Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manajemen sistem penyelenggaraan makanan institusi ialah suatu program

terpadu pengadaan, pemasakan, penghidangan makanan dengan cara

mengkoordinasikan sumber daya manusia, uang, bahan, cara, pasar, alat dan

waktu yang ada untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penyelenggaraan

makanan institusi terdiri dari dua macam yaitu yang berorientasi keuntungan dan

yang berorientasi pelayanan salah satunya rumah sakit (Moehyi, 1992).

Salah satu bentuk penyelenggaraan makanan institusi adalah penyelenggaraan

makanan di rumah sakit. Penyelenggaraan makanan rumah sakit adalah suatu

rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian

makanan kepada konsumen, dalam rangka pencapaian status kesehatan yang

optimal, termasuk pencatatan, pelaporan dan evaluasi (Kemenkes RI, 2013).

Pelayanan gizi rumah sakit adalah pelayanan gizi yang disesuaikan keadaan

pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi dan status metabolisme

tubuhnya. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan

penyakit, sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh terhadap

keadaan gizi pasien, salah satunya dengan pemberian makanan yang bergizi

(Kemenkes RI, 2013).

Makanan bergizi sangat dibutuhkan pasien khususnya makanan yang

mengandung protein, karena protein akan mempercepat proses penyembuhan

1
suatu penyakit. Protein memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai pertumbuhan dan

pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh mengatur keseimbangan

air, memelihara netralitas tubuh. Pembentukan antibodi, mengangkat zat-zat gizi

serta sebagai sumber energi (Almatsier, 2010).

Dalam penyelenggaraan makanan porsi bahan makanan mentah yang

digunakan harus sesuai dengan standar porsi masing-masing lauk hewani dan

nabati untuk memenuhi gizi pasien. Menurut Muchatob (2001), standar porsi

dapat diartikan sebagai banyaknya makanan yang disajikan dan ukuran porsi

untuk setiap individu. Pengawasan standar porsi dibutuhkan untuk

mempertahankan kualitas suatu makanan yang dihasilkan. Hal ini tentu akan

mempengaruhi terpenuhinya kebutuhan gizi seseorang. Porsi matang suatu

hidangan dapat mengalami perubahan atau ketidaksesuaian dengan standar porsi

yang ada, bisa bertambah bahkan berkurang. Bagian yang dapat dimakan

merupakan salah satu penyebab selain proses persiapan dan pengolahan

(Sediaoetomo, 1996 dalam luciany 2011).

Kesalahan dalam persiapan, pemotongan maupun cara pengolahan mungkin

menjadi salah satu penyebab ketidaksesuaian porsinya. Pengolahan dengan cara

digoreng akan mengakibatkan penyusutan berat pada suatu bahan makanan,

karena dengan digoreng kandungan air yang terkandung di dalam bahan makanan

menjadi berkurang.

Berdasarkan hasil pengamatan pada porsi khususnya lauk hewani dan nabati di

Instalasi gizi RSUD Banyumas terjadi ketidakseragaman porsinya. alasan inilah

yang menyebabkan penulis mengambil judul “Gambaran Ketepatan Standar Porsi

2
Dan Perubahan Berat Mentah Masak Pada Lauk Hewani Dan Nabati Di Instalasi

Gizi RSUD Banyumas”, sebab cara pengolahan salah satunya dengan digoreng

akan mengakibatkan penyusutan suatu bahan makanan, hal ini dikarenakan

kandungan air yang terkandung di dalam bahan makanan berkurang. Porsi yang

tidak sesuai akan berpengaruh terhadap asupan makan pasien menjadi berkurang,

maka standar porsi untuk lauk hewani dan nabati sangat berpengaruh (Harris dan

Karmas, 1989).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diambil

yaitu, Gambaran Ketepatan Standar Porsi Dan Perubahan Berat Mentah Masak

Pada Lauk Hewani Dan Nabati Di Instalasi Gizi RSUD Banyumas?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran ketepatan standar porsi dan perubahan berat

mentah masak pada lauk hewani dan nabati di instalasi gizi RSUD

Banyumas

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran ketepatan standar porsi pada lauk hewani dan

nabati di instalasi gizi RSUD Banyumas

b. Mengetahui gambaran perubahan berat mentah masak pada lauk hewani

dan nabati di instalasi gizi RSUD Banyumas

3
D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan

tentang gambaran ketepatan standar porsi dan perubahan berat mentah masak

pada lauk hewani dan nabati di instalasi gizi RSUD Banyumas

2. Bagi petugas penyelenggaraan makanan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan tentang

ketepatan standar porsi bahan makanan lauk hewani dan nabati, dan perubahan

berat mentah masak di instalasi gizi RSUD Banyumas.

3. Manfaat bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan menambah

informasi yang bermanfaat, serta memberikan masukan kepada rumah sakit

tentang ketepatan standar porsi, perubahan berat mentah masak pada lauk

hewani dan nabati , upaya meningkatkan citra pelayanan gizi rumah sakit.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian tentang gambaran ketepatan standar porsi dan perubahan berat

mentah masak pada lauk hewani dan nabati di instalasi gizi RSUD Banyumas,

dilakukan pada tanggal 10 Maret 2015. Beberapa referensi yang digunakan

sebagai acuan dalam pembuatannya yaitu Gambaran berat mentah dan matang

lauk hewani di instalasi gizi RSUD Sukoharjo tahun 2009 (Tri Hastuti). Hal yang

membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah variabel yang di

gunakan, dan tempat.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pelayanan Gizi Rumah Sakit

Pelayanan gizi di rumah sakit adalah pelayanan yang diberikan dan

disesuaikan dengan keadaan pasien berdasarkan keadaan klinis, status gizi, dan

status metabolisme tubuh. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses

penyembuhan penyakit, sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh

terhadap keadaan gizi pasien. Sering terjadi kondisi pasien yang semakin buruk

karena tidak tercukupinya kebutuhan zat gizi untuk perbaikan organ tubuh. Fungsi

organ yang terganggu akan lebih memburuk dengan adanya penyakit dan

kekurangan gizi. Selain itu masalah gizi lebih dan obesitas erat hubungannya

dengan penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, penyakit jantung koroner,

hipertensi, dan penyakit kanker, memerlukan terapi gizi untuk membantu

penyembuhannya. Terapi gizi atau terapi diet adalah bagian dari perawatan

penyakit atau kondisi klinis yang harus diperhatikan agar pemberiannya tidak

melebihi kemampuan organ tubuh untuk melaksanakan fungsi metabolisme.

