Makalah Metode Istinbat Hukum Islam
Makalah Metode Istinbat Hukum Islam
DI
S
U
S
U
N
OLEH
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT, sang maha pengasih,
penyayang dan pemurah, karena dengan rahmat dan pertolonganNya, penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul : “Sejarah Perkembangan
Dakwah”. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita,
Nabi Muhammad saw, yang telah membawa risalah Islam yang penuh dengan
ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu ke-Islaman, sehingga dapat menjadi
bekal hidup kita, baik di dunia maupun di akhirat.
Penulis menyadari, tersusunnya makalah ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Semoga amal dan kebaikan yang telah diberikan, mendapat
balasan yang lebih dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa penyusunan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua guna
penyempurnaan makalah ini.
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
1. Latar Belakang......................................................................................... 1
2. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
3. Tujuan....................................................................................................... 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber pokok ajaran islam adalah Al-qur,an dan Al-hadist pada masa
rasul. Apabila muncul suatu persoalan yang mengenai hukum baik itu
berhubungan denganAllah maupun dengan masyarakat, maka Allah menurunkan
ayat untuk menjelaskannya. Rasulullah sebagai pemberi penejelasan kepada
umatnya tentang bagaimana ayat yang diturunkan tersebut. Penjelasan tentang Al-
qur,an tidak selamanya tegas dan terperinci(tafsili), melainkan banyak juga yang
bersifat garis besar(ijmali) dan terkadang rasulullah harus menggunakan akal yang
disebut dengan ijtihad.
Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakala
sudah ditemuakan dalam nashnya yang jelas dalam Al-qur’an dan Al-hadist, tetapi
yang ditemukan tersebut merupakan hanya prinsip-prinsip umum. Untuk
pemecahan masalah yang baru timbul yang belum ada nash secara jelas, perlu
dilakukan istinbath hukum yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap
permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad
berdasarkan dalil-dalil yang ada didalam Al-qur’an dan Al-hadist.
Dengan jalan istinbath itu maka hukum islam akan senantiasa berkembang
seirama dengan terjadinya dinamika perkembangan masyarakat guna mewujudkan
kemaslahatan dan kesejahteraan dan juga menegakkan ketertiban dalam pergaulan
masyarakat serta menjamin hak dan kewajiban masing-masing individu yang
berkepintingan secara jelas.
Bagi seseorang yang ingin melakukan ijtihad sebuah hukum, maka ilmu
ushul fiqh mutlak diperlukan karena ia merupakan alat atau acuan dalam
melakukan istinbanth hukum. Dalam makalah ini akan kami bahas tentang
istinbath hukum dan beberapa poin saja yang menganai dengan istinbath hukum,
sebab kalau kita bahas semua yang ada dalam metode istinbath hukum maka akan
cukup banyak yang perlu dibahas dan memerlukan waktu yang lebih lama.
2
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang timbul dari latar belakang diatas yang kami ambil
antara lain:
1. Apa pengertian istinbath?
2. Bagaimana yang dimaksud dengan pendekatan lafadz kepada makna ? yang
didalamnya terdapat mutlaq, muqayyad, al-amr, an-nahy
3. Bagaimana yang dikatakan dengan:
o ‘Am/umum dan Khas
o Al-musytarat
o Al-muawwal
C. Tujuan
Adapun yang menjadi fokus tujuan mempelajari metode istinbath hukum
adalah:
1. Bisa mengetahui definisi dari istinbath hukum.
2. Supaya mengetahui apa itu mutlaq, muqayyad, al-amr, dan an-nahy
3. Dapat mengetahui apa itu ‘am/umum, al-musytarat, al-muawwal.
3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Istinbat Lafdziyah
Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu
hukum ditinjau dari segi lafadznya. Ada tiga cara untuk mengetahui makna yang
tepat dari suatu lafadz, yaitu:
a. Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawattir.
b. Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu.
c. Berdasarkan hasil pemikiran akal nalar pemikiran suatu lafadz.
