Anda di halaman 1dari 27

Nama Dosen: Abdullah S.Kep,. Ns,. M.

Kes
Mata Kuliah: Psikososial dan Budaya Dalam Keperawatan

KONSEP BERDUKA

OLEH :
KELOMPOK 5
ZIATUL FAUZIAH 21212003
AINI YATURROFIDAH 21212006
ELISA AWALIA RAMADANI 21212017
ST PUTRI BUNGA 21212039
XAVERIUS MARKUS KAAT 21212043

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN GUNUNG SARI MAKASSAR


S1 KEPERAWATAN
T.A 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan limpahan
Rahmat dan Ridho-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Konsep Berduka” ini dengan baik dan selesai tepat pada waktunya.
Dalam kesempatan ini tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada
seluruh pihak yang telah mendorong kami untuk menyelesaikan makalah ini
baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Selanjutnya, perlu kami sampaikan bahwa dalam penyusunan makalah
ini mungkin terdapat kesalahan atau kekurangan yang datangnya dari kami
sendiri sebagai manusia, untuk itu kritik dan juga saran senantiasa akan kami
terima demi tercapainya makalah yang lebih baik lagi.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca ataupun bagi kami
sendiri selaku penulis.

Makassar, 11 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................
A. Definisi Berduka...................................................................................
B. Jenis-Jenis Berduka..............................................................................
C. Teori dan Proses Berduka.....................................................................
D. Respons Berduka..................................................................................
E. Tugas Berduka......................................................................................
F. Fakor-Faktor yang Mempengaruhi Rasa Berduka................................
G. Konsep Tentang Persiapan Selama Berduka........................................
BAB III PENUTUP..........................................................................................
A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang sifatnya unik
bagi setiap inndividual dalam pengalaman hidup.
Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan
umum berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk di bicarakan. Hal ini
dapat di sebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi dari
yang bersangkutan atau disekitarnya.
Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan
dan berduka sedikit demi sedikit mulai maju. Dimana individu yang
mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari bantuan kepada orang
lain.
Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang
perawat apabila menghadapi kondisi demikian. Pemahaman dan persepsi
diri tentang pandangan diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan
yang komprehensif.
Perawat bekerja sama dengan klien yang mengalami berbagai jenis
tipe kehilangan. Mekanisme konsep ini mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk menghadapi dan menerima kondisi.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam
lingkungan asuhan keperawatan. Pentingnya bagi perawat memahami
kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, perawat juga
mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-keluarga-perawat
berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian.

B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang kami angkat dari makalah ini adalah
apa itu konsep berduka dan bagaimana teori dari konsep berduka.
C. Tujuan Umum
Tujuan dari makalah ini untuk menjelaskan dan mengetahui konsep
berduka.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Berduka
Dukacita adalah respon normal terhadap setiap kehilangan.
Perilaku dan perasaan yang berkaitan dengan proses berduka terjadi pada
individu yang menderita kehilangan seperti kehilangan fisisk atau
kematian teman dekat.
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap
kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas,
sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian
kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka
diantisipasi dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun
yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau
ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini
masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu
kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal,
abnormal, atau kesalahan/kekacauan.

B. Jenis-Jenis Berduka
1) Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang
normal terhadap kehilangan.Misalnya, kesedihan, kemarahan,
menangis, kesepian, dan menari diri dari aktivitas untuk sementara.
2) Berduka antisipatif, yaitu proses’melepaskan diri’ yang muncul
sebelum kehilangan atau kematian yang sesungguhnya
terjadi.Misalnya, ketika menerima diagnosis terminal, seseorang akan
memulai proses perpisahan dan menyesuaikan beragai urusan didunia
sebelum ajalnya tiba.
3) Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke
tahap berikutnya,yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung
seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan
orang yang bersangkutan dengan orang lain.
4) Berduka tertutup, yaitu kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat
diakui secara terbuka.Contohnya:Kehilangan pasangan karena AIDS,
anak mengalami kematian orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan
anaknya di kandungan atau ketika bersalin.

