problem yang sangat serius dan banyak
mendatangkan konflik di tengah masyarakat seakan-akan implementasi peraturan
memeluk agama tidak berfungsi.

4
B. Pengertian
UUD 1945 dapat diartikan menurut sesudah dan sebelum diamandemen.
Pengertian UUD 1945 sebelum amandemen ialah keseluruhan naskah yang terdiri
dari 3 (tiga) bagian:
I. Pembuakaan yang terdiri dari 4 alinea
II. Batang tubuh UUD 1945 yang berisi pasal 1 s.d. 37 yang dikelompokkan dalam
16 Bab, 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan
III. Penjelasan UUD 1945 yang terbagi dalam Penjelasan Umum dan Penjelasan
Pasal demi pasal.

sedangkan setelah amandemen pengertian UUD 1945 ialah keseluruhan naskah


yang terdiri dari 2 (dua) bagian:
I. Pembukaan yang terdiri atas 4 alinea
II. Pasal-pasal yang terdiri atas 20 Bab, 73 Pasal, 170 ayat, 3 Pasal aturan peralihan,
dan 2 Pasal Aturan Tambahan

C. Ruang Lingkup
Makalah ini membahas seputar Implementasi UUD RI tahun 1945 pasal 29 ayat
2 dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.

D. Rumusan Masalah
Adapaun rumusan masalah yang ingin penulis cari permasalahannya ialah:
1.      Apakah maksud dari Hak kebebasan beragama tersebut ?
2.      Siapa yang berhak menyatakan bahwa suatu agama dikatakan sesat ?
3.      Bagaimana penerapan kebebasan beragama di Indonesia ?

5
E. Metode Pendekatan
Indonesia adalah negara yang tergolong demokrasi soal kebebasan beragama.
Terbukti, Departemen Agama dibentuk dalam rangka memenuhi kewajiban
pemerintah untuk melaksanakan isi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29. Pasal
tersebut berbunyi,
ayat (1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan yang Maha Esa,
ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Dalam UUD 1945 pasal 29 tercantum kalimat “agamanya
dan kepercayaannya itu”. Menurut kaidah bahasa Indonesia dan berdasarkan
penjelasan Bung Hatta bahwa kata-kata “itu” di belakang kata “kepercayaan” dalam
pasal tersebut menunjukkan makna kesatuan di antara agama dengan kepercayaan.
Namun yang terjadi hidup beragama masih diwarnai dengan berbagai tindakan
radikalisme, kurang toleransi muncul dalam bentuk aksi-aksi kekerasan massa.
Sebagai contoh :
1. Pembakaran Gereja HKI di Singkil, Aceh yang terjadi baru-baru ini.
2. pembakaran Yayasan Doulos sampai hari ini tidak pernah disidangkan, atau
kekerasaan terhadap pendeta HKBP di Rajek, Tangerang beberapa waktu
lampau tidak jelas keadilan pemerintah.
3. Di tingkat masyarakat, terjadi pembrondongan terhadap kebebasan beragama
karena fanatisme yang mengharamkan pluralisme. Dan menghalalkan
penutupan dan pengrusakkan rumah ibadah.
Anehnya, kasus-kasus seperti ini selalu diabaikan. Yang menunjukkan demokrasi
belum berdiri tegak di Indonesia ini. Padahal, hak menganut dan mendirikan ibadah
adalah hak hakiki yang dijamin undang-undang. Perubahan SKB Dua Menteri
diganti dengan Peraturan Bersama (Perber) pun tidak memberikan solusi, malah
menyuburkan perusakan rumah ibadah. Gejala lain yang juga mengganggu prinsip
(demokrasi) kebebasan beragama adalah dikeluarkan-nya apa yang disebut perda-
perda syariah, mengharusan bagi pegawai perempuan pemerintah daerah untukn
memakai jilbab. Kasus di beberapa daerah menjadi sumber konflik. Di Sumatera
Barat misalnya, siswi Kristen disuruh pakai kerudung. Masalahnya bukan anti
peraturan, melainkan peraturan produk kebudayaan Arab tidak bisa dipakai, di
Indonesia yang berdasarkan masyarakat majemuk.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Kebebasan Beragama


      Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948 menyatakan setiap orang berhak
atas kebebasan agama (Pasal 18). Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik
mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18). Definisi hak
kebebasan beragama secara formal terdapat dalam DUHAM, tepatnya dalam Pasal
18 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan batin dan agama,
dalam hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan
kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara
mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang
tersendiri.”
   Pasal tersebut menjelaskan mengenai hak kebebasan beragama yang terdiri dari
hak untuk beragama, hak untuk berganti agama, hak untuk mengamalkan agama
dengan cara mengajarkannya, melakukannya baik secara sendiri ataupun kelompok
dan di tempat umum atau tempat pribadi.
Pada tahun 1993 Komite HAM PBB dan sebuah badan independen yang terdiri
dari 18 orang ahli menjelaskan agama atau keyakinan sebagai :“ Theistic, non-
theistic and atheistic belief, as well as the right not to profess any religion or belief.”
Definisi tersebut telah menjelaskan bahwa agama atau keyakinan dapat berbentuk
ketuhanan, non ketuhanan, tidak bertuhan dan tidak mengakui sama sekali agama
atau keyakinan tertentu. Di AS pemahaman mengenai freedom of religion, baik
dalam arti positif maupun negatif seperti diungkapkan Sir Alfred Denning bahwa
kebebasan beragama berarti bebas untuk beribadah atau tidak beribadah, meyakini
adanya Tuhan atau mengabaikannya, beragama Kristen atau agama lain atau bahkan
tidak beragama (Azhary, 2004, dalam Triyanto, 2008).
Pengertian kebebasan beragama seperti yang ada dalam deklarasi umum PBB
tentu saja bersifat sangat liberal, dan nampak didominasi budaya Barat. Ini berbeda
dengan konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia mengandung
konotasi positif. Artinya, tidak ada tempat bagi ateisme atau propaganda antiagama
di Indonesia.

7
Di Indonesia, Semula, rancangan awal pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI
berbunyi: “Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lantas diubah lewat keputusan rapat PPKI, 18
Agustus 1945 menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan
ini menghilangkan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya), yang justru dipandang prinsipil bagi kalangan nasionalis-
Islam. Rumusan inilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga sekarang dan
tidak mengalami perubahan meski telah empat kali mengalami amandemen: 1999,
2000, 2001, dan 2002. Itu tidak berarti tidak ada usaha serius dari sebagian kalangan
Islam untuk mengubah prinsip dasar pasal tersebut. Rekaman perdebatan di sidang-
sidang MPR era Reformasi membuktikan dengan jelas dinamika usaha-usaha
tersebut. Rapat-rapat PAH I BP MPR tahun 2000 mencatat ada tiga opsi usulan
fraksi-fraksi MPR berkaitan dengan pasal 29 tadi.
Pertama, mempertahankan rumusan pasal 29 sebagaimana adanya tanpa
perubahan apapun; kedua, mengubah ayat 1 pasal 29 dengan memasukkan “tujuh
kata” dalam Piagam Jakarta ke dalamnya seperti rumusan hasil siding BPUPKI 1945;
dan ketiga, berusaha mengambil jalan tengah dari kedua usulan tersebut, yakni
dengan menambahkan satu ayat lagi dari pasal 29 tersebut dengan redaksi yang
beragam, di antaranya: “Penyelanggara Negara tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai, norma-norma, dan hukum agama” (diusulkan oleh Partai Golkar);
“Negara melarang penyebaran faham-faham yang bertentangan dengan Ketuhanan
Yang Maha Esa” (diusulkan oleh PPP); dan “Tiap pemeluk agama diwajibkan
melaksanakan ajaran agamanya masing-masing” (diusulkan oleh Partai Reformasi).
Menarik pula dicatat di sini bahwa perdebatan di MPR tentang pasal 29 itu
mencakup juga soal pengertian kepercayaan. Sejumlah fraksi di MPR seperti fraksi
Partai Demokrasi Indonesia, fraksi Bulan Bintang mengusulkan untuk
menghapuskan kata-kata “kepercayaan itu” dari rumusan yang ada karena dianggap
membingungkan. Hasil perdebatan panjang di MPR untuk amandemen UUD 1945
menyimpulkan, pasal 29 akhirnya diputuskan untuk tetap kembali pada rumusan
semula seperti ditetapkan dalam siding PPKI. Maka tidak berlebihan untuk
mengatakan, di Tanah Air masalah kebebasan beragama adalah masalah yang rumit
dan kompleks. Tidak hanya dalam rumusan regulasinya tetapi juga masalah
pelaksanaannya di lapangan.

8
Sejarah mencatat, ribuan menjadi korban kekerasan agama sepanjang dari Orde
lama hingga Orde Reformasi, baik oleh negara maupun masyarakat sipil. Setidaknya
terdapat tiga ranah masalah yang muncul dalam problem rumit isu kebebasan
beragama. Pertama, ranah negara dengan berbagai aparaturnya (pemerintah, polisi,
pengadilan, dll); kedua, ranah hukum. Terkait isu kebebasan beragama isu-isu hukum
yang muncul diantaranya tentang penyiaran agama, bantuan asing, pendirian rumah
ibadah, pendidikan keagamaan, dan perda-perda bernuansa syariat Islam. Ketiga,
ranah masyaraka sipil. Di level ini tantangan paling serius adalah menguatnya arus
gerakan Islamisme, tidak hanya di pusat tapi juga didaerah. Selain itu, patut juga
dipertimbangkan peran media dan ormas-ormas dalam membangun karakter
masyarakat yang lebih toleran.
Pada masa Kebebasan Beragama di Era Orde memang seperti nyaris sempurna
melakukan intervensi terhadap kehidupan beragama di tanah air. Intervensi ini
setidaknya mengambil tiga bentuk. Pertama, campur tangan negara terhadap
keyakinan dan kehidupan keberagamaan warga. Rezim banyak melakukan
pelarangan terhadap buku, perayaan atau kelompok keagamaan tertentu yang dinilai
bisa menganggu dan melakukan perlawanan atas kekuasaannya. Selama dua tahun
masa awal kekuasaannya, Orde Baru telah melarang lebih dari seratus aliran
kepercayaan atau kebatinan yang berhaluan kiri. Namun begitu, tidak berarti masalah
kebebasan beragama tidak memiliki payung konstitusi yang kukuh. Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 29 jelas menegaskan masalah ini: (1) “Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa.” (2). “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.” Ini senafas dengan isi Deklarasi Universal PBB
1948 tentang HAM, pasal 18, yakni :
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal
ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk
menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya,
melakukannya, beribadat dan manaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.” Menarik bahwa konstitusi
Indonesia lebih dahulu memuat soal jaminan kebebasan beragama daripada
Deklarasi HAM. Itulah sebabnya, mengapa Indonesia bisa dengan mudah
menerima deklarasi tersebut. Untuk menunjang pelaksanaan pasal 29 (2) UUD

9
1945 itu pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 1/PNPS/1965 tentang
pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan oleh
UU No. 5/1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden sebagai Undang-Undang. Pasal 1 menyebutkan, “Setiap orang dilarang
dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan
dikungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang
dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan- kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan
kegiatan mana menyimpang dari pokok- pokok ajaran agama”.
Sepintas, aturan hukum tersebut cukup netral, yakni sekadar mengingatkan
warga negara untuk bersikap hati-hati melemparkan tuduhan yang menodai
komunitas agama, seperti melontarkan sebutan “kafir”. Artinya, aturan itu berlaku
umum bagi segenap komunitas agama dan kepercayaan atau komunitas penghayat.
Akan tetapi, ketetapan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di awal Januari
1965, dan kemudian dukukuhkan oleh pemerintah Soeharto pada 1969, membawa
implikasi luas dalam kebebasan beragama di Indonesia pada masa-masa berikutnya.
Penetapan itu justru digunakan sebagai legimitasi untuk “mengamankan” agama-
agama resmi yang diakui Negara (Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha)
terhadap tindakan penyimpangan dan penistaan dari kelompok-kelompok agama atau
kepercayaan lain. Bahkan dijadikan pula alat untuk mengamankan stabilitas
kekuasaan Negara. Kondisi inilah yang membahayakan kehidupan beragama, yakni
agama dijadikan alat politik bagi penguasa. Mulailah terjadi politisasi agama untuk
kepentingan penguasa. Dalam perkembangan berikutnya, pemerintah mengeluarkan
kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPR tahun 1998 No.
XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia sebagai
tertera pada pasal 13: “Setiap orang bebas memeluk agama masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketentuan ini sejalan dengan
rumusan yang terdapat dalam UUD 1945.
Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana dinyatakan dalam
TAP MPR No. XVII tahun 1998, bab X mengenai Perlindungan dan Pemajuan
HAM, pasal 37: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai

10
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun (non-derogable). ”Bentuk intervensi kedua Orde Baru adalah melalui
pendifinisian “agama resmi” dan “tidak resmi”. Dengan cara ini Orde Baru
mengontrol kelompok keagamaan lain di luar “agama resmi” yang dianggap
membahayakan kekuasaannya melalui tangan agama-agama resmi. Ini membuktikan
bahwa di masa-masa itu negara ingin menjadikan agama-agama resmi sebagai
perpanjangan tangan kekuasaan. Pendefinisian ini muncul dalam bentuk keluarnya
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 yang antara lain
menyebutkan: Agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik,
Kristen/Protestan, Hindu, dan Buddha. Kelompok-kelompok yang jelas menjadi
korban adalah kelompok-kelompok kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur,
Kuningan, komunitas Parmalim di Medan, komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan,
dan komunitas Kaharingan di Kalimantan. Pada saat yang sama kehadiran UU No.
1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang
dikukuhkan UU No. 5/1969, jelas menguntungkan arus mainstream dalam agama-
agama resmi untuk mengontrol tumbuhnya kelompok “pembaharu” dalam tubuh
mereka, yang mungkin juga bisa mengganggu kekuasaan Orde Baru. Tidak heran
jika kemudian muncul lembaga-lembaga seperti MUI, WALUBI, PGI, KWI dan
HINDUDHARMA. Kelompok-kelompok inilah yang diberi wewenang mengontrol
bentuk-bentuk kegiatan dan tafsir keagamaan di masyarakat. Kemurnian dan
keshahihan tafsir yang benar pada gilirannya akan dijadikan dalih untuk mengontrol
dan mengendalikan sejauhmana praktik-praktik keagamaan yang dijalankan seorang
individu atau kelompok masyarakat menyimpang atau tidak dari garis-garis pokok
ajaran keagamaan atau dikatakan sebagai induk agama. Dalam Islam misalnya, kasus
penyimpangan terhadap tafsir mayoritas ditunjukkan dalam kasus Ahmadiyah. Di
beberapa daerah, hak-hak mereka dibatasi, mulai dari soal membangun tempat
ibadah hingga ke persoalan ibadah haji. Bahkan di Lombok, Tasikmalaya, dan
Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mereka mengalami pengusiran dan pengrusakan
pemukiman dan tempat-tempat ibadah mereka. Dengan pola intervensi ini tak heran
berbagai varian dalam kelompok-kelompok keagamaan tidak muncul ke permukaan.
Yang mampu bertahan adalah yang mampu menyiasati kekuasaan Orde Baru. Sebut
saja kehidupan kelompok sempalan seperti Darul Hadis Islam Jamaah yang dianggap

11
menyimpang dari arus maenstream. Dengan mendukung partai penguasa dan
merubah nama menjadi Lemkari (Lembaga Karyawan Islam) atau LDII (Lembaga
dakwah Islam Indonesia), kelompok ini mampu bertahan sampai hari ini. Ini berbeda
dengan yang dialami Darul Arqam. Kelompok tersebut dinyatakan sebagai kelompok
“terlarang”. Sementara pola intervensi yang terakhir adalah proses kolonisasi agama-
agama mayoritas terhadap kelompok kepercayaan atau agama-agama lokal sebagai
dampak dari kebijakan dari pendefinisian “agama resmi”. Beberapa kelompok seperti
komunitas Sunda Wiwitan, Parmalim, Tolotang, dan Kaharingan menjadi target dari
kolonisasi agama resmi melalui islamisasi atau kristenisasi. Sistuasi ini mendapat
legitimasi hukum dengan dirilisnya TAP MPR No.II/MPR/1998 tentang GBHN.
Pada penjelasan tentang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (TYME) menyebutkan (butir 6): Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dibina dan diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan
hidup bermasyarakat. Melalui kerukunan hidup umat beragama dan penganut
kepercayaan kepada TYME terus dimantapkan pemahaman bahwa kepercayaan
terhadap TYME adalah bukan agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan
agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan
untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh Negara. Pembinaan penganut
kepercayaan terhadap TYME merupakan tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat. Jelas sekali bahwa Surat Edaran menteri dan TAP MPR di atas
bertentangan denga prinsip kebebasan beragama yang terkandung dalam UUD 1945.
Prinsip UUD 194 semestinya hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah
mengambil langkah melalui perundang-undangan untuk mengatur agar kebebasan
beragama serta kebebasan mengamalkan ajaran agama dan berdakwah jangan sampai
mengganggu keserasian dan kerukunan hidup beragama yang dikhawatirkan akan
membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan, bukan
membatasi definisi dan jumlah agama.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin oleh Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945, yang menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan
berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945
dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Pasal 22 UU No 39/1999 tentang
HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.

