Anda di halaman 1dari 10

VISI

Pada tahun 2028 menghasilkan Ners yang unggul dalam Asuhan Keperawatan lanjut usia dengan
menerapkan Ilmu dan Teknologi Keperawatan

LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN GAWA T DARURAT

Program Studi : Program Sarjana Terapan dan Program Studi


Pendidikan Profesi Ners Program Profesi

Mata Kuliah : Kep erawatan Gawat Darurat II

Penempatan : Semester V II T.A. 202 2/ 2023

Kelas / Kelompok : 4A Ners / III A

Penanggung Jawab :
Ace Sudrajat,S.Kp.,M.Kes.

Dosen Pengampu :
Ace Sudrajat,S.Kp.,M.Kes.

Disusun oleh:
Syifa Rara Ratnaduhita P3.73.20.2.19.036

JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III
TAHUN 202 2
A. Pengertian Umum Innisial Assesmen
Innisial assesmen atau penilaian awal pada penderita trauma maupun pasien disertai
pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menghindari kematian. Penanganan ini dilakukan
secara maksimal tanpa membuang-buang waktu, yang biasanya dilakukan dengan durasi
kurang dari 5 menit. Initial assessment digunakan dalam penanganan gawat darurat seperti
kecelakaan atau bencana alam yang melibatkan lebih dari 1 orang. Prinsip utama Innisial
Assesmen ini adalah kenali terlebih dahulu keadaan yang mengancam nyawa pasien. Prinsip
dalam menolong pasien dengan memperhatikan DANGER yang terdiri ata 3A yaitu mandiri,
pasien, dan lingkungan. Maka petugas kesehatan harus mengamankan diri dengan memakai
APD (alat pelindung diri)

B. Prinsip atau Alur Penanggulangan Penderita Trauma 1. Triage/Triase


Triase adalah proses penentuan atau seleksi pasien yang diprioritaskan untuk
mendapat penanganan terlebih dahulu di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah
sakit. Triase dapat diartikan memilih/memilah pasien dan juga memilih ruangan yang
akan diberikan kepada pasien. Proses penentuan ini dilakukan untuk mendapatkan
urutan penanganan sesuai tingkat kegawatdaruratan pasien, seperti kondisi cedera
ringan, cedera berat yang bisa mengancam nyawa dalam hitungan menit dan jam, atau
sudah meninggal. a. Jenis Triase:
Dalam sistem triase IGD, ada 4 kategori warna. Empat kategori warna tersebut
memiliki arti masing-masing yang disesuaikan dengan kondisi pasien, yaitu:
1) Kategori merah
Pasien dengan kategori merah adalah pasien prioritas pertama (area resusitasi)
yang butuh pertolongan segera. Kriteria pasien yang masuk dalam kategori ini
adalah mengalami kondisi kritis yang membutuhkan pertolongan medis segera.
Kategori ini dapat dikatakan sebagai kondisi gawat dan darurat, apabila dalam
10 menit tidak ditangani dengan baik maka bisa meninggal.
2) Kategori kuning
Pasien dalam kategori kuning merupakan prioritas kedua (area tindakan) yang
juga membutuhkan pertolongan segera. Hanya saja, pasien yang termasuk
kategori ini tidak dalam kondisi kritis. Kategori ini dapat dikatakan sebagai
kondisi gawat namun tidak darurat. Tidak apa-apa bila tidak segera dilakukan
tindakan. Kategori ini memiliki waktu maksimal sebanyak 30 menit, apabila
lebih dari 30 menit tidak ditangani maka bisa menjadi kategori merah. Dan
apabila ditangani dengan baik maka bisa jadi kategori hijau.
3) Kategori hijau
Kategori ini termasuk dalam prioritas ketiga (area observasi). Pasien dalam
kategori ini umumnya mengalami cedera ringan dan biasanya masih mampu
berjalan atau mencari pertolongan sendiri.
4) Kategori hitam
Kategori ini berarti pasien tidak ada nadi dan tidak ada napas saat baru datang.
Hal ini sering disebut sebagai DOA (Dead On Arrival). Kategori hitam hanya
diperuntukkan bagi pasien yang sudah tidak mungkin ditolong lagi atau sudah
meninggal.
KLASIFIKASI KETERANGAN

Prioritas I Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi dan tindakan bedah
(merah) segera, mempunyai kesempatan hidup yang besar. Penanganan dan
pemindahan bersifat segera yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan
dan sirkulasi. Contohnya sumbatan jalan nafas, tension pneumothorak,
syok hemoragik, luka terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka
bakar) tingkat II dan III > 25%

Prioritas II Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani
(kuning) dalam jangka waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat jangan
terlambat. Contoh: patah tulang besar, combutio (luka bakar) tingkat II
dan III < 25 %, trauma thorak / abdomen, laserasi luas, trauma bola mata.