C. Teori dari Proses Berduka


Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses
berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat
digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan
keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka
memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah
untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali
pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam
bentuk empati.
1) Teori Engels
Menurut Engels (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase
yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka
maupun menjelang ajal.
a) Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan
mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan.
Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak
jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
b) Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut
dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah,
frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
c) Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan
yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat
menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk
mengalihkan kehilangan seseorang.
d) Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan
terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal
tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
e) Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai
diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang
sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah
berkembang.
2) Teori Kubler-Rooss
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross pada tahun
1969 adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu
sebagai berikut:
a) Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan
dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan.
Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak
akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
b) Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin
“bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih
sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini
merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan
merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi
kehilangan.
c) Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara
yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini,
klien sering kali mencari pendapat orang lain.
d) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata
dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi
kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai
memecahkan masalah.
e) Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut.
Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang
mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada
pengunduran diri atau berputus asa.
3) Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang
mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan.
Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang
mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus
menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka
yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.
4) Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:
a) Penghindaran
b) Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
c) Konfrontasi
d) Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika
klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan
kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
e) Akomodasi
f) Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut
dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial
dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup
dengan kehidupan mereka.

D. Respons Berduka
Respons berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui
tahap-tahap berikut (Kubler-Ross, dalam Potter dan Perry,1997)
1) Tahap Pengingkaran. Reaksi pertama individu yang mengalami
kehilangan adalah syok, tidak percaya, atau mengingkarikenyataan
bahwa kehilangan benar-benar terjadi.Reaksi fisik yang terjadi pada
tahap ini adalah letih,lemah,pucat,mual,diare,gangguan
pernafasan,detak jantung cepat,menangis,gelisah,dan sering kali
individu tidak tahu harus berbuat apa.Reaksi ini dapat berlangsung
selama beberapa menit hingga beberapa tahun.
2) Tahap Marah. Pada tahap ini individu menolak kehilangan.
Kemarahan yang timbul sering diproyeksikan kepada orang lain atau
dirinya sendiri.Orang yang mengalami kehilangan juga tidak jarang
menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain,
menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat tidak
berkompeten. Respon fisik yang sering terjadi antara lain muka merah,
denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal, dan
seterusnya.
3) Tahap Tawar-menawar. Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran
atas kenyataan terjadinya kehilangan dan dapat mencoba untuk
membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan seolah
kehilangan tersebut dapat dicegah.Individu mungkin berupaya untuk
melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
4) Tahap depresi. Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap
menarik diri, kadang-kadang bersikap sangat menurut, tidak mau
bicara, menyatakan keputusan, rasa tidak berharga, bahkan bisa
muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik ditunjukkan antara lain
menolak makan, susah tidur, letih, dan lain-lain.
5) Tahap Penerimaan. Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan
kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat pada objek yg hilang akan
mulai berkurang atau bahkan hilang. Perhatiannya akan beralih pada
objek yg baru.Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan
menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses
kehilangan secara tuntas.Kegagalan untuk masuk ke proses ini akan
mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan
selanjutnya.