Terapi gizi harus selalu disesuaikan dengan perubahan fungsi organ. Pemberian

diet pasien harus dievaluasi dan diperbaiki sesuai dengan perubahan keadaan

klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium, baik pasien rawat inap maupun rawat

jalan. Upaya peningkatan status gizi dan kesehatan masyarakat baik di dalam

maupun di luar rumah sakit, merupakan tugas dan tanggung jawab tenaga

kesehatan, terutama tenaga gizi (Kemenkes, 2013)

5
a. Tujuan Pelayanan Gizi Rumah Sakit

Tujuan umum :

Terciptanya sistem pelayanan gizi yang bermutu dan paripurna sebagai bagian

dari pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Tujuan khusus :

Tujuan khusus meningkatkan:

1. Menyelenggarakan Asuhan Gizi terstandar pada pelayanan gizi rawat jalan

dan rawat inap

2. Menyelenggarakan Makanan sesuai standar kebutuhan gizi dan aman

dikonsumsi.

3. Menyelenggarakan penyuluhan dan konseling gizi pada klien/pasien dan

keluarganya

4. Menyelenggarakan penelitian aplikasi di bidang gizi dan dietetik sesuai

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Tujuan tersebut dapat dicapai bila tersedia tenaga pelayanan gizi yang

mempunyai kompetensi dan kemampuan sebagai berikut :

1. Melakukan pengkajian gizi ,faktor yang berpengaruh terhadap gangguan

gizi dan status gizi dengan cara anamnesis diet

2. Menegakkan diagnosis gizi berdasarkan hasil pemeriksaan yang

dilakukan.

3. Menentukan tujuan dan merencanakan intervensi gizi dengan menghitung

kebutuhan zat gizi, bentuk makanan, jumlah serta pemberian makanan

yang sesuai dengan keadaan pasien.

6
4. Merancang dan mengubah preskripsi diet, dan menerapkannya mulai dari

perencanaan menu sampai menyajikan makanan.

5. Memberikan pelayanan dan penyuluhan gizi dan konseling gizi pada

pasien dan keluarganya.

6. Mengelola sumberdaya dalam pelayanan penyelenggaraan makanan bagi

konsumen di rumah sakit.

7. Melakukan penelitian dan pengembangan gizi sesuai perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi.

8. Menyelenggarakan administrasi pelayanan gizi.

b. Mekanisme Pelayanan Gizi Rumah Sakit

Pengorganisasian Pelayanan Gizi Rumah Sakit mengacu pada SK Menkes

Nomor 983 Tahun 1998 tentang Organisasi Rumah Sakit dan Peraturan

Menkes Nomor 1045/MENKES /PER/XI/2006 tentang Pedoman Organisasi

Rumah Sakit di lingkungan Departemen Kesehatan.

Kegiatan Pelayanan Gizi Rumah Sakit, meliputi:

1) Asuhan Gizi Rawat Jalan

2) Asuhan Gizi Rawat Inap

3) Penyelenggaraan Makanan

4) Penelitian dan Pengembangan

7
B. Penyelenggaaan Makanan Institusi

a. Pengertian

Penyelenggaraan makanan adalah serangkaian kegiatan yang merupakan

suatu sistem mencakup kegiatan atau sub sistem penyusunan anggaran belanja

makanan, perencanaan menu, pembuatan taksiran bahan makanan, penyediaan

atau pembelian bahan makanan, penerimaan, penyimpanan dan penyaluran

bahan makanan, persiapan dan pemasakan bahan makanan, penilaian dan

distribusi makanan, pencatatan dan pelaporan serta evaluasi yang dilaksanakan

dalam rangka penyediaan makanan bagi kelompok masyarakat di institusi.

(Depkes RI,2006).

b. Tujuan Penyelenggaraan Makanan Institusi

Tujuan penyelenggaraan makanan institusi adalah tersedianya makanan

yang memuaskan bagi klien dengan manfaat setinggi-tingginya bagi institusi.

Secara khusus institusi dituntut untuk :

1) Menghasilkan makanan dengan kualitas baik, dipersiapkan dan dimasak

dengan layak.

2) Pelayanan cepat dan menyenangkan.

3) Menu seimbang dan bervariasi.

4) Harga layak, serasi dengan pelayanan yang diberikan

5) Standar kebersihan dan sanitasi yang tinggi (Mukrie, 1990)

c. Bentuk Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit

Bentuk penyelenggaraan makanan di RS meliputi :

8
1) Sistem Swakelola

Pada penyelenggaraan makanan RS dengan system swakelola, instalasi

gizi atau unit gizi bertanggung jawab terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan

penyelenggaraan makanan. Dalam system swakelola ini, seluruh sumber

daya yang diperlukan (tenaga, dana, metoda, sarana dan prasarana)

disediakan oleh pihak RS. Pada pelaksanaannya Instalasi Gizi/Unit Gizi

mengelola kegiatan gizi sesuai fungsi manajemen yang dianut dan mengacu

pada Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit yang berlaku dan menerapkan

Standar Prosedur yang ditetapkan.