2. Istinbat Maknawiyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi
maknanya. Sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli melihat ada dua cara
pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbat, yakni
melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat.
4
Dari penjelasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa ada beberapa
metode istinbath hukum yang dijelaskan oleh pakar(fiqh) guna untuk
mendapatkan suatu hukum yang baru dengan merujuk hukum dasar yang sudah
ada dan guna untuk menjawab persoalan yang ada, disini akan dijelaskan
beberapa metode saja yang ada dalam metode istinbath antara lain adalah:
3. Pendekatan lafazd kepada makna
Cara penggalian hukum dan nash ada dua macam pendekatan,yaitu
pendekatan makna dan pendekatan lafal. Pendekatan makna adalah penarikan
kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti menggunakan qiyas,
istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya. Sedang pendekatan lafal
penerapannya membutuhkan beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan
yaitu penguasaan terhadapmakna dari lafal-lafal nash serta konotasinya dari segi
umum dan khusus dan mengetahui dalalahnya. Didalamnya dibahas
tentang mutlaq, muqayyad, amr dan nahy
Kaidah lafal mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
1) Suatu lafal dipakai dengan mutlak pada suatu nash, sedangkan pada nash lain
digunakan dengan muqayyad
5
2) Lafal mutak dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya
3) Lafal mutlak dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam
hukumnya ataupun sebab hukumnya
4) Mutlak dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya
sama.
5) Mutlak dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
َّ ََو َم ْن قَت ََل ُمْؤ ِمنًا خَ طًَأ فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُمْؤ ِمنَ ٍة َو ِديَةٌ ُم َسلَّ َمةٌ ِإلَ ٰى َأ ْهلِ ِه ِإاَّل َأ ْن ي
ۚص َّدقُوا
Artinya: “Dan barang siapa membunuh mukmin karena tersalah (tidak
sengaja), maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang mukmin, serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), .” (QS.
An-nisa 92).
Jadi dapat saya simpulkan bahwa hubungan antara mutlak dan muqayyad
itu satu tujuan walaupun diantara keduanya ada perbedaan tetapi masih tetap
sama. Dalam ayat pertama, yang menjadi sebab dia memerdekaan ialah karena
bersumpah zhihar, sedangkan pada ayat yang kedua karena membunuh dengan
tidak sengaja. Jadi, berbeda sebabnya.
6
Contoh dari lafazd ‘am secara umum seperti firman Allah dalam surat At-
Thur ayat 21 yang artinya “Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya”.
mengeritik penulis yang mendefinisikan khâsh dengan: “Setiap lafaz yang bukan
lafaz ‘âmm”[7]
· Hukum Lafazh Khash
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu
dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan
demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil,
maka ke-qath’i-an dilalahnya tidak terpengaruh.
a. Apabila lafazh khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun,
maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq,selama tidak ada
dalil yang membatasinya.
b. Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberkan
faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak
ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain.
c. Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan
faedah berupa hukum haram terhdap hal yang dilarang itu, selama tidak ada
qarinah (indikasi) yang memalingkan dari hal itu.
Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT. Yang
berbunyi: Mengandung pengertian khas, yang tidak mungkin mengandung arti
kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga.
Oleh karena itu, dilalah maknanya adalah qatiyah.[8]
· Macam-Macam Khas
1. Khash Syakhshi, seperti nama-nama alam
2. Khash Nuu’, seperti Al-insan adalah suatu lafal yang menunjukkan makna bagi
seorang laki-laki yang sudah balig.
3. Khash Jinsi, seperti: La insan ialah hewan yang berfikir/berbicara. Itulah
hakikatnya.
4. Lafal yang mempunyai beberapa makna bagi zat.
9
2.4 Al-Musytarat
Lafal Musytarak menurut Abdul Wahab Khallaf ialah lafal yang
mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat
menunjukkan kepada artinya secara bergantian, maksudnya ialah bahwa lafal itu
bisa menunjukkan arti ini atau arti itu.
