Anda di halaman 1dari 25

Kasus ke-2 tahun ke-2 (kasus ke-5)

Radiologi :
Rontgen Thorax
- Tidak tampak proses spesifik akif
- Kardiomegali tanpa bendungan paru
- Atherosklerosis aorta

Rontgen Thoracolumbal
- Saat ini tidak tampak kelainan
- Curve lurus vertebra thoracalis

NB  pedikel hilang th 9 ke bawah

Konsul IPD :
A : Hiponatremia et hipocalsemia ec suspek renal loss
Saat ini adanya infeksi belum dapat disingkirkan
P : Ca gluconas 4 gr dalam D5% 100cc habis 1 jam
IVFD Nacl 0,9% 2000kkal/24jam
Cek urine rutin
Rawat ruang biasa

I. Diagnosa Kerja
 Myeloradikulopathy thoracal setinggi segmen medula spinalis Th7 ec lesi extramed
extradural ec susp metastase dd/infeksi
 Hiponatremia et hipocalsemia ec intake kurang
 Susp Infeksi Saluran Kencing (Catheter Associated Urinary Tractus Infecion)
II. Penatalaksanaan
 O2 3Lpm nasal kanul prn
 IVFD Nacl 0.9% 2000cc/24jam
 Gabapentin 0-0-100mg po
 Paracetamol 3 x 500mg po
 Ca Gluconas 4gr dalam D5% 100cc habis 1 jam cek elektrolit post koreksi

1
III. Perjalanan Penyakit

Tgl Rawat Pemeriksaaan Tindakan


21s.d.23 R : 1-3 S: lemah kedua tungkai, nyeri (+),demam (+)  IVFD Nacl 0.9% 2000cc/24
-05- O: kesadaran :composmentis jam
2019 T: 100/60mmHg N: 84x/menit  Gabapentin 0-0-300mg po
R: 20x/menitS: 37,3°C  Paracetamol 3x500mg po
Status Neurologis:  Ciprofloxaxin 2x400mg iv
Rangsang Meningeal: Kaku kuduk (-  Ranitidin 2 x 50mg iv
),Laseque/Kernigsdn/sdn,  Rencana MRI thoracal
Brudzinski I/II/III/IV (-)/(-)/(-)/(-) dengan kontras
Saraf Kranial: Pupil bulat isokor
ODS3mm,Refleks cahaya +/+, GBM baik ke
segala arah
N.VII dan N.XII simetris
Motorik: 5 5 semua segmen
00
Sensorik:hipestesi setinggi Th 7 ke bawah
Vegetatif :kateter, retensio urin et alvi
Fungsi Luhur : baik
Sacral sparing : anal reflek menurun, saddle
hipestesi (+), toe flexi (-)
Refleks Superficial : -/- semua kuadran
Refleks Fisiologis: +2/+2 (BTR) +3/+3
(KPR, APR)
Refleks Patologis: -/- (Babinski)
Refleks Regresi: -/- (Palmomental)
Hemoglobin 12,7
Hematokrit 35,6
Leukosit 15.180
Eritrosit 4.36
Trombosit 202.000
Natrium 131
Kalium 3,6
Calsium 4,67
Urinalisa
Nitrit Positif
Leukosit Esterase 3+
Eritrosit 3+
Eritrosit 10-19
mikroskopis >50
Leukosit Ditemukan bakteri
mikroskopis batang
Bakteri
Dk :
 Myeloradikulopathy thoracal setinggi
segmen medula spinalis Th7 ec lesi
extramed extradural ec susp metastase
2
dd/infeksi
 Hiponatremia et hipocalsemia ec
intake kurang perbaikan
 Catheter Associated Urinary Tractus
Infection
24s.d.26 R : 4-6 S : lemah kedua tungkai, nyeri (+),demam (+)  IVFD Nacl 0.9% 1500cc/24
-05- O: kesadaran : composmentis jam
2019 T: 100/60mmHg N: 84x/menit  Gabapentin 0-0-300mg po
R: 20x/menit S: 36,8°C  Paracetamol 3 x 500mg po
Status Neurologis :  Ciprofloxaxin 2 x 400mg iv
Rangsang Meningeal: Kaku kuduk (-  Ranitidin 2 x 50mg iv
),Laseque / Kernig sdn/sdn,  MRI dapat jadwal tgl
Brudzinski I/II/III/IV (-)/(-)/(-)/(-) 18/6/2019
Saraf Kranial: Pupil bulat isokor ODS Follow up ke IPD :
3mm,Refleks cahaya +/+, GBM baik ke - Ciprofloxaxin stop
segala arah - Ceftriaxone 2 x 1gr iv
N.VII dan N.XIIsimetris
Motorik: 5 5 semua segmen
00
Sensorik:hipestesi setinggi Th 7 ke bawah
Vegetatif :kateter, retensio urin et alvi
Fungsi Luhur : baik
Sacral sparing : anal reflek menurun, saddle
hipestesi (+), toe flexi (-)
Refleks Superficial : -/- semua kuadran
Refleks Fisiologis: +2/+2 (BTR) +3/+3
(KPR, APR)
Refleks Patologis: -/- (Babinski)
Refleks Regresi: -/- (Palmomental)
CEA 0,02 (<5,0)
PSA 10,29 (<4,0)
LED
Hasil kultur urin E.Coli > 100.000
CFU/mL
Resisten
ciprofloxaxin
Sensitif dengan
ceftriaxone
Dk :
 Myeloradikulopathy thoracal setinggi
segmen medula spinalis Th7 ec lesi
extramed extradural ec susp metastase
dd/infeksi
 Hiponatremia et hipocalsemia ec
intake kurang perbaikan
 Catheter Associated Urinary Tractus

3
Infection

27s.d.29 R : 7-9 S : lemah kedua tungkai, nyeri (+) NRS 3-4,  IVFD Nacl 0.9% 1500cc/24
-05- demam (-) jam
2019 O: kesadaran : composmentis  Gabapentin 0-0-300mg po
T: 100/60mmHg N: 84x/menit  Natrium diclofenac
R: 20x/menit S: 36,8°C 2x50mg po
Status Neurologis :  Ceftriaxone 2 x 1gr iv
Rangsang Meningeal: Kaku kuduk (-  Ranitidin 2 x 50mg iv
),Laseque / Kernig sdn/sdn,
Brudzinski I/II/III/IV (-)/(-)/(-)/(-) Konsul Bedah Urologi :
Saraf Kranial: Pupil bulat isokor ODS A : retensio urin ec susp
3mm,Refleks cahaya +/+, GBM baik ke neurogenic bladder + orchitis
segala arah P : perbaikan keadaan umum
N.VII dan XIIsimetris bersama TS neurologi, USG
Motorik: 5 5 semua segmen KUB prostat dan scrotum
00 dopller, cek urinalisa 1 minggu
Sensorik:hipestesi setinggi Th 7 ke bawah lagi, cek PSA 1 minggu lagi
Vegetatif :kateter, retensio urin et alvi
Fungsi Luhur : baik
Sacral sparing : anal reflek menurun, saddle
hipestesi (+), toe flexi (-)
Refleks Superficial : -/- semua kuadran
Refleks Fisiologis: +2/+2 (BTR) +3/+3 (KPR,
APR)
Refleks Patologis: -/- (Babinski)
Refleks Regresi: -/- (Palmomental)
Hemoglobin 11,6
Hematokrit 34,1
Leukosit 7.810
Eritrosit 4.14
Trombosit 355.000
Ureum 11,0
Kreatinin 0,53
Dk :
 Myeloradikulopathy thoracal setinggi
segmen medula spinalis Th7 ec lesi
extramed extradural ec susp metastase
dd/infeksi
 Hiponatremia et hipocalsemia ec
intake kurang perbaikan
 Catheter Associated Urinary Tractus
Infection
 Orchitis dekstra

