Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS HYPOSPADIA

DI RUANGAN BOUGENVIL RSUD UNDATA


PROVINSI SULAWESI TENGAH

DI SUSUN OLEH :

NAMA : LUCKY ARISANDI, S.Kep


NIM : 2022031015

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ns. Sarah, S.Kep Ns. Siti Yartin, S.Kep.,M.Kep


NIP. 19810725 200701 2 015 NIK. 20210902025

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA
2022

BAB I
KONSEP TEORI

A. DEFINISI

Kelainan kongenital adalah kelainan bawaan yang disebabkan oleh adanya


kegagalan dalam proses pembentukan organ saat fase organogenesis di trimester
pertama. Hipospadia merupaka salah satu kelainan bawaan sejak lahir pada alat
genetalia laki-laki. Kata Hipospadia berasal dari bahasa Yunani yaitu Hypo, yang
berarti dibawah, dan Spadon, yang berarti lubang (Vikaningrum, 2020).

Hipospadia dapat didefinisikan sebagai adanya muara uretra yang terletak di


ventral atau proksimal dari lokasi yang seharusnya. Kelainan terbentuk pada masa
embrional karena adanya gangguan pada masa perkembangan alat kelamin dan sering
dikaitkan dengan gangguan pembentukan seks primer maupun gangguan aktivitas
seksual saat dewasa (Snodgrass & Bush, 2020).

B. ANATOMI FISIOLOGI

Gambar 2.1 Sistem perkemihan (Hurd, 2018)

1. Ginjal

Ginjal merupakan organ yang berpasangan dan setiap ginjal memiliki


berat kurang lebih 125 g, terletak pada posisi di sebelah lateral veterbra
torakalis bawah, beberapa sentimeter di sebelah kanan dan kiri garis tengah.
Organ ini terbungkus oleh jaringan ikat tipis yang dikenal sebagai kapsula
renis. Anterior ginjal dipisahkan dari kavum abdomen dan isinya oleh
lapisan peritonium. Di sebelah posterior, organ tersebut dilindungi oleh
dinding toraks bawah (Brunner& Suddarth, 2002)
Ginjal berperan sebagai pengatur komposisi dan volume cairan dalam
tubuh serta penyaring darah untuk dibuang dalam bentuk urine sebagai zat
sisa yang tidak diperlukan oleh tubuh dan menahannya agar tidak
bercampur dengan zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh (Hidayat, 2009).
Darah dialirkan ke dalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar dari
ginjal melalui vena renalis. Ginjal dengan efisien dapat membersihkan
bahan limbah dari dalam darah, dan fungsi ini bisa dilaksanakannya karena
aliran darah yang melalui ginjal jumlahnya sangat besar, 25% dari curah
jantung (Brunner& Suddarth, 2020)
Pada ginjal terdapat nefron (berjumlah kurang lebih satu juta) yang
merupakan unit dari struktur ginjal. Urine yang terbentuk dalam nefron ini
akan mengalir ke dalam duktus pengumpul dan tubulas renal yang
kemudian menyatu untuk membentuk pelvis ginjal. Setiap pelvis ginjal akan
membentuk ureter. Ureter merupakan pipa panjang dengan dinding yang
sebagian besar terdiri atas otot polos. Organ ini menghubungkan setiap
ginjal dengan kandung kemih dan berfungsi sebagai pipa untuk
menyalurkan urin (Brunner& Suddarth, 2020)