2) Sistem Diborongkan ke Jasa Boga (Out-sourcing).

Sistem diborongkan yaitu penyelengaraan makanan dengan

memanfaatkan perusahaan jasa boga atau catering untuk penyediaan

makanan RS. Sistem diborongkan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu

diborongkan secara penuh (full out-sourcing) dan diborongkan hanya

sebagian (semi out-sourcing). Pada sistem diborongkan sebagian,

pengusaha jasaboga selaku penyelenggara makanan menggunakan sarana

dan prasarana atau tenaga milik RS. Pada sistem diborongkan penuh,

makanan disediakan oleh pengusaha jasa boga yang ditunjuk tanpa

menggunakan sarana dan prasarana atau tenaga dari RS. Dalam

penyelenggaraan makanan dengan sistem diborongkan penuh atau sebagian,

fungsi Dietisien RS adalah sebagai perencana menu, penentu standar porsi,

pemesanan makanan, penilai kualitas dan kuantitas makanan yang diterima

sesuai dengan spesifikasi hidangan yang ditetapkan dalam kontrak.

9
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

715/Menkes/SK/V/2003 tentang Prasyarat Kesehatan Jasa Boga disebutkan

bahwa prasyarat yang dimiliki jasa boga untuk golongan B termasuk Rumah

Sakit yaitu :

a. Telah terdaftar pada Dinas Kesehatan Propinsi setempat

b. Telah mendapat ijin Penyehatan Makanan Golongan B dan memiliki

tenaga Ahli Gizi/Dietisien

c. Pengusaha telah memiliki sertifikat kursus Penyehatan Makanan

d. Semua karyawan memiliki sertifikat kursus Penyehatan Makanan

e. Semua karyawan bebas penyakit menular dan bersih

3) Sistem Kombinasi

Sistem kombinasi adalah bentuk sistem penyelenggaraan makanan

yang merupakan kombinasi dari sistem swakelola dan system diborongkan

sebagai upaya memaksimalkan sumberdaya yang ada. Pihak rumah sakit

dapat menggunakan jasaboga/catering hanya untuk kelas VIP atau makanan

karyawan, sedangkan selebihnya dapat dilakukan dengan swakelola.

C. Standar Makanan

Standar makanan adalah susunan macam atau contoh bahan makanan serta

standar porsi yang digunakan sebagai standar dalam sistem penyelenggaraan

makanan institusi, disesuaikan dengan dana yang tersedia dan kecukupan gizi.

Standar makanan terdiri dari standar makanan diet khusus dan non-diet. Makanan

lunak merupakan salah satu makanan non diet (Aritonang, 2012).

10
1. Standar Menu

Standar menu disusun secara periodik 6 bulan sekali, yang siklus menunya

10 hari + menu 31. Menurut Moehyi (1992), menu yang dianggap lazim di

semua daerah di Indonesia umumnya terdiri dari susunan hidangan sebagai

berikut:

a. Hidangan makanan pokok yang umumnya terdiri dari nasi. Disebut

makanan pokok karena dari makanan inilah tubuh memperoleh

sebagian besar zat gizi yang diperlukan tubuh.

b. Hidangan lauk-pauk, yaitu masakan yang terbuat dari bahan makanan

hewani atau nabati atau gabungan keduanya.

c. Hidangan berupa sayur-mayur.

d. Hidangan yang terdiri dari buah-buahan.

2. Standar Porsi

Standar porsi adalah rincian macam dan jumlah bahan makanan dalam

jumlah bersih setiap hidangan. Dalam penyelenggaraan makanan orang

banyak, diperlukan adanya standar porsi untuk setiap hidangan, sehingga

macam dan jumlah hidangan menjadi jelas.Porsi yang standar harus

ditentukan untuk semua jenis makanan dan penggunaan peralatan seperti

sendok sayur, centong, sendok pembagi harus distandarkan.

3. Standar resep

Standar resep adalah resep yang telah dites/ dicoba berulang-ulang dinilai

citarasanya oleh panelis (konsumen dan manajemen).

11
4. Standar bumbu

Standar bumbu adalah komposisi bumbu yang telah dibakukan dan

diberlakukan di institusi dalam rangka penyeragaman rasa hidangan (bumbu

dasar).

D. Bentuk – bentuk Makanan di Rumah Sakit

Bentuk makanan di rumah sakit disesuaikan dengan keadaan pasien. Menurut

Almatsier (2004) makanan orang sakit dibedakan dalam : makanan biasa,

makanan lunak, dan makanan cair.

1) Makanan biasa Makanan biasa sama dengan makanan sehari-hari yang

beraneka ragam, bervariasi dengan bentuk, tekstur dengan aroma yang normal.

Susunan makanan mengacu pada pola makanan seimbang dan angka

kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan bagi orang dewasa sehat.Makanan

biasa diberikan kepada pasien yang tidak memerlukan diet khusus

berhubungan dengan penyakitnya, makanan sebaiknya diberikan dalam bentuk

yang mudah cerna, dan tidak merangsang saluran cerna.

2) Makanan lunak Makanan lunak adalah makanan yang memiliki tekstur

yang mudah dikunyah, ditelan dan dicerna, makanan ini cukup kalori, protein

dan zat-zat gizi lainnya.Menurut keadaan penyakitnya makanan lunak dapat

diberikan langsung kepada pasien atau sebagai perpindahan dari makanan

saring ke makanan biasa.Makanan lunak diberikan kepada pasien sesudah

operasi tertentu, pasien dengan penyakit infeksi dengan kenaikan suhu tubuh

tidak terlalu tinggi.