4
30sd.31- R : 10- S : lemah kedua tungkai, nyeri (+) NRS 3-4,  IVFD Nacl 0.9% 1500cc/24
05-2019 11 demam (-) jam
O: kesadaran : composmentis  Gabapentin 0-0-300mg po
T: 100/60mmHg N: 84x/menit  Natrium diclofenac
R: 20x/menit S: 36,8°C 2x50mg po
Status Neurologis :  Ceftriaxone 2 x 1gr iv
Rangsang Meningeal: Kaku kuduk (-  Ranitidin 2 x 50mg iv
),Laseque / Kernig sdn/sdn,  MRI dipercepat  hasil
Brudzinski I/II/III/IV (-)/(-)/(-)/(-) terlampir
Saraf Kranial: Pupil bulat isokor ODS  Perubahan intensitas
3mm,Refleks cahaya +/+, GBM baik ke signal corpus vertebra
segala arah th.9 yang hipointens
N.VII dan XII simetris pada T1W1 dan
Motorik: 5 5 semua segmen meningkat pada T2W1
00 dan memberikan
Sensorik:hipestesi setinggi Th 7 ke bawah enhancement pada
Vegetatif :kateter, retensio urin et alvi pemberian kontras ec
Fungsi Luhur : baik sugestif spondylitis.
Sacral sparing : anal reflek menurun, saddle  Protruded disc grade 3
hipestesi (+), toe flexi (-) intervertebralis cervical
Refleks Superficial : -/- semua kuadran 3-4,4-5 dan 5-6 disertai
Refleks Fisiologis: +2/+2 (BTR) +3/+3 herniasi nucleus
(KPR, APR) pulposus ke arah
Refleks Patologis: -/- (Babinski) posterior difus yang
Refleks Regresi: -/- (Palmomental) menekan canalis spinalis
Urinalisa dbn dan medula spinalis
Dk : bilateral
 Myeloradikulopathy thoracal setinggi
segmen medula spinalis Th7 ec lesi Lapor DPJP  jadwalkan sidik
extramed extradural ec susp infeksi etambutol, kontrol poli urologi.
 Hiponatremia et hipocalsemia ec Boleh pulang setelah ada
intake kurang perbaikan jadwal.
 Catheter Associated Urinary Tractus
Infection perbaikan
 Orchitis dekstra

01-06- R : 12 S : lemah kedua tungkai, nyeri (+) NRS 3-4,  Gabapentin 0-0-300mg po
2019 demam (-)  Natrium diclofenac
O: kesadaran : composmentis 2x50mg po
T: 100/60mmHg N: 84x/menit  Cefixime 2 x 200mg po
R: 20x/menit S: 36,8°C  Ranitidin 2 x 150mg po
Status Neurologis :  Boleh pulang
Rangsang Meningeal: Kaku kuduk (-
),Laseque / Kernig sdn/sdn,
Brudzinski I/II/III/IV (-)/(-)/(-)/(-)
Saraf Kranial: Pupil bulat isokor ODS
5
3mm,Refleks cahaya +/+, GBM baik ke
segala arah
N.VII dan XII simetris
Motorik: 5 5 semua segmen
00
Sensorik:hipestesi setinggi Th 7 ke bawah
Vegetatif :kateter, retensio urin et alvi
Fungsi Luhur : baik
Sacral sparing : anal reflek menurun, saddle
hipestesi (+), toe flexi (-)
Refleks Superficial : -/- semua kuadran
Refleks Fisiologis: +2/+2 (BTR) +3/+3
(KPR, APR)
Refleks Patologis: -/- (Babinski)
Refleks Regresi: -/- (Palmomental)
Dk :
 Myeloradikulopathy thoracal setinggi
segmen medula spinalis Th7 ec lesi
extramed extradural ec susp infeksi
 Hiponatremia et hipocalsemia ec
intake kurang perbaikan
 Catheter Associated Urinary Tractus
Infection perbaikan
 Orchitis dekstra

MRI Pasien :

6
IV. Diagnosa Akhir
 Myeloradikulopathy thoracal setinggi segmen medula spinalis Th7 ec lesi extramed
extradural ec susp infeksi (spondilitis TBC)
 Hiponatremia et hipocalsemia ec intake kurang perbaikan
 Catheter Associated Urinary Tractus Infection perbaikan
 Orchitis dekstra

V. Pengobatan Ulang
 Gabapentin 0-0-300mg po
 Natrium diclofenac 2 x 50mg po
 Cefixime 2 x 200mg po
 Ranitidin 2 x 150mg po
 Rencana terapi OAT tunggu pemeriksaan sidik etambutol

VI. Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad malam

VII.Masalah yang akan dibahas :


1. Bagaimana menegakkan diagnosis pada pasien ini?
2. Bagaimana membedakan metastasis dan infeksi di vertebra pada gambaran radiologi?
3. Bagaimana perjalanan klinis spondilitis TB ?
4. Bagaimana tatalaksana spondilitis TB ?

7
1. Bagaimana menegakkan diagnosis pada pasien ini?

Pasien datang dengan keluhan lemah anggota gerak bawah (gangguan motorik), baal
mulai dari antara puting susu dan pusar ke bawah (gangguan sensorik), sulit BAB dan BAK
(gangguan otonom) serta adaya keluhan nyeri dipunggung sehingga dipikirkan adanya kelainan
pada medula spinalis.
Medula spinalis merupakan struktur yang mempunyai fungsi penting dalam mengatur
fungsi sistem motorik, sensorik, refleks, dan otonom. Sehingga bila terdapat kelainan pada
medula spinalis akan mengakibatkan gangguan dari fungsi-fungsi tersebut. Secara umum gejala
klinis dari kompresi medula spinalis terdiri dari :1,2
1. Gangguan motorik
Di dalam mielum terdapat traktus kortikospinal yang berasal dari korteks motorik dan
premotorik yang berfungsi mengatur sistem motorik pada tubuh. Setelah mengalami penyilangan
di dekusasio medula oblongata, traktus ini akan turun sebagai traktus kortikospinalis
lateral.Organisasi somatotropik dari traktus kortikospinalis lateral terdiri dari serabut sakral yang
paling lateral sedangkan serabut servikal letaknya paling medial sehingga kompresi
ekstrameduler pada medula spinalis akan menyebabkan defisit ascending yang dimulai dari regio
sakral. Sebaliknya pada lesi intrameduler akan menyebabkan timbulnya defisit yang dimulai dari
serabut servikal diikuti oleh torakal, lumbal, dan akhirnya sakral.1,2
Medula spinalis juga merupakan bagian sistem saraf yang menyampaikan impuls dari
pusat kortikal dan subkortikal menuju neuron motorik yang terletak pada kornu anterior. Oleh
karena itu pada medula spinalis terdapat bagian dari UMN dan LMN. Persarafan motorik otot
skelet ini merupakan kerja segmen tertentu medula spinalis dan disebut juga persarafan secara
miotomal.2

