Anda di halaman 1dari 12

Mata Kuliah: Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia

Dosen Pengampu:

Pammuda,S.S.,M.Si., dan Dr.Muhammad Bahar Akase Teng,LCP,M.Hum.

SUKU MAYBRAT (PAPUA)

DISUSUN OLEH:

Dwi Titah Dinniaty Nurrahma


(F041201005)

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS ILMU BUDAYA
JURUSAN SASTRA INGGRIS
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada banyak satuan permukaan, perairan laut dan daratan merupakan ruang
yang relatif dominan dengan berbagai pola permukiman. Dari sekian banyak
permukiman perairan laut dan daratan, salah satu diantaranya adalah Suku Maybrat
Imian Sawiat di Kabupaten Sorong Selatan Papua.
Secara geografis suku Maybrat hidup di distrik Ayamaru, Aitinyo, Aifat.
Suku Imian Sawiat hidup di distrik Sawiat dan Teminabuan. Distrika Ayamaru,
Aitinyo, Aifat dan Sawiat termasuk bagian dari Kabupaten Sorong Selatan yang
beribukotanya di Teminabuan. Distrik Ayamaru terletak di sebelah selatan dari
Kabupaten Sorong Selatan. Distrik Aitinyo terletak di sebelah Timur dari
Kabupaten Sorong Selatan, Aifat terletak sebelah Timur Kabupaten Sorong Selatan
dan bersebelahan dengan Distik Aitinyo dan Distrik Sawiat terletak di sebelah Barat
Kabupaten Sorong Selatan, dengan tipe iklim tropis basah, dan di dominasi oleh
penduduk dengan mata pencaharian Petani, Nelayan dan pemburu. Dari aktivitas
yang heterogen ini ditunjang oleh rumah panggung & rumah gantung dengan
material pendukung umumnya berasal dari alam, dan berdiri atas perairan bagi para
nelayan, dan bagi para petani struktur bangunan berdiri diatas permukaan tanah
maupun di atas pohon.
Aifat adalah Nama Sebuah Distrik yang didiami oleh Sub Suku Bangsa
Maybrat. Anak suku yang mendiami Distrik ini adalah May Maka dan Meyah.
Letaknya di bagian kepala burung pulau Papua, termasuk Kabupaten Maybrat
(Bagian Selatan Kabupaten Sorong). Suku ini merupakan anak suku dari sub suku
Bangsa Maybrat, Suku Bangsa Bonberai.
Penghuni pemukiman ini adalah merupakan etnik yang terdiri dari satu suku
besar yaitu suku Maybrat, dan dua anak suku yaitu Imian, Sawiat. Mata pencaharian
pokoknya berkebun, menangkap ikan dengan perahu dan memburu binatang liar
dengan Tombak, Jubi, Panah, Parang dan Anjing. Suku ini mayoritas sebagai suku
bangsa petani dan pemburu, yang telah mengembangkan pertanian serta cara
perburuan mereka sejak beberapa abad lamanya, sehingga dikenal dengan sebutan
manusia petani dan pemburu“.
Sebagai manusia petani dan pemburu, mereka melakukan segala aktivitas
dan menghabiskan hidupnya dengan bercocok tanam dan memburu. Kemudian
sejalan dengan bertambahnya waktu, manusia petani - pemburu ini menetap dalam
suatu hunian dan berkelompok membentuk suatu permukiman (urban space), namun
budaya bertani dan memburu masih mempengaruhi kehidupan mereka sampai
sekarang.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Sejarah Suku Maybrat?
2. Bagaimana Asal Usul Suku Suku Maybrat?
3. Apa Bahasa yang digunakan masyarakat Suku Maybrat?
4. Bagaimanakah Rumah Adat, Tradisi, dan Ritual di Suku Maybrat?
5. Apakah Mata Pencaharian Pada Masyarakat Suku Maybrat?
BAB II
METODE

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan multidisiplin (ekologi dan antropologi)