Prioritas III Perlu penanganan seperti pelayanan biasa, tidak perlu segera. Penanganan
(hijau) dan pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka superficial, luka-luka
ringan
Prioritas 0 Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat parah. Hanya perlu
(hitam) terapi suportif. Contoh henti jantung kritis, trauma kepala kritis.

b. Teknik triase yang dapat dilakukan lebih awal/diutamakan:


1) Periksa mobilitas pasien
2) Periksa kesadaran Pasien
3) Periksa GCS (Glaslow Coma Scale) atau Skala Koma Glaslow.
a) Mata
Jika tim medis meminta membuka mata dan merangsang seseorang dengan
nyeri tapi mata orang tersebut tidak bereaksi dan tetap terpejam, maka poin
GCS yang didapat yaitu 1. Jika mata terbuka akibat rangsang nyeri saja,
poin GCS yang didapat yaitu 2 Jika mata seseorang terbuka hanya dengan
mendengar suara atau dapat mengikuti perintah untuk membuka mata,
poin GCS yang didapat yaitu 3. Jika mata terbuka secara spontan tanpa
perintah atau sentuhan, maka poin yang didapat yaitu 4.
b) Suara
Jika seseorang tidak mengeluarkan suara sedikitpun, meski sudah
dipanggil atau dirangsang nyeri, maka orang tersebut mendapat poin 1.
Jika suara yang keluar seperti rintihan tanpa kata-kata, poin yang didapat
yaitu 2. Seseorang dapat berkomunikasi tapi tidak jelas atau hanya
mengeluarkan kata-kata tapi bukan kalimat yang jelas, poin GCS yang
didapat yaitu 3. Jika seseorang dapat menjawab pertanyaan dari tim medis
tapi pasien seperti kebingungan atau percakapan tidak lancar, maka poin
yang didapat adalah 4. Seseorang dapat menjawab semua pertanyaan yang
diajukan dengan benar dan sadar penuh terhadap orientasi lokasi, lawan
bicara, tempat, dan waktu, maka poin yang didapat yaitu 5.
c) Gerakan
Tidak ada respons gerakan tubuh walau sudah diperintahkan atau diberi
rangsangan nyeri, poin GCS yang didapat yaitu 1. Seseorang hanya dapat
mengepalkan jari tangan dan kaki, atau menekuk kaki dan tangan saat
diberi rangsangan nyeri, poin yang didapatkan adalah 2. Seseorang hanya
menekuk lengan dan memutar bahu saat diberi rangsangan nyeri, poin
GCS yang didapat yaitu 3. Seseorang dapat menggerakkan tubuh menjauhi
sumber nyeri ketika dirangsang nyeri, poin GCS yang diperoleh yaitu 4.
Bagian tubuh yang tersakiti dapat bergerak dan orang yang diperiksa dapat
menunjukkan lokasi nyeri, poin GCS yang didapat yaitu 5. Seseorang
dapat melakukan gerakan ketika diperintahkan, poin GCS yang didapatkan
yaitu
4) Periksa keluhan atau nyeri yang dirasakan
5) Periksa jalan napas ada sumbatan atau tidak
6) Periksa sirkulasi/denyut nadi pasien
2. Primary Survey
Pada penilaian Innisial Assesmen ada 5 komponen yang harus dinilai. Tahapan
pengkajian primer meliputi: A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga
jalan nafas disertai kontrol servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan
mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem
sirkulasi disertai kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E:
Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia. Pengkajian
primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa pasien,
memberi pengobatan yang menyelamatkan jiwa, mengelompokkan tingkat keparahan
pasien sehingga bisa ditangani secara efektif dan efisien, sebagai algoritma penilaian
dan pengobatan.
a. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan
jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas
pasien terbuka.
1) Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
2) Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain adanya
snoring atau gurgling, stridor atau suara napas tidak normal, agitasi (hipoksia),
penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis
3) Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi seperti muntahan, perdarahan, gigi lepas atau
hilang, gigi palsu, trauma wajah
4) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
5) Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
6) Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi: - Chin lift/jaw thrust, lakukan suction (jika tersedia), oropharyngeal
airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway, intubasi
b. Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai,
maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan
drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan
ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000). Yang perlu diperhatikan dalam
pengkajian breathing pada pasien antara lain:
1) Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
- Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
- Palpasi untuk adanya: pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan
pneumotoraks.
- Auskultasi untuk adanya: suara abnormal pada dada.
2) Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
3) Penilaian kembali status mental pasien.
4) Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
5) Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
terapi oksigen, bag-Valve Masker, intubasi,
6) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.
c. Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.
Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock
didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat,
ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh
karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang
cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain
yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax,
cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis.
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
1) Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
2) CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
3) Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
4) Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
5) Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
d. Disabillity
1) A: alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
2) V: vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
3) P: responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai)
U: unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun
stimulus verbal.
e. Exposure
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk
dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien.
Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga
privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa,
maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
• Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
• Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka
dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau
kritis.
2. Secondary survey
Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam
artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik. a.
Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena
akan memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Anamnesis
juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga:
Alergi, Medikasi/obat-obatan, Pertinent medical history, Last meal, dan Events.
b. Pemeriksaan fisik:
1) Kulit kepala : inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam,
perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit
2) Wajah : Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Re evaluasi tingkat
kesadaran dengan skor GCS.
3) Mata : Periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor atau
anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis
atau midriasis, adanya ikterus, apakah konjungtivanya anemis atau adanya
kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival
perdarahan, serta diplopia
4) Hidung: periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman,
apabila ada deformitas
5) Telinga: periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan atau
hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane
timpani atau adanya hemotympanum
6) Mulut dan faring: inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi,
apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa
ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, amati adanya tonsil meradang
atau tidak Palpasi adanya respon nyeri
7) Vertebra servikalis dan leher : periksa adanya deformitas tulang, edema,
ruam, lesi, dan massa, kaji adanya keluhan disfagia dan suara serak harus
diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot
tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema
subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi.
8) Toraks : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk
adanya trauma tumpul/tajam, luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss, bekas
luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada,
penggunaan otot pernafasan tambahan, apakah terpasang pace maker,
frekuensi dan irama denyut jantung, palpasi seluruh dinding dada untuk
adanya trauma tajam/tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan.
Auskultasi: suara nafas tambahan dan bunyi jantung
9) Abdomen : Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya
trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi
abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk,
ecchymosis, bekas luka, dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi
abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk
mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali, splenomegali,
defans muskuler, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu
akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL
(Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada
perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan
nampak dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali.
Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan
(Tim YAGD 118, 2010).
10) Pelvis (perineum/rectum/vagina) : Pelvis dan perineum diperiksa akan
adanya luka, laserasi, ruam, lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan
perdarahan uretra.
11) Ektremitas : inspeksi adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuka),
kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan,
paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur.
3. Terapi Definitif
Talaksana definitif adalah penanganan/pemberian tindakan terakhir untuk
menyelesaikan permasalahan setiap Pasien di IGD.

