Anda di halaman 1dari 19

“ISLAM SEBAGAI PENGETAHUAN ILMIAH”

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam


Dosen pengampu: H. Hasan Bisri M.pd

Disusun oleh:

KAILLA BASALLAMAH (2282110135)


LUTPIYAH TAMINI HAQQIN (2282110152)
NUR MUHAMAD THOLUT FAUZI (2282110141)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
1444H / 2022

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberi rahmat dan karunia-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang “Perjuangan
Menghadapi Ancaman Disintegrasi Bangsa”. Sebagai mata pelajaran Sejarah Indonesia.

Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
memberikan arahan dan bantuan dalam penyusunan tugas ini sehingga penyusunan makalah
dapat dibuat dengan sebaik-baiknya.

Dalam penyusunan makalah ini saya menemui berbagai hambatan. Saya menyadari
bahwa karya tulis yang tersusun ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena
itu saya mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan bermanfaat, demi
kesempurnaan makalah ini saya memohon ampun dan rahmat-Nya semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Cirebon, 20 September 2022

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................

DAFTAR ISI......................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................

1.1 Latar belakang...................................................................................................................


1.2 Rumusan masalah..............................................................................................................
1.3 Tujuan.............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................

2.1 Hakikat Perbedaan Antara Pengetahuan, Ilmu, dan Filsafat .............................................

2.2 Metode Ilmiah Dan Struktur Pengetahuan ilmiah..............................................................

2.3 Klasifikasi Ilmu Pengetahuan ............................................................................................

2.4 Pendekatan pokok studi ilmiah .............................................................................

BAB III PENUTUP ..........................................................................................

3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................

3.2 Saran...................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Perkembangan peradaban Eropa atau Barat baru dimulai setelah berkenalan dengan
ilmu pengetahuan Timur (baca: Islam) setelah terjadinya Perang Salib pada abad ke-15 M.
Akibat dari peperangan itu adalah dikembangkannya suatu studi yang intens di Barat untuk
mempelajari ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Islam. terutama yang berkaitan
dengan aspek sosiologi, hukum, dan agama masyarakat Islam.
Sesungguhnya mereka merasa kagum dan terperangah atas kegemilangan prestasi
Islam dalam dunia ilmu pengetahuan. Melalui kombinasi warisan Islam yang menakjubkan
dipadu pengaisan kembali hasil peradaban dan kemajuan bangsa Yunani Kuno melalui
Hellenisme, Eropa mengalami zaman baru, zaman Renaisans. Banyak cendekiawan Barat
yang. menafikan peran Islam dalam membangun Eropa baru dan hanya mengakui peran
peradaban dan kebudayaan Yunani yang telah diaktuali- sasikan: oleh filsafat Kristiani
sebagai satu hal yang inheren dalam ajaran Nasrani. Akan tetapi, pendapat yang menyalahi
sejarah ini telah dikoreksi oleh orang Eropa sendiri, yaitu Roger Garaudy dalam bukunya
yang monumental Promesses de L'Islam. Renaisans -yang menjadi semangat baru bag Eropa
untuk bangkit dari masa kegelapannya- adalah akibat perkenalan Barat dengan Islam dalam
Perang Salib. Peperangan tidak selalu menvisakan kepedihan berupa korban harta dan
nyawa. Akan tetapi, pada sisi lain, justru bersifat positif
bagi dua peradaban yang saling bertemu itu, misalnya pertukaran budaya dan nilai-
nilai humanisme baru. Di samping kontak secara fisik, peperangan juga berakibat adanya
pertukaran dan kontak budaya antardua kelompok yang bertikai. Ali Syari'ati menganggap
bahwa suatu negara atau sejarah masyarakat mana pun di dunia in tidak akan berkembang
dan berubah, kecuali masyarakat wilayah tersebut mengadakan kontak dengan dunia luar.la
merunguskan sebuah teori bahwa tidak ada peradaban yang lahir, atau ada suku primitif
berkembang menjadi masyarakat yang berbudaya dan berkeadaban yang tinggi tapa adanya
kontak budaya (hijrah) dari tanah leluhurnya. Semua peradaban terbaru seperti di Amerika
dan Eropa, ataupun peradaban paling tua di dunia ini, yaitu peradaban Sumeria tumbuh dari
46-47).