dengan tujuan mengungkap kearifan tradisional yang dianut Suku Maybrat dalam
aktivitas perburuan satwa. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan
teknik studi kasus. Pengambilan data di lapangan dilakukan melalui pengamatan
langsung di lapangan serta wawancara terstruktur terhadap responden berdasarkan
pendekatan Spradley dan Lee .
Selain itu, data pendukung (data sekunder) dari instansi teknis terkait yang relevan
juga dikumpulkan dalam penelitian. Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat,
klarifikasi terhadap data sekunder akan dilakukan dengan mewawancarai sejumlah
informan kunci (tokoh adat, kelompok pemburu, tokoh masyarakat). Pada tahap ini
dilakukan wawancara secara terstruktur, berdasarkan kuesioner yang telah disiapkan
Nilai kearifan tradisional dalam aktivitas perburuan oleh suku Maybrat perlu
diteliti karena kajian ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pemanfaatan sumberdaya alam hayati, khususnya dalam upaya pelestarian satwa liar di
Kabupaten Sorong Selatan. Hal ini cukup beralasan, karena dalam era otonomi khusus,
MRP (Majelis Rakyat Papua) mendukung kebijakan pemberdayaan di bidang sosial
budaya melalui upaya menumbuh kembangkan nilai-nilai kearifan lokal
Menggali nilai kearifan tradisional dalam perburuan satwa di Kabupaten Sorong
Selatan bermanfaat untuk mengisi keterbatasan informasi praktek kearifan tradisional dari
Papua. Selama ini hasil dari berbagai studi di beberapa negara menunjukkan bahwa
praktek kearifan tradisional masih berlaku dalam kehidupan masyarakat lokal diantaranya
penggunaan alat buru, lokasi perburuan, praktek tabu yang dipercayai masyarakat
setempat, jenis hewan yang diburu serta aturan yang berlaku dalam masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Suku Maybrat


Para tetuah suku Maybrat Imian Sawiat dari turun temurun mempunyai
ceritera tentang rumah tradisional suku Maybrat Imian Sawiat. Dari riwayat
menceriterakan bahwa arsitektur tradisional suku Maybrat Imian Sawiat pertama
kali dibangun oleh dua orang moyang pada berabad tahun silam, kedua orang
tersebut adalah too dan sur , yang mana too dikenal dengan sebutan untuk tali dan
sur dikenal dengan sebutan untuk kayu. Dari ceriteranya rumah tradisional maybrat
imian sawiat dibangun dengan mengikuti cara burung membuat sarangnya (ru habe)
yang mana ketika itu moyang yang bernama ‘sur’ duduk dan memperhatikan burung
tersebut dengan cekatan membawa dahan – dahan kayu untuk membuat sarangnya
di atas pohon yang rindang, lalu muncullah ide bahwa ‘masa, burung saja bisa
membuat rumah untuk dia lalu kenapa saya tidak’? pertanyaan ini muncul karena
kehidupan awalnya mereka menggunakan gua-gua sebagai tempat tinggal utama.
Ketika lama memperhatikan burung tersebut maka ia (sur) bertekad ingin
membuat rumah, lalu ia mulai menebang kayu untuk digunakan dalam membuat
rumah, setelah menebang kayu ia mencoba untuk membuatnya setelah ia (sur)
meletakannya pada pohon yang digunakan sebagai koloum dengan pemikiran
bahwa akan kuat sehingga ia melepaskannya untuk mengangkat sebelahnya lagi
namun ketika dilepas ternyata jatuh, tetapi ia mencobanya berulang kali sampai-
sampai ia (sur) berusaha untuk memanjat pohon yang digunakan burung untuk
membuat sarangnya dengan tujuan untuk melihat secara dekat bagaimana cara
meletakan ranting kayu hingga menjadi kuat. Ketika ia (sur) memanjati pohon itu
dan mencobanya berulang kali namun hasilnya tidak sempurna maka datanglah
saudaranya yang bernama “too” dan memberi masukan bahwa anda tidak bisa
meletakkannya dengan begitu saja melainkan harus menggunakan tali yang saya
bawa agar bisa kuat, namun usulannya tidak diterima atau di abaikan oleh sur
dengan keyakinan bahwa ia bisa membangunnya tanpa tali. Namun dengan segala
macam cara yang digunakannya tak ada satupun yang berhasil lalu ia memutuskan
untuk menerima usulan saudaranya tadi, dan ketika ia menggunakan talinya sebagai
pengikat ternyata berhasil, lalu ia mengajak saudaranya (too) bahwa saudara mari
kita berdua harus buat suatu rumah bagi kita seperti burung itu, sur menawarkan
kepada too sambil menunjukkan sarang burung yang berada diatas dahan pohon,
dan too pun menerimanya lalu mereka berdua mulai membuat rumah bagi mereka
untuk pertama kalinya. Disinilah sejarah asal usul rumah tradisional suku maybrat
imian sawiat dibangun.
Tidak ada orang yang mengetahui dengan pasti tempat sebenarnya dimana
pertamakali kejadian itu (pertamakali membuat rumah), namun secara menyeluruh
diungkapkan adalah diantara wilayah maybrat atau imian atau sawiat, namun disini
kita bisa menebak wilayahnya adalah diwilayah maybrat, alasannya karena nama
kedua orang pencetus/pembuat rumah ini menggunakan bahasa maybrat sehingga
dapat disimpulkan bahwa kejadiannya terjadi di wilayah maybrat. Menurut
ungkapan para tetua bahwa rumah tradisional orang Maybrat Imian Sawiat sudah
ada berabad tahun yang lalu.