E. Tugas Berduka
 Tugas 1 : menerima kenyataan akan merasa kehilangan ,tugas 1
mluibatkan proses penerimaan bahwa individu atau objek tersebut
telah pergi dan tidak akan kembali.
 Tugas 2 : melewati rasa nyeri akan berduka , individu memberikan
reaksi berupa kesedihan ,kesendiriaan ,keputusasaan, atau penyesalan
dan akan bekerja melalui perasaan nyeri dengan mengguna kan
mekanisme adaptasi  paling di kenal dan nyaman bagi mereka.
 Tugas 3: beradaptasi dengan lingkungan , dimana orang tersebut
meninggal . seorang individu tidak menyadari sepenuhnya dampak
dari rasa kehilangan selama minimal 3 bulan . anggota keluarga atau
teman memberikan sedikit perhatian kepada individu yang  merasa
kehilangngan dalam jangka waktu  yang sama., sebagaimana akhir dari
rasa kehilangan menjadi kenyataan.
F. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Rasa Berduka .
1) Perkembangan manusia , usia klien dan tahap perkembangan
mempengaruhi respon terhadap berduka .sebagai contoh : anak –anak 
tidak dapat memahami rasa kehilangan atau kematian, tapi sering
merasakan kecemasan akibat kehilangan objek dan terpisah dari orang
tua.
2) Hubungan personal : ketika rasa kehilangan melibatkan individu lain, 
berkualitas dan arti hubungan yang hilang akan mempengaruhi respon
terhadap berduka. Dukungan sosial  dalam pemulihan dar rasa
kehilangan dan berduka. Membantu perawat memahami secara lebih
baik damapak dirasa kehilangan pada prilaku kesehatan dan
kesejahteraan klien.  Tekanan  akbibat kematian yang tidak diharapkan
dan tiba-tiba memberikan tantangan yang berbeda  dibanding dengan
kematian karena penyakit kronis.
3) Stress koping : pengalaman hidup memberikan strategi koping yang
digunakan sesorang untuk mengatasi tekanan rasa kehilangan. Ketika
strategi koping yang biasanya tidak berhasil individu memerlukan
strategi yang baru.
4) Status sosial ekonomi : status , sosial ekonomi mempengaruhi
kemampuan sesorang untuk memasukkan dukungan dan sunber daya
untuk beradaptasi dengan rasa kehilangan dan respon fisik terhadap
tekanan. Ketika individu kekurangan sumber daya financial beban
kehilangan menjadi berlipat. Sebagai contoh seorang klien dengan
keterbatasan keuangan tidak dapat mengganti mobil yang rusak akibat
kecelakaaan dan membayar tagihan pengobatanakinat kecelakaan
tersebut.
5) Budaya dan etnik : budaya seseorang dan struktur sosial lainnya
(misalnya keluarga atau keanggotaan keagamaan) mempengaruhi
interpretasi terhadp rasa kehilangan, membangun pengungkapan
berduka yang dapat diterima , serta menyelengarakan stabilitas dan
struktur di tengah kekacauan dan rasa kehilangan.
G. Konsep Tentang Persiapan Selama Berduka
1) Komunikasi dengan Pasien dan Keluarga dalam Suasana Duka
Berkomunikasi dengan pasien tidaklah mudah. Pengaruh gangguan
fisik beserta penatalaksanaannya maupun kondisi emosi yang
menyertai serta terlalu banyaknya beban fikiran, kemungkinan besar
menyebabkan kurangnya fokus perhatian dalam proses mendengarkan
(sensory overload), gangguan dalam mengolah isi dan makna pesan
( inti pembicaraan) sehingga tidak jarang menimbulkan salah persepsi
dan salah interpretasi sehingga terjadi kesalahan dalam mengambil
keputusan, dan sering kali tidak tersimpan dengan baik dalam daya
ingat (memory) sehingga acapkali menjadi pencetus keretakan
hubungan interpersonal di kemudian hari.
Karena itu berkomunikasi dengan si sakit maupun keluarga harus
berhati-hati. Pertama yang harus diingat, jadilah pendengar yang baik.
Untuk menghindari salah persepsi dan salah mengambil keputusan
seringlah mengulangi isi pesan yang akan dikomunikasikan dengan
kalimat pen dek tapi jelas, dengan contoh yang konkrit dan
diulangulang. Bantuan tulisan , denah/flow chart bahkan gambar
dikertas sangat membantu. Kertas tersebut juga dapat dipakai sebagai
arsip, minimal untuk mengingat kan kembali pembahasan yang
terdahulu.
Komunikasi juga dapat dilakukan secara non-verbal, bahkan lebih
dipercaya daripada komunikasi verbal. Bahasa tubuh penderita,
misalnya perilaku sakit ( pain behavior ) akan lebih mudah dipercaya,
sebaliknya penampilan anggota tim medis yang merawat juga dapat
menimbulkan salah persepsi. Komunikasi  dengan si sakit agak
berbeda dengan komunikasi antar teman sejawat ditempat
kerjamisalnya, karena menc akup riwayat sosial atau profil pasien dan
riwayat spiritual. Riwayat sosial atau profil pasien menurut Puchalski
adalah sebagai berikut :
a. Gaya hidup, situasi rumah dan ikatan keluarga (inti)
b. Ikatan dengan orang/keluarga besar/organisasi yang
penting
c. Hal yang terkait dengan keagamaan, kepercayaan
dan nilai hidup  (religious & belief system)
d. Kedudukan, fungsi dan  situasi pekerjaan
e. Fungsi sosial  (social interest/avocation )
f. Stres kehidupan
g. Gaya hidup yang berisiko : merokok, konsumsi
alkohol/zat terlarang
Kebutuhan si sakit akan mudah dapat ditangkap , dianalisis
dan dibahas melalui komunikasi efektif, dimana terdapat persyaratan
jujur dan terbuka (genuiness ), tidak posesif (non possessive love) dan
empati.Ada persyaratan lain yang harus dipenuhi, yaitu menjaga
kerahasiaan. Banyak pasien yang menginginkan kondisi terminalnya
tidak disampaikan kepada keluarganya. Susah memang, tetapi
keinginan ini harusnya dipenuhi sebagai bagian dari etik keperawatan
Aspek medikolegal juga harus diperhitungkan dalam menjaga
kerahasiaan ini. Sebagai contoh, bilamana kematian tetap tidak dapat
dicegah dan jenis maupun kwalitas perawatannya tidak sesuai dengan
harapan keluarga ada kemungkinan ketidak puasan ini dapat menjadi
masalah dikemudian hari.
Komunikasi dua arah antara pasien dan keluarga disatu pihak
dan tim medis dip ihak lain harus dapat menyimpulkan kondisi fisik
dan emosi penderita sehingga perencanaan akhir hayat dapat
dilaksanakan dengan tepat. Agar isi pesan dapat diterima maka jangan
dilupakam kalau manus ia yang adalah mahluk biopsikososiospir itual,
memiliki 4 u nsur sehingga demensi penderita dengan keadaan
terminal adalah :
a) Demensi fisik : penyakit utama, nyeri dan gejala lain berikut
penanganannya
b) Demensi psikologis : gangguan suasana mood (cemas , depresi dan
marah)
c) Demensi sosial : kwalitas hubungan interpersonal terutama dengan
keluarga inti ,isolasi sosial dan  kondisi ekonomi
d) Demensi  spiritual : nilai/ tujuan hidup, ikatan dengan leluhur dan
kehidupan beragama.