2. Kandung Kemih
Kandung kemih (buli-buli atau bladder) merupakan sebuah kantong
yang terdiri atas otot halus, berfungsi menampung urin. Kandung kemih
merupakan organ yang berongga yang terletak di sebelah anterior tepat di
belakang os pubis. Sebagian besar dinding kandung kemih tersusun dari otot
polos yang dinamakan muskulus detrusor. Kontraksi otot ini berfungsi
untuk mengosongkan kandung kemih pada saat urinasi (buang air kecil)
(Brunner& Suddarth, 2020)
Pada dasar kandung kemih terdapat lapisan tengah jaringan otot
berbentuk lingkaran bagian dalam atau disebut sebagai otot lingkar yang
berfungsi menjaga saluran antara kandung kemih dan uretra, sehingga uretra
dapat menyalurkan urine dari kandung kemih keluar tubuh. Penyaluran
rangsangan ke kandung kemih dan rangsangan motoris ke otot lingkar
bagian dalam diatur oleh sistem simpatis. Akibat dari rangsangan ini, otot
lingkar menjadi kendor dan terjadi kontraksi sfingter bagian dalam sehingga
urine tetap tinggal di dalam kandung kemih. Sistem parasimpatis
menyalurkan rangsangan motoris kandung kemih dan rangsangan
penghalang ke bagian dalam otot lingkar. Rangsangan ini dapat
menyebabkan terjadinya kontraksi otot destrusor dan kendurnya sfingter
(Hidayat, 2019)

3. Uretra
Uretra merupakan organ yang berfungsi menyalurkan urine ke bagian
luar. Fungsi uretra pada wanita berbeda dengan yang terdapat pada pria.
Pada pria, uretra digunakan sebagai tempat pengaliran urine dan sistem
reproduksi, berukuran panjang 13,7-16,2 cm, dan terdiri atas tiga bagian,
yaitu prostat, selaput (membran), dan bagian yang berongga (ruang). Pada
wanita, uretra memiliki panjang 3,7-6,2 cm dan hanya berfungsi sebagai
tempat menyalurkan urine ke bagian luar tubuh (Hidayat, 2019)
Saluran perkemihan dilapisi oleh membran mukosa, dimulai dari
meatus uretra hingga ginjal. Meskipun mikroorganisme secara normal tidak
ada yang bisa melewati uretra bagian bawah, membran mukosa ini, pada
keadaan patologis, yang terus-menerus akan menjadikannya media yang
baik untuk pertumbuhan beberapa patogen (Hidayat, 2019)
C. ETIOLOGI
Etiologi Hipospadia sangat bervariasi dan multifactorial, namun belum
ditemukan penyebab pasti dari kelainan ini. Adanya defek pada produksi
testosterone oleh testis dan kelenjar adrenal, kegagalan konversi dari testosterone
ke dihidrotestosteron, defisiensi reseptor androgen di penis, maupun penurunan
ikatan antara dihidrostestosteron dengan reseptor andogren dapat
menyebabkan Hypospadia (Krisna & Maulana, 2018).

Adanya paparan estrogen atau progestin pada ibu hamil di awal kehamilan
dicurigai dapat meningkatkan resiko terjadinya Hypospadia. Lingkungan yang
tinggi terhadap aktivitas estrogen sering ditemukan pada pestisida di sayuran dan
buah, dan obat-obatan, namun pada pil kontrasepsi tidak menimbulkan
Hypospadia. Bahwa ibu hamil yang terpapar diethylstilbestrol meningkatlan resiko
terjadinya Hypospadia(Krisna& Maulana,2018).

Pada ibu hamil yang melakukan diet vegetarian diperkirakan terjadi


peningkatan resiko terjadinya Hypospadia. Hal ini dapat disebabkan adanya
kandungan yang tinggi dari fitoestrogen pada sayuran. Respon Activiting
Transcription Factor (ATF3) terhadap aktivitas anti androgen terbukti berperan
penting terhadap kelainan Hypospadia. Pada ibu hamil yang mengkonsumsi obat-
obatan anti epilepsy seperti asam valporat juga diduga meningkatkan resiko
Hypospadia (Krisna & Maulana, 2018).
Pada anak laki-laki yang lahir dengan program Intra-cystolasmic sperm
Injection (ICSI) atau In Vitro Fertilization (IVF) memiliki insiden yang tinggi
pada Hypospadia. Intra uterin growth retardation, berat bayi lahir rendah, bayi
kembar, turunan Hypospadia juga merupakan faktor resiko Hypospadia yang
dapat dikendalikan selama kehamilan (Krisna & Maulana, 2018).