B. Asal Usul Suku Suku Maybrat


Suku Meybrat adalah salah satu suku lokal yang hidup di Pulau Papua,
tepatnya di kepala burung Pulau Papua. Mereka berdiam diri di empat wilayah
administrasi pemerintahan tingkat distrik ketika pemerintahan Hindia Belanda
masih berlangsung, yaitu distrik Mare, distrik Aifat, istrik Ayamaru, dan distrik
Aitinyo. Keempat distrik tersebut berada di di bawah wilayah Keresidenan
Manokwari . Seiring berjalannya waktu, suku Meybrat kini mendiami tiga wilayah
kecamatan yang masuk ke dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Sorong, yaitu,
Kecamatan Ayamaru, Kecamatan Aifat, Kecamatan Aitinyo, dan sebagian lainnya
tinggal di Kecamatan Sausapor. Meskipun demikian, sebagian kecil Suku Meybrat
juga masih ada yang mendiami wilayah Kabupaten Manokwari, tepatnya di
Kecamatan Kebar.
Menurut sumber literasi kebahasaan, kata “Suku Meybrat” berasal dari dua
kata, yaitu “Mey” yang artinya “Bahasa” dan “Brat” yang artinya “muncul dari…”.
Dengan demikian, Meybrat berarti Bahasa yang muncul dari lubang hidup. Dalam
perkembangannya, manusia dari Suku Meybrat disebut sebagai manusia yang
muncul atau lahir dari pusat kehidupan bumi Meybrat. Sementara Koentjaraningrat
dan Sanggenafa berpendapat bahwa “Meybrat” terdiri dari kata Maibrat yang
dikelompokan menjadi “Mai” yang berarti “Bahasa” dan “Brat” yang berarti
diambil dari sebuah nama bukit di sebelah selatan danau Ayamaru. Seorang
antropolog dari Swedia bernama J.E. Elmberg pernah berkunjung ke daerah danau
Ayamaru pada tahun 1953 dan mengatakan bahwa populasi suku Meybrat kala itu
masih berkisar 900 jiwa. Dalam perkembangannya, kini jumlah penduduk Suku
Meybrat telah mencapai kurang lebih 35.000 jiwa.
Suku Meybrat mayoritas adalah penganut agama Nasrani, yaitu agama
Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Mereka kebanyakan bermukim di sepanjang
jalan-jalan utama antardesa yang menuju ke kota kecamatan. Sementara itu, dalam
hal pendidikan, generasi muda Suku Meybrat juga banyak menempuh pendidikan
baik di wilayah Papua seperti Jayapura, Manokwari, dan Sorong, maupun ke luar
daerah seperti Jawa, Sulawesi, dan Sumatra. Meskipun perkembangan sosial yang
mereka alami tersebut juga dialami oleh beberapa suku lokal lain di Papua, Suku
Meybrat tetap memiliki perbedaan, terutama dalam hal tampilan kebudayaan
maupun ritus adat istiadat. Perbedaan itu dicerminkan dalam pengujaran bahasa-
bahasa yang sangat berbeda dengan bahasa yang digunakan suku-suku lain dalam
kesehariannya. Suku Meybrat menggunakan Bahasa Meybrat dalam kehidupan
sehari-hari. Bahasa tersebut menjadi bahasa utama, bukan hanya dalam aktivitas
keseharian, melainkan juga penyelenggaraan upacara adat dan ritual keagamaan
tertentu.
Hingga saat ini belum adanya penelitian tentang gua – gua yang dahulu
digunakan sebagai tempat melindungi diri. Disamping gua – gua, adapula benda-
benda pusaka lainnya yang diwariskan nenekmoyang mereka yang hingga kini
masih disimpang. Barang – barang warisan tersebut adalah : parang ‘hrambra’,
parang ini menurut ceritera tetuah bahwa merupakan pemberian dari alam ‘tagio’
dan hingga kini tidak diketahui siapa pembuat parang tersebut, berikut taring naga
‘safah’, taring naga yang di jumpai membentuk lingkaran cyrus, dan taring babi
‘way’, taring babi membentuk huruf C, peninggalan – peninggalan tersebut
dipercaya mempunyai nilai-nilai yang sangat tinggi.

