Anda di halaman 1dari 18

PESAT

Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama


ISSN: 2442-8418; Vol. 7 No. 2 Mei 2021

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TENTANG NILAI TEMPAT


MUATAN PELAJARAN MATEMATIKA DENGAN
MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA
SISWA KELAS I SDN CURAHNONGKO 02 TEMPUREJO
TAHUN PELAJARAN 2019/2020

Oleh:
SUHARTI TRIAWATININGRUM
(SD Negeri Curahnongko 02 Tempurejo, Kabupaten Jember)
Email: suhartisdn2@gmail.com

Abstrak
Pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga, sekolah dan lingkungan.
Keberhasilan pendidikan meliputi tiga komponen tersebut sangat menentukan.
Di samping tiga komponen tersebut, metode atau strategi pembelajaran, alat-alat
pembelajaran juga mutlak diperlukan. Rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah Bagaimana meningkatkan hasil belajar mata pelajaran matematika tentang
nilai tempat puluhan dan satuan melalui penerapan pendekatan kontekstual pada
siswa kelas I SD Negeri Curahnongko 02 Kecamatan Tempurejo Tahun Pelajaran
2019/2020. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa
dalam mengoperasionalkan penjumlahan dan pengurangan dengan bantuan
benda kongkrit, juga diharapkan bermanfaat bagi siswa, peneliti, maupun orang
tua murid. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan penelitian tindakan kelas
terhadap Siswa kelas I SDN Curahnongko 02 sebanyak 26 siswa yang dilakukan
dalam 2 siklus. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif yang menggambarkan masalah sebenarnya yang ada di lapangan
kemudian direfleksikan dan dianalisis berdasarkan teori yang menunjang,
dilanjutkan dengan pelaksanaan penelitian di lapangan. Data yang diperoleh
dalam penelitian ini melalui observasi pengamatan diskusi dan evaluasi. Hasil
penelitian ini menunjukkan peningkatan dari kegiatan pra tindakan, siklus I dan
siklus II. Dalam penelitian pra tindakan siswa yang mengalami ketuntasan belajar
sebanyak 35% setelah dilakukan tindakan dengan alat bantu benda kongkrit.
Ketuntasan belajar siswa dalam siklus I naik menjadi 70%, dilanjutkan siklus
selanjutnya seluruh siswa mengalami ketuntasan belajar.

Kata Kunci:
Nilai Tempat, Matematika, Hasil Belajar, Pendekatan Kontekstual

https://ejournal.paradigma.web.id/index.php/pesat
Suharti Triawatiningrum

PENDAHULUAN
Pada Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, berakhlaq mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Mutu dan efektifitas pendidikan merupakan permasalahan yang sangat
komplek dan multi dimensional. Jika berbicara mutu pendidikan artinya kita
sedang meneropong keseluruhan dimensi pendidikan yang satu sama lain saling
terkait. Persoalan demi persoalan sistem pendidikan muncul ke permukaan
secara tidak beraturan. Misalnya kesempatan belajar yang kurang merata dan
adil, program pendidikan yang belum sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja,
pengelolaan yang belum efisien terlalu terpusat, tenaga profesional pendidikan
yang belum proporsional, biaya yang terbatas dan sebagainya. Persoalan tersebut
dianggap seolah-olah sebagai dimensi masalah yang berdiri sendiri-sendiri. Mutu
pendidikan itu sendiri perlu ditingkatkan sehingga tidak tertinggal dengan
kemajuan zaman.
Siswa kelas I SDN Curahnongko 02 pada pembelajaran mata pelajaran
Matematika dengan Kompetensi Dasar 4.3. Menentukan nilai tempat puluhan dan
satuan dan indikator. Menentukan nilai tempat puluhan dan satuan dilihat dari
hasil nilai ulangan harian/tes formatif kurang memuaskan, terbukti ada 21 siswa
dari 26 siswa atau lebih dari 50% yang mendapat nilai di bawah KKM (kriteria
ketuntasan minimal). Perbaikan sudah dilakukan tetap saja belum mendapat hasil
yang memuaskan. Oleh karena itu peneliti mengangkat permasalahan ini untuk
dijadikan bahan penelitian tindakan kelas.
Upaya meningkatkan hasil belajar mata pelajaran Matematika tentang nilai
tempat puluhan dan satuan dapat dilakukan oleh guru sebagai peneliti dengan
menerapkan metode pembelajaran yang dapat menumbuhkan minat, motivasi
serta keaktifan siswa serta penggunaan alat peraga yang tepat sehingga dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa. Dengan menerapkan pendekatan
kontekstual dan penggunaan media pembelajaran konkret, siswa diharapkan
lebih berperan aktif dalam mengikuti proses belajar mengajar sehingga
permasalahan yang dihadapi dalam belajar dapat teratasi dengan tepat.
Penggunaan media pembelajaran dan penerapan model pembelajaran
yang tepat memungkinkan siswa akan berpikir kongkret bahkan dapat
menempatkan bilangan sesuai nilai tempatnya. Sebab media pembelajaran dan
model pembelajaran yang digunakan pada proses belajar mengajar, berfungsi
2 PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama
Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Peningkatan Hasil Belajar tentang Nilai Tempat Muatan Pelajaran Matematika dengan
Menggunakan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Kelas I Sdn Curahnongko 02…

untuk mempermudah dan memperjelas dalam penyampaian materi pelajaran


(Kauff H. M, 1994 : 146).
Pembelajaran mata pelajaran Matematika dengan Kompetensi Dasar 4.3.
Menentukan nilai tempat puluhan dan satuan dan indikator. Menentukan nilai
tempat puluhan dan satuan, di kelas I SD Negeri Curahnongko 02 Kecamatan
Tempurejo, diperoleh data dari 26 siswa yang mendapat nilai 75 ke atas baru 5
siswa, sedangkan 21 siswa memperoleh nilai kurang dari 75.
Dari analisis nilai yang diperoleh siswa tersebut menunjukkan bahwa
proses pembelajaran yang telah peneliti laksanakan mengalami kegagalan,
kemudian peneliti mengadakan refleksi dan kerjasama dengan teman sejawat,
serta konsultasi dengan pembimbing untuk mengidentifikasi kekurangan dari
proses belajar mengajar yang peneliti laksanakan. Hasil mengidentifikasi masalah
tersebut adalah: (1) Siswa kurang memiliki motivasi belajar; (2) Siswa kurang
tertarik pada pembelajaran; (3) Siswa tidak dapat menentukan nilai tempat
puluhan dan satuan; (4) Guru dalam menjelaskan terlalu cepat; (5) Guru
menggunakan bahasa yang sulit dipahami oleh siswa; dan (6) Guru tidak
menggunakan alat peraga.
Setelah penyebab permasalahan teridentifikasi, kemudian peneliti
mengadakan diskusi dengan teman sejawat, dan konsultasi dengan supervisor di
dalam menganalisa penyebab ketidakberhasilan pelaksanaan pembelajaran mata
pelajaran Matematika tentang nilai tempat puluhan dan santuan, untuk
menentukan tindakan apa yang akan ditangani. Dari hasil analisis masalah,
ditentukan faktor-faktor penyebab rendahnya hasil belajar siswa terhadap materi
pembelajaran yang akan diperbaiki adalah sebagai berikut; (1) Guru belum
menggunakan alat peraga secara optimal; (2) Guru belum menggunakan metode
yang tepat; (3) Kurangnya contoh dan latihan soal.
Dari analisa masalah tersebut maka alternatif tindakan yang akan
dilakukan oleh peneliti adalah dengan melaksanakan tahapan-tahapan tindakan
dengan menerapkan pendekatan kontekstual yaitu: (1) Membangun pengetahuan
dasar siswa melalui pengalaman yang pernah dialami dalam kehidupan sehari-
hari; (2) Bagaimana aktivitas siswa terhadap pembelajaran matematika tentang
nilai tempat puluhan dan satuan melalui pendekatan Kontekstual; (3) Bagaimana
kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran matematika tentang nilai
tempat puluhan dan satuan; (4) Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran
tentang nilai tempat puluhan dan satuan di kelas I; (5) Bagaimana hasil belajar
siswa dalam pembelajaran matematika tentang nilai tempat puluhan dan satuan;
(6) Menciptakan masyarakat belajar. Siswa melakukan diskusi kelompok
membahas materi yang sedang dipelajari; (7) Melakukan penilaian nyata.

PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama 3


Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Suharti Triawatiningrum

Penilaian dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang


perkembangan belajar yang dilakukan siswa.

KAJIAN PUSTAKA
Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar (SD)
Matematika merupakan alat untuk memberikan cara berpikir, menyusun
pemikiran yang jelas, tepat, dan teliti. Hudojo (2005) menyatakan, matematika sebagai
suatu obyek abstrak, tentu saja sangat sulit dapat dicerna anak-anak Sekolah Dasar (SD)
yang mereka oleh Piaget, diklasifikasikan masih dalam tahap operasi konkret. Siswa SD
belum mampu untuk berpikir formal maka dalam pembelajaran matematika sangat
diharapkan bagi para pendidik mengaitkan proses belajar mengajar di SD dengan benda
konkret. Heruman (2008) menyatakan dalam pembelajaran matematika SD, diharapkan
terjadi reinvention (penemuan kembali). Penemuan kembali adalah menemukan suatu
cara penyelesaian secara informal dalam pembelajaran di kelas. Selanjutnya Heruman
menambahkan bahwa dalam pembelajaran matematika harus terdapat keterkaitan antara
pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan konsep yang akan diajarkan. Sehingga
diharapkan pembelajaran yang terjadi merupakan pembelajaran menjadi lebih bermakna
(meaningful), siswa tidak hanya belajar untuk mengetahui sesuatu (learning to know about),
tetapi juga belajar melakukan (learning to do), belajar menjiwai (learning to be), dan belajar
bagaimana seharusnya belajar (learning to learn), serta bagaimana bersosialisasi dengan
sesama teman (learning to live together).
Siswa Sekolah Dasar (SD) berada pada umur yang berkisar antara usia 7 hingga
12 tahun, pada tahap ini siswa masih berpikir pada fase operasional konkret.
Kemampuan yang tampak dalam fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir
untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan
objek yang bersifat konkret (Heruman, 2008). Siswa SD masih terikat dengan objek yang
ditangkap dengan pancaindra, sehingga sangat diharapkan dalam pembelajaran
matematika yang bersifat abstrak, peserta didik lebih banyak menggunakan media
sebagai alat bantu, dan penggunaan alat peraga. Karena dengan penggunaan alat peraga
dapat memperjelas apa yang disampaikan oleh guru, sehingga siswa lebih cepat
memahaminya. Pembelajaran matematika di SD tidak terlepas dari dua hal yaitu hakikat
matematika itu sendiri dan hakikat dari anak didik di SD. Suwangsih dan Tiurlina (2006)
menyatakan ciri-ciri pembelajaran matematika SD yaitu:
1. Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral
Pendekatan spiral dalam pembelajaran matematika merupakan pendekatan di
mana pembelajaran konsep atau suatu topik matematika selalu mengaitkan atau
menghubungkan dengan topik sebelumnya, topik sebelumnya merupakan prasyarat
untuk topik baru, topik baru merupakan pendalaman dan perluasan dari topik
sebelumnya. Konsep yang diberikan dimulai dengan benda-benda konkret kemudian
konsep itu diajarkan kembali dengan bentuk pemahaman yang lebih abstrak dengan
menggunakan notasi yang lebih umum digunakan dalam matematika.

4 PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama


Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Peningkatan Hasil Belajar tentang Nilai Tempat Muatan Pelajaran Matematika dengan
Menggunakan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Kelas I Sdn Curahnongko 02…

2. Pembelajaran matematika bertahap


Materi pelajaran matematika diajarkan secara bertahap yaitu dimulai dari konsep-
konsep yang sederhana, menuju konsep yang lebih sulit, selain pembelajaran matematika
dimulai dari yang konkret, ke semi konkret, dan akhirnya kepada konsep abstrak.
3. Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif
Matematika merupakan ilmu deduktif. Namun karena sesuai tahap
perkembangan siswa maka pada pembelajaran matematika di SD digunakan pendekatan
induktif.
4. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi
Kebenaran matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya
pertentangan antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lainnya. Suatu
pernyataan dianggap benar jika didasarkan kepada pernyataan-pernyataan sebelumnya
yang telah diterima kebenarannya. Meskipun di SD pembelajaran matematika dilakukan
dengan cara induktif tetapi pada jenjang selanjutnya generalisasi suatu konsep harus
secara deduktif.
5. Pembelajaran matematika hendaknya bermakna
Pembelajaran matematika secara bermakna merupakan cara mengajarkan materi
pelajaran yang mengutamakan pengertian dari pada hafalan. Dalam belajar bermakna
aturan-aturan, dalil-dalil tidak diberikan dalam bentuk jadi, tetapi sebaliknya aturan-
aturan, dalil-dalil ditemukan oleh siswa melalui contoh-contoh secara induktif di SD,
kemudian dibuktikan secara deduktif pada jenjang selanjutnya.
Tentunya dalam mengajarkan matematika di Sekolah Dasar tidak semudah
dengan apa yang kita bayangkan, selain siswa yang pola pikirnya masih pada
fase operasional konkret, juga kemampuan siswa juga sangat beragam. Hudojo (2005)
menyatakan ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengajarkan matematika
di tingkat sekolah dasar yaitu sebagai berikut:
1. Siswa
Mengajar matematika untuk sebagian besar kelompok siswa berkemampuan
sedang akan berbeda dengan mengajarkan matematika kepada sekelompok kecil anak-
anak cerdas, sekelompok besar siswa tersebut perlu diperkenalkan matematika sebagai
suatu aktivitas manusia, dekat dengan penggunaan sehari-hari yang diatur secara kreatif
(oleh guru) agar kegiatan tersebut disesuaikan dengan topik matematika. Untuk siswa
yang cerdas, mereka akan mudah mengasimilasi dan mengakomodasi teori matematika
dan masalah-masalah yang tertera dalam buku teks.
2. Guru
Ada dua orientasi guru dalam mengajar matematika di SD sebagai berikut: (a)
Keinginan guru mengarah ke kelas sebagai keseluruhan dan sedikit perhatian individu
siswa baik reaksinya maupun kepribadian. Biasanya mereka membatasi dirinya ke materi
matematika yang distrukturkan ke logika matematika. Mengajar matematika berarti
mentranslasikan sedekat-dekatnya ke teori matematika yang sama sekali mengabaikan
kesulitan yang dihadapi siswa; (b) Guru tidak terikat ketat dengan pola buku teks dalam
mengajar matematika. Ia mengajar matematika dengan melihat lingkungan sekitar
bersama-sama dengan siswa untuk mengeksplor lingkungan tersebut. Kegiatan
PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama 5
Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Suharti Triawatiningrum

matematika diatur sedekat-dekatnya dengan lingkungan siswa sehingga siswa terbiasa


terhadap konsep-konsep matematika.
3. Alat Bantu
Mengajar matematika di lingkungan SD, harus didahului dengan benda-benda
konkret. Secara bertahap dengan bekerja dan mengobservasi, siswa dengan sadar
menginterpretasikan pola matematika yang terdapat dalam benda konkret tersebut.
Model konsep seyogyanya dibentuk oleh siswa sendiri. Siswa menjadi “penemu” kecil.
Siswa akan merasa senang bila mereka “menemukan”.
4. Proses Belajar
Guru seyogyanya menyusun materi matematika sedemikian hingga siswa dapat
menjadi lebih aktif sesuai dengan tahap perkembangan mental, agar siswa mempunyai
kesempatan maksimum untuk belajar.
5. Matematika yang disajikan
Matematika yang disajikan seyogyanya dalam bentuk bervariasi. Cara
menyajikannya seyogyanya dilandasi latar belakang yang realistik dari siswa. Dengan
demikian aktivitas matematika menjadi sesuai dengan lingkungan para siswa.
6. Pengorganisasian Kelas
Matematika seyogyanya disajikan secara terorganisasikan, baik antara aktivitas
belajarnya maupun didaktiknya. Bentuk pengorganisasian yang dimaksud antara lain
adalah laboratorium matematika, kelompok siswa yang heterogen kemampuannya,
instruksi langsung, diskusi kelas dan pengajaran individu. Semua itu dapat dipilih
bergantung kepada situasi siswa yang pada dasarnya agar siswa belajar matematika.
Dengan memperhatikan keenam hal di atas, sangat diharapkan pembelajaran
matematika menyenangkan bagi siswa dan pembelajaran matematika menjadi efektif
sehingga siswa tidak hanya mampu menghafal konsep-konsep matematika, tetapi juga
harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, jadi sangat diharapkan dalam
proses pembelajaran yang dipraktekkan guru juga melibatkan dan mengaktifkan siswa
dalam proses menemukan konsep-konsep matematika. Sehingga pembelajaran
matematika di sekolah dasar mampu mengembangkan kompetensi-
kompetensi matematika seperti yang terdapat dalam kurikulum matematika.

Konsep tentang Nilai Tempat


Menurut Wiratmo, nilai tempat dapat diartikan sebagai nilai suatu angka dalam
suatu bilangan tertentu. Nilai tempat suatu angka mempunyai berbagai tingkat
bergantung dari letak bilangan tersebut.Tingkatan tempat tersebut adalah satuan,
puluhan, ratusan, ribuan, puluh ribuan, dan seterusnya. Dalam memahami nilai tempat,
kesulitan yang dialami siswa menurut Troutman & Lichtenberg dalam Teguh adalah
dalam hal:
1. Mengasosiasikan model nilai tempat dengan lambang bilangan,
Contoh:
Bilangan 325
Angka 2 memiliki nilai sepuluh (salah)
Seharusya nilai 2 adalah 20, karena 2 menempati nilai puluhan.

6 PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama


Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Peningkatan Hasil Belajar tentang Nilai Tempat Muatan Pelajaran Matematika dengan
Menggunakan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Kelas I Sdn Curahnongko 02…

2. Menggunakan nol bila menulis lambang bilangan,


Contoh:
Ketika guru menyuruh siswa menuliskan bilangan seratus limapuluh,
siswa menuliskan 10050 (salah)
Seharusnya 150
3. Menggunakan konsep regrouping untuk merepresentasikan lambang bilangan,
Contoh:
Bilangan 1.235
Siswa sudah paham bahwa:
1.235
5 satuan
3 puluhan
2 ratusan
1 ribuan
Namun ketika disuruh membaca anak kesulitan membacanya, misalnya bilangan
tersebut dibaca: seratus duaratus tigapuluh lima, dan sebagainya.
4. Menamakan posisi nilai tempat dalam suatu lambang bilangan,
Contoh:
Dalam bilangan 3.146 siswa tidak memahami bahwa 3 menempati nilai tempat
ribuan, 1 menempati nilai tempat ratusan, 4 menempati nilai tempat puluhan, dan 6
menempati nilai tempat satuan.
5. Memberikan representasi nilai tempat tidak baku untuk suatu lambang bilangan.
Contoh:
Bilangan 4.632
Siswa membaca bilangan tersebut: empat ribuan enam ratusan tiga puluh dua, dan
sebagainya (tidak baku)
Seharusnya: empatribu enamratus tigapuluh dua
Kesulitan siswa dalam memahami nilai tempat bilangan dua angka meliputi tiga
komponen utama yaitu kuantitas dan nama basis, nama bilangan, dan lambang bilangan
berkaitan dengan nilai tempat (Payne & Huinker, 1993).

Aktivitas Belajar Mengajar


Trinandita (1984) menyatakan bahwa ”hal yang paling mendasar yang dituntut
dalam aktivitas belajar mengajar adalah suatu keaktifan siswa”. Keaktifan siswa dalam
proses pembelajaran akan menyebabkan interaksi yang baik antara guru dengan siswa
ataupun interaksi siswa dengan siswa itu sendiri yang mengakibatkan suasana kelas
menjadi segar dan kondusif, masing-masing siswa dapat melibatkan kemampuannya
semaksimal mungkin. Aktivitas yang timbul dari siswa akan mengakibatkan pula
terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang akan mengarah pada peningkatan
prestasi belajar siswa itu sendiri. Berdasarkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip di
atas, diharapkan kepada guru untuk dapat mengembangkan aktivitas siswa. Jenis-jenis
aktivitas yang dimaksud dapat digolongkan menjadi:

PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama 7


Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Suharti Triawatiningrum

1. Visual Activities, yaitu segala kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas siswa
dalam melihat, mengamati, dan memperhatikan.
2. Oral Activities, yaitu aktivitas yang berhubungan dengan kemampuan siswa dalam
mengucapkan, melafalkan, dan berfikir.
3. Listening Aktivities, aktivitas yang berhubungan dengan kemampuan siswa dalam
berkonsentrasi menyimak pelajaran.
4. Motor Activities, yakni segala keterampilan jasmani siswa untuk mengekspresikan
bakat yang dimilikinya.

Hasil Evaluasi Pembelajaran


Menurut Bloom (dalam Suprijono, 2010: 6) hasil evaluasi belajar mencakup
kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa dalam hal ini adalah anak didik
yang menjadi obyek penelitian. Hasil belajar perlu diadakan evaluasi agar dapat menjadi
tolak ukur keberhasilan dalam pembelajaran. Dalam hal ini sasaran dari evaluasi hasil
belajar tersebut harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah direncanakan
sebelumnya oleh peneliti atau guru.Tujuan pembelajaran tersebut yaitu aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik (Sugandi, 2007: 115). Hasil evaluasi pembelajaran adalah
perubahan perilaku seseorang setelah mengalami aktivitas belajar yang mendapatkan
suatu hasil belajar mencakup afektif, kognitif dan psikomotorik.

Pendekatan Kontekstual
Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat (US Departement of Education, 2001). Dalam konteks ini siswa
perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana
mencapainya. Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari
berguna sebagai kebutuhan hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka
memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk
hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk menggapainya.
Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam
mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan dengan strategi daripada
memberi informasi. Guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama
untuk menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai
student centered daripada teacher centered.
Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar
yang penting, yaitu mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), menerapkan
(applying), bekerjasama (cooperating) dan mentransfer (transferring).
1. Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme.
Guru menggunakan strategi ini ketika ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu
yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah
diketahui siswa dengan informasi baru.
2. Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti
menghubungkan informasi baru dengan pengalaman maupun pengetahuan
8 PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama
Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Peningkatan Hasil Belajar tentang Nilai Tempat Muatan Pelajaran Matematika dengan
Menggunakan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Kelas I Sdn Curahnongko 02…

sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi
peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.
3. Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia melakukan kegiatan
pemecahan masalah. Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikan latihan yang
realistik dan relevan.
4. Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan
yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat
mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama
tidak hanya membantu siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia
nyata.
5. Mentransfer. Peran guru membuat bermacam-macam pengalaman belajar dengan
fokus pada pemahaman bukan hafalan.
Menurut Blanchard, ciri-ciri kontekstual: menekankan pada pentingnya
pemecahan masalah, kegiatan belajar dilakukan dalam berbagai konteks, kegiatan
belajar dipantau dan diarahkan agar siswa dapat belajar mandiri, mendorong siswa
untuk belajar dengan temannya dalam kelompok atau secara mandiri, pelajaran
menekankan pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda, menggunakan penilaian
otentik. Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL)
memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan
(Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan
(modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic).
Pendekatan pembelajaran menurut Syaiful (2003:68) adalah sebagai aktifitas guru
dalam memilih kegiatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran sebagai penjelas dan
juga mempermudah bagi para guru memberikan pelayanan belajar dan juga
mempermudah siswa untuk memahami materi ajar yang disampaikan guru, dengan
memelihara suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Pendekatan kontekstual dapat membuat variasi dalam pembelajaran dan hasil
belajar yang diharapkan dapat dicapai. Pendekatan pembelajaran tentu tidak kaku harus
menggunakan pendekatan tertentu, artinya memilih pendekatan disesuaikan dengan
kebutuhan materi ajar yang dituangkan dalam perencanaan pembelajaran. Pendekatan
pembelajaran yang sering dipakai oleh para guru antara lain: pendekatan konsep dan
proses, pendekatan deduktif dan induktif pendekatan ekspositori dan heuristik,
pendekatan kecerdasan dan pendekatan kontekstual.
Jonhson (2007:67) menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran konstekstual
adalah sebuah proses pendidikan yang menolong para siswa melihat makna dalam
materi akademik dengan konteks dalam kehidupan seharian mereka, yaitu konteks
keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini sistem tersebut
meliputi delapan komponen berikut: membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna,
melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pekerjaan yang diatur sendiri, melakukan
kerja sama, berfikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan
berkembang, mencapai standar yang lebih tinggi, menggunakan penilaian autentik atau
penilaian yang mempunyai nilai tolak ukur.

PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama 9


Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Suharti Triawatiningrum

Menurut pendapat Wina (2005:109) menjelaskan, suatu pendekatan pembelajaran


yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan
nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan
mereka. Lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan
pendekatan kontekstual yaitu: (a) Dalam pendekatan kontekstual pembelajaran
merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada; (b) Pembelajaran yang
kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru;
(c) Pemahaman pengetahuan, artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal
tapi untuk diyakini dan dipahami; (d) Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman
tersebut, artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh harus dapat diaplikasikan
dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan prilaku siswa; dan (e) Melakukan
refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan.
Wina (2005:125) menjelaskan beberapa hal penting dalam pembelajaran melalui
pendekatan kontekstual atau CTL sebagai berikut: (a) CTL adalah model pembelajaran
yang menekankan pada aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental; (b) CTL
memandang bahwa belajar bukan menghafal akan tetapi porses pengalaman dalam
kehidupan nyata; (c) Kelas dalam pembelajaran CTL, bukan sebagai tempat memperoleh
informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka di
lapangan; (d) Materi pelajaran ditemukan oleh siswa sendiri bukan hasil pemberian
orang lain. Dari pendapat para ahli disimpulkan bahwa pendekatan Kontekstual adalah
pendekatan pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa untuk terlibat secara penuh
pada pembelajaran sehingga dimungkinkan siswa akan menguasai pembelajaran.

