Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH TENTANG KONSEP KEBUTUHAN MENJELANG AJAL

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan dasar

Dosen Pengampu:
Aminah, S.kep, Ners, M.Kes

Disusun Oleh:
Nama : Jumiyati
Kelas : 1B
Nim: 8801190005

DIPLOMA III KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
TAHUN 2019/2020
Kata pengantar

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan baik dan
tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai “Konsep Kebutuhan
Menjelang ajal”

Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak
untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini.Oleh
karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh
karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
dapat membangun saya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
sekalian.

Serang,11 mei 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang................................................................................ 1
B.    Rumusan Masalah........................................................................... 2
C.    Tujuan............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Definisi Berduka ............................................................................ 3
B. Tahap Berduka .............................................................................. 3
C. Sakratul Maut................................................................................. 6
D.     Kebutuhan Pasien Dan Keluarga Menjelang Ajal......................... 9

BAB III PENUTUP


A.    Kesimpulan..................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang
sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang.

Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu
kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih
banyak melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau disekitarnya.

Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit
demi sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk
mencari bentuan kepada orang lain.

Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila


menghadapi kondisi yang demikian.  Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan
diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan
perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang
tidak tetap (Suseno, 2004).

Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan.
Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima
kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks
kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak
berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka
akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius.

Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan
keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami
kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika
merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-
kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian.
Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat
mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).

1
B.     Rumusan Masalah
Setiap penyusunan sebuah makalah tentu bukan tanpa sebab, melainkan hendak
menyampaikan sebuah persalaahan atau pun memuat sebauh ilmu. Berdasarkan latar belakang
tersebut, melalau beberapa pertanyaan di bawah ini, penulis akan menyampaikan rumusan
masalah dari makalah ini :

1. Apa definisi Berduka?


2. Apa saja tahap Berduka?
3. Bagaimana sakratul Maut?
4. Bagaimana kebutuhan paien dan keluarga menjelang ajal?

C.    Tujuan
Tujuan merupakan suatu keinginan yang akan dicapai. Dapat di artikan juga dengan
maksud penulisan. Makalah ini memiliki tujuan penulisan sebagai berukut:

1. Memahami definisi berduka.


2. Memahami tahap berduka.
3. Memahami sakratul maut.
4. Memahami kebutuhan pasien dan keluarga menjelang ajal.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi Berduka
Duka cita atau berduka adalah respon normal terhadap setiap kehilangan.perilaku dan perasaan
yang berkaitan dengan proses berduka terjadi pada induvidu yang menderita kehilangan seperti
kehilangan fisik atau kematian teman dekat.
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan
adanya perasaan sedih,cemas,gelisah,sesak napas,susah tidur,dan lain lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. Ada 2 tipe dari berduka
yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman induvidu dalam merespon
yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang,hubungan/kedekatan ,objek atau ketidakmampuan
fungsional sebelum terjadinya kehilangan.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman induvidu yang
responnya dibesar- besarkan saat induvidu kehilangan secara aktual maupun potensial hubungan
objek dan ketidakmampuan fungsional.
B. Tahap Berduka
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan
menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
a)  Penyangkalan (Denial)

Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai
bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau
“Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.

b)   Kemarahan (Anger)

Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif
sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk
menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.

c) Penawaran (Bargaining)

3
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah
kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.

d)  Depresi (Depression)

Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut.
Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai
memecahkan masalah.

e) Penerimaan (Acceptance)

Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap
penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada
pengunduran diri atau berputus asa.

1. Teori Martocchio

Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang
tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang
mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya
reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.

1. Teori Rando

Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:

1. Penghindaran

Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.

2.      Konfrontasi

Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang
melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.

3.      Akomodasi

4
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali
secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan
kehidupan mereka.

Fase Pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau
mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan “ Tidak,
saya tidak percaya itu terjadi “ atau “ itu tidak mungkin terjadi “. Bagi individu atau keluarga
yang didiagnosa dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi tambahan.

Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah : letih, lemah, pucat, diare, gangguan pernafasan,
detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat
berakhir dalam beberapa menit atau beberapa tahun.

Fase Marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan
Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang lain
atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar,
menolak pengobatan, menuduh dokter-perawat yang tidak pecus. Respon fisik yang sering
terjadi antara lain muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.

Fase Tawar-menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju ke fase
tawar-menawar dengan memohon kemurahan pada Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan
kata-kata “ kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa “. Apabila proses
ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah “ kalau saja yang sakit, bukan anak
saya”.

5
Fase Depresi
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang sebagai pasien sangat
penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan
bunuh diri, dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain : menolak makan, susah tidur, letih,
dorongan libido manurun.