C. Bahasa yang digunakan Masyarakat Suku Maybrat


, Bahasa Maybrat merupakan sebuah bahasa Papua yang dituturkan di
bagian tengah Semenanjung Doberai di Papua Barat, Indonesia. Maybrat juga
dikenal dengan nama also known as Ayamaru, sesuai nama dialek utamanya,
sementara dialek Karon Dori yang lebih divergen terkadang dianggap sebagai
bahasa yang berbeda. Sejauh ini, Maybrat tidak dapat dihubungkan secara
genealogis dengan bahasa manapun di dunia, sehingga dianggap sebagai bahasa
isolat. Walaupun begitu, bahasa Maybrat memiliki beberapa kesamaan dengan
bahasa-bahasa jirannya secara struktur tata bahasa.
Bahasa Maybrat dicirikan dengan jumlah konsonan yang kecil dan
penghindaran kluster konsonan. Terdapat dua gender gramatikal dalam bahasa ini,
yaitu gender maskulin dan taktermarkahi. Morfologinya lumayan sederhana.
Imbuhan-imbuhan penanda persona ditambahkan pada verba dan nomina yang
dimiliki secara inalienabel. Bahasa Maybrat memiliki sistem demonstrativa (kata
seperti "ini" atau "itu") yang rumit. Demonstrativa dalam bahasa Maybrat
memarkahi jarak dari pembicara, kekhususan dan fungsi sintaktis. Dalam klausa,
bahasa Maybrat memiliki urutan kata subjek–verba–objek yang kaku. Dalam frasa
nomina, pewatas diletakkan setelah nomina inti. Deret verba seperti verba serial
lazim ditemui, dan verba juga mengisi fungsi yang biasanya dipenuhi oleh adjektiva
dan preposisi dalam bahasa seperti bahasa Inggris.
Maybrat juga dikenal sebagai Ayamaru , sesuai dengan nama dialek
utamanya, sedangkan dialek Karon Dori yang berbeda terkadang dianggap sebagai
bahasa tersendiri. Maybrat tidak terbukti terkait dengan bahasa lain, dan karenanya
dianggap sebagai bahasa yang terisolasi . Namun demikian, dalam struktur tata
bahasanya ia memiliki sejumlah fitur yang dimiliki bersama dengan bahasa
tetangga.
Maybrat dicirikan oleh inventaris konsonan yang relatif kecil dan
penghindaran sebagian besar jenis gugus konsonan . Ada dua jenis kelamin :
maskulin dan tidak bertanda. Morfologi itu sederhana. Kata kerja dan kata benda
yang dimiliki secara tidak dapat dicabut sama-sama mengambil prefiks orang . Ada
sistem demonstratif yang rumit (kata-kata seperti "ini" atau "itu"), dengan
pengkodean untuk jarak dari pembicara, kekhususan, dan fungsi sintaksis. Dalam
klausa, ada urutan kata subjek-kata kerja-objek yang cukup kaku, dan dalam
pengubah frasa kata benda mengikuti kata benda kepala. Urutan kata kerja,
termasuk kata kerja serial sangat umum, dan kata kerja digunakan untuk sejumlah
fungsi yang dalam bahasa seperti bahasa Inggris disajikan dengan kata sifat atau
preposisi.
Dengan sekitar 25.000 penutur (per 1987), Maybrat adalah salah satu bahasa
terpadat di Papua Indonesia. Pembicaranya adalah orang Maybrat , yang pekerjaan
utamanya adalah berburu, memancing, dan perladangan berpindah . Mereka secara
tradisional tinggal di rumah-rumah yang tersebar, dengan pengorganisasian menjadi
desa ( kampung ) yang diprakarsai oleh upaya pemerintah Belanda antara tahun
1930-an dan 1950-an. Hal ini berpengaruh pada bahasa. Misalnya, pendirian
pemukiman Ayawasi pada tahun 1953 mempertemukan kelompok-kelompok lokal
yang terpencar-pencar di mana masing-masing keluarga telah menggunakan "dialek
keluarga" yang sedikit berbeda, menghasilkan sebuah "tempat peleburan" di mana
perbedaan dialek kecil ini diratakan dalam bahasa yang lebih muda. generasi.
Maybrat dituturkan di sebagian besar wilayah di bagian tengah
Semenanjung Kepala Burung dan sebagian besar penuturnya terkonsentrasi di
sekitar Danau Ayamaru , meskipun banyak juga ditemukan di daerah perkotaan di
Papua, Indonesia. Maybrat dikelilingi oleh sejumlah bahasa. Di sebelah utara ada
dua isolasi lainnya: Abun dan Mpur ; di sebelah timur adalah Meyah dan Moskona ,
keduanya merupakan anggota rumpun bahasa Kepala Burung Timur ; Bahasa
Kepala Burung Selatan Arandai , Kaburi , Kais dan Konda digunakan di selatan;
bahasa tetangga di barat adalah Tehit dan Moraid , keduanya dari keluarga Kepala
Burung Barat .
Bahasa komunikasi yang lebih luas di daerah ini sejak kedatangan Belanda
adalah bahasa Melayu , sedangkan baru-baru ini peran tersebut telah diambil oleh
orang Indonesia terkait. Sebagian besar Maybrat Ayawasi , misalnya, sepenuhnya
dwibahasa dalam bahasa Indonesia, dengan penggunaan kata serapan bahasa
Indonesia dan alih - alih kode antara dua bahasa yang cukup umum.
Kata "Maybrat" merupakan gabungan dari mai 'bunyi, bahasa', dan menurut
satu penjelasan artinya adalah "bahasa Brat", dimana "Brat" adalah nama sebuah
bukit dekat desa Semetu di wilayah Ayamaru.
D. Rumah Adat, Tradisi, dan Ritual di Suku Maybrat
1. Rumah Adat
Halit myi/mbol chalit adalah rumah gantung, atau sejenis rumah hunian
suku Maybrat, mula-mula. Jenis rumah tersebut merupakan jenis bangunan
yang monumental, karena ukuran bangunannya tinggi di banding bangunan
lainnya. Jenis rumah gantung di kategorikan atas dua jenis, yaitu :
Bentuk bangunan yang dibangun dari tanah (tanah sebagai tumpuan utama)
yang mana keseluruhan struktur koloum yang berukuran panjang ditancapkan
pada tanah. Ukuran struktur koloum (sur) yang digunakan dalam mendirikan
bangunan (halit myi/mbol chalit) adalah ± 500cm – 700cm.