Beberapa kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan Hypospadia


adalah kelainan kromosom dan ambigu genetalia seperti hermafrodit maupun
pseudohermafrodit (Krisna & Maulana, 2018)

D. PATOFISIOLOGI

Gambar 2. 2 Patofisiologi Hipospadia (Widjajana, 2018)


E. MANIFSTASI KLINIS
Manifestasi klinis menurut Nurrarif & Kusuma (2019) yang sering muncul
pada penyakit hipospadia sebagai berikut :
a. Tidak terdapat preposium ventral sehingga prepesium dorsal menjadi
berlebihan (dorsal hood).
b. Sering disertai dengan korde atau penis melengkung ke arah bawah.
c. Lubang kencing terletak dibagian bawah dari penis.
Gejala yang timbul bervariasi sesuai dengan derajat kalainan. Secara umum jarang
ditemukan adanya gangguan fungsi, namun cenderung berkaitan dengan masalah
kosmetik karena letak muara uretra pada bagian ventral penis. Biasanya juga
ditemukan kulit luar bagian ventral lebih tipis atau bahkan tidak ada, dimana kulit
luar di bagian dorsal menebal. Pada hipospadia sering ditemukan adanya
chorda (Sigumonrong, 2018).
Chorda adalah adanya pembengkokan menuju arah ventral dari penis.
Hal ini disebabkan oleh karena adanya atrofi dari corpus spongiosum, fibrosis
dari tunica albuginea dan facia di atas tunica, pengencangan kulit ventral dan
fasia buck, perlengketan antara uretra plate ke corpus cavernosa. Keluhan yang
mungkin ditimbulkan adalah adanya pancaran urin yang lemah ketika berkemih,
nyeri ketika ereksi, dan gangguan dalam berhubungan seksual. Hipospadia
sangat sering ditemukan bersamaan dengan cryptorchismus dan hernia
inguinalis sehingga pemeriksaan adanya testis tidak boleh terlewatkan (Krisna &
Maulana, 2018).
F. KLASIFIKASI

Klasifikasi Hypospadia terbagi berdasarkan lokasinya. Klasifikasi yang paling

sering digunakan adalah klasifikasi Duckett yang membagi Hypospadia menjadi 3

lokasi, yaitu anterior (Glandular, coronal, dan distal penile), middle (midshaft dan

proximal penile), dan posterior (Penoscrotal, scrotal, dan perineal). Lokasi yang

peling sering ditemukan adalah di subcoronal. Klasifikasi Hypospadia berdasarkan

derajat sangat subyektif tergantung dari ahli bedah masing-masing Klasifikasi

Hypospadia terbagi berdasarkan lokasinya. Klasifikasi yang paling sering digunakan

adalah klasifikasi Duckett yang membagi Hypospadia menjadi 3 lokasi, yaitu


proximal penile), dan posterior (Penoscrotal, scrotal, dan perineal).

Lokasi yang peling sering ditemukan adalah di subcoronal. Klasifikasi

Hypospadia berdasarkan derajat sangat subyektif tergantung dari ahli bedah masing-

masing. Dibagi menjadi: Mild Hypospadia atau Grade 1, yaitu muara uretra dekat

dengan lokasi normal dan berada pada ujung tengah glans (glanular, coronal,

subcoronal). Moderate Hypospadia atau grade 2, muara uretra berada di tengah-

tengah lokasi normal dan scrotal (Distal penile, Midshaft). Devere Hypospadia atau

grade 3 dan 4, yaitu muara uretra berada jauh dari lokasi yang seharusnya (Perineal,

Scrotal, Penoscrotal) (Krisna & Maulana, 2018).

Gambar 2.3 Klasifikasi Hypospadia (Krisna & Maulana, 2018)


G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang disarankan untuk penegakkan

pasti diagnosis Hypospadia. USG Ginjal disarankan untuk mengetahui adanya

anomaly lainnya pada saluran kemih pada pasien Hypospadia. Karyotyping

disarankan pada pasien dengan ambigu genetalia ataupun cryptochirdism.