Fase Penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat kepada
obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima
kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang obyek atau orang yang hilang mulai dilepaskan
dan secara bertahap perhatiannya akan beralih kepada obyek yang baru. Fase ini biasanya
dinyatakan dengan “ saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini tampak manis “
atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat sembuh”.

Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan perasaan damai, maka dia akan
mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas. Tetapi bila
tidak dapat menerima fase ini maka ia akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi
perasaan kehilangan selanjutnya.

C. Sakratul Maut
Peran perawat sangat komprehensif dalam menangani klien karena peran perawat adalah
memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis, psikologis, dan spiritual klien. Namun peran spiritual
ini sering kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini sangat penting terutama untuk
pasien terminal yang didiagnose harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut.
Menurut Dadang Hawari (1977,53) “ orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang
sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan krisis kerohanian
sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus”.
Perawat hendaknya meyakini bahwa sesuai dengan ajaran islam dalam menjalani fase akhir dari
kehidupan manusia di dunia terdapat fase sakaratul maut. Fase sakaratul maut seringkali di
sebutkan oleh Rasulullah sebagai fase yang sangat berat dan menyakitkan sehingga kita
diajarkan do’a untuk diringankan dalam fase sakaratul maut.

6
Gambaran tentang beratnya sakaratul maut dijelaskan dalam Al Qur,an dan hadis. “ Kalau
sekiranya kamu dapat melihat malaikat mencabut nyawa orang-orang kafir seraya memukul
muka dan belakang mereka serta berkata “rasakan olehmu siksa neraka yang membakar”
(niscaya kamu akan merasa sangat nyeri) (QS Al Anfal: 50). Alangkah dasyatnya sekiranyakamu
melihat diwaktu orang-orang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedangkan
para malaikat memukul dengan tangannya (sambil berkata) “keluakanlah nyawamu!)” Pada hari
ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kamu selalu mengatakan
terhadap ALLAH perkataan yang tidak benar dankarena kamu selalu menyombongkan diri
terhadap ayat-ayat-Nya” (QS. Al An’am :93)

Cara malaikat Izrail mencabut nyawa tergantung dari amal perbuatan orang yang bersangkutan
bila orang yang akan meninggal dunia itu durhaka kepada ALLAH maka malaikat Izrail
mencanut nyawanya dengan kasar. Sebaliknya bila terhadap orang sholeh cara mencabutnya
dengan lemah lembut dan dengan hati-hati. Namun demikian peristiwa terpisahnya nyawa
dengan raga tetap amat menyakitkan. “ Sakitnya sakaratul maut itu, kira-kira tiga ratus kali
sakitnya di pukul pedang. “ ( HR. Ibnu Abu Dunya)

Melihat batapa sakitnya sakaratul maut maka perawat harus melakukan upaya –upaya sebagai
berikut :
1).Membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT.
Pada sakaratul maut perawat harus membimbing agar berbaik sangka kepada Allah sebagaimana
Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslem. Jangan sampai seorang dari kamu mati kecuali
dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah, selanjutnya Allah berfirman dalam hadist qudsi,
Aku ada pada sangka-sangka hambaku, oleh karena itu bersangkalah kepadaKu dengan
sangkaaan yang baik . Selanjutnya Ibnu Abas berkata, Apabila kamu melihat seseorang
menghadapi maut, hiburlah dia supaya bersangka baik pada Tuhannya dan akan berjumpa
dengan Tuhannya itu. Selanjutnya Ibnu Mas´ud berkata : Demi Allah yang tak ada Tuhan selain
Dia, seseorang yang berbaik sangka kepada Allah maka Allah berikan sesuai dengan
persangkaannya itu. Hal ini menunjukkan bahwa kebaikan apapun jua berada ditangannya.
2). Mentalkinkan dengan Kalimat Laailahaillallah.