12
3) Makanan saring Makanan saring adalah makanan semi padat yang

mempunyai tekstur lebih halus dari makanan lunak, sehingga lebih mudah

ditelan dan dicerna.Makanan saring diberikan kepada pasien sesudah

mengalami operasi tertentu, pada infeksi akut termasuk infeksi saluran cerna,

serta pada pasien dengan kesulitan mengunyah dan menelan.Menurut keadaan

penyakit, makanan saring dapat diberikan langsung kepada pasien atau

perpindahan dari makanan cair kental ke makanan lunak.

4) Makanan cair Makanan cair adalah makanan yang mempunyai konsistensi

cair hingga kental.Makanan ini diberikan kepada pasien yang mengalami

gangguan mengunyah, menelan dan mencernakan makanan yang disebabkan

oleh menurunnya kesadaran, suhu tinggi, rasa mual, muntah.Pasca pendarahan

saluran cerna, serta pra dan pasca bedah makanan dapat diberikan secara oral

atau parenteral (Almatsier, 2007).

E. Perubahan Berat (Susut Masak)

Susut masak (SM) merupakan fungsi dari suhu dan lama pemasakan. Susut

masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang

potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging,

dan penampang lintang daging (Soeparno, 2005). Berdasarkan hasil penelitiaan

rataan susut masak pada umumnya bervariasi antara 1,5-54,5% (Bouton et al.,

1978).

Menurut Lawrie (2003), susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan lama

pemasakan. Semakin tinggi temperatur pemasakan dan semakin lama waktu

pemanasan maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai men-

13
capai tingkat yang konstan. Daya mengikat air berkaitan dengan susut masak.

Aberle et al. (2001) menyebutkan bahwa daya mengikat air dari jaringan otot

mempunyai efek langsung terhadap penyusutan selama pemasakan. Ketika daya

mengikat air rendah, daging akan kehilangan cairan, dan sebagai akibatnya,

kehilangan berat selama penyusutan adalah besar.

F. Lauk Hewani

Lauk hewani merupakan sumber protein yang kaya akan asam amino esensial,

tidak dapat disintesis dalam tubuh. Lauk hewani berfungsi untuk pertumbuhan

dan perkembangan organ-organ sehingga harus ada dalam makanan. Bahan

makanan hewani adalah daging, telur, ikan dan ayam. Daging dan telur termasuk

bahan hewani yang merupakan sumber protein kaya akan asam amino esensial.

Ayam termasuk bangsa burung atau unggas yang paling populer sekarang ini

karena harganya relatif murah, rasanya cukup lezat, serta berbagai cara

pengolahan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Ikan menjadi hidangan

utama masyarakat didaerah pantai atau aliran sungai karena ketersediannya

melimpah (Uripi, 2002). Bahan makanan hewani adalah bahan makanan yang

berupa atau berasal dari hewan atau produk-produk yang diolah dengan

menggunakan bahan dasar asal hewan. Pangan hewani mempunyai berbagai

keunggulan dibanding pangan nabati. Pertama, pangan hewani terasa gurih atau

enak karena mengandung protein dan lemak yang banyak. Kedua, pangan hewani

mengandung protein yang lebih berkualitas karena mudah digunakan tubuh dan

memiliki komposisi asam amino yang lengkap (Hardinsyah 2008). Ketiga, pangan

hewani mengandung berbagai zat gizi mineral yang tinggi dan mudah digunakan

14
oleh tubuh. Misalnya kalsium pada susu, zat besi, zink dan selenium yang banyak

di dalam daging, hati dan telur. Kalsium dan zink berperan dalam pertumbuhan

dan berbagai proses dalam tubuh. Zat besi bersama zat gizi lainnya berperan

dalam pembentukan sel-sel darah merah hemoglobin. Hemoglobin berguna untuk

membawa oksigen ke seluruh bagian tubuh. Bila kadar hemoglobin rendah

(anemia) maka tubuh kekurangan oksigen, badan menjadi lemah, konsentrasi

belajar dan stamina atau produktivitas kerja menjadi menurun (Hardinsyah 2008).

Keempat, pangan hewani mengandung zat gizi vitamin yang unik. Misalnya

vitamin A dalam hati dan kuning telur yang mudah digunakan tubuh. Kemudian

vitamin B12 yang tidak terdapat pada pangan nabati. Vitamin B12 yang kaya

dalam pangan hewani berperan penting dalam pembentukan sel darah merah yang

enangkap oksigen bagi tubuh dan dalam pembentukan myelin syaraf (Hardinsyah

2008). Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam-asam amino yang

dikandungnya. Pola asam amino pada protein hewani merupakan yang terbaik

untuk memenuhi kebutuhan manusia karena polanya menyerupai pola kebutuhan

asam amino manusia. Oleh karena itu, apabila pangan hewani digunakan sebagai

sumber protein tunggal dalam jumlah memenuhi kebutuhan manusia maka ia

memberikan semua asam-asam amino esensial dalam jumlah cukup. Kelebihan

asam-asam amino esensial dapat digunakan untuk mensintesis asam-asam amino

nonesensial. Pangan sumber protein hewani adalah daging, ayam, ikan, telur,

susu, dan produk olahannya (Riyadi 2006).

15
G. Lauk Nabati

Lauk nabati merupakan bahan makanan yang bersumber dari protein nabati.

