Anda di halaman 1dari 10

Surat Pernyataan Mahasiswa

Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama Mahasiswa :
NIM :
Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4213 / Sistem Politik Indonesia
Fakultas : Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FHISIP)
Program Studi : Ilmu Administrasi Negara-S1
UPBJJ-UT :

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi
THE pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam
pengerjaan soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya
sebagai pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjungjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik
dengan tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE
melalui media apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan
peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila dikemudian hari
terdapat pelanggaran atas pernyataan diatas, saya bersedia bertanggung jawab dan
menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.

, 28 Desember 2021
Yang Membuat Pernyataan

()
BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)
UAS TAKE HOME EXAM (THE)
SEMESTER 2021/22.1 (2021.2)

Nama Mahasiswa :

Nomor Induk Mahasiswa/NIM :

Tanggal Lahir :

Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4213 / Sistem Politik Indonesia

Kode/Nama Program Studi :

Kode/Nama UPBJJ :

Hari/Tanggal UASTHE : Selasa, 28/12/2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS TERBUKA

Jawaban :

1. SOAL
Gabriel Almond menyebutkan adanya enam kapabilitas yang dimiliki sistem politik dalam
mengatasi pengaruh yang berasal dari lingkungan, 2 (dua) di antaranya yaitu kapabilitas
responsif dan kapabilitas domestik dan internasional. Analisislah keterkaitan dari kedua
kapabilitas tersebut dengan memberikan contoh yang relevan!

Jawaban :
Menurut Almond, sistem politik adalah sistem interaksi yang terdapat dalam semua
masyarakat yang bebas dan merdeka yang melaksanakan fungsi-fungsi integrasi dan
adaptasi (baik dalam masyarakat ataupun berhadap-hadapan dengan masyarakat lainnya).
* Kapabilitas Responsif
Kemampuan sistem politik dalam menanggapi tuntutan, tekanan maupun dukungan
yang berasal dari lingkungan dalam maupun luar. Semakin tinggi tingkat kepekaan
suatu sistem politik terhadap tuntutan, tekanan, dan dukungan tersebut, semakin baik
pula kapabilitas responsifnya.

Kapabilitas responsif atau daya tanggap suatu sistem politik ditentukan oleh hubungan
antara input dan output. Sistem politik harus senantiasa tanggap terhadap setiap
tekanan dan tuntutan-tuntutan yang datangnnya dari lingkungan internal maupun
eksternal.

* Kapabilitas Domestik dan Internasional


Kapabilitas ini mencakup kegiatan atau tindakan yang terkait dengan perdagangan
internasional, penetrasi politik ke negara lain, misalnya lobi politik Yahudi di
Amerika, IMF, pinjaman luar negeri.

Kapabilitas domestik dan international Sistem politik secara niscaya berinteraksi


dengan lingkungan domestik dan lingkungan internasional. Kapabilitas domestik
suatu sistem politik sedikit banyak juga ada pengaruhnya terhadap kapabilitas
internasional. Yang dimaksud dengan kapabilitas internasional adalah kemampuan
yang memancar dari dalam keluar. Tingkah laku internasional suatu sistem politik
dapat dilihat dari kemampuan ekstraktif internasional dalam bentuk pendapatan dan
perdagangan internasional, keuntunguan dan penanaman modal di negara lain dan
lain-lain. Itulah penjelasan tentang konsep keenam kapabilitas sistem politik yang
harus dimiliki oleh setiap pemerintahan di dalam menjalankan kehidupan politiknya.
Contoh Kapabilitas responsif yang bersifat internasional merupakan hubungan antara
input lingkungan internasonal dan output sistem politik yang menerima pengaruh
tersebut. Termasuk dalam kategori fungsi input adalah sosialisasi politik dan
rekruitmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, dan komunikasi
politik. Sedangkan fungsi output terdiri dari pembuatan aturan, pelaksanaan aturan,
dan peradilan dari pelaksanaan aturan.

2. SOAL
Bentuk partisipasi politik dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu partisipasi konvensional dan
nonkonvensional. Analisis lah apa yang membedakan di antara keduanya dan mengapa
terdapat kecenderungan di era reformasi ini, partisipasi non-konvensional seperti
demonstrasi banyak dilakukan daripada partisipasi konvensional?

Jawaban :
Partisipasi Secara Konvensional

1. Pemberian suara (voting)


Pemungutan suara adalah alat untuk mengekspresikan dan mengumpulkan pilihan
partai atau calon dalam pemilihan. Bangsa Yunani kuno melakukan pemungutan suara
dengan menempatkan baru kerikil di sebuah jambangan besar, yang kemudian
memunculkan istilah psephology, atau kajian mengenai bermacam-maca pemilihan
umum.
2. Diskusi Politik
Hal ini merupakan ajang tukar pikiran tentang masalah-masalah publik untuk
kemudian dicarikan pemecahannya yang secara langsung berpengaruh terhadap
kebijakan publik.
3. Kegiatan Kampanye
Dalam masa pemilihan umum, baik pemilihan kepala daerah dan presiden, bentuk
kegiatan ini sangat marak dipilih sebagai sarana efektif dalam menyampaikan aspirasi
dari sebuah partai kepada masyarakat pemilihnya. Media kampanye pun beragam,
antara lain poster, kaos, bendera, yang semua diberikan kepada masyarakat umum
atau dengan melakukan pemasangan alat peraga yang tentunya tidak diperkenankan
melanggar peraturan perundang-undangan.
4. Membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan
Hal ini biasanya dilakukan dengan ikut membentuk organisasi sosial keagamaan
sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dan sebagai upaya memperjuangkan
kepentingannya kepada pemerintah atau menjadi anggota dari salah satu organisasi
sosial keagamaan.
5. Komunikasi individual dengan pejabat dan administrasi
Kegiatan ini dilakukan dengan mendatangi anggota parlemen untuk menyalurkan
aspirasi, mendatangi Walikota/Bupati/Camat, kepala dinas untuk menanyakan sesuatu
yang menyangkut masalah publik.

Partisipasi secara Nonkonvensional


1. Pengajuan petisi
Petisi adalah pernyataan yang disampaikan kepada pemerintah untuk meminta agar
pemerintah mengambil tidakan terhadap suatu hal. Hak petisi ada pada warga negara
dan juga badan-badan pemerintahan, seperti kabupaten dan provinsi agar pemerintah
pusat membela atau memperjuangkan kepentingan daerahnya.

Petisi juga berarti sebuah dokumen tertulis resmi yang disampaikan kepada pihak
berwenang untuk mendapatkan persetujuan dari pihak tersebut. Umumnya petisi
ditandatangani oleh beberapa orang atau sekelompok besar orang yang mendukung
permintaan yang terdapat dalam dokumen.

2. Demostrasi (Unjuk rasa)


Demonstrasi adalah hak demokrasi yang dapat dilaksanakan dengan tertib, damai dan
intelek. Demonstrasi merupakan sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau
ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mempublikasikannya dalam bentuk
pengerahan massa. Demonstrasi merupakan sebuah sarana atau alat yang sangat
terkait dengan tujuan digunakannya sarana atau alat tersebut dan cara penggunaannya.
3. Konfrontasi
Konfrontasi digolongkan sebagai bentuk partisipasi politik nonkonvensional karena
aspirasi diperjuangkan dengan cara-cara yang tidak mengindahkan pandangan dan hak
pihak lain. Dengan kata lain, pihak lain diposisikan sebagai lawan yang harus tunduk
untuk mengabulkan aspirasinya. Jadi, dalam konfrontasi tidak dikenal kompromi
tetapi merupakan penaklukan. Konfrontasi sendiri dianggap sesuatu yang tidak lazim
dalam negara demokrasi.
4. Mogok
Mogok adalah penghentian proses produksi demi suatu tuntutan tertentu. Dalam
realitas, ada dua kemungkinan yang menyebabkan proses produksi berhenti, yaitu
buruh secara sadar berhenti bekerja dan keluar pabrik serta pemblokiran kawasan dan
jalanannya sehingga sebagian besar buruh tidak bisa masuk ke pabrik untuk bekerja.

Pemogokan bisa terjadi di tingkat pabrik, kawasan sampai tingkat nasional yang
melibatkan buruh di berbagai kota dalam satu negeri. Pemogokan yang lebih luas
dilakukan bukan saja karena tuntutan yang sama, tetapi karena hubungan produksi itu
bersifat luas, tidak hanya melibatkan satu atau dua pabrik. Pemogokan kadang
digunakan pula untuk menekan pemerintah untuk mengganti suatu kebijakan.

5. Tindakan kekerasan politik


Kekerasan politik merupakan reaksi beberapa kelompok masyarakat yang menilai
para pemegang kekuasaan kurang adil dalam mengelola berbagai konflik dan sumber
kekuasaan yang ada. Bahkan, pemegang kekuasaan dinilai dengan wewenang
strukturalnya memakai cara-cara nondialogis atau nonmusyawarah untuk
menyelesaikan konflik.
6. Perang gerlya
Cara ini digunakan pada masa perang kemerdekaan dengan tujuan melemahkan atau
menghancurkan kekuasaan kelompok lain dengan jalan perumpahan darah. Meski
begitu. pada masa sekarang sistem perang gerilya juga bukannya tidak pernah
dilakukan. Terlebih oleh kelompok gerakan-gerakan sporadis.

Partisipasi politik secara konvensional. Bentuk partisipasi ini dilakukan dengan


melakukan diskusi politik, pembentukan dan penggabungan organisasi politik, kampanye,
dan lain sebagainya.
Partisipasi politik secara non konvensional. Bentuk partisipasi ini dilakukan dengan
cara demonstran, mogok, serta pembangkangan tanpa disertai kekerasan,
Partisipasi politik di Indonesia dapat terjadi menjadi dua acara. Pertama, Partisipasi
politik yang bersifat otonom yaitu partisipasi atas kesadaran sendiri. Kedua, Partisipasi
politik yang dimobilisasi yaitu partisipasi akibat dorongan/pengaruh faktor luar. Biasanya
partisipasi otonom timbul karena pemahaman yang utuh atas persepsi terhadap objek
politik yang ada. Pemahaman tersebut membentuk konseptualisasi atau pengertian yang
utuh terhadap fenomena pada objek politik, sehingga menimbulkan afeksi dalam bentuk
keputusan untuk berpihak kepada objek politik tertentu secara sadar tanpa paksaan
(otonom).

3. SOAL
Implikasi dari amandemen UUD 1945 menjadikan relasi antara lembaga eksekutif dan
legislatif berjalan lebih seimbang dengan penerapan mekanisme checks and balances.
Tidak ada lembaga yang mendominasi peran. Analisis lah relasi tersebut dengan
menyertakan contoh yang relevan!

Jawaban :
Setelah amandemen UUD 1945 Pemerintah Indonesia menganut prinsip check and
balances.
Prinsip checks and balances relatif masih baru diadopsi ke dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, utamanya setelah amandemen UUD 1945, sehingga dalam prakteknya masih
sering timbul “konflik kewenangan” antar lembaga negara atau pun dengan/atau antar
komisi-komisi negara.

Ferguson dan McHenry (1956:50), mendefinikan checks and balances (sistem


perimbangan kekuasaan) sebagaimana yang dipraktekkan di Amerika Serikat, sebagai
berikut:

“Separation of power is implemented by an elaborate system of checks and balances. To


mention only a few, Congress is checked by the requirement that laws must receive the
approval of both house, by the President’s veto and by the power of judicial review of the
courts.

The president is checked by the fact that he cannot encact laws, that no money may be
spent except in accordance with appropriations made by laws, that Congress can override
his veto, that he can be inpeached, that treaties must be approved and appointments
confirmed by the Senate and by judicial review.

The judicial branch is checked by the power retained by the people to amend the
constitution, by the power the President with the advice and consent of the Senate to
appoint fact that Congress can determine the size of courts and limit the appellate
jurisdiction of both the Supreme Court and inferior court”.

Dari pengalaman praktek Indonesia menerapkan prinsip tersebut memang belumlah


sempurna karena disain kelembagaan negara paska reformasi masih sangat banyak
jumlahnya, terkadang tumpang tindih kewenangannya, dan belum ideal untuk menampung
kebutuhan ketatanegaraan Indonesia.  Akibatnya, konflik kewenangan antar
lembaga/komisi/badan negara tak terhindarkan.Di sisi lain, konflik kewenangan antar
lembaga/komisi/badan negara juga belum dapat sepenuhnya ditampung oleh Mahkamah
Konstitusi, karena kewenangan Mahkamah Konstitusi baru sebatas pada konflik antar
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Ke depan perlu ada
perluasan pemaknaan terhadap lembaga negara sehingga konflik-konflik kewenangan
antar kelembagaan negara atau pun daerah ada saluran untuk menyelesaikannya secara
yuridis.

Adanya pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari eksekutif ke legislatif


memberikan satu pertanda ditinggalkannya prinsip “pembagian kekuasaan” (distribution
of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan kekuasaan” (separation of
power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga
merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial.
Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur,
dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan
oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang
menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan
ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.

Dalam pembentukan undang-undang, belum sepenuhnya ideal. Kehadiran DPR dan DPD
yang oleh UUD 1945 keduanya diberi kewenangan bidang legislasi,  praktek checks and
balances belum dapat dijalankan sepenuhnya karena kedudukan dan kewenangan antara
DPR dan DPD tidak seimbang. Sehingga dalam pembentukan undang-undang lebih
didominasi oleh DPR. Andaipun ada usulan RUU dari DPD, disain UUD 1945 belum
memungkinkan DPD ikut membahas RUU tersebut bersama-sama DPR dan Presiden.

Dalam pengujian peraturan perundang-undangan juga belum ideal karena terpecahnya


kewenangan untuk menguji peraturan di bawah UU terhadap UU ada pada Mahkamah
Agung, dan Mahkamah Konstitusi menguji UU terhadap UUD. Undang-Undang sebagai
produk DPR dan Presiden, manakala menurut pengujian Mahkamah Konstitusi norma-
norma di dalamnya bertentangan dengan UUD 1945, dapat dibatalkannya. Bahkan dalam
beberapa hal putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya menyatakan norma tertentu atau
undang-undang bertentangan dengan UUD, tetapi juga menambah norma baru, sehingga
fungsinya sebagai negative legislator bergeser menjadi positive legislator.

Pengawasan terhadap perilaku hakim yang kewenangannya dilimpahkan ke Komisi


Yudisial juga belum ideal, karena hakim konstitusi tidak dapat diawasi oleh Komisi
Yudisial. Ke depan harus lebih ditegaskan dalam UUD 1945 apa yang menjadi
kewenangan Komisi Yudisial.

