Kejujuran Akademik
Nama Mahasiswa :
NIM :
Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4213 / Sistem Politik Indonesia
Fakultas : Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FHISIP)
Program Studi : Ilmu Administrasi Negara-S1
UPBJJ-UT :
1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi
THE pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam
pengerjaan soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya
sebagai pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjungjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik
dengan tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE
melalui media apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan
peraturan akademik Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila dikemudian hari
terdapat pelanggaran atas pernyataan diatas, saya bersedia bertanggung jawab dan
menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
, 28 Desember 2021
Yang Membuat Pernyataan
()
BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)
UAS TAKE HOME EXAM (THE)
SEMESTER 2021/22.1 (2021.2)
Nama Mahasiswa :
Tanggal Lahir :
Kode/Nama UPBJJ :
Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS TERBUKA
Jawaban :
1. SOAL
Gabriel Almond menyebutkan adanya enam kapabilitas yang dimiliki sistem politik dalam
mengatasi pengaruh yang berasal dari lingkungan, 2 (dua) di antaranya yaitu kapabilitas
responsif dan kapabilitas domestik dan internasional. Analisislah keterkaitan dari kedua
kapabilitas tersebut dengan memberikan contoh yang relevan!
Jawaban :
Menurut Almond, sistem politik adalah sistem interaksi yang terdapat dalam semua
masyarakat yang bebas dan merdeka yang melaksanakan fungsi-fungsi integrasi dan
adaptasi (baik dalam masyarakat ataupun berhadap-hadapan dengan masyarakat lainnya).
* Kapabilitas Responsif
Kemampuan sistem politik dalam menanggapi tuntutan, tekanan maupun dukungan
yang berasal dari lingkungan dalam maupun luar. Semakin tinggi tingkat kepekaan
suatu sistem politik terhadap tuntutan, tekanan, dan dukungan tersebut, semakin baik
pula kapabilitas responsifnya.
Kapabilitas responsif atau daya tanggap suatu sistem politik ditentukan oleh hubungan
antara input dan output. Sistem politik harus senantiasa tanggap terhadap setiap
tekanan dan tuntutan-tuntutan yang datangnnya dari lingkungan internal maupun
eksternal.
2. SOAL
Bentuk partisipasi politik dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu partisipasi konvensional dan
nonkonvensional. Analisis lah apa yang membedakan di antara keduanya dan mengapa
terdapat kecenderungan di era reformasi ini, partisipasi non-konvensional seperti
demonstrasi banyak dilakukan daripada partisipasi konvensional?
Jawaban :
Partisipasi Secara Konvensional
Petisi juga berarti sebuah dokumen tertulis resmi yang disampaikan kepada pihak
berwenang untuk mendapatkan persetujuan dari pihak tersebut. Umumnya petisi
ditandatangani oleh beberapa orang atau sekelompok besar orang yang mendukung
permintaan yang terdapat dalam dokumen.
Pemogokan bisa terjadi di tingkat pabrik, kawasan sampai tingkat nasional yang
melibatkan buruh di berbagai kota dalam satu negeri. Pemogokan yang lebih luas
dilakukan bukan saja karena tuntutan yang sama, tetapi karena hubungan produksi itu
bersifat luas, tidak hanya melibatkan satu atau dua pabrik. Pemogokan kadang
digunakan pula untuk menekan pemerintah untuk mengganti suatu kebijakan.
3. SOAL
Implikasi dari amandemen UUD 1945 menjadikan relasi antara lembaga eksekutif dan
legislatif berjalan lebih seimbang dengan penerapan mekanisme checks and balances.
Tidak ada lembaga yang mendominasi peran. Analisis lah relasi tersebut dengan
menyertakan contoh yang relevan!
Jawaban :
Setelah amandemen UUD 1945 Pemerintah Indonesia menganut prinsip check and
balances.
Prinsip checks and balances relatif masih baru diadopsi ke dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, utamanya setelah amandemen UUD 1945, sehingga dalam prakteknya masih
sering timbul “konflik kewenangan” antar lembaga negara atau pun dengan/atau antar
komisi-komisi negara.
The president is checked by the fact that he cannot encact laws, that no money may be
spent except in accordance with appropriations made by laws, that Congress can override
his veto, that he can be inpeached, that treaties must be approved and appointments
confirmed by the Senate and by judicial review.
The judicial branch is checked by the power retained by the people to amend the
constitution, by the power the President with the advice and consent of the Senate to
appoint fact that Congress can determine the size of courts and limit the appellate
jurisdiction of both the Supreme Court and inferior court”.
Dalam pembentukan undang-undang, belum sepenuhnya ideal. Kehadiran DPR dan DPD
yang oleh UUD 1945 keduanya diberi kewenangan bidang legislasi, praktek checks and
balances belum dapat dijalankan sepenuhnya karena kedudukan dan kewenangan antara
DPR dan DPD tidak seimbang. Sehingga dalam pembentukan undang-undang lebih
didominasi oleh DPR. Andaipun ada usulan RUU dari DPD, disain UUD 1945 belum
memungkinkan DPD ikut membahas RUU tersebut bersama-sama DPR dan Presiden.
4. SOAL
Perubahan politik di era Orde Baru ditandai dengan ditinggalkannya politik mercusuar dan
berkurangnya peranan Indonesia di dunia internasional. Soeharto lebih mementingkan
hubungan dengan negara-negara kawasan regional Asia Tenggara. Analisis lah dasar
pemikiran mengapa Soeharto mengambil kebijakan demikian!
Jawaban :
Pada pertengahan tahun 1960an, kondisi ekonomi Indonesia telah mencapai keadaan yang
sangat buruk. Perekonomian Indonesia menderita karena kekacauan politik yang dipicu
oleh Presiden Soekarno, presiden pertama Indonesia. Masalah-masalah ekonomi tidak
menjadi perhatian utama bagi Soekarno yang menghabiskan masa hidupnya untuk
berjuang di arena politik. Beberapa contoh dari kebijakan-kebijakannya yang memberikan
dampak negative pada perekonomia adalah pemutusan hubungan dengan negara-negara
barat (dan karenanya mengisolir Indonesia dari ekonomi dunia dan mencegah negara ini
dari menerima bantuan-bantuan asing yang sangat dibutuhkan) dan deficitspending
melalui pencetakan uang, yang menyebabkan hiperinflasi yang berada di luar kendli.
Namun setelah Suharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno di pertengahan 1960an,
kebijakan-kebijakan ekonomi mengalami perubahan arah yang radikal.
Politik Luar Negeri Indonesia pada masa Orde Baru dibawah Suharto merupakan
kebalikan dari Orde Lama dibawah Sukarno. Pandangan Sukarno tentang politik luar
negeri sangat kuat dipengaruhi pemikiran-pemikiran antikolonialisme yang telah
berkembang sejak masa mudanya. Suharto, sebaliknya pandangan luar negerinya tidak
terlepas dari pertimbangan dalam negeri. Pengalaman politik yang berbeda membuat
keduanya memiliki sudut pandang yang sangat berbeda dalam memahami makna dasar
politik luar negeri Indonesia. Semangat anti-kolonialisme Sukarno yang sangat militan
disatu pihak memang menguntungkan posisinya sebagai presiden. Bagi Sukarno isu-isu
anti kekuatan asing juga membantunya mengidentifikasi kawan dan lawan. Akan tetapi, di
sisi lain, fokus pada upaya menghadapi “lawan dari luar” ini membuat kebutuhan untuk
memperbaiki kondisi ekonomi terabaikan, terutama pasca kemerdekaan dan pembentukan
NKRI. Kondisi perekonomian Indonesia yang terpuruk pada saat itu bukanlah tanpa
sebab-akibat. Politik konfrontasi dengan Malaysia sebagai bentuk manifestasi “musuh dari
luar” yang diterapkan oleh Sukarnolah yang menjadi penyebab kemerosotan
perekonomian Indonesia. Pada masa pemerintahan Suharto tepatnya setelah dilantik pada
tanggal 12 Maret 1967 merupakan momentum yang bersejarah bagi haluan politik
domestic dan politik luar negeri Indonesia. Suharto memandang persoalan dasar Indonesia
adalah pembangunan ekonomi. Pada waktu yang sama, ancaman eksternal (diterapkan
oleh Sukarno) tidak lagi dipandang sebagai persoalan fundamental bangsa. Indonesia
dibawah pemerintahan Suharto memiliki pandangan betapa pentingnya menjalin kerja
sama regional (di Asia Tenggara) maupun kerja sama internasional. Lebih jauh lagi, Orde
Baru memahami politik luar negeri sebagai upaya mempertahankan kelangsungan hidup
dan untuk mempertahankan integritas wilayah. Oleh karena itu, politik luar negeri tidak
hanya dipandang dalam pengertian politik militer, tetapi lebih luas lagi dapat dilihat
sebagai upaya menciptakan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
berdasarkan pancasila. Politik Konfrontasi dengan Malaysia yang dilakukan oleh Sukarno
dan dampak buruk bagi perekonomian Indonesia itulah yang kemudian mengubah haluan
politik luar negeri Indonesia dan mengubah pandangan negaranegara di kawasan Asia
Tenggara. Muncul sebuah kesadaran dari Indonesia khususnya dan 4 negara di kawasan
Asia Tenggara lainnya yaitu Malaysia, Singapura, Thailand dan Filiphina untuk
membentuk suatu organisasi regional yang disertai keterikatan antara negara dengan
norma dan prinsip guna meminimalisir terulang kembalinya sejarah buruk yang pernah
terjadi di Indonesia. Selain itu faktor internasional (luar kawasan) juga menjadi
pertimbangan penting bagi Indonesia dibawah Suharto dalam pembentukan ASEAN.
Sebagai bangsa yang berdaulat Indonesia memandang penting untuk tidak
menggantungkan dirinya secara politik dari Barat. Sebagai bagian dari non-blok sejak
awal Indonesia menentang aliansi-aliansi pertahanan karena dinilai akan mereduksi
kedaulatan nasional dan membuka pintu bagi dominasi-dominasi negra-negara besar.
Karena itulah, Indonesia dibawah Suharto konsisten menentang semua bentuk campur
tangan militer Barat di kawasan Asia Tenggara. Berakhirnya konfrontasi dan keikutsertaan
Indonesia dalam pembentukan ASEAN merupakan blessing in disguise bagi pembentukan
norma hubungan antar negara yang menentang penggunaan kekerasan (non use of force).
Disamping itu, pembentukan ASEAN pada hakikatnya membuka jalan bagi Indonesia
untuk mendapatkan pengaruh tanpa harus menggunakan kekerasan. Deklarasi Bangkok
yang dicetuskan 8 Agustus 1967 merupakan dasar berdirinya Association of East Asian
Nations atau ASEAN. Deklarasi Bangkok yang ditandangani oleh 5 wakil negara
pendirinya, yaitu Adam Malik (Indonesia), Tun Abdul Razak (Malaysia), Thanat Khoman
(Thailand), Narsico Ramos (Filiphina) dan Rajaratman (Singapura) merupakan bentuk
nyata pembelajaran bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk membangun
keamanan dan meredam saling rasa curiga antar sesama negara kawasan agar kegaduhan
dan kekisruhan yang pernah dialami oleh Indonesia tidak terulang dimasa mendatang.