2) Pendampingan Saat Menyampaikan Berita Duka


Tidak semua penderita terminal mengerti tentang keadaan penyakit
yang dideritanya dengan sebenarnya. Ada dua kemungkinan, yaitu
karena adanya ketidak-tahuan atau adanya penyangkalan (denial) dari
penderita. Pada umumnya dokter utama yang merawat akan
membuka/memberitahukan keadaan sebenarnya. Reaksi seseorang
tergantung apa yang dipersepsikannya. Reaksi  pertama dapat berupa
shock mental yang  dapat berupa bingung lemas dan tak dapat
merasakan apa apa (numbness), ada pula yang langsung menangis dan
menunjukkan ekspresi keputus -asaan atausebaliknya ada yang
langsung marah bahkan mengamuk.
Penderita harus diberi kesemptan untuk mengekspresikan
emosinya dan karena itu diperlukan waktu untuk dapat menenangkan
diri dan berfikir jernih kembali. Dibutuhkan kesabaran dalam
pendampingan dan diberikan tanpa pemaksaan. Apa yang harus
dilakukan adalah membantu penderita melalui tahap -tahap terhadap
ancaman kematian yang di lukiskan oleh Elizabeth Kubler -Ross
dengan urutan tahap penolakan (denial),tahap amarah (anger), tahap
tawar menawar (bargaining), tahap depresi dan tahap pasrah
(acceptance).
Diharapkan kemunduran kekuatan fisik maupun gangguan
psikologis masih belum begitu parah sehingga penderita masih dapat
mengerjakan tugas-tugas akhir misalnya menulis wasiat, memberikan
wejangan, ilmu dan ke trampilan bahkan harta pada mereka yang
diingin kannya dengan fikiran yang jernih.Diantara penderita ada yang
menginginkan kes endirian , menyepi untuk mengembalikan semua
energi agar dapat bangkit kembali. Sementara itu ada yang terus men
erus memerlukan pendampingan dengan pelbagai alasan walaupun
yang terbanyak adalah rasa takut berlebihan, cemas dan putus asa.
Dalam kondisi shock ini acapkali tim medis perlu menimbulkan rasa
percaya pada penderita dan keluarga sehingga dapat melakukan krisis
intervensi.