1.2 Rumusan masalah

1. Apa yang di maksud Hakikat Perbedaan Antara Pengetahuan, Ilmu, dan Filsafat?
2. Bagaimana Metode Ilmiah Dan Struktur Pengetahuan ilmiah?
3. Bagaimanakah Klasifikasi Ilmu Pengetahuan?
4. bagaimana Pendekatan pokok studi ilmiah?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui perbedaan antara pengetahuan,Ilmu dan filsafat
2. Mengetahui metode ilmiah dan struktur pengetahuan ilmiah
3. Mengetahui klasifikasi ilmu pengetahuan
4. Mengetahui pendekatan pokok studi ilmiah

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Perbedaan Antara Pengetahuan, Ilmu, dan Filsafat

1. Pengertian Pengetahuan
M.J. Langgeve (1987) menyatakan bahwa pengetahuan adalah "kesatuan antara
subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui". Pada garis besarnya, pengetahuan
dibagi menjadi dua, yaitu pengetahuan (‫ري‬FF‫ )حص‬hadury atau knowledge by present dan
pengetahuan (‫ )أصولي‬ushuly atau knowledge by correspondence.
Knowledge by present, artinya pengetahuan yang diperoleh secara langsung dan
tidak memerlukan landasan teori apa pun. Contohnya, pengetahuan tentang rasa lapar. Rasa
lapar selalu bersamaan dengan rasa lapar itu, pengetahuan ini tidak membutuhkan
pengetahuan luar. Untuk mengetahui rasa lapar, kita tidak memerlukan penjelasan dan
pengetahuan tentang rasa lapar dari orang lain dan ataupun dari buku-buku teori.
Adapun knowledge by correspondence adalah sebaliknya, pengetahuan diperoleh
melalui perantaraan, misalnya melalui perantaraan indra dan lain-lain. Knowledge by
correspondence dibagi menjadi dua bagian lagi. yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan
empiris. Pengetahuan rasional, contohnya pengetahuan tentang matematika, politik, filsafat,
dan lain-lain, sedangkan pengetahuan empiris, contohnya pengetahuan tentang biologi,
kimia, fisika, dan lain-lain. Perlu dicatat bahwa pada tahapan tertentu, sebuah pengetahuan
yang semula rasional dapat juga berubah menjadi empiris dan sebaliknya, yang empiris
dapat dilihat dengan pendekatan rasional.

2.Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab, yaitu Ilmun yang berarti tahu atau mengetahui.
Menurut Bahruddin Salam (1995) dalam bukunya Filsafat Manusia (antropologi
metafisika): "Ilmu pengetahuan adalah kumpulan mengenai suatu hal tertentu (objek), yang
memberikan kesatuan yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan dengan
menunjukkan sebab-sebab dari hal atau kejadian itu."
Dari kutipan di atas, dapat dipahami bahwa ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang
diserap/serapan dengan cara sistematis, disusun dengan rapi, dan ditata menurut metode dan
sistematika tertentu agar dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa ilmu adalah penge tahuan yang menggunakan metode atau cara dan
sistematika sehingga sangat memungkinkan untuk mendapatkan kebenaran.

3. Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Arab Orang Arab mengambil nya dari bahasa Yunani,
yaitu philosophie. Dalam bahasa Yunani, philosophie merupakan kata majemuk yang terdiri
atas philo dan sopia. Menurut Pujawiyatna (1987), philo artinya cinta dalam arti seluas-
luasnya, sedangkan sofia artinya kebijaksanaan. Kata filsafat lebih jauh dijelaskan oleh
Amsal Bukhari (1989), yang mengambil ulasan Al-Farabi, bahwa "filsafat adalah
pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat sebenarnya."
Pernyataan Al-Farabi tentang kedudukan manusia dalam realita jagat raya ini harus
dikaji dengan pemikiran yang mendalam, luas, universal, radikal, sistematis, kritis,
deskriptif, analisis, evaluatif, dan spekulatif. Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan
bahwa filsafat adalah ilmu yang menerangkan dan menggunakan metode serta sistem untuk
mendapatkan yang ingin diketahui secara mendalam dan mengakar, melebihi yang
didapatkan oleh ilmu pengetahuan.

4. Perbedaan Filsafat, Ilmu, dan Pengetahuan


Perbedaan antara pengetahuan, ilmu, dan filsafat adalah sebagai berikut.
Pengetahuan berada pada tahap pertama, yaitu sekadar menge tahui secara umum dan tidak
sampai mengakar, sedangkan ilmu sudah sampai pada tahapan yang kedua, yaitu
pengenalan secara rasio, artinya keberadaan manusia (manusia sebagai objek) dengan segala
sifatnya sudah dianalisis secara akal, sehingga tidak bertanya-tanya dan ragu-ragu.
Perbedaan ilmu dan filsafat adalah objek filsafat universal atau bersifat umum,
sementara ilmu bersifat khusus.Kemudian, penjelajah ilmu akan merasa puas dengan teori-
teorinya, sedangkan filasafat terus berenang dan menyelam pada uji coba dan eksperimen,
seperti halnya yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s. ketika ingin mengetahui cara
menghidupkan yang mati (QS. Al-Baqarah [2]: 260).