8
2. Gangguan sensorik
Sistem somatosensorik yang melalui medula spinalis berasal dari seluruh permukaan
tubuh, jaringan subkutan, otot tendon, dan periosteum. Berdasarkan lokalisasi “end organ”,
Sherington membagi impuls yang dihasilkan menjadi impuls eksteroseptif, proprioseptif, dan
interoseptif. Ketiga macam impuls ini disalurkan melalui traktus tertentu pada medula spinalis
sehingga dapat terganggu secara terpisah. Pada permukaan tubuh, lokalisasi “end organ” ini
adalah tertentu dan sesuai dengan segmen medula spinalis tertentu yang disebut juga persarafan
dermatomal.2
Organisasi somatotropik dari traktus spinotalamikus pada medula spinalis sama
urutannya dengan traktus kortikospinalis, sehingga kompresi ekstrameduler pada medula spinalis
akan menyebabkan segmen sakral yang terlebih dahulu mengalami gangguan. Sebaliknya lesi
intrameduler akan menyebabkan segmen servikal terkena lebih dahulu, diikuti kerusakan pada
serabut-serabut yang menyilang yaitu nyeri dan suhu sehingga akan menyebabkan hilangnya
sensasi nyeri dan suhu bilateral. Modalitas sensorik lain setinggi lesi tidak terganggu. Hal ini
yang disebut sebagai disosiasi sensibilitas. Gangguan sensibilitas ini sesuai dermatom yang
terkena dan sensibilitas diatas dan dibawahnya masih normal.1
3. Gangguan otonom
Fungsi otonom terdiri dari fungsi simpatis dan parasimpatis. Gangguan miksi, defekasi
serta fungsi seksual timbul sebagai akibat gangguan pada jalur refleks otonom spinal ataupun
dalam hubungannya dengan pusat yang lebih tinggi.2,3
Kompresi spinalis dapat bermanifestasi sebagai mielopati, radikulopati, ataupun
mieloradikulopati dimana tergantung dari lokasi dan besarnya lesi. Gambaran klinis dari
mielopati. Radikulopati dan mieloradikulopati terdiri dari :
1. Mielopati
Mielopati adalah disfungsi dari mielum dengan gejala dan tanda upper motor neuron
(UMN). Diagnosis Mielopati secara klinis ditegakkan berdasarkan :
A. Anamnesis :
a) Kelemahan anggota gerak atas atau bawah.
b) Baal-baal atau hilangnya sensasi pada anggota gerak atas atau bawah.
c) Gangguan miksi dan defekasi.
B. Pemeriksaan fisik :
a) Paraparesis atau tetraparesis yang disertai spastisitas. Lesi pada mielum setinggi segmen
servikal dapat menyebabkan tetraparesis sedangkan lesi setinggi segmen torakal dapat
menyebabkan terjadinya paraparesis.

9
b) Gangguan sensorik berupa hipestesi, anestesi atau parestesia sesuai level yang mengalami
gangguan.
c) Refleks tendon pada anggota gerak atas atau bawah meningkat. Refleks tendon
mempunyai nilai yang penting dalam menentukan tingginya lesi pada mielum. Lesi diatas
vertebra servikal V akan menyebabkan peningkatan semua refleks. Lesi dibawah vertebra
servikal VII akan menyebabkan peningkatan refleks hanya pada tungkai saja.
Peningkatan refleks pada biseps, triseps dan patela dapat terjadi pada lesi mielum setinggi
vertebra servikal V, servikal VII dan lumbal IV.
d) Refleks patologis (+). Refleks Hoffmann Tromner pada ekstremitas atas sedangkan pada
ekstremitas bawah berupa respon plantar (refleks Babinski, Chaddock, Oppenheim,
Gordon, Schaeffer), Rossolimo dan Mendel Bechterew.
e) Reflek dinding perut menghilang pada lesi di servikal dan thorakal sedangkan pada
torakal tetap ada.
e) Klonus (+).
2) Radikulopati.
Radikulopati adalah disfungsi dari saraf spinal, radiks saraf atau keduanya dengan gejala dan
tanda lower motor neuron (LMN). Radikulopati akan memberikan manifestasi klinis berupa
rasa nyeri dengan distribusi saraf sesuai dengan dermatomnya. Rasa nyeri ini akan diperberat
dengan batuk, bersin atau pada saat pergerakan segmen medula spinalis yang terkena. Bila
daerah servikal (vertebra servikal V - torakal I) yang terkena maka nyeri terasa menjalar ke
ekstremitas atas, bila daerah torakal bilateral yang terkena maka nyeri akan terasa seperti
terikat sedangkan bila daerah lumbal yang terkena maka nyeri terasa menjalar ke ekstremitas
bawah. Disamping nyeri, keterlibatan radiks juga memberikan manifestasi klinis berupa
gangguan sensorik dan motorik didaerah yang dipersarafi. Namun seringkali gangguan
sensorik ini bersifat samar akibat multi inervasi pada daerah dermatom yang sama. Gangguan
motorik bersifat lower motor neuron (LMN) berupa atrofi, fasikulasi dan refleks yang
menurun.
3) Mieloradikulopati adalah disfungsi dari mielum, saraf spinal serta radiksnya sehingga
didapatkan gabungan gejala dan tanda Upper Motor Neuron (UMN) dan Lower Motor Neuron
(LMN).