Gambar 1. Halit myi/mbol chalit- rumah gantung (bentuk yang bertumpu


diatas tanah )
Sumber: Hamah sagrim, Laporan KKL II, UWMY 2009

Suku Maybrat mulanya tidak mengenal adanya jenis pondasi plat


menerus, karena kebanyakan rumah yang dibangun adalah rumah-rumah
gantung yang mana secara otomatis pasti memakai ompak (termasuk pondasi
setempat), seperti pada contoh uraian bentuk-bentuk Rumah diatas. Suku ini
mengenal adanya jenis pondasi plat menerus pada zaman penjajahan Kolonial
Belanda abad ke-18.
Jenis-jenis rumah ini biasanya dibangun oleh orang Maybrat, Imian,
Sawiat, di ladang atau perkebunan mereka yang terletak di hutan dan sangat
jauh dengan areal hunian penduduk (perkampungan). Selain jenis rumah ini
dibangun di tengah-tengah hutan, jenis bangunan rumah ini merupakan aliran
rumah tertua yang pernah dibangun sebagai tempat hunian pertama orang
Maybrat zaman lampau. Jenis bangunan rumah ini dengan menggunakan bahan
konstruksi utama adalah kayu dan tali rotan sebagai pengaku/ikatan. Kayu
merupakan bahan struktur rangka, sedangkan tali rotan digunakan sebagai
bahan pengikat. Sebagaimana filosofi
Maybrat, mengatakan bahwa “nbo ara msya too su oh mi kbe nsgi samu
to” bila diterjemahkan demikian “kalo ada kayu dan tali baru bisa mendirikan
sebuah rumah”. Pemahaman orang Maybrat, demikian mungkin merujuk pada
pembentukan aliran bentuk rumah dan struktur yang kaku, karena memang
demikian bahwa suatu bentuk bangunan dibentuk oleh struktur rangka yang
kaku sehingga ruang-ruang dalam itu terlihat ada, ketika ditutup dengan
dinding-dinding bangunan.
Bentuk berikut adalah bangunan yang dibangun diatas pohon-pohon
besar yang mana struktur koloumnya ditancapkan pada dahan – dahan pohon
yang ada dengan pilar-pilar yang terstrukturkan. Jenis bangunan rumah gantung
seperti ini merupakan bangunan rumah mula – mula yang mana dibangun
sedemikian rupa sehingga memberi kenyamanan bagi penghuninya adapun
tujuan mengapa rumah ini dibangun dengan struktur yang tinggi dan bukan
hanya strukturnya yang tinggi namun lebih dari tinggi yang mana rumahnya
dibangun diatas pohonpohon besar yang ukurannya sangat tinggi, agar terhindar
dari musuh. Musuh dalam kehidupan orang Maybrat, Imian, Sawiat, adalah
Perang Saudara, antar keret dan kampong sebagai persoalan utama yang sering
dihadapi oleh orang Maybrat pada waktu itu. Karena pada zaman mula-mula,
kehidupan orang Maybrat, Imian, Sawiat, selalu berperang. Peperangan yang
terjadi di sana bukanlah hanya peperangan antara suku namu peran antar setiap
orang (person) dan peran antara marga/family juga, yang mana sejak itu
hidupnya saling membunuh antara satu sama lain (massive man). Jenis banguan
rumah ini tidak memiliki ruangan sebagaimana rumah-rumah tinggal manusia
moderen sekarang ini, akan tetapi jenis bangunan halit/mbol chalit atau rumah
gantung ini hanya terdiri atas satu buah ruangan yang multi fungsi.
2. Tradisi
Suku Maybrat memiliki  tempat-tempat keramat yang dipercaya
mengatur, melindungi dan bisa mencelakai mereka jika merusak atau
melakukan tindakan yang bertentangan dengan adat-istiadat  setempat. Tempat
keramat mempunyai nilai histori bahkan asal-usul suku tertentu berasal dari
tempat keramat tersebut. Tempat keramat juga berfungsi sebagai tempat
penyembahan, syukuran bahkan tempat penyelesaian sengketa yang terjadi
dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Tempat keramat biasanya adalah lokasi
atau wilayah tertentu yang secara turun temurun dipercayai sebagai tempat yang
harus dijaga dan dilindungi oleh seluruh lapisan masyarakat.
Terkadang pemburu pemula yang baru memulai aktivitas perburuan
memerlukan ijin atau restu dari kuyanes/raemanas dalam bahasa Maybrat yang
berarti orang besar/yang dituakan dalam marga/klen. Karena
kuyanes/raemanas inilah yang akan memberitahukan tempat-tempat yang boleh
dilakukan perburuan maupun tidak boleh dimana dalam batas wilayah
klen/marga terdapat tempat- tempat keramat dan tidak boleh diganggu karena
disitu bersemayam nenek moyang mereka.
3. Ritual
Ritual Adat Suku Maybrat Dalam Tahbisan Imamat Diakon Yulianus
Korain Tahbisan Imamat merupakan peristiwa Iman yang sangat menarik bagi
umat Katolik,Peristiwa ini bukan merupakan peristiwa biasa dikalangan umat
Katolik .Prosesi menyambut peristiwa ini adalah sukacita yang dinanti nantikan
oleh kalangan Imam dan umat. Dalam Peristiwa ini Tidak hanya bagi para
imam di suatu keuskupan yang merasa bahagia karena jumlah klerus yang terus
bertambah namun merupakan suka cita bagi seluruh umat di suatu wilayah
setempat Seperti yang dilakukan umat katolik di berbagai Belahan dunia dan di
tanah air demikian juga yang dilakukan oleh Umat Katolik St Yosef Ayawasi
Keuskupan Manokwari Sorong atau dari sisi wilayah pemerintahan Umat
Katolik ini terletak di Kabupaten Maybrat Provinsi Papua Barat. Adalah suka
cita besar yang dilakukan oleh umat Paroki St Yosef Ayawasih ketika
menyerahkan salah satu Putra Terbaik Diakon Yulianus Korain untuk
ditahbiskan menjadi Imam Baru bertempat di gereja Katolik Paroki St Yosef
Ayawasih Kabupaten Maybrat Papua Barat.(13/08/2020) Prosesi penyerahan
Calon Imam dari keluarga kepada Gereja Katolik Keruskupan Manokwari
Sorong ditandai dengan menggelar prosesi adat menurut tradisi suku Maybrat
yaitu pendidikan Wuon dari Rumah Wofle, Sekilas ,dikisahkan pelaksanaan
Ritual Adat setempat yaitu gambaran pendidikan Wuon dari Rumah
Wofle,Keberhasilan Imam baru Yulianus Korain ,Pr dalam meraih Ilmu
Pengetahuan ini digambarkan atau diibaratkan seperti seseorang yang telah
berhasil melaksanakan Pendidikan Wuon yang disambut warga setempat dan
sanak keluarga.. . Pendidikan Wuon adalah pendidikan kaderisasi dimana
mendidik manusia Maybrat menjadi manusia sejati yaitu manusia yang tampil
beda memimpin membawahi dan mengarahkan dan mengatur orang agar
menjadi manusia sejati yang dapat hidup dan melayani sesama manusia dibumi
sehingga semua yang ada antara manusia yang satu dengan yang lain saling
bersatu untuk memuji dan menyembah Tuhan sebagai kekuatan halik dan bumi
Secara Khusus orang Maybrat dan secara khusus Orang Papua bahwa sebelum
gereja dan agama hadir diyakni bahwa orang Maybrat telah memiliki Roh
Kudus melalui adat budaya ini dari Rumah Wofle atau rumah adat dimana
disini para tua tua membimbing dan mendidik serta merupakan tempat
menerimah Ilham dari Tuhan .

