HADIST SIYASAH
“LANJUTAN HADIST-HADITS
KEMAJEMUKAN DAN ETIKA PERBEDAAN”
Dosen Pengampu :
FAKULTAS SYARIAH
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................................2
BAB II PENJELASAN
A. Kemajemukan dalam Islam..........................................................................................3
B. Etika dalam Perbedaan.................................................................................................7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
hukum dinilai buruk, sebaliknya patuh terhadap kaedah itu adalah baik. Olehnya itu
kaedah hukum dpat juga disebut sebagai kaedah etis. (Sudikno
Mertokusumo,1991:36).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari nilai, fungsi etika, dan teori-teori etika?
2. Apakah pengertian dari moralitas dan unsur-unsur moralitas?
2
3. Apakah ada keterkaitan antara etika dan hukum?
4. Bagaimana persamaan dan perbedaan etika dan hukum?
5. Kemampuan manakah yang harus kita pakai untuk mengukur etika dan moralitas?
6. Bagaimanakah kita membangun etika dan moralitas?
7. Apakah yang disebut norma moralitas yang benar dalam tinjauan filsafat?
C. Tujuan Penulisan
3
BAB II
PENJELASAN
1. NILAI
Nilai adalah sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan
landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik
disadarinya maupun tidak.
Berbeda dengan fakta yang dapat diobservasi secara empirik, tidak demikian
halnya dengan nilai, karena nilai berkaitan dengan cita-cita, keinginan, dan
harapan, dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniah) manusia. Nilai
dengan demikian tidaklah konkret, dan dalam praktiknya memang bersifat
susbjektif.
Nilai yang abstrak dan subjektif tersebut, agar dapat lebih berguna dalam
menuntun sikap dan tingkah laku manusia, perlulebih dikonkretkan lagi. Untuk
itu nilai harus dirumuskan ke dalam simbol-simbol tertentu, yang tujuannya
agar lebih mudah dipahami secara interpersonal. Wujud yang lebih konkret dari
nilai ini adalah norma. Dari norma-norma yang ada, norma hukum adalah
norma yang paling kuat karena dapat dipaksakan pelaksanannya oleh kekuasaan
eksternal (penguasa).
Nilai dan norma selanjutnya berkaitan erat dengan moral dan etika. Istilah
moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat
kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh moralitas yang dimiliknya.
Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari
sikap dan tingkah lakunya.
4
2. NORMA
Norma moral adalah norma yang hidup dalam masyarakat yang dianggap
sebagai peraturan dan dijadikan pedoman dalam bertingkah laku. Norma
moral/kesusilaan dipatuhi oleh seseorang agar terbentuk akhlak pribadi yang mulia.
1
M. Arifin Hakim, Ilmu Budaya Dasar, Pusaka Satya,Bandung, 2001, hlm. 21-22
5
3. MORALITAS
2
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral, (Bandung: CV Pustaka Grafika, 1999), hlm. 118
6
berdasarkan: (1) kebiasaan manusia, (2) hukum-hukum negara, (3) pemilihan
bebas Tuhan.3
4. ETIKA
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, filsafat hukum adalah cabang
dari filsafat, bukan cabang dari ilmu hukum. Lili Rasjidi melukiskan hubungan
antara filsafat dan filsafat hukum dengan urutan-urutan sebagai berikut : filsafat
→filsafat manusia→filsafat tingkah laku (etika)→filsafat hukum.4
Jadi, filsafat hukum mempunyai kaitan yang erat dengan etika. Sama
dengan istilah filsafat (philos dan sophia, yang artinya cinta pada
kebijaksanaan), secara etimologis, etika juga berasal dari bahasa Yunani, yaitu
ethos atau ta etika, yang artinya watak kebiasaan. Seringkali orang
menyamakan istilah etika dengan ajaran moral. Istilah yang terakhir ini juga
berasal dari bahasa Yunani, yakni mos (jamaknya mores), yang juga bermakna
sama dengan ethos.