10
Pada pasien ini didapatkan gejala kompresi medula spinalis dan radiks di bagian torakal
berupa : nyeri di punggung sejak 4 bulan SMRS yang kemudian disertai nyeri radikuler berupa
nyeri mengikat pada bagian dada pasien dikarenakan segmen dermatom torakal yang bentuknya
melingkar. Gejala motorik muncul 3 bulan SMRS berupa kelemahan tungkai kiri diikuti tungkai
kanan 1 minggu kemudian, perlahan dari berjalan diseret hingga tidak bisa berjalan sama sekali
3minggu SMRS. Pada pemeriksaan juga ditemukan paraplegi inferior dan hipestesi setinggi
thorakal 7 kebawah. Gangguan vegetatif juga ditemukan pada pasien berupa sulit BAB maupun
BAK. Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan gejala UMN seperti peningkatan refleks fisiologis
dan klonus serta hilangnya reflek dinding perut. Sehingga didiagnosa mieloradikulopati thorakal

Lesi pada medula spinalis dapat dikelompokan menjadi 2 golongan besar, yaitu:1,4
 Lesi ekstramedular
- Lesi ekstramedular ekstradural (pada ruang ekstradural atau vertebra)
- Lesi ekstramedular intradural (pada ruang subarakhnoid)
 Lesi intrameduler
Tabel 1. Perbedaan gejala lesi ekstrameduler dan intrameduler medula spinalis.5
Gejala Lesi ekstramedular Lesi intrameduler Pasien ini
ekstradural
Nyeri spontan Mempunyai tipe dan Mempunyai tipe Gejala nyeri
distribusi radikuler membakar, tidak mengikat, setinggi Th
dan merupakan gejala mempunyai lokalisasi VII
dini yang penting yang jelas
Sensibilitas Tipe Brown Sequard Terdapat disosiasi dan Nyeri dan suhu
perubahan bercak-bercak terganggu, bilateral.
Hipestesi setinggi MS
Th VII
LMN Segmental Jelas dan tersebar disertai Ada segmental
atrofi dan fasikulasi
UMN Jelas dan timbul dini Tidak jelas dan timbul Ada
pada fase lanjut
Refleks regang Sejak dini meningkat Tidak terlalu meninggi Meningkat
dan sangat jelas dan timbul pada fase
lanjut
Gangguan Pada saat dini Pada fase lanjut Pada saat dini
traktus piramidal
Gangguan trophi Tidak jelas Jelas Tidak jelas
 Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, pada pasien ini lebih sesuai ke arah lesi
ekstramedular ekstradural

11
Mieloradikulopati dapat disebabkan adanya suatu penyakit yang berhubungan dengan
proses tumor primer, metastasis, infeksi, degeneratif atau trauma.1
Tumor Primer
Tumor primer pada vertebra jarang terjadi dan sebagian besar lesi ini tidak
menunjukkan gejala. Prevalensi keseluruhan 2,5 hingga 8,5 kasus per100.000 orang per tahun,
dan hanya 10% atau kurang dari semua tumor pada tulang belakang. Laki - laki secara
keseluruhan memiliki sedikit lebih banyak kecenderungan terkena tumor primer vertebra.
Osteoid osteoma, osteoblastoma, osteokondroma, plasmasitoma, kordoma, dan kondrosarkoma
semua terjadi lebih sering pada pria daripada wanita dengan rasio dari 2:1. Kista tulang
aneurisma dan giant cell tumor sedikit didominasi perempuan, sedangkan hemangioma dan
osteosarkoma sama antara laki – laki dan perempuan.2,12
Hampir semua pasien dengan tumor vertebra merasakan sakit mereka relevan dengan
kejadian traumatis yang nyata atau diduga kejadian trauma di masa lalu. Kondisi ini kadang-
kadang menunjukkan fraktur patologis yang terjadi karena kolapsnya kolumna vertebralis
sebagai akibat dari trauma minor. Rasa sakit yang perlahan-lahan mulai secara bertahap
meningkat biasanya menetap di malam hari dan akhirnya mengganggu pasien bahkan saat
istirahat dianggap sebagai tanda paling khas untuk tumor vertebra. Nyeri akut yang dimulai
tanpa trauma pada pasien atau tanpa gejala sebelumnya juga harus dianggap sebagai fraktur
patologis. Umumnya tumor yang tumbuh pada kolumna vertebralis dengan ekspansi
menyebabkan remodalisasi tulang dan penipisan korteks pada awalnya yang kemudian
menyebabkan fraktur patologis dan invasi struktur paravertebral.2
Metastasis
Metastasis pada vertebra adalah yang paling umum terjadi yaitu sekitar 97% dari
seluruh tumor vertebra dan terkena pada 10% penderita kanker yang baru didiagnosis.
Pemeriksaan postmortem menunjukkan metastasis vertebra terjadi pada lebih dari 70% pasien
kanker stadium akhir.13
Metastasis pada vertebra berkembang di semua kelompok umur; insiden tertinggi
terjadi pada usia paruh baya (40-65 tahun), sesuai dengan periode peningkatan risiko kanker.
Kejadian metastasis vertebra pada pria sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan wanita
sejalan dengan angka kejadian karsinoma prostat dibandingkan karsinoma mamae. Diketahui
bahwa adenokarsinoma yang sebagian besar berasal dari paru-paru, payudara, prostat, ginjal,
saluran pencernaan dan tiroid cenderung bermetastasis terutama ke vertebra dan karsinoma
mamae, prostat, dan paru-paru merupakan karsinoma primer yang paling utama,
mencerminkan prevalensi dan kecenderungan tinggi tumor ini bermetastasis ke tulang. 13
Metastasis vertebra terjadi di sepanjang kolum vertebra terutama proporsi perkiraan
12
sebagian besar pada kolumna vertebra yang kaya akan sumsum tulang. Studi otopsi telah
menunjukkan vertebra lumbal paling sering terkena, diikuti oleh segmen torakal dan servikal.
Secara klinis, metastasis vertebra paling sering menimbulkan gejala pada segmen torakal
(dengan kecenderungan pada segmen sekitar T4 dan T11), diikuti oleh segmen lumbal dan
servikal.13
Gejala metastasis vertebra menyebabkan sindrom klinis dimulai dengan nyeri
punggung atau leher lokal, diikuti oleh kelemahan, kehilangan sensorik, dan disfungsi sfingter.
Nyeri punggung atau leher lokal adalah manifestasi paling awal dan paling dirasakan pada 90%
pasien. Palpasi atau perkusi pada prosesus spinosus posterior pada tingkat yang diduga
sering menyebabkan nyeri lokal. Penyebaran nyeri radikuler mengindikasikan radiks terkait.
Nyeri fokal yang diperburuk oleh gerakan di sekitar segmen yang terlibat dan berkurang
dengan imobilitas harus dicurigai adanya ketidakstabilan vertebra. Nyeri dengan rasa
terbakar, disestesi, intens, dan berat meningkatkan kemungkinan pasien menderita metastasis
vertebra ekstramed intradural. Durasi nyeri bervariasi, rasa sakit dapat muncul selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan dan seringkali pada awalnya dikaitkan dengan 'kejang
otot,' punggung atau leher, tegang otot. Diagnosis pasti sering ditunda sampai manifestasi
adanya kompresi radiks dan medula spinalis. Nyeri punggung atau leher lokal diikuti oleh
kelemahan, hipestesi, dan disfungsi sfingter. Sindrom Brown sequard sering ditemukan pada
pasien dengan metastasis spinal intramedular (sepertiga dari kasus) dan lebih jarang pada
pasien dengan spinal extramed intradural.13
Infeksi
Bentuk infeksi tersering yang mengenai medula spinalis dan vertebra adalah Spondilitis,
yang terutama disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Spondilitis Tuberkulosis).
Spondilitis Tuberkulosis merupakan akibat sekunder dari infeksi Tuberkulosis diluar medula
spinalis dan berpotensi menyebabkan morbiditas yang serius dikarenakan defisit neurologis yang
permanen dan deformitas yang berat. Gambaran klinis dari Spondilitis Tuberkulosis terdiri dari :
1) Gejala umum.
Pasien biasanya mengeluh mudah lelah, demam yang tidak terlalu tinggi terutama pada
malam hari, berkeringat pada malam hari, nafsu makan berkurang yang berakibat
penurunan berat badan. Karena Spondilitis Tuberkulosis merupakan akibat sekunder
maka dapat dijumpai gejalagejala Tuberkulosis ditempat lain misalnya batuk yang
produktif dan berdarah yang berkepanjangan selama lebih dari 3 minggu.
2) Gejala lokal.
Nyeri dan kaku punggung merupakan keluhan yang pertama kali muncul. Sifat nyeri
dapat terlokalisir disekitar lesi atau menjalar sesuai dengan perjalanan radiks yang
13
teriritasi. Spasme otot-otot punggung dapat dijumpai sebagai mekanisme pertahanan
untuk menghindari pergerakan pada vertebra. Pada saat tidur, spasme akan hilang dan
memungkinkan terjadinya pergerakan vertebra yang menimbulkan nyeri.
Selanjutnya timbul gejala lokal sesuai dengan vertebra yang terkena yang terdiri dari :
 Pada vertebra servikal dapat ditemukan gejala seperti kaku leher, nyeri pada
vertebra yang menjalar ke oksipital atau lengan yang dirasakan menghebat bila
dilakukan penekanan kepala kearah bawah. Selanjutnya bisa ditemukan
deformitas dimana Iordosis normal akan berkurang serta abses retrofaringeal atau
servikal.
 Pada vertebra servikal bawah dan torakal atas dapat ditemukan gejala lokal seperti
kekakuan dan kifosis angular vertebra, nyeri yang terasa sepanjang pleksus
brakialis serta abses retrofaringeal, supraklavikular dan mediastinal. Bila terjadi
penekanan saraf simpatis maka dapat ditemukan gejaIa-gejala sindrom Homer.
 Pada vertebra torakal dan lumbal dapat ditemukan gejala lokal seperti kifosis
angular, nyeri yang terasa seperti terikat atau menjalar ke ekstremitas bawah serta
abses iliaka atau psoas.
 Pada vertebra Iumbosakral dapat ditemukan gejala lokal seperti deformitas, nyeri
yang terasa menjalar keekstremitas bawah, abses psoas serta gangguan gerak pada
sendi panggul.
Vertebra yang rusak dapat menyebabkan pembentukan gibus dan dapat ditemukan defisit
neurologis sebagai akibat dari kompresi mielum oleh vertebra yang rusak.
Degeneratif
Penyakit degeneratif yang dapat mengenai vertebra diantaranya yaitu spondilosis.
Menyerang orang dengan usia diatas 65 tahun. Proses degeneratif pada osteoporosis terutama
mempengaruhi kolumna vertebralis, saraf di sekitar foramina dan sendi facet (facet syndrome).
Kondisi yang berat dapat menyebabkan tekanan pada medula spinalis atau radiks dengan
gangguan sensorik atau motorik pada tahap berikutnya, seperti nyeri, parestesi dan kelemahan
otot pada tungkai.
Penyempitan diskus vertebra sehingga menyebabkan kompresi radiks dapat memberikan
gejala radikulopati seperti gangguan sensorik dan motorik, dengan nyeri disertai kelemahan
otot. Tekanan langsung pada medula spinalis dapat menyebabkan mielopati, ditandai
dengan kelemahan dan gangguan buang air besar atau berkemih.13Ciri osteoartritis di vertebra
seperti halnya di tempat lain adalah adanya osteofit. Proyeksi osteofit pada radiologis dapat
terlihat adanya traksi miring atau horizontal dari endplate.9