E. Mata Pencaharian Pada Masyarakat Suku Maybrat.


Kegiatan berburu merupakan kegiatan sampingan yang dilakukan oleh suku
Maybrat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan protein dan daging dalam
keluarga. Mata pencarian hidup yang utama dari  orang Maybrat adalah bercocok
tanam secara berpindah-pindah. Sistem ladang berpindah adalah sistem yang
berlaku secara umum di tanah Papua bagi masyarakat yang berada pada daerah
pedalaman dan pegunungan.
perburuan satwa oleh masyarakat asli di Papua menggunakan peralatan buru
tradisional.  Penggunaan alat buru busur dan panah, tombak, dan berburu dengan
menggunakan anjing pemburu merupakan teknik perburuan yang dilakukan,
bervariasi tergantung pada jenis satwa yang diburu dan tingkat kesulitan untuk
berburu satwa dimaksud. Di tiap daerah juga berbeda menurut kebiasaan dan
praktek yang biasa dilakukan masyarakat setempat.
Pewarisan ilmu berburu kurang banyak peminatnya karena selain
membutuhkan waktu yang relatif lama, adanya pergeseran penggunaan alat buru
modern juga merupakan salah satu faktor penyebabnya.  Karena itu menurut  
Uniyal et al,(2003) perubahan gaya hidup dan kondisi sosial ekonomi keluarga ikut
mempengaruhi praktek-praktek tradisional yang biasanya dianut oleh masyarakat
setempat.  Stearman (2002) menjelaskan bahwa semakin menurunnya praktek
perburuan tradisional dan diganti dengan perburuan modern mengakibatkan
kepunahan atau kehilangan lokal jenis satwa tertentu.
Oleh karena itu penggunaan alat buru tradisional merupakan salah satu
praktek kearifan tradisional yang dapat diaplikasikan guna menunjang kelestarian
satwa.  Tetapi pendapat ini merupakan hal yang selama ini diperdebatkan, karena
studi di berbagai tempat membuktikan bahwa perburuan subsistesnce ikut
memberikan kontribusi terhadap penurunan populasi jenis satwa tertentu yang
menjadi sasaran perburuan sehingga perburuan tidak lagi ”sustainable”.  Kondisi ini
lebih dikenal dengan fenomena ”empty forest” (Redford, 1992).
Lokasi berburu suku Maybrat masih terbatas pada tiap wilayah klen atau
berdasarkan hak   ulayat yang jelas. Batas-batas tersebut secara tegas dan sadar
dipahami oleh masyarakat anggota klen tersebut sehingga dalam melakukan
kegiatan berburu mereka tidak boleh melintas atau melewati batas-batas hak ulayat
mereka.
Di lapangan, batas wilayah ditemukan dalam bentuk sungai, lembah,
kawasan hutan tertentu ataupun wilayah yang disepakati secara bersama-sama.
Perburuan satwa biasa dilakukan terbatas pada wilayah klen mereka sendiri. Lokasi
perburuan biasanya mempunyai kaitan yang erat dengan jenis satwa yang diburu. 
Karena itu pemahaman tentang lokasi berburu akan semakin baik seiring dengan
intensitas berburu seseorang.  Semakin sering berburu akan semakin meningkatkan
pengenalan lokasi berburu yang semakin baik. Karena setiap klen/marga telah
secara tegas menyadari dan mengetahui batas tersebut sehingga dalam proses
perburuan mereka tidak melanggar batas-batas tersebut.  Apabila seseorang
melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh kuyanes/raemanas dari masing-masing
suku, maka klen atau marga yang hak ulayatnya dilanggar akan melakukan tindakan
denda dengan kain-kain yang disebut ” kain timur”.
Suku Maybrat memiliki  tempat-tempat keramat yang dipercaya mengatur,
melindungi dan bisa mencelakai mereka jika merusak atau melakukan tindakan
yang bertentangan dengan adat-istiadat  setempat. Tempat keramat mempunyai nilai
histori bahkan asal-usul suku tertentu berasal dari tempat keramat tersebut. Tempat
keramat juga berfungsi sebagai tempat penyembahan, syukuran bahkan tempat
