Anda di halaman 1dari 126

TEKNIK DEHIDRASI OSMOTIK SEBAGAI PRA-PERLAKUAN

PADA PROSES PENGERINGAN SLICE KENTANG (Solanum


tuberosum L.)

SKRIPSI

Oleh :
SRI WULAN HADININGSIH
NIM 145100601111018

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI BIOPROSES


JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
TEKNIK DEHIDRASI OSMOTIK SEBAGAI PRA-PERLAKUAN
PADA PROSES PENGERINGAN SLICE KENTANG (Solanum
tuberosum L.)

Oleh :
SRI WULAN HADININGSIH
NIM 145100601111018

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI BIOPROSES


JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

ii
iii
iv
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Binjai pada


tanggal 23 Agustus 1997 dari Ayah yang
bernama Sugeng dan Ibu yang bernama
Leli Indrawati. Penulis menyelesaikan
pendidikan Sekolah Dasar di SDN 058324
Pungai Kota Binjai dan lulus pada tahun
2008. Selanjutnya penulis melanjutkan ke
Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1
Binjai dan lulus pada tahun 2011. Penulis
menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 2 Binjai dan
lulus pada tahun 2014. Pada tahun 2014 penulis melanjutkan
pendidikannya ke jenjang perkuliahan di Universitas Brawijaya
dan berhasil menyelesaikan pendidikannya di Jurusan
Keteknikan Pertanian Program Studi Teknologi Bioproses.

Selama menempuh pendidikan di Universitas Brawijaya,


penulis aktif dalam berorganisasi di Himpunan Mahasiswa
Keteknikan Pertanian (HIMATETA) dan Ikatan Mahasiswa
Teknik Pertanian Indonesia (IMATETANI). Selain itu penulis
juga aktif dalam berbagai kepanitian tingkat Fakultas ataupun
Jurusan.

v
Ku persembahkan skripsi ini untuk orang yang selalu bertanya:

“kapan skripsimu selesai?”

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah


keadaan suatu kaum sebelum mereka
mengubah keadaan diri mereka sendiri”
(Qs. Ar-Ra’d: 11)

DO it NOW sometimes LATER becomes NEVER

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

vi
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama Mahasiawa : Sri Wulan Hadiningsih
NIM : 145100601111030
Jurusan : Keteknikan Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul TA : Teknik Dehidrasi Osmotik Sebagai Pra-
Perlakuan Pada Proses Pengeringan Slice
Kentang (Solanum tuberosum L.)

Menyatakan bahwa,

Tugas Akhir dengan judul diatas merupakan karya asli penulis.


Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar,
saya bersedia dituntut sesuai hukum yang berlaku.

Malang, 03 Agustus 2018

Pembuat Pernyataan

Sri Wulan Hadiningsih


NIM. 145100601111018

Sri Wulan Hadiningsih. 145100601111018.Teknik Dehidrasi


Osmotik Sebagai Pra-Perlakuan Pada Proses Pengeringan
Slice Kentang (Solanum tuberosum L.).TA. Pembimbing I:
vii
La Choviya Hawa, STP, MP, Ph.D. Pembimbing II: Dewi
Maya Maharani, STP, M.Sc

RINGKASAN

Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas


umbi-umbian yang memiliki kadar air yang tinggi sekitar 80%
dari kandungan kentang. Sehingga menyebabkan kentang
memiliki sifat yang mudah rusak (Prayudi, 2010). Dehidrasi
osmosis adalah teknik pengurangan kadar air dengan cara
merendam suatu bahan ke dalam larutan hipertonik (larutan
yang mempunyai konsentrasi terlarut tinggi) yang dapat
mendorong keluarnya air dari bahan tersebut melalui membran
selnya (Oladele, 2008). Hal tersebut dilakukan untuk
menghasilkan produk dengan masa simpan yang lebih lama
(Nowakunda, 2011). Maltodekstrin dan NaCl merupakan larutan
osmotik yang digunakan dalam proses dehidrasi osmosis.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh
konsentrasi larutan Maltodekstrin dan NaCl terhadap dehidrasi
osmosis kentang yang meliputi Water Loss (WL), Solid Gain
(SG), Weight Reduction (WR), dan menganalisa pengaruh
dehidrasi osmosis kentang terhadap kadar air dan laju
pengeringan serta menganalisa karakteristik kentang terhadap
pengaruh perlakuan dehidrasi osmosis meliputi warna,
pengkerutan dan struktur dalam sel.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor. Faktor
pertama ialah maltodekstrin dengan 3 jenis konsentrasi yaitu
30%, 40%, dan 50% (m/v). Faktor kedua ialah NaCl dengan 3
konsentrasi yaitu 5%, 10%, dan 15% (m/v). Pada penelitian ini
juga dilakukan perlakuan steam blanching selama 3 menit, dan
proses dehidrasi osmotik belangsung selama 10 menit. Teknik
dehidrasi osmotik pada penelitian ini dikombinasikan dengan
pengeringan udara panas dengan suhu 30ºC, 40ºC dan 50ºC
selama 4 jam dan kemudian di oven selama 4 jam dengan suhu
105ºC untuk mengetahui kadar air.

viii
Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan konsentrasi
larutan osmotik berpengaruh terhadap water loss dan solid gain.
Semakin tinggi konsentrasi larutan osmotik, maka semakin
besar pula nilai water loss dan solid gain yang dihasilkan.
Perlakuan dehidrasi osmosis mampu menurunkan kadar air
awal bahan, menyebabkan laju pengeringan memiliki nilai yang
rendah dibandingkan non treatment dan blanching, dapat
mencegah terjadinya pengerutan dan mampu membuat bahan
memiliki warna yang sedikit kekuningan, transparan dan
mengkilap.

Kata Kunci: Dehidrasi Osmosis, Kentang, Larutan Gula Garam

Sri Wulan Hadiningsih. 145100601111018. Teknik Dehidrasi


Osmotik Sebagai Pra-Perlakuan Pada Proses Pengeringan
Slice Kentang (Solanum tuberosum L.).TA. Pembimbing I:
ix
La Choviya Hawa, STP, MP, Ph.D. Pembimbing II: Dewi
Maya Maharani, STP, M.Sc

SUMMARY

Potatoes (Solanum tuberosum L.) are commoditty


tubers have high water content of around 80% of the potato
content. So that causes potatoes to be easily damaged
(Prayudi, 2010). Osmotic dehydration is a technique to reduce
water content by soaking the ingredients in a hypertonic solution
(a solution that has a high dissolved concentration) that can
push water out of the material through its cell membrane
(Oladele, 2008). This is done to produce products with a longer
shelf life (Nowakunda, 2011). Maltodextrin and NaCl are osmotic
solutions used in osmotic dehydration. The purpose of this study
was to analyze the effect of Maltodextrin and NaCl concentration
solution on dehydration of osmotic potatoes including Water
Loss (WL), Solid Gain (SG), Weight Reduction (WR), and
analyze the effects of potato dehydration on moisture content
and drying rate and analyze the characteristics potatoes on the
treatment effect of osmotic dehydration including color,
shrinkage and cell structure.
The method used in this research is a Complete Random
Design method Two-Factor. The first factor was maltodextrin
with 3 types of concentration 30%, 40%, and 50% (m/v). The
second factor was NaCl with 3 of concentrations 5%, 10%, and
15% (m/v). In this research steam blanching was also treated for
3 minutes, and the osmotic dehydration process lasted for 10
minutes. The osmotic dehydration technique in this study was
combined with hot air drying with temperatures of 30ºC, 40ºC
and 50ºC for 4 hours and then in the oven for 4 hours with a
temperature of 105ºC to determine the water content.

Based on the results of the research, treatment of the


concentration of osmotic solution affects the loss of water and
obtains solids. The higher the concentration of the osmotic
x
solution, the greater the value of water loss and the resulting
solid gain. Osmosis dehydration treatment can reduce the initial
moisture content of the material, causing the drying rate to have
a low value compared to non-treatment and blanching, can
prevent shrinkage and can make the material have a slightly
yellowish, transparent and shiny color.

Keywords: Osmotic Dehydration, Potatoes, Salt Sugar Solution

KATA PENGANTAR

xi
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang
berjudul “Teknik Dehidrasi Osmotik Sebagai Pra-Perlakuan
Pada Proses Pengeringan Kentang (Solanum tuberosum
L.)”. Penyusunan Tugas Akhir ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik. Pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1 Kedua orang tua dan segenap keluarga yang telah
banyak memberikan do’a, dukungan, dan kasih sayang
yang tiada hentinya.
2 Ibu La Choviya Hawa, STP, MP, Ph.D selaku dosen
pembimbing I dan serta selaku Ketua Jurusan
Keteknikan Pertanian yang telah memberikan arahan,
bimbingan, ilmu pengetahuan, saran dan semangat
kepada penulis selama proses penyusunan tugas akhir.
3 Ibu Dewi Maya Maharani, STP, M.Sc. selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan,
ilmu pengetahuan, wawasan dan saran selama proses
penyusunan tugas akhir.
4 Bapak Dr. Ir. Bambang Dwi Argo, DEA selaku dosen
penguji atas segala saran dan masukan selama proses
penyusunan tugas akhir.
5 Amirada Nur Laily dan Fatma Laili Khoirunnida sebagai
partner skripsi yang selalu membantu, menemani dan
mendukung penulis pada saat penelitian maupun proses
penyusunan tugas akhir.
6 Budiman Gunawan yang senantiasa meberikan motivasi,
semangat dan menjadi support system, pendengar yang
baik atas keluh kesah yang disampaikan oleh penulis.
7 Laura Teresia, Rayner Rafail, Nadya Ingkan, Novita
Afifah, Fara Miranda, Tatyana Putri, Enny Hutami, M.
Hashfi, A. Fathur Rahman dan M. Jawad atas dukungan,

xii
semangat dan waktu yang telah diberikan kepada
penulis.
8 Alfi Syahri yang telah menemani dan memberi semangat
dari awal perkuliahan hingga penulis menyelesaikan
tugas akhir.
9 Teman-teman Teknologi Bioproses 2014 atas
kebersamaan, semangat dan energi positif yang selalu
diberikan selama menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Semoga apa yang telah disusun dalam Tugas Akhir ini


dapat bermanfaat dan dapat diterapkan sebagai penambahan
wawasan ilmu pengetahuan, baik jurusan, fakultas, universitas
ataupun umum. Penulis juga menyadari masih terdapat
kekurangan dalam penyusunan Tugas Akhir ini, oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan.

Malang, 03 Agustus 2018

Penulis

DAFTAR ISI
xiii
Teks Halaman
COVER ..................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................ iv
RIWAYAT HIDUP ..................................................................... v
LEMBAR PERSEMBAHAN ..................................................... vi
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ...................................... vii
RINGKASAN ............................................................................viii
SUMMARY ................................................................................ x
KATA PENGANTAR ................................................................ xii
DAFTAR ISI ..............................................................................xiv
DAFTAR TABEL ......................................................................xvi
DAFTAR GAMBAR.............................................................. xvii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................ xix
DAFTAR SIMBOL .................................................................... xx
BAB I PENDAHULUAN .......................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................. 5
1.5 Batasan Masalah ............................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................. 6
2.1 Kentang ............................................................................. 6
2.2 Pengeringan ...................................................................... 8
2.3 Blanching .......................................................................... 12
2.4 Dehidrasi Osmosis ............................................................. 14
2.5 Maltodekstrin ..................................................................... 21
2.6 NaCl ................................................................................... 22
2.7 SEM (Scanning Electron Microscope) .............................. 24
2.8 Penelitian Terdahulu .......................................................... 26

BAB III METODE PENELITIAN ...............................................29


xiv
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..........................................29
3.2 Alat dan Bahan Penelitian .................................................29
3.2.1 Alat ...........................................................................29
3.2.2 Bahan .......................................................................30
3.3 Metode Penelitian ..............................................................31
3.4 Prosedur Penelitian............................................................32
3.4.1 Dehidrasi Osmosis ....................................................32
3.4.2 Pengeringan..............................................................33
3.4.3 Pengujian Warna ......................................................33
3.4.4 Pengujian SEM .........................................................34
3.5 Diagram Alir Pelaksanaan .................................................35
3.6 Pelaksanaan Penelitian .....................................................38
3.6.1 Penelitian Pendahuluan............................................38
3.6.2 Penelitian Utama ......................................................38
3.7 Parameter Pengamatan......................................................40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................47
4.1 Mass Transfer ....................................................................47
4.1.1 Solid Gain (SG) ........................................................47
4.1.2 Water Loss (WL) .......................................................53
4.1.3 Weight Reduction (WR) ............................................59
4.2 Kadar Air dan Laju Pengeringan .......................................61
4.2.1 Kadar Air ...................................................................61
4.2.2 Laju Pengeringan......................................................68
4.3 Analisis Warna dan Pengerutan ........................................72
4.3.1 Analisis Warna ..........................................................72
4.3.2 Pengerutan ...............................................................81
4.4 Analisis SEM ......................................................................87
BAB V PENUTUP ..................................................................93
5.1 Kesimpulan............................................................... 93
5.2 Saran ........................................................................ 94
DAFTAR PUSTAKA ...................................................... 95

DAFTAR TABEL
xv
No Teks Halaman
Tabel 2.1 Kandungan Gizi Kentang Per 100 gram ............ 8
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu ............................................. 26
Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan Faktor 1 dan Faktor 2 ..... 31
Tabel 4.1 Rerata Nilai Solid Gain Berdasarkan Interaksi
Antar Faktor ............................................................ 51
Tabel 4.2 Rerata Nilai Water Loss Berdasarkan Interaksi
Antar Faktor ............................................................ 57
Tabel 4.3 Hasil Analisis L*a*b* dari Berbagai Perlakuan
Pada Suhu 30oC .................................................... 76
Tabel 4.4 Hasil Analisis L*a*b* dari Berbagai Perlakuan
Pada Suhu 40oC .................................................... 76
Tabel 4.5 Hasil Analisis L*a*b* dari Berbagai Perlakuan
Pada Suhu 50oC .................................................... 77

DAFTAR GAMBAR

xvi
No Teks Halaman
Gambar 2.1 Mekanisme Dehidrasi Osmosis ........................... 18
Gambar 2.2 Berkas Elektron yang dideteksi SEM .................. 25
Gambar 3.1 Diagram Alir Perlakuan Dehidrasi Osmosis ........ 35
Gambar 3.2 Diagram Alir Pengeringan .................................... 36
Gambar 3.3 Diagram Alir Keseluruhan Penelitian ................... 37
Gambar 3.4 Diagram Alir Perhitungan Penambahan
Massa Padatan/Solid Gain (SG) ........................ 41
Gambar 3.5 Diagram Alir Perhitungan Kehilangan Air/
Water Loss (WL) ................................................. 42
Gambar 3.6 Diagram Alir Perhitungan Kehilangan
Massa/ Weight Reduction (WR) ......................... 43
Gambar 3.7 Rancangan black box untuk features
extraction.............................................................. 44
Gambar 4.1 Solid Gain Pada Berbagai
Konsentrasi Maltodekstrin dan NaCl
Pada Dehidrasi Osmotik ...................................... 48
Gambar 4.2 Water Loss Pada Berbagai
Konsentrasi Maltodekstrin dan NaCl
Pada Dehidrasi Osmotik ...................................... 53
Gambar 4.3 Weight Reduction Pada Berbagai
Konsentrasi Maltodekstrin dan NaCl Pada
Dehidrasi Osmotik ............................................... 59
Gambar 4.4 Hubungan Kadar Air Terhadap
Waktu Pengeringan Pada Suhu 30ºC ................. 62
Gambar 4.5 Hubungan Kadar Air Terhadap
Waktu Pengeringan Pada Suhu 40ºC ................. 64
Gambar 4.6 Hubungan Kadar Air Terhadap
Waktu Pengeringan Pada Suhu 50ºC............... 65
Gambar 4.7 Hubungan Laju Pengeringan dengan
Kadar Air Pada Suhu 30ºC................................ 68
Gambar 4.8 Hubungan Laju Pengeringan dengan
xvii
Kadar Air Pada Suhu 40ºC................................69
Gambar 4.9 Hubungan Laju Pengeringan dengan
Kadar Air Pada Suhu 50ºC................................69
Gambar 4.10 Tampilan Slice Kentang Hasil
Pengeringan Selama 4 Jam Pada
Suhu 30ºC .........................................................74
Gambar 4.11 Tampilan Slice Kentang Hasil
Pengeringan Selama 4 Jam Pada
Suhu 40ºC .........................................................74
Gambar 4.12 Tampilan Slice Kentang Hasil
Pengeringan Selama 4 Jam Pada
Suhu 50ºC .........................................................75
Gambar 4.13 Skema Terjadinya Pencoklatan
Enzimatis ...........................................................80
Gambar 4.14 Perubahan Bentuk Kentang
Hasil Pengeringan Selama 4 Jam Pada
Suhu 30ºC .........................................................82
Gambar 4.15 Perubahan Bentuk Kentang
Hasil Pengeringan Selama 4 Jam Pada
Suhu 40ºC .........................................................83
Gambar 4.16 Perubahan Bentuk Kentang
Hasil Pengeringan Selama 4 Jam Pada
Suhu 50ºC .........................................................85
Gambar 4.17 Hasil Uji SEM Kentang Non
Treatment Pada Perbesaran (a) 100x
(b) 300x (c) 500 x (d) 1000x ..............................88
Gambar 4.18 Hasil Uji SEM Kentang Blanching
Pada Perbesaran (a) 100x (b) 300x
(c) 500 x (d) 1000x ............................................90