14
Trauma
Insiden tahunan cedera medula spinalis karena trauma di Amerika Serikat saat ini
diperkirakan mencapai 54 kasus per juta populasi, mewakili sekitar 17.000 kasus cedera
medula spinalis traumatis baru setiap tahun. Usia rata-rata pasien dengan cedera medula
spinalis traumatik telah meningkat selama beberapa dekade terakhir dari 29 tahun pada tahun
1970 menjadi 42 tahun saat ini, dan banyak pasien kurang dari 30 tahun.7
Mekanisme utama cedera medula spinalis adalah dampak langsung dengan kompresi persisten
atau transien, fraktur dan pergeseran vertebra, serta laserasi atau transeksi medulla spinalis.
Pemeriksaan fisik pada saat kedatangan ke unit gawat darurat serta pemeriksaan radiologis
vertebra dan imobilisasi leher sangat diperlukan untuk setiap pasien dengan dugaan cedera
akut pada vertebra.7
Kriteria Tumor primer Metastasis Infeksi Degeneratif Trauma
Anamnesis - Terpapar zat - Ada sumber - Tindakan Berhubungan Ada riwayat
karsinogenik tumor primer operasi di dengan usia trauma/cedera
- Nyeri bertahap - Timbul nyeri vertebra
meningkat, di tempat lain - Ada sumber
terutama malam diluar fokus infeksi TB
hari lesi - Kontak TB atau
riwayat terapi
TB
Usia < 18tahun atau > 50 tahun Middle age > 65 tahun Semua usia
>50tahun
Onset Perlahan Perlahan Perlahan Perlahan Akut
Gejala Tidak ada Ada Ada Tidak ada Tidak ada
Sistemik

Pada pasien ini, usia 45 tahun, keluhan nyeri terutama malam hari dengan onset perlahan dan
ditemukan gejala sistemik dan kemungkinan adanya sumber tumor primer (prostat) sehingga
dipikirkan ke arah infeksi dan metastasis

2. Bagaimana membedakan metastasis dan infeksi di vertebra foto xray dan MRI?
Spondilitis tuberkulosis dapat sulit dideteksi pada tahap awal karena terjadi kerusakan
diskus secara perlahan. Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut
inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak
penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior yang
berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous. Penurunan ketinggian
vertebra sering terlihat dengan ketidakteraturan ujung anterosuperior yang relatif dini. Ekstensi

15
subligamen menyebabkan ketidakteraturanmargin vertebral anterior dan merupakan gambaran
klasik dari spondilitis TB. Temuan palingawal adalah gambaran radiolusen dan hilangnya
margin plate . Gambaran yang paling umum terdiri dari hancurnya kolumna vertebra
terutama anterior, kehilangan tinggi diskus, erosi ,sekuestrasi tulang, sklerosis, dan adanya
massa paravertebra.Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus
atau prosesus spinosus. 6,7

MRI merupakan modal diagnostik yang terbaik untuk spondilitis TB, karena lebih
sensitif dari radiografi dan lebih spesifik daripada pemeriksaan CT. Pola anatomi akan tampak
dengan MRI, terutama jaringan lunak dan keterlibatan diskus, memberikan hasil spesifitas yang
lebih besar.MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasiperbaikan jaringan. Peningkatan
sinyal T1 pada sumsumtulang mengindikasikan pergantian jaringan radanggranulomatosa oleh
jaringan lemak dan perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala klinis.7

