Damsar - Pengantar Sosiologi Pendidikan-163-188
Damsar - Pengantar Sosiologi Pendidikan-163-188
6 GURU
150
BAB 6 Guru
dan mendidik anak, dalam hal ini anak secara sosial pedagogis, yaitu
guru sebagai ibu sedangkan murid sebagai anak, dalam hal ini anak
didik. Kegiatan sebagai guru, dipahami secara emik oleh masyarakat,
bukan merupakan pekerjaan yang berat dan bertentangan dengan
pekerjaan yang dilakukan di rumahtangga; sebaliknya ia dilihat se-
bagai kelanjutan dari pekerjaan rumahtangga seperti tugas pengasu-
han dan pendidikan anak. Karena ia dipandang sebagai “pekerjaan
lanjutan” maka bisa dipahami mengapa banyak perempuan masuk ke
sekolah atau perguruan tinggi yang berdimensi atau berkaitan den-
gan kependidikan, di mana pekerjaan utama setelah selesai mengi-
kuti pendidikan adalah guru.
Ketika guru dipandang sebagai “pekerjaan lanjutan” dari peker-
jaan domestik, maka pekerjaan tersebut dilakukan seperti menger-
jakan pekerjaan domestik. Seperti diketahui bahwa pekerjaan
rumahtangga dilakukan dan dirasakan oleh perempuan sebagai ses-
uatu yang biasa, monoton, tidaik menantang, dan kurang dinamis.
Cara memandang pekerjaan domestik seperti itu juga mempenga-
ruhi cara pandang mereka tentang pekerjaan guru sebagai “pekerjaan
lanjutan” dari pekerjaan domestik, sehingga ia dilakukan seadanya,
monoton, cara dan strategi pembelajaran tidak berbeda jauh dari ta-
hun awal mengajar sampai saat pensiun menjadi guru. Untuk mena-
jamkan pemahaman tentang penomena ini, mungkin ada baiknya
kita ambil contoh lain. Misalnya dalam masyarakat Minangkabau tra-
disional mempersiapkan masakan dalam rumahtangga merupakan
tugas perempuan, khususnya istri. Tugas tersebut dilakukan setiap
hari dan terus menerus oleh istri, sehingga memasak dirasakan suatu
pekerjaan yang monoton dan tidak jarang membosankan. Berbeda
jika seorang laki-laki yang bekerja sebagai “tukang masak”, dikenal
sebagai koki dalam konsep modern, pada suatu rumah makan atau
http://facebook.com/indonesiapustaka
151
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
152
BAB 6 Guru
153
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
154
BAB 6 Guru
e. Standardisasi
Keahlian dan kompetensi memerlukan standar. Melalui standar,
setiap profesional bisa diuji atau dinilai keahlian dan kompetensi
yang dimilikinya. Pengujian dan penilaian terhadap keahlian dan
kompetensi yang dimiliki dilakukan secara periodik dan berkelanju-
tan, sehingga keahlian dan kompetensi dari suatu profesi bisa ter-
standar. Dalam profesi guru, standardisasi dilakukan melalui serti-
ikasi guru. Konsekuensi logis adanya standardisasi keahlian dan
kompetensi guru adalah adanya standardisasi pendapatan dari guru.
Adalah suatu hal yang tidak mungkin diharapkan jika seorang guru
diminta untuk berkualitas dan berkompetensi, sementara pendapa-
tan yang diterimanya tidak bisa memenuhi hidup layak, sebagaimana
http://facebook.com/indonesiapustaka
yang diterima oleh profesi lain. Apa yang dilakukan terhadap guru
selama ini dengan “meninabobokkan” para guru sebagai pahlawan
tanpa jasa, sebenarnya, merupakan pengalihan kesadaran objektif
guru untuk memperoleh pendapatan layak sebagai manusia yang
bermartabat secara moral dan material menjadi seorang “malaikat”
155
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
156
BAB 6 Guru
B. PERANAN GURU
Kalau ditelusuri konsep peranan secara lebih detil, maka kita
http://facebook.com/indonesiapustaka
157
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
158
BAB 6 Guru
suatu kebenaran, dari sisi manapun, baik dalam cara maupun sub-
stansi. Pengalaman yang dimiliki oleh para orangtua yang memiliki
anak yang sedang mengikuti taman kanak-kanak atau sekolah dasar
menunjukkan bahwa anak-anak mereka lebih taat dan patuh terha-
dap gurunya ketimbang apa yang dikatakan, disuruh atau disarankan
159
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
oleh mereka sebagai orangtua. Banyak kisah orang tua tentang hal
ini. Untuk keperluan pemahaman, perlu diceritakan kisah dua orang
tua tentang ketaatan anaknya terhadap guru.