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman
Lampiran 1 Data Solid Gain pada Berbagai
Perlakuan................................................... 107
Lampiran 2 Hasil Uji kruskal Wallis............................... 117
Lampiran 3 Data Water Loss pada Berbagai
Perlakuan....................................................... 118
Lampiran 4 Hasil Uji One Way Anova............................. 121
Lampiran 5 Data Weight Reduction pada
Berbagai Perlakuan...................................... 122
Lampiran 6 Hasil Uji Ranking Test.................................. 124
Lampiran 7 Data Kadar Air............................................... 126
Lampiran 8 Data Laju Pengringan................................... 135
Lampiran 9 Scren Shoot Penjalanan Aplikasi
Features Extraction....................................... 139

DAFTAR SIMBOL
xix
Simbol Keterangan Satuan Nomor
Persamaan
SG Penambahan massa % 3.1
padatan
Ws Massa bahan kering g 3.1
Wso Massa bahan kering g 3.1
non treatment
Mo Massa sampel segar g 3.1
non treatment
WL Jumlah air yang hilang % 3.2
Wwo Jumlah air yang hilang g 3.2
pada sampel non
treatment
Ww Jumlah air yang hilang g 3.2
pada sampel dehidrasi
osmosis
Ws Massa sampel setelah g 3.2
dioven
Mt Massa sampel setelah g 3.2
direndam
WR Massa yang hilang % 3.3
MCw.b Kadar air Basis Basah % 3.4
Wa Berat Bahan g 3.4
Wb Bobot bahan kering g 3.4
mutlak

xx
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas


umbi-umbian yang banyak mendapat perhatian karena memiliki
nilai jual yang cukup tinggi. Kebutuhan akan kentang terus
meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan
bahan baku kentang. Kentang memiliki sifat mudah rusak, sifat
mudah rusak ini dipengaruhi oleh kadar air dalam kentang yang
tinggi sekitar 80% dari kandungan kentang itu sendiri (Prayudi,
2010). Kandungan air yang tinggi ini dapat menjadi penyebab
kerusakan kentang pada saat musim panen raya. Hal ini
dikarenakan hasil panen melimpah sedangkan proses
pengeringan tidak dapat berlangsung secara serentak sehingga
menyebabkan kadar air dalam kentang masih dalam keadaan
besar dan menyebabkan pembusukan. Khan (2012)
mengatakan dehidrasi osmosis dapat menjadi solusi dari
permasalahan tersebut.
Dehidrasi osmosis adalah teknik pengurangan kadar air
dengan cara merendam suatu bahan ke dalam larutan
hipertonik (larutan yang mempunyai konsentrasi terlarut tinggi)
yang dapat mendorong keluarnya air dari bahan tersebut
melalui membran selnya (Oladele, 2008), sehingga dehidrasi
osmotik dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kadar air bahan

1
sampai tingkat tertentu. Pada penelitian Wirawan (2013),
dehidrasi osmosis dapat menurunkan kadar air hingga ±50%
dari kadar air awal, sehingga dehidrasi osmotik membantu
mempercepat pengeluaran kadar air sebelum dilakukan
pengeringan lebih lanjut, karena biasanya dehidrasi osmosis
dilakukan dengan penggabungan dua metode atau lebih yaitu
metode osmosis dan pengeringan konvensional lainnya seperti
pengeringan matahari, pengeringan beku, pengeringan vakum,
dan pengeringan udara panas. Hal tersebut dilakukan untuk
menghasilkan produk dengan masa simpan yang lebih lama
(Nowakunda, 2011). Hal ini tentu akan menghemat energi pada
saat pengeringan berlangsung. Selain menghemat energi,
menurut Wirawan (2009) dehidrasi osmosis juga dapat
mempertahankan karakteristik awal makanan (warna, aroma,
nutrisi, dan tekstur makanan), dan tidak terjadi enzymatic
browning.
Maltodekstrin dan NaCl merupakan larutan osmosis yang
digunakan dalam proses dehidrasi osmosis. Larutan gula dan
garam merupakan larutan biner yang telah banyak digunakan
dalam osmotik dehidrasi. Larutan terner (gula-NaCl-air) sangat
efektif untuk sayuran. Beberapa keuntungan menggunakan
larutan terner antara lain tingkat dehidrasi yang lebih tinggi dan
tidak berlebihan penggaraman produknya serta memungkinan
untuk meningkatkan konsentrasi total zat terlarut tanpa melebihi
batas jenuhnya (Spiess, 2006). Maltodekstrin adalah produk

2
degradasi bahan baku pati yang mengandung unit α-D-glukosa
yang saling berikatan oleh ikatan glikosidik yang memiliki DE
(dextrose equivalent) kurang dari 20 (Oktaviana, 2012). Menurut
Minah (2014), maltodekstrin memiliki beberapa kelebihan
diantaranya tidak manis dan mudah larut dalam air. Selain itu,
maltodekstrin juga dapat meningkatkan viskositas, menghambat
kristalisasi, dan baik untuk kesehatan karena rendah kalori.
Natrium klorida (NaCl) merupakan senyawa ionik sederhana
yang berbentuk padatan rapuh. Garam mempunyai
sifat/karakteristik higroskopis, yang berarti garam memiliki
kemampuan untuk menyerap air yang baik (Sutresna, 2008).
Penelitian kali ini menggunakan larutan terner
(Maltodekstrin+NaCl+air) dengan konsentrasi maltodekstrin
(30%, 40% dan 50%) dan (NaCl 5%, 10% dan 15%). Antonio
(2008) telah melakukan penelitian dehidrasi osmosis pada
kentang (Solanum tuberosum L.) dengan menggunakan larutan
terner dengan variasi konsentrasi sukrosa (40%, 50% dan 60%)
dan NaCl dengan konsentrasi (0%, 5%, dan 10%), proses
dehidrasi osmosis berlangsung pada suhu 40oC dan dengan
parameter pengamatan kehilangan air / Water loss (WL), dan
penambahan massa padatan / Solid Gain (SG) . Berdasarkan
hasil penelitian didapatkan bahwa konsentrasi terbaik adalah
sukrosa 50% dan NaCl 10%. Menurut El Aouar, dkk (2010)
semakin tinggi konsentrasi agen osmotik dalam larutan osmotik
akan menyebabkan makin tinggi pula penghilangan air dari

3
dalam jaringan bahan, karena perbedaan konsentrasi yang
makin besar tersebut, mendorong keluarnya air dari dalam
jaringan ke luar untuk mencapai titik keseimbangan konsentrasi.
Pengeluaran air dari dalam jaringan ini juga diikuti dengan
masuknya sukrosa ke dalam jaringan buah, sehingga akan
meningkatkan total padatan di dalam bahan. Ketika kehilangan
air dan kenaikan padatan terjadi secara simultan, kecepatan
penurunan air akan selalu lebih tinggi dari kenaikan padatan.
Parameter yang dilakukan pada penelitian ini adalah kehilangan
air / Water loss (WL), penambahan massa padatan / Solid Gain
(SG), dan kehilangan massa bahan / Weight Reduction (WR).

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana pengaruh konsentrasi larutan Maltodekstrin
dan NaCl terhadap dehidrasi osmosis kentang yang
meliputi Water Loss (WL), Solid Gain (SG), Weight
Reduction (WR) ?
2. Bagaimana pengaruh dehidrasi osmosis kentang
terhadap kadar air dan laju pengeringan ?
3. Bagaimana karakteristik kentang terhadap pengaruh
perlakuan dehidrasi osmosis meliputi warna,
pengkerutan dan struktur sel?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:

4
1. Menganalisa pengaruh konsentrasi larutan Maltodekstrin
dan NaCl terhadap dehidrasi osmosis kentang yang
meliputi Water Loss (WL), Solid Gain (SG), Weight
Reduction (WR)
2. Menganalisa pengaruh dehidrasi osmosis kentang
terhadap kadar air dan laju pengeringan
3. Menganalisa karakteristik kentang terhadap pengaruh
perlakuan dehidrasi osmosis meliputi warna,
pengkerutan dan struktur sel
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu digunakan sebagai
salah satu pretreatment untuk pengolahan kentang. Selain
itu, dehidrasi osmosis dapat memperlambat efek browning
pada kentang serta memperpanjang umur simpan.
1.5 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini batasan masalah dibutuhkan
agar pembahasan penelitian ini terarah dengan benar
dan fokus. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini dilakukan dalam skala laboratorium
2. Penelitian ini hanya membahas pengaruh larutan
osmosis dan konsentrasi larutan pada sifat fisik kentang
hasil dehidrasi osmosis, meliputi Water Loss (WL), Solid
Gain (SG), Weight Reduction (WR), dan Kadar Air.

5
3. Tidak membahas pengaruh waktu, pengadukan dan
suhu terhadap karakteristik.
4. Tidak membahas aspek ekonomi.

6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kentang

Kentang atau yang memiliki bahasa latin Solanum


tuberosum L. termasuk jenis tanaman sayuran semusim,
berumur pendek, dan berbentuk perdu atau semak. Kentang
juga termasuk tanaman semusim karena hanya satu kali
berproduksi, setelah itu mati. Kentang memiliki umur yang
pendek yaitu hanya 90 - 180 hari. Umur tanaman kentang
bervariasi menurut varietasnya. Kentang lebih cocok ditanam
pada daerah dataran tinggi atau pegunungan dengan ketinggian
lebih dari 700 m dpl (Samadi, 2007). Kentang merupakan salah
satu contoh sayuran iklim dingin karena selama masa
pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan suhu 10º–
18ºC. Kentang yang masuk indonesia adalah kentang yang
berasal dari Amerika yaitu kentang Eigenheimer. Kentang
tersebut ditemukan disekitar Cimahi, Bandung pada tahun 1794,
kemudian disebarkan di daerah Karo, Aceh, Padang, Bengkulu,
Minahasa, Bali Seram dan Timor (Setiadi dan Nurulhuda, 2008).
Kentang merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang
berbentuk bulat lonjong, kulit berwarna coklat muda, daging
berwarna kuning, permukaan umbi rata dan halus dengan mata
tunas dangkal. Umbi kentang mengandung karbohidrat cukup
tinggi, selain itu umbi kentang juga mudah mengalami
kerusakan, karena kandungan airnya yang tinggi (Pujimulyani,

6
2009). Kentang terdiri dari bebrapa jenis dan beragam varietas.
Jenis-jenis kentang tersebut memiliki perbedaan bentuk, warna
kulit, daya simpan, komposisi kimia, sifat pengolahan dan umur
panen. Berdasarkan warna kuit dan daging umbi, kentang terdiri
dari tiga golongan yaitu kentang kuning, kentang putih, dan
kentang merah. Kentang kuning memiliki beberapa verietas
yaitu verietas Pattrones, Katella, Cosima, Cipanas dan Granola.
Kentang putih memiliki varietas Donata, Radosa, dan Sebago.
Varietas kentang merah yaitu Red Pontiac, Arka dan Desiree.
Kentang kuning merupakan jenis kentang yang paling digemari
karena memiliki rasa yang enak, gurih, empuk dan sedikit berair
(Aini, 2012).
Kentang (Solanum tuberosum L.) termasuk salah satu jenis
umbi-umbian yang memiliki gizi tinggi. Zat gizi yang terdapat
dalam kentang antara lain karbohidrat, mineral (besi, fosfor,
magnesium, natrium, kalsium, dan kalium), protein serta vitamin
terutama vitamin C dan B1. Selain itu, kentang mengandung
lemak dalam jumlah yang relatif kecil, yaitu 1,0 – 1,5%. Kentang
memiliki kadar air yang cukup tinggi yaitu sebesar 80%
(Prayudi, 2010). Kandungan gizi kentang (dalam 100 gram
bahan) terdapat pada Tabel 2.1

7
Tabel 2.1 Kandungan gizi kentang per 100 gram
No. Kandungan gizi Kadar
1 Kalori (kal) 83
2 Protein (g) 2,0
3 Lemak (g) 0,1
4 Kabohidrat/pati (g) 19,1
5 Kalsium (mg) 11
6 Fosfor (mg) 56
7 Zat besi (mg) 0,7
8 Vitamin B1 (SI) 0,11
9 Vitamin C (mg) 17
10 Air (g) 77,8
11 BDD (%) 85
Sumber : (Sudarto, 2000)

2.2 Pengeringan
Pengeringan adalah salah satu metode untuk
mengeluarkan air yang terdapat pada bahan pangan dengan
menggunakan energi panas. Keuntungan dari pengeringan
adalah bahan pangan menjadi lebih awet dengan volume bahan
menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat
ruang pengangkutan dan pengepakan, dengan demikian
diharapkan biaya produksi menjadi lebih rendah (Winarno,
1984).
Proses pengeringan pada prinsipnya menyangkut proses
pindah panas dan pindah massa yang terjadi secara bersamaan
8
(simultan). Pertama panas harus di transfer dari medium
pemanas ke bahan. Selanjutnya setelah terjadi penguapan air,
uap air yang terbentuk harus dipindahkan melalui struktur bahan
ke medium sekitarnya. Proses ini akan menyangkut aliran fluida
di mana cairan harus di transfer melalui struktur bahan selama
proses pengeringan berlangsung. Jadi panas harus di sediakan
untuk menguapkan air dan air harus mendifusi melalui berbagai
macam tahanan agar supaya dapat lepas dari bahan dan
berbentuk uap air yang bebas. Lama proses pengeringan
tergantung pada bahan yang di keringkan dan cara pemanasan
yang digunakan (Sunanto, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan ada dua
golongan yaitu faktor yang berhubungan dengan udara
pengering dan faktor yang berhubungan dengan sifat bahan
yang dikeringkan. Faktor-faktor yang termasuk golongan
pertama adalah suhu, kecepatan volumetrik aliran udara
pengering, dan kelembaban udara. Faktor-faktor yang termasuk
golongan kedua adalah ukuran bahan, kadar air awal, dan
tekanan parsial di dalam bahan (Tanggasari, 2014). Salah satu
faktor yang mempengaruhi kadar air yaitu suhu pengeringan
dan lama pengeringan. Semakin tinggi suhu pengeringan
menyebabkan penurunan kadar air karena suhu tinggi dapat
mempercepat penguapan air dari bahan. Lama pengeringan
berpengaruh terhadap air yang diuapkan. Jumlah air yang
menguap lebih kecil pada waktu yang lebih singkat

9
dibandingkan dengan jumlah air yang menguap pada waktu
pengeringan lebih lama (Asgar et al., 2010). Menurut Buckle et
al., (2010) faktor-faktor utama yang mempengaruhi kecepatan
pengeringan dari suatu bahan pangan adalah:
1. Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, dan
kadar air)
2. Sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengering (suhu,
kelembaban, dan kecepatan udara)
3. Karakteristik alat pengering (efisiensi pemindahan
panas).
Pengeringan buatan merupakan pengeringan yang
dilakukan dengan menggunakan bantuan alat pengering.
Pengaturan suhu, kelembaban udara, kecepatan pengaliran
udara dan waktu yang dikeringkan setiap komoditi berbeda.
Case hardening dapat terjadi akibat pengawasan yang tidak
tepat, yaitu dimana keadaan bahan di permukaan telah kering
namun bagian dalam bahan masih basah. Hal ini terjadi karena
penguapan air yang terdapat pada permukaan bahan lebih
cepat dari difusi air bagian dalam ke luar. Lapisan permukaan
bahan menjadi keras, sehingga uap air tidak dapat
menembusnya (Susanto dan Saneto, 1994).
Pemilihan alat pengering yang akan digunakan harus
diperhitungkan berdasarkan jenis bahan yang akan dikeringkan,
selain itu juga harus diperhitungkan hasil kering dari bahan yang
diinginkan. Setiap bahan yang akan dikeringkan tidaklah sama

10
kondisi pengeringannya, karena ikatan air dan jaringan ikatan
tiap bahan akan berbeda (Rachmawan, 2001). Pengeringan
yang dilakukan dengan menggunakan alat mekanis (pengering
buatan) akan mendapatkan hasil yang baik bila kondisi
pengeringan dapat ditentukan dengan tepat dan selama
pengeringan dikontrol dengan baik. Setiap alat pengeringan
digunakan untuk jenis bahan tertentu, mislanya tray dryer untuk
pengeringan bahan padat atau lempengan yang dikeringkan
dengan system batch (Rachmawan, 2001).
Tray dryer atau alat pengering berbentuk rak, memilliki
bentuk persegi dan di dalamnya berisi rak-rak, yang digunakan
sebagai tempat bahan yang akan dikeringkan. Bahan diletakkan
di atas rak (tray) yang terbuat dari logam dengan alas yang
berlubang-lubang. Kegunaan dari lubang-lubang ini untuk
mengalirkan udara panas dan uap air. Pada alat pengering ini,
bahan ditempatkan langsung pada rak-rak dapat juga
ditebarkan pada wadah lain misalnya baki atau nampan.
Kemudian baki atau nampan ini disusun di atas rak yang ada di
dalam alat pengering (Rachmawan, 2001).
Prinsip kerja alat pengering tipe rak adalah udara pengering
dari ruang pemanas dengan bantuan kipas akan bergerak
menuju dasar rak dan melalui lubang-lubang yang terdapat
pada dasar rak tersebut kemudian mengalir melewati bahan
yang dikeringkan dan melepaskan sebagian panasnya sehingga
terjadi proses penguapan air dari bahan, dengan demikian

11
semakin ke bagian atas rak suhu udara pengering semakin
turun. Penurunan suhu ini harus diatur sedemikian rupa agar
pada saat mencapai bagian atas bahan yang dikeringkan, udara
pengering masih mempunyai suhu yang memungkinkan
terjadinya penguapan air. Kelembaban udara pengering pada
saat mencapai bagian atas harus dipertahankan tetap tidak
jenuh sehingga masih mampu menampung uap air yang
dilepaskan. Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan alat
pengering ini ialah pengaturan suhu, kecepatan aliran udara
pengering, dan tebal tumpukan bahan yang dikeringkan
sehingga hasil kering yang diharapkan dapat tercapai
(Rachmawan, 2001).
2.3 Blanching
Blanching merupakan proses pemanasan bahan pangan
dengan menggunakan uap atau air dengan suhu tinggi dalam
waktu yang singkat. Blanching bertujuan untuk inaktivasi enzim
katalase dan peroksidase, dan mencegah perkembangan bau
dan warna yang tidak dikehendaki selama penyimpanan.
Perlakuan blanching yang baik dilakukan pada saat suhu
mencapai 90C-100C selama ±10 menit (Asgar, 2008). Proses
blanching yang terlalu lama akan menyebabkan produk menjadi
masak dan kehilangan aroma, warna dan komponen nutrisi
karena komponen-komponen tersebut rusak atau terlarut
kedalam media pemanas (pada proses blanching dengan air
panas atau steam). Sebaliknya, waktu blanching yang tidak

12
cukup akan mendorong meningkatnya aktivitas enzim perusak
dan menyebabkan kerusakan mutu produk yang lebih besar
dibandingkan dengan yang tidak diblanching (Siwindratama,
2011).
Menurut Siwindratama (2011) proses blanching dapat
mempertahankan warna bahkan mempertajam warna bahan
pangan. Proses blanching juga bertujuan untuk melayukan atau
melunakkan jaringan sehingga memudahkan proses
pengolahan selanjutnya, menghilangkan bau dan flavor yang
tidak dikehendaki. Proses blanching tidak seluruhnya
memberikan keuntungan tetapi juga memberikan efek yang
merugikan. Anggraeni (2008) menyebutkan efek negatif dari
blanching yaitu berupa kehilangan zat gizi yang sensitif
terhadap pemanasan. Zat gizi yang sensitif terhadap
pemanasan akan larut pada proses blanching yang dilakukan
dengan metode perebusan. Salah satu zat yang sensitif
terhadap panas yaitu vitamin C. Kehilangan dapat dikurangi
dengan memperpendek waktu pada suhu yang lebih tinggi.
Menurut Fellowss (2000) terdapat dua metode blanching
yang sering digunakan yaitu steam blanching dan hot water
blanching. Perbedaan dari kedua metode tersebut terdapat
pada interaksi bahan olahan dengan media air, yaitu pada
steam blanching, bahan pangan dimasak pada uap air mendidih
bersuhu 100ºC, sedangkan pada water blanching bahan pangan
dimasak pada rendaman air pada kisaran suhu 70ºC hingga

13
100ºC (Corcuera et al., 2004). Steam blanching digunakan
sebagai metode blanching yang lebih menguntungkan dibanding
hot water blanching, karena pada proses ini kehilangan
komponen larut air akan berkurang dibanding dengan metode
hot water blanching (Fellowss, 2000).
2.4 Dehidrasi Osmosis
Dehidrasi atau pengeringan biasa digunakan dalam
pengawetan bahan pangan. Dehidrasi mengakibatkan
kandungan air pada bahan rendah, sehingga dapat menghindari
kerusakan akibat mikroorganisme, meminimalkan biaya
pengemasan, biaya penyimpanan dan biaya transportasi.
Proses dehidrasi bahan pangan dengan cara perendaman
padatan dalam larutan hipertonik biasa disebut dehidrasi
osmosis. Osmosis merupakan pergerakan molekul suatu
senyawa melalui membran semi permeabel menuju larutan
yang lebih rendah konsentrasinya (Dwinata, 2013). Sedangkan
menurut Nowakunda (2011) dehidrasi osmosis merupakan
teknik pengurangan sebagian kadar air jaringan tanaman
melalui pencelupan pada larutan osmosis, misalnya larutan
gula, larutan garam atau gabungan antara keduanya.
Konsentrasi gula pada produk dapat menurunkan water activity
(aw) sehingga produk lebih tahan lama.
Menurut Wirawan (2013) osmosis adalah teknik
pemindahan air berdasarkan gradien potensial kimia melalui
membran semi permiable. Struktur permukaan yang berpori

14
pada buah dan sayur dapat berfungsi sebagai membran
semipermiabel. Dengan merendam potongan buah dalam
larutan osmosis yang pekat (misalnya gula, garam, gliserol dan
lain-lain), dapat mengurangi kadar air hingga 50% dari kadar
mula-mulanya, sehingga metode ini disebut partial dehydration.
Menurut Wirawan (2013) membran semi permiabel adalah suatu
membran yang dapat dilewati oleh cairan seperti air, tapi tidak
dapat dilewati oleh cairan lain dari arah yang berlawanan.
Membran semipermiabel memiliki sifat yang selektif, maka zat
terlarut (solut) diasumsikan tidak dapat mendifusi melalui
membran ke arah sebaliknya. Sebenarnya terjadi perpindahan
massa dua arah, tetapi yang paling dominan adalah
perpindahan massa air ke larutan yang konsentrasinya lebih
tinggi.
Dehidrasi osmosis merupakan salah satu teknik
pengurangan kadar air dengan perlakuan perendaman pada
larutan berkonsentrasi tinggi. Dehidrasi osmosis biasanya
digunakan sebagai perlakuan awal sebelum dilakukan
pengeringan secara konvensional. Pengeringan konvensional
yang dikombinasikan dengan teknik dehidrasi osmosis akan
menghasilkan produk yang lebih baik. Beberapa keuntungan
dari perlakuan teknik dehidrasi osmosis, yaitu meningkatkan
kualitas produk makanan yang diawetkan, memberikan kisaran
kadar air dan zat terlarut bahan yang diinginkan untuk
pengolahan selanjutnya, meminimalisasi stress karena panas

15
dan mengurangi input energi pada pengeringan konvensional
(Dwinata, 2013).
Dehidrasi osmosis biasanya dilakukan dengan
penggabungan dua metode atau lebih yaitu metode osmosis
dan pengeringan konvensional lainnya seperti pengeringan
matahari, pengeringan beku, pengeringan vakum, dan
pengeringan udara panas. Hal tersebut dilakukan untuk
menghasilkan produk dengan masa simpan yang lebih lama
(Nowakunda, 2011). Dehidrasi osmotik menyebabkan sampel
kehilangan sejumlah air (WL) dan masuknya padatan terlarut
dari larutan osmotik kedalam sampel (SG). Semakin tinggi nilai
WL maka menunjukkan tingginya tingkat kehilangan air dari
sampel sedangkan nilai SG merupakan parameter yang
menunjukkan banyaknya jumlah padatan terlarut yang masuk
kedalam sampel. Laju kehilangan air dari jaringan bahan
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suhu, komposisi,
larutan osmotik, karakteristik produk, perlakuan awal produk,
ukuran dan lamanya proses pengeringan (Khan, 2008).
Dehidrasi osmosis adalah teknik ekstraksi air dari materi
melalui perendaman dalam larutan osmotik. Kemudian terjadi
arus berlawanan simultan yaitu aliran air dari bahan ke dalam
larutan dan secara bersamaan zat terlarut dipindahkan dari
larutan ke dalam bahan makanan (Rahman, 2007). Faktor-faktor
yang mempengaruhi dehidrasi osmosis antara lain jenis osmotic
agent, ratio larutan osmosis, buah yang dikeringkan, suhu dan

16
pengadukan (Ponting dkk., 1996). Proses dehidrasi osmosis
tidak menghasilkan produk dengan kandungan air sangat
rendah, sehingga perlu dikombinasi dengan proses pengeringan
lain atau digunakan sebagai pretreatment untuk proses
selanjutnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dehidrasi
osmosis, yaitu:
a. Jenis zat terlarut
Agen osmotik yang biasa digunakan adalah NaCl
sukrosa, glukosa, fruktosa, laktosa, dekstrosa, maltosa,
polisakarida, maltodekstrin, corn starch syrup, whey,
sorbitol, asam askorbat, asam sitrat, kalsium klorida,
atau kombinasinya. Pada dehidrasi buah biasanya
digunakan sukrosa, sedangkan pada dehidrasi osmotik
sayuran, ikan dan daging digunakan NaCl (Rahman,
2007). Larutan gula dan garam merupakan larutan biner
yang telah banyak digunakan dalam osmotik dehidrasi.
Larutan terner (gula-NaCl-air) sangat efektif untuk
sayuran (Spiess, 2006).
b. Konsentrasi larutan osmosis
Berdasarkan penelitian Singh (2008) pada proses
dehidrasi ikan sardin kenaikan konsentrasi larutan
osmosis akan meningkatkan kecepatan dan jumlah
kehilangan air dari dalam tubuh ikan.Hal ini juga terjadi
pada proses dehidrasi osmosis pada wortel, namun efek

17
konsentrasi larutan tidak signifikan saat konsentrasi 5-
15% (b/v).
Mekanisme dehidrasi osmosis adalah adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan dan di dalam sel yang menyebabkan
adanya gaya pendorong. Gaya pendorong tersebut yang
menyebabkan air keluar dari dalam sel, sedangkan solut dari
larutan masuk ke dalam cairan sel. Transfer air terjadi melalui
proses difusi dan kapilaritas, untuk transfer zat terlarut hanya
terjadi melalui proses difusi (Rahman, 2007). Mekanisme
dehidrasi osmosis dapat dilihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Mekanisme dehidrasi osmosis (Rahman, 2007)


Kelebihan proses dehidrasi osmosis dibanding metode
pengeringan konvensional antara lain dapat mempertahankan
karakteristik awal makanan (warna, aroma, nutrisi, dan tekstur
makanan), tidak terjadi enzymatic browning. Pada proses
dehidrasi osmosis mengeluarkan biaya alat dan biaya proses
yang rendah, dan penggunaan energi lebih efisien karena dapat
dilakukan pada temperatur rendah dan tidak melibatkan
perubahan fasa selama pengeringan (Wirawan, 2006). Produk

18
dehidrasi osmosis lebih stabil, terutama bila dikombinasikan
dengan metode lain (Rahman, 2007).
Kelebihan lain dari dehidrasi osmotik adalah sebagai
berikut (Ponting et al., 1966; Jackson dan Mohamed, 1971; ;
Islam and Flink, 1982) :
1. Dapat meminimalisir terjadinya kehilangan warna
dan rasa karena proses berlangsung dengan
yang suhu rendah.
2. Retensi rasa lebih banyak apabila gula atau sirup
gula digunakan sebgai agen osmotik.
3. Mencegah terjadinya enzimatik dan oksidatif
enzim, karena potongan buah atau sayuran
dilapisi oleh gula sehingga dapat
mempertahankan warna.
4. Terjadi penghilangan rasa asam dan penyerapan
gula oleh buah-buahan sehingga menghasilkan
produk lebih manis daripada produk kering
konvensional.
5. Menurunkan sebagian kandungan air, sehingga
dapat mempercepat proses pengeringan.
6. Konsumsi energi lebih sedikit karena tidak ada
perubahan fase yang terlibat.
7. Meningkatkan solid density yang terjadi karena
penyerapan padatan, dan membantu untuk

19
mendapatkan produk pengeringan beku yang
lebih berkualitas.
8. Meningkatkan kualitas tekstur.
9. Masa penyimpanan produk lebih lama.
10. Menggunakan peralatan sederhana pada
prosesnya.
Adapun kekurangan dari proses dehidrasi osmotik
adalah sebagai berikut (Ponting et al. 1966; Jackson dan
Mohamed 1971) :
1. Terjadinya penurunan tingkat keasaman
sehingga mengurangi rasa khas dari beberapa
produk. Hal ini dapat diatasi dengan
menambahkan asam buah dalam larutan.
2. Lapisan gula yang tidak diinginkan dalam
beberapa produk dapat dilakukan pembilasan
cepat dalam air mungkin diperlukan setelah
perlakuan dehidrasi osmotik.
3. Dehidrasi osmotik harus dikombinasikan dengan
proses lainnya seperti pengeringan vakum,
pengeringan udara atau blanching.
4. Pada produk dehidrasi osmotik masih ditemukan
aktivitas air yang lebih tinggi.
5. Pada proses berlangsung memerlukan ketelitian
waktu.

20
2.5 Maltodekstrin
Maltodekstrin sebagai produk modifikasi pati yang
memiliki rumus kimia [(C6H10O5)nH2O], merupakan produk
degradasi bahan baku pati yang mengandung unit α-D-glukosa
yang saling berikatan oleh ikatan glikosidik. Kelebihan produk ini
dapat bercampur dengan air membentuk cairan koloid bila
dipanaskan dan mempunyai kemampuan sebagai perekat, dan
tidak bersifat toksik (Jufri, 2004). Maltodekstrin adalah produk
modifikasi pati, hasil hidrolisis secara kimia maupun enzimatis
dengan DE (dextrose equivalent) kurang dari 20. Dextron
Equivalent adalah besaran yang menyatakan nilai total
pereduksi pati atau produk modifikasi pati dalam satuan persen.
Semakin besar nilai DE berarti semakin besar pula persentasi
pati yang berubah menjadi gula pereduksi. Tingkat DE pada
suatu bahan tergantung pada tingkat hidrolisisnya (Oktaviana,
2012). Maltodekstrin merupakan salah satu bahan yang sering
digunakan dalam pembuatan makanan yang dikeringkan karena
selain bahan pengisi, maltodekstrin memiliki beberapa kelebihan
antara lain tidak manis dan mudah larut dalam air (Wiyono,
2012).
Maltodekstrin memiliki kelarutan yang lebih tinggi,
mampu membentuk film, memiliki higroskopisitas rendah,
mampu sebagai pembantu pendispersi, mampu menghambat
kristalisasi dan memiliki daya ikat kuat (Yusraini, 2007).
Maltodekstrin tidak berasa dan dikenal sebagai bahan

21
tambahan makanan yang aman (Blancard dan Katz, 1995).
Maltodekstrin lebih mudah larut daripada pati, maltodekstrin
juga mempunyai rasa yang enak dan lembut (Sadeghi, et al.,
2008). Maltodekstrin memiliki penggunaan yang lebih banyak
dalam industri pangan, bahkan farmasi. Maltodekstrin telah
banyak digunakan pada industri makanan, seperti pada
minuman susu bubuk, minuman berenergi dan minuman
Prebiotik (Blancard dan Katz, 1995). Menurut Minah (2014),
maltodekstrin memiliki beberapa kelebihan diantaranya tidak
manis dan mudah larut dalam air. selain itu, maltodekstrin juga
dapat meningkatkan viskositas, menghambat kristalisasi, dan
baik untuk kesehatan karena rendah kalori. Secara nyata
meltodekstrin dapat memperlancar saluran pencernaan dengan
membantu berkembangnya bakteri probiotik.

2.6 Natrium Klorida (NaCl)


Natrium klorida (NaCl) merupakan senyawa ionik
sederhana yang berbentuk padatan rapuh. Dalam bentuk
lelehan dan larutannya, senyawa ini dapat mengahntarkan arus
listrik. Batu garam (rock salt) merupakan salah satu sumber
natrium klorida, batu garam dapat ditemukan sebagai deposit
dibawah tanah dengan ketebalan ± 100 meter. Sumber natrium
klorida lain adalah air laut atau brine (larutan NaCl dengan
konsentrasi tinggi) yang diperoleh melalui proses evaporasi
(Sutresna, 2008). Garam adalah padatan berwarna putih
berbentuk kristal yang tersususn oleh Natrium Klorida lebih dari
22
80% serta senyawa lainnya seperti Magnesium Klorida,
Magnesium Sulfat, Kalsium Klorida, dan lain-lain. Garam
mempunyai sifat/karakteristik higroskopis, yang berarti garam
memiliki kemampuan untuk menyerap air, tingkat kepadatan
sebesar 0,8-0,9 dan titik lebur pada suhu 801oC (Burhanuddin,
2001).
Natrium klorida, juga dikenal sebagai garam dan garam
dapur yang merupakan senyawa ionik dengan rumus kimia
NaCl. Natrium klorida pada umumnya merupakan padatan
bening dan tak berbau, dan dapat larut dalam gliserol, etilen
glikol, dan asam formiat, namun tidak larut dalam HCl. Natrium
klorida adalah garam paling berpengaruh terhadap salinitas laut
dan cairan ekstraselular pada banyak organisme multiselular.
Sebagai bahan utama dalam garam dapur, dan biasanya
digunakan sebagai bumbu dan pengawet makanan. Natrium
klorida terkadang digunakan sebagai bahan pengering yang
murah dan aman karena memiliki sifat higroskopis, membuat
penggaraman menjadi salah satu metode yang efektif untuk
pengawetan makanan (Anonima , 2010). Adapun beberapa
sifat fisis Natrium Klorida antara lain (Anonima, 2010) :
1. Rumus molekul : NaCl
2. Berat molekul : 58,45 g/mol
3. Titik didih : 1413ºC pada 1 atm
4. Titik beku : 800,4ºC pada 1 atm
5. Bentuk : kristal kubik padat

23
6. Warna : putih
7. Densitas : 2,163 g/ml

2.7 SEM (Scanning Electron Microscope)


SEM merupakan pencitraan material dengan
menggunakan prinsip mikroskopi. Mirip dengan mikroskop optik,
namun SEM menggunakan elektron sebagai sumber pencitraan
dan medan elektromagnetik sebagai lensanya. Elektron
diemisikan dari katoda (elektron gun) melalui efek foto listrik dan
dipercepat menuju anoda. Filamen yang digunakan biasanya
adalah tungsten atau lanthanum hexaboride (LaB6). Scanning
coil, akan mendefleksikan berkas elektron menjadi sekumpulan
array (berkas yang lebih kecil), disebut scanning beam dan
lensa obyektif (magnetik) akan memfokuskannya pada
permukaan sampel. Elektron kehilangan energi pada saat
tumbukan dengan atom material, akibat scattering dan absorpsi
pada daerah interaksi dengan kedalaman 100 nm sampai 2 μm.
Ini membuat material akan meradiasikan emisi meliputi sinar-X,
elektron Auger, back-scattered electron dan secondaryelectron.
Pada SEM, sinyal yang diolah merupakan hasil deteksi dari
secondary electron yang merupakan elektron yang berpindah
dari permukaan sampel.

24
Gambar 2.2 Berkas Elektron yang dideteksi SEM
SEM dipakai untuk mengetahui struktur mikro suatu
material meliputi tekstur, morfologi, komposisi dan informasi
kristalografi permukaan partikel. Morfologi yang diamati oleh
SEM berupa bentuk, ukuran dan susunan partikel
(Rakhmatullah et al. 2007).

25
2.8 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu

No. Peneliti Hasil


1. Antonio, et al., Perlakuan terbaik pada penelitian ini
2008 berada pada konsentrasi sukrosa 50%
dan NaCl 10%. Tingkat kehilangan air
selama dehidrasi osmotik ubi jalar
berhubungan langsung dengan
konsentrasi larutan. Efek antagonis
antara dua zat terlarut (sukrosa dan
NaCl) diamati dimana efek interaksi
garam-sukrosa positif pada padatan
terlarut menentukan penurunan solid
gain.
2. Antonio, et al., Nilai water loss meningkat ketika
2015 konsentrasi zat terlarut atau suhu
meningkat, Model persamaan pada
penelitian ini mendeskripsikan dengan
baik data eksperimen dan juga prediksi
water loss dan perolehan garam.
Koefisien difusi efektif yang diperoleh
dari persamaan berkisar antara 4,07
hingga 11,19 x 10-10 m2 / detik untuk

26
water loss dan 0,91 hingga 13,06 x 10-
10 m2 / detik untuk solid gain.
3. Eren and Kondisi optimal untuk maksimum Weight
Ertekin, 2006 Loss dan Weight ReductionI dan
minimum Solid Gain dan Aktivitas air
terjadi pada suhu 22ºC dengan
perendaman selama 239 menit, variasi
larutan osmosis sukrosa 54,5% dan
Garam 14% dan diperoleh nilai Weight
Loss sebesar 59,1 (g/ 100 g sampel
segar), Weight Reduction sebesar 52,9
(g/ 100 g sampel segar), Solid Gain 6,0
(g/ 100g sampel segar dan Aktivitas air
0,785.
4. Chavan dan Proses dehidrasi osmotik menjadi
Amarowicz, proses yang sederhana, memfasilitasi
2012 pemrosesan buah-buahan dan sayuran
tropis dengan retensi buah awal
karakteristik yaitu, warna, aroma dan
kandungan nutrisi. Proses dehidrasi
menambah nilai pada produk jadi, yang
sehat, bergizi dan tersedia di sekitar.
5. Hawa, et al., Efek gabungan dari blansing uap dan
2012 perendaman dalam larutan gula sebagai
pra-perlakuan pengeringan dapat

27
meningkatkan laju pengeringan secra
signifikan. Dalam perolahan solid gain,
water loss dan weight reduction dengan
urutan perendaman larutan paling
efektif adalah maltosyl-trehalose,
maltodextrin, dan kemudian sukrosa.

28
BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari-April 2018 di


Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya dan
Laboratorium Biologi, Universitas Muhammadiyah Malang.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian


3.2.1 Alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Oven merk Kirin : untuk mengeringkan bahan


2. Tray Dryer : untuk mengeringkan bahan
sebagai laju pengeringan
3. Slicer : untuk mengiris bahan
4. Timbangan digital : untuk mengukur berat bahan
5. Gelas ukur : untuk mengukur volume larutan
6. Stopwatch : untuk menghitung waktu
7. Panci : sebagai tempat berlangsungnya
steam blanching
8. Kompor : sebagai sumber panas
9. Termometer : untuk mengukur suhu
10. Kawat : untuk melapisi cawan alumunium
foil
11. Cawan Petri : sebagai tempat berlangsungnya

29
dehidrasi osmosis
12. Pisau : untuk mengupas bahan

3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Kentang : sebagai bahan perlakuan.


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
kentang kuning yang didapatkan dari pasar
Tawangmangu, Malang. Kemudian dipilih berdasarkan
bentuk kentang yang memiliki permukaan hampir rata
dengan melihat kondisi dan warna kentang yang masih
segar.
2. Maltodekstrin : sebagai bahan zat terlarut
dalam larutan osmotik. Maltodekstrin yang digunakan
didapatkan dari CV. kridatama
3. NaCl : sebagai bahan zat terlarut
dalam larutan osmotik, didapatkan dari CV. Kridatama
4. Aquades : sebagai pelarut dalam
larutan osmotik
5. Cawan alumunium foil : sebagai wadah bahan

30
3.3. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor. Faktor pertama
adalah Maltodekstrin (G) dan faktor kedua adalah NaCl (K).
Maltodekstrin terdiri dari 3 jenis konsentrasi yaitu 30%, 40% dan
50%. Sedangkan konsentrasi larutan NaCl terdiri atas 5%, 10%,
dan 15%. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3
kali sehingga menghasilkan 27 kali satuan percobaan.
Tabel 3.1. Kombinasi Perlakuan Faktor 1 dan faktor 2
Maltodekstrin NaCl (%)
(%) 5% (K1) 10% (K2) 15% (K3)
30% (G1) G1K1 G1K2 G1K3
40% (G2) G2K1 G2K2 G2K3
50% (G3) G3K1 G3K2 G3K3

G1K1 : Maltodekstrin 30% NaCl 5%


G1K2 : Maltodekstrin 30% NaCl 10%
G1K3 : Maltodekstrin 30% NaCl 15%
G2K1 : Maltodekstrin 40% NaCl 5%
G2K2 : Maltodekstrin 40% NaCl 10%
G2K3 : Maltodekstrin 40% NaCl 15%
G3K1 : Maltodekstrin 50% NaCl 5%
G3K2 : Mlatodekstrin 50% NaCl 10%
G3K3 : Maltodekstrin 50% NaCl 15%

31
3.4 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang akan dilakukan pada penelitian ini


yakni dehidrasi osmotik dan pengeringan. Pada penelitian ini
juga dilakukan pengujian warna dan uji SEM (Scanning Electron
Microscopy).

3.4.1 Dehidrasi Osmosis


Proses perlakuan dehidrasi osmosis pada
penelitian ini dilakukan untuk mengambil data nilai
Solid Gain (SG), Water Loss (WL), dan Weight
Reduction (WR). Sebelum dilakukan proses
dehidrasi osmosis, kentang segar dikupas, dicuci,
dipotong dengan ketebalan ±1mm dan diameter ±3
cm dan ditimbang untuk mencari ukuran yang
seragam. Selanjutnya dilakukan proses steam
blanching selama 3 menit, lalu kentang diremdan
dalam 20 ml larutan osmosis selama 10 menit.
Kentang hasil dehidrasi osmosis tersebut ditimbang
massanya dan dimasukkan kedalam oven dengan
suhu 105°C selama 4 jam, selanjutnya ditimbang
massanya untuk mengetahui padatan kering bahan.
Diagram alir proses perlakuan dehidrasi osmosis
dapat dilihat pada Gambar 3.1

32
3.4.2 Pengeringan
Proses pengeringan pada penelitian ini dilakukan
untuk mengambil data laju pengeringan dan kadar
air. Sebelum dilakukan proses pengeringan, kentang
dilakukan pra perlakuan dehidrasi osmosis terlebih
dahulu. Kentang hasil dehidrasi tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam tray dryer selama 4 jam pada
suhu 30°C, 40°C, dan 50°C. Pada saat ini dilakukan
penimbangan susut massa bahan setiap 15 menit
pada 2 jam pertama dan setiap 30 menit pada 2 jam
selanjutnya. Kemudian dimasukkan ke dalam oven
dengan suhu 105°C selama 4 jam dan ditimbang
padatan kering kentang. Diagram alir perlakuan
pengeringan dapat dilihat pada Gambar 3.2
3.4.3 Pengujian Warna
Pengujian warna pada penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan kotak dan dianalisis
menggunakan features extraction. Sampel yang
digunakan untuk pengujian warna dilakukan
pretreatment blanching dan dehidrasi osmotik
terlebih dahulu, kemudian dimasukkan kedalam tray
dryer pada suhu 30°C, 40°C, dan 50°C selama 4
jam. Lalu dilakukan pengambilan pada gambar
dengan menggunakan kotak. Rancangan black box

33
untuk features extraction dapat dilihat pada Gambar
3.7
3.4.4 Pengujian SEM (Scanning Electron Microscopy)
Uji SEM (Scanning Electron Microscopy) pada
penelitian ini hanya dilakukan pada sampel kontrol
dan sampel blanching. Persiapan sampel untuk
pengujian SEM menggunakan slice kentang yang
memiliki ketebalan ±1mm dan diameter ±3 cm.
Kemudian dikeringkan menggunakan tray dryer pada
suhu 40°C selama 4 jam.

34
3.5 Diagram Alir Pelaksanaan

Gambar 3.1 Proses Perlakuan Dehidrasi Osmosis

35
Gambar 3.2 Proses Perlakuan Pengeringan

36
Gambar 3.3 Proses Keseluruhan Penelitian

37
3.6 Pelaksanaan Penelitian
3.6.1 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui
ukuran bahan dan tebal yang sesuai serta volume larutan yang
digunakan pada dehidrasi osmosis, sehingga pada saat
pelaksanaan penelitian penulis telah mengetahui ukuran bahan
dan ketebalan serta volume larutan yang digunakan dengan
begitu penelitian yang dilakukan lebih terarah.

3.6.2 Penelitian Utama


Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh
konsentrasi dan jenis larutan osmosis (Maltodekstrin dan NaCl)
terhadap dehidrasi osmosis kentang, yang meliputi warna,
tekstur dan struktur dalam sel. Pelaksanaan penelitian utama
dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:
1. Pembuatan Larutan
a. Aquades disiapkan sebagai bahan pelarut
b. Maltodekstrin ditimbang sebanyak 30%, 40% dan
50% dan NaCl ditimbang sebanyak 5%, 10%, 15%
dari massa pelarut (aquades) yang digunakan (m/v).
Kemudian dilarutkan dengan aquades dan diaduk
hingga homogen.
2. Persiapan Bahan
a. Kentang dikupas kemudian dicuci dan diiris
menggunakan slicer dengan ketebalan ±1mm dan
diameter ±3 cm.
38
b. Kentang ditimbang untuk menentukan massa sampel
segar.
3. Blanching
a. Kentang diletakkan pada wadah peniris kemudian
sampel ditutup dengan aluminium foil.
b. Panaskan air dengan volume 1000 ml hingga
mendidih
c. Teknik blanching yang digunakan yaitu steam
blanching selama 3 menit dengan jarak ± 7cm dari
air mendidih, dengan suhu sebesar 95°C.
4. Dehidrasi Osmosis
a. Larutan osmotik dimasukkan ke dalam cawan petri
masing-masing 20ml.
b. Sampel dimasukkan ke dalam cawan yang berisi
larutan osmotik dan direndam selama 10 menit.
c. Sampel ditiriskan menggunakan tisu untuk
mengurangi air yang ada dipermukaan sampel.
d. Dehidrasi Osmotik dilakukan pada suhu ruangan
23°C.
5. Pengeringan
a. Setelah sampel direndam, kemudian ditimbang untuk
menentukan massa sampel.
b. Sampel dimasukkan dalam tray dryer selama 4 jam
dengan menggunakan suhu 30oC, 40oC dan 50oC.
c. Diukur susut massa selama proses pengeringan.

39
d. Dimasukkan dalam oven selama 4 jam dengan
menggunakan suhu 105oC kemudian ditimbang
massa kering sampel.
3.7 Parameter Pengamatan
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Penambahan massa padatan / Solid Gain (SG) dalam
hal ini adalah jumlah massa gula yang masuk ke dalam
bahan (Hawa, 2012).

SG = x 100%...............................................(3.1)

40
Gambar 3.4 Diagram Alir Perhitungan Penambahan Massa
Padatan/Solid Gain(SG)

41
b. Kehilangan air / Water Loss (WL) yang didefinisikan
sebagai pengurangan massa air pada sampel (Hawa,
2012).

WL = x 100%........................(3.2)

Wwo = Mo – Wso

Ww = Mt – Ws

Gambar 3.5 Diagram Alir Perhitungan Kehilangan Air/ Water Loss


(WL)

42
c. Kehilangan massa / Weight Reduction (WR)

WR = SG - WL ............................................(3.3)

Gambar 3.6 Diagram Alir Perhitungan Kehilangan Massa/ Weight


Reduction (WR)

d. Kadar Air dan Laju Pengeringan


Kadar air bahan menunjukkan banyaknya
kandungan air persatuan bobot bahan. Dalam penelitian
ini kadar air ditentukan berdasarkan bobot basah (wet
basis). Untuk menentukan bobot kering suatu bahan,
penimbangan dilakukan setelah bobot bahan tersebut
tidak berubah lagi selama pengeringan berlangsung.
43
Untuk itu biasanya dilakukan dengan menggunakan
suhu 105°C. Persamaan dalam penentuan kadar air
adalah sebagai berikut (Brooker et al., 1981) :
...............................(3.4)

Laju pengeringan dilakukan pada saat kentang


berada pada tray dryer pada suhu 30°C, 40°C dan 50°C
selama 4 jam. Penimbangan massa kentang dilakukan
setiap 15 menit pada 2 jam pertama dan setiap 30 menit
pada 2 jam selanjutnya.
e. Uji warna menggunakan features extraction
Analisis uji warna pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan kotak dan kamera digital. Kamera yang
digunakan untuk mengambil gambar sampel ialah DSLR
Nikon. Rancangan kotak untuk analisis uji warna dapat
dilihat pada Gambar 3.7 (Triasanti, 2017).

Keterangan:
1. Kamera DSLR
Nikon D3300
2. Lampu LED 5
Watt
3. Sampel kentang

Gambar 3.7 Rancangan kotak untuk features extraction


Analisis uji warna dilakukan pada kotak, dibantu
dengan kamera DSLR Nikon D3300 untuk pengambilan

44
gambar dan latar menggunakan kain berwarna hitam.
Hasil gambar yang diperoleh kemudian dicrop dengan
background putih menggunakan photoshop, lalu
dianalisa dengan aplikasi visual basic dan features
extraction. Kotak yang digunakan terbuat dari acrylic
berwarna hitam, yang memiliki dimensi sebesar
30x30x30 cm, jarak kamera ke sampel yaitu 29 cm, jarak
lampu ke sampel yang akan dianalisa yaitu 27,5cm dan
menggunakan 2 buah lampu LED 5watt.
f. Uji SEM (Scanning Electron Microscopy)
Uji SEM (Scanning Electron Microscopy)
digunakan untuk mengetahui struktur mikro suatu
material meliputi tekstur, morfologi, komposisi dan
informasi kristalografi permukaan partikel. Morfologi
yang diamati oleh SEM berupa bentuk, ukuran dan
susunan partikel (Rakhmatullah et al. 2007).

45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Mass Transfer


4.1.1 Solid Gain (SG)
Solid gain merupakan nilai yang menunjukkan besarnya
padatan terlarut yang masuk ke dalam sampel. Semakin besar
nilai SG menunjukkan semakin besar padatan terlarut yang
masuk ke dalam sampel selama proses dehidrasi osmotik
berlangsung. Masuknya padatan terlarut ke dalam sampel akan
mempengaruhi rasa sampel sehingga diusahakan nilai SG
serendah mungkin agar rasa sampel tidak mengalami banyak
perubahan. Nilai solid gain pada berbagai konsentrasi
maltodekstrin dan NaCl dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Perhitungan atau data selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 1.