Gambaran MRI Spondilitis TB ; potongan sagital T1 menunjukkan penurunan intensitas sinyal


fokal, MRI menunjukkan peningkatan intensitas sinyal. Gambaran MRI potongan sagital pasien
spondilitis TB tmpak destruksi dari badan vertebra yang menyebabkan kifosis berat
(gibbus).Infiltrasi jaringan lemak, penyempitan kanalis spinalis, dan penjepitan medula spinalis.8

16
Pada metastasis vertebra pemeriksaan radiografi memberikan tes skrining yang
berguna.Radiografi anteroposterior vertebra dapat diibaratkan “Totem of Owls”.
Kelainanradiografi menghasilkan variasi osteoblastik atau osteosklerotik pada tulang,ini dapat
terjadi pada karsinoma payudara atau prostat. Sebagian besar perubahan tulang
yangdiinduksi metastasis melibatkan proses penghancuran osteolitik pada vertebra. Erosi pedikel
adalah yang paling umum ditemukan dan menghasilkan tanda “wingking owl sign” dan
‘‘blinking owlsign”. Bayangan jaringan lunak paraspinal sering terlihat berdekatan
dengansegmen vertebra yang terlibat. Penghancuran tulang yang lebih luas dapat
menyebabkankolapsnya vertebra. Hilangnya ruas tulang belakang yang hancur dapat
menyebabkan fraktur patologis.9,10

17
Beberapa karakteristik MRI secara umum dari metastasis vertebra termasuk batas
posterior yang cembung pada kolumna vertebra; abnormal dari intensitas sinyal kolum
vertebra, pedikel, atau elemen posterior,massa epidural, massa paraspinal fokal, dan lesi serupa
lainnya di beberapa level sepanjang vertebra. Metastasis muncul sebagai fokus sinyal hipointense
yang tidak spesifik pada T1 danhiperintense pada T2. MRI mempunyai kemampuan untuk
membedakan kompresidisebabkan oleh fraktur karena osteoporosis ataufraktur patologis. Fraktur
patologis menunjukkan intensitas sinyal rendah pada T1 dan intensitas sinyal tinggi pada T2, tetapi
kompresi osteoporotik menunjukkan intensitas sinyal rendah di keduanya.10,11

Tabel 2. Perbedaan gambaran foto vertebra yang disebabkan infeksi dan metastase
X-Ray (foto vertebra) Infeksi Metastasis Pasien
Malalignment ( spondylosis/listhesis) + + -
Compressive fracture + + -
Wedge-shaped vertebral body + - -
Disc space narrowing + - -
Focal lucency +/- + -
Focal opacity - +/- -
Abnormalitas pedicles - + -
Tabel 3. Perbedaan gambaran MRI vertebra yang disebabkan infeksi dan metastase
MRI Infeksi Metastasis Pasien
Multiple involvement +/- + +
Lesions in the posterior elements - + -
(laminae/pedicles/sipnous processus)
Involvement of disc + - +
Hyperintensity of T2 + +/- +
Hypo or isointensity of T2 - +/- -

18
Heterogenous lesion + + -
Cortical of lesion erosion of bone + - +
Epidural or paravertebral abses + - +
 Pada pasien ditemukan gambaran ke arah infeksi, namun kecurigaan ke arah
metastasis belum dapat sepenunhnya disingkirkan sehingga direncanakan pemeriksaan
sidik etambutol
Pemeriksaan sidik tulang atau sidik etambutol adalah teknik kedokteran nuklir,
merupakan suatu teknik runut yang menggunakan radiofarmaka dengan metode pencitraan oleh
kamera gamma. Teknik ini dapat mendeteksi infeksi TB pada tahap awal. Hasil pengamatan
akan memberikan informasi dari perubahan patofisiologi dan patobiokimia organ tubuh yang
terinfeksi tuberculosis. Beberapa radiofarmaka yang telah digunakan untuk mendeteksi dan
melokalisasi berbagai macam infeksi termasuk infeksi TB paru adalah galium-67, 99mTc-
tetrofosmin dan 99mTc-MIBI. Pada teknik ini etambutol ditandai dengan unsur radioaktif yang
memancarkan sinar gamma yag berperan sebagai perunut dan memudahkan observasi dengan
alat kamera gamma.
3. Bagaimana perjalanan klinis spondilitis TB ?
Spondilitis TB atau yang sering dikenal dengan Pott’s disease merupakan infeksi TB
yang menyerang tulang belakang. Tulang belakang merupakan tempat tersering penyebaran
infeksi tuberkulosa yang mengenai tulang.Sendi-sendi besar seperti persendian tulang paha,
lutut, bahu, siku, dan pergelangan tangan lebih jarang terkena. Spondilitis TB memiliki insidensi
kurang dari 1%-5% dari semua kasus TB, namun memiliki proporsi yang cukup besar dari
keseluruhan kasus TB ekstrapulmonal.12-15
TB tulang belakang merupakan penyakit kronik dan progresif lambat dengan gejala yang
berkepanjangan. Penyakit ini biasanya ditandai dengan kerusakan korpus vertebra dan meluas ke
diskus intervertebralis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa. Pott’s disease
adalah bentuk TB muskuloskeletal paling berbahaya karena dapat menyebabkan destruksi tulang,
deformitas, dan paraplegia. TB yang menyerang tulang belakang dapat menjadi penyakit yang
berat, menyebabkan defisit neurologi yang menetap dan deformitas yang berat. Di negara
berkembang, penyakit ini masih menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna dan
merupakan penyebab tersering paraplegia non traumatik. Penyakit ini dapat terjadi di lokasi
mana saja dari vertebra, tetapi kebanyakan mengenai vertebra torakal dan lumbosakral. Vertebra
torakal bawah adalah yang tersering (40-50%), sedangkan tempat kedua tersering yaitu daerah
lumbal (35-45%). Kurang lebih 10% kasus mengenai daerah vertebra servikal.13,16

19
Gambar 2. Bagian-bagian vertebra torakal16Gambar 3. Segmen Medula Spinalis Torakal17

Keterlibatan vertebra spinalis biasanya merupakan akibat dari penyebaran hematogen


