Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PENGEMBANGAN NILAI-NILAI MORAL

DAN AGAMA PADA ANAK USIA DINI

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah agama yang diampu oleh: Ns.Eni
Kusyati,M.Si.Med

Disusun Oleh:
ARMITA DESI ANA PUTRI
NOVITA ZIKIRANA
RIA CAHYANI KURNIATI
YUNISA PUTRI PERTIWI
2101004
2101002
2101009
2101003

DIII KEPERAWATAN UNIVERSITAS KARYA HUSADA


SEMARANG

1
2

TAHUN 2022/2022

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya karena hanya dengan izin, bimbingan dan ridho-Nyalah sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah dengan judul “PENGEMBANGAN NILAI-NILAI
MORAL DAN AGAMA PADA ANAK USIA DINI” ini tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah agama. Selain itu
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang pengembangan nilai-nilai
moral dan agama pada pada anak usia dini bagi pembaca dan juga bagi saya.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya


kepada Ibu Ns. Eni Kusyati, M.Si.Med selaku Dosen Mata Kuliah agama. Ucapan
terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh sebab itu saran dan kritik yang membangun diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 20 oktober 2022

penulis

2
3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………..1
KATA PENGANTAR…………………………………………………………2
DAFTAR ISI………………………………………………………...................3
BAB PENDAHULUAN………………………………………………………..4
1.1 Latar Belakang………………………………………………....………....4
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………..….5
1.3 Tujuan Masalah………….……...………………………….………….….5
BAB II PEMBAHASAN.……………..………………….…….………….……6
2.1 Definisi Typus Abdominalis………………….…………………….…….….6
2.2 Etinologi Typus Abdominalis…………………………………………….….6
2.3 Klasifikasi Typus Abdominalis………………………………………………7
2.4 Manifestasi Klinis Typus Abdominalis………………………………………7
2.5 Patofisiologi Typus Abdominalis……………………………………....…….9
2.6 Patway…………………………………………………………...……...…....10
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………...…………11

3
4

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan harus memiliki acuan atau pedoman dalam proses penyelenggaraannya, baik
dalam konteks institusi pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Salah satu acuannya adalah
pendidikan harus berprinsip pada pengembangan nilai-nilai moral dan agama, di samping aspek-
aspek lain yang berkaitan dengan bidang-bidang pengembangan. Hal ini sangat diperlukan
sebagai upaya untuk mengantarkan anak didik menuju kedewasaan berpikir, bersikap, dan
berperilaku secara terpuji (akhlakul karimah). Upaya tersebut bisa dilakukan oleh para pendidik
(guru dan orang tua) sejak usia dini, yakni ketika masa kanak-kanak

Pendidikan nilai-nilai moral dan keagamaan pada program Pendidikan Anak Usia Dini
merupakan pondasi yang kokoh dan sangat penting keberadaannya, dan jika hal itu telah
tertanam serta terpatri dengan baik dalam setiap insan sejak dini, hal tersebut merupakan awal
yang baik bagi pendidikan anak bangsa untuk menjalani pendidikan selanjutnya. Bangsa
Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan keagamaan (Suyanto, 2005:66).

Namun dalam realitasnya dewasa ini terdapat sesuatu yang


memprihatinkan dalam dunia pendidikan nasional di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah
masih banyak anak didik dan output pendidikan nasional di
Indonesia yang belum mencerminkan kepribadian yang bermoral, seperti sering tawuran antar
pelajar bahkan dengan guru, penyalahgunaan obat-obat terlarang, pelecehan seksual, pergaulan
bebas, dan lain-lain. Jika ditelusuri lebih jauh lagi, sebenarnya keadaan yang demikian itu tidak
lepas dari dasar pendidikannya pada masa lampau, yang boleh jadi pada masa itu pengokohan
mental spritualnya masih belum tersentuh secara maksimal, selain faktor lingkungan yang
mempengaruhi

4
5

Orang tua adalah pendidik kodrati. Perhatian yang diberikan oleh orang tua terhadap anak
sangat diperlukan karena orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak.
Perhatian yang cukup dari orang tua terhadap anak-anaknya dapat menghasilkan sebuah perilaku
yang positif karena segala tingkah lakunya selalu mendapat arahan dari orang tua. (Sopiatin dan
Sahrani, 2011:58)

Sikap moral dan keagamaan pada anak harus selalu diasah sejak usia dini agar anak dapat
mengamalkan ajaran agama yang lebih mendalam nantinya dan hingga dewasa anak terbiasa
untuk berpengetahuan agama dengan matang sebagai bekal pergaulannya bersama-sama dalam
lingkungan masyarakat. Namun pada kenyataannya masih ada orang tua yang menganggap
ketika menyerahkan anaknya ke sekolah maka tanggung jawab sepenuhnya terletak pada sekolah
yang bersangkutan dan orang tua sudah tidak lagi memberikan perhatian yang cukup kepada
anak-anaknya. Hal ini tentu saja menyebabkan anak kurang mendapat perhatian di lingkungan
keluarganya.