َّ‫ْف ُتحْ يِ ْال َم ْو ٰت ۗى َقا َل اَ َو َل ْم ُتْؤ ِمنْ ۗ َقا َل َب ٰلى َو ٰل ِكنْ لِّ َي ْط َم ِٕىن‬ َ ‫َوا ِْذ َقا َل ِاب ْٰرهٖ ُم َربِّ اَ ِر ِنيْ َكي‬
‫ْك ُث َّم اجْ َع ْل َع ٰلى ُك ِّل َج َب ٍل ِّم ْنهُنَّ ࣖ ج ُْزءًا ُث َّم‬ َ ‫الطي ِْر َفصُرْ هُنَّ ِا َلي‬ َّ ‫َق ْل ِبيْ ۗ َقا َل َف ُخ ْذ اَرْ َب َع ًة م َِّن‬
‫ك َسعْ يًا َۗواعْ َل ْم اَنَّ هّٰللا َ َع ِز ْي ٌز َح ِكيْم‬ َ ‫ْاد ُعهُنَّ َيْأ ِت ْي َن‬
Artinya:

"Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana
Engkau menghidupkan orang mati. Allah berfirman, 'Belum per cayakah engkau? Dia
(Ibrahim) menjawab, Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap). Dia (Allah)
berfirman, Kalau begitu ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu kemudian
letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya
mereka datang kepada mu dengan segera. Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Maha-
bijaksana." (QS. Al-Baqarah [2]: 260

Titik tekan kajian filsafat adalah ontologi, sementara titik tekan kajian ilmu
pengetahuan (science) adalah epistemologi sehingga apabila dibuat dalam sebuah bagan,
bentuknya seperti: ontologi berbicara tentang benda atau objeknya, objek ontologis itu ada
dua, yaitu objek materi fisik dan objek materi nonfisik. Epistemologi berbicara tentang
subjeknya, yaitu berbicara tentang orang yang menilai, mempelajari, atau mengamati objek
ontologi melalui indra, akal, dan hati.
Jadi, dapat dikatakan dengan ringkas bahwa pengetahuan melekat di diri pengamat
atau subjek sehingga jika subjek berbeda tafsir terhadap objek yang sama, yang perlu
diperiksa adalah seberapa jauh pengetahuan subjek terhadap objek tersebut. Mengapa
demikian? Karena pada hakikatnya, yang mempunyai pengetahuan adalah subjek, sementara
objek materiil yang diamati atau yang dijadikan penelitian itu sama sekali tidak memiliki
pengetahuan dan keberadaannya juga tidak akan berubah hanya karena kesalahan tafsir dari
subjek yang mengamatinya.

2.2 . Metode Ilmiah dan Struktur Pengetahuan Ilmiah

1. Hakikat Metode Ilmiah


Nazir (1998) menjelaskan, metode ilmiah atau proses ilmiah merupa kan proses
keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis berdasarkan bukti fisis (Ahmad
Tanzeh, 2009). Para ilmuwan melakukan observasi serta membentuk hipotesis dalam
usahanya untuk menjelaskan fenomena alam. Metode ilmiah dapat dikatakan suatu
pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena
ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta, metode
ilmiah bertujuan mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan
yang sistematis.
Menurut Almack (Ahmad Tanzeh, 2009), metode ilmiah adalah cara menerapkan
prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan, dan pen jelasan kebenaran. Adapun Ostle
berpendapat bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh
suatu interelasi.

2. Kriteria Metode Ilmiah


Metode ilmiah mempunyai kriteria serta langkah-langkah tertentu dalam bekerja, seperti
dalam tabel berikut.
Kriteria Langkah - Langkah
Berdasarkan Fakta Memilih dan mendefinisikan masalah
Bebas dari prasangka Survei terhadap data yang tersedia
Menggunakan Prinsip – prinsip analisis Memformulasikan hipotesis
Menggunakan hipotesis. Membangun kerangka analisis.

Menggunakan ukuran yang objektif. Mengumpulkan data primer.

Mengolah, menganalisis, serta membuat


interpretasi

Menggunakan teknik kuantifikasi Membuat generalisasi dan


kesimpulan
Membuat laporan
Sumber: Diadaptasi dari Nazir (1988: 42)

Beberapa kriteria agar metode yang digunakan dalam penelitian disebut ilmiah, yaitu
sebagai berikut.
a. Berdasarkan Fakta
Keterangan-keterangan yang ingin diperoleh dalam penelitian, baik yang akan
dikumpulkan maupun yang akan dianalisis, harus berdasarkan fakta-fakta yang nyata.
Bukan berdasarkan daya khayalan, perkiraan, legenda, atau sejenisnya.

b. Bebas dari Prasangka


Metode ilmiah harus bebas dari prasangka, bersih, dan jauh dari pertimbangan
subjektif. Fakta yang diungkapkan harus disertai alasan dan bukti yang lengkap dan dengan
pembuktian yang objektif.

C. Menggunakan Prinsip Analisis


Semua masalah harus dicari sebab-musabab serta pemecahannya dengan
menggunakan analisis yang logis. Fakta yang mendukung tidak dibiarkan sebagaimana
adanya atau hanya dibuat deskripsinya, tetapi harus dicari sebab akibat dengan
menggunakan analisis yang tajam.

d. Menggunakan Hipotesis
Dalam metode ilmiah, peneliti harus dituntun dalam proses berpikir dengan
menggunakan analisis. Hipotesis harus ada untuk mengelompok kan atau menempatkan
persoalan serta memandu jalan pikiran ke arah tujuan yang ingin dicapai sehingga hasil
yang ingin diperoleh akan tepat mengenai sasaran. Hipotesis merupakan pegangan yang
khas dalam menuntun jalan pikiran peneliti.

e. Menggunakan Ukuran Objektif


Kerja penelitian dan analisis harus dinyatakan dengan ukuran yang objektif. Ukuran
tidak boleh dengan perasaan atau menuruti hati nurani. Pertimbangan harus dibuat secara
objektif dengan menggunakan akal pikiran yang sehat.

f. Menggunakan Kuantifikasi
Data ukuran kuantitatif yang lazim digunakan, kecuali untuk atribut atribut yang
tidak dapat dikuantifikasikan, misalnya ton, milimeter, detik, tak hingga, dan sebagaimana.
Bukan menggunakan ukuran sejauh mata memandang, sehitam pekat aspal, dan sebagainya
yang dianggap tidak dapat diukur dengan akal manusia. Kuantifikasi yang mudah adalah
dengan menggunakan ukuran nominal, ranking, dan rating.

3. Struktur Pengetahuan Ilmiah


Struktur artinya susunan, dengan menggabungkan struktur bersama pengetahuan.
Artinya, menjadi susunan pengetahuan ditambah dengan kata "ilmiah, yang secara harfiah
adalah susunan pengetahuan yang tertata dengan baik dan sistematis.

2.3 Klasifikasi Ilmu Pengetahuan


Ilmu pengetahuan dari aspek pragmatis terbagi dua. Pertama, ilmu kealaman, seperti
fisika, kimia, biologi yang bertujuan mencari hukum hukum alam atau mencari keteraturan-
keteraturan yang terjadi pada alam. Kedua, ilmu budaya yang mempunyai sifat tidak
berulang. Di antara kedua ilmu tersebut terdapat pula ilmu sosial yang mencoba memahami
gejala yang tidak berulang, tetapi dengan cara memahami keterangannya (Atho Mudzhar,
2004: 12). Adapun ilmu pengetahuan manusia berdasarkan klasifikasi ilmu menurut objek
ilmu pengetahuan terbagi tiga bagian, yaitu ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial, dan
humaniora.

1. Ilmu ilmu Alam


Merupakan kenyataan yang tidak tergoyahkan bahwa pemikir ilmiah selalu berada di
belakang setiap kemajuan yang dicapai manusia dari masa ke masa. Langkah pertama
dimulai ketika manusia menemukan caranya belajar melalui cara coba-coba (trial and error),
dan cara ini pada akhirnya membimbing manusia pada pengetahuan ilmiah, yaitu
pengetahuan yang melibatkan observasi dan eksperimentasi serta mencakup ilmu kealaman
dasar, seperti kimia, fisika, matematika, astronomi, geologi, botani, dan zoologi, dengan
bentuk-bentuk terapannya dalam bidang pengobatan, pertanian, permesinan, farmasi,
kedokteran hewan, dan lain-lain (National Commission for UNESCO, 1986: 65).

Dalam sejarah ilmu pengetahuan, filsafat adalah pengetahuan yang pertama lahir.
Dalam tema-temanya, filsafat inilah yang pertama kali mempersoalkan alam sehingga para
ahli filsafat pada saat itu disebut filsuf alam, seperti Anaximandros, Anaximenes, dan
Thales. Mereka memikirkan alam besar (makrokosmos) yang dimulai dari pertanyaan
tentang asal alam (Mohammad Hatta, 1982: 5). Dari perkembangan filsafat, muncullah
disiplin ilmu lain yang relatif mandiri dan bidang tertentu, yaitu ilmu kealaman -yang
merupakan disiplin ilmu yang pertama kali muncul dari perkembangan filsafat.

Ilmu kealaman yang disebut juga dengan natural sciences adalah ilmu yang
mempelajari susunan benda serta perkembangannya (Fazlur Rahman, 1992: 71). Sumber
ilmu ini adalah alam. Manusia yang merupakan makhluk sapiens didorong oleh kebutuhan
dan rasa ingin tahunya, mengerahkan kekuatan akalnya untuk menyingkap rahasia alam.
Agar pengetahuannya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, ia menetapkan kriteria
yang benar yang disebut dengan metodologi ilmiah, yaitu menggabung kan cara berpikir
deduktif dan induktif. Dengan cara seperti ini, manusia dapat menyingkap rahasia alam yang
melahirkan berbagai disiplin ilmu, seperti kimia, fisika, matematika, biologi, antropologi
fisik, geologi, astronomi, ilmu kedokteran (Endang Saifuddin Ansari, 1992: 13), dan ilmu
ilmu alam lainnya.
Ilmu-ilmu kealaman disebut juga ilmu-ilmu eksakta (ilmu pasti) yang kebenarannya
pasti, meskipun dalam kenyataan sosiologisnya bersifat kebenaran probabilistis. Kebenaran
probabilistis, yaitu teori keilmuan yang saat ini dianggap benar, tetapi besar kemungkinan
pada saat yang lain teori tersebut akan ditumbangkan oleh teori yang datang kemudian.lmu-
ilmu Sosial at et synecoat smp mele de mense

2. Ilmu-ilmu sosial
Dinamakan ilmu-ilmu sosial karena ilmu-ilmu tersebut mengambil masyarakat atau
kehidupan bersama sebagai objek yang dipelajari nya. Ilmu-ilmu sosial belum mempunyai
kaidah dan dalil tetap yang diterima oleh sebagian besar masyarakat, karena ilmu-ilmu
tersebut belum lama berkembang. Objek dari ilmu-ilmu sosial ini adalah masyarakat/
manusia yang selalu berubah-ubah. Karena sifat masyarakat selalu berubah-ubah, hingga
kini belum dapat diselidiki dan dianalisis secara tuntas hubungan antarunsur dalam
masyarakat secara mendalam (Soerjono Soekanto, 2002: 12). Mengenai pengertiannya,
menurut Nursid Sumaatmadja (1986: 82), ilmu-ilmu sosial adalah semua bidang ilmu
pengetahuan mengenai manusia dalam konteks sosial atau sebagai anggota masyarakat.

P.J. Bouman (1961: 13) mendefinisikan ilmu sosial sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari hubungan sosial antarmanusia, antara manusia dan kelompok manusia, serta
sifat dan perubahan dari bangunan dan buah pikiran sosial. la berusaha mencapai sintesis
antara ilmu jiwa sosial dan ilmu bentuk sosial, sehingga dapat memahami masyarakat dalam
hubungan kebudayaan umumnya.

untuk memperoleh gambaran tentang ilmu sosial, Soerjono Soekanto (2002: 13)
menyusun kriteria berikut.
a. memerinci isi ilmu sosial secara konkret;
b. memerinci yang dianggap sebagai sebab-sebab khusus dari variabel variabel bergantung;

3. Humaniora
Pembahasan mengenai humaniora tidak jauh berbeda dengan ilmu sosial, sebab
humaniora juga menempatkan manusia sebagai objek kajiannya. Perbedaan yang sangat
tipis antara ilmu sosial dan humaniora, yaitu ilmu sosial mengkaji tingkah laku manusia
dengan manusia lainnya ketika ia berinteraksi. Adapun humaniora mempelajari aspek etis
dari interaksi itu atau aktualisasi dari potensi manusia dalam wilayah pikiran, rasa, dan
kemauan (A. Syafi'i Ma'arif, 1997:45).
Menurut Jasob (1988: 68), humaniora adalah Ilmu-ilmu "kejiwaan"
(geisteswissensshaften,"spiritual" scienses) dikurangi ilmu-ilmu sosial dan ilmu ilmu
perilaku (sebagian), atau dengan lebih positif, ia mencakup bahasa dan sastra, sejarah
kebudayaan, filsafat dan etika, hukum, serta agama (teologi).
Ilmu kealaman berbeda dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora meskipun objek
kajiannya sama-sama alam. Alam yang diteliti oleh ilmu kealaman adalah alam besar atau
disebut juga makrokosmos. Alam besar yang dimaksud adalah bumi. Adapun alam yang
dikaji atau diteliti oleh ilmu sosial dan humaniora adalah alam kecil atau disebut dengan
mikrokosmos. Alam yang dimaksud adalah manusia.
Ali Syari'ati (1983: 32) mengatakan bahwa pada hakikatnya tidak ada kesepakatan
definisi yang logis dan tepat tentang siapa manusia itu karena definisi seperti itu selalu
berubah sesuai dengan perspektif ilmu pe ngetahuan, aliran filsafat, atau keyakinan
keagamaan. Di samping itu, ilmu pengetahuan belum dapat mengungkap misteri yang ada
pada makro kosmos. Sebagaimana Alexis Sarrel mengatakan, "Sampai sedemikian jauh
manusia telah dihadapkan pada masalah-masalah lahiriah saja dan memang mencapai
kemajuan di bidang tersebut, tetapi ia telah jauh dari dirinya sendiri dan melupakan realitas
pribadinya."