penyelesaian sengketa yang terjadi dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Tempat
keramat biasanya adalah lokasi atau wilayah tertentu yang secara turun temurun
dipercayai sebagai tempat yang harus dijaga dan dilindungi oleh seluruh lapisan
masyarakat.
Terkadang pemburu pemula yang baru memulai aktivitas perburuan
memerlukan ijin atau restu dari kuyanes/raemanas dalam bahasa Maybrat yang
berarti orang besar/yang dituakan dalam marga/klen. Karena kuyanes/raemanas
inilah yang akan memberitahukan tempat-tempat yang boleh dilakukan perburuan
maupun tidak boleh dimana dalam batas wilayah klen/marga terdapat tempat-
tempat keramat dan tidak boleh diganggu karena disitu bersemayam nenek moyang
mereka.
Namun demikian, sejalan dengan perkembangan pembangunan di wilayah
Kepala Burung Papua melalui pengembangan sejumlah jaringan jalan yang
menghubungkan Manokwari dan Sorong, dikuatirkan sejumlah wilayah yang
tadinya terisolasi akan terbuka dan semakin mudah diakses.  Konsekuensinya,
wilayah yang menjadi ulayat kelompok etnik tertentu tidak lagi eksklusif untuk
mereka, tetapi dapat diakses oleh setiap orang yang melintasi wilayah tersebut.
Jenis hewan buruan suku Maybrat adalah babi hutan (Suidae), kuskus
(Phalangeridae), tikus tanah, soa-soa (Varanidae), rusa (Cervidae), maleo
(Megepodiidae), kasuari (Casuaridae) dan mambruk (Columbidae).   Pada
kelompok etnik Maybrat, tingkat pemanfaatan yang tinggi umumnya ditemukan
pada jenis satwa yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat.  Dengan kata lain jenis
satwa yang umumnya diburu umumnya utuk tujuan dikonsumsi seperti jenis
mamalia dan burung.
Pada suku Maybrat khususnya kelompok masyarakat Ayfat melalui proses
perdagangan terjadi proses tukar menukar barang berharga lainnya seperti gelang-
gelang dari kulit siput, gigi taring buaya dan babi (yang tumbuh melengkung),
bahan-bahan, kalung kalung dan ikat pinggang yang dihiasi dengan manik-manik
dari jenis yang istimewa, khususnya pisau yang berhias dan burung cenderawasih.
Taring babi dan buaya yang diperoleh dari hasil berburu biasanya di jemur diatas
perapian di dapur atau dijemur dipanas sampai kering dan dipasang pada tali sebagai
kalung untuk digunakan oleh kaum laki-laki remaja dan dewasa. Sangat jarang
menemukan kegiatan perdagangan melalui transaksi khusus di pasar-pasar
tradisional.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Suku Meybrat adalah salah satu suku lokal yang hidup di Pulau Papua,
tepatnya di kepala burung Pulau Papua. Mereka berdiam diri di empat wilayah
administrasi pemerintahan tingkat distrik ketika pemerintahan Hindia Belanda masih
berlangsung, yaitu distrik Mare, distrik Aifat, istrik Ayamaru, dan distrik Aitinyo.
Keempat distrik tersebut berada di di bawah wilayah Keresidenan Manokwari .
Seiring berjalannya waktu, suku Meybrat kini mendiami tiga wilayah kecamatan
yang masuk ke dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Sorong, yaitu, Kecamatan
Ayamaru, Kecamatan Aifat, Kecamatan Aitinyo, dan sebagian lainnya tinggal di
Kecamatan Sausapor. Meskipun demikian, sebagian kecil Suku Meybrat juga masih
ada yang mendiami wilayah Kabupaten Manokwari, tepatnya di Kecamatan Kebar.
Kegiatan berburu merupakan kegiatan sampingan yang dilakukan oleh suku
Maybrat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan protein dan daging dalam
keluarga. Mata pencarian hidup yang utama dari  orang Maybrat adalah bercocok
tanam secara berpindah-pindah. Sistem ladang berpindah adalah sistem yang berlaku
secara umum di tanah Papua bagi masyarakat yang berada pada daerah pedalaman
dan pegunungan.