47
25
20

Solid Gain (%)


15
10
5
0
Maltodekstrin 30% Maltodekstrin 40% Maltodekstri50%

NaCl 5% NaCl 10% NaCl 15%


Gambar 4.1 Solid Gain pada Berbagai Konsentrasi Maltodekstrin dan
NaCl pada Dehidrasi Osmotik

Pada Gambar 4.1 menunjukkan besarnya nilai SG yang


dimiliki oleh masing-masing sampel saat proses dehidrasi
osmosis berlangsung. Pada Gambar 4.1 terlihat bahwa sampel
yang memiliki nilai SG paling besar terlihat pada sampel dengan
larutan terner maltodekstrin 50% + NaCl 15% sebesar 21,472,
sedangkan sampel yang memiliki nilai SG paling sedikit adalah
sampel dengan larutan terner maltodekstrin 30% + NaCl 5%
sebesar 4,657. Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa
peningkatan konsentrasi menyebabkan peningkatan nilai solid
gain (SG). Alam, dkk. (2013) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan osmotik yang
digunakan maka nilai solid gain (SG) akan mengalami
peningkatan. Pada penelitian Eren and Ertekin (2006) kondisi
optimal pada dehidrasi osmosis dengan minimum solid gain
terjadi pada variasi larutan sukrosa 54,5% dan garam 14%
dengan nilai solid gain 6,0 (g/ 100g sampel segar) berlangsung
pada suhu 22oC dengan lama perendaman 239 menit.
48
Gula (maltodekstrin) memiliki sifat higroskopis, artinya
memiliki kemampuan dalam mengikat air. Semakin besar jumlah
maltodekstrin yang ditambahkan maka semakin besar peristiwa
difusi yang terjadi dengan bantuan garam (NaCl) yang ada pada
larutan osmosis akan membantu proses difusi lebih cepat
masuk ke dalam jaringan sel. Gula berfungsi mengikat air dan
molekul-molekul pektin. Menurut literatur maltodekstrin memiliki
ukuran granula pori sebesar 10 - 20μm (Husniati, 2009).
Penambahan garam mampu meningkatkan tekanan osmotik,
garam NaCl berdasarkan tabel Relative Size of Material memiliki
ukuran pratikel sekitar 0,0005 - 0,00075 mikron. Semakin tinggi
konsentrasi gula dan garam maka padatan terlarut yang masuk
ke dalam bahan juga semakin besar (Kartika, 2015). Ukuran
pori kentang sendiri sebesar 20Å = 2nm (Sterling, 1973).
Terjadinya masuknya padatan kedalam bahan
diakibatkan karena adanya perbedaan konsentrasi antara
larutan dan di dalam sel yang menyebabkan adanya gaya
pendorong. Gaya pendorong tersebut yang menyebabkan air
keluar dari dalam sel, sedangkan zat terlarut dari larutan masuk
ke dalam sel (Rahman, 2007). Perbedaan konsentrasi antara
larutan dan di dalam sel menyebabkan air bebas akan ke luar
dari bahan dan padatan yang ada di dalam larutan, sebagian
akan masuk ke dalam bahan melalui proses difusi. Padatan
terdiri dari gula dan garam dengan kedua bahan ini mempunyai
sifat higroskopis sehingga padatan akan masuk ke dalam bahan

49
pangan dan akan mengikat air bebas dalam bahan pangan
sehingga menurunkan aktivitas air bahan (Kartika, 2015).
Gambar 4.1 dilengkapi dengan standar deviasi untuk
mengetahui besar atau kecilnya persebaran data. Semakin
besar standar deviasi akan menunjukkan bahwa setiap rata-rata
dari tiga pengulangan memberikan hasil yang tidak homogen
sehingga dianggap kurang mewakili seluruh sampel. Standar
deviasi dikatakan baik apabila nilainya tidak melebihi dua kali
nilai rata-rata. Pada penelitian ini dengan parameter SG
menghasilkan standar deviasi yang kecil yaitu 0,105 – 2,485
sehingga masih dikatakan baik karena tidak ada nilai yang
melebihi nilai rata- rata yakni 4,803 - 21,472.
Secara statistik dengan metode one way ANOVA
(Analysis of Variance) pada Lampiran 2 diperoleh nilai F hitung
> F tabel, dan nilai signifikasi < (0,05), sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata dari
rata-rata nilai solid gain pada masing-masing perlakuan. Untuk
melihat letak perbedaannya, dilakukan uji lanjut dengan uji
mann whitney dengan hasil notasi pada Tabel 4.1.

50
Tabel 4.1 Rerata Nilai Solid Gain Berdasarkan Interaksi Antar Faktor
Standard
Perlakuan Rata-rata Notasi
Deviasi
P1 (Maltodekstrin 30% + NaCl 5%) 4.803 1.586 a
P2 (Maltodekstrin 30% + NaCl
13.947 1.652 bc
10%)
P3 (Maltodekstrin 30% + NaCl
13.946 2.210 bc
15%)
P4 (Maltodekstrin 40% + NaCl 5%) 12.583 0.530 b
P5 (Maltodekstrin 40% + NaCl
15.159 2.100 c
10%)
P6 (Maltodekstrin 40% + NaCl
17.810 0.106 d
15%)
P7 (Maltodekstrin 50% + NaCl 5%) 14.043 2.485 bc
P8 (Maltodekstrin 50% + NaCl
20.231 0.108 e
10%)
P9 (Maltodekstrin 50% + NaCl
21.472 1.476 e
15%)
Signifikansi normalitas = 0.113
Signifikansi homogenitas = 0.013

Dari kolom notasi tersebut diperoleh hasil sebagai berikut:


1. Perlakuan P1 (a) berbeda nyata dengan P2, P3, P4, P5,
P6, P7, P8, dan P9.

51
2. Perlakuan P2 (bc) berbeda nyata dengan P1, P6, P8,
dan P9. Perlakuan P2 tidak berbeda nyata dengan P3,
P4, P5, dan P7.
3. Perlakuan P3 (bc) berbeda nyata dengan P1, P6, P8,
dan P9. Perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan P2,
P4, P5, dan P7.
4. Perlakuan P4 (b) berbeda nyata dengan P1, P5, P6, P8,
dan P9. Perlakuan P4 tidak berbeda nyata dengan P2,
P3, dan P7.
5. Perlakuan P5 (c) berbeda nyata dengan P1, P4, P6, P8,
dan P9. Perlakuan P5 tidak berbeda nyata dengan P2,
P3, dan P7.
6. Perlakuan P6 (d) berbeda nyata dengan P1, P2, P3, P4,
P5, P7, P8, dan P9.
7. Perlakuan P7 (bc) berbeda nyata dengan P1, P6, P8,
dan P9. Perlakuan P7 tidak berbeda nyata dengan P2,
P3, P4, dan P5.
8. Perlakuan P8 (e) berbeda nyata dengan P1, P2, P3, P4,
P5, P6, dan P7. Perlakuan P8 tidak berbeda nyata
dengan P9.
9. Perlakuan P9 (e) berbeda nyata dengan P1, P2, P3, P4,
P5, P6, dan P7. Perlakuan P9 tidak berbeda nyata
dengan P8.

52
4.1.2 Water Loss (WL)

Water loss menunjukkan banyaknya air yang keluar dari


sampel selama proses dehidrasi osmotik. Tingkat kehilangan air
atau water loss (WL) berbeda-beda untuk masing-masing
perlakuan. Tingginya nilai WL menunjukkan tingginya tingkat
kehilangan air, sebaliknya nilai WL yang rendah menunjukkan
rendahnya tingkat kehilangan air. Nilai water loss pada berbagai
konsentrasi maltodekstrin dan NaCl dapat dilihat pada Gambar
4.2. Perhitungan atau data selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 3.

30

25
Water Loss (%)

20

15

10

0
Maltodekstrin30% Maltodekstrin 40% Maltodekstrin 50%
NaCl 5% NaCl 10% NaCl 15%

Gambar 4.2 Water Loss pada Berbagai Konsentrasi Maltodekstrin dan


NaCl pada Dehidrasi Osmotik

53
Gambar 4.2 menunjukkan bahwa perbedaan konsetrasi
maltodekstrin dan konsentrasi NaCl menghasilkan perbedaan
yang signifikan. Nilai water loss tertinggi dihasilkan oleh
perlakuan Maltodekstrin 50% + NaCl 15% yaitu 24,847. Water
loss terendah dihasilkan oleh kombinasi perlakuan maltodekstrin
30% + NaCl 5% yaitu 3,935. Berdasarkan trend data pada
Gambar 4.2 dapat disimpulkan bahwa semakin meningkatnya
konsentrasi maltodekstrin dan NaCl maka nilai water loss yang
dihasilkan juga semakin meningkat. Menurut Reynaldy et al
(2005) semakin tinggi nilai water loss maka menunjukkan tingkat
tingginya kehilangan air pada sampel. Kecepatan keluarnya air
dari padatan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
konsentasi larutan osmotik, waktu perendaman, rasio larutan
osmotik/solid, suhu, intensitas pengadukan dan ukuran. Ispir
(2009) menyatakan bahwa water loss akan meningkat seiring
dengan meningkatnya konsentrasi agen osmotik yang
digunakan. Hal ini disebabkan oleh perubahan sifat fisik bahan
seperti kemampuan dalam mengikat air (porositas) dan
permeabilitas sel. Khoyi (2007), menyebutkan semakin besar
konsentrasi larutan osmotik maka viskositas larutan akan
semakin besar, jika konsentrasi larutan osmotik bertambah dan
suhu larutan tetap dapat memperlambat tingkat kehilangan air
(water loss) karena viskositas larutan yang tinggi. Selain itu,
kenaikan suhu dapat meningkatkan penyerapan larutan osmotik
ke dalam sampel dan dapat menurunkan viskositas larutan

54
osmotik yang akan mempengaruhi kualitas produk menjadi lebih
baik.
Gula (maltodekstrin) memiliki sifat higroskopis, sehingga
mempunyai kemampuan dalam mengikat air. Semakin banyak
konsentrasi gula yang digunakan maka semakin banyak air
yang diikat dan menyebabkan kehilangan air semakin besar.
Adanya garam dalam larutan osmotik membantu proses
osmosis bahan. Penambahan garam mampu meningkatkan
tekanan osmotik sehingga kehilangan air akan semakin besar.
Garam berperan dalam meningkatkan proses dehidrasi.
Pengaruh komposisi larutan osmotik dengan sistem larutan
terner yaitu larutan gula dan garam efektif terhadap penurunan
kadar air pada sayuran. Peran gula dan garam dalam penetrasi
sel mampu meningkatkan tekanan osmotik dalam sel. Ketika
terjadi peningkatan konsentrasi gula dan garam dalam larutan
osmosis, maka permeabilitas membran plasma akan mengalami
plasmolisis, akibat adanya perbedaan tekanan osmotik (Kartika,
2015).
Mekanisme water loss terjadi karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan dan di dalam sel yang menyebabkan
adanya gaya pendorong. Gaya pendorong tersebut yang
menyebabkan air keluar dari dalam sel. Transfer air terjadi
melalui proses difusi dan kapilaritas (Rahman, 2007). Menurut
Sucahyo, dkk. ( 2013) yang menyatakan bahwa meningkatnya
nilai water loss disebabkan karena terjadi perbedaan tekanan

55
osmotik yang lebih besar antara larutan osmotik dengan air
dalam bahan. Perbedaan tekanan tersebut menjadi driving force
yang menyebabkan massa air pada bahan mengalir keluar dari
bahan menuju media larutan.
Gambar 4.2 dilengkapi dengan standar deviasi untuk
mengetahui besar atau kecilnya persebaran data. Semakin kecil
standar deviasi menunjukkan bahwa setiap rata-rata dari tiga
pengulangan memberikan hasil yang homogen sehingga dapat
dianggap mewakili seluruh sampel. Standar deviasi dikatakan
baik apabila nilainya tidak melebihi dua kali nilai rata-rata.
Penelitian ini menghasilkan standar deviasi yang kecil yaitu
1,176 – 4,38 sehingga masih dikatakan baik karena tidak ada
nilai yang melebihi nilai rata-rata.
Secara statistik dengan metode one way ANOVA
(Analysis of Variance) pada Lampiran 4 diperoleh nilai F hitung
> F tabel, dan nilai signifikasi < (0,05), sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata dari
rata-rata nilai water loss pada masing-masing perlakuan. Untuk
melihat letak perbedaannya, dilakukan uji lanjut dengan uji tukey
5% dengan hasil notasi pada Tabel 4.2.

56
Tabel 4.2 Rerata Nilai Water Loss Berdasarkan Interaksi Antar Faktor
Standard
Perlakuan Rata-rata Notasi
Deviasi
P1 (Maltodekstrin 30% + NaCl 5%) 3.936 1.312 a
P2 (Maltodekstrin 30% + NaCl
7.118 4.381 ab
10%)
P3 (Maltodekstrin 30% + NaCl
10.252 1.811 ab
15%)
P4 (Maltodekstrin 40% + NaCl 5%) 9.271 1.177 ab
P5 (Maltodekstrin 40% + NaCl
9.630 3.214 ab
10%)
P6 (Maltodekstrin 40% + NaCl
20.677 3.309 c
15%)
P7 (Maltodekstrin 50% + NaCl 5%) 12.315 2.166 b
P8 (Maltodekstrin 50% + NaCl
20.638 3.393 c
10%)
P9 (Maltodekstrin 50% + NaCl
24.847 2.709 c
15%)
Signifikansi normalitas = 0.110
Signifikansi homogenitas = 0.402

Dari kolom notasi tersebut diperoleh hasil sebagai berikut:


1. Perlakuan P1 (a) berbeda nyata dengan P6, P7, P8, dan
P9. Perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan P2, P3,
P4, dan P5.

57
2. Perlakuan P2 (ab) berbeda nyata dengan P6, P8, dan
P9. Perlakuan P2 tidak berbeda nyata dengan P1, P3,
P4, P5, dan P7.
3. Perlakuan P3 (ab) berbeda nyata dengan P6, P8, dan P9.
Perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan P1, P2, P4,
P5, dan P7.
2. Perlakuan P4 (ab) berbeda nyata dengan P6, P8, dan
P9. Perlakuan P4 tidak berbeda nyata dengan P1, P2,
P3, P5, dan P7.
3. Perlakuan P5 (ab) berbeda nyata dengan P6, P8, dan
P9. Perlakuan P4 tidak berbeda nyata dengan P1, P2,
P3, P4, dan P7.
4. Perlakuan P6 (c) berbeda nyata dengan P1, P2, P3, P4,
P5, dan P7. Perlakuan P6 tidak berbeda nyata dengan
P8, dan P9.
5. Perlakuan P7 (b) berbeda nyata dengan P1, P6, P8, dan
P9. Perlakuan P7 tidak berbeda nyata dengan P2, P3,
P4, dan P5.
6. Perlakuan P8 (c) berbeda nyata dengan P1, P2, P3, P4,
P5, dan P7. Perlakuan P8 tidak berbeda nyata dengan
P6, dan P9.
7. Perlakuan P9 (c) berbeda nyata dengan P1, P2, P3, P4,
P5, dan P7. Perlakuan P9 tidak berbeda nyata dengan
P6, dan P8.

58
4.1.3 Weight Reduction (WR)

Penyusutan massa pada proses dehidrasi osmotik


terjadi karena perubahan kandungan air yang keluar bahan
(kehilangan air). Hal tersebut menyebabkan bagian rongga pada
bahan menyusut karena jumlah air yang hilang. Nilai weight
reduction pada berbagai konsentrasi maltodekstrin dan NaCl
dapat dilihat pada Gambar 4.3. Perhitungan atau data
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.

10
8
6
Weight Reduction (%)

4
2
0
-2
-4
-6
-8
-10
Maltodekstrin30% Maltodekstrin 40% Maltodekstrin 50%
NaCl 5% NaCl 10% NaCl 15%

Gambar 4.3 Weight Reduction pada Berbagai Konsentrasi


Maltodekstrin dan NaCl pada Dehidrasi Osmotik

Gambar 4.3 menunjukkan nilai weight reduction pada


berbagai perlakuan kosnentrasi maltodekstrin dan NaCl. Nilai
WR tertinggi dihasilkan oleh perlakuan maltodekstrin 50% +

59
NaCl 15% yaitu 3,37. Weight reduction terendah dihasilkan oleh
perlakuan maltodekstrin 30% + NaCl 10% yaitu -6,818. Pada
Gambar 4.3 menunjukkan trend data yang fluktuatif. Weight
reduction pada konsentrasi Maltodekstrin 40% + NaCl 15% dan
Maltodekstrin 50% + NaCl 15% memiliki angka yang berbeda
dengan konsentrasi lainnya disebabkan karena nilai water loss
pada konsentrasi tersebut memiliki beda rentan yang cukup jauh
dengan konsentrasi lainnya . Yang disebabkan karena
konsentrasi larutan osmotik yang tinggi sehingga menyebabkan
banyaknya air keluar dari bahan dan padatan yang masuk juga
tinggi pada konsentrasi tersebut.
Mayor et al. (2011) dalam dehidrasi osmotik pumkins,
dihasilkan volume sampel berkurang secara linear dengan
meningkatnya nilai WR secara bebas pada kondisi proses
dehidrasi osmotik. Namun, dalam dehidrasi osmotik apel
dengan menggunakan larutan gula ditemukan hubungan linear
antara WR dan penyusutan volume (Moreira et al. 2003).
Penyusutan bahan (WR) pada saat dehidrasi osmotik tidak
dapat dihindari karena adanya proses keluarnya air dari bahan.
Pada saat air keluar dari bahan terjadi ketidakseimbangan
antara tekanan di dalam bahan dengan di luar bahan yang
menimbulkan kontraksi dan memicu terjadinya penyusutan baik
pada massa dan volume serta perubahan bentuk bahan
(Mavroudis et al. 1997).

60
Perubahan bobot terjadi sebagai akibat dari
berkurangnya kandungan air dari dalam bahan (Magdalena,
2014). Hal tersebut menyebabkan bagian rongga pada bahan
menyusut karena jumlah air yang hilang. Penyusutan volume
pada dehidrasi osmotik juga disebabkan sebagai akibat
kehilangan kandungan air dalam bahan sehingga rongga pada
bahan menyusut. Pada umumnya penyusutan volume juga
berbanding lurus dengan penyusutan massa (Sucahyo, 2013).
Gambar 4.3 dilengkapi dengan standar deviasi untuk
mengetahui besar atau kecilnya persebaran data. Semakin
besar standar deviasi akan menunjukkan bahwa setiap rata-rata
dari tiga pengulangan memberikan hasil yang tidak homogen
sehingga dianggap kurang mewakili seluruh sampel. Standar
deviasi dikatakan baik apabila nilainya tidak melebihi dua kali
nilai rata-rata. Pada penelitian ini menghasilkan standar deviasi
yang cukup tinggi yaitu 0,478 – 5,078.

4.2 Kadar Air dan Laju Pengeringan


4.2.1 Kadar Air

Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung di


dalam suatu bahan. Pengukuran kadar air ini dilakukan sebelum
pengeringan, selama pengeringan, hingga saat pengeringan
telah selesai dilaksanakan.Pengukuran nilai kadar air selama
proses pengeringan dilakukan dengan menggunakan sampel
non treatment, blanching dan sampel perlakuan terbaik

61
dehidrasi osmotik yakni maltodekstrin 30% + NaCl 15%.
Perlakuan terbaik dilakukan dengan ranking test secara statistik
dengan metode one way ANOVA (Analysis of Variance) yang
dapat dilihat pada Lampiran 6. Proses pengeringan
berlangsung dalam tray dryer selama 4 jam pada suhu 30°C,
40°C dan 50°C. Pengambilan data dilakukan sebanyak 12 kali,
dengan interval waktu 15 menit untuk 2 jam pertama dan 30
menit untuk 2 jam terakhir. Kinetika penurunan kadar air selama
proses pengeringan pada suhu 30°C, 40°C dan 50°C dan data
penurunan kadar air dapat dilihat pada Gambar 4.4 –
4.6.Perhitungan atau data selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 7.

100
80
Kadar Air (%bb)

60
40
20
0
0 15 30 45 60 75 90 105 120 150 180 210 240
Waktu (menit)
Non treatment Blanching DO (Maltodekstrin 30% + NaCl 15%)

Gambar 4.4 Hubungan Kadar Air Terhadap Waktu Pengeringan pada


Suhu 30°C

62
Pada Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa kadar air awal
sampel dengan perlakuan dehidrasi osmosis lebih rendah
dibanding non treatment dan blanching. Kadar air awal sampel
non treatment berkisar antara 83-84% bb. Pada sampel
blanching memiliki kadar air awal yang hampir sama dengan
non treatment yakni berkisar antara 82-84% bb. Kadar air awal
pada sampel dengan perlakuan dehidrasi osmosis berkisar
antara 78-79% bb. Menurut Sophia (2011) kadar air awal pada
tiap sampel memiliki nilai yang berbeda-beda karena selama
proses osmotik berlangsung, air yang terkandung didalam
bahan berpindah ke larutan osmotik dengan adanya perbedaan
terkanan osmotik. Nilai kadar air akhir terendah terjadi pada
sampel non treatment yang berkisar antara 43-52% bb,
kemudian sampel perlakuan dehidrasi osmotik dengan kadar air
akhir berkisar antara 51-53% bb dan sampel blanching dengan
kadar air akhir tertinggi berkisar antara 50-60% bb. Kadar air
akhir saat pengeringan pada suhu 30°C ini masih terbilang
tinggi karena suhu yang digunakan terbilang rendah, sehingga
dengan waktu 4 jam hanya mampu menurunkan kadar air
hingga kisaran 50-55% bb. Menurut Sophia (2011) kadar air
akhir tidak berpengaruh pada karakteristik pengeringan, akan
tetapi berpengaruh pada kualitas atau mutu bahan kering yang
dihasilkan. Bila kadar air akhir masih tinggi, maka bahan yang
telah dikeringkan beresiko rusak karena adanya pengaruh
mikroorganisme.

63
100
Kadar Air (%bb) 80

60

40

20

0
0 15 30 45 60 75 90 105 120 150 180 210 240
Waktu (menit)
Non treatment Blanching DO (Maltodekstrin 30% + NaCl 15%)

Gambar 4.5 Hubungan Kadar Air Terhadap Waktu Pengeringan pada


Suhu 40°C

Pada Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa kadar air awal


sampel dengan perlakuan dehidrasi osmosis lebih rendah
dibanding non treatment dan blanching. Kadar air awal sampel
non treatment berkisar antara 79-82% bb. Pada sampel
blanching memiliki kadar air awal yang hampir sama dengan
non treatment yakni berkisar antara 79-81% bb. Kadar air awal
pada sampel dengan perlakuan dehidrasi osmosis berkisar
antara 73-75% bb. Menurut Sophia (2011) kadar air awal pada
tiap sampel memiliki nilai yang berbeda-beda karena selama
proses osmotik berlangsung, air yang terkandung didalam
bahan berpindah ke larutan osmotik dengan adanya perbedaan
terkanan osmotik. Nilai kadar air akhir terendah terjadi pada
sampel non treatment yang berkisar antara 9-10% bb, kemudian
64
sampel blanching dengan kadar air akhir berkisar antara 10-
12% bb dan sampel perlakuan dehidrasi osmotik dengan kadar
air akhir tertinggi berkisar antara 22-24% bb.

100

80
Kadar Air (%bb)

60

40

20

0
0 15 30 45 60 75 90 105 120 150 180 210 240
Waktu (menit)
Non treatment Blanching DO (Maltodekstrin 30% + NaCl 15%)

Gambar 4.6 Hubungan Kadar Air Terhadap Waktu Pengeringan Pada


Suhu 50°C

Pada Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa kadar air awal


sampel dengan perlakuan dehidrasi osmosis lebih rendah
dibanding non treatment dan blanching. Kadar air awal sampel
non treatment berkisar antara 85-90% bb. Pada sampel
blanching memiliki kadar air awal yang hampir sama dengan
non treatment yakni berkisar antara 83-87% bb. Kadar air awal
pada sampel dengan perlakuan dehidrasi osmosis berkisar
antara 76-83% bb. Menurut Sophia (2011) kadar air awal pada
tiap sampel memiliki nilai yang berbeda-beda karena selama
proses osmotik berlangsung, air yang terkandung didalam
65
bahan berpindah ke larutan osmotik dengan adanya perbedaan
terkanan osmotik. Nilai kadar air akhir terendah terjadi pada
sampel non treatment ialah 6% bb, kemudian sampel blanching
dengan kadar air akhir berkisar antara 7-8% bb dan sampel
perlakuan dehidrasi osmotik dengan kadar air akhir tertinggi
berkisar antara 13-16% bb.
Saat proses pengeringan berlangsung, kadar air pada
sampel non treatment, blanching dan dehidrasi osmotik
mengalami penurunan yang dapat dilihat pada Gambar 4.4-4.6.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air perlakuan
blanching lebih tinggi dari non treatment, fenomena ini
berpengaruh terhadap pembengkakan pori yang terjadi didalam
kentang mengakibatkan berdifusinya air kedalam jaringan
kentang selama proses blanching sehingga mempengaruhi
peningkatan fase keterikatan air, sehingga saat dikeringkan
pada sampel blanching lebih sulit menguapkan air karena air
dan pati menyumbat pori. Ketika dikeringkan, produk yang
mendifusi air lebih banyak akan menunjukkan kadar air yang
lebih tinggi (Fajar et al, 2014). Didalam jaringan fase keterikatan
air dapat berupa beberapa fase. Jenis fase dalam keterikatan air
dalam produk dapat dibagi menjadi tiga yaitu air yang terikat
secara bebas, secara fisik, dan terikat secara kimia (Sudjatha,
2001).
Pada Gambar 4.4-4.6 kurva penurunan kadar air
terhadap waktu berbentuk eksponensial. Menurut Nursani

66
(2009), bentuk kurva eksponensial pada proses pengeringan
tersebut memperlihatkan tiga tahap penurunan kadar air, yaitu
tahap penurunan kadar air cepat pada awal proses, tahap
penurunan kadar air lambat, dan tahap penurunan kadar air
sangat lambat yang terjadi pada akhir proses. Pada awal
proses, terjadi penurunan kadar air cepat, karena massa air
bahan yang terdapat dalam permukaan sangat besar, yang
dinamakan juga dengan air bebas. Ketika pengeringan dimulai,
udara pengering yang memiliki suhu tinggi akan kontak dengan
seluruh permukaan bahan. Tekanan uap air di permukaan
bahan sangat tinggi, dan tekanan udara pengering rendah
sehingga perbedaan uap air ini menyebabkan terjadi
perpindahan massa uap air dari bahan ke udara, dan tekanan
uap air pada permukaan menurun. Ketika seluruh tekanan
permukaan bahan menurun, massa air pada bahan berpindah
ke permukaan dan kemudian air berpindah ke udara, dengan
demikian penurunan kadar air masih berlanjut dengan
perpindahan massa uap air yang melambat sampai tekanan
bahan dan udara seimbang sehingga tidak ada perpindahan air.
Dengan proses demikian kurva terbentuk menjadi semakin
landai sampai mencapai keseimbangan.

67
4.2.2 Laju Pengeringan

Laju pengeringan merupakan perubahan kadar air setiap


satuan waktu yang menunjukkan banyaknya air yang diuapkan
setiap satuan waktu. Data yang digunakan untuk memperoleh
laju pengeringan adalah data perubahan kadar air pada selang
waktu tertentu. Laju pengeringan dalam proses pengeringan
suatu bahan memiliki arti penting, dimana laju pengeringan akan
menggambarkan cepat atau lambatnya suatu proses
pengeringan. Penguapan massa air dari permukaan bahan akan
bertambah cepat dengan adanya kenaikan suhu dalam proses
pengeringan. Data laju pengeringan pada suhu 30°C, 40°C dan
50°C dengan sampel non treatment, blanching dan dehidrasi
osmosis dapat dilihat pada Gambar 4.7-4.9 Perhitungan atau
data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8.

0,00
0 20 40 60 80 100
-0,20
Laju Pengeringan
(%bb/menit)

-0,40
-0,60
-0,80
-1,00
-1,20
Kadar Air (%bb)
non treatment blanching DO (Maltodekstrin 30% + NaCl 15%

Gambar 4.7 Hubungan Laju Pengeringan dengan Kadar Air pada


Suhu 30°C
68
0,00
Laju Pengeringan
(%bb/menit) -0,20 0 20 40 60 80 100

-0,40
-0,60
-0,80
-1,00
-1,20

Kadar Air (%bb)


non treatment blanching DO (Maltodekstrin 30% + NaCl 15%)

Gambar 4.8 Hubungan Laju Pengeringan dengan Kadar Air pada


Suhu 40°C

0,00
0 20 40 60 80 100
Laju Pengeringan (%bb/menit)

-0,20

-0,40

-0,60

-0,80

-1,00

-1,20
Kadar Air (%bb)

non treatment blanching DO (Maltodekstrin 30% + NaCl 15%)

Gambar 4.9 Hubungan Laju Pengeringan dengan Kadar Air


pada suhu 50°C

69
Pada Gambar 4.7-4.9 dapat dilihat bahwa seiring
menurunnya kadar air menyebabkan laju pengeringan juga
menurun. Laju pengeringan untuk setiap perlakuan tidak sama
besar. Pada awal proses pengeringan, laju pengeringan
berlangsung begitu cepat karena massa air yang diuapkan
adalah air permukaan bahan. Dengan demikian, laju
pengeringan yang terjadi diawal proses sangat cepat, seiring
dengan penurunan kadar air (%bb) maka laju pengeringan
semakin lama semakin melambat. Pada Gambar 4.7
menunjukkan laju pengeringan yang naik di akhir proses
pengeringan, dan pada awal proses pengeringan menunjukkan
laju pengeringan yang berlangsung secara lambat. Hal tersebut
dikarenakan pada Gambar 4.7 menggunakan suhu yang lebih
rendah yakni 30°C, sehingga laju pengeringan berlangsung
lama, dan pada akhir proses pengeringan menunujukkan laju
pengeringan yang sangat tinggi seperti Pada Gambar 4.8-4.9
karena pada saat tersebut kadar air yang terkandung dalam
bahan masih tinggi yakni sebesar 57,969 - 68,514% (bb). Pada
Gambar 4.8-4.9 memiliki grafik yang sama, yakni laju
pengeringan terjadi begitu cepat pada awal proses dan
melambat seiring dengan menurunnya kadar air. Menurut Hall
(1957), bahwa suatu bahan dapat dikatakan kering jika laju air
yang keluar dari bahan sama dengan udara sekelilingnya. Laju
pengeringan menjadi semakin rendah bila kadar air bahan
mendekati kadar air keseimbangan. Berdasarkan penelitian

70
Istadi (2002) semakin tinggi temperatur udara pengering maka
laju pengeringan semakin besar. Makin tinggi temperatur udara
pengering maka kelembaban udara pengering semakin rendah
sehingga gaya dorong kandungan air antara bahan dengan
udara makin besar. Disamping itu, makin tinggi temperatur
udara pengering akan makin banyak pula panas yang
dipindahkan dari udara kepermukaan bahan yang selanjutnya
dapat menguapkan moisture di dalam bahan.
Pada proses pengeringan terdapat dua laju pengeringan,
yaitu laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun.
Laju pengeringan konstan terjadi karena gaya perpindahan air
internal lebih kecil dari perpindahan uap air pada permukaan
bahan. Pada laju pengeringan konstan air bebas yang ada pada
permukaan bahan mengalami penguapan dengan cepat dan
penurunannya hampir konstan. Laju pengeringan konstan pada
penelitiaan ini terjadi diawal pengeringan yakni pada kadar air
80 – 60 (% bb).
Taufiq (2004) menyatakan bahwa pada periode
pengeringan dengan laju tetap, bahan mengandung air yang
cukup banyak, hal mana pada permukaan bahan berlangsung
penguapan yang lajunya dapat disamakan dengan laju
penguapan pada permukaan air bebas. Laju penguapan
sebagian besar tergantung pada keadaan sekeliling bahan,
sedangkan pengaruh bahannya sendiri relatif kecil. Menurut Hall
(1980) periode laju pengeringan konstan berakhir terjadi ketika

71
laju difusi air dari dalam bahan ke permukaan tidak dapat
mengikuti laju penguapan air di permukaan bahan. Proses
pengeringan memasuki periode laju pengeringan menurun
setelah periode laju pengeringan konstan berakhir.
Pada periode laju pengeringan menurun permukaan
partikel bahan yang dikeringkan tidak lagi ditutupi oleh lapisan
air. Selama periode laju pengeringan menurun, energi panas
yang diperoleh bahan digunakan untuk menguapkan sisa air
bebas yang sedikit sekali jumlahnya (Taufiq, 2004). Laju
pengeringan menurun terjadi setelah laju pengeringan konstan
yakni pada kadar air 50 (%bb) hinga proses pengeringan
selesai. Periode laju pengeringan menurun lebih dipengaruhi
oleh karakteristik produk mencakup pergerakan air di dalam
bahan ke permukaan melalui proses difusi, dan penguapan air
dari permukaan bahan (Taufiq, 2004).
4.3 Analisis Warna dan Pengerutan
4.3.1 Analisis warna

Analisis uji warna dilakukan dengan menggunakan


bantuan blackbox dan kamera DSLR Nikon D3300 dengan
automatic setting untuk mengambil gambar. Hasil gambar yang
diperoleh kemudian dicrop dengan background putih
menggunakan photoshop, lalu dianalisa dengan aplikasi visual
basic dan features extraction. Hasil analisis terhadap
penangkapan citra warna kentang dengan background putih
dinyatakan dalam notasi Lab, yang secara otomatis data hasil
72
analisis dikoleksi dalam Microsoft Office Excel 2007. Analisis
warna untuk mengetahui nilai Lab menggunakan sampel yang
telah dikeringkan pada suhu 30°C, 40°C dan 50°C selama 4
jam. Tampilan gambar dari berbagai perlakuan dapat dilihat
pada Gambar 4.10 - 4.12 dan screen shot penjalanan aplikasi
features extraction dapat dilihat pada Lampiran 9.
Berdasarkan hasil penangkapan citra yang telah
dilakukan pada Gambar 4.10-4.12 terlihat bahwa pada sampel
non treatment memiliki warna yang gelap (kecoklatan) dan
pucat. Sedangkan pada sampel blanching memiliki warna yang
kuning dan transparan. Untuk sampel dehidrasi osmosis
memiliki warna yang sedikit kekuningan dan tidak terjadi
browning. Semakin tinggi konsentrasi larutan osmosis maka
akan menghasilkan kentang dengan warna yang lebih
mengkilap yang disebabkan masih adanya maltodekstrin dan
NaCl dipermukaan.

73
Gambar 4.10 Tampilan Gambar Slice Kentang Hasil Pengeringan
Selama 4 Jam pada Suhu 30°C

Gambar 4.11 Tampilan Gambar Slice Kentang Hasil Pengeringan


Selama 4 Jam pada Suhu 40°C

74
Gambar 4.12 Tampilan Gambar Slice Kentang Hasil Pengeringan
Selama 4 Jam pada Suhu 40°C
(a) non treatment (b) blanching (c) MD 30% + NaCl 5% (d) MD 30% +
NaCl 10% (e) MD 30% + NaCl 15% (f) MD 40% + NaCl 5% (g) MD
40% + NaCl 10% (h) MD 40% + NaCl 15% (i) MD 50% + NaCl 5% (j)
MD 50% + NaCl 10% (k) MD 50% + NaCl 15%

Analisa warna diproses menggunakan software Visual


Basic dan features extraction sehingga didapatkan 3 parameter
penilaian warna yaitu L, a, dan b. Lokasi warna pada sistem ini
ditentukan dengan koordinat L*, a*, dan b*. Notasi L* : 0 (hitam);
100 (putih) menyatakan cahaya pantul yang mengahsilkan
warna akromatik putih, abu-abu dan hitam. Notasi a* : warna
campuran kromatik merah-hijau dengan nilai +a* (positif) dari 0
sampai +80 untuk warna merah dan nilai –a* (negatif) dari 0
sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b*: warna kromatik
campuran biru-kuning dengan nilai +b* (positif) dari 0 sampai

75
+70 untuk warna kuning dan nilai –b* (negatif) dari 0 sampai -70
untuk warna biru (Suyatma, 2009). Hasil nilai L* a* b* dari
Gambar 4.10 – 4.12 dapat dilihat pada Tabel 4.3 – 4.5.

Tabel 4.3 Hasil Analisis L* a* b* Dari Berbagai Perlakuan pada Suhu


30°C
Perlakuan L* a* b*
Kontrol 80,630 1,095 5,392
Blanching 57,165 50,494 58,066
MD 30% + NaCl 5% 85,663 -2,805 14,345
MD 30% + NaCl 10% 58,024 37,462 48,793
MD 30% + NaCl 15% 80,840 -3,111 16,623
MD 40% + NaCl 5% 85,885 -2,566 13,418
MD 40% + NaCl 10% 56,402 44,530 49,367
MD 40% + NaCl 15% 84,825 0,559 11,275
MD 50% + NaCl 5% 83,067 -3,000 15,934
MD 50% + NaCl 10% 82,455 -1,611 9,787
MD 50% + NaCl 15% 57,133 41,132 52,632

Tabel 4.4 Hasil Analisis L* a* b* Dari Berbagai Perlakuan pada Suhu


40°C
Perlakuan L* a* b*
Kontrol 88,053 0,746 6,292
Blanching 56,883 48,880 55,836
MD 30% + NaCl 5% 80,527 -2,743 14,873
MD 30% + NaCl 10% 83,633 -2,010 10,749
MD 30 + NaCl 15% 84,664 -2,667 15,022
MD 40% + NaCl 5% 77,351 -2,605 15,491
MD 40% + NaCl 10% 79,380 -2,204 15,016
MD 40% + NaCl 15% 84,003 -2,480 13,457
MD 50% + NaCl 5% 52,580 49,549 55,955
MD 50% + NaCl 10% 42,608 29,826 39,549
MD 50% + NaCl 15% 81,147 -2,933 16,731

76
Tabel 4.5 Hasil Analisis L* a* b* Dari Berbagai Perlakuan pada Suhu
50°C
Perlakuan L* a* b*
Kontrol 91,590 0,429 4,762
Blanching 53,327 79,696 66,980
MD 30% + NaCl 5% 83,648 -3,129 15,728
MD 30% + NaCl 10% 57,038 56,137 57,878
MD 30 + NaCl 15% 87,639 -2,362 12,847
MD 40% + NaCl 5% 86,133 -2,473 14,494
MD 40% + NaCl 10% 57,627 52,877 57,529
MD 40% + NaCl 15% 89,380 -2,174 11,735
MD 50% + NaCl 5% 54,716 51,903 54,457
MD 50% + NaCl 10% 85,886 1,628 11,195
MD 50% + NaCl 15% 59,079 48,546 57,590

Berdasarkan Tabel 4.3 hasil nilai L* a* b* pada suhu


30°C menunjukkan bahwa sampel yang memiliki nilai L*
(Lightness) paling tinggi yaitu pada perlakuan maltodekstrin
30% + NaCl 5% sebesar 85,663 sedangkan nilai L* paling
rendah yaitu pada perlakuan maltodekstrin 40% + NaCl 10
sebesar 56,402. Nilai a* yang paling tinggi terjadi pada sampel
blanching yaitu sebesar 50,494 dan yang paling rendah ialah
pada perlakuan maltodekstrin 30% + NaCl 15% sebesar -3,111.
Untuk nilai b* menunjukkan hasil yang sama yakni nilai b* hasil
analisis tertinggi pada sampel blanching sebesar 58,066 dan
nilai b* terendah terjadi pada perlakuan sampel maltodekstrin
50% + NaCl 10% yakni sebesar 9,787.
Tabel 4.4 menampilkan hasil analisis L* a* b* berbagai
perlakuan pada suhu 40°C yang menunjukkan bahwa hasil
77
analisis nilai L* tertinggi pada sampel kontrol (non treatment)
sebesar 88,053 dan untuk nilai L* terendah terjadi pada sampel
Maltodekstrin 50% + NaCl 10% yakni sebesar 42,608. Nilai a*
yang paling tinggi terjadi pada sampel blanching yaitu sebesar
48,880 dan yang paling rendah ialah pada perlakuan
maltodekstrin 50% + NaCl 15% sebesar -2,933. Untuk nilai b*
menunjukkan hasil yang sama yakni nilai b* hasil analisis
tertinggi pada sampel blanching sebesar 55,836 dan nilai b*
terendah pada perlakuan sampel maltodekstrin 30% + NaCl
10% yakni sebesar 10,749.
Tabel 4.5 menampilkan hasil analisis L* a* b* berbagai
perlakuan pada suhu 50°C yang menunjukkan bahwa hasil
analisis nilai L* tertinggi pada sampel kontrol (non treatment)
sebesar 91,590 dan untuk nilai L* terendah terjadi pada sampel
blanching yakni sebesar 53,327. Nilai a* yang paling tinggi
terjadi pada sampel blanching yaitu sebesar 79,696 dan yang
paling rendah ialah pada perlakuan maltodekstrin 30% + NaCl
5% sebesar -3,129. Untuk nilai b* menunjukkan hasil yang sama
yakni nilai b* hasil analisis tertinggi pada sampel blanching
sebesar 66,980 dan nilai b* terendah pada sampel kontrol (non
treatment) yakni sebesar 4,763.
Berdasarkan hasil analisis nilai L* a* b* pada masing-
masing perlakuan pada suhu 30°C, 40°C dan 50°C dapat
disimpulkan bahwa nilai L* tertinggi terjadi pada sampel kontrol
(non treatment) dimana pada L*: 0 (hitam); 100 (putih)

78
(Suyatma, 2009). Pada sampel kontrol menunjukkan warna
kentang yang mewakili warna kromatik putih, abu-abu dan hitam
hal ini disebabkan karena kentang mengalami proses
pencoklatan secara enzimatis. Menurut Richardson (1983)
reaksi pencoklatan dapat terjadi melalui dua proses yaitu proses
pencoklatan enzimatis, disebabkan adanya enzim polifenol
oksidase (PPO) dan tirosin yang berperan sebagai substrat
sedangkan proses non enzimatis disebabkan karena reaksi
Maillard, karamelisasi atau oksidasi asam askorbat. Friedman
(1990) menyebutkan proses pencoklatan yang terjadi akan
mengurangi kualitas produk dan menurunkan minat konsumen.
Terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis (Ruhiye, 2003) dapat
dilihat skema pada Gambar 4.13.

Gambar 4.13 Skema Terjadinya Pencoklatan Enzimatis

79
Reaksi pencoklatan enzimatis pada Gambar 4.13
menjelaskan dimana fenol dan oksigen adalah substrat dan
BH2, singkatan dari senyawa o-diphenol sebagai donor elektron
(aktifitas monophenolase). Sedangkan pada aktifitas
diphenolase, BH2 tidak diperlukan karena ada o-diphenol cukup
untuk reaksi dan kedua atom dari molekul oksigen direduksi
menjadi air dan pada akhirnya o-quinon berpolimerisasi
membentuk pencoklatan.
Untuk nilai a* hasil analisis tertinggi terdapat pada
sampel dengan perlakuan blanching. Notasi a* merupakan
warna campuran kromatik merah – hijau dengan nilai +a*
(positif) dari 0 sampai +80 untuk warna merah dan nilai –a*
(negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau (Suyatma, 2009).
Untuk nilai b* hasil analisis tertinggi juga terdapat pada sampel
dengan perlakuan blanching. Menurut Suyatma (2009) notasi b*
mewakili kromatik campuran biru – kuning dengan nilai +b*
(positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b*
(negatif dari nol sampai -70 untuk warna biru. Berdasarkan hasil
analisis nilai b* tertinggi menunjukkan angka yang mewakili
kromatik kuning, dengan demikian blanching berhasil
memberikan pengaruh terhadap warna pada sampel, dan dapat
mempertahankan warna. Hal ini sesuai dengan Siwindratama
(2011) yang menyebutkan bahwa proses blanching dapat
mempertahankan warna bahkan mempertajam warna bahan
pangan. Dari hasil analisis Tabel 4.3 – 4.5 dapat dilihat bahwa

80
proses dehidrasi osmosis dapat menurunkan nilai a* dan b* hal
ini disebabkan karena adanya larutan osmotik yang masih
menempel dipermukaan sampel pada saat dikeringkan.

4.3.2 Pengerutan
Analisa pengerutan dilakukan untuk mengetahui
perubahan bentuk slice kentang kering pada masing-masing
perlakuan. Sampel analisa pengerutan pada berbagai perlakuan
dilakukan pengeringan pada suhu 30°C, 40°C dan 50°C selama
4 jam. Kemudian dilakukan pengambilan gambar dengan
menggunakan blackbox. Perubahan bentuk slice kentang kering
pada masing-masing perlakuan dan pada suhu 30°C, 40°C dan
50°C dapat dilihat pada Gambar 4.14 - 4.16.

81
Gambar 4.14 Perubahan Bentuk Kentang Hasil Pengeringan Selama
4 Jam pada Suhu 30°C

(a) non treatment (b) blanching (c) MD 30% + NaCl 5% (d) MD 30% +
NaCl 10% (e) MD 30% + NaCl 15% (f) MD 40% + NaCl 5% (g) MD
40% + NaCl 10% (h) MD 40% + NaCl 15% (i) MD 50% + NaCl 5% (j)
MD 50% + NaCl 10% (k) MD 50% + NaCl 15%

Pada Gambar 4.14 terlihat bahwa sampel yang terjadi


perubahan pengerutan paling besar adalah non treatment. Pada
sampel non treatment pengerutan terjadi disemua arah dan
tempat, tetapi pengerutan lebih banyak terjadi dipinggiran

82
sampel daripada ditengah. Pada sampel blanching juga terjadi
pengerutan tetapi pengerutan hanya terjadi dibagian pinggir
sampel dan tidak sebesar pengerutan yang terjadi pada non
treatment. Untuk sampel treatment yang menggunakan
berbagai perlakuan, hanya mengalami sedikit pengerutan dan
ketika disentuh sampel masih lengket. Dapat disimpulkan
bahwa perlakuan dehidrasi osmosis dengan menggunakan
berbagai konsentrasi maltodekstrin + NaCl mampu mencegah
pengerutan (shrinkage) pada kentang yang telah dikeringan
selama 4 jam pada suhu 30°C.

Gambar 4.15 Perubahan Bentuk Kentang Hasil Pengeringan Selama


4 Jam pada Suhu 40°C
83
Pada Gambar 4.15 terlihat bahwa sampel yang terjadi
perubahan pengerutan paling besar adalah non treatment. Pada
sampel non treatment dengan suhu 40°C terjadi pengerutan
pada sisi sebelah kiri, dan pengerutan lebih banyak terjadi
dipinggiran sampel daripada ditengah. Pada sampel blanching
juga terjadi pengerutan tetapi pengerutan hanya terjadi dibagian
pinggir sampel dan tidak sebesar pengerutan yang terjadi pada
non treatment. Untuk sampel treatment yang menggunakan
berbagai perlakuan, hanya mengalami sedikit pengerutan dan
ketika disentuk sampel tidak lengket. Dapat disimpulkan bahwa
perlakuan dehidrasi osmosis dengan menggunakan berbagai
konsentrasi maltodekstrin + NaCl mampu mencegah pengerutan
(shrinkage) pada kentang yang telah dikeringan selama 4 jam
pada suhu 40°C.

84
Gambar 4.16 Perubahan Bentuk Kentang Hasil Pengeringan Selama
4 Jam pada Suhu 50°C

Pada Gambar 4.16 terlihat bahwa sampel yang terjadi


perubahan pengerutan paling besar adalah non treatment. Pada
sampel non treatment dengan suhu 50°C terjadi pengerutan di
pinggiran pada setiap sisi, dan pada bagian tengah hanya
mengalami sedikit pengerutan. Pada sampel blanching hanya
terjadi sedikit pengerutan yaitu dibagian pinggir sampel. Untuk
sampel treatment yang menggunakan berbagai perlakuan,
hanya mengalami sedikit pengerutan dan pada sampel ini
pengerutan terjadi ditengah sehingga menghasilkan bentuk slice
bulat tetapi diameternya kecil dan ketika disentuh sampel tidak
85
lengket. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan dehidrasi osmosis
dengan menggunakan berbagai konsentrasi maltodekstrin +
NaCl mampu mencegah pengerutan (shrinkage) pada kentang
yang telah dikeringan selama 4 jam pada suhu 50°C.
Berdasarkan analisa pengerutan yang dilakukan dengan
melihat gambar dari masing-masing perlakuan pada suhu 30°C,
40°C dan 50°C dapat disimpulkan bahwa pengerutan terbesar
terjadi pada sampel non treatment, yang hampir pada tiap sisi
dibagian pinggirnya mengalami pengerutan. Pengerutan
terbesar pada sampel non treatment terjadi pada suhu 40°C,
sedangkan pengerutan terbesar pada sampel blanching terjadi
pada suhu 30°C. Untuk sampel treatment paling banyak
pengerutan terjadi pada suhu 30°C, pada sampel ini pengerutan
tidak sama pada semua sisi dan tempat tetapi pengerutan
banyak terjadi pada pinggir sampel. Hal ini dapat disebabkan
karena pada saat proses dehidrasi omsosis berlangsung terjadi
perpindahan air pada bahan ke larutan osmosis yang
menyebabkan adanya rongga sehingga pada saat bahan
dikenai panas/ dikeringkan mengalami pengerutan.
Mayor (2008) dalam penelitiannya menyebutkan
dehidrasi osmotik menyebabkan perubahan dalam ukuran sel
dan membentuk parameter dari jaringan sayuran. Dengan
fenomena yang diamati selama dehidrasi osmotik adalah
penyusutan sel, plasmolisis dan pelipatan dinding sel.
Perubahan ini menyebabkan penurunan luasan area, diameter,

86
kebulatan dan kepadatan. Perubahan yang diamati tidak
didistribusikan secara homogen dalam materi, dan tergantung
pada lokasi sel-sel dalam sampel dan pada waktu proses. Water
loss menjadi penyebab utama perubahan sel selama proses
dan kemudian menyebabkan tekanan mikrostruktur dalam
jaringan sayuran. Dehidrasi osmosis menyebabkan penurunan
nilai luasan area hingga 55% dari nilai awal. Segui et al. (2006)
mengamati penurunan diamater sel apel selama dehidrasi
osmosis menyatakan bahwa membran sel sampel menyusut
secara elastikal selama proses dehidrasi osmosis. Meskipun
membran sel menyusut, dinding sel tidak ikut menyusut selama
proses dan responnya terhadap penyusutan sel adalah melipat
dinding sel sehingga mempengaruhi bentuk.

4.4 Analisis SEM


Analisis SEM bertujuan untuk melihat morfologi dari
suatu sampel. Sampel yang dianalisa adalah sampel non
treatment dan sampel blanching, yang sebelumnya telah
dikeringkan dengan menggunakan tray dyer pada suhu 40°C
selama 4 jam. Hasil SEM dapat dilihat pada Gambar 4.16 dan
4.17

87
(a) (b)

(c) (d)
Gambar 4.17 Hasil uji SEM kentang non treatment pada
Perbesaran (a) 100x (b) 300x (c) 500x (d) 1000x

Berdasarkan hasil uji SEM kentang non treatment pada


Gambar 4.16 terlihat hasil uji SEM kentang non treatment yang
telah dikeringkan pada suhu 40°C dengan perbesaran 100x,
300x, 500x dan 1000x. Struktur mikro kentang non treatment
hasil uji SEM menunjukkan bahwa pada permukaan sampel
terlihat dinding sel yang dikelilingi banyak granula pati sehingga
menutupi permukaan, pori-pori yang terdapat pada sampel ini
terlihat kecil dan terhimpit oleh granula pati. Xiao et al. (2009)
88
mempelajari pengaruh perlakuan awal yang berbeda pada
kinetika pengeringan dan kualitas ubi jalar dalam hal sifat
tekstur, struktur mikro, dan warna pengeringan udara yang
mengalami pengeringan. Pengamatan mikrostruktur permukaan
ubi jalar kering tanpa pretreatment, jaringan ubi jalar kering
menunjukkan lebih banyak butiran pati dan lebih sedikit pori-pori
dibandingkan dengan perlakuan steam blanching, hot water
blanching dan sampel yang diberi asam sitrat pada
permukaannya.
Hal ini sejalan dengan penelitian Sjoo et al. (2009) yang
mengamati perbandingan metode mikroskopis yang berbeda
untuk pati dan komponen lain dalam sel kentang, pada hasil
penelitiannya menunjukkan permukaan granula pati yang
dianalisis menggunakan SEM kebanyakan menunjukkan
permukaan yang halus, meskipun kadang-kadang material
tampak melekat pada permukaan granula. Pati menghasilkan
permukaan seperti sponge, meskipun ada bebrapa sel
strukturnya berbeda. Fang et al. (2011) melaporkan hasil SEM
dalam penelitiannya bahwa suhu pengeringan yang lebih
rendah menyebabkan ukuran dan bentuk yang relatif seragam
dengan permukaan partikel halus, sedangkan suhu pengeringan
yang lebih tinggi menghasilkan variasi ukuran dan permukaan
partikel berkerut.

