Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

METABOLISME PROTEIN, GANGGUAN DAN


PENANGGULANGANNYA

Dosen pengampu :

Dr. Murniaty Simorangkir, M.S

Disusun Oleh:

Sandy Yudha 8216141002

Andalia Asmi 8216141005

PENDIDIKAN KIMIA

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2022
i

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Swt, Tuhan Sang Pencipta dan Pemilik seluruh jagat raya
dan segala isinya. Sholawat dan salam kami curah kepada panutan manusia, Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga, sahabat, dan siapapun yang mengikuti Beliau sampai akhir zaman.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Murniaty
Simorangkir, M.S, selaku dosen mata kuliah Biokimia Lanjutan yang telah memberikan arahan
dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini, serta pihak lainnya yang telah memberikan
dukungan moral maupun materil sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini, masih terdapat banyak kekurangan
sehingga hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan. Atas semua itu dengan rendah hati penulis harapkan kritik dan
saran yang membangun guna menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat.

Medan, November 2022

Penulis
ii

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................................2
1.3. Tujuan...............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................3
2.1. Pengertian Spektroskopi Emisi Atom...............................................................................3
2.2. Prinsip Kerja AES.............................................................................................................3
2.3. Analisis Kuantitatif dan Kualitatif....................................................................................4
2.4. Bagian Alat dan Fungsinya...............................................................................................5
2.5. Cara Kerja Alat.................................................................................................................8
2.1. Kelebihan dan Kekurangan...............................................................................................9
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................10
3.1. KESIMPULAN...............................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Protein adalah senyawa organik yang molekulnya sangat besar dan susunannya sangat
kompleks serta merupakan polimer dari alfa asam-asam amino. Jadi, sebenarnya protein bukan
merupakan zat tunggal, serta molekulnya sederhana, tetapi masih merupakan asam amino. Oleh
karena protein tersusun atas asam-asam amino, maka susunan kimia mengandung unsur-unsur
seperti terdapat pada asam-asam amino penyusunnya yaitu C, H, O, N dan kadang-kadang
mengandung unsur-unsur lain, seperti misalnya S, P, Fe, atau Mg.
Dalam kehidupan protein memegang peranan yang penting pula. Proses kimia dalam
tubuh dapat berlangsung dengan baik karena adanya enzim, suatu protein yang berfungsi sebagai
biokatalis. Disamping itu hemoglobin dalam butir-butir darah merah atau eritrosit yang berfungsi
sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh bagian tubuh, adalah salah satu jenis
protein. Disamping digunakan untuk pembentukan sel-sel tubuh, protein juga dapat digunakan
sebagai sumber energi apabila tubuh kita kekurangan karbohidrat dan lemak.
Protein mempunyai molekul besar dengan bobot molekul bervariasi antara 5000 sampai
jutaan. Ada 20 jenis asam amino yang terdapat dalam molekul protein. Asam-asam amino ini
terikat satu dengan yang lain oleh ikatan peptide protein mudah dipengaruhi oleh suhu tinggi,
PH, dan pelarut organic. Protein adalah salah satu bio-makromolekul yang penting perananya
dalam makhluk hidup. Fungsi dari protein itu sendiri secara garis besar dapat dibagi ke dalam
dua kelompok besar, yaitu sebagai bahan struktural dan sebagai mesin yang bekerja pada tingkat
molekular. Apabila tulang dan kitin adalah beton, maka protein struktural adalah dinding batu-
batanya.
Beberapa protein struktural, fibrous protein, berfungsi sebagai pelindung, sebagai contoh
a dan b-keratin yang terdapat pada kulit, rambut, dan kuku. Sedangkan protein struktural lain ada
juga yang berfungsi sebagai perekat, seperti kolagen. Protein dapat memerankan fungsi sebagai
bahan structural karena seperti halnya polimer lain, protein memiliki rantai yang panjang dan
juga dapat mengalami cross-linking dan lain-lain. Selain itu protein juga dapat berperan sebagai
biokatalis untuk reaksi-reaksi kimia dalam sistemmakhluk hidup. Makromolekul ini
mengendalikan jalur dan waktu metabolisme yang komplek suntuk menjaga kelangsungan hidup

1
suatu organisma. Suatu sistem metabolisme akan terganggu apabila biokatalis yang berperan di
dalamnya mengalami kerusakan.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun Rumusan Masalah yang di bahas pada makalah ini adalah :
1. Apa definisi metabolisme protein ?
2. Bagaimana proses metabolisme protein dan reaksi-reaksinya ?
3. Apa saja gangguan metabolisme protein dan bagaimana penanggulangannya ?

1.3. Tujuan
1. Memahami definisi metabolism protein
2. Memahami proses metabolisme protein dan reaksi-reaksinya
3. Memahami gangguan metabolisme protein yang terjadi pada tubuh dan
penanggulangannya