12
Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau
kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara
individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk
memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya.
Soalnya adalah, jika dalam DUHAM, Deklarasi Kairo maupun di dalam UU
HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan telah dijamin, mengapa masih ada
kekerasan atas nama agama?
Dalam serangkaian kasus kekerasan berbasis agama di Indonesia akhir-akhir ini,
kita dapat melakukan analisis berdasarkan pada ketentuan normatif yang berlaku,
baik yang ada dalam DUHAM, DK, UUD’45, UU HAM maupun KUHP. Kasus-
kasus tersebut di atas tadi memperlihatkan bahwa berbagai ketentuan HAM maupun
perundangan-undangan telah dilanggar.
Soalnya adalah, siapa yang harus menjamin agar para pemeluk agama dan
keyakinan yang menoritas ini dapat melaksanakan ajaran agama dan kepercayaannya
itu dengan tenang, aman dan tanpa ancaman?
UUD’45 pasal 18 telah menyebutkan bahwa negara, khsusunya pemerintahlah yang
berkewajiban untuk menghormati, melindungi, memajukan dan memenuhi Hak Asasi
Manusia.
Demikian juga UU No.39/1999 pasal 71 dan 72 menegaskan bahwa jaminan itu
menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya.
  Seutuhnya bunyi UU 39/1999 mengenai HAM, (Pasal 71) adalah demikian :
“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,melindungi,
menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-
undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional
tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”.
Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana diatur pasal 71, meliputi
langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, keamanan negara, dan bidang lain. (Pasal 72)
Tentu ada masalah, ketika undang-undang telah memberikan mandat, tetapi
dalam praktiknya di lapangan,  aparat keamanan negara terkesan membiarkan
kelompok-kelompok “penguasa dunia moral” dengan cara brutal menghakimi
kelompok lain yang agama dan keyakinannya berbeda. Ada apa semua ini? Ada yang
bilang bahwa semua itu hanyalah karena kasus perizinan. Ada juga yang menduga

13
polisi di tingkat bawah takut dituduh melanggar HAM, dan takut dihukum oleh
atasannya jika bertindak keras; ada analisis lain yang melihatnya sebagai akibat dari
kepemimpinan nasional yang lemah, dan sebagainya.
Ditengah berbagai ketidakmenentuan ini, termasuk ketidakmenentuan analisis
terhadap berbagai kasus kekerasan berbasis agama tersebut, maka sudah waktunya
dibangun gerakan advokasi yang kuat, agar yang tidak menentu itu bisa lebih pasti.
Terutama kepastian bahwa mereka yang melanggar hukum harus ditindak secara
tegas, sesuai peraturan yang berlaku. 
B. Siapa yang berhak menyatakan bahwa suatu agama dikatakan sesat ?
Menurut pasal 2 ayat (2) UU Penodaan Agama, kewenangan menyatakan
suatu organisasi/aliran kepercayaan yang melanggar larangan penyalahgunaan
dan/atau penodaan agama sebagai organisasi/aliran terlarang ada pada Presiden,
setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri. Pada prakteknya, ada Badan Koordinasi Pengawasan Kepercayaan
Masyarakat atau biasa disingkat Bakor Pakem. Sebenarnya yang dimaksud Bakor
Pakem adalah Tim Koordinasi Pengawasan Kepercayaan yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Jaksa Agung RI No.: KEP004/J.A/01/1994 tanggal 15 Januari 1994
tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan
Masyarakat (PAKEM).
Tim Pakem ini bertugas mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang tumbuh dan
hidup di kalangan masyarakat. Tim Pakem ini kemudian akan menghasilkan suatu
surat rekomendasi untuk Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri,
tindakan apa yang harus diambil. Dalam kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (“JAI”),
misalnya, Tim Pakem memberikan rekomendasi agar JAI diberi peringatan keras
sekaligus perintah penghentian kegiatan.