Hasil wawancara awal yang dilakukan Penulis pada 30 orang tua anak Kelompok B di 5
PAUD di wilayah Desa Wonorejo – Gondangrejo – Karanganyar, diperoleh kesimpulan bahwa
sebanyak 60% orang tua beranggapan bahwa penanaman nilai-nilai moral dan agama harus lebih
banyak dilakukan di sekolah, sedangkan 20% beranggapan perlunya kerjasama antara sekolah
dan orangtua dalam menanamkan nilai-nilai moral dan agama pada anak-anak, dan 20% sisanya
beranggapan bahwa pengamalan nilai-nilai moral dan agama dimulai dari kedua orangnya.

Sedangkan hasil observasi pada 30 anak yang orangtuanya telah diwawancarai sebelumnya
diperoleh kesimpulan bahwa anak-anak dari orang tua yang beranggapan bahwa pengamalan
nilai-nilai moral dan agama harus lebih banyak dilakukan di sekolah hanya 20% diantaranya
yang telah memenuhi kriteria pencapaian perkembangan nilai-nilai agama dan moral minimal
yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah dan yang lainnya masih memerlukan bimbingan lebih
lanjut. Untuk anak-anak dari orang tua yang beranggapan perlunya kerjasama antara sekolah dan
orangtua dalam menanamkan nilai-nilai moral dan agama pada anak-anak baru 60% diantaranya
yang telah memenuhi kriteria pencapaian perkembangan nilainilai agama dan moral minimal
yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah dan yang lainnya masih memerlukan bimbingan lebih
lanjut. Sedangkan anakanak dari orang tua yang beranggapan bahwa pengamalan nilai-nilai
moral dan agama harus dimulai dari kedua orangnya 60% diantaranya yang telah memenuhi
kriteria pencapaian perkembangan nilai-nilai agama dan moral minimal yang telah ditetapkan
oleh pihak sekolah dan yang lainnya masih memerlukan bimbingan lebih lanjut.

Hasil observasi dan wawancara awal tersebut membuktikan bahwa anak-anak yang telah
memenuhi kriteria pencapaian perkembangan nilai-nilai agama dan moral minimal yang telah
ditetapkan oleh pihak sekolah bisa berasal dari kelompok orang tua mana saja, baik yang
beranggapan bahwa penanaman nilai-nilai moral dan agama harus lebih banyak dilakukan di
sekolah, yang beranggapan perlunya kerjasama, maupun yang beranggapan harus dimulai dari

5
6

keluarga. Demikian juga sebaliknya, dari kelompok orang tua mana saja, baik yang beranggapan
bahwa penanaman nilai-nilai moral dan agama harus lebih banyak dilakukan di sekolah, yang
beranggapan perlunya kerjasama, maupun yang beranggapan harus dimulai dari keluarga, bisa
saja anaknya belum memenuhi kriteria pencapaian perkembangan nilai-nilai agama dan moral
minimal yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah dan masih memerlukan bimbingan lebih
lanjut.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan
judul “Hubungan Perhatian Orang Tua dengan Perkembangan Nilai-nilai Agama dan Moral
Anak Kelompok B PAUD di Wilayah Desa Wonorejo – Gondangrejo – Karanganyar Tahun
2013”.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan permasalahan yang disusun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Adakah hubungan antara tingkat perhatian orang tua dengan tingkat pencapaian
perkembangan nilai-nilai agama dan moral anak Kelompok B PAUD di Wilayah Desa
Wonorejo – Gondangrejo – Karanganyar Tahun 2013?
2. Bagaimanakah arah hubungan antara tingkat perhatian orang tua dengan tingkat
pencapaian perkembangan nilai-nilai agama dan moral anak Kelompok B PAUD di
Wilayah Desa Wonorejo – Gondangrejo – Karanganyar Tahun 2013?
3. Seberapa besarkah hubungan antara tingkat perhatian orang tua dengan tingkat
pencapaian perkembangan nilai-nilai agama dan moral anak Kelompok B PAUD di
Wilayah Desa Wonorejo – Gondangrejo – Karanganyar Tahun 2013?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui adakah hubungan antara tingkat perhatian orang tua dengan tingkat
pencapaian perkembangan nilai-nilai agama dan moral anak Kelompok B PAUD di
Wilayah Desa Wonorejo – Gondangrejo – Karanganyar Tahun 2013.
2. Mengetahui arah hubungan antara tingkat perhatian orang tua dengan tingkat
pencapaian perkembangan nilai-nilai agama dan moral anak Kelompok B PAUD di
Wilayah Desa Wonorejo – Gondangrejo – Karanganyar Tahun 2013.
3. Mengetahui besar hubungan antara tingkat perhatian orang tua dengan tingkat
pencapaian perkembangan nilai-nilai agama dan moral anak Kelompok B PAUD di
Wilayah Desa Wonorejo – Gondangrejo – Karanganyar Tahun 2013.