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Defenisi Metabolisme Protein
Metabolisme protein adalah deskripsi dari proses fisik dan kimia yang menyebabkan
baikpembentukan atau sintesis, asam amino menjadi protein dan pemecahan, atau katabolisme,
protein menjadi asam amino. Asam amino yang beredar melalui darah dan masuk ke jaringan
tubuh, dimana mereka disintesis kembali menjadi protein. Keseimbangan antara sintesis protein
dan katabolisme adalah penting untuk mempertahankan fungsi sel yang normal. Jaringan lunak
membutuhkan asam amino untuk memproduksi jenis protein yang dibutuhkan untuk
pemeliharaan proses kehidupan. Sintesis asam amino diperlukan untuk membentuk senyawa
penting lainnya dalam tubuh, seperti histamin, neurotransmitter, dan komponen nukleotida.
Setiap asam amino yangtersisa setelah sintesis baik disimpan sebagai lemak atau dikonversi
menjadi energi.
Asam amino dapat diklasifikasikan sebagai esensial dan non-esensial. Asam amino
esensial tidak dapat dibuat oleh tubuh tetapi sangat penting untuk metabolisme protein. Asam
amino ini harus diperoleh dari makanan. Asam amino non-esensial yang diperlukan untuk fungsi
sel normal dan dapat disintesis dari asam amino lain dalam tubuh. Setelah asam amino yang tepat
diperoleh mereka bergabung untuk memberikan protein jaringan sehingga tubuh dapat
menggunakannya.
Hati adalah pusat untuk memecah protein yang dibutuhkan dan mengirimkan asam
aminoyang dibutuhkan ke dalam darah. Ini terus memantau dan merespon kebutuhan protein
tubuh. Hati juga bertanggung jawab untuk memproses dan mengeluarkan kotoran produk limbah
yangdihasilkan sebagai produk sampingan dari metabolisme protein.
Beberapa orang merasa bahwa mengkonsumsi makanan yang tinggi protein
akanmembantu mereka menurunkan berat badan lebih cepat dan mempertahankan massa otot.
Yang benar adalah bahwa kebanyakan orang mengkonsumsi terlalu banyak protein akan
menempatkan ketegangan yang tak perlu pada tubuh dengan berbuat demikian. Tubuh akan
merubah lemak berlebih menjadi protein, seperti halnya dengan karbohidrat dan lemak dari
makanan. Kelebihan protein dalam makanan juga akan menyebabkan metabolisme protein lebih
banyak terjadi, yang menghasilkan produk-produk limbah yang harus dibuang.

3
Karena protein dicerna dipecah dan disusun ulang terlalu lama untuk digunakan
dalamberbagai bagian tubuh, makan makanan yang mengandung asam amino tertentu tidak
berartibahwa tubuh akan menggunakan asam amino dalam bentuk individual itu. Sebagai
contoh,beberapa orang berusaha untuk melengkapi dengan jenis tertentu protein berharap
untukmendapatkan keuntungan dari efek kesehatan mereka. Ini tidak bekerja sebagaimana
mestinyakarena tubuh mengontrol metabolisme protein dengan memecah protein dan memasang
kembalimereka dengan asam amino lainnya untuk memenuhi kebutuhan tubuh terbaik.

2.2. Metabolisme Protein


Protein dalam sel hidup terus menerus diperbaharui melalui proses pertukaran protein,
yaitu suatu proses berkesinambungan yang terdiri atas penguraian protein yang sudah ada
menjadi asam amino bebas dan resintesis selanjutnya dari asam-asam amino bebas menjadi
protein. Dalam tubuh sekitar 1-2 % protein mengalami peruraian setiap hari. Sekitar 75- 80 %
dari asam amino yang dibebaskan akan digunakan kembali untuk sintesis protein yang baru.
Nitrogen sisanya akan dikatabolisasi menjadi urea (pada mamalia) dan kerangka karbon bagi
senyawa-senyawa amfi bolik (Murray,K., 2002).
Untuk mempertahankan kesehatan, manusia memerlukan 30- 60 g protein setiap hari atau
ekivalen dalam bentuk asam amino bebas. Secara umum metabolisme protein dapat dilihat pada
Gambar 1.1. Asam-asam amino yang berlebih tidak akan disimpan, tetapi diuraikan dengan
cepat. Di dalam sel, protein akan diuraikan menjadi asam-asam amino oleh protease dan
peptidase. Protease intrasel akan memutus ikatan peptida internal protein sehingga terbentuk
senyawa peptida (Murray,K., 2002).

Gambar 1. 1 Mtabolisme protein secara umum

4
Selanjutnya, oleh peptidase, peptida tersebut akan diuraikan menjadi asam-asam amino
bebas. Endopeptidase akan memutus ikatan peptida internal sehingga terbentuk peptida-peptida
yang lebih pendek, selanjutnya ammopeptidase dan karboksipeptidase akan membebaskan asam-
asam amino masing-masing dalam gugus terminal-N dan -Cpada peptida-peptida tersebut.
Penguraian protein seperti yang disebutkan di atas adalah untuk protein ekstrasel dan intrasel
yang mana penguraiannya tidak memerlukan ATP (Gb. 1.2). Untuk protein yang berusia pendek
dan yang abnormal penguraiannya terjadi pada sitosol dan memerlukan ATP atau ubikuitin.
Asam amino yang terbentuk dari katabolisme protein ini akan dimetabolisasi menjadi ammonia
dan kerangka karbon. Selanjutnya kerangka karbon akan ikut dalam siklus asam sitrat (TCA) dan
glukoneogenesis. Sedangkan ammonia akan mengalami sintesis membentuk urea atau
membentuk asam amino baru ((Bourke,S.L.,et.al. 2003).

Katabolisme Nitrogen Asam Amino


Hanya sedikit organisme yang dapat mengubah nitrogen bebas (N2) menjadi senyawa
biologis yang berguna seperti NH3, oleh karenanya organisme umumnya menggunakan nitrogen
dari asam amino. Pada umumnya, asam amino dimetabolisasi di hepar (Gambar 1.2). Ammonia
yang dihasilkan didaur ulang dan digunakan untuk bermacam-macam proses biosintesis,
kelebihannya akan dibuang sebagai urea. Kelebihan ammonia yang dihasilkan oleh jaringan
ekstrahepatik akan diangkut ke hepar (dalam bentuk gugus amino) untuk diubah menjadi
senyawa yang bisa diekskresi.
Di dalam katabolisme ini, asam amino glutamat dan glutamin berperan penting, Gugus
amino dari asam amino akan dialihkan ke Į-keto glutamat membentuk glutamat (terjadi
disitosol). Selanjutnya, glutamat akan diangkut ke mitokondria dan gugus amino dilepaskan
berupa NH4. Kelebihan ammonia jaringan lain akan diubah menjadi glutamin lalu diangkut ke
mitokondria hepar. Kelebihan gugus amino di jaringan otot dialihkan ke piruvat, karenanya
piruvat berubah menjadi alanin yang selanjutnya akan dibawa ke mitokondria hepatosit untuk
dilepas gugus NH4 nya. Manusia merupakan makhluk ureotelik artinya dapat mengubah nitrogen
asam amino menjadi urea yang tidak toksik dan mudah larut dalam air. Biosintesis urea (Gb.1.4)
dibagi menjadi 4 tahap: (1), Transminasi, (2), Deaminasi oksidatif, 3) Pengangkutan amonia dan
(4) Reaksi siklus urea. Asam-asam amino yang telah kehilangan gugus amino, kerangka
karbonnya akan mengikuti siklus glukoneogenesis. Asam-asam amino yang demikian ini disebut
sebagai asam amino glukogenik (ala, ser, cys, gly, thre, glu, arg, pro, his, val, meth, dan asp

5
Gambar 1. 2 Jalur Katabolisme asam amino

Transaminasi
Transamini adalah pemindahan gugus asam Į-amino pada glutamat, proses ini merupakan
reaksi pertama dari proses katabolisme. Reaksi ini diawali oleh enzim transaminase. Enzim ini
mempunyai gugus prostetik piridoksal phospat (bentuk aktif B 6). Umumnya, piridoksal fosfat
berikatan kovalen dengan situs aktif enzim melalui ikatan imin (basa schift), yaitu pada gugus
amina E dari residu lisin transaminase. Reaksi-reaksi yang dikatalisis transaminase mempunyai
konstanta kesetimbangan 1,0 karenanya reaksinya adalah bolak-balik. Gugus prostetik piridoksal
fosfat berfungsi sebagai pengangkut sementara (intermediate carrier) bagi gugus amino pada
situs aktif transaminase (Yeum,K.J.,et. al. 2002).
Senyawa ini mengalami transformasi antara bentuk aldehid (piridoksal fosfat) yang dapat
menerima gugus amino dengan bentuk transaminasinya, yaitu piridoksamin fosfat yang dapat
memberikan gugusaminonya kepada suatu asam keto-Į. Piridoksal fosfat terikat pada
transaminase pada situs aktifnya melalui ikatan kovalen dalam bentuk kimina (basa schiff)
dengan gugus amino E dari residu lisin (Yeum,K.,et.al .2002).
Pada reaksi transaminasi ini gugus amino-Į dari asam amino akan dialihkan ke asam
keto-Į glutarat. Hasilnya adalah asam keto-Į glutarat akan mendapat gugus amino menjadi
Lglutamat, sedang asam amino yang kehilangan gugus aminonya menjadi suatu asam keto-Į
yang bersesuaian. Keadaan yang sama juga terjadi pada transaminasi gugus amino dari alanin ke
Į-keto glutarat, reaksi ini menghasilkan L-glutamat dan pruvat. Jadi, setiap enzim transaminase
bersifat spesifi k untuk satu pasangan asam Į-amino dan asam Į -keto. Reaksi transaminasi itu
terbukti terjadi hampir pada semua asam amino kecuali lisin, treonin, prolin dan hidroksi prolin
(Bourke,S.L.,et.al2003).

6
Gambar 1. 3 Biosintesis Nitrogen dalam Katabolisme

Tujuan utama dari reaksi transaminase itu adalah untuk mengumpulkan semua nitrogen
dari asam amino dalam bentuk satu-satunya senyawa, yaitu glutamat. Hal ini sangat penting
karena L-glutamat merupakan satu-satunya asam amino dalam jaringan mamalia yang
menyalami deaminasi oksidatif dengan kecepatan cukup tinggi. Jadi, pembentukan ammonia dari
gugus Į-amino terutama terjadi lewat konversi menjadi nitrogen Į - amino pada Į -glutamat
(Bourke,S.L.,et.al.2003).
Dari glutamat dapat dihasilkan ammonia
Seperti diketahui reaksi transaminasi asam Į-amino menghasilkan glutamat, reaksi ini
terjadi di sitosol. Selanjutnya, L-glutamat tersebut akan diangkut menuju mitokondria dan di sini
akan mengalami deaminasi oksidatif menghasilkan asam Įketo dan ammonia. Reaksinya
dikatalisis oleh enzim L-glutamat dehidrogenase. Enzim ini hanya terdapat di matrik mitokondria
dan tidak pernah di tempat lain. Untuk bekerjanya enzim ini memerlukan NAD atau NADP
sebagai penerima ekivalen reduksi. Kerja kombinasi antara amino transferase dan glutamat
dehidrogenase disebut sebagai transdeaminase (Stryer L., 1996). Glutamat dehidrogenase adalah
eizim alosterik yang kompleks. Enzim ini terdiri atas 6 subunit yang identik. Kerjanya
dipengaruhi oleh modulator positif ADP dan modulator negatif GTP, yaitu ADP dan GTP yang

7
dihasilkan oleh reaksi yang dikatalisis oleh suksinil-KoA sintetase di dalam siklus asam sitrat.
Bila sel hepatosit membutuhkan bahan baku bagi siklus asam sitrat aktivitas glutamat
dehidrogenase meningkat, sehingga terbentuk Į-keto glutarat yang diperlukan oleh siklus asam
sitrat dan melepaskan NH4 untuk diekskresi. Sebaliknya, jika GTP jumlahnya berlebihan di
dalam mitokondria sebagai akibat meningkatnya aktivitas siklus asam sitrat maka proses
deaminasi oksidatif glutamat dihambat (Murray,K.,2002).

