Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Pengantar Studi Hukum Islam

Tentang

PENGERTIAN TABDIL (PENGGANTIAN) TAGHYIR (PERUBAHAN) DAN


TAJDID (PEMBAHARUAN) PERBEDAAN TABDIL TAGHYIR DAN TAJDID

Oleh :

Kelompok 6

1. Muhammad febryoza adha (2213010176)


2. Nopriansyah (2213010190)
3. Shofi rahayu putri (2213010189)
4. Eliza santika putri (2213010194)

Dosen Pengampu:

Prof.Dr. Makmur Syarif, S

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

2022M/1444H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr, Wb

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang maha agung, maha kasih dan
penyayang kepada segenap mahkluknya, sehingga dengan rahmat dan izinnya kami bisa
menyelesaikan makalah ini.

Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW, teladan sepanjang zaman yang telah
membawa umat manusia kepada jalan yang benar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
Menambah Wawasan bagi Pembaca. Selain untuk menyelesaikan makalah ini, tujuan kami
dalam penulisan makalah ini adalah untuk mempersentasikan materi ini dengan jelas dan
dapat dipahami.

Kami menyadari kemampuan kami sebagai mahasiswa yang pengetahuan nya masih
belum seberapa dan masih perlu banyak belajar dalam penulisan makalah ini, bahwa makalah
ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan ada kritik dan
saran yang positif agar makalah ini menjadi baik dan berguna dimasa depan.

Padang, 23 September 2022

Penyusun

Kelompok 13
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………

A. Latar Belakang……………………………………………………………………..

B. Rumusan Masalah………………………………………………………………….

C. Tujuan………………………………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………

A. Pengertian Tabdil (Pengantian) Taghyir (Perubahan) dan Tajdid (Pembaharuan)…

B. Perbedaan Tabdil Taghyir dan Tajdid ……………………………………….……

BAB III PENUTUP…………………………………………………..………………………

A. Kesimpulan…………………………………………………………………………

B. Saran………………………………………………………………………………...

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Secara bahasa tajdid diambil dari kata jadada ,yajadidu ,tajdid, yang berarti
membaharui. Taghyir secara literal etimologis,al taghtyir perubahan atau transformasi
dan ensiklopedi bahasa dinyatakan sebagai perubahan. Tabdil secara etimologi tabdil
merupakan bentuk kata kerja badala yang berarti adanya sesuatu yang menempati
posisi dari sesuatu yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah pembaruan, pembeda
dan pengganti sebuah hukum dari hukum sebelumnya.

B. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian Tabdil Taghyir dan Tajdid?
2) Apa perbedaan Tabdil Taghyir dan Tajdid?

C. Tujuan
1) Untuk mengetahui pengertian Tabdil Taghyir dan Tajdid
2) Untuk mengetahui Perbedaan Tabdil Taghyir dan Tajdid
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian
A. Tabdil
Secara etimologis, kata naskh yang bentuk isim failnya “nasikh” dan isim
maf ’ulnya “mansukh”,mempunyai arti yang beragam, antara lain:
menghilangkan,menghapuskan, membatalkan. Yang berarti membatalkan atau
memindah dari satu wadah ke wadah yang lain. Atau juga berarti penukilan dan
penyalinan, (Quraish Shihab, 1994,p.143) penghapusan/pembatalan (alizalah atau
al-ibthal), pemindahan(al-naql), pengubahan/penggantian(al-ibdal), dan
pengalihan (al-tahwil atau al-intiqal).5 Berkaitan dengan pengertian tersebut,
maka nasikh (isim fa`il) diartikan sesuatu yang membatalkan,
menghapus,memindahkan, dan memalingkan. Sedangkan mansukh (isim maful)
adalah sesuatu yang dibatalkan,dihapus, dipindahkan, diganti, dan dipalingkan.
Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin dalam
mendefinisikan nasakh secara terminologis. Perbedaan pendapat tersebut
bersumber pada banyaknya pengertian nasakh secara etimologi sebagaimana
dijelaskan di atas. Cakupan makna yang ditetapkan ulama mutaqoddimin di
antaranya:
1) Pembatalan hukum yang ditetapkan sebelumnya dengan hukum yang
ditetapkan kemudian.
2) Pengecualian/pengkhususan hokum bersifat `am/umum oleh hukum yang
lebih khusus yang datang setelahnya.
3) Bayan atau penjelasan yang datang kemudian terhadap hokum yang bersifat
samar.
4) Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat (Moh. Nor
Ichwan, p.108)

Di samping itu ada yang berpendapat bahwa istilah tersebut berarti


pembatalan ketetapan hokum yang ditetapkan pada suatu kondisi tertentu oleh
ketetapan lain yang berbeda akibat munculnya kondisi lain. Misalnya perintah
agar kaum muslimin pada periode Mekkah bersabar karena lemah telah dinasakh
oleh adanya perintah berperang pada periode Madinah karena kondisi mereka
sudah kuat. Bahkan ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang
berlaku pada masa sebelum Islam termasuk dalam pengertian nasakh (Dewan
Redaksi Enskopedi Islam, 1997,p.16) Sementara menurut ulama mutaakhirin,
nasakh adalah dalil yang datang kemudian, berfungsi untuk menggugurkan dan
menghilangkan hukum yang pertama (Quraish Shihab, 2004, p.143) Dengan
demikian ulama mutaakhirin mempersempit pengertian yang luas itu. Menurut
mereka, nasakh adalah ketentuan hukum yang dating kemudian untuk
membatalkan masa berlakunya hukum terdahulu. Artinya ketetapan hukum yang
terdahulu tidak berlaku lagi dengan adanya ketetapan hukum yang baru (Dewan
Redaksi Enskopedi Islam, p.16) Atas dasar itu, dalil yang datang kemudian
disebut nasakh (yang menghapus). Sedangkan hukum yang pertama disebut
mansukh (yang terhapus). Sementara itu, penghapusan hukumnya disebut nasakh
(Kabar Mansykur, 2002, p. 135).1

B. Taghyir
Secara etimologis, al-taghyîr (perubahan atau transformasi) dalam banyak
kamus dan ensiklopedi bahasa dinyatakan sebagai perubahan (altahwîl),
penggantian (al-tabdîl), dan transformasi dari suatu keadaan menuju keadaan lain
(al-intiqaâl min hâlah ilâ hâlah ukhrâ).2
Sedangkan secara terminologis, altaghyîr berarti terjadinya tranformasi
secara menyeluruh dalam aspek-aspek pemahaman, metode, dan pola perilaku
yang mengakibatkan terjadinya keadaan lain atau hasil akhir yang berbeda (ihdâts
inqilâb syâmil fî almafâhîm wa al-asâlîb wa al-sulûk li tahqîq natâ‘ij mughâyirah),
yang secara general terdiri dari dua pola tranformasi, yaitu transformasi positif-
konstruktif (altaghyîr al-îjâbî/al-bannâ‘) dan transformasi negatif (al-taghyîr
alsalbî). Sementara itu dalam aplikasi penggunaannya, term al-taghyîr paling
sedikit memiliki dua pengertian yaitu:

1
Muhammad Husni, Teori Nasakh Mansukh Dalam Penetapan Hukum Syriat Islam, Vol. 4, Jurnal Pendidikan
Islam, 2018, hal. 301.
2
Rahf Muhammad Hasan Hunaidaq. 2016. “Al-Sunan Al-Ilâhiyyah fî Al-Zhâlimîn: Dirâsah fî Dhau„ Al-‟Aqîdah
Al-Islâmiyyah”. Tesis. Master of Islamic Belief and Contemporary Doctrines Faculty of Theology Research and
Postgraduate Affairs The Islamic University Gaza. hal. 20.
Pertama, berarti transformasi bentuk sesuatu namun tidak merubah
substansinya (taghyîr shûrah al-syai‘ dûna dzâtihi), seperti perubahan bentuk
rumah namun tidak merubah substansinya sebagai sebuah tempat tinggal.
Kedua, berarti transformasi berupa penggantian sesuatu dengan yang lainnya
(tabdîlihi bi ghairihi), seperti mengganti pembantu atau kendaraan dengan orang
atau model yang lainnya. Al-Taghyîr yang dimaksud dalam perspektif Islam
adalah bahwa Allah S.W.T. tidak akan mentransformasi suatu keadaan sosial
berupa kenikmatan yang telah dianugerahkan kepada seseorang dan juga kepada
suatu kaum atau masyarakat kecuali karena ada dan telah terjadinya transformasi
dosa yang masif dilakukan.
Dalam hal ini, altaghyîr adalah manifestasi sosial-sinergis antara amal dan
balasan (atau aksireaksi) dalam realitas kehidupan manusia. Transformasi ini
merupakan sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan sosial sesuai dengan
ketetapan takdirnya.3 Transformasi tersebut antara lain berupa perubahan
kenikmatan, kesehatan, dan keamanan yang secara diametral sebanding dengan
ditinggalkannya amal shalih dan akhlak mulia karena melaksanakan perilaku yang
sebaliknya (yaitu amal buruk dan akhlak keji). Demikian pula sebaliknya, adzab
dan bencana tidak akan dirubah kecuali dengan melakukan transformasi dengan
meninggalkan kemaksiatan untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Allah
S.W.T. Dari definisi dan realitas empirisnya, al-taghyîr merupakan sebuah
keniscayaan dari Allah yang mutlak terjadi dalam realitas kehidupan (sunnah
Allah al-kauniyyah) sosial masyarakat sebagai sebuah transformasi atau
perubahan yang sesuai dengan ketentuan-Nya (takdir), baik maupun buruk.
Perubahan idealistik yang dikehendaki dari sebuah transformasi sosial adalah
tranformasi dari keadaan negatif menuju kepada keadaan atau halhal yang positif-
konstruktif. Walaupun demikian, yang terjadi dapat pula hal sebaliknya, dari
pelbagai realitas yang positif-idealistik bertransformasi menjadi hal-hal yang
negatif-konstruktif, sesuai dengan amal perbuatan atau proses usaha yang
berbanding lurus dengan balasan atau hasil dari upaya tersebut (atau berdasarkan
relasi aksi-reaksi).

C. Tajdid
3
Muhammad, Atrîs. 2006. Al-Mu’jam Al- Wâfî li Kalimât Al-Qur‘ân. Kairo: Maktabah Al- Âdâb. hlm. 802.
Secara bahasa kata “tajdid” diambil dari kata “Jaddada: Yujaddidu, Tajdid”,
yang berarti memperbaharui. Pada perkembangan selanjutnya para ilmuwan
kontemporer menerjemahkannya dengan reaktualisasi, modernisasi, dan lain–lain.
Dalam mengistilahi kata tajdid, ulama klasik dan kontemporer mempunyai fisi
masing–masing. al-Manawi menyatakan bahwa tajdid berarti
“menginterpretasikan”. Dalam arti dapat menjelaskan mana al-sunah dan mana al-
bidah dan menolong para ilmuwan, serta menghancurkan ahli bid’ah dan
merendahkannya.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution (Harun Nasution, 1994:12) mengatakan
bahwa "pembaruan" merupakan terjemahan dari bahasa Arab tajdid merupakan
terjemahan dari kata "modernisme. Karena modernisme merupakan terminologi
Barat, maka kata ini dipandang mempunyai konotasi negatif (Harun Nasution,
1994: 12). Sehingga di kalangan umat Islam Indonesia, yang disebu t pembaru
adalah para ulama atau cendikiawan yang mengeluarkan ide-ide dan pikiran yang
kontroversi dengan tradisi yang sudah mapan. Kata tajdid adalah istilah agama
Islam yang berasal dari kata kerja mudhaxi yaitu yujaddidu ' yang terdapat dalam
Hadis Nabi Riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah:

Artinya : “Sesungguhnya Allah senantiasa akan membangkitkan untuk umat ini


pada setiap akhir seratus tahu (satu abad), orang yang akan
memperbarui dirinya”

Dalam kamus-kamus Arab kata tajdid mengandung beberapa makna yang


antara satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Makna-makna kata tajdid itu
adalah (Busthami Muhammad Said, 1984:3):
a. Suatu yang akan ditajdid itu sudah ada dasarnya dari semula.
b. Suatu yang telah ada dasarnya itu telah melalui masa lama sehingga mungkin
ada yang telah usang dimakan masa atau tidak lagi sesuai dengan dasarnya
semula.
c. Tajdid berarti mengembalikan yang telah usang atau yang telah berubah dari
posisinya semula sesuai dengan dasar-dasarnya Disamping itu pengertian
tajdid dilengkapi pula oleh sebuah hadis riwayat Ahmad bin Hanbal dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
"Perbaharuilah iman kaLian ? ". Lalu sahabat bertan ya, "Hai Rasulullah
bagaimana cara kami memperbarui iman ?" Rasulullah memberi petunjuk
dengan mengatakan, "Perbanyaklah mengucapkan kalimat tauhid La ilaha
iLla Allah".
Hadis tersebut disamping menjelaskan bahwa memperbarui iman dapat
dengan cara mengulang-ulang kalimat tauhid juga memperbarui iman dengan
menghidupkan atau mengamalkan isi dari kalimat tauhid itu kedalam kehidupan.
Dengan demikian tajdid di samping berarti mengembalikan (I'adah) ajaran agama
kepada keadaan semula sesuai dengan sumber-sumber utama yaitu Al-Quran dan
Sunnah Rasul.
2. Perbedaan
Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa pengertian
“tajdid” berlainan sama sekali dengan pengertian “tabdil” (menukar) hukum Islam
dengan hukum Barat. Peristiwa menukar hukum Islam dengan hukum Barat sama
sekali bertentangan dengan pengertian tajdid dalam Hadis Rasulullah saw. di atas.
Apa yang terjadi di dunia Islam semenjak memasuki abad modern tidak termasuk
dalam arti tajdid dalam Hadis Rasulullah saw., melainkan berupa: “taghyir”
(mengubah) ketentuan-ketentuan yang ditegaskan oleh Allah, dan “tabdil” (menukar)
serta “taghrib (pembaratan) hukum di dunia Islam

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa pengertian
“tajdid” berlainan sama sekali dengan pengertian “tabdil” (menukar) hukum Islam
dengan hukum Barat. Peristiwa menukar hukum Islam dengan hukum Barat sama
sekali bertentangan dengan pengertian tajdid dalam Hadis Rasulullah saw. di atas.
Apa yang terjadi di dunia Islam semenjak memasuki abad modern tidak termasuk
dalam arti tajdid dalam Hadis Rasulullah saw., melainkan berupa: “taghyir”
(mengubah) ketentuan-ketentuan yang ditegaskan oleh Allah, dan “tabdil” (menukar)
serta “taghrib (pembaratan) hukum di dunia Islam.

B. Saran
Penulis berharap makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu petunjuk
yang dapat membantu serta menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca. Tentunya
masih banyak kekurangan dari makalah ini, sehingga untuk memahami hendaknya
tidak bertumpu pada satu sumber saja. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
penerapan materi sesuai dengan prinsip ketetapan Islam tanpa merugikan pihak
lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Shihab, Quraish. 1994. Membumikan al-Qur’an. Bandung : Mizan


Shihab, Quraish. 2004. Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
Bandung : Mizan

Hunaidaq, Rahf Muhammad Hasan. 2016. “Al-Sunan Al-Ilâhiyyah fî Al-Zhâlimîn: Dirâsah fî


Dhau„ Al-‟Aqîdah Al-Islâmiyyah”. Tesis. Master of Islamic Belief and Contemporary
Doctrines Faculty of Theology Research and Postgraduate Affairs The Islamic
University Gaza. hlm. 20.

Atrîs, Muhammad 2006. Al-Mu’jam Al- Wâfî li Kalimât Al-Qur‘ân. Kairo: Maktabah Al-
Âdâb.

Nasution, Harun. 1994. Pembaharuan Dalam Islam sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang.

Anda mungkin juga menyukai