Bahan makanan ini terdiri atas golongan kacang – kacangan dan hasil olahannya,

seperti tempe dan tahu. Sumber protein nabati juga lebih murah harganya

dibandingkan dengan sumber protein hewani (Ahmacd Djaeni Sediaoetama,

1989). Protein kacang – kacangan mempunyai nilai gizi lebih rendah

dibandingkan dengan protein dari jenis daging (protein hewani). Kalau protein

hewani termasuk kualitas lengkap (kualitas sempurna), maka protein kacang –

kacangan hanya mencapai nilai kualitas setengah sempurna, bahkan banyak yang

berkualitas protein tidak sempurna (protein tidak lengkap) (Ahmacd Djaeni

Sediaoetama, 1989). Sumber protein nabati juga lebih murah harganya

dibandingkan dengan sumber protein hewani, sehingga terjangkau oleh daya beli

sebagian besar masyarakat. Karena itu di negara –negara Barat sumber protein

kacang – kacangan disebut juga bersumber “protein si miskin” (poor man’s

protein) atau “daging si miskin”. Namun ini kurang menguntungkan

menyebabkan kacang – kacangan diberi nilai sosial rendah, sehingga tidak begitu

disukai oleh masyarakat dari golongan penghasilan tinggi atau menengah

(Ahmacd Djaeni Sediaoetama, 1989).

16
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan

mengamati ketepatan standar porsi dan perubahan berat mentah masak pada lauk

hewani dan nabati di Instalasi Gizi RSUD Banyumas.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 10 Februari 2015 di dapur Instalasi

Gizi RSUD Banyumas.

C. Populasi dan Sampel

a. Pupulasi

Populasi pada penelitian ini yaitu seluruh bahan makanan lauk hewani dan

nabati yang di hidangkan dalam satu hari. Terdiri dari ayam, bakso, sosis,

telur ayam, tahu, tempe, kerupuk.

b. Sampel

Sampel pada penelitian ini yaitu 10% dari jumlah bahan makanan lauk

hewani dan nabati terdiri dari ayam, bakso, sosis, telur ayam, tahu, tempe,

kerupuk yang di produksi pada saat itu.

17
c. Teknik Sampling

Cara pengambilan sampel atau teknik sampling pada penelitian ini yaitu

menggunakan accidental sampling merupakan teknik pengambilan sampel

yang dilakukan terhadap sampel yang secara kebetulan di dapat ketika

penelitian berlangsung dengan pertimbangan populasinya bervariasi, berbeda

karakteristiknya dan bersifat heterogen. Maka sampel yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu 10% dari jumlah bahan yang di produksi dengan

pertimbangan bahwa jumlah sampel tersebut cukup refresentatif untuk

mewakili populasi.

D. Variabel dan Defiisi Operasional

Variabel : Ketepatan standar porsi

Definisi : Berat tiap bahan makanan dari penimbangan berat

Operasional mentah lauk hewani dan nabati kemudian

membandingkan dengan standar porsi yang ada

Cara Ukur : Penimbangan

Alat Ukur : Timbangan makanan digital kapasitas 5 kg dengan

ketelitian 0,1 gram

Hasil Ukur : 1. Sesuai jika hasil persentase berat lauk hewani dan

nabati terhadap standar porsi dan dikalikan 100%

hasilnya antara 90-110%

2. Tidak Sesuai jika hasil persentase berat lauk

hewani dan nabati terhadap standar porsi dan

18
dikalikan 100% hasilnya kurang dari 90% atau

lebih dari 110%

(Luciany, 2011)

Skala : Nominal

Variabel : Perubahan Berat

Definisi Pengurangan atau penambahan berat bahan lauk

Operasional : hewani dan nabati yang telah di timbang dari bahan

mentah ke bahan matang

Cara Ukur : Penimbangan

Alat Ukur : Timbangan makanan digital kapasitas 5 kg dengan

ketelitian 0,1 gram

Hasil Ukur : -

Skala : Nominal

E. Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis Data

a. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini merupakan data hasil penimbangan

lauk hewani dan nabati.

b. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah standar porsi rumah sakit.

19
2. Cara Pengumpulan Data

a. Data Primer

Data primer diperoleh dari penimbangan berat mentah dan matang lauk

hewani dan nabati kemudian untuk ketepatan porsi membandingkan

dengan standar porsi yang ada.

b. Data sekunder

Data sekunder diperoleh melalui pengamatan langsung.

c. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan

makanan digital yang digunakan untuk menimbang lauk hewani dan

lauk nabati serta strandar porsi yang ada.

F. Pengolahan dan Analisis Data

1. Teknik Pengolahan Data

1) Ketepatan standar porsi

Berat yang di timbang


Ketepatan standar porsi= x 100 %
Standar Porsi

Keterangan : Sesuai 90−110 %

Tidak Sesuai <90% dan >110%

2) Perubahan Berat

Berat yang hilang (penyusutan berat) selama pemasakan, atau yang

lazim disebut cooking loss (susut masak) dapat diketahui dengan

perhitungan sebagai berikut : (Soeparno, 2005).

20
Susut masak (%)

berat sebelum dimasak −berat setelah dimasak


= x 100%
berat sebelum dimasak

2. Teknik Analisis Data

Analisis Univariate

Analisis univariate bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik variabel penelitian. Analisis ini digunakan untuk

memperoleh gambaran bagaimana hasil evaluasi ketepatan berat

mentah dengan standar porsi yang ada dan berapa banyak perubahan

berat mentah ke berat matang dari setiap bahan makanan lauk hewani

dan nabati.

21
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umun RSUD Banyumas

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banyumas berada di jalan Jl. Rumah

Sakit No. 01 Banyumas. RSUD Banyumas merupakan suatu institut

penyelenggara pelayanan kesehatan. Tugas Pokok Rumah Sakit Umum

Banyumas yaitu melaksanakan upaya kesehatan secara efektif dan efisien

dengan mengutamakan upaya penyembuhan serta pemulihan yang dilaksanakan

secara serasi, terpadu dengan upaya paningkatan dan pencegahan serta

melaksanakan upaya rujukan; melaksanakan pelayanan yang bermutu sesuai

standar pelayanan rumah sakit, yang bertanggungjawab terhadap kualitas

pelayanan yang sesuai dengan standar, etika dan tercapainya tujuan rumah sakit.

Salah satu pelayanan yang ada di Rumah Sakit Banyumas adalah pelayanan gizi.