Gambar 1. 4 Reaksi Glutamat membentuk amonia

Ammonia diangkut ke Hepar oleh Glutamin


Ammonia jumlah senyawa yang toksik bagi jaringan tubuh. Kelebihan ammonia akan
diubah menjadi senyawa yang tidak toksisk oleh hepar sebelum akhirnya dibuang melalui ginjal.
Sumber ammonianya misalnya usus. Jaringan lain juga memproduksi ammonia tetapi dalam
jumlah sangat sedikit dan ini dengan cepat diangkut ke hepar. Ammonia dari jaringan melalui
venaporta akan diangkut ke hepar dan diubah menjadi senyawa nontoksisk urea. Sehingga darah
yang meninggalkan hepar pada hakikatnya bersih dari ammonia (Valeur, et.al.2009).
Ginjal juga memproduksi ammonia, ini tampak dari kadar ammonia vena renalis yang
lebih tinggi dari arteria renalis. Ekskresi ammonia ke dalam urin oleh sel tubulus ginjal lebih
merupakan suatu yang berhubungan dengan pengaturan keseimbangan asambasa dan
penghematan kation. Eksresi ini akan meningkat nyata pada keadaan asidosis metabolik dan
menurun pada keadsaan alkalosis. Ammonia ini berasal dari asam amino intrasel, khususnya
glutamin (Brosnan,J.T., 2000). Pelepasan ammonia dikatalisis oleh glutaminase renal. Ammonia
dari jaringan ekstrahepatik akan diangkut ke hepar dalam bentuk glutamin. Ammonia akan
bereaksi dengan glutamat membentuk glutamin. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim glutamin
sintetase dan memerlukan ATP (Gb.1.5). Reaksinya berlangsung dalam 2 tahap. Tahap (1)
glutamat bereaksi dengan ATP menghasilkan ADP dan senyawa antara Ȗ-glutamilfosfat.
Dilanjutkan dengan tahap (2), senyawa antara bereaksi dengan ammonia membentuk glutamin
dan fosfat anorganik. Glutamin senyawa nontoksik bersifat netral yang dapat melewati membran
sel. Bandingkan dengan glutamat yang bersifat negatif tidak dapat melalui membran sel.

8
Gambar 1. 5 Reaksi Pembentukan Glutamin dan Glutamat

Ekskresi Nitrogen dan Siklus Urea Manusia setiap harinya harus mensekresikan nitrogen.
Sekitar 95% ekskresi nitrogen itu dilakukan oleh ginjal dan 5% sisanya melalui feses. Lintasan
utama ekskresi nitrogen pada manusia adalah urea. Urea disintesis dalam hati, dilepas dalam
darah dan dihersihkan oleh ginjal. Siklus urea dimulai di mitokondria sel hepatosit.
Pembentukkan urea dari ammonia terdiri atas 5 tahap, 3 di antaranya berlangsung disitosol
Gugus amino yang pertama kali memasuki siklus urea berasal dari ammonia yang terdapat dalam
mitokondria, yaitu yang berasal dari bermacam alur yang telah diuraikan sebelumnya. Sebagian
berasal dari usus (melalui vena porta) yang merupakan hasil oksidasi bakteri. Tidak
memperhatikan dari mana asalnya ion NH4 yang berada di dalam mitokondria akan bereaksi
dengan HCO3- (hasil respirasi mitokondria) membentuk karbamoilfosfat. Reaksi ini memerlukan
ATP dan dikatalisis oleh enzim karbamoil fosfatasintetase 1. Selanjutnya, karbamoilfosfat akan
masuk ke siklus urea dan akan mengalami 4 reaksi enzimatik. Senyawa ini memberikan gugus
karbamoilnya ke ornitin sehingga terbentuk sitrulin dan melepaskan fosfor anorganik Pi. Reaksi
ini dikatalisis ornitin transkarbamilase. Kemudian sitrulin akan dilepas ke sitosol.
Selanjutnya, setelah sampai di mitokondria hepar, glutamin akan diurai menjadi glutamat
dan ammonia oleh enzim glutaminase (Gb. 1.6). Glutamin selain berfungsi sebagai alat transport
ammonia juga berfungsi sebagai sumber gugus amino bagi bermacam-macam reaksi biosintesis

Gambar 1. 6 Reaksi Glutamin menjadi Glutamat melepas Amonia

Gugus amino kedua berasal dari aspartat (dihasilkan di mitokondria) oleh proses
transammase dan diangkut ke sitosol). Gugus amino dari aspartat akan berkondensasi dengan

9
gugus ureido (karbonil) dari sitrulin membentuk arginosuksinat Reaksi ini dikatalisis oleh
arginosuksinat liase (bolak-balik) membentuk arginin bebas dan fumarat yang nantinya akan
menjadi bahan antara dari siklus asam sitrat. Reaksi yang terakhir dan siklus urea adalah
terurainya arginin menjadi urea dan ornitin. Reaksinya dikatalis oleh enzim arginase suatu enzim
sitosol. Jadi, ornitin akan terbentuk kembali dan akan diangkut ke mitokondria untuk kemudian
dipakai lagi dalam siklus urea (Gb.1.7)( Baenrends,R. J.S.et.al. 2000).