14
C. Penerapan Kebebasan beragama di Indonesia
Dalam UUD 1945 Pasal 29 sangat tegas disebutkan bahwa, “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Pasal ini merupakan
bentuk perlindungan negara terhadap semua umat beragama di Indonesia. Pasal
tersebut juga merupakan bentuk peneguhan dan penegasan bahwa Negara Indonesia
didirikan bukan atas dasar satu agama saja, tetapi memberikan kedudukan yang sama
bagi semua agama yang berkembang di Indonesia.Konsepsi satu untuk semua
merupakan kesepakatan bersama para pendiri bangsa dengan melihat realitas
kemajemukan bangsa.
Sebagai bangsa yang majemuk pluralistis, tentunya Indonesia mempunyai
potensi konflik yang sangat tinggi, terutama konflik antaragama. Karena itu dalam
rangka menciptakan kerukunan umat beragama, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Bersama (Perber) dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.
Di Indonesia sendiri kebebasan beragama diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945. Pemerintah secara resmi mengakui enam agama, dan beberapa larangan
hukum terus berlaku terhadap beberapa jenis kegiatan keagamaan tertentu yang
dianggap dapat menyinggung agama lain. Kebebasan beragama dianggap diatur
secara tertulis pada undang-undang dengan tujuan agar HAM masyarakat dapat
terwujud dengan baik dan benar. Dengan kata lain, pemerintah sebenarnya
menyalahkan tindakan-tindakan anarkis yang dilakukan atas dasar agama tertentu.
Namun fakta berbicara lain sehingga dapat disimpulkan bahwa secara umum di
Indonesia penerapan peraturan mengenai kebebasan beragama masih kurang tegas
dalam pelaksanaannya.

15
Contoh beberapa situasi ragam aksi kekerasan dan pemaksaan kehendak
berdasarkan tafsir kelompok tertentu terjadi di bumi pertiwi ini, yang terjadi baik
dilakukan kelompok masyarakat maupun pemerintah ;
1. Perda-perda bernuasa Syariat Agama. Beberapa daerah di Indonesia, para
pimpinan setempat menerapkan praktek agama yang lebih ketat . Misalnya, di
kabupaten Cianjur, beberapa kabupaten maupun kotamadya Sumatera Barat,
Gowa, Maros dll. ada peraturan daerah mengharuskan semua pegawai
pemerintahan maupun siswa sekolah untuk mengenakan pakaian Muslim.
Beberapa penduduk mengatakan bahwa pihak berwenang mencampuri urusan
pribadi mereka. Bahkan praktek-praktek agama Islam yang lebih ketat
memberikan waktu untuk para pegawai untuk menjalankan shalat berjamaah.
Contoh lain adalah munculnya Rancangan Perda (raperda) Kota Injilm di
MonokwariPapua.
2. Kaum perempuan di Tangerang mengalami pembatasan dalam ruang publik
setelah keluarnya Perda No 8 tahun 2005. Terjadi pembatasan aktivitas
perempuan di waktu malam hari. Dan peristiwa penangkapan seorang perempuan
buruh pabrik menjadi bukti bahwa peraturan yang ada sangat diskriminatif dan
membatasi hak ekonomi kaum perempuan untuk bekerja mencari nafkah.
3. Penerapan UU Perlindungan Anak 2002 telah memenjarakan 3 orang perempuan
di Indramayu, Jawa Barat yang ditangkap pada 13 Mei 2005 dengan alasan
berusaha menarik anak-anak Muslim masuk Kristen. Para perempuan tersebut
ditangkap setelah anggota komunitas mengeluhkan bahwa pada saat dilakukannya
program sekolah Minggudi rumah mereka, mereka memberikan kotak pensil dan
kaos kepada para pengunjung, termasuk anak-anak Muslim.
4. Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan ijin dari Departemen Agama
untuk memberikan jenis bantuan apapun (baik dalam bentuk bantuan itu sendiri,
personil, maupun keuangan) kepada kelompok-kelompok keagamaan di dalam
negeri. Walaupun pada umumnya pemerintah tidak melaksanakan persyaratan ini,
beberapa kelompok Kristen menyatakan bahwa pemerintah menerapkannya lebih
sering kepada kelompok minoritas daripada kepada kelompok mayoritas Muslim.