89
(a) (b)

(c) (d)
Gambar 4.18 Hasil Uji SEM kentang blanching pada
Perbesaran (a) 100x (b) 300x (c) 500x (d) 1000x

Berdasarkan hasil uji SEM kentang non treatment pada


Gambar 4.17 terlihat hasil uji SEM kentang dengan perlakuan
blanching yang telah dikeringkan pada suhu 40°C dengan
perbesaran 100x, 300x, 500x dan 1000x. Struktur mikro kentang
blanching hasil uji SEM menunjukkan bahwa pada permukaan
sampel tidak ada butiran pati dan pori-pori yang tersebar pada

90
permukaan sampel. Hanya terlihat dinding sel yang pecah/robek
yang diduga disebabkan karena perlakuan steam blanching.
Xiao et al. (2009) mempelajari pengaruh perlakuan awal
yang berbeda pada kinetika pengeringan dan kualitas batang
ubi jalar dalam hal sifat tekstur, struktur mikro, dan warna
pengeringan udara yang mengalami pengeringan. Pengamatan
mikrostruktur permukaan ubi jalar kering ditemukan bahwa
ketika batang ubi jalar pada perlakuan steam blanching dan hot
water blanching, sampel kering memiliki struktur kompak
homogen. Selain itu, tidak ada pori-pori dan butiran pati yang
ditemukan di permukaan sampel. Akibatnya, struktur akan
memperlambat transfer air atau penetrasi selama proses
pengeringan atau rehidrasi.
Bondaruk et al. (2007) meneliti pengaruh kondisi
pengeringan pada kualitas kubus kentang dengan vakum-
microwave kering dalam hal warna, kandungan pati, kadar gula,
sifat mekanik dan struktur mikro. Mengenai mikro, diamati
bahwa dibandingkan dengan udara konveksi paksa pengeringan
aplikasi energi microwave menyebabkan perubahan fisik yang
berbeda dalam mikrostruktur sampel. Itu juga menemukan
bahwa dalam kasus pengeringan udara intensitas perubahan
struktural tergantung pada suhu pengeringan. Selain itu, suhu
yang lebih tinggi menyebabkan kerusakan lebih besar pada
struktur mikro kubus kentang. Fang et al. (2011) melaporkan
bahwa suhu pengeringan yang lebih rendah menyebabkan

91
ukuran dan bentuk yang relatif seragam dengan permukaan
partikel halus, sedangkan suhu pengeringan yang lebih tinggi
menghasilkan variasi ukuran dan permukaan partikel berkerut.

92
BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Perlakuan konsentrasi larutan osmotik berpengaruh terhadap
water loss dan solid gain. Semakin tinggi konsentrasi larutan
osmotik, maka semakin besar pula nilai water loss dan solid
gain yang dihasilkan. Perlakuan konsentrasi tidak
menunjukkan hasil yang baik terhadap water loss, tetapi
pada konsentrasi MD 40% + NaCl 15% dan MD 50% + 15%
menunjukkan water loss yang tinggi.

2. Perlakuan dehidrasi osmosis mampu membuat kadar air awal


bahan setelah perlakuan lebih rendah daripada non
treatment dan blanching, sedangkan setelah proses
pengeringan kadar air bahan pada proses dehidrasi osmosis
lebih tinggi daripada non treatment dan blanching. Perlakuan
dehidrasi osmosis menyebabkan laju pengeringan memiliki
nilai yang rendah dibandingkan non treatment dan blanching.

3. Bahan pada hasil dehidrasi osmosis memiliki warna yang


sedikit kekuningan, transparan, untuk bahan dengan
konsentrasi larutan tertinggi menghasilkan warna yang
mengkilap. Untuk pengerutan, semua sampel dengan
perlakuan dehidrasi osmosis hanya terjadi pengerutan
sedikit.

93
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai jenis gula,
garam dan konsentrasi berbeda pada dehidrasi osmosis.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai suhu dehidrasi


osmosis dan lama perendaman dehidrasi osmosis untuk
mengoptimalkan produk dehidrasi osmosis.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh


pengadukan terhadap produk kualitas dehidrasi osmosis.

94
Daftar Pustaka

Aini, K.H., 2012. Produksi Tepung Kentang. Skripsi. UPI-


Jakarta.

Antonio, G.C., Azoubel, P. M., Murr, F. E., Park, K. J., 2008.


Osmotic Dehydration Of Sweet Potato (Ipomea
Batatas) In Ternary Solutions. Cienc Tecnol Aliment
Campinas Brasil 28(3): 696-701

Antonio, G.C., El-Aouar, A.A., Azoubel, P. M., Simaoes, M. R.,


Murr, F. E. 2015. Modelling of Osmotic Dehydration of
Sweet Potato (Ipomes Batatas): Determination of Mass
Effective Diffusity Coefficient. Journal of Food
Engineering, Unicamp Brasil

Anggraeni, S.M. 2008. Aspek Blanching dan Exhausting


Pada Pengalengan Buah dan Sayur.
https://www.google.
Aspek+Blanching+dan+Exhausting+pada+Pengalengan+
Buah+dan Sayur. 20 Maret 2018 (20:00)

Asgar, A. dan D. Mussadad. 2008. Pengaruh Media, Suhu dan


Lama Blanching Sebelum Pengeringan Terhadap Mutu
Lokal Lobak Kering. Jurnal Hortikultura.

95
Asgar, A. dan D. Musaddad. 2010. Optimalisasi cara, suhu,
dan lama blanching sebelum pengeringan pada
wortel. Jurnal Hortikultura. 16(3):245-252.

Blancard, P. H. dan F. R.Katz. 1995. Starch Hydrolisis in Food


Polysaccharides and Their Application, Marcell Dekker,
Inc. New York.

Bondaruk, J., Markowski, M., Blaszczak, W. 2007. Effect of


Drying Conditions on the Quality of Vacuum-
microwave Dried Potato Cubes. Journal of Food
Engineering, 81 : 306-312.

Brooker, D.B., Barker-Arkema, F.W., dan Hall, C.W. 1981.


Drying Cereal Grains. AVI Publishing. Company.Inc.
Westport.

Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., dan Wootton, M. 2010.


Food Science. Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono
dalam Ilmu Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta.

Burhanuddin. 2001. Strategi Pengembangan Industri Garam


di Indonesia. Proceeding Forum Pasar Indonesia.
Jakarta.

Chavan, U. D., Amarowics, R. 2012. Osmotic Dehydration


Process for Presevation of Fruits and Vegetables.
Journal of Food Reasearch Vol.1 No.2

96
Chrysanty K. 2009. Karakteristik Lapisan Tipis dan Mutu
Simplisia Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.)
Roscoe). Skripsi. Bogor : FATETA IPB.

Corcuera, Jose Reyes De., Ralph, Cavalier., dan Joseph


Powers. 2004. Encyclopedia of Agricultural, Food, and
Biological Engineering: Blanching of Food. United
States of America: Marcel Dekker Inc.

Dwinata, A., 2013. Dehidrasi Osmotik Pada Irisan Buah


Pepaya (Carica papaya L.) dengan Pelapis Sodium
Alginat Pada Suhu Ruang. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

El-Aouar, A.A., Azoubel, P.M. dan Mur, F.E.X., 2010. Influence


Of The Osmotic Agent On The Osmotic Dehydration
Of Papaya (Carica Papaya L.). Journal of Food
Engineering, 75:267-274.

Eren, Ismail dan Ertekin, F. K. 2006. Optimization of Osmotic


Dehydration of Potato using Respone Serface
Methodology. Journal of Food Engineering 79: 344-352.

Fang, Y., Rogers, S., Selomulya, C., Chen, X.D. 2011.


Functionality of Milk Protein Concentrate: Effect of
Spray Drying Temperature. Biochemical Engineering
Journal 56: 231-248.

97
Fajar, I. M., Kencana D., Arda, G. 2014. Pengaruh Suhu Dan
Waktu Blanching Terhadap Karakteristik Fisik Dan
Kimia Produk Rebung Bambu Tabah Kering
(Gigantochloa nigrociliata (Buese) Kurz). Jurnal
Biosistem dan Teknik Pertanian, Vo.2 No.1 : 3-5.

Fellows, PJ. 2000. Food Processing Technology: Principles


and Practice, 2nd Ed.. United States of America:
Woodhead Publishing Limited and CRC Press LLC.

Hall CW. 1957. Drying Farm Crops. Michigan : Agricultural


Consulting Associates.

Hawa, L. C., Fujii, Sachie., Yoshimoto, Noriko., Aktas, Turkan.,


Yamamoto, Shuichi. 2012. Drying of Sliced Vegetables
and Fruits at Relatively High Humidities For Producing
High Quality Products. International Drying Symposium.

Islam, MN, Flink, JM. 1982. Dehydration of potato II. Osmotic


concentration and its effect on air drying behavior. J
Food Technol 17:387–403.

Istadi, S. Sumardiono dan D. Soetrisnanto. 2002. Penentuan


Konstanta Pengeringan dalam Sistem Pengeringan Lapis
Tipis (Thin Layer Dring). Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Proses Kimia 2002: A5.1-A5.5. Teknik Kimia
Universitas Diponegoro. Semarang.

98
Jackson, TH., Mohamed, BB .1971. The shambat process:
new development arising from the osmotic
dehydration of fruits and vegetables. Sudan J Food Sci
Technol 3:18–22.

Jufri, M., Anwar, A., Djajadisastra, J., 2004. Pembuatan


Niosom Berbasis maltodekstrin DE 5-10 dari Pati
Singkong. Majalah Ilmu Kefarmasian Vol.1(1).

Khan, R.M. 2012. Osmotic Dehydration Technique for Fruits


Preservation, A Review. Pakistan Journal of Food
Science, 22 (2) : 71-85.

Khoyi R M, Hesar J. 2007. Osmotic dehydration kinetics of


apricot using sucrose solution. Food Engineering 78
1355-1360.

Magdalena, A., Waluyo,S., Sugianti, C. 2014. Pengaruh Suhu


dan Konsentrasi Larutan Gula Terhadap Proses
Dehidrasi Osmosis Buah Waluh (Cucurbita moschata).
Jurnal Rekayasa Pangan dan Pert, Vol.2 No.4: 1-6

Mavroudis, N.E., V. Gekas and H.N. Lazarides. 1997.


Shrinkage in osmotic dehydration of plant tissues.
Proceedings of the second project workshop. Process
Optimisation and Minimal Processing of Foods, Vol.3 :
Drying. Warsaw Poland.

99
Mayor L, Moreira R, dan Sereno AM. 2011. Shrinkage,
Density, Porosity, And Shape Changes During
Dehydration Of Pumkin (Cucurbita Pepo L.) Fruits.
Journal of Food Engineering 103 : 29-37

Mayor, L., Pissarra, J., Sereno, A.M. 2008. Microstructural


Changes During Osmotic Dehydration Of
Parenchymatic Pumpkin Tissue. Journal of Food
Engineering 85: 326-339.

Minah, F., 2014. Pemanfaatan Kulit Ubi Kayu Sebagai Bahan


Pembuatan Dekstrin Melalui Proses Hidrolisa Asam.
Jurnal Inovatif Vol. 4, No. 2. Fakultas Teknologi Industri.
Institut Teknologi Nasional Malang.

Moreira R, dan Sereno AM, 2003. Evaluation of mass transfer


coefficients and volumetric shrinkage during osmotic
dehydration of apple using sucrose solutions in static
and non-static conditions. Journal of Food Engineering
57 : 25–31.

Nowakunda, K., A. Andreas., 2011. Osmotic Dehydration of


Banana Slices as A Pretreatment For Drying
Processes. Drying Vol C, pp 2077-2083

Nursani D. 2009. Mempelajari Karakteristik Pengeringan


Lapisan Tipis Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoaria
(Berg.) Roscoe). Skripsi. Bogor : FATETA IPB.
100
Oktaviana, YR. 2012. Kombinasi Konsentrasi Maltodekstrin
dan Suhu Pemanasan Terhadap Kualitas Minuman
Serbuk Instan Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L).
Skripsi. Fakultas Teknobiologi. Universitas Atma Jaya.
Yogyakarta.

Oladele, A.K., Odedeji, J.O. 2008. Osmotic dehydration of


catfish (Hemisynodontis membranaceus): Effect of
temparature and time. Pakistan Journal of Nutrition.

Ponting, J.D., Watters, G.G., Forrey, R.R. dan Stanley, W.L.


(1966). Osmotic dehydration of fruits. Food Technology
20: 125-128.

Prabowo RA. 2009. Penentuan Model Kadar Air


Keseimbangan dan Konstanta Pengeringan Kapulaga
(Amomum cardamomum Willd) Dengan Metode
Dinamis. Skripsi. Bogor : FATETA IPB.

Pratama HA. 2007. Mempelajari Karakteristik Pengeringan


Dengan Cara Menentukan kadar Air Keseimbangan
dan Konstanta Pengeringan Buah Mahkota Dewa
(Phaleria macrocarpa). Skripsi. Bogor : FATETA IPB.

Prayudi, B., 2010. Budidaya dan Pascapanen Kentang


(Solanum tuberosum L.). Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian, Jawa Tengah.
101
Pujimulyani, D. 2009. Teknologi Pengelolahan Sayur-Sayuran
dan Buah-buahan. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Rachmawan, O. 2001. Pengeringan, Pendinginan, dan


Pengemasan Komoditas Pertanian. Buletin Agroindustri
Edisi 5 Hal. 12-23.

Rahman, M. S. 2007. Osmotic Dehydration of Foods. In:


Rahman, M. S. (ed.) Handbook of Food Preservation, 2nd
ed. 2nd ed.: CRC Press.

Rakhmatullah, D., Wiradini, G., dan Ariyanto, N.P., 2007.


Pembuatan Adsorben dari Zeolit Alam dengan
Karakteristik Adsorption Properties untuk Kemurnian
Bioetanol. Program Studi Teknik Fisika. FTI ITB.
Bandung.

Reynaldy, W. H dan Indrawati, N. 2005. Dehidrasi Osmotik


Apel : Pengaruh pengadukan, konsentrasi larutan gula
dan waktu perendaman. Jurnal Ilmiah Nasional Widya
Teknik vol.4 no.2

Ruhiye, Y and Marshal, M.R., 2003. Physicochemical


Properties And Function Of Plant Polyphenol Oxidase
: A review1 , institute of food and agriculture science, Food
science and human nutrition department, University of
Florida.

102
Sadeghi, A., F.Shahidi., S.A.Mortazavi and N.Mahalati. 2008.
Evaluation of Different Parameters Effect on
Maltodextrin Production by α-amilase Termamyl 2-x.
World Applied Sciences Journal. 3 (1): 34-39.

Samadi, B. 2007. Kentang dan Analisis Usaha Tani. Kasinus.


Yogyakarta.

Segui, L., Fito, P. J., Albors, A., Fito, P. 2006. Mass transfer
phenomena during osmotic dehydration of apple
isolated protoplasts (Malus domestica var. Fuji).
Journal of Food Engineering, 77(1), 179–187.

Setiadi., Nurulhuda, S. 2008. Kentang : Varietas dan


Pembudidayaan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Siwindritama, Endita.2011. Pembuatan Dodol Rosela Kaya


Antioksidan dan Vitamin C. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.
Sjoo, M. E., Eliasson, A.C., Autio, K. 2009. Comparison of
Different Microscopic Methods for the Study of Starch
and Other Components Within Potato Cells. Journal
Food 3. Issue 1: 39-44

Sophia, M. 2011. Karakteristik Pengeringan Dan Evaluasi


Mutu Pada Potongan Mangga (Mangifera Indica, L.)
Varietas Arumanis Dengan Perlakuan Dehidrasi
Osmotik. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
103
Spiess, W., Behsnilian, D. 2006. Osmotic dehydration of fruits
and vegetables. 13th World Congress of Food science &
Technology, IUFoST, 1857 - 1869.

Sterling, CL., Davis. 1973. Pore Size in Potato Starch.


Department of Food Science and Technology. University
of California. USA

Sudarto, Y. 2000. Budidaya Waluh. Yogyakarta: Kanisius.

Sudjatha W. dan Wisaniyasa. 2001. Pengantar Teknologi


Pangan. Program Studi Teknologi Pertanian Universitas
Udayana. Denpasar

Sunanto, H. 2010. Coklat : Budidaya, Pengolahan Hasil dan


Aspek Ekonominya. Kanisius. Yogyakarta.

Susanto, T. dan B. Saneto, 1994. Teknologi Pengolahan Hasil


Pertanian. Bina Ilmu. Surabaya.

Sutresna, N. 2008. Kimia. Grafindo Media Pratama. Bandung

Suyatma, Nugraha E. 2009. Analisis Warna.


Anpang+Lanjut++Analisis+Warna+2009+NES.ppt. 25 Mei
2018 (21:33).

Tanggasari D., 2014. Sifat Teknik Dan Karakteristik


Pengeringan Biji Jagung (Zea Mays L.) Pada Alat

104
Pengering Fluidized Beds. Fakultas Teknologi Pangan
Dan Agroindustri Universitas Mataram. Mataram.
Taufiq, M. 2004. Pengaruh Temperatur Terhadap Laju
Pengeringan Jagung Pada Pengeringan Konvensional
Dan Fluidized Bed. Skripsi. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.

Winarno, F.G. 1984. Kimia Pangan. PT. Gramedia. Jakarta.

Wirawan, S.K., 2009. Studi Transfer Massa pada proses


Dehidrasi Osmosis Kentang (Solanum tuberosum L.).
Forum Teknik, p. 30 (2): 99-105.

Wirawan, S., dan N. Anasta. 2013. Analisis Permeasi Air Pada


Dehidrasi Osmosis Pepaya (Carica papaya L.). Agritech
Vol. 33 No. 3.

Wiyono, R. 2012. Studi Pembuatan Serbuk Effervescent


Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Kajian Suhu
Pengering, Konsentrasi Dekstrin, Konsentrasi Asam
Sitrat dan Na-Bikarbonat. Universitas Padjajaran.
Bandung.

Xiao, H.W., Lin, H., Yao, X.D., Du, Z.L., Lou, Z., Gao, ZJ. 2009.
Effects of Different Pretreatments on Drying Kinetics
and Quality of Sweet Potato Bars Undergoing Air
Impingement Drying. International Journal of Food
Engineering, 5, Article 5.
105
Yusraini, E., P. Hariyadi dan F.Kusnandar. 2007. Karakterisasi
proses produksi maltodekstrin dari pati pisang (Musa
sp) secara enzimatis dengan α-amilase. Jurnal ilmiah
forum pascasarjana ISSN 0126-1886. Vol 30. No.2. 159-
168.

Yuwono S. S., dan Tri S. 1998. Pengujian Fisik Pangan.


Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya

106

Anda mungkin juga menyukai