Anda di halaman 1dari 72

KEEFEKTIFAN KONSELING KELOMPOK COGNITIVE

BEHAVIOR UNTUK MENGATASI ACADEMIC ANXIETY

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh :

LUTFIYAH SUPAAT

NIM. 182386201013

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS DARUL ‘ULUM
JOMBANG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kecemasan merupakan kondisi psikologis seseorang yang penuh dengan rasa
takut dan khawatir, dimana perasaan tersebut tidak dapat ditentukan waktunya.
Kecemasan atau anxietas dikatakan sebagai rasa takut dan khawatir yang tidak jelas
sebabnya, serta memiliki pengaruh penting terhadap proses perkembangan kepribadian
individu. Kecemasan merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakkan perilaku
individu, baik tingkah laku normal maupun menyimpang, keduanya merupakan
perwujudan dari pertahanan terhadap kecemasan itu, (Gunarso, n.d dalam Wahyu, dkk.
2019). Kecemasan merupakan hal yang subjektif mengenai ketegangan mental yang
menggelisahkan, sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah
atau hilangnya rasa aman, perasaan yang tidak menentu tersebut menimbulkan rasa yang
tidak menyenangkan yang disertai perubahan fisiologis dan psikologis, (Rochman, dalam
Sari, 2020).
Konsep kecemasan berkembang dari zaman dahulu sampai sekarang, masing-
masing model mengembangkan beberapa teori tertentu dari fenomena kecemasan. Teori-
teori ini saling diperlukan untuk memahami kecemasan secara komprehensif, salah satu
teori kecemasan menurut (Kaplan dan Sadock, 2010), yakni teori perilaku atau teori
belajar yang menyatakan bahwa kecemasan dapat dipandang sebagai sesuatu yang
dikondisikan oleh ketakutan terhadap rangsangan lingkungan yang spesifik, jadi
kesemasan disini dipandang sebagai suatu respon yang terkondisi atau respon yang
diperoleh melalui proses belajar.
Kecemasan merupakan perasaan umum dan normal yang dialami oleh seseorang
yang masih dalam masa perkembangan kepribadian (personality development), hal ini
dialami sejak usia bayi hingga 18 tahun dan tergantung dari pendidikan orang tua di
rumah, pendidikan di sekolah, pengaruh dunia luar dan sosialnya, serta pengalaman-
pengalaman dalam kehidupannya, (Hawari, dalam Yulifah Salistia, Budi 2019).
Kecemasan merupakan reaktivitas emosional yang lebih, depresi yang tumpul, atau
konteks sensitif, dan respon emosional (Clift, dalam Yulifah Salistia, Budi 2019).
Pendapat lain mengatakan bahwa kecemasan merupakan perwujudan dari berbagai emosi
karena mengalami tekanan perasaan dan batin, kondisi tersebut membutuhkan
penyelesaian yang tepat sampai individu merasa aman. Namun, pada kenyataannya tidak
semua masalah dapat diselesaikan dengan baik oleh individu bahkan cenderung di
hindari, dalam situasi inilah yang dapat menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan
(Supriyantini, Yulifah Salistia, Budi 2019).
Stuart (2013), faktor kecemasan dibedakan menjadi dua yakni prediposisi dan
presipitasi. Faktor prediposisi yang menyangkut teori psikoanalitik menjelaskan tentang
konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian di antaranya Id dan Ego. Id
mempunyai dorongan naluri dan impuls primitive seseorang, sedangkan Ego
mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya
seseorang. Fungsi kecemasan dalam ego adalah mengingatkan ego bahawa adanya
bahaya yang akan datang. Faktor presipitasi eksternal meliputi trauma fisik, sakit,
kecelakaan, ancaman terhadap indentitas diri, harga diri, dan tekanan dari kelompok
sosial. Faktor presipitasi Internal meliputi usia, stressor, lingkungan, jemis kelamin, dan
pendidikan.
Kecemasan atau anxiety sebenarnya bisa menjadikan kita lebih berhati-hati dan
waspada dalam menghadapi suatu hal bila berada pada porsinya atau yang bersifat
ringan. Namun jika kecemasan tersebut timbul secara berlebihan hingga sulit
dikendalikan maka akan sangat mengganggu kegiatan sehari-hari seperti merasa tidak
berdaya, sesak nafas, gemetar, takut di kritik, takut untuk berinteraksi dengan orang lain,
takut untuk keluar rumah, susah tidur, dan sering marah-marah. Rasa cemas terkadang
tidak dapat dilihat langsung, tetapi sering terjadi di dalam diri individu. Terkadang
seseorang yang cemas menjadi sangat emosional dan tidak diketahui penyebabnya secara
jelas. Pada dasarnya kecemasan berbeda dengan rasa takut. Rasa takut biasanya
penyebabnya dapat digambarkan secara jelas oleh individu, sedangkan kecemasan terjadi
karena suatu ancaman terhadap hal yang mendasar bagi keberadaan individu, misalnya
kecemasan dalam menghadapi ujian nasional karena khawatir tidak lulus.
Stuart (2009), berpendapat bahwa kecemasan memiliki 4 tingkatan, kecemasan
yang bersifat ringan sampai kecemasan yang bersifat sangat berat. Kecemasan ringan
seringkali berhubungan dengan sebuah ketegangan dan menjadikan individu waspada, hal
tersebut dapat memicu hal positif seperti motivasi belajar dan tumbuhnya kreativias.
Sebaliknya kecemasan sangat berat dapat membuat seseorang kehilangan kendali akan
kekuatan dalam dirinya dan rasa panik yang berlebihan, hal tersebut membuat individu
cenderung menyebabkan munculnya perilaku negatif.
Dalam dunia remaja diusia 12-18 yang merupakan usia aktif sekolah sangat
rentan terjadi kecemasan, kecemasan yang sering dialami berupa kecemasan akademik.
Kecemasan akademik merupakan perasaan tegang dan ketakutan pada sesuatu yang akan
terjadi serta sangat menganggu dalam pelaksanaan tugas dan aktifitas yang beragam
dalam situasi akademik (Zeidner, dalam Goetz, 2007). Tekanan akademik yang biasanya
dialami oleh remaja adalah ujian, persaingan, nilai, tuntutan waktu, guru, lingkungan
kelas, karir dan masa depan, Bariyyah, (2013). Tuntutan tugas dari sekolah merupakan
salah satu aktivitas yang sangat bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan siswa,
namun apabila tugas yang diberikan melebihi batas potensi siswa maka dapat
menimbulkan kecemasan akademik dalam diri siswa tersebut. Dampak negative dari
kecemasan akademik terhadap motivasi dan prestasi akademik menurut Eggen dan
Kauchak, dalam (Prawitasari, 2012), Pertama menimbulkan kesulitan baginya untuk
berkonsentrasi, Kedua karena kekhawatiran yang terlalu besar terhadap kegagalan
bahkan memiliki ekspektasi untuk gagal dapat membuat siswa semakin sering melakukan
kesalahan dalam menangkap atau memahami informasi yang mereka peroleh baik
melalui pendengaran maupun penglihatan, Ketiga siswa dengan kecemasan tinggi sering
kali mempergunakan strategi belajar yang dangkal dan tidak efektif.
Dampak positif yang ditimbulkan dari individu yang mengalami kecemasan
akademik tingkat ringan hingga sedang yakni bisa membentuk kapasitas guna
mengerjakan pekerjaan sampai memperkuat sebuah self-defense supaya perasaan gelisah
yang melanda diri bisa menurun, jika seseorang hendak memutuskan pilihan perlu
melawan intimidasi kemudian baru bisa menyusutkan risikonya, umpamanya memahami
dan menelaah pelajaran dengan bersemangat ketika hendak menempuh ulangan.
Sedangkan kecemasan akademik dengan integritas tinggi menimbulkan beberapa dampak
negatif dalam kehidupan sehari-hari dan hasil belajar (Sistyaningtyas, dalam Sari dan
Winingsih, 2020). Dampak negatif yang ditimbulkan yakni menyusutkan semangat atau
dorongan dan kinerja akademik, artinya kecemasan berdampak negatif secara
berkesinambungan. Aktifitas belajar mengajar memiliki salah satu tujuan yaitu agar
individu dapat menggapai sebuah performa dalam belajar, namun kenyataannya tidak
semua bisa menggapai kinerja akademik yang sempurna, (Azwar, dalam Sari dan
Winingsih 2020).
Bentuk atau respon yang terlihat akibat kecemasan seperti perasaan prihatin,
takut, penderitaan secara fisik dengan gejala sakit kepala, badan gemetaran, keluar
keringat yang berlebihan, maupun gangguan metabolisme, (Conger dan Galambos, dalam
Sari dan Winingsih, 2020). Jika situasi tersebut berjalan terus-menerus hingga individu
tidak sanggup menargetkan suatu impian prestasi akademik artinya kecemasan telah
ditingkatan tinggi dan diperlukan penanganan. Kecemasan dinilai positif jika
kesungguhannya tidak terlalu besar, kecemasan yang ringan bisa mewujudkan sebuah
perangsang positif atau motivasi. Kecemasan dinilai sangat besar atau tinggi akan
membawa perangai yang negatif, karena dapat menimbulkan gangguan secara somatic
maupun psikologis, (Sukmadinata, 2003, h. 84).
Kecemasan akademik merupakan hal penting yang perlu perhatian khusus
menimbang dari dampak yang ditimbulkan. Kecemasan akademik akan menjadi sebuah
masalah ketika kecemasan tersebut menguasai diri siswa menjadikannya berperilaku
menyimpang dan menghilangkan motivasi belajar yang mengakibatkan menurunnya
prestasi belajar. Jika kondisi tersebut dibiarkan berlarut-larut maka siswa tidak akan
mampu mencapai prestasi akademik yang telah ditargetkan, (Prawitasari, 2012).
Kecemasan akademik memiliki nilai positif asalkan integritasnya tidak begitu kuat,
bahkan bisa memunculkan motivasi belajar. Kecemasan akademik yang dialami siswa
membuat siswa berperilaku meyimpang dan sulit menerima materi pembelajaran yang
diberikan guru kelas, akibatnya siswa mengalami kesusahan dalam mengerjakan soal
ketika ujian, (Sukmadinata, 2003).
Penelitian ini didasarkan pada penelitian-penelitian terdahulu yang telah
melakukan beberapa intervensi untuk mereduksi atau mengatasi kecemasan akademik,
salah satu intervensi yang terbukti efektif dalam menangani kecemasan akademik adalah
terapi kognitif perilaku atau cognitive behavioral therapy (CBT) yang dalam bidang
bimbingan dan konseling disebut dengan Konseling Cognitive Behavior. Penelitian lain
yang dilaksanakan oleh Bakhrudin All Habsy, (2020) tentang “keefektifakn konseling
kelompok Cognitive Behavior untuk meningkatkan self esteem siswa”. Dalam penelitian
tersebut menegaskan bahwa konseling kelompok Cognitive Behavioral dengan teknik
cognitive restructuring efektif dalam meningkatkan self esteem. Dilihat dari kelompok
eksperimen yang mengalami perubahan signifikan pada peningkatan self esteem
disbanding dengan kelompok kontrol.berdasarkan hasil efek interaksi yang telah
dijelaskan sebelumnya, dapat diketahui bahwa kelompok eksperimen yag mendapatkan
intervensi dengan teknik cognitive restructuring memiliki peningkatan self esteem yang
tinggi pada saat posttest disbanding dengan kelompok kontrol pada pengukuran yang
sama.
Roth dan Heimberg (2002), berpendapat bahwa pendekatan CBT ini
mengintegrasi kognitif, perilaku, dan perubahan aspek sosial melalui proses belajar dan
memproses informasi. Prinsip kognitif perilaku mengarah kepada klien untuk
memodifikasi fungsi berfikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan peran otak
dalam menganalisa. Penggunaan teknik kognitif restructuring dalam pendekatan kognitif
perilaku dianggap efektif karena lebih memusatkan pada upaya mengidentifikasi dan
mengubah pikiran-pikiran atau pernyataan diri negatif dan keyakinan-keyakinan konseli
yang tidak realistis (Cote, dkk dalam Habsy, 2022).
Pengubahan pikiran dan perilaku konseli melalui pendekatan Konseling Cognitive
Behavior diharapkan dapat membuat konseli mampu membuat keputusan dan penguatan
diri sendiri tanpa bergantung pada orang lain, serta bisa mengatur dirinya agar menjadi
lebih baik lagi. Tujuan utama dari cognitive behavior yaitu untuk memunculkan respon
yang lebih adaptif terhadap suatu situasi dengan menyesuaikan proses kognitif yang ada
pada individu dan melakukan modifikasi perilaku (Aida’ dan Habsy : 2019).
Berdasarkan karakter populasi dan problematika hasil study pendahuluan, peneliti
menggunakan Konseling Cognitive Behavior dalam bentuk kelompok, karena konseling
kelompok memberikan kesempatan kepada para konseli untuk mengekspresikan perasaan
yang bertentangan dan mengekplorasikan keraguan diri (Corey, 2012 dalam Bakhrudin
All Habsy). Pemberian layanan konseling kelompok merupakan salah satu strategi yang
dapat diterapkan dalam mengatasi permasalahan ini, dengan tujuan membantu
menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh siswa secara efektif dan efesien, serta
diharapkan dapat memfasilitasi peserta didik secara bersama-sama membahas pokok
bahasan tertentu yang berguna mengatasi permasalahan dan mencegah berkembangnya
masalah kecemasan akademik dengan memanfaatkan dinamika kelompok. (Beck, 2011
dalam Bakhrudin All Habsy ), menyatakan Konseling Cognitive Behavior dalam bentuk
kelompok sangat sesuai diterapkan bagi siswa, karena merupakan proses edukasi yang
bertujuan mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri, dan
menekankan pada pencegahan.
Intervensi untuk megatasi kecemasan adalah Konseling Kelompok Cognitive
Behavior . Komponen kognitif membantu konseli menetapkan hubungan antar
kognisinya dengan emosi, perilaku dan reaksi dari fisiologisnya, serta untuk
mengidentifikasi kognisi yang salah dan menggantinya dengan persepsi yang lebih baik.
Komponen perilaku, diterapkan ketika konseli telah melakukan perubahan kognitif,
mereka mempelajari bagaimana memberikan respon yang dapat diterima oleh lingkungan
ketika berhadapan dengan situasi tertentu.
Dari pernyataan latar belakang diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan
akademik merupakan kondisi psikis yang tidak baik akibat dari kurangnya motivasi
belajar yang diterima oleh siswa, disebabkan berbagai hal yang berhubungan dengan
kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kecemasan akademik secara tidak langsung
membuat siswa berperilaku menyimpang dan menjadi pribadi yang tertutup akibat
pemikiran irrasional. Konseling Cognitive Behavior merupakan pendekatan yang
diyakini tepat dalam mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan kondisi kognitif
dan perilaku yang negatif. Konseling Cognitive Behavior akan membantu individu untuk
belajar atau mempelajari perilaku yang baru dan cara baru untuk mengahdapi situasi-
situasi dalam proses akademik. Oleh karena itu peneliti berkeinginan untuk melakukan
penelitian lebih lanjut dan mengkaji lebih dalam terhadap Keefektifan Konseling
Kelompok Cognitive Behavior Theraphy dalam Mengatasi Academic Anxiety.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah “Apakah konseling cognitive behavior efektif untuk mengatasi kecemasan
akademik siswa SMK ?”.

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, secara umum penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui keefektifan konseling kelompok cognitive behavior dalam
mengatasi kecemasan akademik siswa SMK.

1.4 Batasan Masalah


Berdasarkan identifikasi masalah dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas
maka cakupan masalahnya berfokus pada permasalahan dalam penelitian ini, yang
dibatasi pada upaya penerapan konseling kelompok cognitive behavior untuk mengatasi
kecemasan akademik siswa SMK.

1.5 Manfaat Penelitian


1) Manfaat Teoritis
Secara teori penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah khasanah
pengetahuan khususnya dalam bidang bimbingan dan konseling tentang
keefektifan konseling kelompok kognitif perilaku dengan teknik kognitif
restrukturing dalam mengatasi kecemasan akademik siswa SMK.
2) Manfaat Praktis
Manfaat praktis bagi sekolah yakni sebagai bahan informasi dan
pertimbangan bagi sekolah untuk dapat melaksanakan kegiatan konseling
kelompok kognitif perilaku teknik restrukturing untuk mengurangi kecemasan
akademik siswa. Untuk guru bimbingan dan konseling diharapkan dapat
mengetahui apa yang dialami oleh siswa khususnya dalam kecemasan
akademik, serta mengetahui pengaplikasian konseling kelompok kognitif
perilaku teknik restructuring kepada siswa yang mengalami kecemasan.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
perluasan khasanah keilmuan tentang konsep dan praktik bimbingan dan
konseling, khususnya mengenai konseling kelompok kognitif petilaku teknik
restrukturing untuk mengatasi kecemasan akademik serta menyempurnakan
berbagai keterbatasan penelitian yang telah dilakukan.