B. Saran
Setelah penulis menguraikan kesimpulan diatas maka penulis sangat
membutuhkan saran-saran dari pembaca, yang mana dari saran tersebut dapat
membantu adanya perbaikan makalah ini. Dan disarankan kepada semua pembaca
untuk mencari informasi-informasi mengenai pembagian hadits baik dari segi
kualitas
DAFTAR PUSTAKA

https://ekanoo.blogspot.com/2011/06/makalah-etnografi.html

http://christianariwucabiyaleka.blogspot.com/2015/08/suku-ayfat.html

https://media.neliti.com/media/publications/61951-ID-sanggar-pengembangan-budaya-
suku-ayamaru.pdf

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Meybrat

https://maybratnews.blogspot.com/2019/07/hamah-sagrim-harus-ada-rumah-budaya-
di.html

https://www.scribd.com/doc/109745154/Trans-Budaya-Arsitektur-Kenyamanan-
Maybrat-Imian-Sawiat-Papua-oleh-Hamah-Sagrim-Ilmuwan-Arsitektur

https://fpattiselanno.wordpress.com/2012/05/07/kearifan-tradisional-suku-maybrat-
sepotong-catatan-dari-sorong-selatan/

https://www.youtube.com/watch?v=WQ9NHW3xlI4

https://pusaka.or.id/tag/suku-maybrat/

https://suarapapua.com/2018/11/01/marga-sub-suku-mare-dan-aifat-didata/

Anda mungkin juga menyukai