dari M.tuberkulosis ke dalam vaskularisasi padat dari tulang berongga di badan vertebra. Lokasi
infeksi primer bisa berasal dari paru-paru maupun dari sistem genitourinari.11 TB awalnya
ditularkan melalui inhalasi droplet orang yang sedang menderita penyakit TB paru yang
infeksius, kemudian kuman TB mencapai alveoli dan bermultiplikasi dalam rongga alveolar atau
dalam makrofag alveolar. Pada 80-90% individu, infeksi paru-paru primer bersifat asimptomatik
dan merupakan area kecil terlokalisir pada paru-paru. Dalam 2-4 minggu pertama setelah infeksi,
secara umum tidak ada respon imun yang timbul. Pada fase ini dapat terjadi penyebaran melalui
aliran darah ke berbagai organ termasuk vertebra. Dengan perkembangan imunitas spesifik dan
akumulasi makrofag aktif pada lesi primer, akan terbentuk suatu lesi granuloma (tuberkel).
Respon imun yang baik dapat mengeliminasi dengan sempurna tuberkel yang kecil sehingga
tidak ditemukan lagi sisa infeksi. Tetapi pada imunitas yang terganggu, tuberkel primer akan
berkembang, sentral perkijuan akan mencair, dan bakteri akan terus berproliferasi. Fokus
perkijuan ini dapat menjadi besar dan mengalami enkapsulasi fibrosa terus menerus untuk
melokalisir bakteri yang masih hidup. Saat imunitas turun, fokus akan mengalami reaktivasi dan
pada akhirnya terjadi ruptur tuberkel, kemudian bakteri serta produk antigeniknya menyebar ke
tempat lain. Oleh karena itu fokus primer spondilitis TB selain paru-paru dapat berasal dari
nodus limfatikus, ginjal, atau organ visera lain.12 Penyebaran TB dari paru-paru ke vertebra
dapat melalui beberapa cara, yaitu :17
1. Melalui aliran arteri, merupakan jalur utama, yaitu melalui arteri segmental interkostal
atau lumbal ke dalam korpus vertebra, terdapat di regio subkondral dari setiap vertebra, berasal
dari arteri spinalis anterior dan posterior; aliran darah ini membentuk pleksus vaskularisasi yang
sangat kaya. Pleksus vaskularisasi ini memfasilitasi penyebaran hematogen dari infeksi ke regio
paradiskus. Pada korpus vertebra, arteri ini berakhir sebagai end artery tanpa anastomosis.

20
2. Melalui pleksus vena paravertebra Batson’s di dalam vertebra, merupakan sistem yang
tidak berkatup yang menyebabkan aliran darah berjalan dua arah bergantung pada tekanan yang
dihasilkan dari rongga intraabdominal dan intratorakal setelah aktivitas yang bertenaga seperti
misalnya batuk. Penyebaran infeksi melalui sistem vena intraosseus juga bertanggung jawab
terhadap lesi di badan vertebra sentral. Pada pasien dengan tuberkulosis vertebra non kontiguous,
sistem vena vertebra yang menjadi sumber penyebaran infeksi ke beberapa vertebra.
3. Melalui jalur perkontinuitatum : merupakan penyebaran lanjut yang berasal dari abses
paravertebra yang telah terbentuk dan menyebar sepanjang ligamentum longitudinal anterior dan
posterior ke korpus vertebra yang berdekatan.

Gambar 5. Batson’s Plexus18 Gambar 6. Ligamen-ligamen di sekitar vertebra19

Tuberkulosis spinal awalnya tampak pada bagian anterior inferior vertebra. Paradiskus,
anterior, dan lesi sentral merupakan tipe paling umum dari keterlibatan vertebra. Pada lesi
sentral, diskus tidak terlibat, dan hancurnya badan vertebra menyebabkan plana vertebra. Plana
vertebra mengindikasikan kompresi komplit dari badan vertebra. Pada pasien yang lebih muda,
diskus terutama terlibat karena memiliki vaskularisasi yang lebih banyak. Pada pasien berusia
tua, diskus tidak terlalu terlibat disebabkan avaskularisasi yang berhubungan dengan usia. Pada
tuberkulosis spinal, terdapat keterlibatan lebih dari 1 vertebra dikarenakan arteri segmental yang
bercabang untuk mensuplai 2 vertebra berdekatan. Penyebaran penyakit dibawah ligamentum
longitudinal anterior atau posterior melibatkan beberapa vertebra yang bersambung. Kurangnya
enzim proteolitik dari infeksi mycobacterium (dibandingkan dengan infeksi piogenik) telah
diperkirakan sebagai penyebab dari penyebaran infeksi subligamentum.17

21
4. Bagaimana tatalaksana spondilitis TB pada pasien ini?
Spondilitis TB merupakan masalah medikal kecuali terdapat komplikasi yang
memerlukan tindakan bedah. Penatalaksanaan umum bersifat suportif meliputi tirah baring,
pemasangan brace eksterna, anti-nyeri serta penatalaksanan gangguan BAB dan BAK.20
Untuk penatalaksanaan spondilitis TB, dilakukan pendekatan dua macam lesi yaitu lesi
dengan komplikasi neurologis atau tanpa komplikasi neurologis. Pada pasien tanpa defisit
neurologis, terapi farmakologis (medikal) adalah terapi pilihan pertama dan tindakan
pembedahan relatif diperlukan hanya untuk kasus-kasus tertentu dengan komplikasi yang lain.
Pada pasien dengan komplikasi neurologis, terapi farmakologis sekali lagi tetap merupakan
pilihan pertama, namun apabila ada indikasi, dikombinasi dengan tindakan pembedahan untuk
mendapatkan hasil terbaik.20

Terapi farmakologis
Terapi farmakologis spondilitis TB adalah pemberian obat anti tuberkulosis (OAT),
berupa regimen 4 macam obat yaitu rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), dan
ethambutol (E) (ethambutol pada anak-anak diganti streptomisin). 17 Lama pengobatan bervariasi
antara 6,9,12, dan 18 bulan, tergantung dari pedoman yang dipakai, yaitu :17,20
 WHO memasukkan spondilitis TB dengan defisit neurologis (TB ekstrapulmonal berat)
ke dalam kategori I (HRZE 2 bulan dan HR 4 bulan) dengan lama pengobatan selama 6
bulan serta kategori 2 untuk kasus relaps atau gagal terapi (HRZES 2 bulan, HRZE 1
bulan, dan RHE 5 bulan).
 British Medical Research Council (BMRC) merekomendasikan pengobatan selama 6-9
bulan (untuk TB torakolumbal), tetapi BMRC tidak memasukkan keterlibatan vertebra
multipel, lesi servikal, atau defisit neurologi yang mayor.
 American Thoracic Society merekomendasikan RHZE 2 bulan dilanjutkan RH 7 bulan.
 Canadian Thoracic Society merekomendasikan lama pengobatan 9-12 bulan.
 Di India diberikan selama 18 bulan dengan regimen RHZE 4 bulan dan RH 14 bulan.
Indikasi tatalaksana medis antara lain :20
1. Organisme penyebab telah teridentifikasi
2. Sensitif terhadap antibiotik
3. Keterlibatan hanya 1 rongga diskus tanpa destruksi badan vertebra yang signifikan
4. Tidak terdapat instabilitas atau hanya minimal
5. Tidak terdapat defisit neurologis atau hanya minimal
6. Terdapat komorbiditas medis seperti sepsis atau koagulopati

22
Terapi pembedahan
Indikasi operasi pada penyakit Pott’s adalah kasus dimana terdapat defisit neurologis,
abses paravertebra, instabilitas spinal disebabkan deformitas kifosis (terutama kifosis dengan
sudut 50-60 derajat atau lebih dengan kencenderungan progresif), resisten terhadap pengobatan
antituberkulosis saat ini (yang akan lebih sering dijumpai di masa sekarang sehubungan dengan
infeksi HIV), dan untuk mencegah/mengatasi komplikasi seperti paraplegi onset lanjut. Bila
penanganan pembedahan dari penyakit Pott’s diindikasikan, penundaan dapat menyebabkan
kifosis berat, yang menyebabkan disfungsi sistem respirasi, penjepitan kostopelvis yang
mengakibatkan nyeri, dan paraplegi. Disarankan untuk melakukan intervensi pembedahan segera
untuk mencegah instabilitas spinal yang signifikan dan defisit neurologis. Setelah pembedahan,
pasien tirah baring selama 3 bulan, kemudian mobilisasi bertahap dengan menggunakan brace
spinal.20
Indikasi operatif pada tuberkulosis spinal harus dibatasi pada pengambilan sampel
jaringan ketika diagnosis masih meragukan, drainase abses pada TB vertebra servikal (yang
menyebabkan gangguan menelan dan bernafas), drainase dari abses paravertebra yang besar
(yang tidak berespon terhadap pengobatan OAT selama 3-6 bulan), defisit neurologis yang
menetap ataupun bertambah walau sudah dengan pengobatan OAT, rekurensi komplikasi
neurologis, munculnya instabilitas pada kolumna spinalis, dan deformitas kifosis yang berat.
Anak-anak membutuhkan intervensi operatif lebih segera dibandingkan orang dewasa
dikarenakan potensi pertumbuhannya, untuk mencegah deformitas kifosis.20

Tabel 4. Indikasi pembedahan pada tuberkulosis spinal17


Indikasi pembedahan pada pasien tanpa Indikasi pembedahan pada pasien dengan komplikasi
komplikasi neurologis neurologis
1. Destruksi tulang progresif walau dengan 1. Komplikasi neurologis baru atau perburukan atau hanya
pemberian OAT sedikit perbaikan dengan tatalaksana konservatif
2. Gagal berespon dengan terapi konservatif 2. Awitan cepat paraplegia atau paraplegia berat
3. Evakuasi abses paravertebra bila ukurannya 3. Paraplegia awitan lanjut
membesar walaupun dengan tatalaksana medis
4. Diagnosis yang belum pasti, untuk biopsi 4. Penyakit arkus neural
5. Alasan mekanik : instabilitas spinal yang 5. Paraplegia dengan nyeri pada pasien usia tua
disebabkan destruksi atau kolaps, destruksi 2 atau
lebih vertebra, kifosis
6. Pencegahan kifosis berat pada anak-anak dengan 6. Sindrom tumor spinal (tuberkuloma spinal epidural tanpa
lesi dorsal ekstensif keterlibatan tulang)
7. Abses Paraspinal besar

23
Pada pasien ini terdapat defisit neurologis berat, abses paravertebra dan masih dapat progresif,
serta protruded disc grade 3 intervertebralis cervical 3-4, 4-5 dan 5-6 disertai herniasi nucleus
pulposus ke arah posterior difus yang menekan canalis spinalis dan medula spinalis bilateral,
sehingga pada pasien ini direncanakan pemeriksaan sidik etambutol untuk memastikan penyebab
myeloradikulapthy pada pasien.
Jika hasil sidik etambutol posiif, pasien direncanakan akan diberikan terapi :
Farmakologis dengan OAT (2RHZE dan 7 RH) yang direncanakan selama 9 bulan

-Dikombinasikan dengan tindakan pembedahan berupa dekompresi dan debridement abses, dan
stabilisasi posterior
Serta pemakaian braces pasca operasi

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Baehr M, Frotscher M, Kueker W, et al. Duus topical diagnosis in neurology. 4th ed.
Stuttgart: Georg Thieme Verlag. 2005. p.289-310
2. UPF Ilmu Penyakit Saraf FK-UNPAD/RS Hasan Sadikin Bandung. Diktat Neurologis
Klinis.
3. Ropper AH, Brown RH. Disease of The Spinal Cords. In: Adam and Victor’s Principles of
Neurology. 8th ed. McGraw-Hill. New York 2005 p.1049-91.
4. Campbell WW. Chapter 53: Diagnostic reasoning and neurologic differential diagnosis. In:
Dejong’s neurologic examination, 6th edition. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins;
2005. p.629
5. Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization, and Overview of Spinal Cord
Syndromes. In : Continuum: Lifelong Learning Neurol, Spinal Cord, Root, and Plexus
Disorders. 2008; 14(3). p.11-35.
6. Resnick D. Degenerative diseases of the vertebral column. Radiology. 1985;156 (1): 3-14.
doi:10.1148/radiology.156.1.3923556 - Pubmed citation.
7. Garcia AR, Estrada SS, Odin CT et al. Imaging findings of Pott’s disease. Eur spine juornal.
2013 ; 22. P567-578
8. Tutik K, Hapsari PN. Pott’s Disease. Jurnal Respirasi. Vol.2 No.3 September 2016. P.99-
109.
9. Shah LM, SalzmanKL. Imaging of SpinalMetastatic Disease. International Journal of
Surgical Oncology. 2011.
10. Richard G. Perrin, M. M. (2004). Metastatic spine disease: epidemiology, pathophysiology, and
evaluation of patients. Elsevier saunders, 365-373.
11. Deol GS, Haydol R, Phillips FM. Tumors of the Spine. In: Vaccaro AR. OKU
Rosemont. American Academy of Orthopaedic Surgeons, 2005: 587-599
12. P Park, K Lewandrowski, R McLain. Pott's Disease Associated With Tuberculous
Meningitis Causing Blindness. TheInternet Journal of Spine Surgery. 2006; 3(2). p 1-7.
13. TL Poon, WS Ho, KY Pang, CK Wong. Tuberculous meningitis with spinaltuberculous
arachnoiditis. Hong Kong Med J. 2003;9. p.59-61.
14. Moon MS. Tuberculosis of Spine: Current Views in Diagnosis and Management. Asian
Spine J. 2014;8(1). p. 97-111
15. Golden MP. Extrapulmonary Tuberculosis : An Overview. American Family Physician.
2005; 72(9). p.1761-68
16. Lee KY. Comparison of Pyogenic Spondylitis and Tuberculous Spondylitis. Asian Spine J.
2014; 8(2). p.216-223
17. Garg RK, Somvanshi DS. Spinal tuberculosis: A review. The Journal of Spinal Cord
Medicine. 2011; 34. p. 440-54.
18. Serafino Wani RL. Tuberculosis 2: Pathophysiology and microbiology of pulmonary
tuberculosis. South Sudan Medical Journal. 2013;6(1). p.10-12
19. Kanga I, Taylor JA, Jacobs C, Outerbridge G.Tuberculosis of the
neuromusculoskeletalsystem: a review of two cases presenting aschiropractic patients.J Can
Chiropr Assoc. 2015; 59(1).p.13-23.
20. Rasouli MR, Mirkoohi M, Vaccaro AR, Yarandi KK, Rahimi-Movaghar V. Spinal
Tuberculosis : Diagnosis and Management. Asian Spine Journal. 2012; 6. p.294-308.

25

Anda mungkin juga menyukai