4. Transportasi
Standar trasportasi pada keperawatan gawat darurat adalah ketetapan ideal
mengenai cara pemindahan pasien gawat darurat dari lokasi disaster menuju rumah
sakit. Dalam hal ini, penanganan pre rumah sakit harus di laksanakan sesuai dengan
standar penyelamatan karena bila tidak, dapat berpotensi menimbulkan kecacatan
bahkan kematian bagi pasien. Seorang penderita gawat darurat dapat
ditransportasikan bila penderita tersebut siap (memenuhi syarat) untuk
ditransportasikan, yaitu:
a. Gangguan pernafasan dan kardiovaskuler telah ditanggulangi – resusitasi : bila
diperlukan
b. Perdarahan dihentikan
c. Luka ditutup
d. Patah tulang di fiksasi
e. Dan selama perjalanan, pasien harus tetap di monitor

DAFTAR PUSTAKA

Kartikawati, N.D. 2013. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Salemba
Medika.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Standar Pelayanan Keperawatan Gawat


Darurat di RS. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Mira Suryani. 2020. INITIAL ASSESSMENT (Pengkajian Awal). Internet:


https://www.academia.edu/42663229/INITIAL_ASSESSMENT_Pengkajian_Awal
(Diakses pada 2 Agustus 2021 Pukul 19.37 P.M)

Thim, T., Krarup, N. H. V., Grove, E. L., Rohde, C. V., & Løfgren, B. (2012). Initial
assessment and treatment with the Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure
(ABCDE) approach. International journal of general medicine, 5, 117.

Anda mungkin juga menyukai