6
7

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Typus Abdominalis

Tipes atau thypus adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan terkadang pada aliran
darah yang disebabkan oleh Bakteri Salmonella typhosa atau Salmonella paratyphi A, B dan C,
selain ini dapat juga menyebabkan gastroenteritis (radang lambung). Dalam masyarakat penyakit
ini dikenal dengan nama Tipes atau thypus, tetapi dalam dunia kedokteran disebut Typhoid fever
atau Thypus abdominalis karena berhubungan dengan usus di dalam perut (Widoyono, 2002).

Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan
dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan
kesadaran. (Sudoyo, 2009)

2.2 Etiologi Typus Abdominalis

Typhus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella Typhi. Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora,
motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37 0C, bersifat fakultatif
anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Isolat kuman Salmonella Typhi
memiliki sifat-sifat gerak positif, reaksi fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif,
sedangkan hasil negatif pada reaksi indol, fenilalanin deaminase, urease dan Dnase.

Bakteri Salmonella typhi memiliki beberapa komponen antigen antara lain antigen dinding sel
(O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik grup. Antigen flagella (H) yang
merupakan komponen protein berada dalam flagella dan bersifat spesifik spesies. Antigen
virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi seluruh permukaan
sel. Antigen ini menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi
antigen O dari proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri dan
efektivitas vaksin. Salmonella Typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagian terluar
dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid A.
Antibodi O, H dan Vi akan membentuk antibodi aglutinin di dalam tubuh. Sedangkan, Outer
Membran Protein (OMP) pada Salmonella typhi merupakan bagian terluar yang terletak di luar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan
sekitarnya. OMP sebagian besar terdiri dari protein purin, berperan pada patogenesis typhus
abdominalis dan antigen yang penting dalam mekanisme respon imun host. OMP berfungsi

7
8

sebagai barier mengendalikan masuknya zat dan cairan ke membran sitoplasma selain itu
berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin.
Penyakit Thypus Abdominalis merupakan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan
minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella Thyposa, (food and water brone disease).
Seseorang yang sering menderita penyakit tifus menandakan bahwa dia mengkonsumsi makanan
atau minuman yang terkontaminasi bakteri ini. Salmonella Thyposa sebagai suatu sepesies,
termasuk dalam kingdom Bakteria, Phylum Proteobakteria, Classis Gamma Proteobakteria, Ordo
Enterobakteria, Familia Enterobakteriakceae, Genus Salmonella. Salmonella Thyposa adalah
bakteri gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora mempunyai sekurang-
kurangnya tiga macam antigen yaitu: antigen 0 (sosmatik, terdiri dari zat komplek
lipopolisakardia), antigen H (flagella) dan antigen V1 (hyalin, protein membrane). Dalam serum
penderita terdapat zat anti (glutanin) terhadap ketiga macam antigen tersebut. (Zulkhoni, 2011)

2.3 Klasifikasi Typus Abdominalis

Menurut WHO (2003) dalam Soeparman (2011), ada 3 macam klasifikasi typhus abdominalis
dengan perbedaan gejala klinis:

a. Typhus abdominalis akut non komplikasi


Typhus abdominalis akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan abnormalis
fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada anak-anak), sakit kepala, malaise,
dan anoreksia. Bentuk bronchitis biasa terjadi pada fase awal penyakit selama periode demam,
sampai 25% penyakit menunjukkan adanya respon pada dada, abdomen dan punggung.

b. Typhus abdominalis dengan komplikasi


Pada typhus abdominalis akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi komplikasi parah.
Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10% pasien dapat
mengalami komplikasi, mulai dari melena, perforas usus dan peningkatan ketidaknyamanan
abdomen.

c. Keadaan karier
Keadaan karier typhus abdominalis terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien. Karier
typhus abdominalis bersifat kronis dalam hal sekresi Salmonella typhi di feses.