Beberapa test seperti elektrolit, hydroxyprogesterone, testosterone, luteinizing

hormone, follicle-stimulating hormone, sex hormone binding globulin, dan beberapa

tes genetic dipertimbangkan apabila memungkinkan (Krisna & Maulana, 2018).

H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan hipospadia adalah dengan jalan pembedahan. Tujuan prosedur
pembedahan pada Hypospadia adalah:

1) Membuat penis yang lurus dengan memperbaiki chordee.

2) Membentuk uretra dan meatusnya yang bermuara pada ujung penis

(Uretroplasti).

3) Untuk mengembalikan aspek normal dari genetalia eskternal (kosmetik).

Pembedahan dilakukan berdasarkan keadaan malformasinya. Pada


Hypospadiaglanular uretra distal ada yang tidak terbentuk, biasanya tanpa
recurvatum, bentuk seperti ini dapat direkotruksi dengan flap local, misalnya:
prosedur Santanelli, Flip flap, MAGPI (Meatal Advanve and Glanuloplasty),
termasuk preputium plasty (Nurarif & Kusuma, 2019).
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahapan pertama dari proses keperawatan.
Sebelum memulai seluruh proses, tenaga keperawatan akan melakukan
pengkajian awal terhadap kondisi klien. Klien akan diberikan pertanyaan serta
diberikan sejumlah tes baik fisik maupun psikis. Pengkajian ini merupakan titik
yang paling penting untuk menghasilkan diagnosa keperawatan yang tepat
(Prabowo, 2017). Pada klien dengan hipospadia setelah tindakan post operasi
pengkajian yang penting dilakukan yaitu mengkaji adanya pembengkakan atau
tidak, adanya perdarahan, dan disuria (Mendri & Prayogi, 2017).
a. Identitas
Nama : sesuai nama klien
Umur : sering terjadi pada bayi
Jenis kelamin : laki-laki
Pendidikan : mulai dari pendidikan rendah hingga tinggi Pekerjaan :
berpotensi pada semua jenis pekerjaan Diagnosa medis : Hipospadia.
b. Keluhan Utama
Biasanya orang tua klien mengeluh dengan kondisi anaknya karena penis yang
tidak sesuai dengan anatomis penis biasa karena melengkung kebawah dan
terdapat lubang kencing yang tidak pada tempatnya.

c. Riwayat Kesehatan

1) Riwayat Penyakit Sekarang.


Pada klien dengan hipospadia ditemukan adanya lubang kencing yang tidak
pada tempatnya sejak lahir dan belum diketahui dengan pasti penyebabnya.

2) Riwayat Penyakit Dahulu

Adanya riwayat ketidakseimbangan hormon dan faktor lingkungan yang


mempengaruhi kehamilan ibu, seperti terpapar dengan zat atau polutan yang
bersifat tertogenik yang menyebabkan terjadinya mutasi gen yang dapat
menyebabkan pembentukan penis yang tidak sempurna.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Terdapat riwayat keturunan atau genetik dari orang tua atau saudara kandung
dari klien yang pernah mengalami hipospadia.
d. Kesehatan Fungsional (11 Pola Gordon)
1) Pola nutrisi
Klien dengan hipospadia biasanya tidak terjadi gangguan nutrisi
2) Pola Reproduksi dan seksualitas
Klien dengan hipospadia biasanya mengalami masalah dalam hal berhubungan
jika tidak menjalani prosedur operasi untuk memperbaiki uretra yang tidak
berkembang.
3) Pola aktivitas/ latihan
Pada umunya klien dengan hipospadia tidak memiliki gangguan aktivitas
4) Pola istirahat
Pada klien biasaya tidak memiliki gangguan pola tidur kecuali saat dirawat
dirumah sakit
5) Persepsi, pemeliharaan, dan pengetahuan
Klien biasanya tidak mengetahui penyakit yang dialami karena kurangnya
pemahaman klien terkait penyakit hipospadia dan pada umumnya
pemeliharaan kesehatan klien tidak ada masalah
6) Keyakinan dan nilai
Klien hipospadia dapat memeluk agama sesuai keyakinannya masing-masing
7) Pola toleransi
Tidak ada masalah toleransi pada klien degan hipospadia
8) Pola hubungan peran
Klien biasanya tidak memiliki masalah hubungan dengan orang lain
9) Kognitif dsn persepsi
Klien dengan hipospadia kebanyakan tidak memiliki masalah pada memorinya
10) Persepsi diri dan konsep diri
Klien biasanya tidak percaya diri dengan kelainan yang dialaminya
11) Pola eliminasi
Pada saat buang air kecil, pada klien hipospadia mengalami kesulitan karena
penis yang bengkok mengakibatkan pancaran urin mengarah kearah bawah dan
menetes melalui batang penis (Krisna & Maulana, 2017).
e. Data Penunjang
1) Laboratorium
Pada pemeriksaan darah akan diketahui apakah terjadi tanda infeksi atau tidak
2) USG
USG Ginjal disarankan untuk mengetahui adanya kelainan lainnya pada saluran
kemih.

DIAGNOSA
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan hipospadia
post operasi uretroplasty yaitu (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) :

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)


2. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
3. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
DIAGNOSA PERENCANAAN

TUJUAN DAN KRITERIA RENCANA TINDAKAN RASIONAL


HASIL
Nyeri akut Tingkat nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (I.08238) 1. Diketahui tingkat nyeri klien
berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan Observasi membantu dalam menentukan
agen pencedera fisik keperawatan selama 3x24 1. Identifikasi lokasi, tindakan keperawatan yang
(prosedur operasi) jam, diharapkan nyeri akut karakteristik, durasi, akan dilakukan.
(D.0077) teratasi dengan kriteria hasil: frekuensi, kualitas dan 2. Untuk mengetahui tingkat
1. Nyeri berkurang dari 4 intensitas nyeri (PQRST) ketidaknyamanan yang
menjadi 2 2. Identifikasi respon nyeri non dirasakan klien
2. Meringis berkurang dari 4 verbal 3. Nafas dalam dapat
menjadi 2 Teraupetik melancarkan sirkulasi
3. Sikap protektif berkurang 3. Ajarkan teknik non- oksigen di dalam tubuh,
dari 4 menjadi 2 farmakologi untuk membuat sirkulasi darah
4. Gelisah berkurang dari 5 mengurangi nyeri (teknik lancar, dan vena melebar
menjadi 2 relaksasi nafas dalam sehingga bisa mengurangi
5. Frekuensi nadi normal 70- Edukasi nyeri.
120x/menit 4. Edukasi pada klien dan 4. Dapat meningkatkan
keluarga terkait penyebab, pengetahuan klien dan
periode dan pemicu nyeri keluarga terkait penyebab,
periodedan pemicu nyeri.
Kolaborasi 5. Terapi farmakologi yang
5. Kolaborasi dengan dokter terkait tepat dapat mengurangi
pemberian analgetik keluhan nyeri
Ansietas Tingkat Ansietas (L.09093) Reduksi Ansietas (I.09314)
1. Untuk mengetahui tingkat
berhubungan dengan krisis Setelah dilakukan asuhan Observasi kecemasan klien
situasional (D.0080)
keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
2. Agar klien dapat menentukan
diharapkan ansietas teratasi dengan (mis. Kondisi, waktu, stressor)
pilihanya sendiri
kriteria hasil:
2. Identifikasi kemampuan
3. Mengetahui tanda dan gejala ansietas
mengambil keputusan
1. Perilaku gelisah menurun dari 3 yang dialami klien
menjadi 5 3. Monitor tanda ansietas (verbal dan non
4. Menumbuhkan rasa saling percaya
verbal)
2. Perilaku tegang menurun dari 3 pada klien
menjadi 5 Terapeutik
5. Memahami klien dapat
3. Frekuensi nadi normal 70- 4. Ciptakan suasana terapeutik untuk mengurangi ansietasnya
menumbuhkan kepercayaan
120x/menit 6. Mengetahui penyebab
5. Pahami situasi yang membuat ansietas kecemasan klien
4. Pola tidur membaik dari 3
menjadi 5 6. Motivasi mengidentifikasi situasi yang 7. Agar klien mengetahui
memicu kecemasan kondisinya