Oleh sebab itu, sampai saat ini belum ada metode yang dianggap cukup tepat untuk
memahami dimensi kemanusiaan manusia tersebut. Munculnya psikologi mengindikasikan
sulitnya membuat metode dan pendekatan yang relatif cocok untuk menguak rahasia
manusia.
Imu alam, ilmu sosial, dan humaniora dapat dikaji dalam studi islam, selanjutnya,
studi islam dalam peta pengetahuan ilmiah, dapat dimulai dengan menjelaskan maksud
studi Islam tersebut. Studi Islam (Islamis studies dirasah al-Islamiyah) atau studi ilmiah
tentang Islam adalah upaya pengkajian Islam dengan menerapkan metode ilmiah, khususnya
dalam konteks sosial sains. Objek ilmiah studi Islam sering diistilahkan dengan "Islam pada
tiga tingkatan", yaitu tataran wahyu, pemahaman atau pemikiran, dan pengamalannya dalam
masyarakat karena pada dasarnya, studi-studi keislaman tidak pernah terlepas dari salah satu
tingkatan ini.
Islam sebagai wahyu adalah suatu hal yang sudah tetap, yaitu Islam seperti halnya
yang disebutkan dalam Al-Quran Al-Karim. Memahami Islam sebagai wahyu merupakan
hal yang sangat esensial dalam kajian-kajian keislaman. Studi tafsir Al-Quran Al-Karim
merupakan salah satu contoh studi Islam pada tataran yang pertama.
Pada tataran selanjutnya, yaitu Islam sebagai pemikiran atau pemahaman,
memberikan ruang kajian ilmiah yang tidak kalah luasnya dengan Islam sebagai wahyu.
Banyak perdebatan antarkelompok teologi yang merupakan perdebatan dalam tataran kedua
ini. Contohnya, masalah tingkah laku seorang manusia, apakah ia mempunyai kehendak
sendiri ataukah pekerjaannya sudah ditakdirkan oleh Allah SWT. Perdebatan dalam masalah
ini ramai diperbincangkan oleh kaum Mu'tazilah, As'ariyah, dan golongan lainnya. Selain
itu, mengkaji proses Mu'tazilah yang kemudian menganut paham free-will juga termasuk
dalam kajian Islam sebagai pemikiran. Bagaimana kemudian memahami kata kutiba yang
ada dalam ayat puasa, kemudian diartikan menjadi wajib juga merupakan contoh dari studi
Islam pada tataran kedua.
Konsep kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman adalah kajian yang
berangkat dari sumber-sumber yang diakui sebagai sumber sumber Islam, seperti Al-Quran
Al-Karim, hadis, ijma, dan sebagainya.
Adapun Islam pada tataran terakhir, yaitu Islam sebagai pengamalan, juga
memberikan ruang kajian keislaman yang sangat luas. Konsep kajian Islam sebagai
pengamalan berawal dari pertanyaan dasar: bagaimanakah suatu masyarakat mengamalkan
Islam? Dari kajian keislaman pada tingkat kedua dan ketiga inilah muncul studi wilayah,
yaitu memahami Islam pada suatu masyarakat, daerah, bangsa, atau etnis Islam.
Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam pada
pengamalan adalah aktualisasinya pada kehidupan. Hal ini dikarena kan dapat saja
pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam pengamalan, atau bertentangan dengan
fakta. Contoh kajian pada tataran ini adalah "pengaruh konsep wihdatul wujud pada aliran
Tarikat Naqsyabandiah", dan sebagainya. Dalam kajian-kajian keislaman, tiga tataran ini
memang perlu dijelaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pengkaji dan
pembacanya.
Objek kajian studi Islam ini juga memenuhi persyaratan yang diterap kan pada ilmu-
ilmu pengetahuan lainnya, diobservasi, diteliti kembali kebenarannya, dan diuji
intersubjektif dan interdisiplin.
Studi Islam mempunyai kerangka kerja, kerangka teoretis, pembahas an masalah,
penyelesaian masalah, inkuiri, hipotesis, dan kesimpulan. Perangkat langkah metodologis
yang merupakan syarat keilmiahan sebuah kajian telah dipenuhi oleh studi Islam.
Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, studi Islam juga menggunakan be berapa pendekatan
tertentu dalam kajiannya, yaitu pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis, dan
sebagainya.

Studi Islam telah memenuhi syarat-syarat untuk dikatakan ilmiah, artinya studi Islam
telah menempati jajaran dan peta kajian-kajian ilmiah lainnya. Dengan demikian, para
pengkaji keislaman harus mampu mem pertahankan keilmiahan kajiannya, hingga Islam
dapat dipahami dengan lebih objektif, universal, dan human

2.4 Pendekatan pokok studi Ilmiah


Ketiga tataran objek kajian keislaman dapat dikaji dengan menggunakan beberapa
pendekatan, seperti pendekatan historis, sosiologis, antropologis, psikologis, pendekatan
wilayah, fenomenologis, komparatif, dan post-modernisme. sbaq redmused aleman

1. Pendekatan Interdisiplin
Interdisiplin pendekatan terjadi apabila objek sebuah displin ilmu didekati dengan
pendekatan disiplin ilmu lainnya, misalnya gabungan pendekatan sosiologis dan historis,
atau sosiologis dengan psikologis. Contoh kajian yang menggunakan dua pendekatan adalah
sosiologi sastra, yaitu ilmu kesastraan didekati dengan pendekatan sosiologis. Kajian ini
akan mempelajari aspek-aspek struktur masyarakat dalam sebuah karya sastra, sejarah sosial
umat Islam, politik hukum Islam, dan sebagainya. Aspek hukum Islam dapat dikaji dengan
pendekatan psikologis, sosiologis, atau fenomenologis. Interdisplin ini berguna bagi kajian-
kajian keislaman, karena sebuah objek kajian akan dapat dipahami dengan lebih detail, dan
tidak sering kajian keislaman yang menggunakan sebuah pendekatan t dapat menjelaskan
sebuah fenomena, lalu dapat dijelaskan dengan kajian yang mengambil objek yang sama,
tetapi dengan menggunakan pen dekatan yang berbeda (Ira M. Lapidus, 1993).

2. Pendekatan Multidisiplin
Multidisiplin muncul apabila sebuah kajian sebuah disiplin ilmu didekati dengan dua
pendekatan disiplin ilmu yang berbeda. Misalnya, hukum didekati dengan sejarah dan
sosial, yang kemudian menghasilkan kajian sejarah sosial hukum Islam. synniel ugil mill
singsde
Seperti halnya interdisiplin ilmu, multidisiplin ini juga sangat ber guna dalam
menjelaskan sebuah fakta. Sebagai contoh, ilmu hukum Islam tidak membahas cara hukum
tersebut berkembang maka untuk menjawab pertanyaan tersebut, digunakan pendekatan
interdisiplin, yaitu sejarah hukum Islam. Akan tetapi, sejarah hukum Islam tidak dapat
menjelaskan alasan munculnya Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan sebagainya yang dengan
begitu semangat menghabiskan hidupnya untuk mencari hadis langsung pada "sumbernya.
Untuk menjelaskan fakta sejarah tersebut, kajian sejarah hukum ini kemudian didekati
dengan pendekatan sosiologis, yang berhasil menjelaskan bahwa ternyata setelah Syafi'i
mendapatkan kondisi hukum yang didasarkan pada sumber yang tidak dapat dibuktikan
keasliannya kepada nabi, Syafi'i pun merumuskan ushul figh-nya dengan menyatakan
bahwa hukum harus mempunyai sumber yang dapat dibuktikan berasal dari Al-Quran atau
hadis. Sementara pada saat itu, hadis yang terbukti berasal dari Rasul sangat sedikit,
kebanyakan hanya opini bahwa perkataan mereka bersumber pada hadis karena Rasul pasti
mengatakan hal-hal baik (Joseph Schacht, 1971: 15).

Dengan pengaruh Syafi'i, masyarakat hukum pun berubah dan menginginkan hukum
yang orisinal. Hukum yang orisinal harus berdasar kan sumber yang terbukti orisinal maka
tidak lama kemudian, muncullah orang yang dengan semangatnya mengumpulkan hadis
dengan segala pembuktian keasliannya.

Suatu disiplin ilmu memiliki otonom di dalam dirinya, tetapi karena gejala
kehidupan yang dideskripsikan dan dijelaskan oleh ilmu tersebut merupakan satu kesatuan
yang kompleks, serta tingkat perkembangan dan kemampuan disiplin itu bervariasi, disiplin
ilmu itu tidak dapat melepaskan diri dari bantuan dan kerja sama dengan ilmu lain. Terlebih,
apabila gejala kehidupan itu akan dijelaskan secara komprehensif, terjadi adhesi dan kohesi,
bahkan integrasi antardisiplin ilmu.

Berkenaan dengan hal tersebut, penelitian antardisiplin merupakan penggabungan


unsur informasi dan unsur metodologi dari dua atau lebih disiplin ilmu dalam suatu program
atau kegiatan penelitian. Adapun penelitian multidisiplin merupakan kegiatan penelitian
menurut disiplin ilmu masing-masing, kemudian digabungkan secara eksternal sebagai satu
kesatuan (Cik Hasan Basri, 2001: 53).