Contoh lafal Musytarak yang mempunyai dua arti misalnya seperti yang
terdapat dala firman Allah surat Al-baqarah ayat 222 yang artinya "Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran".
oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci....”
Kata suci dalam ayat ini dapat diartikan berhenti dari haid atau berhenti
dari haid dan sudah mandi wajib.
Contoh lafal musytarak yang mempunyai tiga arti:Artinya: “Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak,…”. (QS. Al-Baqarah: 222)
Kata kalalah dalam ayat ini mempunyai tiga arti; orang yang
meninggalkan anak tetapi tidak mempunyai ayah, tidak meninggalkan anak dan
juga tidak meninggalkan ayah dan orang tidak meninggalkan keluarga jurusan
anak dan jurusan ayah. Namun yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang yang
meninggalkan anak, tetapi tidak meninggalkan ayah.[9]
Mengenai hukum lafal musytarak, diatas telah dikemukakan bahwa lafal
musytarak mempunyai dua arti, arti yang diambil hanya satu. Kalau disebabkan
perbedaan antara bahasa dan arti syara’, arti syara’-lah yang dipakai dan kalau
disebutkan perbedaan antara arti hakiki dan majazai, arti hakiki yang dipakai.
2.4 Al Muawwal
Secara bahasa Al muawwal adalah yang dirujuk dari kata Awwala-
Yuawwilu yang mempunyai arti At-tafsir, Al-marja, Al-mashir. Dari segi bahasa
At-tafsir mempunyai arti penjelasan atau uraian, Al-marja berarti kembali atau
tempat kembali.[10]
10
a. Objek Al-muawwal
Kajian takwil(al-muawwal) yang tidak menyangkut nash-nash yang
qathi’ baik secara khusus atau secara umum yang merupakan landasan-landasan
kaidah syari’ yang bersifat umum atau kaidah fiqih yang berguna untuk
menentukan ketetapan hukum permasalahan dalam furu’ sehingga para imam
dapat menerima dan mengamalkannya. Takwil juga tidak menyangkut dengan
hukum-hukum agama penting lainnya yang mudah ataupun sulit untuk dipahami
yang merupakan dasr-dasar syariat yang bersifat umum diantaranya bahan-bahan
yang memerlukan penafsiran dan pematokan hukum karena maksud syara’ harus
diterangkan dengan jelas dan digambarkan secara qath’i agar terhindar dari
munculnya arti yang spekulatif.[11]
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Istinbath hukum merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari
sumbernya. Perkataan ini lebih populer disebut dengan metodologi penggalian
hukum. Metodologi, menurut seorang ahli dapat diartikan sebagai pembahasan
konsep teoritis berbagai metode yang terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Jika
hukum Islam dipandang sebagai suatu sistem pengetahuan, maka yang
dimaksudkan metodologi hukum Islam adalah pembahasan konsep dasar hukum
Islam dan bagaimanakah hukum Islam tersebut dikaji dan diformulasikan.
Ada dua macam istinbat yaitu yaitu yang berbentuk lafdziyah dan
maknawiyah.
1. Istinbat Lafdziyah
Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu hukum
ditinjau dari segi lafadznya.
2. Istinbat Maknawiyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi maknanya.
Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada
makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz. Sedangkan muqayyad adalah
suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat
tertentu sehingga pengertiannya lebih terbatas dan pasti.
Menurut bahasa Arab al-amr adalah perintah, sedangkan menurut istilah
adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan
suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Sedangkan nahi menurut bahasa
adalah mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz
yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan
menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh
kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang
lebih tinggi dari kita.
13
3.2 Saran
Meskipun kami sudah berusaha maksimal menyelesaikan makalah ini,
tapi kami yakin masih banyak kesalahan dan kekurangannya. Karenanya, kritik
dan saran sangat kami nantikan untuk perbaikan selanjutnya. Terima kasih.
14
DAFTAR PUSTAKA