Anda di halaman 1dari 2

Tempayan Soya Gunung Sirimau, Wadah

yang Selalu Terisi Air Secara Gaib


Kepulauan Maluku yang eksotis. Mendengar namanya yang terbayang tidak bisa lepas dari
sejarah rempah-rempahan yang menggoda bangsa Eropa untuk berkunjung.
Di ibu kota provinsinya, yakni Kota Ambon, Kawan GNFI bisa melihat banyak peninggalan
bersejarah dari bangsa Eropa, salah satunya Benteng Amsterdam yang dulu dimiliki
perusahaan dagang Belanda, Verenigde Oostindische Compagenie (VOC). Pada abad-17,
benteng tersebut didirikan karena Ambon merupakan pusat dagang VOC sebelum
dipindahkan ke Batavia (Jakarta).
Kisah yang berkaitan dengan peninggalan sejarah dan peristiwa di Indonesia tak cuma ada di
Kota Ambon. Menilik ke pedalaman Maluku dan jauh dari Kota Ambon, terdapat desa
bernama Soya. Ada sebuah peninggalan bersejarah yang menarik di Desa Soya - atau sebutan
resminya Negeri Soya - yang merupakan kerajaan tertua Jazirah Leitimor Maluku itu.
Namanya Tempayan Soya, yang konon katanya adalah wadah air yang tidak pernah kering
meskipun pada musim kemarau.

Tidak Jauh dari Gereja Soya


Negeri Soya sebelumnya disebut dengan Zoja adalah sebuah kerajaan di Pulau Ambon.
Dibentuk sekitar abad ke-13, Negeri Soya dipimpin oleh raja bernama Latu Selemau dengan
permaisurinya Pera Ina. Negeri Soya terletak di puncak gunung Kota Ambon, dengan Puncak
Sirimau sebagai ikon utama yang merupakan cikal bakal berdirinya Kota Ambon.
Secara administratif, Negeri Soya termasuk dalam wilayah Kecamatan Sirimau, Kota
Ambon, yang terletak di Barat Kota Ambon dan berada di kaki Gunung Sirimau. Letaknya
berada di ketinggian kurang lebih 464 meter dari permukaan laut, dengan membawahi 4
dusun dan 19 Rukun Tetangga (RT), meliputi Dusun Sohia, Kayu Putih, Dusun Tabea Jou
dan Dusun Air Besar. Luas wilayah Negeri Soya adalah 6.000 hektar dengan luas kawasan
pemukiman adalah 233,15 hektar.
Di tempat yang kaya akan tumbuhan hijau dan udara pegunungan yang sejuk dan dipenuhi
aroma cengkih, pala, dan buah-buahan ini terdapat gereja Protestan dengan arsitektur bergaya
Eropa. Gereja yang sering disebut Gereja Tua atau Gereja Soya ini diperkirakan dibangun
pada 1546 dan menjadi saksi penginjilan di kawasan tersebut.
Air Sakti Tempayan Soya, Bermula dari Kisah Kasih Tak
Sampai
Tidak jauh dari Gereja Soya, kira-kira sekitar 500 meter, terdapat tempayan atau wadah air
berbahan tanah liat berdiameter sekitar 50-60 sentimeter. Namanya Tempayan Soya, atau
dalam bahasa setempat dipanggil dengan sebutan "Tampayang Sirimau", dan "Tampayang
Soya", dan "Tampayang Tua".
Ada sekelumit kisah legenda mengenai tempayan satu ini. Konon katanya air yang
ditampungnya sakti, dianggap mampu menyembuhkan segala macam penyakit.
Kisah mengenai air sakti Tempayan Soya diceritakan secara generasi ke generasi. Dikisahkan
ada seorang putri Raja Soya bernama Luhu yang ditaksir perwira militer Belanda. Sayangnya
sang ayah tidak merestui ikatan keduanya.
Luhu pun bunuh diri. Arwahnya yang tidak tenang kerap menculik para pria sebagai suami
atau juga anak-anak yang dulu pernah didambakannya semasa hidup. Bila ditemukan,
korbannya sudah dalam keadaan meninggal atau bila masih hidup, sang korban dikuasai oleh
alam bawah sadarnya.
Demi menyadarkan korban yang masih hidup, Raja Soya memberinya air untuk diminum.
Namun setelah sembuh, sang korban tak akan lagi pernah ingat akan kejadian yang pernah
menimpanya. Air penyembuh ini berada di dalam sebuah tempayan yang berlokasi di
ketinggian sirimau. Ya, tempayan itu adalah Tempayan Soya.
Kini, untuk ke sana para pelancong mesti menapaki anak-anak tangga dari Gereja Soya. Air
suci tersebut hanya diambil pada setiap bulan Desember tiba dalam sebuah gelaran adat.
Masyarakat meyakini bila air tersebut diambil tanpa izin dari sesepuh adat maka sesuatu yang
buruk bakal menimpanya.
Gaib, Selalu Terisi Air Walau Musim Kemarau
Air di dalam tempayan soya disebut tidak pernah habis. Selalu ada, bahkan ketika musim
kemarau. Embel-embel sebagai tempayan sakti, gaib, dan mistrik pun berkembang di
masyarakat.
Tak ayal, jika masyarakat meyakini jika tempat diletakkan tempayan tersebut dianggap
"berpenghuni" atau memiliki penjaga. Masyarakat biasa menyebut penghuni tempat itu
adalah "penggawa" atau orang yang tak tampak di mata manusia biasa. Malah "penggawa"
itu dipercayai sebagai leluhur negeri Soya. Karena kisah mistik itulah Tempayan Sayo sering
juga dipanggil dengan sebutan Tempatan Setan.
Hanya saja, kisah asal usul keberadaan Tempayan Soya masih terdapat beberapa versi yang
memunculkan polemik di lingkungan masyarakatnya sendiri. Salah satu versi menceritakan,
tempayan tua tersebut merupakan hibah atau pemberian kepada raja dari pendeta Kristen
Protestan, Lazarus Hitijahubessy, yang melakukan penginjilan di kawasan Soya. Sebagai
pembalasan itikad baik tersebut, raja menerima Lazarus menjadi penduduk Soya. Sejak saat
itu Lazarus Hitijahubessy menjadi salah satu keluarga atau kelompok masyarakat Soya yang
tergabung dalam soa pendatang yang lebih dikenal dengan Soa Erang.
Dalam versi lain menyebutkan, tempayan tua tersebut merupakan kenang-kenangan untuk
Raja Soya yang diberikan kerajaan Majapahit, atas pengakuannya terhadap kerajaan terbesar
di Nusantara. Bahkan Raja Soya pada saat itu memberikan gelar kepada Raja Majapahit
dengan sebutan "Upulatu Sirimau Mas Raden Labu Inang Mojopahit" yang bila
diterjemahkan berarti "Penguasa Sirimau Putra Sultan Majapahit" (beberapa sumber lain
menuliskan "Latu Selemau Agam Raden Mas Sultan Labu Inang Mojopahit/Penguasa
Selemau, Tuan Emas yang Jantan, Putra BUngsu Sultan Majapahit").
Suatu hal yang dianggap gaib terkadang ada penjelasan ilmiahnya, termasuk tempayan soya
yang bisa terisi air walaupun musim kemarau. Namun, masyarakat setempat masih percaya
kalau air yang terisi dalam tempayan tersebut merupakan sebuah bukti nenek moyang mereka
yang sudah tiada masih menunjukkan eksistensinya di dunia.
"Ini mungkin terjadi karena pengembunan, tapi masyarakat Soya percaya bahwa kuasa nenek
moyang yang membuat tempayan itu tidak pernah kosong," tulis antropolog asal Jerman,
Dieter Bartels, dalam Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Jilid 2.

Referensi: Soya.Desa.id | Ambon.go.id | Kemdikbud, "Profil Budaya dan Bahasa Kota


Ambon Provinsi Maluku" | John Pattikayhatu, "Sejarah Daerah Maluku" | Dieter Bartels, "Di
Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Jilid 2" | R.Z. Leirissa, Djuariah Latuconsina, "Sejarah
Kebudayaan Maluku"

Anda mungkin juga menyukai