16
5. Peraturan bersama 2 Menteri. Sebelum dan sesudah adanya PBM no 9 dan 8 2006
terjadi aksi penutupan rumah ibadah Kristiani terjadi secara serentak dan
terencana. Dalam beberapa kejadian terjadi aksi kekerasan yang terjadi di depan
aparat keamanan pemerintah dan ada kesan pembiaran terhadap aksi kekerasan,
terjadi dalam aksi penutup tiga gereja di Perumahan Jatimulya, Bekasi (sampai
tulisan ini dibuat aksi ketidakadilan masih terjadi, pembongkaran rumah ibadah
oleh pemerintah kabupaten Bekasi).
6. Pada tanggal 8 Maret 2007, 200 anggota FPI dan Forum Betawi Rempug,
menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di Jakarta Timur yang
menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena merasa terganggu dengan kegiatan
mahasiswa juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat
fakta bahwa sekoah tersebut memiliki ijin.
7. Aksi anarkis dilakukan FPI pada saat hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2008 di
Monas. Dalam suasana semangat kabangsaan yang ada, peristiwa kekerasan
terjadi hanya karena perasaan tidak suka. Sungguh sebuah keadaan yang
memalukan dalam negara Pancasila. Demikian hanya beberapa contoh kecil
ragam persoalan yang terjadi seputar kebebasan beragama dan berkeyakinan dan
disayangkan apa yang terjadi dan bila mencermati Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan
berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD
1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Konvensi Internasional Hak
Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18)
maupun Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai
kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan
untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri.
Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam
masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau
keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya.

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berbicara tentang hubungan antar agama, maka membicarakan mengenai
pluralisme agama. Pluralisme agama sendiri dimaknai secara berbeda-beda bagi
setiap orang. Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita
adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama.
Wacana pluralisme agama adalah setiap umat beragama didunia pasti berbeda,
tetapi juga terdapat titik temu secara teologis antara umat-umat beragama.
Sesungguhnya tidak ada yang namanya absolutisme agama, hal itu berarti antar umat
beragama tidak bisa menyalahkan ajaran agama orang lain yang dapat dilakukan
hanya menghargai agama orang lain. Dengan demikian apabila seorang penganut
mengatakan perkataan agama lain itu salah maka yang sesungguhnya salah adalah
orang tersebut karena secara tidak langsung ia menyalahkan yang Tuhan dan bahkan
menyamakan dirinya dengan Tuhan. Oleh karena itu, pengertian dan pemahaman
tentang agama jelas bukan agama itu sendiri dan karena itu tidak ada alasan untuk
secara mutlak menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain. Negera Indonesia
menjamin kemerdekaan untuk beragama bagi rakyat dengan adanya peraturan-
peraturan pemerintah. Indonesia bukan negara agama tetapi negara yang beragama.

B. Saran
Dalam suasana reformasi yang menuntut perubahan paradigma segala bentuk
ketentuan perundangan berbagai ras yang diskriminatif perlu diganti. SKB Menag-
Mendagri 1969 amat merugikan semua agama di Indonesia, terutama sekali gereja-
gereja telah mengalami penderitaan yang amat dalam sehubungan dengan SKB
tersebut. Secara hukum, konstitusional, material, teologis, SKB itu amat
kontraproduktif dan diskriminatif. Tak ada pilihan lain kecuali pemerintah
mencabutnya dan mengupayakan agar ada penyamaan izin pembangunan rumah
ibadah dengan izin bangunan-bangunan yang lain. Saran penulis dalam makalah ini
marilah kita menjaga persaudaraan walaupun berbeda agama dengan mengormati
dan menghargai satu sama lain.

18
DAFTAR PUSTAKA

http://inline-infoonline.blogspot.co.id/2015/08/makalah-kebebasan-beragama-dan.html

http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/01/dalil-mendirikan-negara-berdasarkan-syariah-islam

http://wulandari-adja.blogspot.co.id/2013/03/hak-dan-kewajiban-warga-negara-pasal-
29.html

https://martinmanao.wordpress.com/ilmu-hukum/

https://www.academia.edu/7558208/
MAKALAH_UNTUK_MEMENUHI_TUGAS_MATAKULIAH

19

Anda mungkin juga menyukai