7
Perawat muslim dalam mentalkinkan kalimah laaillallah dapat dilakukan pada pasien terminal
menjelang ajalnya terutama saat pasien akan melepaskan nafasnya yang terakhir.
Wotf, Weitzel, Fruerst memberikan gambaran ciri-ciri pokok klien terminal yang akan
melepaskan nafasnya yang terakhir, yaitu penginderaan dan gerakan menghilang secara
berangsur-angsur yang dimulai pada anggota gerak paling ujung khususnya pada ujung kaki.
Meskipun suhu tubuh pasien biasanya tinggi ia terasa dingin dan lembab mulai pada kaki tangan
dan ujung hidung, kulit nampak kebiru-biruan kelabu atau pucat. Nadi mulai tak teratur, lemah
dan pucat.
Terdengar suara ngorok disertai gejala nafas cyene stokes. Dengan menurunnya tekanan darah,
peredaran darah perifer menjadi terhenti dan rasa nyeri bila ada biasanya menjadi hilang.
Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap individu. Otot rahang menjadi
mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas nampak lebih pasrah menerima.
Dalam keadaan yang seperti itu peran perawat disamping memenuhi kebutuhan fisiknya juga
harus memenuhi kebutuhan spiritual pasien muslim agar diupayakan meninggal dalam keadaan
Husnul Khatimah. Perawat membimbing pasien dengan mentalkinkan (membimbing dengan
melafalkan secara berulang-ulang), sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam Hadist Riwayat
Muslim, Talkinkanlah olehmu orang yang mati diantara kami dengan kalimat Laailahaillallah
karena sesungguhnya seseoranng yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya maka
itulah bekalnya sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya
maka itulah bekalnya menuju surga . Selanjutnya Umar Bin Ktahab berkata Hindarilah orang
yang mati diantara kami dan dzikirkanlah mereka dengan ucapan Laailahaillahllah, maka
sesungguhnya mereka (orang yang meninggal) melihat apa yang tidak bisa, kamu lihat .

3).berbicara yang Baik dan Do´a untuk jenazah ketika menutupkan matanya.
Di samping berusaha memberikan sentuhan (Touching) perawat muslim perlu berkomunikasi
terapeutik, antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim Rasulullah SAW bersabda: Bila kamu
datang mengunjungi orang sakit atau orang mati, hendaklah kami berbicara yang baik karena
sesungguhnya malaikat mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan. Selanjutnya
diriwayatkan oleh Ibnu Majah Rasulullah bersabda apabila kamu menghadiri orang yang
meninggal dunia di antara kamu, maka tutuplah matanya karena sesungguhnya mata itu

8
mengikuti ruh yang keluar dan berkatalah dengan kata-kata yang baik karena malaikat
mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan.
Berdasarkan hal diatas perawat harus berupaya memberikan suport mental agar pasien merasa
yakin bahwa Allah Pengasih dan selalu memberikan yang terbaik buat hambanya, mendo’akan
dan menutupkan kedua matanya yang terbuka saat roh terlepas, dari jasadnya.
D. Kebutuhan Pasien Dan Keluarga Menjelang Ajal
a. Bantuan untuk kebutuhan fisiologis
b. Bantuan untuk kebutuhan sosial
c. Bantuan untuk kebutuhan psikologis
1. Bantuan memenuhi kebutuhan Fisiologis :a. Kebersihan diri b. Mengontrol rasa sakit c.
membebaskan jalan napas d. Bergerak e. Nutrisi f. Eliminasi g. Perubahan sensori ,perawat &
keluarga mengurangi nada pembicaran
2. Bantuan memenuhi Kebutuhan sosial: a. Menanyakan siapa-siapa saja yg ingin didatangkan
untuk bertemu dengan klien & didiskusikan dengan keluarganya b. Menggali perasaan2 klien
sampai dengan sakitnya c. Menjaga penampilan klien pada saat-saat menerima kunjungan-
kujungan teman-teman terdekatnya personal hygiene d. Meminta saudara/teman-temannya untuk
sering mengunjungi & mengajak orang lain
3. Bantuan memenuhi kebutuhan Spiritual: a. Menanyakan kepada klien trntang harapan-harapan
hidupnya & rencana-rencana klien selanjutnya menjelang ajal b. Menanyakan kepada klien untuk
mendatangkan pemuka agama dalam hal untuk memenuhi kebutuhan spiritual c. Membantu &
mendorong klien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas kemampuannya

Asuhan Keprawatan Berduka Disfungsional


Pengkajian

Data yang dapat dikumpulkan adalah:


a. Perasaan sedih, menangis.
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.

9
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas

A. Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis.
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis berhubungan dengan koping individu tak
efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.

B. Rencana Tindakan Keperawatan


Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis
- Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
- Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.
2. Klien dapat memahami penyebab dari harga diri : rendah.
3. Klien menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
4. Klien dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, jujur dan terbuka.
5. Klien mampu mengontrol tingkah laku dan menunjukkan perbaikan komunikasi dengan orang
lain.

Intervensi
1. Bina hubungan saling percaya dengan klien.
Rasa percaya merupakan dasar dari hubungan terapeutikyang mendukung dalam mengatasi
perasaannya.
2. Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan fikiran dan perasaannya.
Motivasi meningkatkan keterbukaan klien.
3. Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah.
Dengan mengetahui penyebab diharapkan klien dapat beradaptasi dengan perasaannya.
4. Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respon dan tidak menghakimi.
Empati dapat diartikan sebagai rasa peduli terhadap perawatan klien, tetapi tidak terlibat secara
emosi.