Kisah pertama tentang ketaatan anak terhadap guru berasal
dari keluarga Ihsan, bukan nama sebenarnya. Ihsan bekerja sebagai
seorang dosen pada salah satu perguruan tinggi negeri di Sumatera
Barat. Suatu ketika anak perempuan bungsunya menangis dan tidak
mau pergi ke sekolah. Anaknya sedang duduk dibangku kelas satu
sekolah dasar. Setelah ditanya kenapa sang anak tidak mau pergi
sekolah, ternyata dia lupa membelikan topi dan kacu pramuka. Pada
hal seminggu sebelumnya sang anak mengatakan kepadanya bahwa
“seragam pramuka harus dilengkapi dengan kacu dan topi pramuka,
begitu kata guru”. Setelah dijanjikan akan dibelikan di sekolah sesa-
mpai mereka di sana, maka sang anak mau pergi bersama sang ayah
ke sekolah.
Kisah ini berasal dari pengalaman seorang ibu muda, sebut saja
namanya ibu Alia, yang anaknya duduk di bangku kelas satu sekolah
dasar. Sebagai seorang yang taat beragama, dia senantiasa mengin-
gatkan anaknya untuk setiap waktu sholat masuk agar melaksanakan
sholat. Namanya anak kecil, selalu saja ada alasan yang diberikan
sang anak untuk menunda waktu sholat sehingga sholat terlambat
bahka dua waktu sholat dikumpul dikerjakan pada waktu yang ber-
samaan, seperti sholat Isya dilaksanakan pada waktu sholat subuh,
misalnya. Keadaan ini merisaukan bagi ibu Alia. Karena dari penga-
malan pribadinya, dia merasakan sholat dikerjakan pada waktunya
merupakan sarana internalisasi nilai disiplin dan menghargai waktu,
yang dipandang ibu Alia sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam
kehidupan dunia dan akhirat. Keriasauan tersebut tidak berlangsung
lama. Ketika ibu Alia menemani anaknya ke sekolah untuk menerima
http://facebook.com/indonesiapustaka
160
BAB 6 Guru
Alia akan mengatakan pada anaknya: “nak, kata ibu guru kan: sholat
tidak boleh libur, walau sekolah libur!”. Mendengar nasehat gurunya
jadi rujukan, sang anak segera melaksanakan apa yang disuruh oleh
sang ibu. Kisah-kisah seperti yang dikemukakan barusan bisa diper-
panjang dengan kisah Anda sendiri, kerabat, keluarga Anda sendiri.
Dari sudut pandang seperti itulah guru merupakan teladan bagi
para muridnya. Jika guru tidak mampu memainkan peran dan me-
menuhi fungsi seperti yang diharapkan oleh masyarakat maka apa
yang diingatkan selalu melalui kearifan pepatah adat, “guru kencing
berdiri, murid kencing berlari” akan bersua.
161
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
lah yang lebih dekat dari rumah, ibu Rahma meninggalkan sekolah
tersebut dengan kenangan manis bersama perubahan perilaku dan
sikap murid dari yang dilabelkan oleh guru senior sebagai anggota
masyarakat yang sering menggunakan kata-kata kotor menjadi mu-
rid yang menggunakan kata-kata yang sopan dan santun.
162
BAB 6 Guru
Kenapa ibu Rahma tidak mengambil jalur yang sama seperti yang
dilakukan seniornya? Menurut ibu Rahma, anak-anak itu bagaikan
kertas putih bersih, bagaimana sang anak tergantung pada para guru
dan orangtua yang menggambarkannya. Ibu Rahma menggambarkan
para murid dengan lukisan yang indah, sehinggah jadilah ia sebagai
lukisan yang indah di kanvas kehidupan bernama sekolah. Ini salah
satu cara pandang bagaimana teori label itu berfungsi.
Kisah ibu Rahma di Padang juga terbuka kemungkinan terjadi
di berbagai lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kisah ibu Rahma menunjukkan pada kita guru memiliki fungsi seb-
agai pelabel bagi masa depan anak-anak kita. Jika seorang guru salah
menggunakan label, maka konsekuensinya akan berdampak pada
masa depan kehidupan seorang peserta didik. Oleh sebab itu, jika
dokter dimungkinkan melakukan suatu “mal praktek”, maka guru
juga dimungkinkan melakukan hal yang sama seperti dokter, yaitu
“mal praktek” dalam dunia pendidikan.
atas ketimbang apa yang dimiliki oleh kelas menengah bawah. Apa
yang dianggap bersih menurut guru, misalnya, adalah konsep ber-
sih menurut pandangan kelas menengah atas, bukan kelas menengah
bawah. Dalam konteks inilah maka guru dipandang sebagai “penyam-
bung lidah kelas menengah atas”.
163
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
164
BAB 6 Guru
alat yang sama untuk meraih harapan tersebut seperti yang dimiliki
oleh kelas menengah atas. Dalam kondisi seperti ini, merujuk pada
pemikiran Robert K. Merton, para anggota kelas bawah mengalami
anomi, bisa bertindak atau berperilaku anomik, karena antara hara-
pan dan alat yang mereka miliki tidak sesuai, cocok atau “nyambung”.
Bagaimana memahami pikiran Merton tersebut? Untuk itu ada
baiknya dipahami melalui contoh. Ketika kelas bawah menerima
nilai dan norma kelas menengah atas tentang kecantikan dan keg-
agahan sebagai bahagian dari nilai dan norma yang mereka miliki,
misalnya, maka untuk merealisasikannya diperlukan alat, misalkan
kemampuan untuk membeli peralatan kecantikan dan kegagahan
seperti parfum merek tertentu, busana dengan label tertentu, mobil
dengan jenis buatan tertentu dan seterusnya. Bagi kelas menengah
atas, untuk merealisasikan nilai dan norma tentang kecantikan dan
kegagahan tersebut, mereka memiliki alatnya yaitu kemampuan i-
nansial yang mereka miliki. Bagaimana dengan kelas bawah? Sesuai
dengan kelasnya, mereka tidak punya alat. Oleh sebab itu, mereka
dapat merealisasikan nilai dan norma tersebut dengan melakukan
suatu perilaku menyimpang, misalnya menjadi pelacur atau menjual
barang haram seperti narkoba. Keadaan seperti ini disebut sebagai
anomi.
C. SERTIFIKASI GURU
Sertiikasi guru, seperti telah disinggung pada bagian sebelum-
nya, merupakan salah satu cara untuk melakukan standardisasi terh-
adap keahlian dan kompetensi guru. Melalui sertiikasi, aspek proses
dalam pendidikan dan pembelajaran bisa terstandardisasi. Karena
setiap guru profesional bisa mengolah aspek input dalam pendidi-
http://facebook.com/indonesiapustaka
1. Kompetensi Guru
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18
165
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
a. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik mencakup kemampuan yang berkenaan
dengan pemahaman peserta didik dan pengelola pembelajaran yang
mendidik dan dialogis. Secara substantif kompetensi ini mengan-
dung kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan
dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengem-
bangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimilikinya. Secara rinci masing-masing elemen kompetensi
http://facebook.com/indonesiapustaka
166
BAB 6 Guru
b. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional menyangkut kemampuan yang ber-
hubungan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi
secara luas dan mendalam yang menliputi penguasaan substansi
isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keil-
muan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah
wawasan keilmuan sebagai guru. Kompetensi ini meliputi beberapa
subkompetensi dengan indikator esensial berupa:
1. Menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi.
Subkompetensi ini meliputi beberapa indikator esensial berupa
memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah, me-
mahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi
http://facebook.com/indonesiapustaka
167
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
c. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan pendidik sebagai ba-
gian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang-
tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini meli-
puti subkompetensi dengan indikator efekif berupa:
1. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesa-
ma pendidik.
2. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesa-
ma pendidik dan tenaga kependidikan.
3. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang
tua/wali murid peserta didik dan masyarakat sekitar.
d. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan personal
yang mencerminkan kepribadian mantap, stabil, dewasa, arif dan
berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mu-
lia. Selanjutnya setiap elemen tersebut dapat diuraikan lagi menjadi
subkompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:
1. Memiliki kepribadian mantap dan stabil. Subkompetensi ini
mengandung indikator esensial berupa bertindak sesuai dengan
norma hukum, bertindak sesuai dengan norma sosial, bangga
sebagai pendidik, dan mempunyai konsistensi dalam bertindak
sesuai dengan norma.
2. Memiliki kepribadian yang dewasa. Subkompetensi ini mempu-
nyai indikator esensial berupa menampilkan kemandirian dalam
bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai pen-
didik.
http://facebook.com/indonesiapustaka
168
BAB 6 Guru
2. Permasalahan Sertifikasi
Untuk memenuhi persyaratan sertiikasi maka seorang guru ha-
rus mencapai skor objektif minimal sebesar 850 poin atau 57 % dari
skor maksimal, yaitu 1500 poin. Jika skor objektif minimal tersebut
telah dicapai maka seorang guru bisa memperoleh predikat profe-
sional. Dalam kenyataan persyaratan minimal skor objektif minimal
sebesar 850 poin tersebut tidak mudah dicapai. Itu ditunjukkan oleh
ketidaklulusan yang tidak sedikit dari peserta sertiikasi. Memang
dari jumlah peserta sertiikasi guru yang tidak lulus tersebut bukan
semata karena faktor internal guru itu sendiri, tetapi juga bisa dikare-
http://facebook.com/indonesiapustaka
169
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
a. Faktor Guru
Keempat kompetensi di atas, yaitu kompetensi pedagogik, kom-
petensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian
tidak bisa dimiliki oleh seorang guru secara instan. Untuk memiliki
keempat kompetensi seorang guru harus melalui berbagai proses, se-
bab memang guru tidak dipersiapkan, baik secara individual maupun
secara institusional, untuk menjadi guru yang profesional setelah dia
menyelesaikan studi di bangku kuliah dan memasuki kehidupan se-
bagai guru.
Kalau dipahami dari sisi faktor guru terdapat beberapa perma-
salahan yang ditemukan dalam kaitannya dengan sertiikasi guru,
yaitu:
1. Kualiikasi Strata 1 (S1) dan Diploma IV (D-IV). Persyaratan
untuk mengikuti sertiikasi guru ditetapkan menurut aturan
perundangan di Indonesia adalah berkualiikasi S1 dan D-IV.
Aturan perundangan sebelumnya menetapkan kualiikasi yang
lebih rendah (DII dan DIII) untuk menempati suatu jabatan guru
di sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Persoalan yang dihadapi
guru, terutama oleh guru senior, adalah pengalaman selama ini
yang dimilikinya, katakanlah telah mengajar 30 tahun lebih, be-
lum cukup dipandang kompeten secara prosedural formal, kare-
na dia belum S1 atau D-IV. Sehingga dia tidak dapat merasakan
nikmatnya menjadi seorang guru yang berpredikat profesional,
karena telah lulus sertiikasi. Jika dia harus mengikuti S1 atau
D-IV, ketika dia menamatkan pendidikannya tersebut, maka dia
juga harus pensiun karena usianya mewajibkan untuk pensiun.
Dari sudut ini, perlakuan terhadap guru senor dipandang tidak
adil, tidak ada penghargaan terhadap apa yang mereka telah laku-
kan selama ini. Bisa salah salah satu dari guru yang diperlaku-
http://facebook.com/indonesiapustaka
kan seperti itu adalah guru dari para pembuat kebijakan terse-
but. Oleh karena adanya kritik terhadap persyaratan sertiikasi
seperti itu, maka suara yang kritis tersebut dijadikan masukan
untuk merubah kebijakan yang ada sehingga terbitlah Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pe-
170
BAB 6 Guru
171
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
capai.
172
BAB 6 Guru
c. Faktor Asesor
Asesor dapat juga menjadi persoalan dalam penyelenggaraan
sertiikasi dosen. Persoalan yang ditemukan dengan asesor berkait
173
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
174