Edukasi 8. Pendampingan keluarga dapat


meringankan ketegangan klien

9. Distraksi atau pengalihan


7. Informasikan secara faktual dapat mengatasi ansietas
mengenai diagnosis, pengobatan, 10. Relaksasi dapat meringankan
dan prognosis ansietas

8. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama 11. Obat ansietas dapat menurunkan
pasien, jika perl kecemasan klien

9. Latih kegiatan pengalihan, untuk


mengurangi ketegangan

10. Latih teknik relaksasi


Kolaborasi

11. Kolaborasi pemberian obat anti


anxietas, jika perlu
Resiko infeksi Tingkat infeksi (L.14137) Pencegahan Infeksi (I.14539) 1. Tanda gejala infeksi
berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda dan gejala menjadi acuan dalam
efek prosedur invasif keperawatan selama 3x24 jam infeksilokal dan sistemik menentukan tindakan
(D.0142) diharapkan resiko infeksi 2. Cuci tangan sebelum dan keperawatan yang akan
dapat teratasi , dengan kriteria sesudah kontak dengan klien dan dilakukan.
lingkungan klien 2.
hasil: Cuci tangan dapat mencegah
1. Demam menurun dari 3 kontaminasi kuman
3. Pertahankan teknik aseptik pada 3.
menjadi 5 Teknik aseptik menurunkan resiko
klien
terserang infeksi Pengetahuan
2. Kemerahan menurun dari 4. penting untuk proses penyembuhan
4. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
3 menjadi 5 kepada klien dan keluarga luka klien
5. Ajarkan cara mencuci tangan
3. Bengkak menurun dari 3 Cuci tangan meminimalisir risiko
denganbenar kepada klien dan
menjadi 5 infeksi.
keluarga 5.
6. Kolaborasi pemberian Terapi antibiotik yang tepat dapat
antibiotik menurunkan risiko infeksi
6.
B. IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke

status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang

diharapkan. Komponen tahap implementasi :

1. Tindakan keperawatan mandiri


2. Tindakan keperawatan kolaboratif
3. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan
keperawatan.
4. EVALUASI
Evaluasi yaitu penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil menentukan seberapa
jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Penilaian proses
menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan proses mulai dari
pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan, dan evaluasi itu sendiri. (Ali,
2009). Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya dalam perencanaan, membandingkan hasil tindakan keperawatan
yang telah dilaksanakan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan
menilai efektivitas proses keperawatan mulai dari tahap pengkajian,
perencanaan dan pelaksanaan.
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2018). Asuhan Keperawatan Praktis


Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus.
Jogjakarta: Mediaction.

Wilkinson.M.J. (2018). Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi


Keperawatan : Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Jakarta: EGC.

Price S.A., Wilson L.M. (2019). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 4, Buku II, EGC, Jakarta

Nurarif A. H & Kusuma H. 2020. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc ed 1. Jogjakarta : Penerbit Mediaction

Guyton, Arthur C (2020), fisiologi manusia dan mekanisme penyakit EGC


penerbitan buku kedokteran, Jakarta

Corwin Elizabeh.J.2021 Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 9 Alih bahasa


Tim
penerbit PSIK UNPAD, EGC, Jakarta,

Price S.A., Wilson L.M. (2019). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 4, Buku II, EGC, Jakarta.

Saputra. (2020). Buku saku keperawatan pasien dengan gangguan fungsi


gastrointestinal . Jakarta: Binarupa Aksara
ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.M DENGAN KASUS
HYPOSPADIA DI RUANGAN BOUGENVIL RSUD UNDATA
PROVINSI SULAWESI TENGAH

DI SUSUN OLEH :

NAMA : LUCKY ARISANDI, S.Kep


NIM : 2022031015

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ns. Sarah, S.Kep Ns. Siti Yartin, S.Kep.,M.Kep


NIP. 19810725 200701 2 015 NIK. 20210902025

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA
2022
PHATWAY

Anda mungkin juga menyukai