1.6 Definisi Operasional


A. Pengertian Konseling Kognitif Perilaku (CBT)
Konseling Kognitif Perilaku merupakan suatu pendekatan konseling yang
berfokus pada keadaan konseli melalui restructurisasi kognitif dan perilaku dengan
menggunakan prosedur pengubahan kognitif dan perilaku. Konseling Kognitif
Perilaku bertujuan untuk mengubah kognitif atau persepsi konseli terhadap dirinya
dalam rangka melakukan perubahan emosi, perilaku, dan reaksi fisiologis konseli.
B. Kecemasan akademik
Kecemasan merupakan kondisi psikologis seseorang yang penuh dengan rasa
takut dan khawatir, dimana perasaan tersebut tidak dapat ditentukan waktunya dan
khawatir yang tidak jelas sebabnya, serta memiliki pengaruh penting terhadap proses
perkembangan kepribadian individu. Kecemasan merupakan kekuatan yang besar
dalam menggerakkan perilaku individu, baik tingkah laku normal maupun
menyimpang, keduanya merupakan perwujudan dari pertahanan terhadap kecemasan
itu. Kecemasan akan berdampak positif jika presentase terjadinya rendah, seperti
timbulnya rasa untuk lebih berhati-hati dalam melaksanakan sesuatu hal dan menjadi
sebuah motivasi yang tumbuh dalam diri. Kecemasan akademik merupakan
kecemasan yang timbul dalam usia aktif sekolah, kekakhawatiran yang berlebih
terhadap kegiatan akademik mengakibatkan prestasi siswa menurun dan secara
otomatis menghilangkan motivasi belajar.
BAB II

Kajian Pustaka

A. Landasan Teori
1. Pengertian Konseling Kognitif Behavior

Konseling kognitif Behavior merupakan konseling yang berfokus pada pribadi konseli,
yang bertujuan untuk merubah dan memodifikasi pemikiran serta perilaku yang irrasional
menjadi rasional. Konseling tersebut merupakan bentuk konseling yang efektif dan efisien untuk
menanganni berbagai macam permasalahan psikologis dan reaksi fisiologis konseli yang
maladaptif ke adaptif . Menurut Aaron Beck, konseling kognitif perilaku adalah pendekatan
konseling berbasis psikoterapi yang bertujuan untuk mengubah kognitif atau persepsi konsli
terhadap dirinya dalam rangka melakukan perubahan emosi, perilaku, dan reaksi fisiologis
konseli. Konseling ini menekankan pada proses berpikir tentang bagaimana individu merasakan
dan melakukan (Joyce-Beaulieu & Sulkowski : 2015).

Konseling kognitif behavior merupakan hasil dari perkembangan teori cognitive dan
behavior. Teori behavior merupakan paradigma psikologi yang meneliti mengenai segala sesuatu
yang bisa dilihat atau perilaku yang nampak dan berkembang di tahun 1920, sedangkan teori
cognitive lebih berfokus pada pola pikir, asumsi, dan kepercayaan. Teori cognitive memberikan
fasilitas bagi individu untuk belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam berpikir atau dari
pikiran yang irasional menjadi rasional, teori cognitive mulai diakui dan berkembang pada tahun
1970. Konseling kognitif behavior merupakan sebuah adaptasi dari pendekatan terapi kognitif
behavior, karakteristik dari pendekatan ini adalah behavioristic, pragmatic, scientific, learning
theoretical, cognitive, action oriented, experimental, goal oriented and contractual (James &
Gilliland, 2003). Pendekatan terapi kognitif perilaku telah terbukti efektif untuk menangani
permasalahan-permasalahan psikologis, mulai dari depresi sampai gangguan kecemasan dan
kepribadian, dibuktikan dengan adanya 350 hasil studi yang meneliti gangguan-gangguan
psikologis individu.

Konseling cognitif behavior sering disebut dengan istilah Cognitive Behaviot


Modification karena merupakan salah satu modifikasi perilaku yang menggunakan kognisi
sebagai kunci dari perubahan perilaku dengan cara membuang pikiran dan keyakinan buruk
konseli untuk kemudian diganti dengan konstruksi pola pikir yang lebih baik. Perilaku
merupakan sebuah pendekatan konseling yang memadukan pendekatan cognitive (pikiran) dan
behavior (perilaku) untuk memecahkan masalah. Pendekatan cognitive berusaha memfokuskan
suatu pikiran, keyakinan, atau bentuk pembicaraan diri (self talk) terhadap orang lain seperti
hidup saya sengsara sehingga sulit untuk dapat menentukan tujuan hidup saya. Pendekatan
cognitive behavior tidak berfokus pada kehidupan masa lalu dari individu akan tetapi
memfokuskan pada permasalahan yang dihadapi saat ini dengan tidak mengabaikan masa lalu.

Pendekatan konseling cognitive behavior didasarkan pada konsep mengubah pikiran dan
perilaku negatif, konseling cognitive ini diarahkan pada modifikasi fungsi berfikir, merasa dan
bertindak, menekankan pada otak sebagai sumber penganalisa, pengambil keputusan, dan
memutuskan kembali. Sedangkan behavioral yaitu memodifikasi perilaku menuju arah yang
lebih baik.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa konseling


kognitif behavior merupakan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau
pembenahan kognisi yang menyimpang akibat peristiwa yang merugikan dirinya baik secara
fisik maupun psikis. Konseling kognitif behavior dilakukan untuk meningkatkan dan merawat
kesehatan mental, konseling ini diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan
bertindak dengan menekankan otak sebagai oenganalisa, pengambil keputusan, bertanya,
bertindak, dan memutuskan kembali. Sedangkan pendekatan pada aspek behavior diarahkan
untuk membangun hubungan yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi
permasalahan. Seseorang harus mampu mengubah cara berpikir dan perilakunya sendiri demi
mencapai masa depan yang dia inginkan.

2. Konsep Dasar Teori Konseling Cognitive Behavior


Konseling cognitive behavior merupakan bentuk konseling yang efektif dan efesien untuk
menangani berbagai macam permasalahan yang spesifik, dalam beragam populasi konseli yang
mengandalkan konsep validasi empiris dan teknik-teknik yang sudah ditentukan. Aaron Beck
(1991) mendefinisikan bahwa cognitive behavior sebagai pendekatan konseling yang dirancang
untuk menyelesaikan permasalahan konseli melalui cara restrukturisasi kognitif dan perilaku
menyimpang. Konseling cognitive behavior didasarkan pada formulasi kognitif, strategi,
keyakinan, dan perilaku yang menggangu. Konseling kognitif behavior diharapkan mampu
memunculkan restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayaan untuk
membawa perubahan pikiran dan perilaku.

National Assiciation of Cognitive-Behavioral Therapists (NACBT, 2017) merupakan


lembaga internasional yang tergabung dari beberapa ahli, mendefinisikan konseling cognitive
behavior sebagai suatu pendekatan yang menekankan peran penting pikiran, bagaimana kita
merasaakan dan apa yang kita lakukan. Konseling cognitive behavior merupakan pendekatan
dengan sejumlah prosedur yang secara spesifik menggunakan kognisi sebagai bahan utama
konseling. Maka dapat disimpulkan bahwa konseling cognitive behavior merupakan suatu
pendekatan konseling yang berfokus pada keadaan konseli melalui restrukturisasi kognitif dan
perilaku dengan menggunakan prosedur pengubahan kognitif dan perilaku.

Teori cognitive behavior pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran manusia
terbentuk melalu proses rangkaian stimulus-kognisi-respon (SKR) yang saling berkaitan dan
membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, dimana proses cognitive akan menjadi
faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berfikir, merasa, dan bertindak.
Sementara dengan adanya keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap
pemikiran yang rasional dan irrasional, dimana pemikiran irrasional dapat menimbulkan
gangguan emosi dan tingkah laku, maka konseling cognitive behavior diarahkan kepada
modifikasi fungsi berfikir, merasa, dan bertindak dengan menekankan peran otak dalam
menganalisa, memusatkan, bertanya, berbuat, dan memutuskan kembali. Dengan merubah status
pikiran dan perasaannya, klien diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya dari yang negatif
menjadi positif. Kondisi reaksi emosional di pengaruhi oleh bagaimana seseorang menilai situasi
dan bagaimana cara menginterpretasikan suatu kejadian yang nantinya akan sangat
mempengaruhi tindakan yang dilakukan.
3. Prinsip Dasar Konseling Kognitif Behavior

Menurut Butler, Fennell dan Hackman (2010), konseling cognittive behavior memiliki 6
prinsip dasar yaitu :

1. Prinsip Kognitif
Prinsip kognitif merupakan interpretasi individu terhadap suatu peristiwa atau situasi, jika
ada sua individu yang memberikan situasi berbeda terhadap suatu peristiwa karena mereka
memandang sebuah peristiwa dengan cara berbeda, namun jika individu bereaksi tidak biasa,
ini dikarenakan individu memiliki automatic thoughts (pikiran-pikiran otomatis) atau
keyakinan mengenai peristiwa tersebut. Konselor cognitive behavior membantu individu
memahami bagaimana ia bisa membentuk sebuah distori kognititf dengan memfokuskan pada
bukti-bukti tertentu.
Jadi pendekatan kognititf dapat membantu individu yang mengalami masalah dengan
mengubah kognisinya mengenai apa yang ia rasakan (change their cognition change the way
they feel).
2. Prinsip Perilaku
Menurut konseling cognitive behavior, perilaku merupakan aspek yang di pengaruhi oleh
kognisi dan emosi, misalnya individu mempunyai pemikiran negatif, mendukung dan
mengkonfirmasi perilaku tersebut. Konseling cognitive behavior membantu individu untuk
mempelajari perilaku dan cara baru untuk menghadapi situasi-situasi, termasuk belajar
ketrampilan-ketrampilan khusus seperti ketrampilan sosial.
3. Prinsip Kontinum
Konseling cognitive behavior mendefinisikan bahwa permasalahan mental muncul dari
proses mental normal yang berlebihan dibanding sebagai kondisi patologis. Jadi disimpulkan
bahwa masalah psikologis berada pada ujung kontinum dan bukan dalam dimensi yang
berbeda. Keyakinan ini berhubungan dengan ide bahwa masalah-masalah psikologis terjadi
pada siapa saja.
4. Prinsip Here and Now
Konseling cognitive behavior berfokus pada gejala yang muncul pada masa kini dan tidak
banyak menekankan pada masa lampau. Hal tersebut sesuai dengan prinsip konseling
behavior yaitu memperhatikan permasalahan di masa kini dan menekankan proses yang
terjadi dalam menangani masalah yang terjadi.
5. Prinsip Interaksi Antar Sistem
Permasalahan dalam konseling cognitive behavior muncul dari inteaksi antara beberapa
sistem sekaligus dalam diri dan juga lingkungan, dalam konseling cognitive behavior ada
empat sistem yaitu kognisi, emosi, perilaku, dan reaksi fisiologis. Sistem-sistem tersebut
saling berinteraksi dalam sebuah proses kompleks dan juga berinteraksi dengan lingkungan,
lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik, sosial, budaya, keluarga, dan ekonomi.
6. Prinsip Empiris
Mengevaluasi teori dan teknik konseling yang digunakan secara empiris, hal inilah yang
membuat konseling cognitive behavior sebagai pendekatan konseling yang scientific, etis, dan
juga ekonomis dengan berbagai bukti yang memadai. Jadi disimpulkan bahwa konseling
cognitive behavior menekankan pada hubungan antara pikiran dan perilaku serta pentingnya
sistem kerja kognitif fan peristiwa pribadi sebagai mediator perubahan. Konseling cognitive
behavior berasumsi bahwa proses kognisi merupakan mediasi untuk perilaku, pengalaman
dan perubahan perilaku yang diharapkan dapat dicapai dari perubahan kognisi.

4. Tujuan Konseling Cognitive Behavior


Stallard (2014) berpendapat bahwa tujuan dari konseling cognitive behavior
sebagai berikut :
a. Membantu konseli mengidentifikasi semua pemikiran dan keyakinan yang
merugikannya, konseli akan melakukan pemantaukan terhadap dirinya sendiri,
pembelajaran, percobaan dan pengujian terhadap pemikiran serta keyakinan yang
dimiliki sehingga sampai pada perubahan kognisi.
b. Mengidentifikasi masalah kognitif dan perilaku yang di alami konseli serta mengajar,
menguji, mengevaluasi, dan mengenalkan ketrampilan untuk memecahkan masalah
yang nantinya akan memunculkan perilaku baru yang lebih positif dalam diri konseli.
c. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai penyebab munculnya pemikiran negatif
dan menggantinya pada pemikiran yang lebih positif.
d. Memberikan keyakinan pada konseli bahwa mereka mampu menghadapi
permasalahan ataupun situasi sulit dengan cara yang lebih sesuai karena memiliki
kognisi dan perilaku yang lebih adaptif.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Konseling Cognitive Behavior memiliki tujuan
untuk mengajak konseli menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan
bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan tentang masalah yang sedang dihadapi
oleh konseli. Pada proses pelaksanaannya, konseling cognitive behavior lebih
menekankan pada masa kini dari pada masa lampau, namun bukan berarti mengabaikan
masa lalu karena konseling cognitive behavior tetap menghargai masa lalu yang
merupakan bagian dari cerita kehidupan konseli dan mencoba untuk membuat konseli
menerima segala masa lalunya yang bertujuan untuk melakukan perubahan pada pola
pikir masa kini demi perubahan pada masa yang akan datang.

5. Karakteristik Konseling Cognitive Behavior

Konseling cognitive behavior tidak hanya memiliki karakteristik pada perubahan


pemahaman konseli dari sisi kognitif saja, namun juga pada pengubahan tingkah laku. Secara
umum karakteristik Konseling cognitive behavior memiliki kesamaan dengan konseling lain,
tetapi juga memiliki hal lain yang menjadikannya berbeda. Menurut lembaga internasional
NACBT (2017) Konseling cognitive behavior memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Cognitive modeld of emotional response


Konseling Cognitive Behavior berpandangan bahwa kognisi menyebabkan timbulnya
perasaan dan tindakan tertentu bukan karena peristiwa eksternal. Setiap individu dpaat
mengubah cara berpikirnya untuk menghasilkan perilaku yang lebih baik, walaupun
situasinya tidak berubah
2. Briefer and time-limited
Konseling Cognitive Behavior dapat dipandang sebagai pendekatang yang singkat
menampakkan hasil, rata-rata jumlah sesi untuk berbagai intervensi konseling sebanyak 16
sesi tergantung dari beban masalah yang dialami oleh konseli.
3. Tidak mengandalkan hubungan positif konselor-konseli
Konseling Cognitive Behavior memandang bahwa hubungan positif memang penting,
namun tidak cukup memadai bagi pengubahan masalah konseli, namun pengubahan masalah
konseli terjadi ketika konseli berpikir realistis.
4. Upaya kolaboratif antara konselor dan konseli
Konselor memiliki peran untuk mendengarkan, melakukan konseling, dan mendorong
konseli untuk memiliki pemikiran yag realistis. Sedangkan peran konseli yakni
mengekspresikan diri, belajar dan mengimplementasikan hasil belajarnya.
5. Filosofi stoic
Konseling Cognitive Behavior mengajarkan bagaimana konseli bersikap tenang ketika
dikonfrontasi oleh peristiwa yang tidak diharaokan atau diinginkan.
6. Menggunakan metode Socratic
Konselor Cognitive Behavior mempunyai maksud untuk memperoleh pemahaman yang
mendalam tentang masalah konseli. Teknik yang sering digunakan adalah pertanyaan yang
mendorong konseli mengintrospeksi dan mengevaluasi dirinya.
7. Bersifat terstruktur dan direktif
Konseling Cognitive Behavior lebih fokus untuk membantu konseli dalam mencapai
tujuan yang diinginkan dan telah di rencanakan sebelumnya, tidak bermaksud untuk
memberitahu apa yang semestinya dan seharusnya dilakukan oleh konseli, melainkan
mengajarkannya untuk bagaimana semestinya konseli melakukan sesuatu.
8. Berdasarkan model pendidikan
Model pendidikan Konseling Cognitive Behavior memiliki dampak yang mengarah pada
hasil jangka panjang, yang bertujuan untuk membantu konseli belajar bereaksi dengan cara
baru. Ketika konseli memahami bagaimana dan mengapa melakukan sesuatu yang baik, maka
konseli akan melanjutkan sesuatu yang terbaik untuk dirinya sendiri.
9. Teori dan teknik konseling kognitif behavior berdasarkan pada metode induktif
Aspek utama pada pemikiran yang realistis adalah didasarkan pada fakta bukan hanya
asumsi sederhana. Metode Induktif mendorong konseli untuk melihat kognititf dalam konteks
hipotesis yang setiap saat dapat di uji dan dinpertanyakan, maka ia dapar merubah pemikiran
agar sejalan dengan realitas.
10. Homework
Konselor Konseling Cognitive Behavior memberikan tugas kepada konseli untuk
membaca dan mendorong untuk menerapkan hal-hal yang diperoleh selama sesi konseling
dalam kehidupan sehari-hari.

6. Situasi Hubungan dalam Konseling Cognitive Behavior

Beck (2011), menciptakan suatu hubungan konseling yang efektif sehingga dapat
merencanakan evaluasi yang bermakna tentang pikiran negatif konseli dan menentangnya
sehingga konselor dapat secara langsung memberikan sugesti pikiran alternatif. Fungsi konselor
ialah sebagai katalisator, pendidik, dan pembimbing yang membeantu konseli memahami
bagaimana keyakinan dan sikap yang mempengaruhi perasaan dan tindakan mereka. Konselor
diharapkan dapat mengidentifikasi penyimpangan dalam pikiran konseli, meyimpulkan hal-hal
yang penting dalam setiap sesi dan kolaboratif dalam setiap teknik. Perubahan pola pikir dan
perilaku konseli terjadi jika konseli memiliki inisiatif, memahami, meyadari, dan berusaha dalam
setiap sesi konseling.

7. Komponen-Komponen dalam Hubungan Konseling Cognitive Behavior

Konseling Cognitive Behavior disusun sesuai dengan kebutuhan konseli, sehingga


sifatnya tailor made dan membuat pelaksanaan konseling cognitive behavior sangat fleksibel.
Stallard (2014), berpendapat ada lima komponen utama dalam hubungan Konseling Cognitive
Behavior seperti berikut :

a. Formulasi dan psikoedukasi, merupakan komponen dasar dalam konseling cognitive


behavior. Komponen ini melibatkan tugas konselor untuk memberikan edukasi pada konseli
mengenai hubungan antara pemikiran, perasaan, dan perilaku manusia. Psikoedukasi dapat
berupa penjelasan dari konselor mengenai beberapa materi dalam kegiatan konseling kognitif
behavior dan pemahaman munculnya sebuah masalah serta identifikasi seluruh respom yang
muncul karena masalah tersebut
b. Kognisi, pemusatan pikiran untuk mengidentifikasi pikiran-pikiran otomatis negatif dan
keyakinan dasar yang dimiliki konseli. Proses identifikasi distorsi dan deficit kognitif akan
membuat konseli mampu mengidentifikasi pikiran, asumsi, keyakinan yang terdistorsi, dan
pola pikir yang negatif. Evaluasi pikiran dilakukan untuk menguji dan mengevaluasi kognisi
konseli, perubahan pola pikir konseli dan pembentukan cara berpikir yang lebih berguna dan
adaptif. Konselor akan membantu konseli untuk mempelajari ketrampilan kognitif baru
sampai bisa terbiasa untuk mencari pikiran-pikiran alternative yang dapat membantu
mengatasi masalah.
c. Perilaku, tujuan konseling telah ditentukan dan di sepakati bersama di awal sesi konseling
yang tidak terlepas dari prinsip SMART (Spercific, Measurable, Achievable, Relevant, dan
Time Frame). Perubahan yang telah di capai oleh konseli dalam mempelajari ketrampilan
baru tidak terlepas dari tugas rumah yang diberikan konselor. Konselor melakukan pencarian
gaya berpikir konseli dengan cara yang terstruktur sehingga dapat menguji dan mengevaluasi
pikiran konseli. Pengujian dilakukan dengan eksperimen perilaku, konseli diminta untuk
merancang kemunculan sebuah perilaku sehingga saat ia melakukannya, konseli dapat
menemukan pikiran yang lebih positif dan adaptif.
d. Emosi, pada umumnya konseling cognitive behavior melibatkan psikoedukasi untuk
mengenali emosi agar konseli mampu mengidentifikasi dan membedakan emosi yang
dirasakan, serta mengidentifikasi reaksi fisik yang muncul. Dengan pemantauan emosi,
konseli mampu menghubungkan antara emosi, perilaku, dan pikiran, mampu mengenali
intensitas emosi yang dirasakan, serta kesadaran akan perubahan yang terjadi pada diri
konseli. Pada pengaturan emosi konseli diajarkan untuk relaksasi sehingga dapat mengatasi
masalah seperti kecemasan, fobia, dan stress atau trauma.
e. Penguatan (reinforcement) dan rewards terhadap perilaku yang sesuai merupakan komponen
penting dalam hubungan konseling cognitive behavior, seperti pemberian hadiah ketika
konseli mampu mencapai tujuan.

8. Mekanisme Pengubahan dalam Konseling Cognitive Perilaku

1. Tahap-Tahap Konseling Cognitive Behavior


Corey (2015) berpendapat bahwa pelaksaan Konseling Cognitive Behavior terdiri
dari tiga tahapan sebagai berikut :
1. Initial Stage
Sesi pertama adalah sesi pelaksanaan assessment sebagai baseline dari kondisi
pra-konseling. Membangun dan menciptakan hubungan yang baik dengan konseli,
memperoleh informasi penting tentang konseli, dan mengidentifikasi masalah yang
muncul. Menurut Beck (2011), assessment dilakukan terhadap situasi yang dipersepsi
konseli yang ditengarai dapat mempengaruhi kognitif, emosi, perilaku, dan reaksi
fisiologis konseli, yang selanjutnya akan dilakukan interpretasi dan pengujian pikiran-
pikiran ototmatis konseli yang bersifat negatif maupun positif.
Pada sesi ini konselor harus dapat mengidentifikasi masalah dengan spesifik.
Konseli diperkenankan untuk menceritakan terlebih dahulu hal-hal yang membuat
mereka dengan suka rela melakukan konseling, serta berdiskusi mengenai harapan-
harapan konseli yang bisa mencairkan suasana dan membuat proses konseling lebih
santai. Setelah konselor mengetahui keterkaitan dan kedalaman dari masing-masing
aspek serta bentuk permasalahannya, konselor merumuskan tujuan dari konseling yang
akan di laksanakan.
2. Working Stage
Perumusan tujuan telah dilaksanakan, selanjutnya melakukan perencanaan dan
perumusan treatment bersama konseli, serta melakukan kontrak atau komitmen secara
terencana dan terjadwal sesuai prosedur yang telah ditentukan. Pada tahap ini konseli
akan diajak untuk menjalankan peran aktifnya dalam mengatasi permasalahan,
konseor memberikan treatment pada aspek kognitif yang merupakan aspek sentral
intervensi dalam Konseling Kognitif Perilaku. Secara simultan intervensi tersebut
membawa perubahan pada aspek emosi, perilaku, dan reaksi fisiologis konseli.
3. Final Stage
Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah sebagai berikut :
(a) Memberi dan menerima balikan.
(b) Memberi kesempatan untuk mempraktikan perilaku baru.
(c) Belajar lebih lanjut dari pengembangan perencanaan yang spesifik untuk
mengaplikasikan perubahan pada situasi diluar konseling.
(d) Mempersiapkan konseli untuk menghadapi adanya permasalahan yang lebih.
(e) Mendampingi konseli dalam meninjau pengalaman dan pemaknaan bagi
dirinya.

2. Teknik-Teknik Konseling Cognitive Behavior


Berikut beberapa teknik dalam pendekatan konseling Cognitive Behavior, adalah :
a. Teknik Self-Talk
Teknik yang digunakan untuk menangani pesan negatif yang mereka kirimkan
kepada dirinya sendiri.

b. Teknik Reframing
Reframing mengubah sudut pandang konseptual atau emosional terhadap suatu
situasi danmengubah maknanya dengan meletakkannya dalam suatu kerangka kerja
kontekstual lain yang juga cocok dengan fakta-fakta yang sama dari situasi aslinya.
Tujuan dari teknik reframing adalah untuk membantu konseli melihat situasinya dari
sudut pandang lain, yang membuatnya tampak tidak terlalu problematic dan lebih
normal dan lebih terbuka terhadap solusi lain. (Corey, 2015)

Beck (2011), mendifinisikan beberapa teknik dalam Konseling Cognitive


Behavior sebagai berikut :
a. Cognitive Restructuring
Teknik Cognitive Restructuring merupakan teknik yang memusatkan perhatian
pada upaya mengidentifikasi serta mengubah pikiran atau keyakinan yang negatif
dan tidak realistis menjadi pikiran yang realistis secara akurat. Cognitive
Restructuring berasumsi bahwa respon perilaku, emosi, dan reaksi fisiologis yang
tidak realistis di pengaruhi oleh kognisi konseli.
Davis.dkk (2008) berpendapat bahwa proses cognitive restructuring dapat
dilakukan dengan cara mengidentifikasi kesalahan berpikir yang berupa kritik diri,
kemudia dilanjutkan dengan menata ulang pemikiran yang tidak realistis. Cote, dkk
(1994) mengemukakan tahapan-tahapan cognitive restructuring sebagai berikur :
(a) Rasional
Rasional berisikan penjelasan atau gambaran tentang strategi cognitive
restructuring baik mengenai tujuan maupun gambaran prosedur singkat yang
akan dilakukan, serta pembahasan tentanf pikiran-pikiran positif dan negatif.
(b) Identifikasi pikiran konseli dalam situasi masalah
Indentifikasi pikiran negatif memiliki peran penting untuk mengetahui
penyebab dari permasalahan, pikiran negatif berupa kritik diri ini perlu
diidentifikasi sebagai proses awal melakukan cognitive restructuring. Untuk
mengidentifikasi pikiran negatif konseli bisa dilakukan secara bertahap, yaitu
mendeskripsikan pikiran konseli dalam situasi problem, memodelkan
hubungan antara peristiwa dan kognisi, dan pemodelan pikiran oleh konseli.
Konselor akan meminta konseli mengidentifikasi situasi dan pikiran dengan
memonitor serta mencatatnya diluat kegiatan konseling dalam bentuk tugas
rumah
(c) Pengenalan dan latihan coping thought
Dalam proses ini terjadi perpindahan fokus dari pikiran-pikiran konseli
yang disfungsional menuju ke bentuk pikiran lain yang realistis. Pikiran yang
tidak realistis disebut sebagai pikiran yang menanggulangi (coping thought).
Pengenalan dan pelatihan prosedur coping statement tersebut sangat penting
untuk mendukung keberhasilan seluruh prosedur cognititve restructuring.
Beberapa kegiatan dalam proses ini adalah penjelasan dan pemberian contoh
coping statement, pembuatan contoh oleh konseli, dan praktik coping
statement oleh konseli.
(d) Perpindahan dari fikiran negatif ke coping thought
Setelah konseli mengidentifikasi pikiran negatif dan mempraktikkan
coping thought, selanjutnya konselor melatuh konseli untuk memindah
pikiran negatif ke coping thought. Terdapat dua prosedur yaitu pemberian
contoh peralihan pikiran oleh konselor dan latihan peralihan oleh konseli.
(e) Pengenalahn dan latihan penguasaan positif
Konselor memodelkan dan konseli mempraktekkan pernyataan-pernyataan
diri yang positif.
(f) Tugas rumah dan tindak lanjut
Tugas rumah ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada
konseli untuk mempraktekkan ketrampilan yang diperoleh dalam
menggunakan coping statement dalam situasi yang sebenarnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan Cognitive Restructuring yaitu
mengajak konseli untuk menentang pikiran yang salah dengan enampilkan
bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah
yang dihadapi. Dalam cognitive restructuring konselor lebih cenderung fokus
pada pengurangan terhadap pikiran negatif dan mengubah atau mengganti
kepercayaan maladaptive menjadi adaptif

b. Problem Solving
Problem Solving membuat individu dapat lebih kreatif dalam menganalisa
permasalahannya dan menemukan beberapa solusi yang dapat diterapkan.
Problem Solving merupakan salah satu ketrampilan yang sangat dibutuhkan
individu untuk lebih mampu mengatasi konflik interpersonal.
Ketrampilan memecahkan masalah akan menentukan keberhasilan konseli dalam
kehidupan sehari-hari, jika individu memiliki ketrampilan memecahkan masalahn
dengan baik, individu akan lebih sensitif terhadap masalah interpersonal,
identifikasi pikiran negatif, sebab akibat, dan kesiapan dalam memprediksi
perilakunya pada masa depan. Menurut Frew dan Spiegler (2013), mengemukaan
langkah-langkah yang diperlukan dalam problem solving sebagai berikut :
(i) Pemahaman permasalahan individu
(ii) Mengidentifikasi masalah
(iii) Menyusun tujuan
(iv)Memilih berbagai situasi yang baik
(v) Menentukan solusi terbaik
(vi)Mengimplementasikan solusi yang dianggap paling baik

c. Pekerjaan rumah (Home Work Assigment)


Penerapan tugas rumah yang diberikan oleh konseli diharapkan dapat mengurangi
atau menghilangkan ide dan perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, dapat
mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek
kognisi yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang
diberikan. Pelaksanaan homework assignment yang diberikan konselor dilaporkan
oleh konseli dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor. Teknik ini
dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab,
kepercayaan kepada diri sendiri serta kemampuan untuk mengarahkan diri,
mengelola diri konseli, dan mengurangi ketergantungan kepada konselor. Teknik
homework assignment bertujuan untuk membina dan mengembangkan sikap
bertanggung jawab, percaya diri, dan kemampuan untuk mengevaluasi kemajuan
dalam mempraktikkan ketrampilan baru dalam situasi kehidupan nyata.

Pengertian Kecemasan

Kecemasan merupakan kondisi psiokologis seseorang yang penuh dengan rasa takut dan
khawatir, perasaan tersebut akan muncul terhadap sesuatu hal yang belum pasti akan terjadi.
Menurut (Muyasaroh et al.2020), kecemasan berasal dari bahasa latin (anxius) dan dari bahasa
jerman (anxt) yang artinya suatu kata yang digunakan untuk menggambarkan efek negatif dan
rangsangan fisiologis. Kecemasan merupakan keadaan emosi yang muncul saat individu sedang
stress dan di tandai oleh perasaan tegang, pikiran yang membuat individu merasa khawatir dan
disertai respon fisik seperti detak jantun yang lebih cepat, naiknya tekanan darah, dan lain
sebagainya (American Psychological Association, 2020).

Menurut Stuart dan Sundeen (2016) kecemasan adalah keadaan emosi tanpa objek
tertentu dan dipicu oleh hal yang tidak diketahui. Kecemasan merupakan respon terhadap situasi
tertentu yang mengancam dan merupakan hal yang normal terjadi yang disertai perkembangan,
perubahan, pengalaman baru, serta dalam menemukan identitas diri (Kaplan, Saddock, dan
Grebb 2010). Kecemasan merupakan perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang
menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu permasalahan atau
tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu akan menimbulkan rasa yang tidak
menyenangkan dan berakibat pada perubahan fisiologis dan psikologis.

Menurut Zakariah (2015) kecemasan adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan
yang digambarkan dengan kegelisahan atau ketegangan dengan tanda-tanda hemodinamik yang
abnormal sebagai konsekuensi dari stimulasi simpatik, parasimpatik, dan endoktrin. Pengaruh
kecemasan terhadap tercapainya kedewasaan merupakan masalah penting dakam perkembanagn
kepribadian. Kecemasan merupakan kekuatan penggerak yang besar, baik tingkah laku normal
maupun menyimpang keduanya merupakan pernyataan, penampilan, penjelmaan dari pertahanan
terhadap kecemasan tersebut, sehingga sangat jelas bahwa pada gangguan emosi dan tingkah
laku kecemasan merupakan masalah pelik.

Kecemasan merupakan suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan mental yang


menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak
adanya rasa aman (Kholil Lur Rochman, 2010:104) dalam (sari, 2020). Perasaan yang tidak
menentu tersebut pada umumnya sangat tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan
perubahan psikologis dan fisiologis. Anxiety atau kecemasan merupakan pengalamn yang
bersifat subyektif, tidak menyenangkan, menakutkan, dan khawatir akan adanya kemungkinan
bahaya atau ancaman dan sering kali disertai oleh gejala-gejala atau reaksi fisik tertentu akibat
peningkatan aktifitas otonomik (Suwanto, 2015).

Kecemasan menurut (Hawari, 2002) merupakan gangguan alam perassaan yang di tandai
dengan kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tetapi belum mengalami gangguan
dalam menilai realitas, kepribadian masih tetpa utuh dan perilaku dapat terganggu namun masih
dalam batas-batas normtingkatal atau wajar (Candra et al, 2017). Berdasarkan beberapa
pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan takut
dan khawatir yang bersifat lama pada sesuatu yang tidak jelas (subjektif) dan berhubungan
dengan perasaan yang tidak menentu.

Teori-Teori Kecemasan

Konsep kecemasan selalu berkembang dari zaman ke zaman, masing-masing model


mengembangkan beberapa teori tertentu dari fenomena kecemasan. Teori-teori tersebut saling
berkaitan satu sama lain untuk dapat memahami kecemasan secara komprehensif, berikut
beberapa teori kecemasan menurut Freud antara lain:

1. Teori Psikoanalitik
Menurut Frued struktur kepribadian terdiri dari tiga elemen, yaitu Id, Ego, dan Super
ego. Id melambangkan dorongan insting dan impuls primitive, Super ego mencerminkan
hari nurani seserang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang, sedangkan
Ego digambarkan sebagai mediator antar tuntunan dari Id dan Super ego. Kecemasan
merupakan konflik emosional antara Id dan Super ego yang berfungsi untuk
memperingatkan Ego tentang suatu bahaya yangharus diatasi (Stuart dan Sudden, 1991).
2. Teori Interpersonal
Anxiety atau kecemasan terjadi dari sebuah ketakutan dan penolakan interpersonal,
hal ini juga dihubungkan dengan trauma yang terjadi di masa pertumbuhan seperti
merasakan kehilangan dan perpisahan yangmenyebabkan seseorang menjadi tidak
berdaya. Individu yang mempunyai harga diri rendah biasanya sangat mudahh untuk
mengalami kecemasan yang berat (Stuart dan Sudden, 1991).

3. Teori Perilaku
Kecemasan merupakan hasil frustasi dari segala sesuatu yang menganggu
kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang yang diinginkan. Para ahli perilaku
menganggap kecemasan merupakan suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan
keinginan untuk mempelajari rasa sakit. Teori ini meyakini bahwa yang awal
kehidupannya sudah dihadapkan pada rasa takut yang berlebihan akan menunjukkan
kemungkinan kecemasan yang berat pada masa dewasa nanti (Stuart dan Sudden, 1991).

Kecemasan (anxiety) merupakan manifestasi dari berbagai emosi yang bercampur baur
dengan panik, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan
pertentangan batin (konflik). Kecemasan juga mempunyai segi yang disadari seperti rasa
takut, terkejut, tidak berdaya, rasa bersalah, terancam dan lain sebagainya (Zakiyah, 1989)
Berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kecemasan merupakan suatu
kondisi yang terjadi ketika individu sedang mengalami suatu tekanan perasaan yang tidak
jelas objeknya. Tekanan-tekanan tersebut dapat menghambat individu dalam melakukan
kegiatan sehari-hari dan kesulitan dalam menyesuaikan diri

Tingkatan kecemasan

Semua orang pasti mengalami tingkat kecemasan yang berbeda-beda, menurut pendapat
(Muyasaroh et.al, 2020) kecemasan memiliki empat tingkatan sebagai berikut :

a. Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan merupakan kecemasan yang normal terjadi dalam kehidupan sehari-
hari, kecemasan ini dapat memotivasi proses belajar untuk menghasilkan pertumbuhan serta
kreatifitas. Tanda dan gejala dari kecemasan ringan ini antara lain persepsi dan perhatian
meningkat, waspada, sadar akan stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi masalah
secara efektif, dan meningkatnya kemampuan belajar. Perubahan fisiologis ditandai dengan
gelisah, sulit tidur, dan hipersensitif terhadap suara.
b. Kecemasan Sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal yang penting dan
mengesampingkan hal lain, sehingga individu mengalami perhatian yang selektif dan dapat
melakukan sesuatu yang lebih terarah. Respon fisiologis yang terjadi seperti nafas pendek,
nadi dan tekanan darah naik, bibir kering, gelisah, dan konstipasi. Sedangkan respon kognitif
seperti lahan persepsi menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima, dan berfokus pada
apa yang menjadi perhatiannya.
c. Kecemasan Berat
Kecemasan pada tingkatan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terperinci dan spesifik, serta tidak dapat
berfikir tentang hal lain. Gejala atau tanda dari kecemassan berat adalah persepsinya sangat
kurang, berfokus pada hal yang detail, rentnag perhatian sangat terbatas, tidak dapat
berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah, dan tidak dapat belajar secara efektif. Pada
tingkatan individu akan mengalami sakit kepala, pusing, mual, gemetar, insomnia, palpitasi,
hiperventilasi, dan sering buang air kecil. Secara emosi individu mengalami ketakutan serta
seluruh perhatian terfokus pada dirinya.
d. Panik (kecemasan sangat berat)
Pada tingkatan ini kecemasan berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror.
Individu akan hilang kendali atas dirinya hingga tidak dapat melakukan sesuatu walaupun
dengan pengarahan. Kecemasan ini meneybabkan peningkatan aktivitas motoric, menurunnya
kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan
pemikiran yang rasional. Kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung
lama dapat menyebabkan kelelahan yang sangat berat bahkan kematian.

Faktor-Faktor Penyebab Kecemasan


Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu dan sebagian besar tergantung
pada seluruh pengalaman hidup seseorang. Peristiwa atau situasi khusus dapat mempercepat
munculnya serangan kecemasan, berikut beberapa faktor penyebab kecemasan :

a. Lingkungan
Lingkungan disekitar tempat tinggal dapat memberi pengaruh pada cara berpikir
individu tentang dirinya sendiri atau orang lain. Hal ini disebabkan karena adanya
pengalaman yang tidak menyenangkan dalam diri individu dengan sahabat, teman,
keluarga, ataupun rekan kerja. Sehingga lingkungan bisa menjadi faktor terbesar terhadap
munculnya kecemasan.

b. Emosi yang ditekan


Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar untuk
perasaannya sendiri dalam hubungan personal, terutama jika dirinya menekan rasa marah
atau emosi dalam jangka waktu yang lama.
c. Sebab-sebab Fisik
Pikiran dan tubuh senantiasa berinteraksi dan dapat menyebabkan timbulnya
kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi tubuh ketika sakit, dimana kondisi tersebut
membuat perasaan sangat rentan mengalalami perubahan-perubahan emosi secara
mendadak dan hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya sebuah kecemasan.

Dampak Kecemasan

Ketakutan, kekhawatiran, dan kegelisanahan yang tidak beralasan pada akhirnya


memunculkan kecemasan, hal tersebut berdampak pada perubahan perilaku seperti menarik dari
lingkungan, sulit fokus dalam beraktifitas, susah makan, mudah tersinggung, rendahnya
pengendalian emosi dan amarah, sensitive, tidak logis dan susah tidur. (Jarnawi, 2020). Menurut
Yustinus (2006) dalam (Arifiati and Wahyuni, 2019) dampak dari kecemasan di bagi menjadi
beberapa simtom, sebagai berikut :

a. Simtom Suasana Hati


Individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan adanya hukuman dan
bencana yang mengancam dari suatu sumber tertentu yang tidak di ketahui. Orang yang
mengalami kecemasan tidak akan bisa tidur sehingga membuatnya menjadi pribadi yang
pemarah karena istirahat yang kurang.

b. Simtom Kognitif
Simtom Kognitif yaitu kecemasan yang dapat menyebabkan kekhawatiran dan
keprihatinan pada individu mengenai hal yang tidak menyenangkan yang mungkin
menjadikan individu tersebut tidak memperhatkan masalah yang ada, sehingga individu sering
melakukan kegiatan dengan tidak efektif yang akhirnya membuat kecemasan lebih besar.
c. Simtom Motor
Orang-orang yang mengalami kecemasan akan mengalami perasaan tidak tenang dan
gugup. Kegiatan motorik yang terjadi ketika merasa cemas akan menjadi tanpa arti dan tujuan
misalnya jari kaki mengetuk-ngetuk, dan mudah kaget dengan suara yang tiba-tiba muncul.
Simtom motoric merupakan gambaran rangsangan kognitif yang tinggi pada individu dan
merupakan usaha untuk melindungan dirinya dari apa saja yang dirasa mengancam.

Jenis-Jenis Kecemasan

Menurut (Frued, 1964) dalam (Olson, 2013) jenis kecemasan di kelompokkan menjadi
tiga, antara lain :

1. Kecemasan Realitas
Kecemasan Realitas disebabkan oleh sumber-sumber negatif yang riil dan objektif di
lingkungan. Kecemasan ini merupakan jenis kecemasan yang paling mudah di tangani
lantaran dengan bertindak sesuatu, maka persoalan memang akan bisa selesai secara
objektif.
2. Kecemasan Neurotik
Rasa takut dengan impuls-impuls id akan mengatasi kemampuan ego, menangani dan
menyebabkan manusia melakukan sesuatu yang akan membuatnya dihukum.
3. Kecemasan Moral
Rasa takut bahwa seseorang akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-
nilai superego sehingga membuatnya mengalami rasa bersalah.
Kecemasan Akademik

Pengertian Kecemasan Akademik

Kecemasan akademik merupakan kecemasan yang dipicu oleh ketidakyakinan akan


kemampuan diri dalam mengatasi tugas-tugas akademik (Academic Anxiety) (Bandura, 1997)
dalam (Prawita Sari, 2012). Hasil Penelitian Zeidner menunjukkan bahwa problem utama siswa
dengan tingkat kecemasan yang tinggi adalah ketika mereka tidak menguasai proses
pembelajaran dari awal, tidak fokus pada apa yang di sampaikan guru kelas dan akhirnya
membuat mereka kesulitan dalam mencerna pembelajaran selanjutnya, hal tersebut membuat
tingkat kecemasan meningkat drastis ketika mereka menghadapi ujian. Ottens (1991),
mengungkapkan pendapat yang serupa yakni bahwa kecemasan akademik mengacu pada
terganggunya pola pemikiran dan respon fisik, serta perilaku karena kemungkinan performa yang
di tampilkan siswa tidak di terima secara baik ketika tugas-tugas akademik diberikan.

Kecemasan akademik memiliki pengaruh terhadap integritas akademik siswa. Integritas


akademik merupakan sikap individu dalam mempertahankan nilai yang benar secara konsisten
didalam lingkungan dan kegiatan akademik, dengan mengedepankan aspek kejujuran,
kepercayaan, kesetaraan, penghargaan, tanggung jawab dan keberanian. Sehingga bila integritas
tersebut terpengaruhi oleh kecemasan maka siswa akan terhalangi dalam mencapai potensi
akademiknya dan selalu merasa pesimis dalam melakukan berbagai hal di lingkup akademik.

Tingkat kecemasan dapat menurunkan motivasi dan prestasi akademik. Menurut (Eggen
& Kauchak, 2004) dalam (Prawitasari, 2012) dampak negatif kecemasan terhadap motivasi dan
prestasi akademik berdasarkan teori pemprosesan informasi adalah tingginya kecemasan yang
dialami siswa menimbulkan kesulitan dalam berkonsentrasi, pola pikir yang negatif membuat
siswa selalu melakukan kesalahan dalam menangkap atau memahami informasi pembelajaran,
dan dengan kecemasan yang tinggi sering kali mempergunakan strategi belajar yang dangkal dan
tidak efektif.
Dari berbagai penjelasan diatas yang disampaikan oleh para ahli mengenai kecemasan
akademik, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan akademik merupakan dorongan pemikiran
dan perasaan dari dalam diri individu yang takut dan kurang yakin dengan kemampuan dirinya
untuk menyelesaikan tugas dan ujian dengan memuaskan.

Karakteristik Kecemasan Akademik

Menurut Ottens (1991), berpendapat bahwa karakteristik kecemasan akademik di bagi


menjadi empat sebagai berikut :

a. Pola kecemasan yang menimbulkan aktivitas mental


Siswa memperlihatkan pikiran, persepsi, dan dugaan yang mengarah kepada
kesulitan akademik yang dihadapi. Aktivitas mental yang terlibat sebagai berikut :
1. Kekhawatiran
Siswa menjebak diri sendiri kedalam rasa kegelisahan dengan
menganggap semua hal yang dilakukan salah. Kegelisahan yang terus menerus
akan menyebabkan kekhawatiran siswa terhadap hal yang akan dilakukannya di
waktu yang akan datang.
2. Dialog diri yang maladaptif
Berbicara dengan dirinya sendiri sepanjang hari merupakan wujud dari
dialog yang dilakukan secara sadar. Instruksi diri, pengingat diri, menyelamati
atau menyemangati diri sendiri, dan kesukaan terhadap sesuatu merupakan bentuk
dari dialog sadar. Berbicara dalam hati pada siswa yang cemas secara akademis
seringkali ditabdai dengan kritik diri yang keras, menyalahkan diri sendiri, dan
kepanikan dalam berbicara dengan diri sendiri yang mengakibatkan munculnya
perasaan cemas dan peluang untuk merendahkan kepercayaan diri akan semakin
besar, serta mengacaukan siswa dalam memecahkan suatu permasalahan.
3. Pengertian yang kurang maju dan keyakinan siswa mengenai diri dan
dunia mereka
Siswa akan memiliki keyakinan yang salah tentang pentingnya masalah
yang dihadapi, cara untuk menegaskan harga diri, mengetahui cara yang terbaik
untuk memotivasi dan mengatasi kecemasan, serta memisahkan pemikiran-
pemikiran yang salah yang dapat menimbulkan kecemasan akademik.
b. Perhatian pada arah yang salah
Perhatian siswa terhadap tugas-tugas sekolah akan mengalami penurunan jika siswa
merasakan kecemasan akademik. Perhatian tersebut teralihkan melalui gangguan
eksternal seperti perilaku siswa lain, jam, suara-suara bising, dan bisa juga melalu
gangguan internal seperti kekhawatiran, melamun, dan reaksi fisik.

c. Distress secara fisik


Perubahan pada tubuh diasosiasikan dengan kecemasan yang ditandai dengan otot
tegang, berkeringat, jantung berdetak lebih cepat, dan tangan gemetar. Selain perubahan
pada tubuh, ada pengalaman emosional dari kecemasan yang biasa disebut dengan
perasaan “sinking (tenggelam)”, “freezing (beku)”, dan “clutching (cengkeram)”. Aspek
fisik dan emosi dari kecemasan menjadi kacau jika diinterpretasikan sebagai bahaya atau
jika menjadi fokus penting dari perhatian selama tugas akademik berlangsung.
d. Perilaku yang kurang tepat
Siswa yang mengalami kecemasan akademik memilih berperilaku dengan cara
menajdikan kesulitan menajdi satu. Perilaku siswa mengarah pada situasi akademik yang
tidak tepat, penghindaran (prokrastinasi) sangat umum dijumpai karena dengan menunjukkan
tugas yang belum sempurna dan performa siswa fungsinya yang bercabang, misalnya
berbicara dengan teman ketika sedang belajar. Siswa yang cemas juga berusaha keras
menjawab pertanyaan ujian atau terlalu cermat mengerjakan untuk menghindari kesalahan
dalam ujian.
Konseling Kelompok

Pengertian Konseling Kelompok

Konseling kelompok merupakan proses konseling dengan memanfaatkan kelompok


untuk membantu memberi umpan balik (feedback) dan pengalaman belajar. Konseling kelompok
merupakan teraupetik yang dilaksanakan untuk membantu konseli mengatasi masalah yang
berhubngan dengan kehidupan sehari-hari. Konseling kelompok dalam prosesnya menggunakan
prinsip-prinsip dinamika kelompok dan pada umumnya ditekankan untuk proses remedial serta
pencapaian fungsi-fungsi secara optimal.

Menurut Natawidjaja, R (Rusmana, N 2009:9) mendifinisikan bahwa konseling


kelompok artinya sebagai upaya bantuan kepada individu yang bertujuan untuk memberi
kemudahan dalam berbagai aspek perkembangan dan pertumbuhannya, jadi selain bersifat
preventif konseling kelompok juga bersifat penyembuhan. Nurihsan J,A. (2012 :22) menyatakan
bahwa konseling kelompok merupakan suatu proses antar pribadi yang dinamis, terpusat pada
pemikiran serta perilaku yang sadar dan melibatkan fungsi-fungsi terapi seperti sifat permisif,
orientasi pada kenyataan, katarsis, saling mempercayai, saling memperlakukan dengan mesra,
saling pengertian, menerima, dan mendukung. Fungsi-fungsi terapi itu diciptakan dan
dikembangkan dalam suatu kelompok kecil melalui cara saling peduli diantara peserta konseling
kelompok.

Konseling dalam anggota kelompok adalah individu normal yang mempunyai berbagai
masalah yang tidak memerlukan penanganan perubahan kepribadian lebih lanjut. Konseli
didalam konseling kelompok menggunakan interaksi kelompok untuk meningkatkan pengertian
dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan tertentu untuk mempelajari atau menghilangkan
sikap-sikap serta perilaku tertentu. Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan
bahwa konseling kelompok merupakan proses konseling yang dilakukan dalam situasi kelompok
sebagai upaya pemberian bantuan kepada beberapa individu, dimana konselor berinteraksi
dengan konseli dalam bentuk kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan serta
diarahkan pada pemberian kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhan konseli.

Fungsi Konseling Kelompok


Menurut Nurihsan, J (2006:24) fungsi konseling kelompok dibagi menjadi dua yakni
layanan yang diarahkan untuk mengatasi persoalan yang dialami individu, dan layanan konseling
yang diarahkan untuk mencegah terjadinya persoalan pada diri individu.

Konseling kelompok memiliki sifat pencegahan dan penyembuhan. Sifat pencegahan


ialah individu yang dibantu mempunyai kemampuan normal atau berfungsi secara wajar di
masyarakat, namun kelemahannya terletak pada kehidupannya, sehingga menganggu kelancaran
dalam berkomunikasi dengan orang lain. Sedangkan sifat pencegahan mengandung arti
membantu individu untuk dapat keluar dari persoalan yang dialaminya dengan cara memberikan
kesempatan, dorongan, juga mengarahkan individu untuk mengubah sikap dan perilakunya agar
selaras dengan lingkungannya.

Tujuan Konseling Kelompok

Tujuan konseling kelompok pada dasar dibedakan menjadi dua yaitu tujuan teoritis dan
tujuan operasional. Tujuan teoritis berkaitan dengan tujuan secara umum dicapai melalui proses
konseling, sedangkan tujuan operasional disesuaikan dengan harapan anggota dan masalah yang
dihadapi anggota serta disesuaikan dengan masalah konseli dan dirumuskan bersama-sama
antara konseli dan konselor, tujuan-tujuan tersebut diupayakan melalui proses dalam konseling
kelompok. Pemberian dorongan (supportive) dan pemahaman melakui redukatif (insight-
reeducative) sebagai pendekatan yang digunakan konseling. Konseling diharapkan dapat
mencapai tujuan-tujuan tersebut, tujuan mengacu pada mengapa kelompok mengadakan
pertemuan dan apa tujuan serta sasaran yang hendak dicapai.

Tujuan konseling kelompok menurut Prayitno (dalam Tohirin, 2014:173) adalah


berkembangnya kemampuan sosialisasi siswa, khususnya kemampuan berkomunikasi melalui
konseling kelompok, hal-hal yang dapat menganggu sosialisasi dan komunikasi siswa diungkap
dan didinamikakan melalui berbagai teknik, sehingga kemampuan sosialisasi dan berkomunikasi
sisiwa dapat optimal. Melalui dinamika kelompok siswa juga dapat mengentaskan
permasalahannya.

Menurut Winkel dan Hastuti (2009:592) tujuan konseling kelompok antara lain :
a. Masing-masing anggota kelompok memahami dirinya dengan baik dan menemukan dirinya
sendiri. Berdasarkan pemahaman diri itu dia bisa lebih rela menerima dirinya sendiri dan
terbuka pada aspek-aspek positif dalam dirinya.
b. Para konseli mengembangkan kemampuan berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka
dapat saling memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan yang khas
pada fase perkembangan mereka.
c. Kelompok konseli memperoleh kemampuan untuk bisa mengatur dirinya dan mengarahkan
hidupnya sendiri, yang awalnya hanya dalam forum kelompok sampai meluas ke dalam
kehidupan sehari-hari.
d. Kelompok konseli menjadi pribadi yang lebih peka terhadap kebutuhan prang lain dan lebih
mampu menghayati perasaan orang lain, hal tersebut bisa berimbas pada kepekaan kebutuhan
dan perasaannya sendiri.
e. Setiap anggota kelompok menetapkan suatu sasaran yang ingin mereka capai, yang
diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku yang lebih konstruktif.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa tujuan dari
konseling kelompok dibedakan menjadi dua yaitu tujuan teoritis dan operasional yang
disesuaikan dengan masalah konseli dan dirumuskan secara bersama-sama. Selain itu dalam
konseling kelompok juga bisa melatih kemampuan berkomunikasi siswa, rasa tenggang rasa,
rasa kepedulian, serta terentaskannya masalah yang dialami oleh masing-masing anggota
kelompok dan dapat berkembang dengan optimal.

Asas-Asas Konseling Kelompok

1. Asas kerahasiaan
Segala sesuatu yang dibahas dan muncul dalam forum kelompok hendaknya menjadi
rahasia kelompok yang hanya boleh diketahui oleh anggota kelompok dan tidak di
sebarluaskan diluar forum kelompok.
2. Asas kesukarelaan
Semua anggota kelompok di haruskan atas kemauannya sendiri dalam melaksanakan
kegiatan konseling tanpa ada paksaan dari teman atau pemimpin kelompok.
3. Asas kegiatan dan keterbukaan
Para anggota konseling kelompok bebas dan terbuka untuk mengemukakan pendapat, ide,
saran, tentang apa saja yang di pikirkan tanpa ada rasa malu dan ragu-ragu.
4. Asas kekinian
Memberikan topik atau materi yang bersifat actual dan hal-hal yang terjadi sekarang dan
yang direncanakan sesuai dengan kondisi sekarang.
5. Asas kenormatifan
Semua hal yang dibicarakan dalam forum hendaknya tidak melewati batas pembahasan
dengan menggunakan kaidah dan norma-norma yang berlaku, dilarang membahas hal
yang bertentangan dengan norma-norma dan kebiasaan yang berlaku.

6. Asas keahlian
Asas ini diperlihatkan oleh pemimpin kelompok dalam mengelola kegiatan kelompok
dalam mengembangkan proses dan isi pembahasan secara keseluruhan.

Tahapan-Tahapan Pelaksanaan Konseling Kelompok

Menurut Coret dan Yakun, (Latipun, 2010:158) konseling kelompok dilaksanakan secara
bertahap, melalui enam tahapan sebagai berikut :

1. Prakonseling (tahap pembentuka kelompok)


Tahap ini merupakan tahap persiapan pelaksanaan konseling kelompok. Tahap ini
merupakam tahap pembentukan kelompok dengan cara seleksi anggota dan menawarkan
program kepada calon peserta konseling, sekaligus membangun harapan kepada calon
peserta.
2. Tahap permulaan (Orientasi dan Eksplorasi)
Pada tahap ini struktur kelompok mulai ditemukan, mengeksplorasi harapan anggota, dan
anggota mulai belajar fungsi kelompok sekaligus menegaskan ttujuan dari kelompok.
3. Tahap Transisi
Dalam tahapan ini diharapkan masalah yang dihadapi masing-masing siswa bisa
merumuskan dan mengetahui beberapa penyebab permasalahan. Anggota kelompok
mulai terbuka, namun dalam fase ini sering terjadi kecemasan, resistensi, dan konflik-
konflik lain. Pemimpin kelompok bertugas untuk mempersiapkan anggota kelompok
dalam bekerja sehingga dapat merasakan memiliki kelompok.
4. Tahap Kerja Kohesi dan Produktivitas
Tahapan ini merupakan tahapan menyusun rencana tindakan setelah diketahui
permasalahan yang dihadapi masing-masing anggota kelompok. Penyusunan tindakan ini
disebut juga produktifitas, yang ditandai dengan membuka diri lebih besar,
menghilangkan definisinya, terjadinya konfrontasi antar anggota kelompok, modelling,
belajar perilaku baru, dan terjadinya transferensi.
5. Tahap Akhir (Konsolidasi dan Terminasi)
Pada tahapan ini anggota kelompok mulai mencoba melakukan perubahan-perubahan
tingkah laku dalam kelompok. Setiap anggota kelompok memberi umpan balik yang
berguna untuk perbaikan, dan dilanjutkan atau diterapkan dalam kehidupan konseli jika
di rasa telah berhasil dan cukum mampu. Karena implementasi jadi ini berarti melakukan
pelatihan dan perubahan dalam skala yang terbatas.
6. Tindak Lanjut dan Evaluasi
Tindak lanjut dilakukan bila ada kendala-kendala dalam pelaksanaan di lapangan,
mungkin di perlukannya upaya perbaikan terhadap rencana-rencana semua atau
perbaikan pad acara pelaksanaannya.

Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian merupakan kaitan atau hubungan antara konsep satu
dengan konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka konseptual didapatkan
dari konsep ilmu atau teori yang di pakai sebagai landasan penelitian (Setiadi, 2013).
Berdasarkan dari masalah yang didapatkan dari hasil observasi dan wawancara, maka
dalam kerangka pikir ini peneliti diarahkan untuk mengukur variable bebas yaitu pendekatan
konseling cognitive behavior dengan teknik restructuring dan teknik homework terhadap
variabel teriakat yaitu kecemasan akademik di SMK Mojokerto.
Berdasarkan teori yang telah diuraikan dapat dilihat konsep penelitian, dalam penelitian
ini seperti terlihat dalam gambar berikut :

Kajian Penelitian yang Relevan


Penulis akan memaparkan bebrapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan
dilakukan oleh peneliti yang berjudul “Kefektivan Konseling Kelompok Cognitive Behavior
untuk Mengatasi Academic Anxiety”. Hasil penelitian yang akan dipaparkan tentunya
memiliki beberapa perbedaan dengan penulis. Berdasarkan eksplorasi peneliti ditemukan
beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian yang relevan sebagai
beriku :
BAB II

Kajian Pustaka

A. Landasan Teori
1. Pengertian Konseling Kognitif Behavior

Konseling kognitif Behavior merupakan konseling yang berfokus pada pribadi konseli,
yang bertujuan untuk merubah dan memodifikasi pemikiran serta perilaku yang irrasional
menjadi rasional. Konseling tersebut merupakan bentuk konseling yang efektif dan efisien untuk
menanganni berbagai macam permasalahan psikologis dan reaksi fisiologis konseli yang
maladaptif ke adaptif . Menurut Aaron Beck, konseling kognitif perilaku adalah pendekatan
konseling berbasis psikoterapi yang bertujuan untuk mengubah kognitif atau persepsi konsli
terhadap dirinya dalam rangka melakukan perubahan emosi, perilaku, dan reaksi fisiologis
konseli. Konseling ini menekankan pada proses berpikir tentang bagaimana individu merasakan
dan melakukan (Joyce-Beaulieu & Sulkowski : 2015).
Konseling kognitif behavior merupakan hasil dari perkembangan teori cognitive dan
behavior. Teori behavior merupakan paradigma psikologi yang meneliti mengenai segala sesuatu
yang bisa dilihat atau perilaku yang nampak dan berkembang di tahun 1920, sedangkan teori
cognitive lebih berfokus pada pola pikir, asumsi, dan kepercayaan. Teori cognitive memberikan
fasilitas bagi individu untuk belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam berpikir atau dari
pikiran yang irasional menjadi rasional, teori cognitive mulai diakui dan berkembang pada tahun
1970. Konseling kognitif behavior merupakan sebuah adaptasi dari pendekatan terapi kognitif
behavior, karakteristik dari pendekatan ini adalah behavioristic, pragmatic, scientific, learning
theoretical, cognitive, action oriented, experimental, goal oriented and contractual (James &
Gilliland, 2003). Pendekatan terapi kognitif perilaku telah terbukti efektif untuk menangani
permasalahan-permasalahan psikologis, mulai dari depresi sampai gangguan kecemasan dan
kepribadian, dibuktikan dengan adanya 350 hasil studi yang meneliti gangguan-gangguan
psikologis individu.

Konseling cognitif behavior sering disebut dengan istilah Cognitive Behaviot


Modification karena merupakan salah satu modifikasi perilaku yang menggunakan kognisi
sebagai kunci dari perubahan perilaku dengan cara membuang pikiran dan keyakinan buruk
konseli untuk kemudian diganti dengan konstruksi pola pikir yang lebih baik. Perilaku
merupakan sebuah pendekatan konseling yang memadukan pendekatan cognitive (pikiran) dan
behavior (perilaku) untuk memecahkan masalah. Pendekatan cognitive berusaha memfokuskan
suatu pikiran, keyakinan, atau bentuk pembicaraan diri (self talk) terhadap orang lain seperti
hidup saya sengsara sehingga sulit untuk dapat menentukan tujuan hidup saya. Pendekatan
cognitive behavior tidak berfokus pada kehidupan masa lalu dari individu akan tetapi
memfokuskan pada permasalahan yang dihadapi saat ini dengan tidak mengabaikan masa lalu.

Pendekatan konseling cognitive behavior didasarkan pada konsep mengubah pikiran dan
perilaku negatif, konseling cognitive ini diarahkan pada modifikasi fungsi berfikir, merasa dan
bertindak, menekankan pada otak sebagai sumber penganalisa, pengambil keputusan, dan
memutuskan kembali. Sedangkan behavioral yaitu memodifikasi perilaku menuju arah yang
lebih baik.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa konseling


kognitif behavior merupakan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau
pembenahan kognisi yang menyimpang akibat peristiwa yang merugikan dirinya baik secara
fisik maupun psikis. Konseling kognitif behavior dilakukan untuk meningkatkan dan merawat
kesehatan mental, konseling ini diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan
bertindak dengan menekankan otak sebagai oenganalisa, pengambil keputusan, bertanya,
bertindak, dan memutuskan kembali. Sedangkan pendekatan pada aspek behavior diarahkan
untuk membangun hubungan yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi
permasalahan. Seseorang harus mampu mengubah cara berpikir dan perilakunya sendiri demi
mencapai masa depan yang dia inginkan.

2. Konsep Dasar Teori Konseling Cognitive Behavior

Konseling cognitive behavior merupakan bentuk konseling yang efektif dan efesien untuk
menangani berbagai macam permasalahan yang spesifik, dalam beragam populasi konseli yang
mengandalkan konsep validasi empiris dan teknik-teknik yang sudah ditentukan. Aaron Beck
(1991) mendefinisikan bahwa cognitive behavior sebagai pendekatan konseling yang dirancang
untuk menyelesaikan permasalahan konseli melalui cara restrukturisasi kognitif dan perilaku
menyimpang. Konseling cognitive behavior didasarkan pada formulasi kognitif, strategi,
keyakinan, dan perilaku yang menggangu. Konseling kognitif behavior diharapkan mampu
memunculkan restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayaan untuk
membawa perubahan pikiran dan perilaku.

National Assiciation of Cognitive-Behavioral Therapists (NACBT, 2017) merupakan


lembaga internasional yang tergabung dari beberapa ahli, mendefinisikan konseling cognitive
behavior sebagai suatu pendekatan yang menekankan peran penting pikiran, bagaimana kita
merasaakan dan apa yang kita lakukan. Konseling cognitive behavior merupakan pendekatan
dengan sejumlah prosedur yang secara spesifik menggunakan kognisi sebagai bahan utama
konseling. Maka dapat disimpulkan bahwa konseling cognitive behavior merupakan suatu
pendekatan konseling yang berfokus pada keadaan konseli melalui restrukturisasi kognitif dan
perilaku dengan menggunakan prosedur pengubahan kognitif dan perilaku.

Teori cognitive behavior pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran manusia
terbentuk melalu proses rangkaian stimulus-kognisi-respon (SKR) yang saling berkaitan dan
membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, dimana proses cognitive akan menjadi
faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berfikir, merasa, dan bertindak.
Sementara dengan adanya keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap
pemikiran yang rasional dan irrasional, dimana pemikiran irrasional dapat menimbulkan
gangguan emosi dan tingkah laku, maka konseling cognitive behavior diarahkan kepada
modifikasi fungsi berfikir, merasa, dan bertindak dengan menekankan peran otak dalam
menganalisa, memusatkan, bertanya, berbuat, dan memutuskan kembali. Dengan merubah status
pikiran dan perasaannya, klien diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya dari yang negatif
menjadi positif. Kondisi reaksi emosional di pengaruhi oleh bagaimana seseorang menilai situasi
dan bagaimana cara menginterpretasikan suatu kejadian yang nantinya akan sangat
mempengaruhi tindakan yang dilakukan.

3. Prinsip Dasar Konseling Kognitif Behavior

Menurut Butler, Fennell dan Hackman (2010), konseling cognittive behavior memiliki 6
prinsip dasar yaitu :

1. Prinsip Kognitif
Prinsip kognitif merupakan interpretasi individu terhadap suatu peristiwa atau situasi, jika
ada sua individu yang memberikan situasi berbeda terhadap suatu peristiwa karena mereka
memandang sebuah peristiwa dengan cara berbeda, namun jika individu bereaksi tidak biasa,
ini dikarenakan individu memiliki automatic thoughts (pikiran-pikiran otomatis) atau
keyakinan mengenai peristiwa tersebut. Konselor cognitive behavior membantu individu
memahami bagaimana ia bisa membentuk sebuah distori kognititf dengan memfokuskan pada
bukti-bukti tertentu.
Jadi pendekatan kognititf dapat membantu individu yang mengalami masalah dengan
mengubah kognisinya mengenai apa yang ia rasakan (change their cognition change the way
they feel).
2. Prinsip Perilaku
Menurut konseling cognitive behavior, perilaku merupakan aspek yang di pengaruhi oleh
kognisi dan emosi, misalnya individu mempunyai pemikiran negatif, mendukung dan
mengkonfirmasi perilaku tersebut. Konseling cognitive behavior membantu individu untuk
mempelajari perilaku dan cara baru untuk menghadapi situasi-situasi, termasuk belajar
ketrampilan-ketrampilan khusus seperti ketrampilan sosial.
3. Prinsip Kontinum
Konseling cognitive behavior mendefinisikan bahwa permasalahan mental muncul dari
proses mental normal yang berlebihan dibanding sebagai kondisi patologis. Jadi disimpulkan
bahwa masalah psikologis berada pada ujung kontinum dan bukan dalam dimensi yang
berbeda. Keyakinan ini berhubungan dengan ide bahwa masalah-masalah psikologis terjadi
pada siapa saja.
4. Prinsip Here and Now
Konseling cognitive behavior berfokus pada gejala yang muncul pada masa kini dan tidak
banyak menekankan pada masa lampau. Hal tersebut sesuai dengan prinsip konseling
behavior yaitu memperhatikan permasalahan di masa kini dan menekankan proses yang
terjadi dalam menangani masalah yang terjadi.
5. Prinsip Interaksi Antar Sistem
Permasalahan dalam konseling cognitive behavior muncul dari inteaksi antara beberapa
sistem sekaligus dalam diri dan juga lingkungan, dalam konseling cognitive behavior ada
empat sistem yaitu kognisi, emosi, perilaku, dan reaksi fisiologis. Sistem-sistem tersebut
saling berinteraksi dalam sebuah proses kompleks dan juga berinteraksi dengan lingkungan,
lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik, sosial, budaya, keluarga, dan ekonomi.
6. Prinsip Empiris
Mengevaluasi teori dan teknik konseling yang digunakan secara empiris, hal inilah yang
membuat konseling cognitive behavior sebagai pendekatan konseling yang scientific, etis, dan
juga ekonomis dengan berbagai bukti yang memadai. Jadi disimpulkan bahwa konseling
cognitive behavior menekankan pada hubungan antara pikiran dan perilaku serta pentingnya
sistem kerja kognitif fan peristiwa pribadi sebagai mediator perubahan. Konseling cognitive
behavior berasumsi bahwa proses kognisi merupakan mediasi untuk perilaku, pengalaman
dan perubahan perilaku yang diharapkan dapat dicapai dari perubahan kognisi.
4. Tujuan Konseling Cognitive Behavior
Stallard (2014) berpendapat bahwa tujuan dari konseling cognitive behavior
sebagai berikut :
a. Membantu konseli mengidentifikasi semua pemikiran dan keyakinan yang
merugikannya, konseli akan melakukan pemantaukan terhadap dirinya sendiri,
pembelajaran, percobaan dan pengujian terhadap pemikiran serta keyakinan yang
dimiliki sehingga sampai pada perubahan kognisi.
b. Mengidentifikasi masalah kognitif dan perilaku yang di alami konseli serta mengajar,
menguji, mengevaluasi, dan mengenalkan ketrampilan untuk memecahkan masalah
yang nantinya akan memunculkan perilaku baru yang lebih positif dalam diri konseli.
c. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai penyebab munculnya pemikiran negatif
dan menggantinya pada pemikiran yang lebih positif.
d. Memberikan keyakinan pada konseli bahwa mereka mampu menghadapi
permasalahan ataupun situasi sulit dengan cara yang lebih sesuai karena memiliki
kognisi dan perilaku yang lebih adaptif.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Konseling Cognitive Behavior memiliki tujuan
untuk mengajak konseli menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan
bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan tentang masalah yang sedang dihadapi
oleh konseli. Pada proses pelaksanaannya, konseling cognitive behavior lebih
menekankan pada masa kini dari pada masa lampau, namun bukan berarti mengabaikan
masa lalu karena konseling cognitive behavior tetap menghargai masa lalu yang
merupakan bagian dari cerita kehidupan konseli dan mencoba untuk membuat konseli
menerima segala masa lalunya yang bertujuan untuk melakukan perubahan pada pola
pikir masa kini demi perubahan pada masa yang akan datang.

5. Karakteristik Konseling Cognitive Behavior

Konseling cognitive behavior tidak hanya memiliki karakteristik pada perubahan


pemahaman konseli dari sisi kognitif saja, namun juga pada pengubahan tingkah laku. Secara
umum karakteristik Konseling cognitive behavior memiliki kesamaan dengan konseling lain,
tetapi juga memiliki hal lain yang menjadikannya berbeda. Menurut lembaga internasional
NACBT (2017) Konseling cognitive behavior memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Cognitive modeld of emotional response


Konseling Cognitive Behavior berpandangan bahwa kognisi menyebabkan timbulnya
perasaan dan tindakan tertentu bukan karena peristiwa eksternal. Setiap individu dpaat
mengubah cara berpikirnya untuk menghasilkan perilaku yang lebih baik, walaupun
situasinya tidak berubah
2. Briefer and time-limited
Konseling Cognitive Behavior dapat dipandang sebagai pendekatang yang singkat
menampakkan hasil, rata-rata jumlah sesi untuk berbagai intervensi konseling sebanyak 16
sesi tergantung dari beban masalah yang dialami oleh konseli.
3. Tidak mengandalkan hubungan positif konselor-konseli
Konseling Cognitive Behavior memandang bahwa hubungan positif memang penting,
namun tidak cukup memadai bagi pengubahan masalah konseli, namun pengubahan masalah
konseli terjadi ketika konseli berpikir realistis.
4. Upaya kolaboratif antara konselor dan konseli
Konselor memiliki peran untuk mendengarkan, melakukan konseling, dan mendorong
konseli untuk memiliki pemikiran yag realistis. Sedangkan peran konseli yakni
mengekspresikan diri, belajar dan mengimplementasikan hasil belajarnya.
5. Filosofi stoic
Konseling Cognitive Behavior mengajarkan bagaimana konseli bersikap tenang ketika
dikonfrontasi oleh peristiwa yang tidak diharaokan atau diinginkan.
6. Menggunakan metode Socratic
Konselor Cognitive Behavior mempunyai maksud untuk memperoleh pemahaman yang
mendalam tentang masalah konseli. Teknik yang sering digunakan adalah pertanyaan yang
mendorong konseli mengintrospeksi dan mengevaluasi dirinya.
7. Bersifat terstruktur dan direktif
Konseling Cognitive Behavior lebih fokus untuk membantu konseli dalam mencapai
tujuan yang diinginkan dan telah di rencanakan sebelumnya, tidak bermaksud untuk
memberitahu apa yang semestinya dan seharusnya dilakukan oleh konseli, melainkan
mengajarkannya untuk bagaimana semestinya konseli melakukan sesuatu.
8. Berdasarkan model pendidikan
Model pendidikan Konseling Cognitive Behavior memiliki dampak yang mengarah pada
hasil jangka panjang, yang bertujuan untuk membantu konseli belajar bereaksi dengan cara
baru. Ketika konseli memahami bagaimana dan mengapa melakukan sesuatu yang baik, maka
konseli akan melanjutkan sesuatu yang terbaik untuk dirinya sendiri.
9. Teori dan teknik konseling kognitif behavior berdasarkan pada metode induktif
Aspek utama pada pemikiran yang realistis adalah didasarkan pada fakta bukan hanya
asumsi sederhana. Metode Induktif mendorong konseli untuk melihat kognititf dalam konteks
hipotesis yang setiap saat dapat di uji dan dinpertanyakan, maka ia dapar merubah pemikiran
agar sejalan dengan realitas.
10. Homework
Konselor Konseling Cognitive Behavior memberikan tugas kepada konseli untuk
membaca dan mendorong untuk menerapkan hal-hal yang diperoleh selama sesi konseling
dalam kehidupan sehari-hari.

6. Situasi Hubungan dalam Konseling Cognitive Behavior

Beck (2011), menciptakan suatu hubungan konseling yang efektif sehingga dapat
merencanakan evaluasi yang bermakna tentang pikiran negatif konseli dan menentangnya
sehingga konselor dapat secara langsung memberikan sugesti pikiran alternatif. Fungsi konselor
ialah sebagai katalisator, pendidik, dan pembimbing yang membeantu konseli memahami
bagaimana keyakinan dan sikap yang mempengaruhi perasaan dan tindakan mereka. Konselor
diharapkan dapat mengidentifikasi penyimpangan dalam pikiran konseli, meyimpulkan hal-hal
yang penting dalam setiap sesi dan kolaboratif dalam setiap teknik. Perubahan pola pikir dan
perilaku konseli terjadi jika konseli memiliki inisiatif, memahami, meyadari, dan berusaha dalam
setiap sesi konseling.

7. Komponen-Komponen dalam Hubungan Konseling Cognitive Behavior

Konseling Cognitive Behavior disusun sesuai dengan kebutuhan konseli, sehingga


sifatnya tailor made dan membuat pelaksanaan konseling cognitive behavior sangat fleksibel.
Stallard (2014), berpendapat ada lima komponen utama dalam hubungan Konseling Cognitive
Behavior seperti berikut :

a. Formulasi dan psikoedukasi, merupakan komponen dasar dalam konseling cognitive


behavior. Komponen ini melibatkan tugas konselor untuk memberikan edukasi pada konseli
mengenai hubungan antara pemikiran, perasaan, dan perilaku manusia. Psikoedukasi dapat
berupa penjelasan dari konselor mengenai beberapa materi dalam kegiatan konseling kognitif
behavior dan pemahaman munculnya sebuah masalah serta identifikasi seluruh respom yang
muncul karena masalah tersebut
b. Kognisi, pemusatan pikiran untuk mengidentifikasi pikiran-pikiran otomatis negatif dan
keyakinan dasar yang dimiliki konseli. Proses identifikasi distorsi dan deficit kognitif akan
membuat konseli mampu mengidentifikasi pikiran, asumsi, keyakinan yang terdistorsi, dan
pola pikir yang negatif. Evaluasi pikiran dilakukan untuk menguji dan mengevaluasi kognisi
konseli, perubahan pola pikir konseli dan pembentukan cara berpikir yang lebih berguna dan
adaptif. Konselor akan membantu konseli untuk mempelajari ketrampilan kognitif baru
sampai bisa terbiasa untuk mencari pikiran-pikiran alternative yang dapat membantu
mengatasi masalah.
c. Perilaku, tujuan konseling telah ditentukan dan di sepakati bersama di awal sesi konseling
yang tidak terlepas dari prinsip SMART (Spercific, Measurable, Achievable, Relevant, dan
Time Frame). Perubahan yang telah di capai oleh konseli dalam mempelajari ketrampilan
baru tidak terlepas dari tugas rumah yang diberikan konselor. Konselor melakukan pencarian
gaya berpikir konseli dengan cara yang terstruktur sehingga dapat menguji dan mengevaluasi
pikiran konseli. Pengujian dilakukan dengan eksperimen perilaku, konseli diminta untuk
merancang kemunculan sebuah perilaku sehingga saat ia melakukannya, konseli dapat
menemukan pikiran yang lebih positif dan adaptif.
d. Emosi, pada umumnya konseling cognitive behavior melibatkan psikoedukasi untuk
mengenali emosi agar konseli mampu mengidentifikasi dan membedakan emosi yang
dirasakan, serta mengidentifikasi reaksi fisik yang muncul. Dengan pemantauan emosi,
konseli mampu menghubungkan antara emosi, perilaku, dan pikiran, mampu mengenali
intensitas emosi yang dirasakan, serta kesadaran akan perubahan yang terjadi pada diri
konseli. Pada pengaturan emosi konseli diajarkan untuk relaksasi sehingga dapat mengatasi
masalah seperti kecemasan, fobia, dan stress atau trauma.
e. Penguatan (reinforcement) dan rewards terhadap perilaku yang sesuai merupakan komponen
penting dalam hubungan konseling cognitive behavior, seperti pemberian hadiah ketika
konseli mampu mencapai tujuan.

8. Mekanisme Pengubahan dalam Konseling Cognitive Perilaku

1. Tahap-Tahap Konseling Cognitive Behavior


Corey (2015) berpendapat bahwa pelaksaan Konseling Cognitive Behavior terdiri
dari tiga tahapan sebagai berikut :
1. Initial Stage
Sesi pertama adalah sesi pelaksanaan assessment sebagai baseline dari kondisi
pra-konseling. Membangun dan menciptakan hubungan yang baik dengan konseli,
memperoleh informasi penting tentang konseli, dan mengidentifikasi masalah yang
muncul. Menurut Beck (2011), assessment dilakukan terhadap situasi yang dipersepsi
konseli yang ditengarai dapat mempengaruhi kognitif, emosi, perilaku, dan reaksi
fisiologis konseli, yang selanjutnya akan dilakukan interpretasi dan pengujian pikiran-
pikiran ototmatis konseli yang bersifat negatif maupun positif.
Pada sesi ini konselor harus dapat mengidentifikasi masalah dengan spesifik.
Konseli diperkenankan untuk menceritakan terlebih dahulu hal-hal yang membuat
mereka dengan suka rela melakukan konseling, serta berdiskusi mengenai harapan-
harapan konseli yang bisa mencairkan suasana dan membuat proses konseling lebih
santai. Setelah konselor mengetahui keterkaitan dan kedalaman dari masing-masing
aspek serta bentuk permasalahannya, konselor merumuskan tujuan dari konseling yang
akan di laksanakan.
2. Working Stage
Perumusan tujuan telah dilaksanakan, selanjutnya melakukan perencanaan dan
perumusan treatment bersama konseli, serta melakukan kontrak atau komitmen secara
terencana dan terjadwal sesuai prosedur yang telah ditentukan. Pada tahap ini konseli
akan diajak untuk menjalankan peran aktifnya dalam mengatasi permasalahan,
konseor memberikan treatment pada aspek kognitif yang merupakan aspek sentral
intervensi dalam Konseling Kognitif Perilaku. Secara simultan intervensi tersebut
membawa perubahan pada aspek emosi, perilaku, dan reaksi fisiologis konseli.
3. Final Stage
Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah sebagai berikut :
(a) Memberi dan menerima balikan.
(b) Memberi kesempatan untuk mempraktikan perilaku baru.
(c) Belajar lebih lanjut dari pengembangan perencanaan yang spesifik untuk
mengaplikasikan perubahan pada situasi diluar konseling.
(d) Mempersiapkan konseli untuk menghadapi adanya permasalahan yang lebih.
(e) Mendampingi konseli dalam meninjau pengalaman dan pemaknaan bagi
dirinya.

2. Teknik-Teknik Konseling Cognitive Behavior


Berikut beberapa teknik dalam pendekatan konseling Cognitive Behavior, adalah :
a. Teknik Self-Talk
Teknik yang digunakan untuk menangani pesan negatif yang mereka kirimkan
kepada dirinya sendiri.

b. Teknik Reframing
Reframing mengubah sudut pandang konseptual atau emosional terhadap suatu
situasi danmengubah maknanya dengan meletakkannya dalam suatu kerangka kerja
kontekstual lain yang juga cocok dengan fakta-fakta yang sama dari situasi aslinya.
Tujuan dari teknik reframing adalah untuk membantu konseli melihat situasinya dari
sudut pandang lain, yang membuatnya tampak tidak terlalu problematic dan lebih
normal dan lebih terbuka terhadap solusi lain. (Corey, 2015)

Beck (2011), mendifinisikan beberapa teknik dalam Konseling Cognitive


Behavior sebagai berikut :
a. Cognitive Restructuring
Teknik Cognitive Restructuring merupakan teknik yang memusatkan perhatian
pada upaya mengidentifikasi serta mengubah pikiran atau keyakinan yang negatif
dan tidak realistis menjadi pikiran yang realistis secara akurat. Cognitive
Restructuring berasumsi bahwa respon perilaku, emosi, dan reaksi fisiologis yang
tidak realistis di pengaruhi oleh kognisi konseli.
Davis.dkk (2008) berpendapat bahwa proses cognitive restructuring dapat
dilakukan dengan cara mengidentifikasi kesalahan berpikir yang berupa kritik diri,
kemudia dilanjutkan dengan menata ulang pemikiran yang tidak realistis. Cote, dkk
(1994) mengemukakan tahapan-tahapan cognitive restructuring sebagai berikur :
(a) Rasional
Rasional berisikan penjelasan atau gambaran tentang strategi cognitive
restructuring baik mengenai tujuan maupun gambaran prosedur singkat yang
akan dilakukan, serta pembahasan tentanf pikiran-pikiran positif dan negatif.
(b) Identifikasi pikiran konseli dalam situasi masalah
Indentifikasi pikiran negatif memiliki peran penting untuk mengetahui
penyebab dari permasalahan, pikiran negatif berupa kritik diri ini perlu
diidentifikasi sebagai proses awal melakukan cognitive restructuring. Untuk
mengidentifikasi pikiran negatif konseli bisa dilakukan secara bertahap, yaitu
mendeskripsikan pikiran konseli dalam situasi problem, memodelkan
hubungan antara peristiwa dan kognisi, dan pemodelan pikiran oleh konseli.
Konselor akan meminta konseli mengidentifikasi situasi dan pikiran dengan
memonitor serta mencatatnya diluat kegiatan konseling dalam bentuk tugas
rumah
(c) Pengenalan dan latihan coping thought
Dalam proses ini terjadi perpindahan fokus dari pikiran-pikiran konseli
yang disfungsional menuju ke bentuk pikiran lain yang realistis. Pikiran yang
tidak realistis disebut sebagai pikiran yang menanggulangi (coping thought).
Pengenalan dan pelatihan prosedur coping statement tersebut sangat penting
untuk mendukung keberhasilan seluruh prosedur cognititve restructuring.
Beberapa kegiatan dalam proses ini adalah penjelasan dan pemberian contoh
coping statement, pembuatan contoh oleh konseli, dan praktik coping
statement oleh konseli.
(d) Perpindahan dari fikiran negatif ke coping thought
Setelah konseli mengidentifikasi pikiran negatif dan mempraktikkan
coping thought, selanjutnya konselor melatuh konseli untuk memindah
pikiran negatif ke coping thought. Terdapat dua prosedur yaitu pemberian
contoh peralihan pikiran oleh konselor dan latihan peralihan oleh konseli.
(e) Pengenalahn dan latihan penguasaan positif
Konselor memodelkan dan konseli mempraktekkan pernyataan-pernyataan
diri yang positif.
(f) Tugas rumah dan tindak lanjut
Tugas rumah ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada
konseli untuk mempraktekkan ketrampilan yang diperoleh dalam
menggunakan coping statement dalam situasi yang sebenarnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan Cognitive Restructuring yaitu
mengajak konseli untuk menentang pikiran yang salah dengan enampilkan
bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah
yang dihadapi. Dalam cognitive restructuring konselor lebih cenderung fokus
pada pengurangan terhadap pikiran negatif dan mengubah atau mengganti
kepercayaan maladaptive menjadi adaptif

b. Problem Solving
Problem Solving membuat individu dapat lebih kreatif dalam menganalisa
permasalahannya dan menemukan beberapa solusi yang dapat diterapkan.
Problem Solving merupakan salah satu ketrampilan yang sangat dibutuhkan
individu untuk lebih mampu mengatasi konflik interpersonal.
Ketrampilan memecahkan masalah akan menentukan keberhasilan konseli dalam
kehidupan sehari-hari, jika individu memiliki ketrampilan memecahkan masalahn
dengan baik, individu akan lebih sensitif terhadap masalah interpersonal,
identifikasi pikiran negatif, sebab akibat, dan kesiapan dalam memprediksi
perilakunya pada masa depan. Menurut Frew dan Spiegler (2013), mengemukaan
langkah-langkah yang diperlukan dalam problem solving sebagai berikut :
(i) Pemahaman permasalahan individu
(ii) Mengidentifikasi masalah
(iii) Menyusun tujuan
(iv)Memilih berbagai situasi yang baik
(v) Menentukan solusi terbaik
(vi)Mengimplementasikan solusi yang dianggap paling baik

c. Pekerjaan rumah (Home Work Assigment)


Penerapan tugas rumah yang diberikan oleh konseli diharapkan dapat mengurangi
atau menghilangkan ide dan perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, dapat
mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek
kognisi yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang
diberikan. Pelaksanaan homework assignment yang diberikan konselor dilaporkan
oleh konseli dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor. Teknik ini
dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab,
kepercayaan kepada diri sendiri serta kemampuan untuk mengarahkan diri,
mengelola diri konseli, dan mengurangi ketergantungan kepada konselor. Teknik
homework assignment bertujuan untuk membina dan mengembangkan sikap
bertanggung jawab, percaya diri, dan kemampuan untuk mengevaluasi kemajuan
dalam mempraktikkan ketrampilan baru dalam situasi kehidupan nyata.

Pengertian Kecemasan

Kecemasan merupakan kondisi psiokologis seseorang yang penuh dengan rasa takut dan
khawatir, perasaan tersebut akan muncul terhadap sesuatu hal yang belum pasti akan terjadi.
Menurut (Muyasaroh et al.2020), kecemasan berasal dari bahasa latin (anxius) dan dari bahasa
jerman (anxt) yang artinya suatu kata yang digunakan untuk menggambarkan efek negatif dan
rangsangan fisiologis. Kecemasan merupakan keadaan emosi yang muncul saat individu sedang
stress dan di tandai oleh perasaan tegang, pikiran yang membuat individu merasa khawatir dan
disertai respon fisik seperti detak jantun yang lebih cepat, naiknya tekanan darah, dan lain
sebagainya (American Psychological Association, 2020).

Menurut Stuart dan Sundeen (2016) kecemasan adalah keadaan emosi tanpa objek
tertentu dan dipicu oleh hal yang tidak diketahui. Kecemasan merupakan respon terhadap situasi
tertentu yang mengancam dan merupakan hal yang normal terjadi yang disertai perkembangan,
perubahan, pengalaman baru, serta dalam menemukan identitas diri (Kaplan, Saddock, dan
Grebb 2010). Kecemasan merupakan perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang
menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu permasalahan atau
tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu akan menimbulkan rasa yang tidak
menyenangkan dan berakibat pada perubahan fisiologis dan psikologis.

Menurut Zakariah (2015) kecemasan adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan
yang digambarkan dengan kegelisahan atau ketegangan dengan tanda-tanda hemodinamik yang
abnormal sebagai konsekuensi dari stimulasi simpatik, parasimpatik, dan endoktrin. Pengaruh
kecemasan terhadap tercapainya kedewasaan merupakan masalah penting dakam perkembanagn
kepribadian. Kecemasan merupakan kekuatan penggerak yang besar, baik tingkah laku normal
maupun menyimpang keduanya merupakan pernyataan, penampilan, penjelmaan dari pertahanan
terhadap kecemasan tersebut, sehingga sangat jelas bahwa pada gangguan emosi dan tingkah
laku kecemasan merupakan masalah pelik.

Kecemasan merupakan suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan mental yang


menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak
adanya rasa aman (Kholil Lur Rochman, 2010:104) dalam (sari, 2020). Perasaan yang tidak
menentu tersebut pada umumnya sangat tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan
perubahan psikologis dan fisiologis. Anxiety atau kecemasan merupakan pengalamn yang
bersifat subyektif, tidak menyenangkan, menakutkan, dan khawatir akan adanya kemungkinan
bahaya atau ancaman dan sering kali disertai oleh gejala-gejala atau reaksi fisik tertentu akibat
peningkatan aktifitas otonomik (Suwanto, 2015).

Kecemasan menurut (Hawari, 2002) merupakan gangguan alam perassaan yang di tandai
dengan kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tetapi belum mengalami gangguan
dalam menilai realitas, kepribadian masih tetpa utuh dan perilaku dapat terganggu namun masih
dalam batas-batas normtingkatal atau wajar (Candra et al, 2017). Berdasarkan beberapa
pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan takut
dan khawatir yang bersifat lama pada sesuatu yang tidak jelas (subjektif) dan berhubungan
dengan perasaan yang tidak menentu.

Teori-Teori Kecemasan
Konsep kecemasan selalu berkembang dari zaman ke zaman, masing-masing model
mengembangkan beberapa teori tertentu dari fenomena kecemasan. Teori-teori tersebut saling
berkaitan satu sama lain untuk dapat memahami kecemasan secara komprehensif, berikut
beberapa teori kecemasan menurut Freud antara lain:

1. Teori Psikoanalitik
Menurut Frued struktur kepribadian terdiri dari tiga elemen, yaitu Id, Ego, dan Super
ego. Id melambangkan dorongan insting dan impuls primitive, Super ego mencerminkan
hari nurani seserang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang, sedangkan
Ego digambarkan sebagai mediator antar tuntunan dari Id dan Super ego. Kecemasan
merupakan konflik emosional antara Id dan Super ego yang berfungsi untuk
memperingatkan Ego tentang suatu bahaya yangharus diatasi (Stuart dan Sudden, 1991).
2. Teori Interpersonal
Anxiety atau kecemasan terjadi dari sebuah ketakutan dan penolakan interpersonal,
hal ini juga dihubungkan dengan trauma yang terjadi di masa pertumbuhan seperti
merasakan kehilangan dan perpisahan yangmenyebabkan seseorang menjadi tidak
berdaya. Individu yang mempunyai harga diri rendah biasanya sangat mudahh untuk
mengalami kecemasan yang berat (Stuart dan Sudden, 1991).

3. Teori Perilaku
Kecemasan merupakan hasil frustasi dari segala sesuatu yang menganggu
kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang yang diinginkan. Para ahli perilaku
menganggap kecemasan merupakan suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan
keinginan untuk mempelajari rasa sakit. Teori ini meyakini bahwa yang awal
kehidupannya sudah dihadapkan pada rasa takut yang berlebihan akan menunjukkan
kemungkinan kecemasan yang berat pada masa dewasa nanti (Stuart dan Sudden, 1991).

Kecemasan (anxiety) merupakan manifestasi dari berbagai emosi yang bercampur baur
dengan panik, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan
pertentangan batin (konflik). Kecemasan juga mempunyai segi yang disadari seperti rasa
takut, terkejut, tidak berdaya, rasa bersalah, terancam dan lain sebagainya (Zakiyah, 1989)
Berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kecemasan merupakan suatu
kondisi yang terjadi ketika individu sedang mengalami suatu tekanan perasaan yang tidak
jelas objeknya. Tekanan-tekanan tersebut dapat menghambat individu dalam melakukan
kegiatan sehari-hari dan kesulitan dalam menyesuaikan diri

Tingkatan kecemasan

Semua orang pasti mengalami tingkat kecemasan yang berbeda-beda, menurut pendapat
(Muyasaroh et.al, 2020) kecemasan memiliki empat tingkatan sebagai berikut :

a. Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan merupakan kecemasan yang normal terjadi dalam kehidupan sehari-
hari, kecemasan ini dapat memotivasi proses belajar untuk menghasilkan pertumbuhan serta
kreatifitas. Tanda dan gejala dari kecemasan ringan ini antara lain persepsi dan perhatian
meningkat, waspada, sadar akan stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi masalah
secara efektif, dan meningkatnya kemampuan belajar. Perubahan fisiologis ditandai dengan
gelisah, sulit tidur, dan hipersensitif terhadap suara.
b. Kecemasan Sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal yang penting dan
mengesampingkan hal lain, sehingga individu mengalami perhatian yang selektif dan dapat
melakukan sesuatu yang lebih terarah. Respon fisiologis yang terjadi seperti nafas pendek,
nadi dan tekanan darah naik, bibir kering, gelisah, dan konstipasi. Sedangkan respon kognitif
seperti lahan persepsi menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima, dan berfokus pada
apa yang menjadi perhatiannya.
c. Kecemasan Berat
Kecemasan pada tingkatan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terperinci dan spesifik, serta tidak dapat
berfikir tentang hal lain. Gejala atau tanda dari kecemassan berat adalah persepsinya sangat
kurang, berfokus pada hal yang detail, rentnag perhatian sangat terbatas, tidak dapat
berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah, dan tidak dapat belajar secara efektif. Pada
tingkatan individu akan mengalami sakit kepala, pusing, mual, gemetar, insomnia, palpitasi,
hiperventilasi, dan sering buang air kecil. Secara emosi individu mengalami ketakutan serta
seluruh perhatian terfokus pada dirinya.
d. Panik (kecemasan sangat berat)
Pada tingkatan ini kecemasan berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror.
Individu akan hilang kendali atas dirinya hingga tidak dapat melakukan sesuatu walaupun
dengan pengarahan. Kecemasan ini meneybabkan peningkatan aktivitas motoric, menurunnya
kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan
pemikiran yang rasional. Kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung
lama dapat menyebabkan kelelahan yang sangat berat bahkan kematian.

Faktor-Faktor Penyebab Kecemasan

Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu dan sebagian besar tergantung
pada seluruh pengalaman hidup seseorang. Peristiwa atau situasi khusus dapat mempercepat
munculnya serangan kecemasan, berikut beberapa faktor penyebab kecemasan :

a. Lingkungan
Lingkungan disekitar tempat tinggal dapat memberi pengaruh pada cara berpikir
individu tentang dirinya sendiri atau orang lain. Hal ini disebabkan karena adanya
pengalaman yang tidak menyenangkan dalam diri individu dengan sahabat, teman,
keluarga, ataupun rekan kerja. Sehingga lingkungan bisa menjadi faktor terbesar terhadap
munculnya kecemasan.

b. Emosi yang ditekan


Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar untuk
perasaannya sendiri dalam hubungan personal, terutama jika dirinya menekan rasa marah
atau emosi dalam jangka waktu yang lama.
c. Sebab-sebab Fisik
Pikiran dan tubuh senantiasa berinteraksi dan dapat menyebabkan timbulnya
kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi tubuh ketika sakit, dimana kondisi tersebut
membuat perasaan sangat rentan mengalalami perubahan-perubahan emosi secara
mendadak dan hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya sebuah kecemasan.

Dampak Kecemasan
Ketakutan, kekhawatiran, dan kegelisanahan yang tidak beralasan pada akhirnya
memunculkan kecemasan, hal tersebut berdampak pada perubahan perilaku seperti menarik dari
lingkungan, sulit fokus dalam beraktifitas, susah makan, mudah tersinggung, rendahnya
pengendalian emosi dan amarah, sensitive, tidak logis dan susah tidur. (Jarnawi, 2020). Menurut
Yustinus (2006) dalam (Arifiati and Wahyuni, 2019) dampak dari kecemasan di bagi menjadi
beberapa simtom, sebagai berikut :

a. Simtom Suasana Hati


Individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan adanya hukuman dan
bencana yang mengancam dari suatu sumber tertentu yang tidak di ketahui. Orang yang
mengalami kecemasan tidak akan bisa tidur sehingga membuatnya menjadi pribadi yang
pemarah karena istirahat yang kurang.

b. Simtom Kognitif
Simtom Kognitif yaitu kecemasan yang dapat menyebabkan kekhawatiran dan
keprihatinan pada individu mengenai hal yang tidak menyenangkan yang mungkin
menjadikan individu tersebut tidak memperhatkan masalah yang ada, sehingga individu sering
melakukan kegiatan dengan tidak efektif yang akhirnya membuat kecemasan lebih besar.
c. Simtom Motor
Orang-orang yang mengalami kecemasan akan mengalami perasaan tidak tenang dan
gugup. Kegiatan motorik yang terjadi ketika merasa cemas akan menjadi tanpa arti dan tujuan
misalnya jari kaki mengetuk-ngetuk, dan mudah kaget dengan suara yang tiba-tiba muncul.
Simtom motoric merupakan gambaran rangsangan kognitif yang tinggi pada individu dan
merupakan usaha untuk melindungan dirinya dari apa saja yang dirasa mengancam.

Jenis-Jenis Kecemasan

Menurut (Frued, 1964) dalam (Olson, 2013) jenis kecemasan di kelompokkan menjadi
tiga, antara lain :

1. Kecemasan Realitas
Kecemasan Realitas disebabkan oleh sumber-sumber negatif yang riil dan objektif di
lingkungan. Kecemasan ini merupakan jenis kecemasan yang paling mudah di tangani
lantaran dengan bertindak sesuatu, maka persoalan memang akan bisa selesai secara
objektif.
2. Kecemasan Neurotik
Rasa takut dengan impuls-impuls id akan mengatasi kemampuan ego, menangani dan
menyebabkan manusia melakukan sesuatu yang akan membuatnya dihukum.
3. Kecemasan Moral
Rasa takut bahwa seseorang akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-
nilai superego sehingga membuatnya mengalami rasa bersalah.

Kecemasan Akademik

Pengertian Kecemasan Akademik

Kecemasan akademik merupakan kecemasan yang dipicu oleh ketidakyakinan akan


kemampuan diri dalam mengatasi tugas-tugas akademik (Academic Anxiety) (Bandura, 1997)
dalam (Prawita Sari, 2012). Hasil Penelitian Zeidner menunjukkan bahwa problem utama siswa
dengan tingkat kecemasan yang tinggi adalah ketika mereka tidak menguasai proses
pembelajaran dari awal, tidak fokus pada apa yang di sampaikan guru kelas dan akhirnya
membuat mereka kesulitan dalam mencerna pembelajaran selanjutnya, hal tersebut membuat
tingkat kecemasan meningkat drastis ketika mereka menghadapi ujian. Ottens (1991),
mengungkapkan pendapat yang serupa yakni bahwa kecemasan akademik mengacu pada
terganggunya pola pemikiran dan respon fisik, serta perilaku karena kemungkinan performa yang
di tampilkan siswa tidak di terima secara baik ketika tugas-tugas akademik diberikan.

Kecemasan akademik memiliki pengaruh terhadap integritas akademik siswa. Integritas


akademik merupakan sikap individu dalam mempertahankan nilai yang benar secara konsisten
didalam lingkungan dan kegiatan akademik, dengan mengedepankan aspek kejujuran,
kepercayaan, kesetaraan, penghargaan, tanggung jawab dan keberanian. Sehingga bila integritas
tersebut terpengaruhi oleh kecemasan maka siswa akan terhalangi dalam mencapai potensi
akademiknya dan selalu merasa pesimis dalam melakukan berbagai hal di lingkup akademik.

Tingkat kecemasan dapat menurunkan motivasi dan prestasi akademik. Menurut (Eggen
& Kauchak, 2004) dalam (Prawitasari, 2012) dampak negatif kecemasan terhadap motivasi dan
prestasi akademik berdasarkan teori pemprosesan informasi adalah tingginya kecemasan yang
dialami siswa menimbulkan kesulitan dalam berkonsentrasi, pola pikir yang negatif membuat
siswa selalu melakukan kesalahan dalam menangkap atau memahami informasi pembelajaran,
dan dengan kecemasan yang tinggi sering kali mempergunakan strategi belajar yang dangkal dan
tidak efektif.

Dari berbagai penjelasan diatas yang disampaikan oleh para ahli mengenai kecemasan
akademik, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan akademik merupakan dorongan pemikiran
dan perasaan dari dalam diri individu yang takut dan kurang yakin dengan kemampuan dirinya
untuk menyelesaikan tugas dan ujian dengan memuaskan.

Karakteristik Kecemasan Akademik

Menurut Ottens (1991), berpendapat bahwa karakteristik kecemasan akademik di bagi


menjadi empat sebagai berikut :

a. Pola kecemasan yang menimbulkan aktivitas mental


Siswa memperlihatkan pikiran, persepsi, dan dugaan yang mengarah kepada
kesulitan akademik yang dihadapi. Aktivitas mental yang terlibat sebagai berikut :
1. Kekhawatiran
Siswa menjebak diri sendiri kedalam rasa kegelisahan dengan
menganggap semua hal yang dilakukan salah. Kegelisahan yang terus menerus
akan menyebabkan kekhawatiran siswa terhadap hal yang akan dilakukannya di
waktu yang akan datang.
2. Dialog diri yang maladaptif
Berbicara dengan dirinya sendiri sepanjang hari merupakan wujud dari
dialog yang dilakukan secara sadar. Instruksi diri, pengingat diri, menyelamati
atau menyemangati diri sendiri, dan kesukaan terhadap sesuatu merupakan bentuk
dari dialog sadar. Berbicara dalam hati pada siswa yang cemas secara akademis
seringkali ditabdai dengan kritik diri yang keras, menyalahkan diri sendiri, dan
kepanikan dalam berbicara dengan diri sendiri yang mengakibatkan munculnya
perasaan cemas dan peluang untuk merendahkan kepercayaan diri akan semakin
besar, serta mengacaukan siswa dalam memecahkan suatu permasalahan.
3. Pengertian yang kurang maju dan keyakinan siswa mengenai diri dan
dunia mereka
Siswa akan memiliki keyakinan yang salah tentang pentingnya masalah
yang dihadapi, cara untuk menegaskan harga diri, mengetahui cara yang terbaik
untuk memotivasi dan mengatasi kecemasan, serta memisahkan pemikiran-
pemikiran yang salah yang dapat menimbulkan kecemasan akademik.
b. Perhatian pada arah yang salah
Perhatian siswa terhadap tugas-tugas sekolah akan mengalami penurunan jika siswa
merasakan kecemasan akademik. Perhatian tersebut teralihkan melalui gangguan
eksternal seperti perilaku siswa lain, jam, suara-suara bising, dan bisa juga melalu
gangguan internal seperti kekhawatiran, melamun, dan reaksi fisik.

c. Distress secara fisik


Perubahan pada tubuh diasosiasikan dengan kecemasan yang ditandai dengan otot
tegang, berkeringat, jantung berdetak lebih cepat, dan tangan gemetar. Selain perubahan
pada tubuh, ada pengalaman emosional dari kecemasan yang biasa disebut dengan
perasaan “sinking (tenggelam)”, “freezing (beku)”, dan “clutching (cengkeram)”. Aspek
fisik dan emosi dari kecemasan menjadi kacau jika diinterpretasikan sebagai bahaya atau
jika menjadi fokus penting dari perhatian selama tugas akademik berlangsung.
d. Perilaku yang kurang tepat
Siswa yang mengalami kecemasan akademik memilih berperilaku dengan cara
menajdikan kesulitan menajdi satu. Perilaku siswa mengarah pada situasi akademik yang
tidak tepat, penghindaran (prokrastinasi) sangat umum dijumpai karena dengan menunjukkan
tugas yang belum sempurna dan performa siswa fungsinya yang bercabang, misalnya
berbicara dengan teman ketika sedang belajar. Siswa yang cemas juga berusaha keras
menjawab pertanyaan ujian atau terlalu cermat mengerjakan untuk menghindari kesalahan
dalam ujian.

Konseling Kelompok

Pengertian Konseling Kelompok

Konseling kelompok merupakan proses konseling dengan memanfaatkan kelompok


untuk membantu memberi umpan balik (feedback) dan pengalaman belajar. Konseling kelompok
merupakan teraupetik yang dilaksanakan untuk membantu konseli mengatasi masalah yang
berhubngan dengan kehidupan sehari-hari. Konseling kelompok dalam prosesnya menggunakan
prinsip-prinsip dinamika kelompok dan pada umumnya ditekankan untuk proses remedial serta
pencapaian fungsi-fungsi secara optimal.