10
5. Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
Meningkatkan harga diri.
6. Beri dukungan, Support dan pujian setelah klien mampu melakukan aktivitasnya.
Pujian membuat klien berusaha lebih keras lagi.
7. Ikut sertakan klien dengan aktifitas yang
Mengikut sertakan klien dalam aktivitas sehari-hari yang dapat meningkatkan harga diri klien.

Gangguan konsep diri; harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif
sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
Tujuan :
1. Klien merasa harga dirinya naik.
2. Klien mengunakan koping yang adaptif.
3. Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.

Intervensi
1. Merespon kesadaran diri dengan cara :
~ Membina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
~ Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang dimilikinya.
~ Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik perawat – klien.

2. Menyelidiki diri dengan cara :


~ Membantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
~ Membantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui
keterbukaan.
~ Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien.
klien yang dapat memahami perasaannya memudahkan dalam penerimaan terhadap dirinya
sendiri.

3. Mengevaluasi diri dengan cara :


~ Membantu klien menerima perasaan dan pikiran.

11
~ Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
Respon koping adaptif sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah secara konstruktif.

4. Membuat perencanaan yang realistik.


~ Membantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
~ Membantu klien menkonseptualisasikan tujuan yang realistik.
R/ Klien membutuhkan bantuan perawat untuk mengatasi permasalahannya dengan cara
menentukan perencanaan yang realistik.

5. Bertanggung jawab dalam bertindak.


~ Membantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon maladaptif
dan mempertahankan respon koping yang adaptif.
R/ Penggunaan koping yang adaptif membantu dalam proses penyelesaian masalah klien.

6. Mengobservasi tingkat depresi.


~ Mengamati perilaku klien.
~ Bersama klien membahas perasaannya.
Dengan mengobservasi tingkat depresi maka rencana perawatan selanjutnya disusun dengan
tepat.

7. Membantu klien mengurangi rasa bersalah.


~ Menghargai perasaan klien.
~ Mengidentifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
~ Memberikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.
~ Bersama klien membahas pikiran yang selalu timbul.
Individu dalam keadaan berduka sering mempertahankan perasaan bersalahnya terhadap orang
yang hilang.

Defisit perawatan diri berhubungan dengan intolenransi aktivitas.


Tujuan Umum : Klien mampu melakukan perawatan diri secara optimal.
Tujuan khusus :

12
1. Klien dapat mandi sendiri tanpa paksaan.
2. Klien dapat berpakaian sendiri dengan rapi dan bersih.
3. Klien dapat menyikat giginya sendiri dengan bersih.
4. Klien dapat merawat kukunya sendiri.

Intervensi :
1. Libatkan klien untuk makan bersama diruang makan.
Sosialisasi bagi klien sangat diperlukan dalam proses menyembuhkannya.

2. Menganjurkan klien untuk mandi.


Pengertian yang baik dapat membantu klien dapat mengerti dan diharapkan dapat melakukan
sendiri.

3. Menganjurkan pasien untuk mencuci baju.


Diharapkan klien mandiri.

4. Membantu dan menganjurkan klien untuk menghias diri.


Diharapkan klien mandiri.

5. Membantu klien untuk merawat rambut dan gigi.


Diharapkan klien mandiri
Terapi kelompok membantu klien agar dapat bersosialisasi dengan klien yang lain

Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang

1. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap proses berduka yang normal
dan perilaku yang berhubungan dengan tiap-tiap tahap.
2. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses berduka dan
mengekspresikan perasaan-perasaannya yang berhubungan denga konsep kehilangan
secara jujur.

13
3. Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-perilaku yang
berlebihan yang berhubungan dengan disfungsi berduka dan mampu melaksanakan
aktifitas-aktifitas hidup sehari-hari secara mandiri

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan
atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan
suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik
sebagian atau seluruhnya.

Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA


merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.

Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam
merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek
atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas
normal.

Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang
responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan,
objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal,
atau kesalahan/kekacauan.

Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka,


mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.

Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu: Aktual atau nyata dan persepsi. Terdapat 5
katagori kehilangan, yaitu:Kehilangan seseorang  seseorang yang dicintai, kehilangan

14
lingkungan yang sangat dikenal, kehilangan objek eksternal, kehilangan yang ada pada diri
sendiri/aspek diri, dan kehilangan kehidupan/meninggal.

Elizabeth Kubler-rose,1969.h.51, membagi respon berduka dalam lima fase, yaitu : pengikaran,
marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.
2.      Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan, Kematian dan
Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung S

15
16

Anda mungkin juga menyukai