Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH SWAMEDIKASI

PELAYANAN SWAMEDIKASI NYERI, NYERI LOCAL DAN

DYSMENORE PRIMER

OLEH:

Kelompok 5 (S1-6C)

Putri Oktarina 1801108

R Pebliana Syahara 1801109

Rachel Robina 1801110

Rahul Oktarizal 1801112

Rezy Syaputri 1801113

DOSEN PENGAMPU:

apt. Septi Muharni, M.Farm.

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIV RIAU
PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini
disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Swamedikasi dan juga untuk
menambah pengetahuan pembaca mengenai pelayanan Nyeri, Nyeri Local Dan
Dysmenore Primer
Dalam penyusunan makalah ini, kami selaku penulis mendapatkan banyak
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Terutama dari dosen pengampu dari
mata kuliah Swamedikasi, Ibu apt. Septi Muharni, M.Farm. Maka pada kesempatan
ini, kami selaku penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, kami selaku penulis menerima kritik dan saran terkait
makalah ini agar kedepannya bisa lebih baik lagi. Kami harap makalah ini dapat
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi pembaca.

Pekanbaru, Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................3

1.4 Manfaat Penelitian....................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................4

2.1 Pengertian Swamedikasi...........................................................................4

2.2 Pelayanan Swamedikasi Nyeri Dan Nyeri Lokal.....................................5

2.2.1 Pengertian Nyeri.............................................................................5

2.2.3.Bagan Algoritma Swamedikasi nyeri...........................................14

2.2.4 Terapi Farmakologi......................................................................14

2.2.5 Terapi Non Farmakologi..............................................................22

2.3 Pelayanan Swamedikasi Dysmenore Primer..........................................23

2.3.1 Pengertian Dysmenore Primer......................................................23

2.3.3 Terapi Farmakologi......................................................................26

2.3.4 Terapi Non Farmakologi..............................................................27

BAB III PENUTUP..............................................................................................29

3.1 Kesimpulan.............................................................................................29

3.2 Saran.......................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................31

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan. Seseorang
yang merasa sakit akan melakukan upaya demi memperoleh kesehatannya
kembali. Pilihan untuk mengupayakan kesembuhan dari suatu penyakit antara lain
adalah dengan berobat ke dokter atau mengobati diri sendiri (Atmoko &
Kurniawati, 2009)
Swamedikasi harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami.
Pelaksanaannya sedapat mungkin harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang
rasional, antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, tidak adanya
efek samping, tidak adanya kontraindikasi, tidak adanya interaksi obat, dan tidak
adanya polifarmasi (Kristina, dkk 2008 didalam Prameshwari, 2009).
Umumnya swamedikasi dilakukan unutuk mengatasi keluhan atau
penyakit ringan yng banyak dialami oleh masyarakat seperti demam, batuk, flu,
nyeri, diare dan gastritis (Supardi & Raharni, 2006 didalam Prameshwari, 2009).
Nyeri merupakan suatu gambaran pengalaman sensorik dan emosional
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan, yang berpotensi rusak maupun yang
sudah terjadi kerusakan (Jace, 2011). Kasus nyeri yang paling banyak ditemui di
rumah sakit adalah Nyeri Punggung Bawah (NPB) atau Low Back Pain (LBP)
(Bull, 2007). Jumlah penderita LBP di rumah sakit daerah Jakarta, Yogyakarta
dan Semarang sekitar 5,4% sampai 5,8 % dan frekuensi meningkat pada usia 45-
65 tahun (Lubis, 2003).
LBP didefinisikan sebagai nyeri lokal pada bagian vertebra thorakalis 12
sampai gluteus inferior dengan atau tanpa nyeri pada bagian kaki (Krismer, 2007).
Salah satu faktor predisposisi terjadinya nyeri punggung bagian bawah adalah
cara duduk seseorang yang lama tanpa adanya sandaran atau tumpuan. Hal ini
menyebabkan seseorang tidak dapat berdiri secara tegak dan terjadi penurunan
aktivitas fisik sehari-hari sehingga menurunkan tingkat produktivitas
(Rachmawati, 2011).
World Health Organization (WHO) tahun 2011, melaporkan bahwa sekitar
80% orang yang menderita LBP. Low Back Pain menjadi perhatian dan dianggap

1
sebagai salah satu masalah yang cukup besar karena mempengaruhi sektor
industri sehingga berpengaruh besar pada pertumbuhan ekonomi negara terutama
di negara barat (Dagenais, 2008). Kasus LBP pada usia 18-56 tahun terdapat lebih
dari 500.000 di Amerika, persentase LBP mengalami kenaikan sebanyak 59%
dalam kurun waktu 5 tahun. Sekitar 80%– 90% kasus LBP dapat sembuh dengan
spontan dalam waktu sekitar 2 minggu (Wheeler, 2013).
Nyeri menurut International Association For Study Of Pain / IASP yang
dikutuip oleh Kuntono, 2011 adalah suatu pengalaman sensoris dan emosional
yang tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan.
Nyeri adalah gejala paling umum yang paling tampak pada populasi
umum dan dunia kedokteran. Di Amerika Serikat, keluhan nyeri merupakan
penyebab 40% kunjungan pasien berobat jalan terkait gejala setiap tahunnya.
Hasil survei Word Health Organization / WHO memperlihatkan bahwa dari
26.000 rawat primer di lima benua, 22% melaporkan adanya nyeri persisten lebih
dari setahun (Kuntono, 2011).
Nyeri punggung bawah (Lower Back Pain) kebanyakan menyerang
daerah pinggang antara tulang rusuk bagian bawah dan daerah glutealis / pantat
dan sering menjalar ke daerah paha belang. Nyeri pinggang dapat terjadi karena
adanya masalah dari struktur neuromuskuloskeletal di daerah pinggang bawah,
termasuk otot dan saraf serta tulang tulang belakang dan diskus intervertebralis
(Mujianto, 2013).
Menurut WHO, yang disebut remaja adalah mereka yang berada pada
tahap transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Batasan usia remaja menurut
WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Remaja adalah anak usia 10-24 tahun yang
merupakan usia antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dan sebagai titik awal
proses reproduksi, sehingga perlu dipersiapkan sejak dini (Romauli, 2009).
Masa remaja adalah suatu tahapan antara masa kanak-kanak dengan masa
dewasa. Masa remaja atau juga disebut masa pubertas merupakan masa
penghubung antara masa anak-anak dan dewasa. Dalam siklus kehidupan pubertas
merupakan tahapan yang penting dalam perkembangan seskualitasnya
(Proverawati, 2009). Pubertas adalah proses kematangan dan pertumbuhan yang
terjadi ketika organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan karakteristik seks

2
sekunder mulai muncul (Wong, et al. 2008). Pubertas merupakan titik pencapaian
dari kematangan seksual pada anak perempuan yaitu dengan terjadinya menarche
(Susanti, 2012). Ciri pubertas pada remaja laki-laki, hormon testosteron akan
mengakibatkan tumbuhnya rambut rambut halus di sekitar ketiak, kemaluan,
tumbuh janggut dan kumisi terjadi perubahan suara; tumbuh jerawat dan mulai
diproduksinya sperma yang pada waktu waktu tertentu keluar sebagai mimpi
basah (Proverawati, 2009).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan swamedikasi?
2. Bagaimana pelayanan swamedikasi Nyeri dan nyeri lokal ?
3. Bagaimana pelayanan swamedikasi dysmenore ?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui pengertian swamedikasi
2. Untuk mengetahui pelayanan swamedikasi Nyeri dan Nyeri lokal
3. Untuk mengetahui pelayanan swamedikasi Dysmenore Primer

1.4 Manfaat Penelitian


1. Dapat mengetahui pengertian swamedikasi
2. Dapat mengetahui pelayanan swamedikasi Nyeri dan Nyeri lokal
3. Dapat mengetahui pelayanan swamedikasi Dysmenore Primer

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Swamedikasi


Swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat oleh individu untuk
merawat diri sendiri dari penyakit atau gejala penyakit. Masyarakat melakukan
swamedikasi biasanya untuk mengatasi keluhan- keluhan dan penyakit ringan
yang sering dialami seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, maag,
kecacingan, diare, penyakit kulit, dan lain- lain. Golongan obat yang digunakan
swamedikasi merupakan obat- obat yang relatif aman meliputi golongan obat
bebas dan obat bebas terbatas (BPOM RI, 2014)

Swamedikasi dilakukan untuk penanggulangan keluhan yang tidak


memerlukan konsultasi medis, mengurangi beban pelayanan kesehatan pada
keterbatasan sumber daya dan tenaga, serta meningkatkan keterjangkauan
pelayanan kesehatan untuk masyarakat yang jauh dari fasilitas pelayanan
kesehatan.

Apabila swamedikasi dilakukan dengan benar, swamedikasi menjadi


sumbangan sangat besar bagi pemerintah dalam hal pemeliharaan kesehatan
secara nasional (Anonim, 2009). Untuk melakukan swamedikasi secara benar,
masyarakat harus mampu mengetahui:
a. Jenis obat yang diperlukan untuk mengatasi penyakitnya.
b. Kegunaan tiap obat.
c. Cara, aturan, lama pemakaian, dan batas kapan mereka harusmenghentikan
swamedikasi dan segera minta pertolongan petugaskesehatan.
d. Efek samping obat yang digunakan sehingga dapat memperkirakan
apakahsuatu keluhan yang timbul kemudian itu suatu penyakit baru atau
efeksamping obat.
e. Siapa yang tidak boleh menggunakan obat tersebut (Anonim, 2009).

Peranan apoteker pada self care dan swamedikasi, memiliki beberapa


fungsi, yaitu sebagai komunikator, penyalur obat bermutu, pelatih (trainer) dan
pengawas (supervisor), kolaborator, dan penyelenggara kesehatan. Peranan

4
apoteker dititik beratkan pada self care, yang dimaksudkan untuk
bertanggungjawab lebih besar pada konsumen dan meningkatkan tanggung-jawab
mereka. Sebagai anggota team pelayanan kesehatan, apoteker harus:
1) Berpartisipasi pada screening kesehatan untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan dan masalah yang beresiko pada komunitas.
2) Berpartisipasi pada kampanye promosi kesehatan untuk meningkatkan
kesadaran akan permasalahan kesehatan dan pencegahan penyakit.
3) Menyediakan nasihat perorangan untuk membantu mereka membuat pilihan
kesehatan (Anonim, 2008)

2.2 Pelayanan Swamedikasi Nyeri Dan Nyeri Lokal

2.2.1 Pengertian Nyeri


Nyeri adalah suatu mekanisme pertahanan bagi tubuh yang timbul bila
mana jaringan sedang dirusak yang menyebabkan individu tersebut bereaksi
dengan cara memindahkan stimulus nyeri (Guyton & Hall, 2008 dalam Saifullah,
2015). Nyeri menurut Rospond (2008) merupakan sensasi yang penting bagi
tubuh. Sensasi penglihatan, pendengaran, bau, rasa, sentuhan, dan nyeri
merupakan hasil stimulasi reseptor sensorik, provokasi saraf-saraf sensorik nyeri
menghasilkan reaksi ketidaknyamanan, distress, atau menderita

Nyeri bersifat subjektif dan individual. Selain itu nyeri juga bersifat tidak
menyenangkan, sesuatu kekuatan yang mendominasi, dan bersifat tidak
berkesudahan. Stimulus nyeri dapat bersifat fisik dan atau mental, dan kerusakan
dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego seseorang. Nyeri
melelahkan dan menuntut energi seseorang sehingga dapat mengganggu
hubungan personal dan mempengaruhi makna kehidupan. Nyeri tidak dapat
diukur secara objektif, seperti menggunakan sinar-X atau pemeriksaan darah.

Nyeri lokal adalah nyeri yang dirasakan setempat pada bagian dekat
permukaan tubuh seperti kulit, encok pada tulang, sendi, otot (fibrositis, non
articular rheumatism) yang sering ditandai dengan rasa yang timbul secara tiba-
tiba dan kaku pada otot daerah tengkuk, bahu, pinggang dan bokong), memar
karena trauma benda tumpul dan terkilir.

5
IASP (international association of the study of pain) mendefinisikan nyeri
sebagai “an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual
or potentioal tissue damage or described in term of such damage”. Nyeri adalah
rasa indrawi dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya
kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi rusak atau tergambarkan seperti
adanya kerusakan jaringan.

Dari definisi ini dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain :


a. Nyeri merupakan rasa indrawi yang tidak menyenangkan. Keluhan
tanpa unsur tidak menyenangkan, tidak dapat dikategorikan sebagai
nyeri.
b. Nyeri selain merupakan rasa indrawi (fisik) juga merupakan
pengalaman emosional (psikologik) yang melibatkan efeksi jadi
suatu nyeri mengandung paling sedikit dua dimensi yakni dimensi
pisik dan psikologis.
c. Nyeri terjadi sebagai akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata,
disebut sebagai nyeri nosiseptif atau nyeri akut.
d. Nyeri juga dapat timbul akibat adanya rangsangan yang berpotensi
rusak, dan disebut sebagai nyeri fisiologis, misalnya cubitan atau
terkena api rokok, hal itu akan membangkitkan refleks menghindar.
e. Selain itu nyeri dapat juga terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan
yang nyata, tapi penderita menggambarkannya sebagai suatu
pengalaman seperti itu, hal ini disebut sebagai nyeri kronik.

Beberapa definisi yang berkaitan dengan nyeri antara lain :

a. Nyeri akut
nyeri yang terjadi akibat adanya kerusakan jaringan, lamanya terbatas,
hilang seirama dengan penyembuhannya.
b. Nyeri kronik
nyeri yang berlangsung dalam waktu lama (lebih 3 bulan), menetap
walaupun penyebab awalnya sudah sembuh dan seringkali tidak
ditemukan penyebab pastinya.
c. Rangsang noksius

6
rangsang yang menyebabkan kerusakan atau berpotensi merusak integritas
jaringan (defisini ini tidak berlaku untuk semua bentuk nyeri viseral)
d. Nosisepsi
proses dimulai dari aktifasi nosiseptor hingga persepsi adanya rangsang
noksius
e. Perilaku nyeri
perilaku yang membuat pengamat menyimpulkan bahwa seseorang sedang
mengalami nyeri

2.2.2. Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri berdasarkan beberapa hal adalah sebagai berikut :

1. Nyeri berdasarkan tempatnya Menurut Irman (2007) dalam Handayani


(2015) dibagi menjadi :
a. Pheriperal pain
Merupakan nyeri yang terasa pada permukaan tubuh. Nyeri ini
termasuk nyeri pada kulit dan permukaan kulit. Stimulus yang
efektif untuk menimbulkan nyeri dikulit dapat berupa rangsangan
mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila hanya kulit yang
terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai menyengat, tajam, meringis,
atau seperti terbakar.
b. Deep pain
Merupakan nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih
dalam (nyeri somatik) atau pada organ tubuh visceral. Nyeri somatis
mengacu pada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligament, tulang,
sendi dan arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor
nyeri sehingga lokalisasi sering tidal jelas.
c. Reffered pain
Merupakan nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/
struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah
yang berbeda bukan dari daerah asalnya misalnya, nyeri pada lengan

7
kiri atau rahang berkaitan dengan iskemia jantung atau serangan
jantung
d. Central pain Merupakan nyeri yang didahului atau disebabkan oleh
lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf pusat seperti spinal cord,
batang otak, thalamus, dan lain-lain.

2. Nyeri berdasarkan sifatnya Meliala (2007) dalam Handayani (2015)


menyebutkan bahwa nyeri ini digolongkan menjadi tiga, yaitu :
a. Incidental pain
Merupakan nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang.
Nyeri ini biasanya sering terjadi pada pasien yang mengalami
kanker tulang.
b. Steady pain
Merupakan nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam
jangka waktu yang lama. Pada distensi renal kapsul dan iskemik
ginjal akut merupakan salah satu jenis.
c. Proximal pain
Merupakan nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat
sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap selama kurang lebih 10-15
menit, lalu menghilang kemudian timbul lagi.

3. Nyeri berdasarkan ringan beratnya Nyeri ini dibagi ke dalam tiga bagian
(Wartonah, 2005 dalam Handayani 2015) sebagai berikut :
a. Nyeri ringan
Merupakan nyeri yang timbul dengan intensitas ringan. Nyeri ringan
biasanya pasien secara obyektif dapat berkomunikasi dengan baik.
b. Nyeri sedang
Merupakan nyeri yang timbul dengan intensitas yang sedang. Nyeri
sedang secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri dan mendiskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
c. Nyeri berat

8
Merupakan nyeri yang timbul dengan intensitas berat. Nyeri berat
secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi
masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri,
tidak dapat mendiskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang.

4. Nyeri berdasarkan waktu serangan


a. Nyeri akut
Merupakan nyeri yang mereda setelah dilakukan intervensi dan
penyembuhan. Awitan nyeri akut biasanya mendadak dan
berkaitan dengan masalah spesifik yang memicu individu untuk
segera bertindak menghilangkan nyeri. Nyeri berlangsung singkat
(kurang dari 6 bulan) dan menghilang apabila faktor internal dan
eksternal yang merangsang reseptor nyeri dihilangkan. Durasi
nyeri akut berkaitan dengan faktor penyebabnya dan umumnya
dapat diperkirakan (Asmadi, 2008).
b. Nyeri kronis
Merupakan nyeri yang berlangsung terus menerus selama 6 bulan
atau lebih. Nyeri ini berlangsung diluar waktu penyembuhan yang
diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab
atau cedera spesifik. Nyeri kronis ini berbeda dengan nyeri akut
dan menunjukkan masalah baru, nyeri ini sering mempengaruhi
semua aspek kehidupan penderitanya dan menimbulkan distress,
kegalauan emosi dan mengganggu fungsi fisik dan sosial (Potter &
Perry, 2005 dalam Handayani, 2015).

5. Dalam praktek klinis sehari-hari, nyeri terbagi menjadi 4 jenis


a. Nyeri Nosiseptif
Nyeri dengan stimulasi singkat dan tidak menimbulkan kerusakan
jaringan. Pada umumnya, tipe nyeri ini tidak memerlukan terapi
khusus karena berlangsung singkat. Nyeri ini dapat timbul jika ada
stimulus yang cukup kuat sehingga akan menimbulkan kesadaran

9
akan adanya stimulus berbahaya, dan merupakan sensasi fisiologis
vital. Contoh: nyeri pada operasi, dan nyeri akibat tusukan jarum
b. Nyeri Inflamatorik
Nyeri inflamatorik adalah nyeri dengan stimulasi kuat atau
berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan atau lesi jaringan.
Nyeri tipe II ini dapat terjadi akut dan kronik dan pasien dengan
tipe nyeri ini, paling banyak datang ke fasilitas kesehatan. Contoh:
nyeri pada rheumatoid artritis.
c. Nyeri Neuropatik
Merupakan nyeri yang terjadi akibat adanya lesi sistem saraf
perifer (seperti pada neuropati diabetika, post-herpetik neuralgia,
radikulopati lumbal, dll) atau sentral (seperti pada nyeri pasca
cedera medula spinalis, nyeri pasca stroke, dan nyeri pada sklerosis
multipel).
d. Nyeri Fungsional
Bentuk sensitivitas nyeri ini ditandai dengan tidak ditemukannya
abnormalitas perifer dan defisit neurologis. Nyeri fungsional
disebabkan oleh respon abnormal sistem saraf terutama
hipersensitifitas aparatus sensorik. Beberapa kondisi umum yang
memiliki gambaran nyeri tipe ini antara lain fibromialgia, irritable
bowel syndrome, beberapa bentuk nyeri dada non-kardiak, dan
nyeri kepala tipe tegang. Tidak diketahui mengapa pada nyeri
fungsional susunan saraf menunjukkan sensitivitas abnormal atau
hiperresponsif (Woolf, 2004).

Nyeri nosiseptif dan nyeri inflamatorik termasuk ke dalam nyeri adaptif,


artinya proses yang terjadi merupakan upaya tubuh untuk melindungi atau
memperbaiki diri dari kerusakan. Nyeri neuropatik dan nyeri fungsional
merupakan nyeri maladaptif, artinya proses patologis terjadi pada saraf itu sendiri
sehingga impuls nyeri timbul meski tanpa adanya kerusakan jaringan lain. Nyeri
ini biasanya kronik atau rekuren, dan hingga saat ini pendekatan terapi

10
farmakologis belum memberikan hasil yang memuaskan (Rowbotham et al.,
2000; Woolf, 2004).

2.2. 3 Evaluasi Klinis

Nyeri Klinisi sebaiknya mempunyai kemampuan untuk mengukur nyeri dan


dampaknya pada setiap pasien. Konsep lama yang menyatakan bahwa nyeri hanya
bisa dirasakan atau dilaporkan oleh penderita (subjektif) hendaknya mulai
ditinggalkan karena saat ini penanganan nyeri yang adekuat harus bisa
menerjemahkan keluhan nyeri subjektif tersebut ke hal yang objektif dan dapat
diukur dalam berbagai aspek, supaya kita mengerti apa yang harus kita lakukan.
Field mengungkapkan pentingnya assessment nyeri dengan ungkapan “if you
don’t measure it, you can’t improve it”.

Hal yang selalu harus diingat dalam melakukan penilaian nyeri diantaranya adalah
melakukan penilaian terhadap :

1. Intensitas nyeri
2. Lokasi nyeri
3. Kualitas nyeri, penyebaran dan karakter nyeri
4. Faktor-faktor yang meningkatkan dan mengurangi nyeri
5. Efek nyeri pada kehidupan sehari-hari
6. Regimen pengobatan yang sedang dan sudah diterima
7. Riwayat manajemen nyeri termasuk farmakoterapi, intervensi dan respon
terapi
8. Adanya hambatan umum dalam pelaporan nyeri dan penggunaan analgesik

Intensitas dan penentuan tipe nyeri sangat penting karena menyangkut


jenis pengobatan yang sesuai yang sebaiknya diberikan terutama terapi
farmakologis. Beberapa alat ukur yang sudah umum dipakai untuk mengukur
intensitas nyeri adalah:

a. Visual analogue scale (VAS)

11
b. Face Rating Scale

c. Numeric Pain Scale (NPS)

Membedakan tipe nyeri antara lain adalah:

d. ID Pain Score
ID pain merupakan instrument skrining yang digunakan untuk
membedakan antara nyeri neuropatik dan nosiseptik. ID pain terdiri dari
5 pertanyaan terkait nyeri neuropatik yaitu rasa kesemutan, panas
terbakar, kebas/baal, kesetrum dan nyeri bertambah bila tersentuh dan 1
pertanyaan terkait nyeri nosiseptik yaitu nyeri yang terbatas pada
persendian/otot/gigi/lainnya. Bila skor >2 kemungkinan terdapat nyeri
neuropatik.
1. Apakah nyeri terasa seperti kesemutan ?
 Ya (+1 poin)
 Tidak (0 poin)

12
2. Apakah nyeri terasa panas/membakar ?
 Ya (+1 poin)
 Tidak (0 poin)
3. Apakah terasa baas/kebal ?
 Ya (+1 poin)
 Tidak (0 poin)
4. Apakah nyeri bertambah hebat saat tersentuh ?
 Ya (+1 poin)
 Tidak (0 poin)
5. Apakah nyeri hanya terasa di persendian/otot/geligi/lainnya ?
 Ya (- 1 poin)
 Tidak (0 poin)

Total Skor:
Skor total minimum : -1
Skor total maksimum : 5
Jika skor anda >2, kemungkinan menderita nyeri neuropatik (Konsensus
Nasional 1: Penatalaksanaan Nyeri Neuropatik 2011)

e. Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms Score (LANSS) (Yudiyanta


& Meliala, 2008)
LANSS terdiri dari 5 item deskripsi sensoris dan 2 item
pemeriksaan disfungsi sensoris. Pada skala nyeri LANSS skor 12 atau
lebih diklasifikasikan sebagai nyeri neuropatik dan skor dibawah 12
diklasifikasikan sebagai nyeri nosiseptik (Bennet, 2001; MartinezLavin
et al., 2003). LANSS sudah dilakukan tes realibilitas di Indonesia dan
dinyatakan reliabel/dapat dipercaya dengan kappa coefficient agreement
adalah 0.76 (Widyadharma dan Yudiyanta, 2008). Skala nyeri LANSS
merupakan alat untuk menilai nyeri neuropatik yang memiliki sensitivitas
85% dan spesifisitas yang cukup tinggi yaitu 80% (Bennet, 2001).

13
2.2.3.Bagan Algoritma Swamedikasi nyeri

2.2.4 Terapi Farmakologi


Tujuan terapi
a. Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri
b. Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri
kronis yang persisten
c. Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri
d. Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi
nyeri
e. Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan
pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari.

Nyeri merupakan suatu gejala yang menunjukkan adanya gangguan-


gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi dan kejang otot. Contoh : nyeri
karena sakit kepala, nyeri haid, nyeri otot, nyeri karena sakit gigi, dan lain-

14
lain. Obat nyeri adalah obat yang mengurangi nyeri tanpa menghilangkan
kesadaran.
Penyebab Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan pada ujung syaraf
karena kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan antara lain :
 Trauma, misalnya karena benda tajam, benda tumpul, bahan kimia,
dan lain-lain.
 Proses infeksi atau peradangan
Hal Yang Dapat Dilakukan
 Tetap aktif fokuskan pada pekerjaan anda ƒ
 Kompres hangat pada nyeri otot ƒ
 Gunakan obat penghilang nyeri ƒ
 Bila nyeri berlanjut hubungi dokter

Golongan obat yang dapat digunakan untuk Terapi Farmakologi dari


Nyeri, diantaranya yaitu obat nonopioid. Obat Nonopioid merupakan analgesik
yang paling efektif dengan efek samping yang paling rendah. Obat-obatan dalam
kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzin siklooksigenase
(COX), COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah
prostaglandin. Mekanisme umum dari analgesic jenis ini adalah mengeblok
pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX (kecuali
paracetamol) pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi
pembentukan mediator nyeri. Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan
COX-2 inhibitor.

Obat-obat nonopioid yaitu:


1. Asam asetilsalisilat (Asetosal, Aspirin, Cafenol, Naspro)
Obat ini mempunyai kemampuan menghambat biosintesis
prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim sikloogsigenase secara
irreversible, pada dosis yang tepat obat ini akan menurunkan pembentukan
prostaglandin maupun tromboksan A2.
Efek samping: iritasi mukosa lambung dengan resiko tukak lambung
dan pendarahan samar. Penyebabnya adalah sifat asam dari asetosal yang
dapat dikurangi melalui kombinasi dengan suatu antasidum (MgO,

15
Alumunium hidroksida, CaCO3) atau digunakan garam kalsiumnya
(carbasalat). Asetosal juga dapat menimbulkan efek spesifik seperti reaksi
alergi kulit dan tinnitus pada dosis lebih tinggi, kejang-kejang bronchi
hebat.
Kontra indikasi : jangan digunakan pada anak-anak dibawah 12 tahun
karena dapat menyebabkan Reye’Syndrome dan pada wanita hamil pada
triwulan ketiga dan sebelum persalinan karena dapat menyebabkan
memperpanjang waktu kelahiran dan meningkatkan resiko pendarahan.
Interaksi: asetosal memperkuat daya kerja anti koagulan, anti diabetic
oral, dan metroteksat. Dapat menurunkan efek dari obat encok probenesid
dan sulfinpirazon, diuretika furosemide serta spironolakton. Kerjanya
diperkuat oleh kodein dan d-propoksifen. Hindari penggunaan bersama
alcohol karena dapat meningkatkan pendarahan (Tjay Hoan,2006 : hal
316).

a. Asetosal (Aspirin)
1. Kegunaan obat: Mengurangi rasa sakit, menurunkan demam,
antiradang
2. Hal yang harus diperhatikan:
 Aturan pemakaian harus tepat, diminum setelah makan atau
bersama makanan untuk mencegah nyeri dan perdarahan
lambung.
 Konsultasikan ke dokter atau Apoteker bagi penderita
gangguan fungsi ginjal atau hati, ibu hamil, ibu menyusui dan
dehidrasi
 Jangan diminum bersama dengan minuman beralkohol karena
dapat meningkatkan risiko perdarahan lambung.
 Konsultasikan ke dokter atau Apoteker bagi penderita yang
menggunakan obat hipoglikemik, metotreksat, urikosurik,
heparin, kumarin, antikoagulan, kortikosteroid, fluprofen,
penisilin dan vitamin C.

16
c. Kontra Indikasi Tidak boleh digunakan pada:
 Penderita alergi termasuk asma
 Tukak lambung (maag) dan sering perdarahan di bawah kulit
 Penderita hemofilia dan trombositopenia

d. Efek samping
 Nyeri lambung, mual, muntah
 Pemakaian dalam waktu lama dapat menimbulkan tukak dan
perdarahan lambung

e. Bentuk Sediaan: Tablet 100 mg Tablet 500 mg

f. Aturan pemakaian
 Dewasa :
500 mg setiap 4 jam (maksimal selama 4 hari)
 Anak :
– 3 tahun : ½ - 1 ½ tablet 100 mg, setiap 4 jam
– 5 tahun : 1 ½ - 2 tablet 100 mg, setiap 4 jam
6 – 8 tahun : ½ - ¾ tablet 500 mg, setiap 4 jam
9 – 11 tahun : ¾ - 1 tablet 500 mg, setiap 4 jam
11 tahun : 1 tablet 500 mg, setiap 4 jam

2. Paracetamol (Acetaminophen)
Obat ini menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer
dan tidak memiliki efek anti inflamasi yang bermakna. Obat ini berguna
untuk nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, myalgia, nyeri
pasca persalinan dan keadaan lain. Peningkatan ringan enzim hati. Pada
dosis besar dapat menimbulkan pusing, mudah terangsang, dan
disorientasi.
Efek samping : yang paling umum adalah gangguan lambung-usus,
kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal dan juga reaksi alergi kulit.
Efek samping ini terutama terjadi pada gangguan lama atau dalam dosis

17
tinggi. Oleh karena itu penggunaan analgetika secara kontinyu tidak
dianjurkan. Wanita hamil dapat menggunakan paracetamol dengan aman,
juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu (Tjay Hoan, 2006: hal
318).
Interaksi : kebanyakan analgetika memperkuat efek antikoagulasinya,
kecuali paracetamol dan glafenin. Kedua obat ini pada dosis biasa dapat
dikombinasi dengan aman untuk waktu maksimal 2 minggu. Pada dosis
tinggi dapat memperkuat efek antikoagulasinya (Tjay Hoan, 2006: hal
314).
Kontra Indikasi : obat ini tidak boleh digunakan pada : penderita
gangguan fungsi hati, penderita yang alergi terhadap obat ini, dan pecandu
alkohol
Bentuk sediaan: tablet 100 mg, tablet 500 mg, dan sirup 120 mg/5ml
Aturan pemakaian :
 Dewasa : 1 tablet (500 mg) 3 – 4 kali sehari, (setiap 4 – 6 jam)
 Anak :
0 – 1 tahun : ½ - 1 sendok teh sirup, 3–4 kali sehari (setiap 4 – 6 jam)
1 – 5 tahun : 1 – 1 ½ sendok teh sirup, 3 – 4 kali sehari (setiap 4 – 6
jam)
6-12 tahun : ½ - 1 tablet (250-500 mg), 3 – 4 kali sehari (setiap 4 – 6
jam).
Hal yang harus diperhatikan ketika mengkonsumsi paracetamol:
 Dosis harus tepat, tidak berlebihan, bila dosis berlebihan dapat
menimbulkan gangguan fungsi hati dan ginjal.
 Sebaiknya diminum setelah makan
 Hindari penggunaan campuran obat demam lain karena dapat
menimbulkan overdosis.
 Hindari penggunaan bersama dengan alkohol karena meningkatkan
risiko gangguan fungsi hati.
 Konsultasikan ke dokter atau Apoteker untuk penderita gagal ginjal.

3. Asam mefenamat

18
Meskipun mempunyai efek analgetika, antiinflamasi, dan antipiretika,
namun daya antiinflamasinya tidak sekuat aspirin. Asam mefenamat
bersifat asam sehingga dapat menyebabkan gangguan lambung. Sebaiknya
jangan diminum pada saat perut kosong atau pada pasien dengan riwayat
gangguan saluran cerna atau lambung.
Efek samping : diare, trombositopenia, anemia hemolitik dan ruam
kulit. Tidak direkomendasikan untuk penggunaan pada anak-anak dan
wanita hamil, sebaiknya tidak digunakan dalam jangka waktu lebih dari
seminggu dan pada pemakaian lama perlu dilakukan pemeriksaan darah.
Kontraindikasi : yang paling umum adalah gangguan lambung-usus,
kerusakan darah, kerusakan hati dan ginal dan uga reaksi alergi kulit. Efek
samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau dalam dosis
tinggi. Oleh karena itu penggunaan analgetika secara kontinyu tidak
dianjurkan.
Interaksi : kebanyakan analgetika memperkuat efek antikoagulasinya,
kecuali paracetamol dan glafenin. Kedua obat ini pada dosis biasa dapat
dikombinasi dengan aman untuk waktu maksimal 2 minggu. Pada dosis
tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia (Iso Farmakoterapi hal
520).
4. Antalgin (metampiron, metamizol, dipiron)
Antalgin merupakan obat lama namun masih cukup banyak dipakai di
Indonesia. Obat ini memiliki efek analgetika, antipiretika, dan
antiinflamasi yang kuat.
Efek samping yang cukup berbahaya yaitu leukopenia dan
agranulositosis yang dapat berakibat kematian (5%) sehingga di Amerika,
Inggris, dan Swedia sudah ditarik dari peredaran. Penelitian perlu
dilakukan untuk mengkaji apakah efek samping tersebut memang tidak
dijumpai pada ras bangsa Asia, termasuk Indonesia.

5. Obat-obat NSAID lain (Na. Diklofenak, Ibuprofen, Piroksikam,


Tenoksikam, Meloksikam, Indometasin)

19
Memiliki efikasi yang relatif sepadan, tetapi memiliki efek samping
bervariasi, utamanya terhadap saluran gastrointestinal. Karena itu obatobat
ini tidak boleh digunakan oleh mereka yang sudah memiliki riwayat
gangguan intestinal. Di bawah ini adalah perbandingan resiko relatif
beberapa NSAID dalam efeknya terhadap lambung. Semakin besar
angkanya menunjukkan semakin besar resikonya terhadap lambung. Tabel
perbandingan resiko relatif beberapa NSAID dalam menyebabkan
gangguan lambung

a. Ibuprofen
1. Kegunaan obat: Menekan rasa nyeri dan radang, misalnya dismenorea
primer (nyeri haid), sakit gigi, sakit kepala, paska operasi, nyeri tulang,
nyeri sendi, pegal linu dan terkilir.
2. Hal yang harus diperhatikan
• Gunakan obat dengan dosis tepat
• Hati-hati untuk penderita gangguan fungsi hati, ginjal, gagal
jantung, asma dan bronkhospasmus atau konsultasikan ke dokter
atau Apoteker
• Hati-hati untuk penderita yang menggunakan obat hipoglisemi,
metotreksat, urikosurik, kumarin, antikoagulan, kortiko-steroid,
penisilin dan vitamin C atau minta petunjuk dokter.
• Jangan minum obat ini bersama dengan alkohol karena
meningkatkan risiko perdarahan saluran cerna.

3. Kontra Indikasi Obat tidak boleh digunakan pada:

20
• Penderita tukak lambung dan duodenum (ulkus peptikum) aktif
• Penderita alergi terhadap asetosal dan ibuprofen
• Penderita polip hidung (pertumbuhan jaringan epitel berbentuk
tonjolan pada hidung)
• Kehamilan tiga bulan terakhir

4. Efek Samping
• Gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, diare, konstipasi
(sembelit/susah buang air besar), nyeri lambung sampai
pendarahan.
• Ruam kulit, bronkhospasmus, trombositopenia
• Penurunan ketajaman penglihatan dan sembuh bila obat dihentikan
• Gangguan fungsi hati • Reaksi alergi dengan atau tanpa syok
anafilaksi
• Anemia kekurangan zat besi

5. Bentuk sediaan
• Tablet 200 mg
• Tablet 400 mg

6. Aturan pemakaian
• Dewasa : 1 tablet 200 mg, 2 – 4 kali sehari,. Diminum setelah
makan
• Anak : 1 – 2 tahun : ¼ tablet 200 mg, 3 – 4 kali sehari 3 – 7 tahun :
½ tablet 500 mg, 3 – 4 kali sehari 8 – 12 tahun : 1 tablet 500 mg, 3
– 4 kali sehari tidak boleh diberikan untuk anak yang beratnya
kurang dari 7 kg.

6. Golongan inhibitor COX-2


Obat golongan inhibitor COX- merupakan alternatif dari obat
golongan NSAID yang dirancang untuk lebih aman terhadap lambung,
karena bersifat menghambat secara lebih spesifik terhadap COX-2, yang

21
merupakan enzim indusibel yang terekspresi tinggi pada kejadian
inflamasi. Obat ini memiliki aktifitas antiinflamasi dan analgetik yang
cukup baik. Namun perlu dipakai dengan hati-hati pada pasien yang
memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler karena meningkatkan resiko
penjedalan darah akibat kurang terhambatnya pembentukan tromboksan,
sehingga dapat memicu serangan stroke iskemia atau iskemia antung.
Contoh obatnya : celecoxib dan refecoxib. Namun refecoxib sudah ditarik
dari peredaran (Ikawati.2011 : hal 45)

2.2.5 Terapi Non Farmakologi


Beberapa terapi non farmakologi yang dapat dilakukan meliputi :
 Stimulasi saraf transkutan listrik (TENS)
Digunakan dalam mengatasi nyeri akut dan kronis (misalnya : bedah,
trauma, rendah kembali, arthritis,neuropati, fibromyalgia, dan oral vacial).
Dengan menggunakan TENS, transkutan (melalui kulit) stimulasi saraf
listrik, fungsi saraf penting dapat diaktifkan secara efektif. Frekuensi
gelombang merangsang tubuh untuk dapat menyembuhkan rasa sakit.
Dengan cara ini, pemicu penyembuhan rasa sakit dapat dilakukan dengan
tepat dan juga meningkatkan aliran darah dalam tubuh.

 Teknik relaksasi
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Hampir semua orang
dengan nyeri kronis mendapatkan manfaat dari metode relaksasi. Periode
relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan
ketegangan otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan
nyeri.

 Stimulasi dan masase kutaneus.


Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering
dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik
menstimulasi reseptor tidak nyeri pada bagian yang sama seperti reseptor

22
nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem kontrol desenden.
Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena menyebabkan
relaksasi otot.

 Terapi es dan panas


Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat
sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan
menghambat proses inflamasi. Penggunaan panas mempunyai keuntungan
meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut
menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Baik terapi es
maupun terapi panas harus digunakan dengan hati-hati dan dipantau
dengan cermat untuk menghindari cedera kulit.

2.3 Pelayanan Swamedikasi Dysmenore Primer


2.3.1 Pengertian Dysmenore Primer
Dismenorea didefinisikan sebagainyeri haid. Dismenorea merupakan
gangguan menstruasi yang umum dialami oleh remaja dengan gejala utama
termasuk nyeri dan mempengaruhi kehidupan dan kinerja sehari-hari. Dismenorea
ditandai dengan nyeri panggul (kram) dimulai sesaat sebelum atau pada awal
menstruasi dan berlangsung 1-2 hari. Sekitar 2-4 hari sebelum menstruasi dimulai,
prostaglandin diproses dengan cepat di awal menstruasi dan bertindak sebagai
kontraktor otot polos yang membantu dalam peluruhan endometrium. Terapi yang
optimal dari gejala ini tergantung pada penyebab yang mendasari. (Ramaihah,
2006)
Dismenore primer adalah nyeri haid yang ditemukan tanpa adanya
kelainan pada alat genital yang nyata. Dismenore primer biasanya terjadi sekitar
6-12 bulan pertama setelah haid pertama saat setelah siklus ovulasi teratur
ditentukan. Rasa nyeri timbul tidak lama sebelum atau bersamaan dengan
permulaan haid dan berlangsung beberapa jam, walaupun pada beberapa kasus
dapat berlangsung beberapa hari. Sifat nyeri biasanya dirasakan pada perut bawah
menyebar ke daerah pinggang danpaha, terkadangdapat disertai rasa mual,
muntah, sakit kepala, diare, dan sebagainya (Prawirohardjo, 2007).

23
Beberapa faktor yang diduga berperan dalam timbulnya dismenore
primer, yaitu (Anonim, 2000):
1. Prostaglandin
Penyelidikan dalam tahun-tahun terakhir menunjukkan bahwa kadar
prostaglandin (PG) penting peranannya sebagai penyebab terjadinya
dismenore. Jeffcoate berpendapat bahwa terjadinya spasme miometrium
dipacu oleh zat dalam darah haid, mirip lemak alamiah yang kemudian
diketahui sebagai prostaglandin, kadar zat ini meningkat pada keadaan
dismenore dan diketemukan dalam otot uterus. Pickles mendapatkan
bahwa kadar prostaglandin E2 dan prostaglandin F2 alfa sangat tinggi
dalam endometrium, miometrium dan darah haid wanita yang menderita
dismenore primer. Prostaglandin menyebabkan peningkatan aktivitas dan
serabut-serabut saraf terminal rangsang nyeri. Kombinasi antara
peningkatan kadar prostaglandin dan peningkatan kepekaan miometrium
menimbulkan tekanan intra uterus sampai 400 mm Hg dan menyebabkan
kontraksi miometrium yang hebat. Atas dasar ini disimpulkan bahwa
prostaglandin yang dihasilkan uterus berperan dalam menimbulkan
hiperaktivitas miometrium. Selanjutnya kontraksi miometrium yang
disebabkan oleh prostaglandin akan mengurangi aliran darah, sehingga
terjadi iskemi sel-sel miometrium yang mengakibatkan timbulnya nyeri
spasmodik, jika prostaglandin dilepaskan dalam jumlah yang berlebihan ke
dalam peredaran darah, maka selain dismenore timbul pula pengaruh
umum lainnya seperti diare, mual dan muntah (Anonim, 2000).

2. Hormon steroid seks


Dismenore primer hanya terjadi pada siklus ovulatorik. Artinya,
dismenore hanya timbul bila uterus berada di bawah pengaruh progesteron.
Sedangkan sintesis prostaglandin berhubungan dengan fungsi ovarium.
Kadar progesteron yang rendah akan menyebabkan terbentuknya
prostaglandin F2 alfa dalam jumlah yang banyak. Kadar progesteron yang
rendah akibat regresi korpus luteum menyebabkan terganggunya stabilitas
membran lisosom dan juga meningkatkan pelepasan enzim fosfolipase-A2

24
yang berperan sebagai katalisator dalam sintesis prostaglandin melalui
perubahan fosfolipid menjadi asam arakidonat. Ylikorkala pada
penelitiannya menemukan bahwa kadar estrandiol lebih tinggi pada wanita
yang menderita dismenore dibandingkan wanita normal. Estrandiol yang
tinggi dalam darah vena uterina dan vena ovarika disertai kadar
prostaglandin F2 alfa yang tinggi dalam endometrium (Anonim, 2000).

3. Sistem saraf
Uterus dipersarafi oleh sistem saraf otonom yang terdiri dari sistem
saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Jeffcoate mengemukakan
bahwa dismenore ditimbulkan oleh ketidakseimbangan pengendalian
sistem saraf otonom terhadap miometrium. Pada keadaan ini terjadi
perangsangan yang berlebihan oleh saraf simpatik sehingga serabut-
serabut sirkuler pada istimus dan ostium uteri internum menjadi hipertonik
(Anonim, 2000).

4. Vasopresin
Akarluad, dkk pada penelitiannya mendapatkan bahwa wanita yang
menderita dismenore primer ternyata memiliki kadar vasopresin yang
sangat tinggi, dan berbeda bermakna dari wanita tanpa dismenore. Ini
menunjukkan bahwa vasopresin dapat merupakan faktor etiologi yang
penting pada dismenore primer. Pemberian vasopresin pada saat haid
menyebabkan meningkatnya kontraksi uterus dan berkurangnya darah
haid. Namun demikian peranan pasti vasopresin dalam mekanisme
dismenore sampai saat ini belum jelas (Anonim, 2000).

5. Psikis
Semua nyeri tergantung pada hubungan susunan saraf pusat,
khususnya talamus dan korteks. Derajat penderitaan yang dialami akibat
nyeri tergantung pada latar belakang penderita. Pada dismenore, faktor
pendidikan dan faktor psikis sangat berpengaruh, nyeri dapat dibangkitkan
atau diperberat oleh keadaan psikis penderita. Seringkali segera setelah

25
perkawinan dismenore hilang, dan jarang menetap setelah melahirkan.
Mungkin keadaan tersebut (perkawinan dan melahirkan) membawa
perubahan fisiologik dan genetalia maupun perubahan psikis.

2.3.3 Terapi Farmakologi


Pengobatan secara farmakologi adalah yang paling dapat diandalkan dan
efektif untuk menghilangkan dismenorea. Pilihan terapi lini pertama bagi wanita
dengan disminore primer adalah NSAID sedangkan sekunder, strategi pengobatan
harus dengan didasarkan pada penyakit yang mendasari, meskipun beberapa
strategi pengbatan yang digunakan untuk desminore primer juga mungkin
memiliki bebrapa manfaat terhadap patologi organik.
Obat-obat NSAID bekerja dengan cara menghambat produksi dan
pelepasan prostaglandin. NSAID yang telah disetujui oleh FDA untuk pengobatan
dismenore adalah diklofenak, ibuprofen,ketoprofen,meclofenamat, asam
mefenamat,naproxen. Sedangkn NSAID dan analgesik lainnya yang telah
digunakan adalah aspirin, acetaminophen,COX-2 inhibitor,narkotika,mentelukast.
Agar dapat mengurangi rasa nyeri bisa diberikan obat anti peradangan
non-steroid (misalnya ibuprofen,naprofen, dan asam mefenamat). Obat NSAID
akan sangat efektif jika muli diminum dua hari sebelum menstruasi dan
dilanjutkan sampai hari 1-2 menstruasi.

Table. Pilihan terapi disminore dengan NSAID (Osayande,2014)

Jenis obat, dosis dan frekuensi pemberian obat untuk terapidismenore

Jenis obat Dosis Frekuensi


Aspirin 650mg 4-6kali/hari

26
Indometazin 25mg 3-4kali/hari
Fenilbutazon 100mg 4kali/hari
Ibuprofen 400-600mg 3kali/hari
Naproksen 250mg 2kali/hari
Asammefenamat 250mg 4kali/hari
Asammeklofenamat 50-100mg 3kali/hari

Pemberian dilakukan 24-72 jam pra haid (Anonim,2000).