3. Pengkajian Islam Secara Saintifik


Pengkajian Islam secara saintifik yang berorientasi pada tranformasi psikologi telah
berkembang pada pengkajian secara analitis, yang ber fungsi pada level yang objektif untuk
transformasi kemasyarakatan.
Hanna Djumhana Bastaman (Moeflieh Hasbullah, ed., 2000: 296) memberikan
beberapa pola pemikiran "Islamisasi sains" berkaitan dengan interdisiplin dan multidisiplin
sebagai berikut:
a. Similarisasi : penyamaan konsep.
b. Paralelisasi : memparalelkan konsep.
c. Komplementasi : saling memperkuat satu sama lain.
d. Komparasi : membandingkan konsep atau teori.
e. Induktivikasi : menghubungkan prinsip agama pada asumsi-asumsi.
F. Verifikasi : pembuktian kebenaran agama oleh suatu hasil penelitian.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perbedaan antara pengetahuan, ilmu, dan filsafat adalah sebagai berikut.
Pengetahuan berada pada tahap pertama, yaitu sekadar me ngetahui secara umum dan tidak
sampai mengakar, sedangkan ilmu sudah sampai pada tahapan kedua, yaitu pengenalan
secara rasio, artinya keberadaan manusia (manusia sebagai objek) dengan segala sifat-
sifatnya sudah dianalisis secara akal sehingga tidak bertanya-tanya dan ragu-ragu.
Perbedaan ilmu dan filsafat adalah objek filsafat universal atau bersifat umum, sementara
objek ilmu bersifat khusus. Beberapa kriteria agar suatu metode yang digunakan dalam
penelitian disebut ilmiah, yaitu:
(1) berdasarkan fakta
(2) bebas dari prasangka
(3)prinsip analisis
(4) menggunakan hipotesis
(5) menggunakan ukuran objektif
(6) menggunakan kuantifikasi.

Data ukuran kuantitatif yang lazim digunakan, kecuali untuk atribut yang tidak dapat
dikuantifikasikan, misalnya ton, milimeter, detik, tak hingga, dan sebagaimana. Bukan
menggunakan ukuran sejauh mata memandang, sehitam pekat aspal, dan sebagainya yang
dianggap tidak dapat diukur dengan akal manusia. Kuantifikasi yang mudah adalah dengan
menggunakan ukuran nominal, ranking, dan rating
Klasifikasi ilmu pengetahuan dari aspek pragmatis terbagi dua. Pertama, ilmu
kealaman, seperti fisika, kimia, biologi yang bertujuan mencari hukum-hukum alam atau
keteraturan yang terjadi pada alam. Kedua, ilmu budaya yang mempunyai sifat tidak
berulang. Di antara kedua ilmu tersebut terdapat pula ilmu sosial yang mencoba memahami
gejala yang tidak berulang, tetapi dengan cara memahami keterangannya. Ilmu pengetahuan
manusia berdasarkan klasifikasi ilmu. Menurut objeknya, ilmu pengetahuan terbagi tiga
bagian, yaitu ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial, dan humaniora. Pada ketiga klasifikasi ilmu
pengetahuan tersebut, satu dengan yang lainnya tidak dapat terpisahkan. Dengan kata lain,
ilmu alam tidak dapat terlepas dari ilmu sosial dan humaniora, humaniora tidak dapat
terlepas dari ilmu sosial dan ilmu alam, begitu juga ilmu sosial tidak dapat terlepas dari ilmu
alam dan humaniora. Ketiganya saling berkaitan.

Meskipun tampak pemisahan atau pembagian pengetahuan, bukan berarti ilmu itu
tidak berkaitan satu sama yang lainnya. Pemisahan itu terjadi karena ilmu pengetahuan
berkembang dalam proses yang cukup lama. Akan tetapi, dalam perkembangannya lebih
lanjut, tampak kecenderungan generalisasi dari beberapa cabang ilmu pengetahuan sehingga
beberapa cabang ilmu pengetahuan itu bertemu kembali karena pada hakikatnya satu unit.

Studi Islam, berkaitan dengan tiga macam klasifikasi ilmu tersebut dapat dikaji
secara epistemologi, sebab Islam menempati posisi sentral kajian keilmuan yang dapat
dikaji dari berbagai perspektif, baik sosiologis, maupun pendekatan historis fenomenologis.
adalah "pengaruh konsep wihdatul wujud pada aliran Tarikat Naqsyabandiah", dan
sebagainya. Dalam kajian-kajian keislaman, tiga tataran ini memang perlu dijelaskan agar
tidak terjadi kesalahpahaman antara pengkaji dan pembacanya.
Objek kajian studi Islam ini juga memenuhi persyaratan yang diterap kan pada ilmu-
ilmu pengetahuan lainnya, diobservasi, diteliti kembali kebenarannya, dan diuji
intersubjektif dan interdisiplin. Studi Islam mempunyai kerangka kerja, kerangka teoretis,
pembahasan masalah, penyelesaian masalah, inkuiri, hipotesis, dan kesimpulan. Perangkat
langkah metodologis yang merupakan syarat keilmiahan sebuah kajian telah dipenuhi oleh
studi Islam.Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, studi Islam juga menggunakan beberapa
pendekatan tertentu dalam kajiannya, yaitu pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis,
dan sebagainya.
Studi Islam telah memenuhi syarat-syarat untuk dikatakan ilmiah, artinya studi Islam telah
menempati jajaran dan peta kajian-kajian ilmiah lainnya. Dengan demikian, para pengkaji
keislaman harus mampu mem pertahankan keilmiahan kajiannya, hingga Islam dapat
dipahami dengan lebih objektif, universal, dan humanis

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai