Anda di halaman 1dari 11

TUGAS LAPORAN PENDAHULUAN

PHIMOSIS

Pembimbing : Hutpri Swasti Asih

Disusun oleh:

MARISTANNA MILLATAL HAQ

DALAM RANGKA MENJALANI PELATIHAN PERIOPERATIF PASIEN


DIKAMAR BEDAH BAGI PERAWAT
TAHUN 2022
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS LAPORAN PENDAHULUAN PHIMOSIS

Oleh : Maristanna Millatal Haq


Pembimbing : Hutpri Swasti Asih
Pada Tanggal :

Disetujui

Pembimbing I

(Hutpri Swasti Asih)


LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi

Phimosis atau phimores adalah penyempitan pada prepusium.


Phimosis adalah prepusium penis yang tidak dapat diretraksi (ditarik)
keproksimal sampai ke koronaglandis. Fimosis merupakan suatu keadaan
normal yang sering ditemukan pada bayi baru lahir atau anak kecil, karena
terdapat adesi alamiah antara prepusium dengan glans penis. Dan biasanya
pada masa pubertas akan menghilang dengan sendirinya. Pada pria yang lebih
tua, fimosis bisa terjadi akibar iritasi menahun. Fimosis bisa mempengaruhi
proses berkemih dan aktivitas seksual. Biasanya keadaan ini diatasi dengan
melakukan penyunatan (sirkumsisi). (Ngastiyah, 2005).

Hingga usia 3-4 tahun penis tumbuh dan berkembang, dan debris yang
dihasilkan oleh epitel prepusium (smegma) mengumpul di dalam prepusium
dan perlahan-lahan memisahkan prepusium dari glans penis. Ereksi penis
yang terjadi secara berkala membuat prepusium terjadi latasi perlahan-lahan
sehingga prepusium menjadi retraktil dan dapat ditarik ke proksimal. Pada
saat usia 3 tahun, 90% prepusium sudah dapat diretraksi.
B. Etiologi
1. Konginetal (fimosis fisiologis)
Fimosis konginetal timbul sejak lahir sebenarnya merupakan kondisi
normal pada anak-anak, bahkan sampai masa remaja. Kulit preputium
selalu melekat erat pada glans penis dan tidak dapat di tarik ke belakang
pada saat lahir, namun seiring bertambahnya usia serta diproduksinya
hormon dan faktor pertumbuhan terjadi proses keratinisasi lapisan epitel
dan deskuamasi antara glans penis dan lapis glan dalam preputium
sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glans penis. Suatu
penelitian mendapatkan bahwa hanya 4% bayi seluruh kulit preputiumnya
dapat ditarik ke belakang penis pada saat lahir, namun mencapa 90% pada
saat usia 3 tahun dan hanya 1% laki-laki berusia 17 tahun yang masih
mengalami fimosis kongenital. Walaupun demikian, penelitian lain
mendapatkan hanya 20% dan 200 anak laki-laki berusia 5-13 tahun yang
seluruh kulit preputiumnya dapat ditarik ke belakang penis.
2. Fimosis didapat (fimosis patologik, fimosis yang sebenarnya, true
phimosis) timbul kemudian setelah. Hal ini berkaitan dengan kebersihan
hygine alat kelamin yang buruk, peradangan kronik glans penis dan kulit
preputium (balanoposthitis kronik), atau penarikan berlebihan kulit
preputium (forceful retraction) pada fimosis kongenital yang akan
menyebabkan pembentukan jaringan ikat (fibrosis) dekat bagian kulit
preputium yang membuka.
C. Anatomi Norml dan Perubahan Bentuk

D. Manifestasi Klinis
1. Prepusium tidak dapat ditarik ke belakang
2. Balloning
3. Sakit saat berkemih
4. Sulit kencing
5. Pancaran kencing sedikit
E. Patofisiologi
Fimosis dialami sebagian besar bayi baru lahir karena terdapat adesi
alamiah antara preputium dengan glans penis. Hingga usia 3-4 tahun penis
tumbuh dan berkembang dan debri dihasilkan oleh epitel preputium
(smegma) mengumpul didalam preputium dan perlahan-lahan memisahkan
preputium dari glans penis. Ereksi peni yang terjadi secara berkala membuat
preputium terdilatasi perlahan-lahan sehingga preputium menjadi retraktil dan
dapat ditarik ke proksimal.
Pada bayi preputium normalnya melekat pada glens tapi sekresi
materi subaseum kental secara bertahap melonggarnya. Menjelang umur 5
tahun, preputium dapat ditarik ke atas glans penis tanpa kesulitan atau
paksaan.
Tapi karena adanya komplikasisirkumsisi, dimana terlalu banyak prepusium
tertinggal, atau bisa sekunder terhadap infeksi yang timbul di bawah
prepusium yang berlebihan. Sehingga pada akhirnya, prepusium menjadi
melekat dan fibrotik kronis di bawah prepusium dan mencegah retraksi.