Gambar 1. 7 Siklus Urea dan Reaksinya


2.3. Gangguan Metabolisme Protein dan penanggulangannya
Metabolisme adalah proses pengolahan (pembentukan dan penguraian) zat -zat
yangdiperlukan oleh tubuh agar tubuh dapat menjalankan fungsinya. Gangguan metabolisme
protein menyebabkan ketidakseimbangan zat-zat dalam tubuh. Protein merupakan sumberenergi
bagi tubuh. Salah satu penyakit akibat gangguan metabolisme protein dijelaskandengan
ditemukannya penyakit yang terjadi karena kekurangan protein. Kekurangan proteinhampir
selalu disertai dengan kekurangan energi. Hubungan antara kekurangan protein danenergi dapat
tejadi karena protein merupakan salah satu sumber utama pengahasil energi. Jikadalam makanan
yang kita makan kurang mengandung kurang mengandung energi makatubuh akan mengambil
protein lebih banyak untuk menjadi energi. Ini berarti protein dalamtubuh akan semakin
berkurang. Penyakit yang terjadi karena kekurangan energy dan proteinini biasa disebut dengan
penyakit Kurang Energi Protein (KEP).

10
Penyakit ini ditemukan pada anak-anak atau ibu hamil. Penyakit KEP ini juga
dapatmenyerang rang dewasa. Misalnya pada orang yang mengalami kelaparan dalam waktu
yanglama atau menderita penyakit kronis. Namun pada umumnya penyakit terjadi pada anak-
anakantara usia 2-5 tahun, ketika mereka berhenti minum ASI dan menerima makanan
tambahan.Yang kurang mengandung protein atau tidak sama sekali. Ketika penyakit KEP
inimenyerang seorang anak, maka akan mucul gejala-gejala seperti kekurangan energy
(Marasmus) dan kekurangan protein (Kwashiorkor).

Pada penderita Marasmus pertumbuhan penderita/anak yaitu berat badan dan tinggi
badan terganggu, penderita sangat kurus, adanya perbesaran hati, kulit tampak keriput, pada
bagian muka terdapat kulit yang berlipat-lipat sehingga muka anak seperti muka orang tua yang
sudah keriput, mudah terserang diare, infeksi saluran pernapasan dan batuk rejan. Pada penderita
Kwashiorkor ciri-ciri yang terjadi adalah adanya gangguan pada pertumbuhan berat badan dan
tinggi badan, lemah, kurus, apatis, kulit tampak kering, rambut tipis atau jarang, kehilangan
nafsu makan, diare, adanya perbesaran pada hati, dan anemia.

Penanganan malnutrisi energi protein meliputi pemberian nutrisi melalui mulut maupun
infus, penanganan kondisi yang menjadi penyebab terjadinya malnutrisi, dan pemberian obat-
obatan sesuai keluhan atau kondisi penderita. Penanganan malnutrisi energi protein
membutuhkan waktu dan disiplin dari pasien dan keluarga pasien. (1) Meningkatkan asupan
kalori dan protein Pemberian nutrisi ini bisa dilakukan sesuai kondisi pasien. Bila masih bisa
makan dan minum, pasien akan dianjurkan untuk makan dan minum lebih sering, dengan asupan
yang mengandung gizi seimbang. Jika sulit untuk mengonsumsi makanan yang padat, pasien bisa
diberikan makanan cair terlebih dahulu. Jika pasien tidak bisa makan atau minum, dokter akan
memberikan asupan nutrisi melalui selang makan atau infus. Selang makan bisa dimasukkan ke
dalam lambung melalui mulut atau hidung. Pada awal terapi, asupan nutrisi umumnya masih
berupa makanan cair dan suplemen yang diberikan 6–12 kali per hari. Saat kondisi tubuhnya
dinilai sudah siap, pasien akan diberikan makanan padat. Makanan yang diberikan harus bergizi
seimbang, yaitu mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Selama masa
terapi ini, dokter juga akan memberikan multivitamin serta obat-obatan tertentu untuk
meningkatkan nafsu makan. (2) Mengatasi penyebab malnutrisi. Malnutrisi dapat disebabkan
oleh beberapa kondisi medis, seperti infeksi saluran cerna, HIV/AIDS, kanker, ataupun depresi.

11
Jika malnutrisi disebabkan oleh suatu penyakit, dokter akan memberikan pengobatan untuk
mengatasi penyakit tersebut. Selama masa pengobatan, dokter dan petugas medis juga akan
mengajarkan hal-hal seputar kebutuhan gizi dan teknik untuk mengolah makanan yang baik.
Setelah masa pengobatan, pasien tetap dianjurkan untuk kontrol rutin ke dokter sampai
malnutrisi benar-benar sembuh.

a. Alkaptonuria
Alkaptonuria adalah kelainan bawaan langka yang terjadi akibat gangguan metabolisme
pada tubuh. Kelainan ini dapat menimbulkan kerusakan pada tulang, tulang muda (kartilago),
serta jaringan-jaringan tubuh yang lain. Alkaptonuria sendiri sering dibilang sebagai penyakit
urine hitam. Sebutan ini merujuk pada munculnya warna hitam pada urine setelah beberapa
jam dikeluarkan dari tubuh.
Alkaptonuria akan menyebabkan enzim homogentisate oxidase tidak berfungsi dengan
baik dalam menguraikan asam amino. Akibatnya, salah satu bahan yang seharusnya terurai
dalam proses ini yaitu, asam homogentisat juga akan mengalami penumpukan. Penumpukan
ini akan menggangu fungsi kerja organ lain. Sebagian penumpukan asam homogentisat akan
dikeluarkan melalui urine dan keringat. Hal inilah yang menyebabkan warna keringat dan
urine penderita alkaptonuria menjadi lebih gelap atau hitam. Gejala alkaptonuria bisa muncul
sejak bayi, salah satu gejala yang bisa terlihat adalah muncul noda hitam pada popok.
Namun, gejala ini sering kali diabaikan karena sering kali pada awalnya air seni berwarna
normal dan baru berubah menjadi coklat tua atau hitam setelah terpapar udara selama
beberapa jam. Gejala alkaptonuria lainnya akan semakin terlihat seiring pertambahan usia.
Biasanya, gejala mulai terlihat ketika penderita berusia 20–30 tahun ke atas. Gejala tersebut
meliputi (1) Gejala pada kuku dan kulit, berupa perubahan warna menjadi kebiruan atau
hitam pada kuku dan kulit yang sering terpapar sinar matahari atau pada kelenjar keringat,
seperti dahi, pipi, ketiak, dan daerah kelamin. (2) Gejala pada mata, berupa munculnya noda
berwarna hitam atau abu-abu tua pada bagian putih mata atau sklera. (3) Gejala pada tulang
rawan dan telinga, berupa perubahan warna tulang rawan menjadi kehitaman atau ochronosis
paling sering terlihat di tulang rawan telinga dan warna kotoran telinga menjadi hitam.
Setelah penderita alkaptonuria menginjak usia 40 tahun ke atas, penumpukan asam
homogenistat pada tulang rawan dan sendi juga bisa menyebabkan radang sendi. Gejalanya
berupa nyeri atau kaku pada sendi, terutama pada sendi besar seperti bahu, panggul, atau

12
lutut. Jika penumpukan asam homogensitat terjadi pada tulang dan otot yang ada di sekitar
paru-paru, bisa terjadi kekakuan dan menyebabkan terjadinya sesak napas dan kesulitan
bernapas.
Alkaptonuria disebabkan oleh perubahan atau mutasi gen homogentisate atau HGD.
Mutasi gen HGD ini menyebabkan enzim homogentisate oxidase yang diperlukan untuk
memecah asam amino tidak bekerja dengan baik. Akibatnya, proses penguraian asam amino
atau tyrosin dan fenilalanin akan terganggu. Gangguan pada sistem penguraian ini juga
menyebabkan penumpukan asam homogentisat di tubuh. Penumpukan asam homogentisat
inilah yang menyebabkan timbulnya gejala alkaptonuria. Alkaptonuria adalah kelainan
genetik yang diturunkan secara autosomal resesif, yang artinya gejala baru akan timbul jika
gen tidak normal tersebut diturunkan dari kedua orang tua kepada anaknya. Bayi laki-laki
dan perempuan memiliki risiko yang sama dalam menderita alkaptonuria. Bayi yang
mewarisi gen yang tidak normal hanya dari salah satu orang tua, hanya berpotensi menjadi
carrier atau pembawa dan tidak akan muncul gejala alkaptonuria. Belum diketahui faktor-
faktor yang bisa meningkatkan risiko terjadinya alkaptouria. Selain itu, alkaptouria
merupakan kelainan genetik yang sangat jarang terjadi.
Belum ada obat yang secara khusus dapat menyembuhkan alkaptonuria. Oleh karena itu,
pengobatan alkaptonuria lebih bertujuan untuk meringankan gejala, sekaligus memperlambat
perkembangan penyakit, dan mencegah komplikasi. Ada beberapa metode pengobatan untuk
mengatasi alkaptonuria meliputi perubahan gaya hidup, obat-obatan, fisioterapi dan operasi.
Lakukan konseling genetik, jika ada anggota keluarga Anda atau pasangan Anda yang
menderita alkaptonuria. Konseling genetik dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
kemungkinan Anda memiliki anak yang menderita alkaptonuria. Jika Anda sedang hamil, tes
seperti amnioncentesis dan chorionic villus sampling atau CVS dapat dilakukan untuk
deteksi dini alkaptonuria pada janin. Konsultasikan lebih lanjut dengan dokter mengenai tes
ini.
b. Galaktosemia
Galaktosemia adalah suatu kondisi metabolik langka yang menghambat tubuh dalam
memproses galaktosa dan mengubahnya menjadi energi. Galaktosa sendiri merupakan salah
satu jenis gula yang terdapat pada ASI maupun susu formula.

13
Kelainan ini dapat menyebabkan sederet keluhan pada Si Kecil dan dapat mengganggu
kesehatannya secara signifikan apabila tidak ditangani dengan tepat. Penyakit ini diturunkan
secara genetik, di mana kedua orang tua menjadi pembawa sifat yang menyebabkan Si Kecil
dapat mengalami kondisi tersebut. Pada Si Kecil dengan galaktosemia, gen yang berkaitan
dengan enzim untuk memecah galaktosa menjadi glukosa tidak berfungsi dengan baik. Hal
ini dapat menyebabkan penumpukan galaktosa di dalam darah.
Saat baru lahir, Si Kecil dengan galaktosemia biasanya belum menunjukkan adanya tanda
dan gejala. Tanda dan gejala tersebut baru akan mulai tampak beberapa hari setelah Si Kecil
mengonsumsi ASI atau susu formula yang mengandung laktosa, yakni gula dari susu yang
mengandung galaktosa. Awalnya, Si Kecil akan mengalami penurunan nafsu makan, lalu
mulai muntah. Selain itu, Si Kecil akan terlihat kuning dan mengalami diare. Penyakit ini
juga dapat menyebabkan Si Kecil kekurangan berat badan dan kesulitan bertumbuh.Bila
tidak mendapat pengobatan yang dibutuhkan, seiring dengan berjalannya waktu, Si Kecil
bisa mengalami katarak dan menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Selain itu, beberapa
komplikasi yang dapat timbul adalah kerusakan hati, gangguan ginjal, gangguan maturitas
otak, serta gangguan perkembangan. Sebagian Si Kecil juga dapat mengalami masalah
dengan kemampuan motor dan pertumbuhan ototnya. Pada anak perempuan, kondisi ini
dapat menyebabkan disfungsi dari ovarium.
Lalu, bagaimana cara mendeteksi apabila Si Kecil mengalami galaktosemia? Di sebagian
negara maju, setiap bayi baru lahir akan mendapatkan skrining untuk beberapa jenis
penyakit, dan galaktosemia merupakan salah satunya. Apabila bayi mendapatkan hasil yang
positif untuk galaktosemia, serta menunjukkan tanda dan gejala yang sesuai, dokter akan
melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengonfirmasinya. Pemeriksaan lanjutan yang
biasanya dilakukan mencakup pemeriksaan darah dan urine.
Untuk menangani Si Kecil yang terdeteksi mengalami galaktosemia, biasanya dokter
akan menyusun diet yang tidak mengandung laktosa dan galaktosa pada pasien tersebut.
Dokter akan menganjurkan untuk menghindari susu sapi ataupun produk makanan dan
minuman yang mengandung susu sapi. Selain mengeliminasi konsumsi produk susu,
biasanya dokter juga menyarankan untuk menghindari beberapa buah, sayuran, dan permen
yang mengandung galaktosa.

14
STUDI KASUS GANGGUAN METABOLISME PROTEIN

Judul Penelitian : Alkaptonuria: Current Perspectives

Nama Jurnal : The Application of Clinical Genetics

Penulis : Andrea Zatkova, Lakshminarayan Ranganath, Ludevit Kadasi.

Tahun : 2022

Pada lima belas tahun terakhir telah menjadi yang paling bermanfaat dalam sejarah penelitian
tentanggangguan metabolisme alkaptonuria (AKU). AKU disebabkan oleh kekurangan
homogentisat dioxygenase (HGD), enzim yang terlibat dalam metabolisme tirosin, dan ditandai
dengan adanya pigmen ochronotic gelap di jaringan ikat yang terbentuk, karena kadarnya yang
tinggi asam homogentisat yang bersirkulasi. Studi genotipe-fenotipe kami baru-baru ini tidak
menunjukkan perbedaan itu dalam aktivitas asam homogentisic residual yang disebabkan oleh
mutasi yang berbeda bertanggung jawab. Meskipun nitisinon telah terbukti menghentikan proses
ochronosis, ia memiliki beberapa efek yang tidak diinginkan dan tidak menyembuhkan penyakit
sepenuhnya. Dengan demikian, penggantian enzim atau terapi gen mungkin menjadi fokus baru
penelitian AKU.

Judul Penelitian : The nutritional status of people with alkaptonuria: An exploratory


analysis suggests a protein/energy dilemma

Nama Jurnal : Journal of Inherited Metabolic Disease

Penulis : Shirley Judd, Milad Khedr, Anna M. Milan, Andrew S. Davison, Andrew

T. Hughes, Alexander Needham, Eftychia E. Psarelli, Alan Shenkin,


Lakshiminaryan R. Ranganath

Tahun : 2019

Alkaptonuria (AKU) adalah gangguan metabolisme tirosin/protein yang menyebabkan akumulasi


asam homogentisat. Manajemen klinis secara historis merekomendasikan pengurangan asupan
protein makanan, terutama dalam masa kanak-kanak, yang sejak itu telah didiskreditkan dalam
literature. Lima puluh persen pasien AKU melaporkan beberapa tingkat pembatasan protein di
beberapa titik dalam hidup mereka. Dibandingkan dengan kumpulan data nasional, AKU pasien
datang dengan lingkar lengan tengah atas yang jauh lebih rendah dari yang diperkirakan,
kekuatan genggaman, BMI, asupan energi dan protein total, dan lebih tinggi dari perkiraan
persentase lemak tubuh. Oleh karena itu mereka memenuhi kriteria ESPEN sebagai “kurang gizi
secara klinis.” Tingkat keparahan berfluktuasi selama perjalanan hidup. Tidak ada hubungan
statistik yang diidentifikasi antara asupan protein, dinyatakan sebagai %RNI atau g/kg, atau

15
nutrisi anti-inflamasi, termasuk vitamin C sebagai suplemen dosis tinggi pada tingkat keparahan
penyakit, jika dikorelasikan dengan AKUSSI yang divalidasi skor aspek perencanaan perawatan.

Pasien AKU berisiko mengalami penipisan protein yang terkait dengan a "badai sempurna" dari
faktor risiko: historis, rekomendasi yang kurang terbukti untuk mengurangi asupan protein total;
mobilitas terbatas seiring perkembangan kondisi, mengorbankan integritas otot; sering masuk
rumah sakit untuk operasi besar terkait dengan beberapa penggantian sendi, menciptakan titik-
titik mencubit permintaan metabolisme yang tinggi dan dampak potensial dari penyakit itu
sendiri. Karena ini yang pertama saat risiko ini telah diidentifikasi, penulis mempertimbangkan
implikasi diet pengobatan nitisinon, yang memerlukan kontrol protein makanan untuk mengelola
tirosinemia didapat. Kurangnya bukti yang signifikan secara statistik untuk mendukung
manipulasi diet dalam bentuk apa pun untuk menghambat perkembangan penyakit di AKU
adalah didemonstrasikan.

Judul Penelitian : Dietary restriction of tyrosine and phenylalanine lowers tyrosinemia


associated with nitisinone therapy of alkaptonuria

Nama Jurnal : Journal of Inherited Metabolic Disease

Penulis : Juliette H. Hughes, Peter J. M. Wilson, Hazel Sutherland, Shirley Judd,


Andrew T. Hughes, Anna M. Milan, Jonathan C. Jarvis, George Bou-
Gharios, Lakshminarayan R. Ranganath, James A. Gallagher.

Tahun : 2019

Alkaptonuria (AKU) disebabkan oleh defisiensi homogentisat 1,2-dioksigenase yang


menyebabkan akumulasi asam homogentisat (HGA), okronosis dan osteoartropati parah. Baru-
baru ini, pengobatan nitisinon, yang menghambat pembentukan HGA, telah efektif pada pasien
AKU. Namun, konsekuensi dari nitisinon meningkat tirosin yang dapat menyebabkan keratopati.
Pengaruh diet tirosin dan fenilalanin pembatasan diselidiki pada tikus AKU yang diobati dengan
nitisinon, dan dalam observasional studi intervensi diet pada pasien AKU. Tikus AKU yang
diberi Nitisinone adalah diberi diet bebas tirosin/fenilalanin dan bebas fenilalanin dengan
suplementasi fenilalanin dalam air minum. Metabolit tirosin diukur sebelum nitisinon, pasca
nitisinon, dan setelah pembatasan diet. Selanjutnya studi observasional dilakukan pada 10 pasien
yang menghadiri National Alkaptonuria Center (NAC), dengan tirosin >700 mol/L yang telah
disarankan untuk membatasi asupan protein makanan dan bila perlu, gunakan suplemen asam
amino bebas tirosin/fenilalanin. Peningkatan tirosin (813 mol/L) berkurang secara signifikan
pada AKU yang diobati dengan nitosinon tikus yang diberi diet bebas tirosin/fenilalanin dengan
cara yang responsif terhadap dosis. Pada 3 hari pembatasan, tirosin adalah 389,3, 274,8, dan
144,3 mol/L dengan penurunan dosis fenilalanin. Sebaliknya, tirosin tidak berkurang secara
efektif pada tikus dengan diet bebas fenilalanin; pada 3 hari tirosin adalah 757,3, 530,2, dan
656,2 mol/L, dengan tidak ada respons dosis terhadap suplementasi fenilalanin. Pada pasien
NAC, tirosin berkurang secara signifikan (P = 0,002) ketika membatasi protein makanan saja,

16
dan ketika dikombinasikan dengan suplementasi asam amino bebas tirosin/fenilalanin; 4 dari 10
pasien mencapai tirosin <700 mol/L. Pembatasan diet tirosin/fenilalanin secara signifikan
mengurangi tirosinemia yang diinduksi nitisinon pada tikus, dengan pembatasan fenilalanin saja
terbukti tidak efektif. Demikian pula, pembatasan protein secara signifikan mengurangi tirosin
yang bersirkulasi pada pasien AKU..

17
BAB III
PENUTUP
2.1. KESIMPULAN
Protein adalah komponen penting atau utama bagi sel hewan atau manusia. Protein
adalah senyawaorganik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari
monomer-monomer asam aminoyang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Fungsi
dari protein adalah sebagai zat utamapembentuk dan pertumbuhan tubuh, sedangkan asam amino
sebagai komponen protein. Prosesmetabolisme protein dimulai dari proses pencernaan di mulut
sampai di usus halus, dilanjutkan denganproses metabolisme asam amino. Protein di absorpsi di
usus halus dalam bentuk asam amino → masuk darah.
Dalam darah asam amino disebar keseluruh sel untuk disimpan. Didalam sel asam amino
disimpan dalam bentuk protein (dengan menggunakan enzim). Semua proses tersebut dibantu
oleh enzim. Jika jumlah protein terus meningkat maka protein sel dipecah jadi asam amino, yang
terbagi menjadi dua proses; deaminasi atau transaminasi. Deaminasi; proses pembuangan gugus
amino dariasam amino dalam bentuk urea. Transaminasi; proses perubahan asam amino menjadi
asam keto.Banyaknya atau keadaan asam amino dalam darah tergantung pada keseimbangan
antara pembentukanasam amino dan pengunaannya. Jika asam amino yang dibentuk banyak
maka asam amino yangterdapat dalam darah juga banyak. Penyakit yang ditimbulkan karena
gangguan metabolisme proteinadalah penyakit kurang energy dan protein, Hipoproteinemia,
Hipo dan Agam maglubulinemia, diabetes mellitus dan diabetes insipidus.

18
DAFTAR PUSTAKA

Hughes, et all. (2020). Dietary restriction of tyrosine and phenylalanine lowers tyrosinemia
associated with nitisinone therapy of alkaptonuria. Journal of Inherited Metabolic
Disease. DOI: 10.1002/jimd.12172.

Judd, et all. (2019). The nutritional status of people with alkaptonuria: An exploratory analysis
suggests a protein/energy dilemma. Journal of Inherited Metabolic Disease. DOI:
10.1002/jmd2.12084.

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/
2c38007b586ffa59d79823dad95fecc1.pdf. Murray, Robert 2003. Biokimia Harper.
Jakarta: EGC

Zatkova., et all. (2022). Alkaptonuria: Current Perspectives. The Application of Clinical


Genetics. 13. 37-47

19

Anda mungkin juga menyukai