Dalam pelayanan gizi Rumas Sakit terdapat beberapa pelayanan yaitu

Pelayanan Gizi untuk pasien rawat inap dan konsultasi gizi untuk pasien rawat

inap dan rawat jalan dan salah satu pelayanan dalam instalasi gizi ini yaitu

penyelenggaraan makanan.

B. Ketepatan Standar Porsi

Penelitian tentang ketepatan standar porsi di lakukan dalam satu hari untuk

setiap bahan makanan lauk hewani dan nabati. Kesesuaian porsi lauk hewani dan

nabati dengan standar porsi dilihat dari porsi (berat) mentah lauk hewani dan

22
nabati dibandingkan dengan standar porsi yang telah di tetapkan di RSUD

Banyumas. Untuk sampel pada penelitian ini di ambil 10% dari berat lauk

hewani dan nabati yang di sajikan pada saat penelitian berlangsung. Kesesuaian

porsi lauk hewani dihitung dari berat mentah porsi lauk hewani kemudian dibagi

dengan standar porsi dan dikalikan 100%. Jika hasil persentase antara 90-119%

dikatakan sesuai, namun jika kurang dari 90% atau lebih dari 119% maka

dikatakan tidak sesuai (Luciany, 2011).

Pada penelitian ini untuk populasi dan sampel yang di gunakan yaitu :

Tabel 1. Berat Populasi dan Sampel

Berat Populasi Berat Sampel Jumlah Sampel


Bahan Makanan
(gr/ptng/btr/bh) (gr/ptng/btr/bh) (p)
Sosis 7000 gr 700 gr 15
Bakso 7000 gr 700 gr 15
Ayam 145 ptng 15 ptng 15
Daging 145 ptng 15 ptng 15
Telur 170 butir 17 butir 17
Tahu A 160 bh 16 bh 16
Tahu B 260 bh 26 bh 13
Tempe A 150 ptng 15 ptng 15
Kerupuk 300 porsi 30 porsi 30

Berdasarkan tabel 1 untuk jumlah sampel yang di ambil yaitu 13 – 15 porsi

makanan, dan untuk kerupuk 30 porsi makanan. Berat sampel di dapat dari 10%

berat populasi. Untuk memudahkan dalam penetapan sampel jumlah sampel di

hitung berdasarkan porsi per bahan makanan.

23
Hasil ketepatan standar porsi lauk hewani dan nabati adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Ketepatan standar porsi lauk hewani dan nabati

Bahan Jumlah Berat Standar Persentase Hasil


Makanan Sampel Mentah Porsi (%)
(gr) (gr)
Sosis 15 p 48 50 96% Sesuai
Bakso 15 p 48 50 96% Sesuai
Ayam 15 p 100 100 100% Sesuai
Daging 20 p 44 45 98% Sesuai
Telur 17 p 66 55 121% Sesuai
(Dengan
Cangkang)
Tahu A 16 p 95 100 95% Sesuai
Tahu B 13 p 76 100 78% Tidak sesuai
Tempe 15 p 50 50 99% Sesuai
Kerupuk 30 p 10,5 10 105% Sesuai

Gambar 1. Ketepatan Standar Porsi

Ketepatan Standar Porsi


88.80%

11.20%

Sesuai Tidak Sesuai

Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa ketepatan bahan makanan dan

standar porsi pada lauk hewani dan nabati, sebagian besar sudah sesuai yaitu

88,8% sedangkan 11,2% belum sesuai dengan standar porsi Rumah Sakit yaitu

pada tahu B.

24
C. Pembahasan

Penyelenggaraan makanan rumah sakit adalah suatu rangkaian kegiatan

mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada

konsumen, dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui

pemberian diet yang tepat. Dalam hal ini termasuk kegiatan pencatatan,

pelaporan dan evaluasi. (Depkes RI, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian di atas pada variabel ketepatan porsi, dapat

diketahui bahwa untuk lauk hewani dan lauk nabati kebanyakan memiliki berat

yang sesuai dengan standar porsi Rumah Sakit lauk hewani dan nabati.

Hasil analisis menunjukan untuk kesesuaian standar porsi berdasarkan

bahan makanan yang di teliti pada lauk hewani dan nabati yaitu 88,8% sudah

sesuai dengan standar porsi bahan makanan rumah sakit, namun 11,2% belum

sesuai yaitu tahu B. Untuk telur ayam hasil penimbangan 121% dari standar

porsi namun di katakan sesuai karena pada saat penimbangan masih terdapat

cangkang pada telur, untuk berat pada tahu tidak sesuai di karenakan alat

pencetakan pada tahu oleh distributor berbeda dengan spesifikasi tahu di

instalasi gizi RSUD Banyumas.

D. Perubahan Berat Mentah Masak

Pada perubahan berat mentah masak di lakukan dengan cara menimbang

10% sampel bahan makanan yang di masak saat itu, dengan menggunakan

sampel lauk hewani dan nabati yaitu sosis, bakso, ayam, daging, kerupuk, tahu

A, tahu B dan tempe lalu sampel 10% di rata-ratakan.