3) Merencanakan Tugas Akhir Pasien dan keluarga Dalam suasana


Duka
Tujuan perawatan akhir hayat adalah memberi kualitas hidup yang
baik, sehingga penderita masih dapat memiliki hidup  penuh arti (a
meaningful life).   Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh orang itu
sendiri. Dengan modalitas fisik yang tersisa, kekuatan psikologis yang
maksimal dan adanya pengertian dan suport keluarga, penderita
menyusun kembali nilai hidup atau tujuan hidupnya  se-realistis
mungkin agar dapat dilaksanakan.Hidup penuh arti yang sangat
spesifik dan unik tidak boleh dipengaruhi dan diintervensi oleh si
pendamping kecuali bila yang diinginkan itu tidak lazim dan tidak
semestinya dilakukan berdasarkan kepribadian dasar , tingkat
pendidikan, kedudukan sosial, budaya setempat, kondisi ekonomi dan
kehidupan spiritual penderita.
Gangguan/penyakit yang menimpa penderita menimbulkan krisis
kehidupan dan perubahan besar ditempat kerja. Bagi mereka yang
menggunakan fungsi kognitif yang tinggi dan terpaterinya hubungan
interpersonal yang luas,inilah y ang merupakan merupakan hidup pen
uh arti dan sekaligus merupakan kekuatan hidup (Drench et al.2007).
Karena itu tugas pendamping bukan saja menghibur tetapi merubah
pola fikir dengan cara melihat apek kehidupan dari sudut pandang
yang lain sehingga masih m erasa berdaya guna. Proses inilah yang
disebut cognitive reframing dan merupakan inti dari pendampingan
merencanakan sekaligus menyelesaikan tugas akhir didunia ini.
Pendampingan diakhir hayat hendaknya selalu mempertimbangkan
kebutuhan si sakit, terutamadi saat-saat penderita secara fisik sudah
melemah. Sebagai manusia yang holistik, maka perlu pendekatan
secara holistik pula dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhannya
yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut :
a) Kebutuhan fisik yaitu terbebasnya penderita dari berbagai macam
keluhan atau penderitaan/gejala fisik yang mengganggu. Perhatian
dan pengamatan yang cermat dan terinci terhadap setiap keluhan
yang disampaikan penderita merupakan hal yang penting untuk
dapat membuat diagnosa yang tepat dan selanju tnya untuk
menentukan tindakan yang tepat untuk mengatasi keluhan tersebut.
b) Kebutuhan psikologik berupa:
 Rasa aman dan nyaman karena keyakinan bahwa dirinya
berada dalamperawatan oleh para ahli yang kompeten dan
keluarga/care giversyang peduli dengan kea daannya
 Kebutuhan untuk mengetahui tentang penyakit yang
dideritanya sertagejala-gejala yang sedang/akan dialaminya
sehingga penderita tidak berada dalam keadaan ketidak-pastian
yang berkepanjangan
 Penderita juga ingin untuk tetap dihargai dan dianggap ma
mpu, dengan cara melibatkannya dalam mengambil keputusan -
keputusanyang terkait dengan dirinya terutama bila secara fisik
ia menjadi sangat tergantung pada orang lain.
c) Kebutuhan sosial :
 Perasaan tetap diterima oleh keluarga/care-givers-nya
walaupun penampilan /perilakunya sering kali tidak
menyenangkan.
 Perasaan tetap dibutuhkan, dilibatkan dan diperhitungkan
dalam keluarganya sehingga penderita tidak merasa menjadi
beban bagikeluarganya.
 Kesempatan bagi penderita untuk membebaskan diri dari
keterikatannya dengan orang lain dan dibebaskan dari
berbagaitanggung jawab dalam pekerjaan/keluarga yang
sebelumnya dipikul penderita dengan menyerahkannya kepada
orang lain.
d) Kebutuhan spiritual :
 Kasih sayang yang diexpresikan secara nyata seperti jabat
tangan, sentuhan, strokes atau belaian.
 Kesempatan untuk memperbaiki hubungan -hubungan
interpersonalyang terganggu diwaktu yang lalu, serta
mendapatkan pengampunan atas kesalahan-kesalahannya
dimasa lalu.
 Keyakinan bahwa dirinya tetap dicintai dan dihargai.
 Perasaan bahwa hidupnya tetap mempunyai arah/tujuan yang
jelas dan berarti bagi sesamanya.

4) Pendampingan Dalam Masa Berduka


Baik penderita maupun keluarga pasti mengalami fase dukacita
pasca breaking bad news . Menjelang kematian ada fase
mengantisipasi dukacita (anticipatory grief ) dan setelah kematian
penderita ada fase dukacita keluarga (conventional grief ) yang fase-
fasenya seperti apa yang digambarkan Elizaberh Kubler -Ross.
Lamanya bisa berlangsung sampai 2 -3 tahun pascakematian.Sanders
(1989) yang mencetuskan Integrative theory of bereavement ,
mengatakan bahwa ada 5 tahapan yang akan dilalui orang dalam
berdukacita yaitu :
a) Tahap Shock: ada rasa tidak percaya musibah terjadi pada
dirinya, fase ini dilalui dengan rasa tidak berdaya walaupun
melakukan tugas sekecil  apapun.
b) Tahap mencapai kesadaran diri (awareness of loss ) : orang
mulai menyadari bahwa iakehilangan salah satu/beberapa aspek
kehidupannya. Sering pemikiran yang faktuil ini justru ditolak
mereka yang terkena musibah.
c) Tahap menarik diri (conversation an d withdrawal ) : fase ini
dilalui dengan rasa letih berlebihan, bertanya pada diri sendiri
seputar rasa kehilangan t ersebut, sering mengisolir diri dan
menolak melakuk an pekerjaan bahkan yang dulu sangat
diminatinya.
d) Tahap penyembuhan  (healing) : fase ini memperlihatkan orang
yang mulai bangkit kembali dari keterpurukannya. Pada awal
fase ini orang acapkali merasa heran dengan dirinya yang mulai
dapat tertawa, bercanda bahkan kondisi ini acapkali
menimbulkan rasa bersalah pada dirinya d an acapkali
membuatny a mundur kembali.
e) Tahap lembaran baru  (renewal ) : pada akhirnya orang yang
berduka cita mulai   melibatkan diri dalam semua aspek
kehidupannya dengan kondisi barunya.
Dari teori yang diajukan Sanders ini perlu diperhatikan
penderita yang mengantisipasi kematiannya dengan melalui tahap-
tahap ini sebelum dapat merencanakan tugas dan kewajiban akhirnya.
Dalam hal pendampingan ini , penderita maupun keluarga butuh
pengertian dan bukan pemaksaan kehendak pendamping atau
kehendak keluarga walaupun mungki n hal itu baikbaginya. Bila
pendampingan tidak baik maka ada kemungkinan tahap penyembuhan
apalagi tahap lembaran baru tidak tercapai sehingga tugas akhir
penderita tidak terselesaikan.
Meninggal dunia dengan kondisi dimana penderita sadar benar
bahwa tugas dunianya tak terselesaikan akan melibatkan emosi yang
pasti akan mengganggu tahap kematiannya. Kondisi ini sering disebut
sebagai the unfinished bussiness suatu kondisi berlawanan dengan
kematian dalam iman yang sering disebut  good-death.Mendampingi
penderita bukanlah hal yang mudah.
Pengasuh (caregiver ) sering mengeluhkan kondisi perubahan
negatif perilaku penderita pada tim dokter. Kegelisahan penderita
menyebabkan perlunya penambahan energi fisik dan pemusatan
perhatian di pihak pengasuh . Kegelisahan mungki n karena distress
penderita mengenai keadaannya yang buruk. Tetapiperilaku “manis”
yang ditunjukkan dengan berdiam diri, pasif , kecend erungan
mengisolir diri, serta menolak makan dan minum juga bukan hal yang
baik.
Sering kali kondisi delierium dan depresi berat ditunjukkan
dengan penelantaran diri seperti perilaku manis tadi. Hati-hatilah
dengan penelantaran dan penyiksaan diri, karena hal ini kemungkinan
juga merupakan upayabunuh diri yang terselubung. Reaksi keluarga
pada saat ditinggalkan penderita bermacam macam, reaksi psikologis
seperti sedih, marah , kecewa dan reaksi fisik sep erti rasa lelah, sesak
napas, sukar menelan dsb.
Bagi keluarga yang ditinggalkan bila pendampingan duka cita
tidak terlaksana dengan baik juga akan menimbulkan kondisi dukacit
a yang tidak baik bahkan potensial menimbulkan gangguan jiwa.
Sebagai contoh bila tahap dukacita berhenti pada keadaan penarikan
diri maka akan terjadi gangguan neurosis atau psikosomatis. Keadaan
dimana anggauta keluarga selalu dalam kondisi cemas dan depresi
atau mengidap gangguan fisik akibat tekanan jiwanya (misalnya
dikalangan awam “sakit maag”) dan hal ini pasti mengganggu fungsi
kehidupan.Worden (2002), memberi 4 gambaran tugas dalam berduka
cita (Task of Mourning ) yaitu :
a) Menerima rasa kehilangan  (accept the reality of loss )
b) Menjalani rasa nyeri yang berhubungan dengan dukacita ini
( experience the pain associated with grief )
c) Menyesuaikan diri dengan kehidupan/lingkun gan baru setelah
ditinggalkan (adjust to circumstances created by loss )
d) Melanjutkan jalannya roda kehidupan tanpa yang telah meninggal
(emotionallyrelocate the person who has died and progress with
life)Bilamana terjadi hambatan dalam masa dukacita ini maka
dapat terjadi griefing yang abnormal atau complicated mourning
dalam bentuk sebagai berikut :
 Chronic grief reactions
 Delayed grief reactions
 Exaggerated grief reactions
 Masked grief reactions

5) Pendampingan Saat Kematian


Skala status penampilan Karnofski adalah salah satu alat ukur
untuk menilai kualitas hidup seseorang dengan menilai status
penampilan fungsionalnya. Skala ini mengukur kemampuan penderita
dalam melakukan aktifitas hidup sehari -hari dan nilainya berkisar
antara 0 -100. Skala ini juga dapat dipakai untuk menilai manfaat suatu
tindakan terapi/pengobatan dengan membandingkan nilai sebelum dan
sesudah suatu tindakan, tetapi tidak memberikan gambaran tentang
tingkat keparahan suatu penyakit. Bersama dengan penilaian lain
seperti stadium penyakit maka skala ini dapat dipakai untuk
menunjukkan adanya kondisi terminal yang  perlu mendapatkan
perhatian kita. Skala status penampilan Karnofsky dap at dilihat pada
tabel terlampir Silvya Post (dalam Mahajudin 2007) mengatakan lebih
70% penderita sangat ketakutanmenjelang ajal sehingga mereka pasti
perlu pendampingan.
Acap kali dalam kesadaran menurun indra pendengaran tetap
berfungsi sehingga tidak salah membisikkan hal -hal positif maupun
ayat suci (yang pendek) agar dapat diresapi sampai akhir hayat. Tugas
tim medis pada saat kematian adalah meniadakan atau mengurangi rasa
nyeri a tau gejala lain agar penderita masih mendapatkan kwalitas
hidup yang maksimal. Tetapi acapkali penderita justru mengalami
kebingungan menjelang terminal ( terminal confusion ), depresi atau
kecemasan.
Terminal confusion ialah keadaan kebingungan pada pende rita
stadium terminal yang disebabkan karena perubahan akut yang
menyeluruh/global pada fungsi kognitif dan hal ini sering
kalimerupakan pertanda awal kematian yang makin mendekat. Kondisi
ini sering kali juga disebut delirium, acute confusional state, ac ute
organic brain syndrome atau toxic confusional state.Tidak ada gejala
yang khas/patognomonik pada kondisi ini tetapi J.C.Cutting
mengemukakan adanya beberapa gejala yang sering dijumpai seperti :
a) gangguan recall 5 menit untuk nama dan alamat ( 80% )
b) gangguan kesadaran ( 60% )
c) disorientasi waktu ( 40% )
d) disorientasi tempat ( 30% ).
Z.J.Lipowski mengemukakan 2 tipe delirium yaitu yang
hipoaktif dan hiperaktif. Tipe hipoaktif ditandai dengan penurunan
aktifitas psikomotorik, penurunan respons terhadaprangsangan dari
luar ( penurunan atensi dan kesadaran ) dan jarang didapatkan gejala -
gejalapsikotik. Pada tipe hiperaktif sering kali terlihat peningkatan
aktifitas psikomotorik, peningkatan respons ( hyperalert dan agitasi )
dan sering dijumpai gejala psikotik. Gejala hiperaktif biasanya
didahului oleh gejala hipoaktif karena secara klinis gejala ini
cenderung berfluktuasi. Dalam hal ini catatan harian yang cermat oleh
perawat atau keluarga/care-giversangat penting untuk penegakan
diagnosis, terlebih dahulu harus disingkirkan berbagai faktor etiologi
yang sering menjadi penyebab delirium yang biasanya multifaktorial
antara lain obat -obatan yang dipakai penderita, infeksi, kelainan
metabolik ( hiperkalsemia, hipoglikemia ), tumor serebri, nyeri,
kandung kemih/rektum yang penuh, dan juga gangguan fungsi hati
dan ginjal, gagaljantung, hipoksia karena gagal pernafasan, CVA,
epilepsi dan sebagainya. Terapi spesifik untuk penyebab yang
reversibel merupakan hal yang utama.
Selanjutnya terminal confusionperlu diatasi secara simptomatis
dan adekuat hanya bila gejala tersebut menimbulkan gangguan dan
penderitaan bagi penderita. Perlu juga dilakukan tindakan non -
farmakologik sepertimenciptakan lingkungan yang tenang dan terang,
komunikasi yang efektif dan lain- lain.Kebanyakan penderita dengan
penyakit khronis yang serius menunjukkan tanda-tanda kesedihan,
cemas dan gejala -gejala depresi. Tanda dan gejala ini biasanya
berlangsung singkatsebagai reaksi terhadap situasi yang dihadapinya
dan bila persisten harus d inilai sebagai halyang abnormal dan perlu
mendapatkan perhatian secara khusus.
Depresi yang berkepanjangan dapat menjadi sumber
penderitaan dan karenanya perlu dinilai dan dideteksi secara dini. Lagi
pula semakin dini diagnosis ditegakkan semakin baik pul a responsnya
terhadap terapi yangdiberikan. Faktor risiko untuk terjadinya depresi
antara lain rasa nyeri yang tidak terkontrol dengan baik, hendaya fisik
yang progresif dan tingkat keparahan penyakit yang dideritanya,
riwayat depresi diwaktu yang lalu, obat-obatan yang dipakai (steroid,
benzodiazepine) serta depresi yang secara langsung disebabkan oleh
penyakitnya ( kanker pankreas, stroke pada hemisfer kiri ). Juga faktor
sosial dan spiritual dapat menimbulkan depresi pada penderita.
Penilaian adanya depresi pada penderita dengan penyakit yang
sudah lanjut tidak hanyaberdasarkan gejala somatiknya (nafsu
makan/berat badan/libido yang menurun, cepat lelah serta gangguan
tidur) tetapi juga gejala psikologik dan kognitifnya. Gejala depresi
mayor yangmenonjol antara lain disforia yang persisten, anhedonia,
rasa tidak berdaya dan putus asa, rasa tidak berharga dan hilangnya
self-esteem, rasa bersalah yang berlebihan, kekecewaan yang
mendalam, pikiran yang berulang tentang kematian serta fikiran
bunuh diri. T anda lain seperti rasa nyeri yang tidak responsif terhadap
pengobatan, perasaan sedih dengan afek yang datar serta kecemasan,
iritabilitas dan mood yang tidak nyaman juga merupakan tanda yang
signifikan.
Penatalaksanaan depresi pada penderita terminal meliputi
pendekatan non farmakologik seperti psikoterapi suportif, pendekatan
kognitif, intervensi perilaku (terapi relaksasi, terapi distraksi) dan
pendekatan komplementer/alternatif serta pemberian antidepresan dan
psikostimulan. Mulailah dengan dosis rendah dan perlahan-lahan
dosisdititrasi sesuai dengan kebutuhan.
Penderita dengan penyakit yang mengancam hidupnya sering
mengalami kecemasan tentang hari depannya yang tidak pasti.
Kondisi ini dapat dipicu oleh berbagai masalah fisik, psikologik,
sosial, spi ritual dan masalah praktis lain atau merupakan bagian dari
sindroma lain yang menyertai penyakitnya, dan ditandai dengan gejala
-gejala agitasi, gelisah, berkeringat, tachikardia, hiperventilasi,
insomnia, khawatir yang berlebihan dan ketegangan. Perlu dibedakan
antara kecemasan yang primer dan depresi, delirium, gangguan
bipolar atau efek samping obat.
Penatalaksanaan kecemasan meliputi pendekatan non -
farmakologik (termasuk pendekatan komplementer/alternatif) dan
farmakologik. Dalam pendekatan farmakologik , golongan
benzodiazepin merupakan obat pilihan, namun perlu diperhatikan
waktu paruhnya yang harusdisesuaikan dengan kebutuhannya.
Benzodiazepin dengan waktu paruh panjang akan memberikan efek
yang berkepanjangan dan risiko akumulasi sedangkan yang waktu
paruhnya pendek ada risiko terjadinya withdrawal dan efek rebound.
Pada lanjut usia, benzodiazepine dapat memperburuk fungsi kognitif
atau menyebabkan kebingungan pada penderita yang sebelumnya
sudah mengalami hendaya kognitif. Obat yang manapun yang dipi lih
harus diberikan dengan prinsip start low – go slow, dan
penghentiannya harus melalui periodetapering off secara perlahan-
lahan. Antidepresan atipikal juga bermanfaat terutama padapenderita
dengan gejala campuran cemas dan depresi, kecemasan khronik dan
gangguan panik
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian
kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka
diantisipasi dan berduka disfungsional.
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap
kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas,
sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses
berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat
digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan
keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka
memahami kesedihan mereka dan mengatasinya.

B. Saran
Perawat bekerja sama dengan klien yang mengalami berbagai jenis
tipe kehilangan. Mekanisme konsep ini mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk menghadapi dan menerima kondisi.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/document/346779928/Makalah-KDK-Konsep-

Kehilangan

https://www.academia.edu/44367427/

KONSEP_KEHILANGAN_DAN_BERDUKA

https://Makalah kehilangan, berduka dan kematian (slideshare.net)

https://Berduka dan kehilangan - copy (slideshare.net)

https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13356/1/

T2_752016016_BAB II.pdf

Anda mungkin juga menyukai