2.3.4 Terapi Non Farmakologi


Terapi non farmakologi yang dapat digunakan sebagai alternative pilihan
dalam pengobatan desminore primer adalah:

1. Kompres hangat
Kompres hangat adalah pengompresan yang dilakukan dengan
mempergunakan buil-buil panas yang dibungkus kain yaitu secara
kondisi dimana terjadi pemindahan panas dari buil-buil ke dalam tubuh.
Sehingga akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan akan terjadi
penurunan ketegangan otot sehingga nyeri haid yang dirasakan akan
berkurang atau hilang (Perry&Potter,2005). Menurut Bobak (2005),
kompres hangat berfungsi untuk mengatasi atau mengurangi
nyeri,dimana panas dapat meredakan iskemia dengan menurunkan
kontraksi uterus dan melancarkan pembuluhdarah sehingga dapat
meredakan nyeri dengan mengurangi ketegangan dan meningkatkan
perasaan sejahtera,meningkatkan aliran menstruasi, dan meredakan
vasokongesti pelvis.

2. Olahraga
Olahraga secara teratur dapat menimbulkan aliran darah sirkulasi
darah pada otot rahim menjadi lancar sehingga dapat mengurangi rasa
nyeri saat menstruasi. Pelepasan endofrin alami dapat meningkat dengan
olahraga teraur yang akan meningkatkan peleasan prostaglandin, selain
itu mampu menguatkan kadar kadar beta efedrin yaitu suatu zat kimia
otak yang berfungsi meredakan rasa sakit (Sadoso,1998).

27
3. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol
Dengan menghindari dan menghilangkan kebiasaan tersebut,
diharapkan efek negative dapat dihilangkan sehingga disminore tidak
terjadi ( Medicastore,2004)

4. Pengaturan diet
Cara mengurangi dan mencegah rasa nyeri saat menstruasi,
dianjurkan mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung kalsium
dan makanan segar seperti sayur-sayuran, buah-buahan, ikan, daging dan
makanan yang mengandung vitamin B6 karena berguna untuk
metabolism esterogen (Medicastore,2004).

28
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat oleh individu untuk
merawat diri sendiri dari penyakit atau gejala penyakit. Masyarakat melakukan
swamedikasi biasanya untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang
sering dialami seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, maag, kecacingan,
diare, penyakit kulit, dan lain- lain.

Nyeri bersifat subjektif dan individual. Nyeri adalah suatu mekanisme


pertahanan bagi tubuh yang timbul bila mana jaringan sedang dirusak yang
menyebabkan individu tersebut bereaksi dengan cara memindahkan stimulus
nyeri. Nyeri lokal adalah nyeri yang dirasakan setempat pada bagian dekat
permukaan tubuh seperti kulit, encok pada tulang, sendi, otot (fibrositis, non
articular rheumatism) yang sering ditandai dengan rasa yang timbul secara tiba-
tiba dan kaku pada otot daerah tengkuk, bahu, pinggang dan bokong), memar
karena trauma benda tumpul dan terkilir.

Klasifikasi nyeri berdasarkan beberapa hal yaitu berdasarkan


tempatnya ,berdasarkan sifatnya , berdasarkan ringan beratnya Nyeri,berdasarkan
waktu serangan, dan Dalam praktek klinis sehari-hari .Intensitas dan penentuan
tipe nyeri sangat penting karena menyangkut jenis pengobatan yang sesuai yang
sebaiknya diberikan terutama terapi farmakologis. Beberapa alat ukur yang sudah
umum dipakai untuk mengukur intensitas nyeri uaitu Visual analogue scale
(VAS), Face Rating Scale, dan Numeric Pain Scale (NPS).

Golongan obat yang dapat digunakan untuk terapi Farmakologi dari Nyeri,
diantaranya yaitu obat nonopioid. obat Nonopioid merupakan analgesik yang
paling efektif dengan efek samping yang paling rendah. Misalnya Asam
asetilsalisilat (Asetosal, Aspirin, Cafenol, Naspro) , Paracetamol, Asam
mefenamat, Antalgin (metampiron, metamizol, dipiron) , Obat-obat NSAID lain
(Na. Diklofenak, Ibuprofen, Piroksikam, Tenoksikam, Meloksikam, Indometasin),
dan Golongan inhibitor COX-2. Beberapa terapi non farmakologi yang dapat

29
dilakukan meliputi stimulasi saraf transkutan listrik (TENS), Teknik relaksasi ,
Stimulasi dan masase kutaneus, terapi es dan panas. Dismenorea didefinisikan
sebagainyeri haid.

Dismenorea merupakan gangguan menstruasi yang umum dialami oleh


remaja dengan gejala utama termasuk nyeri dan mempengaruhi kehidupan dan
kinerja sehari-hari. Pilihan terapi lini pertama bagi wanita dengan disminore
primer adalah NSAID. Selain terapi farmakologi, pasien juga dapat diberikan
terapi non farmakologi seperti kompres hangat, olahraga, menghindari konsumsi
rokok dan alcohol serta pengaturan diet.

3.2 Saran
Penulis mengharapkan makalah ini dapat menjadi sumber bacaan
mengenai pelayanan swamedikasi nyeri dan nyeri lokal serta dysmenore primer
dan obat-obat yang dapat digunakan swamedikasi.
.

30
DAFTAR PUSTAKA

Ikawati, Zullies. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta :


Bursa Ilmu.

Kuntono Heru P. 2011. Nyeri secara umum dan osteoarthritis lutut dari aspek
fisioterapi. Surakarta :Muhammadiyah University Press

Lubis, Z. 2003. Status Gizi Ibu Hamil Serta Pengaruhnya Terhadap Bayi Yang
Dilahirkan. Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana S3
IPB November 2003. Bogor.

Osayande,Amimi S., Dan Suarna Mehulic.2014. Diagnosis And Initial


Management Of Dysmenorrhea. American Family Physican. Volume 89,
No.5

Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kandungan Edisi 2 Jilid 4. Jakarta: YBP-SP.

Proverawati, Asfuah S., 2009. Buku Ajar Gizi untuk Kebidanan. Yogyakarta:
Nuha Medika.

Potter PA & Perry AG. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep,
Proses dan Praktik Edisi 4, Jakarta: EGC.

Potter & Perry. 2009. Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta : Salemba


Medika

Ramaiah, S. 2006. Mengatasi Gangguan Menstruasi. Yogyakarta : Diglosia


Medika.

Sukandar dkk. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta : Badan POM RI.

Suwondo bambang, lucas, sudadi. 2017. Buku Ajar Nyeri. Perkumpulan nyeri
Indonesia. Yogyakarta.

31

Anda mungkin juga menyukai