2.4 Manifestasi Klinis Typus Abdominalis

Masa tunas demam typhoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang
khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini
ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu :

8
9

A. Demam tinngi sampai akhir minggu pertama.


B. Nyeri kepala dan perut.
C. Pusing, bradikardi, nyeri otot.
D. Anoreksia.
E. Kembung, mual muntah, dan konstipasi.
F. Obstipasi atau diare.
G. Perasaan tidak enak diperut.
H. Batuk.
I. Epistaksis.
J. Lidah berselaput (kotor ditengah, ujung merah serta tremor).
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat. Sifat demam adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. (Widodo, Joko, 2006)

Manifestasi klinis Thypus Abdominalis yang disebabkan oleh S. Paratyphi lebih ringan dari
pada Salmonella Thyposa. Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya
adalah 10-14 hari. Masa awal penyakit, tanda dan gejala penyakit berupa anoreksia, rasa malas,
sakit kepala bagian depan, nyeri otot, lidah kotor (putih ditengah dan tepi lidah kemerahan,
kadang disertai tremor lidah), nyeri perut sehingga dapat tidak terdiagnosis karena gejala mirip
dengan penyakit lainnya.

Gambaran klinis Thypus Abdominalis terbagi atas 4 fase yaitu:


A. Minggu pertama (awal terinfeksi), setelah masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit
berupa thypus tinggi berkisar 39ºC hingga 40ºC, sakit kepala dan pusing, pegal pada otot,
mual, muntah, batuk, nadi meningkat, denyut lemah, perut kembung (distensi abdomen),
dapat terjadi diare atau konstipasi, lidah kotor, epistaksis. Pada akhir minggu pertama
lebih sering terjadi diare, namun demikian biasanya diare lebih sering terjadi pada anak-
anak sedangkan konstipasi lebih sering terjadi pada orang dewasa. Bercak-bercak merah
yang berupa makulapapula disebut roseolae karena adanya trombus emboli basil pada
kulit terjadi pada hari ke 7 dan berlangsung 3-5 hari dan kemudian menghilang. Penderita
Abdominalis di Indonesia jarang menunjukkan adanya roseolae dan umumnya dapat
terlihat dengan jelas pada berkulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm,
berkelompok, timbul pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan
memucat bila ditekan.
B. Minggu kedua, suhu badan tetap tinggi, bradikardi relatif, terjadi gangguan pendengaran,
lidah tampak kering dan merah mengkilat. Diare lebih sering, perhatikan adanya darah di
feses karena perforasi usus, terdapat hepatomegali dan splenomegali.
C. Minggu ketiga, suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Jika keadaan semakin
memburuk, dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot
bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin, perdarahan dari usus,
meteorismus, timpani dan nyeri abdomen. Jika denyut nadi meningkat disertai oleh

9
10

peritonitis lokal maupun umum, pertanda terjadinya perforasi usus. Sedangkan keringat
dingin, gelisah, sukar bernafas dan nadi menurun menunjukkan terjadinya perdarahan.
Degenerasi miokard merupakan penyebab umum kematian penderita Thypus
Abdominalis pada minggu ketiga.
D. Minggu keempat, merupakan stadium penyembuhan, pada awal minggu keempat dapat
dijumpai adanya pneumonia lobaris atau tromboflebitis vena femoralis. (Suratun, 2010)

2.5 Patofisiologi Typus Abdominalis

Masuknya bakteri Salmonella typhosa ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan
terkontaminasi yang masuk melalui mulut kemudian menuju kesaluran pencernaan. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus selanjutnya
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman
akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina
propia bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak
peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus torasikus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteriemia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteriemia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-
tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Bakteri dapat masuk ke dalam kandung kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian bakteri
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulangi kembali, karena makrofag telah teraktivasi, hiperaktif, maka saat
fagositosis bakteri Salmonella typhi terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, gangguan vaskular, mental, dan koagulasi.

Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.typhi
intra makrofag menginduksi rekasi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya. (Widodo, 2014)

10
11

2.6 Pathway

Makanan yang terinfeksi bakteri Salmonella Typhosa

Masuk melalui mulut

Menuju ke saluran pencernaan

Mati dimusnahkan
Asam lambung Lambung

Diserap oleh usus halus

Bakteri memasuki aliran sarah sistemik

Kelenjar limfoid Limpa Endotoksin


Usus halus

hipertermi
Tukak Splenomegali

Perdarahan dan perforasi Lambung tertekan

Mual
Risiko devisit
volume cairan
Anoreksia
Nyeri raba

11
12

Perubahan nutrisi
DAFTAR PUSTAKA

Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta:
Interna Publishing.

Soeparman. 2011. Ilmu Penyakit Dalam. Gaya Baru. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.

Suratun. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media.

Widodo, Joko. 2006. Demam tifoid, edisi III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam

Widodo. (2014). Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam


Universitas Indonesia Edisi 6, Jakarta.

Widoyono. 2002. Penyakit Epidemiologi. Jakarta. Erlangga

Zulkoni Akhsin. 2011. Parasitologi. Yogyakarta : Nuha Medika.

12

Anda mungkin juga menyukai