Walaupun secara etimologis bermakna sama, dua istilah tersebut
tidaklah identik. Menurut Franz Magnis-Suseno, yang dimaksud dengan ajaran
moral adalah ajaran-ajaran wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-
patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tertulis, tentang
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang
baik. Di lain pihak, etika adalah filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.5
Habermas menyatakan bahwa prinsip-prinsip moral itu “...di satu sisi
bertumpu pada hak setiap orang untuk melakukan apa yang dianggapnya sah; di
sisi lain dia bersandar pada keharusan, bahwa setiap orang boleh mengejar
3
Ibid, hlm. 119-120
4
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 1990), hlm 7.
5
F Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius,
1991), Cet. Ke-3, hlm 14.
7
tujuan-tujuan dengan manfaat untuk masing-masing hanya jika sejalan dengan
manfaat bersama.”6
Etika sebagai cabang filsafat, pertama-tama dapat didekati secara: (1)
deskriptif dan normatif. Karena itu ada yang disebut etika deskriptif dan etika
normatif. Di luar itu ada pendekatan ketiga, yang disebut metaetika.
Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas,
misalnya berupa adat kebiasaan, anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-
tindakan yang diperbolehkan dan dilarang. Etika deskriptif mempelajari
moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan atau
subkultur tertentu dalam suatu periode sejarah, dan sebagainya. Karena etika
deskriptif hanya melukiskan, ia tidak memberi penilaian. Misalnya, ia
melukiskan adat mengayau (memenggal) kepala manusia yang ditemukan
dalam suatu masyarakat primitif, tetapi ia tidak memberi penilaian apakah adat
semacam itu dapat diterima atau harus ditolak.7
Berbeda dengan etika deskriptif, pada etika normatif ini ia sudah
sampai pada penilaian-penilaian. Dengan perkataan lain, di sini sudah ada
pemihakan terhadap pandangan moralitas tertentu. Pengayauan kepala seperti
dicontohkan di atas, oleh pengemuka etika normatif, mungkin sekali akan
ditolaknya berdasarkan alasan-alasan yang rasional dan kritis. Etika normatif ini
justru adalah bagian terpenting dari etika karena di sinilah berlangsung diskusi-
diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral.8
Pendekatan berikutnya adalah yang disebut metaetika (meta berarti
melebihi atau melampaui). Metaetika lebih bersifat sebagai filsafat analitis,
suatu aliran yang penting dalam filsafat abad ke-20, yang antara lain dipelopori
filsuf Inggris bernama George Moore (1873-1958). Dalam metaetika, misalnya
6
Habermas 1985: 28.
7
K Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), Cet. Ke-2, hlm 15-16.
8
Ibid, hlm 17.
8
dianalisis pengertian istilah atau konsep “keadilan” itu. Apakah “keadilan” yang
dipergunakan dalam konteks tertentu mengandung makna yang sama dengan
“keadilan” dalam konteks yang lain. Jika berbeda, bagaimana hal itu harus
dijelaskan.
Baik etika deskriptif maupun etika normatif, sangat membutuhkan
bantuan metaetika ini. Dalam membuat argumentasi yang rasional dan kritis,
jelas diperlukan analisis-analisis mendalam tentang konsep, istilah, kata, dan
seterusnya, yang semuanya mempengaruhi pemahaman kita tentang suatu
masalah.
B. KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB, DAN SUARA HATI
1. KEBEBASAN
Manusia adalah puncak ciptaan Tuhan, yang dikirim ke bumi untuk menjadi
khalifah atau wakil-Nya. Oleh karena itu setiap perbuatan yang membawa perbaikan
manusia, oleh sesama manusia sendiri, mempunyai nilai kebaikan dan keluhuran
kosmis, menjangkau batas-batas jagad raya, menyimpan makna kebenaran dan
kebaikan universal, suatu nilai yang berdimensi seluruh alam. Dan karena manusia
dalam analisa terakhir terdiri dari individu-individu atau kenyataan-kenyataan
perorangan yang tidak terbagi-bagi, maka masing-masing perorangan itu menjadi
"instansi" pertanggung jawaban terakhir dan mutlak dalam pengadilan Hadirat Ilahi
di akhirat nanti.
Masing-masing perorangan itu pulalah yang akhirnya dituntut untuk
menampilkan diri sebagai makhluk moral yang bertanggungjawab, yang akan
memikul segala amal perbuatannya tanpa kemungkinan mendelegasikannya kepada
pribadi yang lain9.