Menurut Natawidjaja, R (Rusmana, N 2009:9) mendifinisikan bahwa konseling


kelompok artinya sebagai upaya bantuan kepada individu yang bertujuan untuk memberi
kemudahan dalam berbagai aspek perkembangan dan pertumbuhannya, jadi selain bersifat
preventif konseling kelompok juga bersifat penyembuhan. Nurihsan J,A. (2012 :22) menyatakan
bahwa konseling kelompok merupakan suatu proses antar pribadi yang dinamis, terpusat pada
pemikiran serta perilaku yang sadar dan melibatkan fungsi-fungsi terapi seperti sifat permisif,
orientasi pada kenyataan, katarsis, saling mempercayai, saling memperlakukan dengan mesra,
saling pengertian, menerima, dan mendukung. Fungsi-fungsi terapi itu diciptakan dan
dikembangkan dalam suatu kelompok kecil melalui cara saling peduli diantara peserta konseling
kelompok.

Konseling dalam anggota kelompok adalah individu normal yang mempunyai berbagai
masalah yang tidak memerlukan penanganan perubahan kepribadian lebih lanjut. Konseli
didalam konseling kelompok menggunakan interaksi kelompok untuk meningkatkan pengertian
dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan tertentu untuk mempelajari atau menghilangkan
sikap-sikap serta perilaku tertentu. Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan
bahwa konseling kelompok merupakan proses konseling yang dilakukan dalam situasi kelompok
sebagai upaya pemberian bantuan kepada beberapa individu, dimana konselor berinteraksi
dengan konseli dalam bentuk kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan serta
diarahkan pada pemberian kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhan konseli.

Fungsi Konseling Kelompok

Menurut Nurihsan, J (2006:24) fungsi konseling kelompok dibagi menjadi dua yakni
layanan yang diarahkan untuk mengatasi persoalan yang dialami individu, dan layanan konseling
yang diarahkan untuk mencegah terjadinya persoalan pada diri individu.

Konseling kelompok memiliki sifat pencegahan dan penyembuhan. Sifat pencegahan


ialah individu yang dibantu mempunyai kemampuan normal atau berfungsi secara wajar di
masyarakat, namun kelemahannya terletak pada kehidupannya, sehingga menganggu kelancaran
dalam berkomunikasi dengan orang lain. Sedangkan sifat pencegahan mengandung arti
membantu individu untuk dapat keluar dari persoalan yang dialaminya dengan cara memberikan
kesempatan, dorongan, juga mengarahkan individu untuk mengubah sikap dan perilakunya agar
selaras dengan lingkungannya.

Tujuan Konseling Kelompok

Tujuan konseling kelompok pada dasar dibedakan menjadi dua yaitu tujuan teoritis dan
tujuan operasional. Tujuan teoritis berkaitan dengan tujuan secara umum dicapai melalui proses
konseling, sedangkan tujuan operasional disesuaikan dengan harapan anggota dan masalah yang
dihadapi anggota serta disesuaikan dengan masalah konseli dan dirumuskan bersama-sama
antara konseli dan konselor, tujuan-tujuan tersebut diupayakan melalui proses dalam konseling
kelompok. Pemberian dorongan (supportive) dan pemahaman melakui redukatif (insight-
reeducative) sebagai pendekatan yang digunakan konseling. Konseling diharapkan dapat
mencapai tujuan-tujuan tersebut, tujuan mengacu pada mengapa kelompok mengadakan
pertemuan dan apa tujuan serta sasaran yang hendak dicapai.
Tujuan konseling kelompok menurut Prayitno (dalam Tohirin, 2014:173) adalah
berkembangnya kemampuan sosialisasi siswa, khususnya kemampuan berkomunikasi melalui
konseling kelompok, hal-hal yang dapat menganggu sosialisasi dan komunikasi siswa diungkap
dan didinamikakan melalui berbagai teknik, sehingga kemampuan sosialisasi dan berkomunikasi
sisiwa dapat optimal. Melalui dinamika kelompok siswa juga dapat mengentaskan
permasalahannya.

Menurut Winkel dan Hastuti (2009:592) tujuan konseling kelompok antara lain :

a. Masing-masing anggota kelompok memahami dirinya dengan baik dan menemukan dirinya
sendiri. Berdasarkan pemahaman diri itu dia bisa lebih rela menerima dirinya sendiri dan
terbuka pada aspek-aspek positif dalam dirinya.
b. Para konseli mengembangkan kemampuan berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka
dapat saling memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan yang khas
pada fase perkembangan mereka.
c. Kelompok konseli memperoleh kemampuan untuk bisa mengatur dirinya dan mengarahkan
hidupnya sendiri, yang awalnya hanya dalam forum kelompok sampai meluas ke dalam
kehidupan sehari-hari.
d. Kelompok konseli menjadi pribadi yang lebih peka terhadap kebutuhan prang lain dan lebih
mampu menghayati perasaan orang lain, hal tersebut bisa berimbas pada kepekaan kebutuhan
dan perasaannya sendiri.
e. Setiap anggota kelompok menetapkan suatu sasaran yang ingin mereka capai, yang
diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku yang lebih konstruktif.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa tujuan dari
konseling kelompok dibedakan menjadi dua yaitu tujuan teoritis dan operasional yang
disesuaikan dengan masalah konseli dan dirumuskan secara bersama-sama. Selain itu dalam
konseling kelompok juga bisa melatih kemampuan berkomunikasi siswa, rasa tenggang rasa,
rasa kepedulian, serta terentaskannya masalah yang dialami oleh masing-masing anggota
kelompok dan dapat berkembang dengan optimal.

Asas-Asas Konseling Kelompok


1. Asas kerahasiaan
Segala sesuatu yang dibahas dan muncul dalam forum kelompok hendaknya menjadi
rahasia kelompok yang hanya boleh diketahui oleh anggota kelompok dan tidak di
sebarluaskan diluar forum kelompok.
2. Asas kesukarelaan
Semua anggota kelompok di haruskan atas kemauannya sendiri dalam melaksanakan
kegiatan konseling tanpa ada paksaan dari teman atau pemimpin kelompok.
3. Asas kegiatan dan keterbukaan
Para anggota konseling kelompok bebas dan terbuka untuk mengemukakan pendapat, ide,
saran, tentang apa saja yang di pikirkan tanpa ada rasa malu dan ragu-ragu.
4. Asas kekinian
Memberikan topik atau materi yang bersifat actual dan hal-hal yang terjadi sekarang dan
yang direncanakan sesuai dengan kondisi sekarang.
5. Asas kenormatifan
Semua hal yang dibicarakan dalam forum hendaknya tidak melewati batas pembahasan
dengan menggunakan kaidah dan norma-norma yang berlaku, dilarang membahas hal
yang bertentangan dengan norma-norma dan kebiasaan yang berlaku.

6. Asas keahlian
Asas ini diperlihatkan oleh pemimpin kelompok dalam mengelola kegiatan kelompok
dalam mengembangkan proses dan isi pembahasan secara keseluruhan.

Tahapan-Tahapan Pelaksanaan Konseling Kelompok

Menurut Coret dan Yakun, (Latipun, 2010:158) konseling kelompok dilaksanakan secara
bertahap, melalui enam tahapan sebagai berikut :

1. Prakonseling (tahap pembentuka kelompok)


Tahap ini merupakan tahap persiapan pelaksanaan konseling kelompok. Tahap ini
merupakam tahap pembentukan kelompok dengan cara seleksi anggota dan menawarkan
program kepada calon peserta konseling, sekaligus membangun harapan kepada calon
peserta.
2. Tahap permulaan (Orientasi dan Eksplorasi)
Pada tahap ini struktur kelompok mulai ditemukan, mengeksplorasi harapan anggota, dan
anggota mulai belajar fungsi kelompok sekaligus menegaskan ttujuan dari kelompok.
3. Tahap Transisi
Dalam tahapan ini diharapkan masalah yang dihadapi masing-masing siswa bisa
merumuskan dan mengetahui beberapa penyebab permasalahan. Anggota kelompok
mulai terbuka, namun dalam fase ini sering terjadi kecemasan, resistensi, dan konflik-
konflik lain. Pemimpin kelompok bertugas untuk mempersiapkan anggota kelompok
dalam bekerja sehingga dapat merasakan memiliki kelompok.
4. Tahap Kerja Kohesi dan Produktivitas
Tahapan ini merupakan tahapan menyusun rencana tindakan setelah diketahui
permasalahan yang dihadapi masing-masing anggota kelompok. Penyusunan tindakan ini
disebut juga produktifitas, yang ditandai dengan membuka diri lebih besar,
menghilangkan definisinya, terjadinya konfrontasi antar anggota kelompok, modelling,
belajar perilaku baru, dan terjadinya transferensi.
5. Tahap Akhir (Konsolidasi dan Terminasi)
Pada tahapan ini anggota kelompok mulai mencoba melakukan perubahan-perubahan
tingkah laku dalam kelompok. Setiap anggota kelompok memberi umpan balik yang
berguna untuk perbaikan, dan dilanjutkan atau diterapkan dalam kehidupan konseli jika
di rasa telah berhasil dan cukum mampu. Karena implementasi jadi ini berarti melakukan
pelatihan dan perubahan dalam skala yang terbatas.
6. Tindak Lanjut dan Evaluasi
Tindak lanjut dilakukan bila ada kendala-kendala dalam pelaksanaan di lapangan,
mungkin di perlukannya upaya perbaikan terhadap rencana-rencana semua atau
perbaikan pad acara pelaksanaannya.

Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian merupakan kaitan atau hubungan antara konsep satu
dengan konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka konseptual didapatkan
dari konsep ilmu atau teori yang di pakai sebagai landasan penelitian (Setiadi, 2013).
Berdasarkan dari masalah yang didapatkan dari hasil observasi dan wawancara, maka
dalam kerangka pikir ini peneliti diarahkan untuk mengukur variable bebas yaitu pendekatan
konseling cognitive behavior dengan teknik restructuring dan teknik homework terhadap
variabel teriakat yaitu kecemasan akademik di SMK Mojokerto.
Berdasarkan teori yang telah diuraikan dapat dilihat konsep penelitian, dalam penelitian
ini seperti terlihat dalam gambar berikut :

Kajian Penelitian yang Relevan


Penulis akan memaparkan bebrapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan
dilakukan oleh peneliti yang berjudul “Kefektivan Konseling Kelompok Cognitive Behavior
untuk Mengatasi Academic Anxiety”. Hasil penelitian yang akan dipaparkan tentunya
memiliki beberapa perbedaan dengan penulis. Berdasarkan eksplorasi peneliti ditemukan
beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian yang relevan sebagai
beriku :
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini merupakan suatu penelitian kuantitatif experimental


yang menggunakan rancangan true experiment. Dalam jenis eksperimen ini, merupakan
eksperimen benar-benar dilaksanakan. Peneliti dapat mengontrol semua variabel luar
yang mempengaruhi jalannya eksperimen, dengan demikian validitas internal atau
kualitas pelaksanaan rancangan penelitian dapat diandalkan (Sugiyono, 2017: 112).
Dilaksanakannya penelitian ini dikarenakan peneliti ingin melihat keefektifan konseling
kelompok dengan Teknik Cognitive Behavior dalam mengatasi academic anxiety.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel Penelitian adalah sesuatu yang berbentuk apasaja yang ditetapkan oleh
seorang peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi mengenai hal tersebut,
kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono 2009 : 60).

a. Variabel Bebas (Indepedent Variable) : Academic Anxiety


b. Variabel tergantung (Dependent Variable) : Cognitive Behavior Therapy

C. Definisi Operasional

a. Kecemasan Akademik (Academic Anxiety)

Berdasarkan definisi teoritis yang terdapat pada landasan teori. Maka peneliti
mendefinisikan secara operasional bahwa kecemasan academic anxiety merupakan
gangguan keadaan emosi tanpa objek tertentu. Gangguan emosi tersebut dapat
ditandai melalui kegelisahan, tidak merasa aman, takut, dan gugup.
Pengukuran kecemsan akademic menggunakan skala pengukuran kecemasan
akademik dengan respon likert semakin tinggi skor yang diperoleh dalam
pengukuran dapat mengidentifikasikan suatu kecemasan akademic yang dialami oleh
individu.

b. Cognitive Behavior Therapy

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan terapi yang menggabungkan


antara terapi kognisi dan terapi perilaku, dengan cara merekonstruksi pemikiran yang
negatif menjadi lebih positif, sehingga perasaan individu pun akan menjadi lebih
positif pula dan memodifikasi perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang lebih
adaptif.

Dalam desain ini subjek menggunakan dua kali pengukuran. Pengukuran yang
pertama dilakukan sebelum diberi layanan bimbingan kelompok dan pengukuran
kedua dilakukan setelah diberi layanan konseling kelompok Untuk memperjelas
eksperimen dalam penelitian ini disajikan tahap tahap rancangan eksperimen yaitu:
Melakukan pretest yaitu dengan melakukan observasi terhadap 25 orang siswa yang
akan diberikan layanan konseling kelompok dengan teknik homework assignment.
Memberikan perlakuan (treatment) yaitu dengan memberi perlakuan pada siswa
dengan memberikan layanan konseling kelompok dengan teknik homework
assignment. Posttest dilakukan setelah pemberian perlakuan dengan tujuan untuk
mengetahui hasil apakah partisipasi dalam diskusi kelompok siswa dapat
ditingkatkan dengan memberikan layanan konseling kelompok dengan teknik
homework assignment.

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ditetapkan dari hasil observasi dan wawancara kepada guru
bimbingan dan konseling dan wali kelas di SMA….. Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan, peneliti mengambil 25 orang subjek.

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data


1. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian saat ini peneliti menggunakan metode pengumpulan data


dengan teknik angket (kuisioner), yang merupakan daftar pertanyaan tertulis yang
diberikan kepada subjek yang diteliti untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan
peneliti. Angket ada 2 macam yaitu angket berstruktur dan angket tidak berstruktur
atau terbuka (Kusumah 2011;78)

Penyebaran angket dilakukan secara langsung, peneliti akan mendatangi sekolah


dan membagikan angket pada sampel yang telah ditentukan.

2. Alat Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data interval. Data dikumpulkan dengan
menggunakan instrumen pedoman observasi. skala perhitungan yang digunakan
menggunakan teknik skala likert.

Skor Alternatif Jawaban Skala Likert


Jenis Pertanyaan SS S KS TS
Favorable (Pernyataan Positif) 4 3 2 1
Unfavorable (Pernyataan Negatif) 1 2 3 4

1. Validitas Instrumen

Uji validitas dilakukan dengan Judgment experts, para ahli yang dimintai
pendapatnya adalah Dosen Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Darul Ulum.
Kemudian hasil judgment expert dianalisis dengan rumus Aiken’s V. Hasil uji ahli
menyatakan bahwa pernyataan tepat dan dinyatakan valid sehingga dapat
dipergunakan sebagai instrumen dalam penelitian.Hasil perhitungan uji validitas
lembar observasi penelitian menunjukan nilai rata rata 0,666 termasuk kategori
tinggi.

2. Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas merupakan konsistensi pengamatan yang didapatkan dari konsistensi
pencatatan berulang pada satu atau banyak subjek. Hal ini mengindikasikan
bahwa reliabilitas bisa dipahami sebagai kemampuan alat ukur untuk mengukur
secara akurat dan presisi (Hopkins dan Antes)

Penelitian ini menggunakan metode observasi maka uji reliabilitas dihitung


dengan melihat nilai kesepakatan dengan menggunakan rumus :

3. Teknik Analisis Data


a. Paired Sample T-Test

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan Analisis


menggunakan Paired sample t-test. Skor yang dijadikan perhitungan
adalah gain score. Paired sample ttest dilakukan dengan menggunakan
analisis uji melalui program SPSS (Statistical Package for Social
Science)17.

Paired T-Test merupakan uji parametrik yang dapat digunakan


pada dua data berpasangan. Tujuan dari uji ini adalah untuk melihat
apakah ada perbedaan rata-rata antara dua sampel yang saling berpasangan
atau berhubungan. Karena berpasangan, maka data dari kedua sampel
harus memiliki jumlah yang sama atau berasal dari sumber yang sama.
Misalkan jika kedua sampel tidak saling berhubungan ataupun tidak
memiliki jumlah data yang sama, maka dapat menggunakan Uji
Independent Sample T-Test.

b. Uji Normalitas
Uji Normalitas berguna untuk menentukan data yang telah
dikumpulkan berdistribusi normal atau diambil dari populasi normal., data
yang banyaknya lebih dari 30 angka (n > 30), maka sudah dapat
diasumsikan berdistribusi normal. Biasa dikatakan sebagai sampel besar.

Uji normalitas pada penelitian saat ini menggunakan rumus


Kolmogorov-Smirnov. Konsep dasar dari uji normalitas Kolmogorov
Smirnov adalah dengan membandingkan distribusi data (yang akan diuji
normalitasnya) dengan distribusi normal baku. Kelebihan dari uji ini
adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan persepsi di antara
satu pengamat dengan pengamat yang lain, yang sering terjadi pada uji
normalitas dengan menggunakan grafik.

c. Uji Linearitas

Tujuan penulis mengunakan Uji linearitas adalah pengujian untuk


memeriksa apakah terdapat hubungan yang linear antara variabel
independen dengan variabel dependen. Uji linearitas dimaksudkan untuk
menguji linear atau tidaknya data yang dianalisis (Sudjana, 2003).

d. Uji Hipotesis

Hipotesis diambil dari bahasa Yunani, yang memiliki arti sebagai


hypo, yang mana ia memiliki arti sebagai suatu yang lemah atau kurang.
Akhir dari kata hipotesis, yakni thesis memiliki arti sebagai teori atau
proposisi.

Sedangkan dalam pengertian secara menyeluruh, uji hipotesis


merupakan suatu perangkat yang juga bisa dipakai untuk menarik
kesimpulan, sehingga pernyataan yang didapatkan bisa ditolak maupun
diterima. Dalam penelitian kali ini penulis menggunakan uji hipotesis satu
arah.

Anda mungkin juga menyukai