25
Hasil perhitungan berat mentah masak sebagai berikut :

Tabel 3. Penambahan berat mentah masak

Berat Berat
Bahan Perubahan
Bersih Masak %Penambahan
Pangan Berat
(gr) (gr)
Sosis
48,1 49,5 +1,4 -3%
(Oseng)
Bakso
48,7 50,6 + 1,9 -4%
(Oseng)
Tempe
52,6 57,1 + 4,5 -9%
(semur)

Kerupuk
10,5 13,03 + 2,53 -24%
Goreng

Tabel 4. Penyusutan berat mentah masak dan penyerapan minyak

Berat Berat Minyak


Perubahan
Bahan Pangan Bersih Masak %Penyusutan Terserap
Berat
(gr) (gr) (gr)
Ayam
100,2 66,2 - 34 34% 16,032
(Goreng)
Ayam
97,1 88,3 - 8,8 9%
(semur)
Daging
44,8 28,4 - 16,4 37%
(Semur)
Tahu A
95,1 89,8 - 5,3 6% 10,5561
(Goreng)
Tahu B
77,6 73 - 4,6 6%
(Semur 2 buah)
Tempe
50,5 45,6 - 4,9 10% 12,12
(Goreng)

26
E. Pembahasan

Prubahan berat mentah masak yaitu penambahan atau penguranagn bahan

makanan mentah menjadi makanan masak setelah di lakukannya pengolahan.

Beberapa pengolahan bahan makanan biasanya di goreng, di tumis, di bacem dll.

Sedangkan, Daftar Konversi Penyerapan Minyak (DKPM) merupakan daftar

yang berisi tentang penyerapan pada mkanan masak (makanan jadi) terdapat

beberapa zat tambahan seperti minyak yang terserap pada setiap makanan pada

saat makanan tersebut diolah (digoreng, ditumis, dibacem atau lain-lainnya) atau

penggunaan santan untuk makanan tertentu dan sebagainya. Untuk menghitung

nilai zat gizi makanan tersebutdengan minyak goreng yang digunakan.

Untuk perubahan berat setelah bahan makanan dilakukan pengolahan dari

beberapa bahan makanan lauk hewani dan nabati terdapat beberapa perubahan

baik penambahan berat maupun pengurangan berat makanan hal ini di pengruhi

oleh cara pengolahan, kadar air, suhu dan bahan makanan itu sendiri.

Bahan makanan sosis di olah menjadi oseng sosis cabe ijo, tahapan

pengolahannya pertama sosis di goreng terlebih dahulu dan selanjutnya sosis di

oseng dengan menambahkan air. Jumlah yang di jadikan sampel pada sosis yaitu

sebanyak 700 gram atau 15 porsi. Untuk bahan makanan sosis mengalami

penambahan berat sebanyak 1,4 gram atau 3%, hal ini di akibatkan penurunan

kadar air pada sosis kurang, penambahan minyak saat penggorengan dan suhu

pada saat pemasakan serta penambahan bahan-bahan lain atau bumbu-bumbu

yang di gunakana pada pengolahan oseng sosis.

27
Bahan makanan hewani untuk bakso sama halnya seperti pada sosis bakso

di olah menjadi oseng bakso cabe ijo, namun pada bakso tidak di goreng terlebih

dahulu. Untuk bahan makanan pada bakso juga mengalami penambahan berat

dari mentah ke masak, bakso mengalami penambahan berat sebanyak 1,9 gram

atau 4%, hal ini sama seperti pada sosis penambahan di pengaruhi oleh

penurunan kadar air pada bakso kurang, suhu pemasakan, dan adanya

penambahan air saat pemasakan dan juga adanya penambahan bahan-bahan lain,

atau bumbu-bumbu yang di gunakan.

Bahan makanan ayam terdapat 2 proses pengolahan yaitu pengolahan ayam

dengan di goreng dan pengolahan ayam di rebus (ayam bb. Cbe ijo) dan

keduanya mengalami penurunan berat metah masak atau mengalami penyusutan

namun pengolahan ayam yang di goreng mengalami penyusutan lebih besar di

banding dengan pengolahan ayam yang di rebus. Untuk pengolahan ayam yang

di goreng mengalami penyusutan berat sebanyak 34 gram atau 34% untuk ayam

dengan pengolahan di goreng penyusutan berat terjadi karena pada saat

penggorengan bahan pangan perpindahan molekul antara minyak dengan bahan

pangan sehingga berat masak bahan pangan lebih kecil daripada berat masaknya

seharusnya berat masak lebih besar daripada berat mentah karena penyerapan

minyak dan uap airnya. Selain itu juga penyusutan bisa terjadi karena api pada

saat menggoreng, minyak yang digunakan kurang dan api terlalu besar sehingga

penyerapan minyak sedikit dan juga pada saat penggorengan bahan pangan

kurang lama sehingga uap air yang diserap sedikit. penyusutan berat pada ayam

goreng juga di karenakan kadar air yang berkurang atau hilang. Untuk ayam

28
semur penyusutan berat masak karena hilangnya air bersama-sama dengan uap

air saat dilakukan proses pengolahan.

Bahan makanan daging sapi di olah dengan cara di semur dan mnjadi menu

daging bumbu bistik, namun pada daging sapi mengalami penyusutan yang besar

dan perubahan berat mentah masaknya banyak, penyusutan pada daging sapi

sebanyak 16,4gram atau 37% hal ini di karenakan serat otot dan penyusutan

kolagen. Menurut Lawrie (2003), susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan

lama pemasakan. Semakin tinggi temperatur pemasakan dan semakin lama

waktu pemanasan maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai

men-capai tingkat yang konstan. Aberle et al. (2001) menyebutkan bahwa daya

mengikat air dari jaringan otot mempunyai efek langsung terhadap penyusutan

selama pemasakan. Ketika daya mengikat air rendah, daging akan kehilangan

cairan, dan sebagai akibatnya, kehilangan berat selama penyusutan adalah besar.

Bahan makanan lauk nabati juga sama dengan lauk hewani. Pada bahan

makanan tahu baik tahu A maupun tahu B mengalami penyusutan berat mentah

masak pada tahu A di olah dengan cara di goreng dan pada tahu B di olah

dengan cara di bacem, namun keduanya mengalami penyusutan kedua tahu ini

mengalami penyusutan sebanyak 6% hal ini karena pada tahu mengandung

banyak kadar air sehinga penyerapan minyak sedikit, penyusutan berat mentah

masak pada tahu juga di pengaruhi oleh suhu pemasakan, lama pemasakan dan

daya serap terhadap minyak sedikit. Kadar air pada tahu lebih banyak dan

penyerapan airnya kurang sehingga penyusutannya tidak banyak.