9
H.A. Ludjito, Susunan Masyarakat Islam, (Jakarta: Pustaka firdaus,1986) hlm.43
9
Kebebasan adalah tidak dalam keadaan diam, tetapi dapat melakukan apa
saja yang dinginkan selama masih dalam norma-norma atau peraturan-peraturan
yang telah ada dalam kehidupan pribadi, keluarga , masyarakat, dan Negara.
Dalam arti luas kebebasan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang
menyangkut semua urusan mulai dari sekecil-kecilnya sampai sebesar-besarnya
sesuai keinginan, baik individu maupun kelompok namun tidak bertentangan
dengan norma-norma, aturan-aturan, dan perundang-undanganyang berlaku.
Kebebasan sebagiamana dikemukakan Ahmad Charris Zubair adalah terjadi
apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu
paksaan dari keterikatan kepada orang lain. Seseorang disebut bebas apabila:
1. Dapat menentukan sendiri tujuan-tujuannya dan apa yang akan dilakukannya.
2. Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya.
3. Tidak dipaksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang tidak akan dipilihnya
sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang dipilihnya sendiri, oleh kehendak
orang lain, Negara atau kekuasaan apapun10
10
Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990) hlm.39-40.
10
memiliki kebebasan, ia bebas melakukan apa saja yang dikehendaki selagi ia bisa
mempertanggung jawabkan dan tidak melanggar norma-norma yang ada.
Dalam ajaran islam, kebebasan yang diberikan kepada manusia adalah
kebebasan yang dipimpin oleh wahyu. Manusia bebas untuk berperilaku
berlandaskan norma-norma seperti yang di gariskan dalam Al-quran. Salah satu
kebebasan yang dapat disebutkan disini adalah kebebasan untuk menyatukan
pendapat, namun harus dilandasi pikiran yang sehat.
Kebebasan menyatakan pendapat disalahartikan, yaitu dengan demonstrasi
atau unjuk rasa. Demonstrasi adalah salah satu cara untuk menyampaikan keinginan
atau aspirasi dengan sopan dan sesuai dengan cara-cara mengemukakan pendapat
dalam islam. Demosntrasi merupakan suatu bentuk tekanan atau pengendalian sosial
yang efektif.
1. Untuk bisa lepas dan bebas dari penjajahan dan hidup merdeka, harus berkorban
harta, tenaga, pikiran, bahkan nyawa untuk melawan penjajah.
2. Untuk bisa memakai jilbab di sekolah umum, para siswa telah berjuang sampai ke
pengadilan.
3. Pada zaman orde baru untuk mengemukakan pendapat telah diatur dalam pasal 28
UUD 1945
Didalam kebebasan yang dibenarkan adalah kebebasan yang tidak
melanggar norma dan ajaran islam. Apabila seseorang hidup tanpa adanya peraturan
tentu hidupnya kacau. Menurut Hobbes, arti kebebasan bagi setiap orang harus
berdasarkan prinsip kebaikan bersama diatas oleh hak setiap orang pada umumnya,
bahwa hak saya dan dalam melindungi hak dan dalam melindungi hak saya
pemerintah menjaminnya.
11
2. TANGGUNG JAWAB
12
Sebagai sumber gerak, Sumber kenormatifan, Sumber motivasi dan sumber
nilai yang dapat dijadikan acuan hidup.
2. Tanggung jawab Etik
Sebagai akibat modernisasi dan industrialisasi, kadang manusia
mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan
martabatnya. Kehidupan modern seperti sekarang ini sering menampilkan
sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi materi
yang gemerlap ini.Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut adalah al-hirsh, yaitu
keingnan yang berlebih-lebihan terhadap materi. Dari sifat ini tumbuh
perilaku menyimpang, seperti korupsi dan manipulasi.sifat kedua ialah al-
hasud, yaitu menginginkan agar nikmat orang lain sirna dan beralih kepada
dirinya. Sifat riya’ yaitu sifat suka memamerkan harta atau kebaikan diri,
dan sebagainya dari berbagai sifat hati.
Cara menghilangkan sifat-sifat tersebut ialah dengan mengadakan
penghayatan atas keimanan dan ibadahnya, mengadakan latihan secara
bersungguh-sungguh, berusaha mengubah sifat-sifatnya itu dengan mencari
waktu yang tepat. Karena kadang-kadang sifat tercela itu muncul dalam
keadaan yang tidak tersadari, maka seyogyanya setiap muslim selalu
mengadakan introspeksi (muhasabah) terhadap dirinya.
3. Tanggung jawab Politik
Tasawuf pada masa sekarang tidak lagi menjauhi pada kekuasaan,
sebagaimana dilakukan oleh para sufi-klasik. Akan tetapi tampil di tengah-
tengah politik dan masuk kedalam kekuasaan. Sebab menjauhinya
menunjukkan ketidakberdayaan dan kelemahan. Apabila pada masa klasik
ada fatwa untuk menjauhi dan bersifat oposan terhadap kekuasaan, hal ini
sedikit bisa dibenarkan karena kekuasaan padaa waktu itu bersifat
individual, sementara itu kini kekuasaan bersifat kolektif.
13
4. Tanggung jawab Intelektual
Tuntutan yang muncul akibat medernisasi dan industrialisasi tersebut,
ialah pengembangan kemampuan intelektual muslim sehingga memiliki
kemampuan dialogis dann fungsional terhadap perkembangan IPTEK,
(Abdul Munir Mulkhan, 1993).
Secara epistimologis tasawuf memakai metode intuitif, yang pada
abad ini dijadikan sebagai salah satu alternatif dari rasionalisme dan
empirisme dan membantunya untuk melakukan terobosan baru dalam
berbagai hal.Intuisi merupakan salah satu tipe pengetahuan yang memiliki
watak tinggi daripada pengetahuan indra atau akal.11
3. SUARA HATI
Suara hati sering juga disebut dengan hati nurani. Dalam kosa kata
Latin, terdapat dua istilah yang berbeda untuk hati nurani dan suara hati, yaitu
kata synteresis dan conscientia. Kata synteresis lebih tepat diartikan sebagai
hati nurani, yaitu pengetahuan intuitif tentang prinsip-prinsip moral. Menurut
Aquinas, hati nurani berasal langsung dari Tuhan dan oleh karena itu tidak
mungkin keliru. Apabila manusia menghadapi situasi konkret yang
mengharuskan memilh sikap-sikap moral tertentu, maka yang hadir pada saat
itu adalah suara hati (conscientia).12
Jika hati nurani adalah “suara Tuhan” maka tidak demikian halnya
dengan suara hati itu. Suara hati memang suara kejujuran, tetapi tidak identik
dengan hakikatbkebenaran itu sendiri. Artinya suara hati mungkin saja salah,
tetapi “kesalahan” suara hati itu karena ketidaktahuan si pemilik suara hati itu,
bukan karena ia sengaja berbuat salah.
11
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 1999)hlm. 112-123
12
Franz Magnis-Suseno, Tiga Belas Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19 (Yogyakarta:
Kanisius, 1997), hlm. 91.
14
Franz Magnis-Suseno menyebutkan tiga lembaga normatif yang
mengajukan norma-norma (dalam arti yang lebih abstrak berupa nilai-nilai)
mereka kepada kita.13
Pertama, adalah masyarakat, termasuk pemerintah, guru, orang tua,
teman sebaya, dan pemuka agama. Lembaga normatif tersebut baik secara
implisit maupun eksplisit, akan menyatakan apa yang baik dan tidak baik
menurut mereka. Tentu saja nilai-nilai yang diberikan oleh orangtua, misalnya
tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai yang ditawarkan oleh teman sebaya.
Ke dua, adalah ideologi termasuk agama di dalamnya. Kode etik profesi
juga ada dalam kategori lembaga normatif ke dua ini. Agama, khususnya bagi
bangsa Indonesia memegang peranan yang cukup dominan dalam memasok
nilai-nilai dlam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, adalah superego14 pribadi. Seperti perasaan malu pada diri
seseorang apabila yang berangkutan melakukan suatu perilaku tidak terpuji.
Perasaan malu atau bersalah ini muncul secara spontan, tanpa melalui proses
perenungan terlebih dulu (karena memang telah terinternalisasi dalam diri yang
bersangkutan), dan juga bukan karena ada pihak lain yang telah menegur atau
memberi sanksi. Lemaga normatif ke tiga ini banyak dipengaruhi oleh seberapa
jauh kadar kedalaman keterlibatannya pada lembaga normatif pertama dan ke
dua.