Keinginan mewujudkan pemerintahan yang demokratis dengan mekanisme checks


and balances, setara dan seimbang antara cabang-cabang kekuasaan negara, terwujudnya
supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin, melindungi, dan terpenuhinya hak asasi
manusia, telah tertata dengan cukup baik dalam UUD 1945 hasil amandemen yang
dilakukan sejak 1999-2002. Mekanisme checks and balances bertujuan mewujudkan
pemerintahan yang demokratis. Checks and balances adalah saling mengontrol, menjaga
keseimbangan antara lembaga-lembaga negara atau yang biasa kita sebut dengan cabang-
cabang kekuasaan negara.
Amandemen UUD 1945 tidak terlepas dari kelemahan UUD 1945 sebelum
amandemen, karena dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul
dalam praktik ketatanegaraan. Hal ini disebabkan penerapan sistem pembagian kekuasaan
(distribution of power) tidak dilakukan secara benar. Kenapa sistem pemerintahan yang
demokratis menggunakan mekanisme checks and balances. Karena bangsa Indonesia
secara tegas sudah menyatakan bahwa Indonesia adalah negara demokratis yang
berdasarkan atas hukum.
Menghindari pemusatan kekuasaan yang dapat mengarah pada kesewenang-
wenangan, maka perlu diadakan pembagian kekuasaan negara. Salah satu teori pembagian
kekuasaan adalah teori Montesquieu yang membagi kekuasaan negara menjadi kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Agar tiga bidang kekuasaan tersebut dapat saling
mengontrol dan terjadi keseimbangan kekuasaan perlu diterapkan prinsip checks and
balances. Sistem ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD 1945 menganut
prinsip tersebut di mana DPR sebagai lembaga legislatif, Presiden sebagai lembaga
eksekutif, dan Mahkamah Agung beserta Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif
dapat saling mengontrol dan terjadi keseimbangan kekuasaan antar lembaga-lembaga
tersebut.

4. SOAL

Perubahan politik di era Orde Baru ditandai dengan ditinggalkannya politik mercusuar dan
berkurangnya peranan Indonesia di dunia internasional. Soeharto lebih mementingkan
hubungan dengan negara-negara kawasan regional Asia Tenggara. Analisis lah dasar
pemikiran mengapa Soeharto mengambil kebijakan demikian!

Jawaban :
Pada pertengahan tahun 1960an, kondisi ekonomi Indonesia telah mencapai keadaan yang
sangat buruk. Perekonomian Indonesia menderita karena kekacauan politik yang dipicu
oleh Presiden Soekarno, presiden pertama Indonesia. Masalah-masalah ekonomi tidak
menjadi perhatian utama bagi Soekarno yang menghabiskan masa hidupnya untuk
berjuang di arena politik. Beberapa contoh dari kebijakan-kebijakannya yang memberikan
dampak negative pada perekonomia adalah pemutusan hubungan dengan negara-negara
barat (dan karenanya mengisolir Indonesia dari ekonomi dunia dan mencegah negara ini
dari menerima bantuan-bantuan asing yang sangat dibutuhkan) dan deficitspending
melalui pencetakan uang, yang menyebabkan hiperinflasi yang berada di luar kendli.
Namun setelah Suharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno di pertengahan 1960an,
kebijakan-kebijakan ekonomi mengalami perubahan arah yang radikal.

Politik Luar Negeri Indonesia pada masa Orde Baru dibawah Suharto merupakan
kebalikan dari Orde Lama dibawah Sukarno. Pandangan Sukarno tentang politik luar
negeri sangat kuat dipengaruhi pemikiran-pemikiran antikolonialisme yang telah
berkembang sejak masa mudanya. Suharto, sebaliknya pandangan luar negerinya tidak
terlepas dari pertimbangan dalam negeri. Pengalaman politik yang berbeda membuat
keduanya memiliki sudut pandang yang sangat berbeda dalam memahami makna dasar
politik luar negeri Indonesia. Semangat anti-kolonialisme Sukarno yang sangat militan
disatu pihak memang menguntungkan posisinya sebagai presiden. Bagi Sukarno isu-isu
anti kekuatan asing juga membantunya mengidentifikasi kawan dan lawan. Akan tetapi, di
sisi lain, fokus pada upaya menghadapi “lawan dari luar” ini membuat kebutuhan untuk
memperbaiki kondisi ekonomi terabaikan, terutama pasca kemerdekaan dan pembentukan
NKRI. Kondisi perekonomian Indonesia yang terpuruk pada saat itu bukanlah tanpa
sebab-akibat. Politik konfrontasi dengan Malaysia sebagai bentuk manifestasi “musuh dari
luar” yang diterapkan oleh Sukarnolah yang menjadi penyebab kemerosotan
perekonomian Indonesia. Pada masa pemerintahan Suharto tepatnya setelah dilantik pada
tanggal 12 Maret 1967 merupakan momentum yang bersejarah bagi haluan politik
domestic dan politik luar negeri Indonesia. Suharto memandang persoalan dasar Indonesia
adalah pembangunan ekonomi. Pada waktu yang sama, ancaman eksternal (diterapkan
oleh Sukarno) tidak lagi dipandang sebagai persoalan fundamental bangsa. Indonesia
dibawah pemerintahan Suharto memiliki pandangan betapa pentingnya menjalin kerja
sama regional (di Asia Tenggara) maupun kerja sama internasional. Lebih jauh lagi, Orde
Baru memahami politik luar negeri sebagai upaya mempertahankan kelangsungan hidup
dan untuk mempertahankan integritas wilayah. Oleh karena itu, politik luar negeri tidak
hanya dipandang dalam pengertian politik militer, tetapi lebih luas lagi dapat dilihat
sebagai upaya menciptakan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
berdasarkan pancasila. Politik Konfrontasi dengan Malaysia yang dilakukan oleh Sukarno
dan dampak buruk bagi perekonomian Indonesia itulah yang kemudian mengubah haluan
politik luar negeri Indonesia dan mengubah pandangan negaranegara di kawasan Asia
Tenggara. Muncul sebuah kesadaran dari Indonesia khususnya dan 4 negara di kawasan
Asia Tenggara lainnya yaitu Malaysia, Singapura, Thailand dan Filiphina untuk
membentuk suatu organisasi regional yang disertai keterikatan antara negara dengan
norma dan prinsip guna meminimalisir terulang kembalinya sejarah buruk yang pernah
terjadi di Indonesia. Selain itu faktor internasional (luar kawasan) juga menjadi
pertimbangan penting bagi Indonesia dibawah Suharto dalam pembentukan ASEAN.
Sebagai bangsa yang berdaulat Indonesia memandang penting untuk tidak
menggantungkan dirinya secara politik dari Barat. Sebagai bagian dari non-blok sejak
awal Indonesia menentang aliansi-aliansi pertahanan karena dinilai akan mereduksi
kedaulatan nasional dan membuka pintu bagi dominasi-dominasi negra-negara besar.
Karena itulah, Indonesia dibawah Suharto konsisten menentang semua bentuk campur
tangan militer Barat di kawasan Asia Tenggara. Berakhirnya konfrontasi dan keikutsertaan
Indonesia dalam pembentukan ASEAN merupakan blessing in disguise bagi pembentukan
norma hubungan antar negara yang menentang penggunaan kekerasan (non use of force).
Disamping itu, pembentukan ASEAN pada hakikatnya membuka jalan bagi Indonesia
untuk mendapatkan pengaruh tanpa harus menggunakan kekerasan. Deklarasi Bangkok
yang dicetuskan 8 Agustus 1967 merupakan dasar berdirinya Association of East Asian
Nations atau ASEAN. Deklarasi Bangkok yang ditandangani oleh 5 wakil negara
pendirinya, yaitu Adam Malik (Indonesia), Tun Abdul Razak (Malaysia), Thanat Khoman
(Thailand), Narsico Ramos (Filiphina) dan Rajaratman (Singapura) merupakan bentuk
nyata pembelajaran bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk membangun
keamanan dan meredam saling rasa curiga antar sesama negara kawasan agar kegaduhan
dan kekisruhan yang pernah dialami oleh Indonesia tidak terulang dimasa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai