Anda di halaman 1dari 17

1

SEJARAH PERKEMBANGAN DAKWAH

DI
S
U
S
U
N

OLEH

NAMA : DESI PURNAMA SARI


NIM : 232019003
MATA KULIAH : PSIKOLOGI DAKWAH
PRODI : PMI
DOSEN : JON PAISAL, M.Ag

KEMENTRIAN AGAMA ISLAM REPUBLIK INDONESIA


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MEULABOH
ACEH BARAT
TAHUN 2020
i

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT, sang maha pengasih,
penyayang dan pemurah, karena dengan rahmat dan pertolonganNya, penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul : “Sejarah Perkembangan
Dakwah”. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita,
Nabi Muhammad saw, yang telah membawa risalah Islam yang penuh dengan
ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu ke-Islaman, sehingga dapat menjadi
bekal hidup kita, baik di dunia maupun di akhirat.
            Penulis menyadari, tersusunnya makalah ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Semoga amal dan kebaikan yang telah diberikan, mendapat
balasan yang lebih dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa penyusunan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua guna
penyempurnaan makalah ini.
ii

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
1. Latar Belakang......................................................................................... 1
2. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
3. Tujuan....................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................... 3


1. Pengertian Dan Ruang Lingkup Sejarah Dakwah ................................... 3
2. Perkembangan Dakwah Nabi Muhammad Saw ...................................... 4
3. Perkembangan Dakwah Masa Khulafaur Rasyidin ................................. 6
4. Dakwah Pada Masa Dinasti Umayyah .................................................... 10
5. Dakwah Pada Masa Dinasti Abbasiyyah ................................................. 11
6. Dakwah Pada Masa Daulat Utsmaniyyah ............................................... 12

BAB III PENUTUP ................................................................................... 16


1. Kesimpulan .............................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 17


1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumber pokok ajaran islam adalah Al-qur,an dan Al-hadist pada masa
rasul. Apabila muncul suatu persoalan yang mengenai hukum baik itu
berhubungan denganAllah maupun dengan masyarakat, maka Allah menurunkan
ayat untuk menjelaskannya. Rasulullah sebagai pemberi penejelasan kepada
umatnya tentang bagaimana ayat yang diturunkan tersebut. Penjelasan tentang Al-
qur,an tidak selamanya tegas dan terperinci(tafsili), melainkan banyak juga yang
bersifat garis besar(ijmali) dan terkadang rasulullah harus menggunakan akal yang
disebut dengan ijtihad.
Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakala
sudah ditemuakan dalam nashnya yang jelas dalam Al-qur’an dan Al-hadist, tetapi
yang ditemukan tersebut merupakan hanya prinsip-prinsip umum. Untuk
pemecahan masalah yang baru timbul yang belum ada nash secara jelas, perlu
dilakukan istinbath hukum yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap
permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad
berdasarkan dalil-dalil yang ada didalam Al-qur’an dan Al-hadist.
Dengan jalan istinbath itu maka hukum islam akan senantiasa berkembang
seirama dengan terjadinya dinamika perkembangan masyarakat guna mewujudkan
kemaslahatan dan kesejahteraan dan juga menegakkan ketertiban dalam pergaulan
masyarakat serta menjamin hak dan kewajiban masing-masing individu yang
berkepintingan secara jelas.
Bagi seseorang yang ingin melakukan ijtihad sebuah hukum, maka ilmu
ushul fiqh mutlak diperlukan karena ia merupakan alat atau acuan dalam
melakukan istinbanth hukum. Dalam makalah ini akan kami bahas tentang
istinbath hukum dan beberapa poin saja yang menganai dengan istinbath hukum,
sebab kalau kita bahas semua yang ada dalam metode istinbath hukum maka akan
cukup banyak yang perlu dibahas dan memerlukan waktu yang lebih lama.
2

B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang timbul dari latar belakang diatas yang kami ambil
antara lain:
1. Apa pengertian istinbath?
2. Bagaimana yang dimaksud dengan pendekatan lafadz kepada makna ? yang
didalamnya terdapat  mutlaq, muqayyad, al-amr, an-nahy
3. Bagaimana yang dikatakan dengan:
o ‘Am/umum dan Khas
o Al-musytarat
o Al-muawwal
C. Tujuan
Adapun yang menjadi fokus tujuan mempelajari metode istinbath hukum
adalah:
1. Bisa mengetahui definisi dari istinbath hukum.
2. Supaya mengetahui apa itu mutlaq, muqayyad, al-amr, dan an-nahy
3. Dapat mengetahui apa itu ‘am/umum, al-musytarat, al-muawwal.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Metode Istinbath Hukum


Istinbath hukum merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari
sumbernya. Perkataan ini lebih populer disebut dengan metodologi penggalian
hukum. Metodologi, menurut seorang ahli dapat diartikan sebagai pembahasan
konsep teoritis berbagai metode yang terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Jika
hukum Islam dipandang sebagai suatu sistem pengetahuan, maka yang
dimaksudkan metodologi hukum Islam adalah pembahasan konsep dasar hukum
Islam dan bagaimanakah hukum Islam tersebut dikaji dan diformulasikan.
Kata istinbat jika dihubungkan dengan hukum, maka istinbat merupakan
suatu upaya penarikan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah melalui jalan ijtihad.
Sedangkan menurut bahasa istinbat adalah mengeluarkan atau menetapkan.
Menurut istilah, istinbat adalah upaya mengeluarkan makna-makna dari nash-nash
yang terkandung didalamnya dengan cara mengerahkan kemampuan dari potensi
naluriyah. Dari nash-nash tersebut menghasilkan dua macam istinbat yaitu yaitu
yang berbentuk lafdziyah dan maknawiyah.

1. Istinbat Lafdziyah
Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu
hukum ditinjau dari segi lafadznya. Ada tiga cara untuk mengetahui makna yang
tepat dari suatu lafadz, yaitu:
a. Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawattir.
b. Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu.
c. Berdasarkan hasil pemikiran akal nalar pemikiran suatu lafadz.
2. Istinbat Maknawiyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi
maknanya. Sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli melihat ada dua cara
pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbat, yakni
melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat.
4

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan


melakukan istinbat atau ijtihad adalah sebagai berikut:
a. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang
berhubungan dengan masalah hukum.
b. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan
dengan masalah hukum.
c. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma’,agar
dalam menetukan hukum sesuatu tidak bertentangan dengan ijma’.
d. Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya
untuk istinbat hukum.
e. Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar
tentang hukum, dan sanggup mempertanggung jawabkannya.
f. Menguasai bahasa arab secara mendalam karena Al-Qur’an dan Sunnah
tersusun dalam bahasa Arab.

Dari penjelasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa ada beberapa
metode istinbath hukum yang dijelaskan oleh pakar(fiqh) guna untuk
mendapatkan suatu hukum yang baru dengan merujuk hukum dasar yang sudah
ada dan guna untuk menjawab persoalan yang ada, disini akan dijelaskan
beberapa metode saja yang ada dalam metode istinbath antara lain adalah:
3. Pendekatan lafazd kepada makna
Cara penggalian hukum dan nash ada dua macam pendekatan,yaitu
pendekatan makna dan pendekatan lafal. Pendekatan makna adalah penarikan
kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti menggunakan qiyas,
istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya. Sedang pendekatan lafal
penerapannya membutuhkan beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan
yaitu penguasaan terhadapmakna dari lafal-lafal nash serta konotasinya dari segi
umum dan khusus dan mengetahui dalalahnya. Didalamnya dibahas
tentang mutlaq, muqayyad, amr dan nahy
Kaidah lafal mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
1) Suatu lafal dipakai dengan mutlak pada suatu nash, sedangkan pada nash lain
digunakan dengan muqayyad
5

2) Lafal mutak dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya
3) Lafal mutlak dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam
hukumnya ataupun sebab hukumnya
4) Mutlak dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya
sama.
5) Mutlak dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.

4. Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama


Apabila dua lafal itu berbeda dalam sebab, tetapi tidak berbeda dalam
hukum (persamaan hukum), bagian ini diperselisihkan oleh ulama ushul. Menurut
sebagian ulama, yang mutlak harus diikutkan pada yang muqayyad, sedangkan
ulama yang mutlak tetap pada kemutlakannya. Contoh lafal berbentuk mutlak
dalam QS Mujadilah:3
ُ ‫ ِه ۚ َوهَّللا‬H ِ‫ونَ ب‬HHُ‫ا ۚ ٰ َذلِ ُك ْم تُو َعظ‬H ‫اس‬
َّ ‫َوالَّ ِذينَ يُظَا ِهرُونَ ِم ْن نِ َساِئ ِه ْم ثُ َّم يَعُو ُدونَ لِ َما قَالُوا فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ِم ْن قَ ْب ِل َأ ْن يَتَ َم‬
‫بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر‬
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al- Mujadilah: 3)

َّ َ‫َو َم ْن قَت ََل ُمْؤ ِمنًا خَ طًَأ فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُمْؤ ِمنَ ٍة َو ِديَةٌ ُم َسلَّ َمةٌ ِإلَ ٰى َأ ْهلِ ِه ِإاَّل َأ ْن ي‬
  ۚ‫ص َّدقُوا‬
Artinya: “Dan barang siapa membunuh mukmin karena tersalah (tidak
sengaja), maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang mukmin, serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), .” (QS.
An-nisa 92).

Jadi dapat saya simpulkan bahwa hubungan antara mutlak dan muqayyad
itu satu tujuan walaupun  diantara keduanya ada perbedaan tetapi masih tetap
sama. Dalam ayat pertama, yang menjadi sebab dia memerdekaan ialah karena
bersumpah zhihar, sedangkan pada ayat yang kedua karena membunuh dengan
tidak sengaja. Jadi, berbeda sebabnya.
6

Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah


untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu
larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni
dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
Adapun contoh nahi yang menunjukkan haram, seperti dalam firman Allah
yang
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali
Imran: 130)
Ketentuan nahi adalah haram, maka makan harta riba hukumnya haram,
karena tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum asli dari nahi. Kecuali apabila ada
qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi menunjukkan
hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan sebagainya.
Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang berpendapat
bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun, pendapat
yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.

2.3   ‘Am/umum dan Khas


a.       ‘Am/umum
‘Am menurut bahasa merupakan merata, secara umum. Sedangkan menurut
istilah adalah lafazh yang meliputi pengertian umum , terhadap semua apa yang
termasuk pengertian lafazh itu, dengan hanya disebut sekaligus.
Dengan pengertian lain ‘Am adalah suatu perkataan yang memberi
pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam pertkataan itu
dengan tidak terbatas, misalnya: al insan yang berarti manusia . Perkataan ini
memiliki pengertian umum , jadi semua manusia termasuk dalam perkataan ini.
Sekali mengucapkan kata al insan sudah meliputi manusia seluruhnya.
Menurut Al Amidi, seorang ulama madzhab syafii, bahwa lafal umum
ialah suatu lafal yang menunjukan dua hal atau lebih secara bersamaan dengan
mutlaq, hakekat dari definisi ini ialah lafal yang terdiri dari satu pengertian secara
tunggal, tetapi mengandung beberapa satuan pengertian.
7

Contoh dari lafazd ‘am secara umum seperti  firman Allah  dalam surat At-
Thur ayat 21 yang artinya “Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya”.

·         Macam- macam ‘Am


Para ulama dalam hal ini membagi ‘Am menjadi tiga kategori:
1.      Al ‘Am Al Istighraqy, yakni yang mencakup segala sesuatu yang dapat
dicakupnya tanpa kecuali, sehingga semua disentuh olehnya, misal: ketentuan
tentang kewajiban wanita yang bercerai untuk melaksanakan ‘iddah (masa
tunggu) selama tiga quru (suci atau haid). Ketentuan ini berlaku untuk segala
bentuk perceraian, kecuali jika ada petunjuk lain yang mengecualikan salah satu
bentuknya. Contoh lain misalnya kata An-nas atau manusia dalam firman Allah
dalam surat Al-baqarah ayat 21 yang Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu
yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu
bertakwa.
2.      Am Majmuiy, yakni yang tidak mencakup keseluruhan bagian bagiannya satu
demi satu, tetai secara umum saja. Misalnya : kewajiban mempercayai nabi nabi
yang di utus allah, jumlah mereka banyak, namun dua puluh lima nabi yang
disebut nama namanya dalam al-Quran sudah dinilai cukup mewakili seluruh nabi
yang banyak sekali.
3.      Al ‘Am Al Badaly, yakni yang diwakili oleh seorang saja dari anggota yang
dicakup oleh lafaz itu. Misalnya : perintah untuk bernafkah kepada fakir miskin.
Memberi seorang siapa saja dari siapapun yang berstastus fakir miskin, sudah
cukup. Karena memang lafaz umum di sini adalah al ‘am badaly.[6]
           
b.      Khas
Pengertian khâsh adalah lawan dari pengertian ‘âmm (umum). Dengan
demikian, jika telah memahami pengertian lafaz ‘âmm secara tidak langsung, juga
dapat memahami pengertian lafaz khâsh. Karenannya tidak semua penulis yang
menguraikan tentang lafaz khâsh dalam bukunya, memberikan pengertian lafaz
khâsh itu secara definitif.  Al-Amidi sebelum mengemukakan definisi, ia
8

mengeritik penulis yang mendefinisikan khâsh dengan: “Setiap lafaz yang bukan
lafaz ‘âmm”[7]
·         Hukum Lafazh Khash
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu
dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan
demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil,
maka ke-qath’i-an dilalahnya tidak terpengaruh.
a.       Apabila lafazh khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun,
maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq,selama tidak ada
dalil yang membatasinya.
b.      Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberkan
faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak
ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain.
c.       Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan
faedah berupa hukum haram terhdap hal yang dilarang itu, selama tidak ada
qarinah (indikasi) yang memalingkan dari hal itu.

Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT. Yang
berbunyi: Mengandung pengertian khas, yang tidak mungkin mengandung arti
kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga.
Oleh karena itu, dilalah maknanya adalah qatiyah.[8]

·         Macam-Macam Khas
1.      Khash Syakhshi, seperti nama-nama alam
2.      Khash Nuu’, seperti Al-insan adalah suatu lafal yang menunjukkan makna bagi
seorang laki-laki yang sudah balig.
3.      Khash Jinsi, seperti: La insan ialah hewan yang berfikir/berbicara. Itulah
hakikatnya.
4.      Lafal yang mempunyai beberapa makna bagi zat.
9

2.4 Al-Musytarat
Lafal Musytarak menurut Abdul Wahab Khallaf ialah lafal yang
mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat
menunjukkan kepada artinya secara bergantian, maksudnya ialah bahwa lafal itu
bisa menunjukkan arti ini atau arti itu.
Contoh lafal Musytarak yang mempunyai dua arti misalnya seperti yang
terdapat dala firman Allah surat Al-baqarah ayat 222 yang artinya "Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran".
oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci....”
Kata suci dalam ayat ini dapat diartikan berhenti dari haid atau berhenti
dari haid dan sudah mandi wajib.
Contoh lafal musytarak yang mempunyai tiga arti:Artinya: “Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak,…”. (QS. Al-Baqarah: 222)
Kata kalalah dalam ayat ini mempunyai tiga arti; orang yang
meninggalkan anak tetapi tidak mempunyai ayah, tidak meninggalkan anak dan
juga tidak meninggalkan ayah dan orang tidak meninggalkan keluarga jurusan
anak dan jurusan ayah. Namun yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang yang
meninggalkan anak, tetapi tidak meninggalkan ayah.[9]
Mengenai hukum lafal musytarak, diatas telah dikemukakan bahwa lafal
musytarak mempunyai dua arti, arti yang diambil hanya satu. Kalau disebabkan
perbedaan antara bahasa dan arti syara’, arti syara’-lah yang dipakai dan kalau
disebutkan perbedaan antara arti hakiki dan majazai, arti hakiki yang dipakai.

2.4   Al Muawwal
Secara bahasa Al muawwal adalah yang dirujuk dari kata Awwala-
Yuawwilu yang mempunyai arti At-tafsir, Al-marja, Al-mashir. Dari segi bahasa
At-tafsir mempunyai arti penjelasan atau uraian, Al-marja berarti kembali atau
tempat kembali.[10]
10

Menurut istilah Al muawaal yang dikemukakan oleh imam Al Ghazali


adalah
sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang  pengambilan makna dari
lafazh yang bersifat probabilitas  yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti
yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.

a.       Objek Al-muawwal
Kajian takwil(al-muawwal) yang tidak menyangkut nash-nash yang
qathi’ baik secara khusus atau secara umum yang merupakan landasan-landasan
kaidah syari’ yang bersifat umum atau kaidah fiqih yang berguna untuk
menentukan ketetapan hukum permasalahan dalam furu’ sehingga para imam
dapat menerima dan mengamalkannya. Takwil juga tidak menyangkut dengan
hukum-hukum agama penting lainnya yang mudah ataupun sulit untuk dipahami
yang merupakan dasr-dasar syariat yang bersifat umum diantaranya bahan-bahan
yang memerlukan penafsiran dan pematokan hukum karena maksud syara’ harus
diterangkan dengan jelas dan digambarkan secara qath’i agar terhindar dari
munculnya arti yang spekulatif.[11]

b.      Dali-dalil penunjang Al-muawwal


Takwil(al muawwal) pada dasarnya mencakup arti yang lemah
memerlukan dalil yang mampu memperkuat praduga hasil takwil tersebut.
Sehingga arti yang tadinya lemah akan menjadi kuat karena sesuai dengan
kemaslahatan umum dan dugaan para mujtahid.
Dalil penunjang takwil harus lebih kuat daripada dalil penunjang arti
secara bahasa atau dalilnya harus lebih kuat dari dalil-dalil yang menunjukkan
bahwa dilaksankannya atau tidak, nash tersebut sama saja. Dengan cara seperti
itu, hasil penakwilan akan lebih kuat dan menjadi takwil yang shahih.
Secara ringkas dalil-dalil takwil yang dipakai sebagai berikut:
a.       Nash yang diambil dari al-quran dan as sunnah.
b.      Ijma’
c.       Kaidah-kaidah umum syariat yang diambil dari al-quran dan as sunnah
11

d.      Kaidah-kaidah fiqih yang menetapkan bahwa pembentuk syariat memperhatikan


hal-hal yang bersifat jiz’i tanpa batas, yang diterima dan diamalkan oleh para
imam dan menjadi dasar adanya perbedaan dalam ijtihad.
e.       Hakikat kemaslahatan umum
f.        Adat yang diucapkan dan diamalkan
g.      Hakikat syariat itu sendiri, yang terkadang berupa maksud yang berhubungan
dengan kemasyarakatan, perekonomian, politik dan akhlak
h.      Qiyas
i.        Akal yang merupakan sumberperbincangan segala sesuatu, yang menurut kaum
ushuliyyin lebi dikenal dengan istilah takwil qarib

Rusaknya penakwilan biasanya berawal dari mendatangkan sesuatu yang


tidak perlu atau menyalahi salah satu pembentuk syariat kaidah-kaidah umum
hukum, hukum-hukum yang bersumber dari dalil yang qath’i dan melakukan
takwil baid yang dilarang. Dengan kata lain jangan samapai melakukan ijtihad
dengan takwil dan menyimpang dari kaidah-kaidah dasar di atas.
12

BAB III
PENUTUP

3.1          KESIMPULAN
Istinbath hukum merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari
sumbernya. Perkataan ini lebih populer disebut dengan metodologi penggalian
hukum. Metodologi, menurut seorang ahli dapat diartikan sebagai pembahasan
konsep teoritis berbagai metode yang terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Jika
hukum Islam dipandang sebagai suatu sistem pengetahuan, maka yang
dimaksudkan metodologi hukum Islam adalah pembahasan konsep dasar hukum
Islam dan bagaimanakah hukum Islam tersebut dikaji dan diformulasikan.
Ada dua macam istinbat yaitu yaitu yang berbentuk lafdziyah dan
maknawiyah.
1.      Istinbat Lafdziyah
Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu hukum
ditinjau dari segi lafadznya.
2.      Istinbat Maknawiyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi maknanya.

 Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada
makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz. Sedangkan muqayyad adalah
suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat
tertentu sehingga pengertiannya lebih terbatas dan pasti.
Menurut bahasa Arab al-amr adalah perintah, sedangkan menurut istilah
adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan
suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Sedangkan nahi menurut bahasa
adalah mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz
yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan
menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau  lafadz yang menyuruh
kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang
lebih tinggi dari kita.
13

 ‘Am adalah suatu perkataan yang memberi pengertian umum, meliputi


segala sesuatu yang terkandung dalam pertkataan itu dengan tidak terbatas,
misalnya: al insan yang berarti manusia . Perkataan ini memiliki pengertian umum
, jadi semua manusia termasuk dalam perkataan ini. Sekali mengucapkan kata al
insan sudah meliputi manusia seluruhnya. Sedangkan Pengertian khâsh adalah
lawan dari pengertian ‘âmm (umum). Dengan demikian, jika telah memahami
pengertian lafaz ‘âmm secara tidak langsung, juga dapat memahami pengertian
lafaz khâsh. Karenannya tidak semua penulis yang menguraikan tentang lafaz
khâsh dalam bukunya, memberikan pengertian lafaz khâsh itu secara definitif.
Lafal Musytarak menurut Abdul Wahab Khallaf ialah lafal yang
mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat
menunjukkan kepada artinya secara bergantian, maksudnya ialah bahwa lafal itu
bisa menunjukkan arti ini atau arti itu.
Secara bahasa Al muawwal adalah yang dirujuk dari kata Awwala-
Yuawwilu yang mempunyai arti At-tafsir, Al-marja, Al-mashir. Dari segi bahasa
At-tafsir mempunyai arti penjelasan atau uraian, Al-marja berarti kembali atau
tempat kembali.
Menurut istilah Al muawaal yang dikemukakan oleh imam Al Ghazali
adalah
sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang  pengambilan makna dari
lafazh yang bersifat probabilitas  yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti
yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.

3.2          Saran
Meskipun kami sudah berusaha maksimal menyelesaikan makalah ini,
tapi kami yakin masih banyak kesalahan dan kekurangannya. Karenanya, kritik
dan saran sangat kami nantikan untuk perbaikan selanjutnya. Terima kasih.
14

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Miftahul dan Haq, A. Faisal, Ushul Fiqh: Kiaidah-kaidah Penetapan


Hukum Islam, Cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997.
Burhanuddin, Fiqih Ibadah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Ma’sum Zein Zudbah, Muhammad, UshulFiqh, Jawa Timur: Darul Hikmah.
2008.
Mas’adi, Gufron, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Mu’in, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II,  Jakarta: Departemen Agama, 1986.
Nazar Bakry, Sidi, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003.

Anda mungkin juga menyukai