C. FUNGSI ETIKA
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala sesuatu
yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Bagian-bagiannya
meliputi: 1.Metafisika yaitu kajian dibalik alam yang nyata, 2.Kosmologia yaitu
13
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar:..., Op. Cit., hlm. 49-52.
14
Istilah superego berasal dari Sigmund Freud. Ia juga menyebutkan tiga lembaga yang memengaruhi
struktur kepribadian seseorang, yaitu: (1) id (Es), (2) ego (Ich), dan (3) superego (Ueberich). Id adalah alam
bawah sadar manusia, sedangkan ego adalah aktivator yang menggerakkan alam bawah sadaritu dengan
menghubungkannya dengan realitas. Superego merupakan internalisasi (pembatinan) dari ego.
15
kajian tentang alam, 3.Logika yaitu pembahasa tentang cara berpikir cepat dan
tepat, 4.Etika yaitu pembahasan tentang tingkah laku manusia, 5.Teologi yaitu
pembahasan tentang ketuhanan, 6.Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia.
Dengan demikian, jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam
filsafat.
Etika berusaha memberi petunjuk untuk tiga jenis pertanyaan yang
senantiasa kita ajukan. Pertama, apakah yang harus kita lakukan dalam situasi
konkret yang tengah dihadapi? Kedua, kita akan mengatur pola koeksistensi kita
dengan orang lain? Ketiga, akan menjadi manusia macam apa kita ini? Dalam
konteks ini, etika berfungsi sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar dalam
mengelola kehidupan ini tidak sampai bersifat tragis. Etika berusaha mencegah
tersebarnya fractisida yang secara legendaris dan historis mewarnai sejarah hidup
manusia. 15
Jika tiga pertanyaan itu disarikan, sampailah pada satu fungsi utama etika,
yaitu untuk membantu kita mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan
moralitas yang membingungkan.16 Disini terlihat bahwa etika adalah pemikiran
sistematis tentang moralitas, dan yang dihasilkannya secara langsung bukan
kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Pengertian
demikian perlu dicari dengan alasan: (1) kita hidup dalam masyarakat yang semakin
pluralistik, juga dalam bidang moral, sehingga kita bingung harus mengikuti
moralitas yang mana, (2) modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur
kebutuhan dan nilai masyarakat yang akibatnya menantang pandangan-pandangan
moral tradisional, (3) adanya pelbagai ideologi yang menawarkan diri sebagai
penuntun hidup, yang masing-masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana
manusia harus hidup, dan (4) etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu
15
A, Rachmat, Titik Sentuh Antara Etika dan Filsafat, Pro Justitia, Tahun X No. 2/April, 1992, hlm. 3-
18.
16
F Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius,
1991), Cet. Ke-3hlm 15.
16
pihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, di
lain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup
diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah itu.
Berikut ini akan dijelaskan dua sifat etika :17
1. Non-empiris , yang menyatakan bahwa filsafat digolongkan sebgai ilmu
non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau
konkret. Namun, filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui
yang konkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala
konkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa
yang konkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa
yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2. Praktis, yaitu bahwa cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu
“yang ada”. Misalnya, filsafat hukum itu mempelajari apa itu hukum. Akan
tetapi, etika tidak terbatas pada itu, tetapi bertanya tentang “apa yang harus
dilakukan”. Dengan demikian, etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis
karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan manusia. Tetapi, ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti
menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis, tetapi
reflektif. Maksudnya, etika hanya menganalisis tema-tema pokok, seperti
hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dan sebagainya.
D. TEORI-TEORI ETIKA
Etika berasal dari kata Yunani yaitu ethos yang berari akhlak, adat
kebiasaan, watak, perasaan, sikap yang baik, yang layak . etika bukan berasal dari
ajaran moral, melainkan merupakan cabang ilmu filsafat mengenai suatu pemikiran
kritis dan mendasar dari yang baik, yang pantas dan benardari ajaran moral.
Etika merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku
17
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 27-29.
17
benaratau salah, kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan perilaku.
Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, etika adalah 1) ilmu tentang apa yang
baik, apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral. 2) kumpulan atau
seperangkat asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. 3) nilai yang benar dan
salah yang dianut suatu golongan ataau masyarakat. 18 Etika berurusan dengan
orthopraxis, yakni tindakan yang benar (right action). Kapan suatu tindakan itu
dipandang benar ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai teori (aliran) etika yang
secara global bisa dibagi menjadi dua, yaitu aliran deontologis (etika kewajiban)
dan aliran teologis (etika tujuan atau manfaat).19 Di luar dua pembagian besar itu,
sebenarnya masih dikenal pembagian dan penamaan teori etika yang lain, seperti
hedonisme, eudominisme, utilisme, dan vitalisme.
Sebaliknya, teori teleologis, yang lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu
tindakan dikatakan baik apabila buah dari tindakan itu lebih banyak untungnya
daripada ruginya. Teori teleologis ini memunculkan dua pandangan, yaitu: (1)
egoisme, dan (2) utilitarianisme.20
18
Cecep Triwibisono, Etika Dan Hukum Kesehatan (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), hlm. 1.
19
A, Rachmat, Titik Sentuh Antara Etika dan Filsafat, Pro Justitia, Tahun X No. 2/April, 1992, hlm. 7.
20
A.S, Keraf, Etika Bisnis, Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur, (Yogyakarta: Kanisius,
1993), Cet. Ke-2, hlm. 31.
18
Ada perbedaan yang mencolok dari kedua teori ini. Egoisme selalu menekankan
keuntungan pada “saya pribadi saja” sementara utilitarianisme menekankan
keuntungan pada “setiap orang, termasuk saya”. Di sini terlihat sisi humanis dari
utilitarianisme dibandingkan dengan egosime.
filsafat itu sebagai suatu pengetahuan yang terbentuk secara sistematis, metodis, dan
koheren tentang seluruh kenyataan termasuklah pandangan hidup sebagai petunjuk
arah kegiatan manusia dalam segala bidang kehidupannya. Selanjutnya filsafat ini
memiliki cabang filsafat hukum yang merupakan filsafat tingkah laku yang
mempelajari hukum secara filosofis. Yang artinya, hukum itu dikaji sampai ke
hakikatnya/dasarnya dan di situ terdapat yang namanya nilai yaitu sifat/kualitas dari
sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Agar lebih berguna dalam
menuntun sikap dan tingkah laku manusia perlu dikonkretkan lagi dalam bentuk
norma, agar menjadi obyektif. Dari norma-norma yang ada, norma hukum fositiflah
yang paling kuat karena dapat di paksakan pelaksanaannya oleh kekuatan
eksternal/penguasa, kemudian nilai dan norma ini berkaitan erat dengan moral dan
etika.
Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia yang maknanya
tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Maka derajat kepribadian seseorang amat
ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya.21
Etika lebih banyak bersifat teori, moral lebih bersifat praktik. Etika membicarakan
bagaimana seharusnya, sementara moral membicarakan bagaimana adanya. Etika
menyelidiki, memikirkan, dan mempertimbangkan tentang yang baik dan yang
buruk, sementara moral menyatakan ukuran yang baik tentang tindakan manusia
dalam kesatuan sosial tertentu.
21
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum (Refleksi Kritis terhadap Hhukum), (Jakarta : PT RajaGrapindo Persada,
2012), hlm. 82.
19
Franz Magnis-Suseno mengemukakan bahwa dengan ajaran moral (ajaran-ajaran,
khotbah,khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan an ketetapan), entah lisan
ataupun tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertingkah agar ia
menjadi manusia yang baik sedangkan etika itu merupakan pemikiran yang
mendasar tentang ajaran-ajaran moral.22
Etika dan moral sepertinya memang suatu keadaan ataupun kaedah yang tidak bisa
dipisahkan antara satu sama lainnya, ketika seseorang berbicara mengenai etika
dalam kacamata teori apapun pasti akan membicarakan moral juga. Demikian juga
sebaliknya ketika orang membicarakan makna apa yang terkandung dibalik kata
moral, sudah pasti pembahasan atau argumentasinya menyangkut juga tentang etika.
Bahkan dalam beberapa literature tentang filsafat hukum kita akan menemui secara
jelas bahwa etika dan moral itu selalu dibahas dalam space atau tempat yang sama.
1. Idealisme Etis
22
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar (Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral), (Yogyakarta: Kanisius, 1987),
hlm. 14.
20
Idealisme dalam kancah ontologi bertolak dari pemikiran bahwa manusia
adalah makhluk yang memiliki ide san idelah yang memengaruhi materi
(pengalaman) , bukan sebaliknya. Dalam hal ini idealisme tidak bermaksud untuk
mengingkari keberaaan materi. Hanya saja, untuk dapat mengetahui materi itu,
orang terlebih dulu menggunakan idenya. Jadi, ide tetap yang utama.24
a) Idealisme Rasionalistis
b) Idealisme Estetis, dan
c) Idealisme Etis.25
2. Deontologisme Etis
Deontologisme etis sering dikaitkan dengan pandangan filsuf asal Prusia Timur
bernama Immanuel Kant (1724-1804). Jika mengikuti pandangan deontologis dari
Kant , inti dari periaku baik harus didorong oleh itikad (kehendak) yang baik. Itikad
baik muncul karena memang kewajiban yang bersangkutan untuk berbuat demikian,
bukan jarena spontanitas, watak, hobby, atau yang lainnya. Perilaku yang didorong
oleh kewajiban tanpa maksud-maksud lain diluar kewajiban disebut dengan
imperatif kategoris. Kewajiban moral adalah selalu imperatif kategoris , buka
imperatif hipotesis. Seorang hakim bebuat adil karena memang kewajibannyalah
untuk berbuat adil, bukan karena ia ingin dipuji oleh masyarakat atau agar dinilai
baik oleh atasannya.
23
J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan ( Yogykarta: Kanisius, 2002),
hlm.176-177.
24
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum: suatu tawaran kerangka berfikir (Bandung: PT Pefika
Aditama), hlm. 56.
25
H. De Vos, Pengantar Etika, terjemahan Soejono soemargono ( (ogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1987), hlm.203-210.
21
Teori deontologis ini (dalam kutub ekstrim) sering pula disebut dengan etika
peraturan, sebagai lawan dari pengertian etika situasi. Menurut teori deontologis,
manusian itu baik selama ia tidak melanggar norma-norma yang berlaku, termasuk
didalamnya norma agama. Teori deontologias sama sekali tidak menjawab
pertanyaan, “Mengapa sesuatu yang dilarang itu dianggap buruk?” jawaban yang
diberikan hanya berhenti pada keberadaan norma yang mengharuskanmya
beranggapan demikian. Sebagai contoh, orang membunuh dianggap buruk bukan
karena perilaku membunuh itu secara objektif buruk, tetapi karena perilaku itu
dilarang oleh norma-norma yang ada.
3. Teologisme Etis
Jika teori deontologis menekankan pada perilaku, sebaliknya teori teologis lebih
menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika buah dari perilaku itu lebih
banyak untung daripada rugi. Untug rugi ini dilihat dari indikator kepentingan
manusia.
a) Egoisme, dan
b) Utilitarianisme (Utilisme)
Ada perbedaan yang mencolok dari kedua teori ini. Egoisme selalu menekankan
keuntunagn pada “saya pribadi saja” sementara utilitarianisme menekankan
keuntungan pada “setiap orang, termasuk saya”. Di sini terlihat sisi humanis dari
utilitarianisme dibandingkan dengan egoisme. Cara berpikir utilitarianisme ini
sebenarnya merupakan penghalusan dari alturisme yang cenderung dinilai kurang
realistis, yakni menekankan keuntungan bagi “ setiap orang kecuali saya”.
22
Dalam praktik, egoisme dan utilisme sering kali bertumpang tindih, sehingga sulit
untuk dibedakan. Jeremy Bentham (1742-1832) mengajarkan, bahwa utilisme
ditunjukan untuk mengejar kemanfaatan (baca: kebahagiaan) pribadi. Oleh karena
itu, utilisme telah berhasil jika dapat membuat mayoritas dari pribadi-pribadi dalam
masyarakat tertentu merasa bahagia. Walaupun demikian, pandangan Bentham
tetaplah bersifat individualistis.
Sedangkan egoisme adalah perilaku dari setiap pada dasarnya bertujuan untuk
mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Karena itu, satu-
satunya tujuan dan juga kewajiban moral setiap pribadi adalah untuk mengejar
kepentinganmya dan memajukan dirinya sendiri.26
26
Shidarta, OP. Cit., hlm. 62.
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
24
DAFTAR PUSTAKA
25