29
Bahan makanan lauk nabati untuk tempe terdapat 2 pengolahan yaitu tempe

goreng dan tempe bacem. Untuk tempe dengan pengolahan di goreng mengalami

perubahan berat atau penyusutan sebanyak 4,9 gram atau 10% hal ini di

karenakan pada tempe kadar airnya sedikit sehingga penyerapan minyak banyak,

sedangkan penyusurtan berat bisa terjadi karena kehilangan kadar air, suhu

waktu pemasakan yang tinggi juga karena waktu pemasakan yang lama. Untuk

tempe bacem mengalami penambahan berat yaitu sebanyak 2,1 gram atau 4%

hal ini karena pada proses pengolahan tempe yang di bacem banyak penambahan

bahan-bahan lain seperti bumbu-bumbu dan kecap yang di serap oleh tempe dan

pada tempe bacem di tambahkan air untuk penyerapan bumbu-bumbu.

Bahan makanan kerupuk bukan termasuk lauk hewani dan nabati tapi

merupakan lauk pauk, berdasarkan hasil penelitian pengalami penambahan berat

sebanyak 2,53 gram atau sebanyak 24% hal ini karena terdapat penyerapan

minyak pada kerupuk sehingga berat pada kerupuk bertambah.

Penyerapan minyak pada penelitian ini yang di hitung hanya bahan

makanan yang di goreng saja yaitu ayam goreng, tahu, tempe. Penyerapan

minyak pada ayam cukup banyak yaitu 16,032 gram hal ini karena daya serap

pada daging ayam lebih tinggi dan serat pada daging ayam juga sedikit sehingga

daya serap terhadap minyak juga banyak. Lalu penyerapan minyak pada tahu

yaitu 10,55 gram, pada tahu banyak mengandung kadar air sehingga penyerapan

minyakknya kurang, dan penyerapan minyak pada tempe sebanyak 12,12 gram

daya serap pada tempe juga tinggi di bandingkan tahu karena dalam tempe juga

kadar airnya sedikit sehingga penyerapan minyak lebih banyak.

30
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian, dari 9 bahan makanan lauk hewani dan

nabati hasil penimbangan berat mentah 88,8% sudah sesuai dengan

standar porsi instalasi gizi RSUD Banyumas, namun 11,2% belum

sesuai yaitu untuk bahan makanan tahu B.

2. Berdasarkan hasil penelitian, untuk perubahann berat pada lauk hewani

dan nabati sebagian bahan makanan mengalami penambahan berat

seperti pada sosis dengan pengolah di oseng sosis cabe ijo, bakso

semur, tempe bacem dan kerupuk dan sebagian bahan makanan

mengalami penambahan berat, dengan rata-rata 4%. Sedangkan pada

bahan makanan seperti ayam goreng, ayam bumbu cabe ijo, daging

bumbu bistik, telur, dan tahu mengalami penyusutan berat sekitar 6%

sampai 37%. Pada penyerapan minyak untuk bahan makanan yang di

goreng untuk ayam goreng sabanyak 16,03, penyerapan pada tahu

sebanyak 10,55 dan penyerapan minyak pada tempe yaitu 12,12.

3. Berdasarkan hasil penimbangan berat mentah pada bahan makanan tahu

didapat tidak sesuai (78%) dengan standar porsi bahan makanan di

Instalasi Gizi Banyumas.

31
B. Saran

1. Perlu adanya pengecekan kembali untuk bahan makanan saat

penerimaan yang tidak sesuai dengan berat porsi yang ada di instalasi

gizi RSUD Banyumas, dan di sesuai dengan spesifikasi yang ada.

2. Perlu adanya penyesuaian berat mentah sebelum pengolahan untuk

menghasilkan kesesuaian berat matang lauk hewani dan lauk nabati

dengan memperhatikan penyusutan ataupun penambahan berat saat

pemasakan berlangsung.

32
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita 2010. Pedoman Diit. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum.

Aritonang, Irianton. 2012. Penyelenggaraan Makanan. Yogyakarta : Jurusan Gizi


Poltekkes.

Harris dan Karmas, terj. Achmadi, Suminar, 1989. Evaluasi Gizi pada
Pengolahan Bahan Pangan : Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Kementrian Kesehatan RI. 2013 . Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS).
Jakarta : Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat.

Luciany, 2011. Hubungan Antara Jumlah Bahan Makanan Yang Diproduksi


Dengan Standar Porsi Yang Dihasilkan Pada Penyelenggaraan Makanan
Siang Di Pusat Pendidikan Artileri Medan (Pusdik Armed) Cimahi Tahun
2011. Skripsi. http://kangadil.files.wordpress.com/2013/06/lya-luciany-
mspmi-fr

Muchatob, E. 2001. Manajemen Pelayanan Gizi Makanan Kelompok. Jakarta:


SPAG Depkes RI.

Moehyi, S. 1992. Penyelenggaran Makanan Institusi Dan Jasa Boga. Jakarta :


Bhatara. Tersedia [Online]. http://digilib.unimus.ac.id

Pabita, G. 2011. Pengaruh Tingkat Penambahan Lemak Dan Isolat Protein


Kedelai (Ipk) Terhadap Kualitas Burger Dari Daging Sapi Bali. Skripsi,
Makasar: Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar

Wahid, A. Karakteristik Fisik Bakso Daging Sapi Bali Lokal Yang Difortifikasi
Dengan Ekstrak Sayuran Sebagai Pangan Fungsional. Skripsi, Makasar:
Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin

33

Anda mungkin juga menyukai