Hasil Belajar
Hasil belajar menurut Sudjana (2000: 38) merupakan “suatu kompetensi atau
kecakapan yang dapat dicapai oleh siswa setelah melalui kegiatan pembelajaran yang
dirancang/dilaksanakan oleh guru di sekolah dan kelas tertentu. Selain itu Sudjana
(2000:39-40) mengemukakan bahwa: “hasil belajar siswa dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor
yaitu: 1) faktor intern, dan 2) faktor ekstern. Faktor intern meliputi: motivasi belajar,
minat dan perhatian siswa terhadap mata pelajaran tersebut, sikap dan kebiasaan dalam
belajar, ketekunan belajar, keadaan sosial ekonomi orang tua, faktor fisik dan faktor psikis
siswa. Sedangkan faktor ekstern mencakup aspek kualitas pembelajaran yang meliputi
faktor kemampuan guru, karakteristik kelas dan karakteristik sekolah”. Hasil belajar
dapat ditingkatkan dengan jalan mengaktifkan semua aspek indera pada diri manusia.
Menurut Wiriaatmadja, (1983:99) “seseorang yang sedang belajar memperoleh hasil
belajarnya sebagai berikut: melalui indera pengecap sebesar 1%, indera peraba sebesar
1,5%, indera penciuman sebesar 3,5%, indera pendengaran sebesar 11% dan indera
penglihatan sebesar 83%”.
Dari ketiga pendapat di atas, ternyata untuk meningkatkan hasil belajar, perlu
mengaktifkan semua aspek indera pada diri manusia dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, baik faktor dari dalam individu maupun faktor dari luar individu
yang sengaja dirancang untuk meningkatkan hasil belajar. Hasil belajar dapat diukur
melalui tes yang sering dikenal dengan tes hasil belajar. Menurut Saifudin Anwar (2005 :
8-9) mengemukakan tentang tes hasil belajar bila dilihat dari tujuannya yaitu
10 PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama
Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Peningkatan Hasil Belajar tentang Nilai Tempat Muatan Pelajaran Matematika dengan
Menggunakan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Kelas I Sdn Curahnongko 02…

mengungkap keberhasilan sesorang dalam belajar. Testing pada hakikatnya menggali


informasi yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Tes hasil belajar
berupa tes yang disusun secara terencana untuk mengungkap performasi maksimal
subyek dalam menguasai bahan-bahan atau materi yang telah diajarkan. Dalam kegiatan
pendidikan formal tes hasil belajar dapat berbentuk ulangan harian, tes formatif, tes
sumatif, bahkan ebtanas dan ujian-ujian masuk perguruan tinggi.

METODE PENELITIAN
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas I Semester II tahun pelajaran
2019/2020 di SD Negeri Curahnongko 02 Kecamatan Tempurejo sebanyak 26 siswa yang
terdiri dari 12 siswa laki-laki dan 14 siswa perempuan. Penelitian dilaksanakan di SD
Negeri Curahnongko 02 Kecamatan Tempurejo pada siswa kelas I Semester II tahun
pelajaran 2019/2020. Sekolah tersebut terletak di dusun Kotta Blater desa Curahnongko
kecamatan Tempurejo kabupaten Jember. Pelaksanaan penelitian tindakan kelas
dilaksanakan dengan pola tindakan kelas. Dilaksanakan dalam 2 tahap dalam rangkaian
kegiatan pembelajaran, yaitu: (a) Perbaikan pembelajaran siklus I tanggal 7 Maret 2020;
(b) Perbaikan pembelajaran siklus II tanggal 14 Maret 2020. Perbaikan pembelajaran ini
dilakukan terhadap muatan pelajaran matematika dengan Kompetensi Dasar 4.3.
Menentukan nilai tempat puluhan dan satuan dan indikator menentukan nilai tempat
puluhan dan satuan.
Pada suatu pelaksanaan penelitian tindakan kelas dengan pola tindakan kelas
atau PTK guna meningkatkan efektivitas hasil belajar siswa, dalam pelaksanaan
pembelajaran, peneliti dalam hal ini adalah guru mengembangkan rencana penelitian
tindakan kelas berupa rencana pembelajaran yang dilaksanakan di dalam kelas, terdiri
dari dua siklus. Setiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, tindakan
pengamatan dan refleksi.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada Penelitian Tindakan Kelas ini
adalah dengan metode observasi oleh teman sejawat, metode evaluasi atau tes serta
dokumentasi yang berupa dokumen dan foto. Sedangkan, teknik Analisis Data diperoleh
dari hasil belajar Matematika dengan Kompetensi Dasar 4.3. Menentukan nilai tempat
puluhan dan satuan dan indikator menentukan nilai tempat puluhan dan satuan, yang
dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif dengan menentukan rata-rata
dan data nilai kuantitatif dengan memperhatikan persentase.
Pendekatan Kontekstual, dapat meningkatkan hasil belajar Matematika dengan
kompetensi dasar 4.3. Menentukan nilai tempat puluhan dan satuan dan indikator
menentukan nilai tempat puluhan dan satuan, yaitu sebagai berikut: (a) Siswa lebih aktif
dalam pembelajaran; (b) Hasil belajar siswa akan lebih meningkat; (c) Guru lebih
bervariasi dalam menggunakan metode pembelajaran.

PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama 11


Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Suharti Triawatiningrum

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Deskripsi Hasil Penelitian per Siklus
Deskripsi hasil identifikasi dan perumusan masalah, akan peneliti uraikan secara
singkat tentang langkah-langkah perbaikan yang telah direncanakan dalam 2 siklus.
Setiap siklus terdiri dari empat tahapan yaitu: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan,
dan refleksi.
Siklus I
1. Data tentang perencanaan
Data tentang rencana perbaikan pada siklus I, peneliti melakukan identifikasi
masalah dan perumusan masalah untuk acuannya. Peneliti juga menyiapkan media
pembelajaran yang akan digunakan. Dalam perencanaan itu sendiri telah disusun lembar
pengamatan bagi pengamat serta merancang tes formatif. Semua data perencanaan ini
terlampir pada lampiran.
2. Data tentang pelaksanaan
Pelaksanaan perbaikan pembelajaran siklus I, dilaksanakan pada tanggal 7 Maret
2020. Materi yang diajarkan adalah nilai tempat puluhan dan satuan. Proses
pembelajaran dilakukan secara bertahap yaitu akan diawali dengan apersepsi dan
diakhiri dengan tes formatif. Tes formatif akan dianalisa hasilnya untuk menentukan
apakah upaya perbaikan pembelajaran sudah berhasil atau belum yang menjadi tolak
ukur keberhasilan perbaikan.
Setelah dilakukan analisis data prestasi belajar yang dicapai oleh siswa pada
perbaikan pembelajaran siklus I, diperoleh hasil nilai yang dicapai siswa adalah nilai
terendah 50 nilai tertinggi 90, dengan nilai ketuntasan mencapai 55,56%. Jika
dibandingkan dengan hasil tes formatif sebelum dilakukan perbaikan pembelajaran
siklus I yaitu nilai terendah 50, nilai tertinggi 90 dan nilai ketuntasan 22,22 %, bahwa hasil
tes formatif perbaikan pembelajaran siklus I mengalami peningkatan 32 %. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa perbaikan pembelajaran siklus I yang
menitikberatkan pada penggunaan media pembelajaran gambar dan penerapan metode
ceramah, tanya jawab dan demonstrasi sudah ada peningkatan dan kemajuan jika
dibanding dengan hasil tes formatif sebelum diadakan perbaikan pembelajaran. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa perbaikan pembelajaran siklus I hasilnya ada
peningkatan walaupun belum memuaskan karena masih ada 8 siswa yang belum
mencapai ketuntasan atau 44,44 % yang belum mencapai ketuntasan belajar.
Berikut ini peneliti sajikan gambaran dalam bentuk tabel dan gambar dari hasil
perolehan nilai siswa sebelum perbaikan pembelajaran (Pra Siklus), sebagai berikut:

Tabel 1. Distribusi Frekwensi Hasil Evaluasi Sebelum Penelitian

Hasil Tentamen Tally Banyak Siswa F (x)


40 - - -
50 |||||| 6 300
60 ||||||||||||| 13 980
70 || 2 140
80 || 2 160
12 PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama
Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Peningkatan Hasil Belajar tentang Nilai Tempat Muatan Pelajaran Matematika dengan
Menggunakan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Kelas I Sdn Curahnongko 02…

90 ||| 3 270
Jumlah 26 26 1850

Dari tabel distribusi frekwensi di atas diperoleh data:


a. Siswa yang mendapat nilai 50 ada 6 siswa ( 6/26 X 100 % = 23,07 % ).
b. Siswa yang mendapat nilai 60 ada 13 siswa ( 13/26 X 100 % = 50,56 % ).
c. Siswa yang mendapat nilai 70 ada 2 siswa ( 2/26 X 100 % = 7,69 % ).
d. Siswa yang mendapat nilai 80 ada 2 siswa ( 2/26 X 100 % = 7,69 % ).
e. Siswa yang mendapat nilai 90 ada 3 siswa ( 3/26 X 100 % = 11,53 % ).

Tabel 2. Data Nilai Matematika Sebelum Penelitian


No Indikator Keterangan
1. Nilai Terendah 50
2. Nilai Tertinggi 90
3. Jumlah Nilai 1850
4. Nilai Rata – rata 71,15
5. Banyak siswa nilai > 75 5
6. Banyak siswa nilai < 75 21
7. Prosentase siswa nilai > 75 19,22%
8. Prosentase siswa nilai < 75 80,78 %

Dari tabel 2, maka dapat disimpulkan:


a. Nilai rata-rata adalah 1850/26 = 71,15
b. Prosentase siswa yang mencapai ketuntasan belajar 8/26 X 100 % = 30,76 %
c. Prosentase siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar 18/26 X 100 % = 69,23 %
Berikut ini peneliti sajikan gambaran dalam bentuk tabel dan gambar dari hasil
perolehan nilai siswa setelah perbaikan pembelajaran siklus I, sebagai berikut :
Tabel 3. Distribusi Frekwensi Hasil Evaluasi Perbaikan Pembelajaran Siklus I
Hasil Tentamen Tally Banyak Siswa F (x)
50 || 2 100
60 |||||| 6 360
70 |||||||| 8 560
80 ||||||| 7 560
90 ||| 3 270
Jumlah 26 26 1850

Dari tabel 3 distribusi frekwensi di atas diperoleh data:


a. Siswa yang mendapat nilai 50 ada 2 siswa ( 2/26 X 100 % = 7,69 % ).
b. Siswa yang mendapat nilai 60 ada 6 siswa ( 6/26 X 100 % = 23,07 % ).
c. Siswa yang mendapat nilai 70 ada 8 siswa ( 8/26 X 100 % = 30,76 % ).
d. Siswa yang mendapat nilai 80 ada 7 siswa ( 7/26 X 100 % = 26,92 % ).
e. Siswa yang mendapat nilai 90 ada 3 siswa ( 3/26 X 100 % = 11,53 % ).

PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama 13


Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Suharti Triawatiningrum

Tabel 4. Data Nilai Matematika Perbaikan Pembelajaran Siklus I


No Indikator Keterangan
1. Nilai Terendah 50
2. Nilai Tertinggi 90
3. Jumlah Nilai 1850
4. Nilai Rata – rata 71,15
5. Banyak siswa nilai > 75 10
6. Banyak siswa nilai < 75 16
7. Prosentase siswa nilai > 75 38,45%
8. Prosentase siswa nilai < 75 61,55 %

Dari tabel 4, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:


a. Nilai rata – rata adalah 1850/26 = 71,15
b. Prosentase siswa yang mencapai ketuntasan belajar 10/26 X 100 % = 55,56 %
c. Prosentase siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar 16/26 X 100 % = 44,44 %
3. Data pengumpulan data/pengamatan
Dari data pengamatan yang dilakukan oleh pengamat diketahui bahwa guru
sudah menyampaikan materi pembelajaran dengan baik, menerapkan metode
pembelajaran ceramah, tanya jawab dan demonstrasi untuk menentukan nilai tempat
puluhan dan satuan serta telah memberikan latihan yang cukup, namun media yang
digunakan hanya berupa gambar dan dengan volume yang kecil. Pada saat pembelajaran
masih didominasi siswa yang pandai saja, sehingga beberapa anak yang lemah dalam
pelajaran matematika cenderung pasif. Pada saat evaluasi waktu mengerjakan soal masih
dirasakan kurang oleh siswa sehingga pada akhirnya hasil tes formatif ada 8 siswa yang
pasif mendapatkan nilai belum mencapai ketuntasan.
4. Data tentang refleksi
Proses perbaikan pembelajaran siklus I pada mata pelajaran matematika dengan
materi nilai tempat puluhan dan satuan diperoleh suatu refleksi sebagai berikut: (a)
Media pembelajaran hanya berupa gambar dengan volume kecil; (b) Guru dalam
menyampaikan pembelajaran terlalu cepat; (c) Waktu penyelesaian soal pada evaluasi
kurang.

Deskripsi Siklus I
Berdasarkan data di atas dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa perbaikan
pembelajaran siklus I belum berhasil secara memuaskan, hal ini dapat diketahui dari hasil
tes formatif siklus I, dari 26 siswa, ada 10 siswa yang mencapai ketuntasan atau masih
55,56 % yang tuntas belum mencapai lebih dari 44,44 %. Ketidakberhasilan siklus I
disebabkan oleh: (a) Media pembelajaran hanya berupa gambar dengan volume terlalu
kecil; (b) Guru dalam penyampaian pembelajaran terlalu cepat; (c) Pembelajaran hanya
didominasi siswa yang pandai saja; (d) Waktu penyelesaian soal pada evaluasi kurang.

14 PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama


Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Peningkatan Hasil Belajar tentang Nilai Tempat Muatan Pelajaran Matematika dengan
Menggunakan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Kelas I Sdn Curahnongko 02…

Siklus II
1. Data tentang perencanaan
Pada rencana perbaikan pada siklus II, peneliti melakukan identifikasi masalah
dan perumusan masalah untuk acuannya. Peneliti juga menyiapkan media pembelajaran
yang akan digunakan. Dalam perencanaan telah disusun lembar pengamatan bagi
pengamat serta merancang tes formatif. Semua data perencanaan ini terlampir pada
lampiran.
2. Data tentang pelaksanaan
Suatu perbaikan pembelajaran siklus II, dilaksanakan pada 14 Maret 2020. Materi
yang diajarkan adalah nilai tempat puluhan dan satuan. Proses pembelajaran dilakukan
secara bertahap yang diawali dengan apersepsi dan diakhiri dengan tes formatif. Tes
formatif akan dianalisa hasilnya untuk menentukan apakah upaya perbaikan
pembelajaran sudah berhasil atau belum.
Analisis data prestasi belajar yang dicapai oleh siswa pada perbaikan
pembelajaran siklus II, diperoleh hasil nilai yang dicapai siswa adalah nilai terendah 80
nilai tertinggi 100, dengan nilai ketuntasan mencapai 100 %. Jika dibandingkan dengan
hasil tes formatif perbaikan pembelajaran siklus I yaitu nilai terendah 50, nilai tertinggi
90, bahwa hasil tes formatif perbaikan pembelajaran siklus II mengalami peningkatan
44,44 %. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbaikan pembelajaran siklus II
yang menitikberatkan pada penerapan pendekatan kontekstual, penggunaan media
pembelajaran konkret dengan volume yang memadai, pengelolaan waktu secara detil,
sudah ada peningkatan dan kemajuan jika dibanding dengan hasil tes formatif perbaikan
pembelajaran siklus I. Perbaikan pembelajaran siklus II hasilnya ada peningkatan tidak
ada siswa yang tidak tuntas, dan dinilai sudah cukup sukses dan berhasil dalam
pembelajaran. Berikut ini peneliti sajikan gambaran dalam bentuk tabel dan gambar dari
hasil perolehan nilai siswa pada siklus II, sebagai berikut:
Tabel 5. Distribusi Frekwensi Hasil Evaluasi Perbaikan Pembelajaran Siklus II
Hasil Tentamen Tally Banyak Siswa F (x)
80 |||||||||||||||| 16 1280
90 ||||| 5 450
100 ||||| 5 500
Jumlah 26 26 2230

Dari tabel distribusi frekwensi di atas diperoleh data:


a. Siswa yang mendapat nilai 80 ada 16 siswa ( 16/26 X 100 % = 61,53 % ).
b. Siswa yang mendapat nilai 90 ada 5 siswa ( 5/26 X 100 % = 19,23 % ).
c. Siswa yang mendapat nilai 100 ada 5 siswa ( 5/26 X 100 % = 19,23 % ).
Tabel 6. Data Nilai Matematika Perbaikan Pembelajaran Siklus II
No Indikator Keterangan
1. Nilai Terendah 80
2. Nilai Tertinggi 100
3. Jumlah Nilai 2230

PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama 15


Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Suharti Triawatiningrum

4. Nilai Rata – rata 85,76


5. Banyak siswa nilai > 75 26
6. Banyak siswa nilai < 75 -
7. Prosentase siswa nilai > 75 100 %
8. Prosentase siswa nilai < 75 0 %

Dari tabel 6, maka dapat disimpulkan:


a. Nilai rata-rata adalah 2230/26 = 85,76
b. Prosentase siswa yang mencapai ketuntasan belajar 26/26 X 100 % = 100 %
c. Prosentase siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar 0/26 X 100 % = 0 %
3. Data pengumpulan data/pengamatan
Dari data pengamatan yang dilakukan oleh pengamat diketahui bahwa guru
sudah menyampaikan materi pembelajaran dengan baik, tidak terlalu cepat sehingga
siswa mengerti, menerapkan pendekatan kontekstual menggunakan media pembelajaran
konkret dengan volume yang cukup serta telah memberikan latihan dan evaluasi yang
cukup dengan memperhatikan alokasi waktu yang cukup. Siswa memperoleh hasil yang
memuaskan dan dirasakan sebagai suatu keberhasilan pembelajaran.
4. Data tentang refleksi
Setelah melaksanakan proses perbaikan pembelajaran siklus II pada mata
pelajaran matematika dengan materi nilai tempat puluhan dan satuan, diperoleh refleksi
sebagai berikut:
a. Guru dalam menyampaikan pembelajaran sudah baik.
b. Volume media pembelajaran sudah memadai.
c. Waktu penyelesaian soal pada evaluasi sudah cukup.
d. Model pembelajaran yang digunakan sudah kontekstual dan menyenangkan.

Deskripsi Siklus II
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa perbaikan pembelajaran siklus II
sudah berhasil, hal ini dapat diketahui dari hasil tes formatif siklus II, dari 26 siswa, ada
26 siswa yang mencapai ketuntasan atau 100 % sudah mencapai lebih dari 75 %.
Keberhasilan perbaikan pembelajaran siklus II disebabkan oleh:
a. Guru dalam penyampaian pembelajaran sudah baik.
b. Volume media pembelajaran sudah memadai.
c. Waktu penyelesaian soal pada evaluasi sudah cukup.
d. Model pembelajaran yang digunakan sudah kooperatif dan menyenangkan.

Pembahasan Hasil Penelitian


Keberhasilan pada proses belajar mengajar tidaklah mudah, sebab kenyataan di
lapangan banyak faktor yang menjadi penyebab ketidakberhasilan proses pembelajaran.
Dari berbagai kajian teori, faktor yang menentukan keberhasilan proses belajar mengajar
adalah kemampuan guru, terutama kemampuan merancang pembelajaran, memilih
metode, dan penggunaan media pembelajaran.

16 PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama


Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Peningkatan Hasil Belajar tentang Nilai Tempat Muatan Pelajaran Matematika dengan
Menggunakan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Kelas I Sdn Curahnongko 02…

Siklus I
Program perbaikan pembelajaran sebelum dilaksanakan, siswa kurang
memahami materi nilai tempat puluhan dan satuan. Hal ini disebabkan karena peneliti
tidak menggunakan media pembelajaran, kurang tepat dalam menentukan metode. Hasil
diskusi dengan teman sejawat serta konsultasi dengan supervisor peneliti perlu
mengadakan perbaikan siklus I. Pada siklus I, peneliti merancang pembelajaran yang
memfokuskan penerapan metode ceramah, tanya jawab dan demonstrasi, dan
penggunaan media pembelajaran gambar. Pada siklus I ini dari 26 siswa, ada 10 siswa
yang mendapat nilai tuntas lebih dari 75 atau ada 16 siswa yang belum mencapai
ketuntasan, walaupun sudah diadakan perbaikan pembelajaran, hasilnya masih kurang
memuaskan, kegagalan itu disebabkan:
1. Media pembelajaran hanya berupa gambar dengan volume terlalu kecil.
2. Cara Penyampaian pembelajaran terlalu cepat.
3. Waktu penyelesaian soal pada evaluasi kurang.
4. Model pembelajaran kurang kooperatif dan menyenangkan siswa.
Hal inilah yang menyebabkan peneliti untuk melakukan perbaikan pembelajaran pada
siklus II

Siklus II
Dari hasil diskusi dengan teman sejawat serta konsultasi dengan pembimbing,
peneliti perlu mengadakan perbaikan pembelajaran siklus II. Pada siklus II ini peneliti
merancang pembelajaran dengan menitikberatkan pada penerapan pendekatan
kontekstual, media pembelajaran konkret dengan volume yang sesuai dan pemberian
waktu penyelesaian soal yang cukup. Setelah diadakan suatu perbaikan pembelajaran
siklus II, siswa yang memperoleh nilai ketuntasan 26 siswa dari 26 siswa atau 100 %,
sedangkan siswa yang belum tuntas dalam pembelajaran tidak ada. Dengan demikian
pada perbaikan pembelajaran siklus II ini dapat disimpulkan bahwa perbaikan
pembelajaran sudah berhasil dan cukup sampai pada siklus II. Keberhasilan nampak
adanya peningkatan pada masing-masing kegiatan dari sebelum dilakukan perbaikan
pembelajaran, siklus I sampai siklus II peneliti sajikan dalam tabel 7 di bawah ini:
Tabel 7. Peningkatan ketuntasan hasil belajar Matematika
No Ketuntasan Sebelum Siklus I Siklus II
1. Tuntas 5 22,22% 10 55,56% 26 100 %
2. Belum Tuntas 21 77,78% 16 44,44% 0 0%

Pada awal pembelajaran sebelum diadakan perbaikan pembelajaran hasil


ketuntasan siswa ada 5 siswa atau 22,22 %, setelah diadakan perbaikan pembelajaran
siklus I, mengalami peningkatan menjadi 10 siswa atau 55,56 %, pada akhir perbaikan
pembelajaran siklus II mengalami peningkatan menjadi 26 siswa atau 100 %. Setelah
perbaikan pembelajaran siklus II, peniliti menghentikan kegiatan perbaikan karena
dirasakan hasil sudah memuaskan dan pembelajaran sudah berhasil.
PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama 17
Vol. 7 No. 2 Mei 2021
Suharti Triawatiningrum

KESIMPULAN
Didasari dari hasil perbaikan pembelajaran yang telah dilaksanakan selama dua
siklus, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pada pembelajaran penerapan pendekatan kontekstual dapat merangsang siswa
untuk menemukan nilai tempat puluhan dan satuan suatu bilangan, kegiatan ini
ternyata dapat dijadikan penanaman konsep yang baik dan tersimpan lama pada
memori siswa.
2. Penggunaan suatu media konkret pada proses pembelajaran dapat merangsang
pikiran, perasaan, perhatian, perasaan, dan kenyamanan siswa untuk lebih tertarik
dan tertantang dalam belajar lebih aktif.
3. Peneliti telah melakukan perbaikan pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil
belajar siswa sesuai tujuan dan harapan yang ingin dicapai.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad, (1984), Penelitian Kependidikan dan Strategi. Bandung : Angkasa


Anitah, Sri. W dkk. (2007). Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Rinek Cipta.
Isjoni. 2009. Cooperative Learning Efektivitas Pembelajaran Kelompok. Bandung : Alfabeta
Mulyani, Sumantri, Nana Syaodih, (2006), Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas
Terbuka
Nar, Heryanto, H. M. Akib Hamid, (2006), Statistika Dasar. Jakarta : Universitas Terbuka
Nurhadi. 2003. Kurikulum 2003. Malang : Gramedia Widiasarana
Sudjana, Nana. 2006. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algesindo
Suparno, Mohamad Yunus, (2006), Ketrampilan Dasar Menulis. Jakarta : Universitas
Terbuka
Trianto, 2007.Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik . Jakarta :
Prestasi Pustaka
Wardani I. G. A. K, Siti Julaeha, Ngadi Marsinah, (2007), Pemantapan Kemampuan
Profesional. Jakarta : Universitas Terbuka
Wardani, I. G. A. K. Wihardit, K, dan Nasution, N. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta:
Universitas Terbuka

18 PESAT: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama


Vol. 7 No. 2 Mei 2021

Anda mungkin juga menyukai