F. Pathway
Kongengital, peradangan, oedema

Tidak terjadi pmisahan 2 lapisan kulit

Prepusium tidak dapat diretraksi dari glans penis

Pre Operasi Post Operasi

Gangguan aliran kurang pengetahuan Nyeri luka perdarahan


Urine Akut
Cemas kekurangan
Resiko infeksi Vol cairan
Kerusakan
eliminasi
G. Komplikasi
1. Akumulasi sekret dan semegma di bawah preputium yang kemudian
terkena infeksi sekunder dan akhirnya terbentuk jaringan perut
2. Pada kasus berat timbul retensi urine
3. Pembengkakan/ peradangan pada ujung kemaluan yang di sebut ballonitis
4. Penarikan preputium secara paksa dapat berakibat kontriksi dengan rasa
nyeri dan pembengkakan glens penis yang disebur pramifosis
5. Fimosis merupakan salah satu faktor terjadinya kanker penis
6. Timbul infeksi pada saluran ureter kiri dan kanan, kemudian
menimbulkan kerusaskan ginjal
H. Penatalaksanaan Medis
1. Tidak dianjurkan melakuakn retraksi yang dipaksakan, karena dapat
menimbulkan luka yang terbentuk sikatriks pada ujung prepusium
sehingga akan terbentuk fimosis sekunder
2. Fimosis disertai balanitis xerotica obliterans dapat diberikan salep
dexamethason 0,1% yang dioleskan ¾ kali, dan diharpkan setelah 6
minggu pemberian prepisium dapat diretraksi spontan
3. Fimosis dengan keluhan miksi, menggelembungnya ujung prepusium
pada saat miksi atau infeksi positis merupakan indikasi untuk dilakukan
sirkumsisi, dimana pada fimosis disertai balanitis/ postitis harus diberikan
antibiotik terlebih dahulu.
TEKHNIK INSTRUMEN ORCIDOPEXY

A. Definis
Orchidopexi adalah suatu tindakan pembedahan yang berupa peletakan testis
pada tempatnya yaitu srotum. Teknik instrumen orchidopexi adalah tata cara
penyiapan alat untuk pembedahan peletakan testis pada srotum besertsa
proses instrumentasinya.
B. Indikasi Operasi
1. Mencegah tersio testis
2. Meningkatkan vertilitas
3. Mengkoreksi kelainan lain yang menyertai seperti hernia
4. Mencegah / deteksi awal dari keganan testis
5. Membentuk body image
C. Kontra Indikasi Operasi
1. Terdapat penyulit lain yang berhubungan dengan proses pembiusan
D. Tujuan
1. Mengatur alat secara sistemis dimeja instrumen
2. Memperlancar handling instrumen
3. Mempertahankan kesterilan alat –alat instrumen selama operasi
E. Persiapan Lingkungan
1. Mengatur dan mengecek fungsi suction, couter, lampu operasi, meja
operasi, meja mayo, meja instrumen
2. Memberi perlak dan duk pada meja operasi, sarung meja mayo. Pada
meja mayo mempersiapkan linen steril dan instrumen yang akan
digunakan
3. Menempatkan tempat sampah yang sesuai agar mudah dijangkau
F. Persiapan pasien
1. Pasien dipersiapkan dalam kondisi bersih dan menggunakan pakaian
khusus masuk kamar operasi
2. Pasien telah diberikan inform consent, meninggalkan semua perhiasan
serta telah diberikan pendidikan post operasi
3. Mengatur posisi supine di meja operasi
G. Persiapan alat
Set Instrumen Sreril
a. Di meja instrumen
1) Set linen, terdiri dari:
- Duk besar : 2 buah
- Duk sedang : 2 buah
- Duk kecil : 4 buah
2) Gown : 5 buah
3) Handuk steri : 5 buah
4) Sarung meja mayo : 1 buah
5) Underpad steril : 1 buah
b. Di meja mayo
1) Handvat mess no.3 : 1 buah
2) Pinset chirugis : 2 buah
3) Pinset anatomis : 2 buah
4) Gunting kasar : 1 buah
5) Metzembum : 1 buah
6) Duk klem : 5 buah
7) Sponge holding forcep: 1 buah
8) Pean musquito : 4 buah
9) Kocker : 2 buah
10) Nald voeder : 1 buah
11) Cucing/ bengkok : 1/ 1 buah
12) Kom : 1 buah

Set Instrumen On Sreril

1) Meja operasi
2) Lampu operasi
3) Mesin suction
4) Mesin couter
5) Tempat sampah
6) Warmer

Bahan Habis Pakai

1) Handscoen on/ steril : sesuai kebutuhan


2) Paragon mess 15 : 1 buah
3) Ns 0,9% : 1 buah
4) Iodine 10 % : sesuai kebutuhan
5) Kasa steril/ deppres : 10/ 10 buah
6) Sofratule : 1 buah
7) Hipavix : sesuai kebutuhan
8) U-pad on : 2 buah
9) U-pad steril : 2 buah
10) Vicryl 3/0 : 1 buah
11) Prolene 4/0 : 1 buah
12) Monosyn 4/0 : 1 buh

H. Teknik Instrumen
1. Pasien datang, cek kelengkapan pasien
2. Sign in, konfirmasi identitas, apakah pasien sudah tahu tindakan yang
akan dilakukan, ada persetujuan dan sudah ditanda tangani, penandaan
area operasi, tanyakan apa ada rowayat alergi
3. Setelah pasien dilakukan anesthesi oleh dr. Anestesi, perawat sirkuler
mengatur posisi supine dan mencuci lapangan operasi dan dikeringkan.
Pasang grown di bahu pasien
4. Perawat instrumen melakukan surgucal scrab, gowning, dan gloving
5. Perawat instrumen memakai gaun steril dan handscone steril kemudian
membantu operator untuk mengenakan gaun steril dan handscone steril.
6. Berikan desinfeksi klem + iodine 10% + deppers (dalam cucing) dengan
menggunakan bengkok kepada asisten untuk dilakukan disinfeksi pada
lapangan operasi
7. Dan lakukan drapping
8. Time out dipimpin oleh perawat sirkuler dan doa di pimpin operator
sebelum operasi
9. Berikan pinser chirugis dan hanvat mess no.3 dengan mess no.15 dalam
bengkok, pada operator untuk marking dan insisi
10. Insisi secara tranversal pada lipatan kulit melewati batas kanalis
inguinalis
11. Berikan pinset anatomis untuk memudahkan operator untuk
membebaskan testis dan setelah testis terbebas berikan tegel untuk
mentegel jaringan sekitar
12. Setelah testis bebas kemudian berikan jahitan prolene 4/0 untuk mentegel
testis kemudian berikan pean bengkok kepada operator untuk membuat
membuat lubang pasa scrotum dan pean bengkok kepada asisten untuk
penutupan testis agar mudah dimasukkan kedalam scrotum
13. Lalu setelah testis discorotum berikan jahitan prolene 4/0 kepada operator
untuk memfiksasi testis
14. Sign out setelah testis ditempatkan sesuai tempatnya berikan plain 3/0
untuk menjahit kulit scrotum. Berikan jahitan vicryl 3/0 untuk fasia dan
asisten verikan gunting dan klem pean serta kasa kering untuk dep, lemak
berikan plain 3/0 dan kulit monosyn 4/0
15. Operasi selesai luka dibersihkan lalu ditutup dengan sufratule pada luka
dan balut dengan kasa dan plester dengan hepavik
16. Lakukan scrotal support dan invetaris alat-alat operasi
DAFTAR PUSTAKA

Haws, Paulatte S. 2008. Asuhan Neunatus Rujukan Cepat. Jakarta : EGC


Muttaqin, A. 2009. Asuhan Keperawsatan Perioperatif. Jakarta : Salemba Medika
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologo ; Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Sutjahjo, Ari. 2006. Endokrin Metabolik. Surabaya : Airlangga University Press
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brumer & Suddarth. Edisi 8. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai