Anda di halaman 1dari 26

bab

6 GURU

A. MENGAJAR SEBAGAI PEKERJAAN


ATAU PROFESI?
Bagaimana para guru memandang proses dan kegiatan belajar
mengajar yang mereka lakukan sendiri? Paling tidak terdapat dua
jawaban terhadap pertanyaan tersebut, yaitu mengajar sebagai pe-
kerjaan dan mengajar sebagai profesi. Untuk memahami ini perlu
kita kupas kedua jawaban tersebut.

1. Mengajar Sebagai Pekerjaan


Pekerjaan merupakan suatu rangkaian aktivitas untuk mem-
peroleh pendapatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.
Oleh karena pekerjaan dipandang sebagai cara pemenuhan kebutu-
han hidup, ketika kebutuhan hidup telah terpenuhi, maka pekerjaan
tersebut dilakukan seadanya sepanjang apa yang dilakukan tidak
mempengaruhi perolehan pendapatan yang pada gilirannya mem-
pengaruhi pemenuhan kebutuhan hidup. Mengapa bisa seperti itu?
Apabila suatu rangkaian aktivitas untuk memperoleh pendapatan
http://facebook.com/indonesiapustaka

bagi pemenuhan kebutuhan hidup dipandang berjalan lancar tanpa


hambatan sehingga hidup sesuai seperti yang diharapkan, maka ti-
dak ada alasan atau kekuatan internal untuk merobah visi, cara, rit-
ma, sikap, atau perilaku terhadap pekerjaan tersebut.
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Cara pandang seperti di atas kelihatannya sangat dominan di ka-


langan para guru, terutama para guru perempuan sebelum adanya
sertiikasi guru, di masa lampau tentang pekerjaan. Kenapa demiki-
an? Dalam masyarakat Indonesia pada masa lampau, pembagian ker-
ja antara perempuan dan laki-laki dikonstruksi sedemikian rupa, di
mana perempuan bekerja di ruang domestik (rumah dan lingkungan-
nya) dan laki-laki ditempatkan di ruang publik (di luar rumah seperti
kantor dan pabrik). Konstruksi sosial budaya seperti ini dipandang
sebagai sesuatu yang seharusnya dan semestinya demikian, yang ter-
kristalisasi sebagai tradisi, adat atau kebiasaan. Jika ada perempuan
yang menyimpang dari tradisi tersebut, maka akan ada resistensi
sosial dan budaya terhadap perilaku atau tindakan yang dipandang
menyimpang oleh komunitas, mungkin berupa penolaksn komunitas
terhadap perempuan tersebut untuk dijadikan sebagai menantu atau
ipar dari suatu keluarga besar. Ketika perempuan telah mulai ban-
yak melakukan perilaku atau tindakan yang dipandang penyimpang
tersebut, yaitu bekerja di luar rumah, maka komunitas di(ter)paksa
secara perlahan untuk menafsirkan ulang mana tindakan menyim-
pang atau tidak menyimpang dalam kaitannya dengan pekerjaan.
Penafsiran ulang pekerjaan yang dipandang menyimpang atau
tidak, pada suatu titik menghasilkan kompromi, yaitu mensinergi-
kan pekerjaan domestik dan pekerjaan publik. Apa pekerjaan yang
dipandang sinergis antara pekerjaan domestik dan pekerjaan publik
menurut masyarakat? Salah satu pekerjaan yang dilihat sinergis an-
tara pekerjaan domestik dan pekerjaan publik adalah pekerjaan seb-
agai guru. Mengapa demikian? Pekerjaan guru, dilihat dari perspe-
ktif emik, merupakan “pekerjaan lanjutan” dari pekerjaan domestik,
yang dilakukan dalam rumahtangga. Aktiitas-aktiitas seperti men-
gasuh, membesarkan dan mendidik anak di dalam keluarga dapat
http://facebook.com/indonesiapustaka

diperbesar cakupan, jangkauan, dan kuantitasnya dengan memper-


luas ruang dan memperpanjang waktu melalui memasuki pekerjaan
sebagai guru.
Bekerja sebagai guru bagi seorang perempuan akan memperluas
ruang dan memperpanjang waktu dalam mengasuh, membesarkan

150
BAB 6 Guru

dan mendidik anak, dalam hal ini anak secara sosial pedagogis, yaitu
guru sebagai ibu sedangkan murid sebagai anak, dalam hal ini anak
didik. Kegiatan sebagai guru, dipahami secara emik oleh masyarakat,
bukan merupakan pekerjaan yang berat dan bertentangan dengan
pekerjaan yang dilakukan di rumahtangga; sebaliknya ia dilihat se-
bagai kelanjutan dari pekerjaan rumahtangga seperti tugas pengasu-
han dan pendidikan anak. Karena ia dipandang sebagai “pekerjaan
lanjutan” maka bisa dipahami mengapa banyak perempuan masuk ke
sekolah atau perguruan tinggi yang berdimensi atau berkaitan den-
gan kependidikan, di mana pekerjaan utama setelah selesai mengi-
kuti pendidikan adalah guru.
Ketika guru dipandang sebagai “pekerjaan lanjutan” dari peker-
jaan domestik, maka pekerjaan tersebut dilakukan seperti menger-
jakan pekerjaan domestik. Seperti diketahui bahwa pekerjaan
rumahtangga dilakukan dan dirasakan oleh perempuan sebagai ses-
uatu yang biasa, monoton, tidaik menantang, dan kurang dinamis.
Cara memandang pekerjaan domestik seperti itu juga mempenga-
ruhi cara pandang mereka tentang pekerjaan guru sebagai “pekerjaan
lanjutan” dari pekerjaan domestik, sehingga ia dilakukan seadanya,
monoton, cara dan strategi pembelajaran tidak berbeda jauh dari ta-
hun awal mengajar sampai saat pensiun menjadi guru. Untuk mena-
jamkan pemahaman tentang penomena ini, mungkin ada baiknya
kita ambil contoh lain. Misalnya dalam masyarakat Minangkabau tra-
disional mempersiapkan masakan dalam rumahtangga merupakan
tugas perempuan, khususnya istri. Tugas tersebut dilakukan setiap
hari dan terus menerus oleh istri, sehingga memasak dirasakan suatu
pekerjaan yang monoton dan tidak jarang membosankan. Berbeda
jika seorang laki-laki yang bekerja sebagai “tukang masak”, dikenal
sebagai koki dalam konsep modern, pada suatu rumah makan atau
http://facebook.com/indonesiapustaka

restoran, tidak akan melihat apa yang dilakukannya sebagai sesuatu


yang monoton dan membosankan, karena dia melihat apa yang di-
lakukannya sebagai profesi.

151
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

2. Mengajar Sebagai Profesi


Mengajar sebagai profesi berarti mengonstruksikan jabatan seb-
agai guru dipandang sebagai profesi. Memang tidak dipungkiri bah-
wa pada masa lampau para guru, khususnya perempuan, telah ada
yang melihat dan menyadari bahwa pekerjaan mereka sebagai guru
merupakan suatu profesi, bukan sekedar sebagai pekerjaan belaka,
namun lebih jauh dari itu. Cara pandang seperti itu jumlahnya lebih
terbatas dibandingkan dengan yang melihat guru sebagai sekedar pe-
kerjaan, tidak lebih.
Kesadaran para perempuan pendidik tentang guru sebagai
profesi, muncul tatkala pekerjaan domestik (perkejaan di dalam
rumahtangga) telah tidak membebani atau berkurang karena anak-
anak telah beranjak besar dan dewasa, sehingga keterikatan terha-
dap pekerjaan kerumahtanggan sudah melonggar. Konsekuensi dari
perkembangan ini, menyebabkan sebagian ibu guru mulai mengem-
bangkan diri melalui berbagai cara seperti belajar sendiri (otodidak)
melalui berbagai media, mengikuti pelatihan, bahkan melanjutkan
studi ke jenjang yang lebih tinggi. Jadi, kesadaran dalam melihat,
memandang, dan memperlakukan guru sebagai suatu profesi dikare-
nakan adanya dorongan dari dalam (faktor internal) seperti sema-
kin banyaknya waktu luang sehingga bisa dialihkan menjadi waktu
untuk belajar dan untuk mempersiapkan diri lebih matang dalam
berbagai materi ajar dan cara serta strategi belajar mengajar. Apabila
dorongan dari dalam tersebut tidak dimiliki pada saat ada peluang
untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi diri menjadi seorang
prefesional, maka sukar diharapkan guru tersebut bisa menjadi pro-
fesional sampai dia memasuki masa pensiun.
Dorongan dan tekanan untuk menjadikan posisi guru sebagai
profesi semakin menguat ketika ada Undang-Undang tentang Guru
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan Dosen. Undang-undang tersebut memberikan ganjaran dan hu-


kuman terhadap guru dan dosen terhadap aktivitas dan kegiatan
yang dilakukannya dalam hubungannya dengan jabatan guru dan
dosen. Semua guru didorang untuk menjadikan semua aktivitas dan
kegiatannya dilakukan secara profesional. Karena adanya dorongan

152
BAB 6 Guru

guru menjadi profesional maka guru diharuskan meningkatkan kual-


itas, kompetensi, dan keahlian profesional mereka. Dorongan ekster-
nal ini sedikit banyaknya telah memberikan motivasi bagi guru untuk
merobah diri dalam peningkatan kualitas, kompetensi, dan keahlian
profesional mereka. Dalam kenyataaannya, setelah Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ini diimplementa-
sikan, ada kecenderungan banyak para guru meningkatkan kualii-
kasi diri melalui mengikuti pendidikan lanjutan strata satu (S1) dan
strata dua (S2). Kenyataan seperti itu, tidak terbayangkan pada masa
sebelumnya akan terjadi.
Tidak dipungkiri bahwa tidak semua guru yang telah disertii-
kasi telah merobah diri menjadi guru yang profesional, seperti yang
diamanahkan oleh undang-undang tentang guru dan dosen tersebut.
Meskipun demikian telah tampak bahwa guru sudah mulai serius
dibandingkan sebelumnya untuk meningkatkan kualitas diri dalam
melaksanakan proses belajar mengajar (PBM). Topik ini akan dibahas
pada bahagian berikutnya.
Bagaimana sesuatu itu bisa dikatakan sebagai profesi? Per-
syaratan apa yang harus dipenuhi sehingga sesuatu dapat disebut
sebagai suatu profesi? Berikut beberapa karakteristik yang harus di-
penuhi seseorang sehingga sesuatu yang dikerjakan tersebut dapat
disebut sebagai suatu profesi:

a. Sumber Pendapatan Utama


Suatu jabatan dikatakan bisa memenuhi unsur profesi, salah sa-
tunya adalah, apabila ia dilakukan karena menjadi sumber pendapa-
tan utama bagi pemenuhan kebutuhan hidup. Karena suatu jabatan
dilihat sebagai sumber pendapatan utama, maka orang akan melaku-
kan sesuatu yang terbaik dan optimal yang bisa dilakukan terhadap
http://facebook.com/indonesiapustaka

pekerjaan tersebut. Semakin baik dan optimal sesuatu itu dilakukan


maka semakin besar pula peluang peningkatan penerimaan pendapa-
tan. Hipotesis ini bisa menjadi masuk akal ketika dikaitkan dengan
sertiikasi guru. Bila seorang guru melakukan sesuatu dengan baik
dan optimal diperkirakan sang guru bisa meraih kompetensi yang

153
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

seharusnya dimiliki. Selanjutnya bila kompetensi tersebut telah


menjadi bahagian dari apa yang menjadi kegiatannya sebagai guru
maka diperkirakan dia akan lulus sertiikasi guru. Konsekuensi logis
dari seorang guru lulus sertiikasi adalah peningkatan penerimaan
pendapatan.

b. Curahan Waktu Kerja Terbesar


Esensi dari karakteristik profesi sebagai pekerjaan utama di atas
adalah curahan waktu kerja terbesar berada pada aktivitas yang men-
jadi sumber pendapatan utama. Seorang guru yang profesional, mis-
alnya, akan mencurahkan waktu kerja yang terbesar pada aktivitas
dan kegiataan yang berhubungan dengan profesinya sebagai guru,
seperti mempersiapkan bahan dan materi, mengoreksi latihan, dan
memperdalam cara dan strategi baru dalam mengajar, bukan pada
pekerjaan yang lain. Curahan waktu kerja terbesar tersebut berkait
dengan karakteristik berikutnya dari profesi yaitu keahlian dan kom-
petensi, sebab seperti kata pepatah, “pasar jalan karena ditempuh,
hapal kaji karena diulang”. Melalui pepatah tersebut, kita juga bisa
menghipotesiskan: “pasar jalan, karena ditempuh, aktivitas profe-
sional, karena dikompetensi”.

c. Keahlian dan Kompetensi Khusus


Suatu profesi tertentu memiliki keahlian dan kompetensi ter-
tentu pula, termasuk guru sebagai profesi. Keahlian seorang guru
berkait dengan kemampuannya dalam mengajar, mendidik, mem-
bimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik. Sedangkan kompetensi dari seorang guru profesional ber-
hubungan dengan penguasaan materi atau bahan ajar, perencanaan
program proses belajar mengajar, pengelolaan program belajar-men-
gajar, penggunaan media dan sumber pembelajaran, pelaksanaan
http://facebook.com/indonesiapustaka

evaluasi dan penilaian prestasi siswa, program bimbingan dan kon-


seling, diagnosis kesulitan belajar siswa, dan pelaksanaan adminis-
trasi kurikulum atau administrasi guru.

154
BAB 6 Guru

d. Pendidikan dan Pelatihan Khusus


Untuk mendapatkan keahlian dan kompetensi khusus dari suatu
profesi diperlukan pula suatu pendidikan dan pelatihan khusus pula.
Seorang yang ingin menjadi apoteker, suatu profesi yang berhubung-
an dengan aktivitas farmasi dan obat-obatan, maka di samping dia
harus menyelesaikan pendidikan pada sarjana strata satu (S1) di
bidang farmasi, selanjutnya dia juga harus melanjutnya pendidikan
keahlian (profesi) sebagai apoteker selama paling kurang dua semes-
ter. Demikian pula, bila seseorang ingin menjadi dokter, maka selain
harus menyelesaikan studi S1 pada pendidikan kedokteran, dia juga
harus mengambil pendidikan keahlian dalam bidang medis sebagai
dokter umum. Hal yang sama juga harus dilalui oleh seorang guru.
Seorang calon guru harus menyelesaikan pendidikan strata satu yang
berhubungan dengan isi dan substansi yang akan diajarkan seperti
sosiologi, sejarah, matematika, dan lain sebagainya. Setelah itu dia
harus mengikuti pendidikan keprofesian sebagai guru di lembaga
yang direkomendasikan menurut aturan perundangan.

e. Standardisasi
Keahlian dan kompetensi memerlukan standar. Melalui standar,
setiap profesional bisa diuji atau dinilai keahlian dan kompetensi
yang dimilikinya. Pengujian dan penilaian terhadap keahlian dan
kompetensi yang dimiliki dilakukan secara periodik dan berkelanju-
tan, sehingga keahlian dan kompetensi dari suatu profesi bisa ter-
standar. Dalam profesi guru, standardisasi dilakukan melalui serti-
ikasi guru. Konsekuensi logis adanya standardisasi keahlian dan
kompetensi guru adalah adanya standardisasi pendapatan dari guru.
Adalah suatu hal yang tidak mungkin diharapkan jika seorang guru
diminta untuk berkualitas dan berkompetensi, sementara pendapa-
tan yang diterimanya tidak bisa memenuhi hidup layak, sebagaimana
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang diterima oleh profesi lain. Apa yang dilakukan terhadap guru
selama ini dengan “meninabobokkan” para guru sebagai pahlawan
tanpa jasa, sebenarnya, merupakan pengalihan kesadaran objektif
guru untuk memperoleh pendapatan layak sebagai manusia yang
bermartabat secara moral dan material menjadi seorang “malaikat”

155
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

yang tidak perlu kehidupan dunia material. Bagaimana lagu Himne


Guru “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, yang digubah Sartono, mampu
mengalihkan kesadaran objektif para guru menjadi kesadaran palsu
sebagai pahlawan tanpa tanda jasa:
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru.
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku.
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku.

S’bagai prasasti terima kasih ku ‘ntuk pengabdianmu


Engkau sebagai pelita dalam kegelapan.
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan.
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa.

Perulangan penyebutan pahlawan tanpa tanda jasa menyebab-


kan teorema homas, “when men deine situation as real, they are real
in their consequences” (jika orang mendeinisikan situasi sebagai suatu
hal nyata, situasi itu nyata dalam konsekuensinya) terwujud. Ketika
guru diperdengarkan Himne Guru “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”
terus-menerus dan dinyatakan pada setiap kesempatan pertemuan
dengan guru bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, maka
apa yang dilagukan dan dinyatakan terus menerus tersebut menjadi
nyata dalam konsekuensinya. Situasi ini berimplikasi pada sikap,
perilaku dan tindakan guru yang malu atau merasa dipermalukan bila
membicarakan reward atau penghargaan atas jasa yang diberikannya
kepada masyarakat. Karena guru harus ikhlas, sabar dan tidak mate-
rialis atas jasa yang telah ditunaikannya kepada masyarakat.
Konsekuensi standardisasi keahlian dan kompetensi seyogyanya
dibarengi pula dengan standardisasi penerimaan atau pendapatan
yang dapat dicapai oleh seorang yang berprofesi sebagai guru. Un-
http://facebook.com/indonesiapustaka

dang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah


mengakomodasi hal tersebut. Selain mendapatkan gaji pokok dan
tunjangan fungsional sebagai guru, guru yang telah lulus sertiikasi
akan menperoleh tunjangan profesi sebanyak satu bulan gaji pokok
yang mereka miliki.

156
BAB 6 Guru

f. Organisasi dan Kode Etik Profesi


Setiap profesi memiliki organisasi dan kode etik profesi. Guru
di republik ini memiliki organisasi profesi yang bernama Persatuan
Guru Repuublik Indonesia (PGRI). Kode etik profesi guru di Indone-
sia meliputi:
1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk
manusia Indonesia seutuhnya berjiwa Pancasila.
2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik
sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4. Guru menciptakan suasana sebaik-baiknya yang menunjang ber-
hasilnya proses belajar mengajar.
5. Guru memelihara hubungan baik dengan orangtua murid dan
masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rsa tang-
gungjawab bersama terhadap pendidikan.
6. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan
meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
7. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan,
dan kesetiakwanan sosial.
8. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu
organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
9. Guru melaksanakan segala kebijakasanaan pemerintah dalam bi-
dang pendidikan.

B. PERANAN GURU
Kalau ditelusuri konsep peranan secara lebih detil, maka kita
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan menemukan konsep fungsi. Kenapa demikian? Setiap orang me-


miliki suatu posisi dalam ruang sosial seperti kelompok, keluarga,
komunitas atau masyarakat. Posisi merupakan kedudukan seseorang
dalam suatu kelompok atau kedudukan dalam hubungannya dengan
kelompok lain, misalnya posisi sebagai guru. Posisi sebagai guru me-

157
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

miliki hak dan kewajiban yang diembannya, dikenal sebagai status.


Sedangkan perilaku yang diharapkan dari orang yang memiliki suatu
status disebut sebagai peranan. Ketika peranan tersebut dimainkan,
ia memiliki konsekuensi terhadap penyesuaian atau adaptif terhadap
sistem. Inilah dikenal sebagai fungsi. Dalam titik ini, guru dilihat seb-
agai kelembagaan, bukan sebagai posisi semata. Fungsi memiliki dua
dimensi, yaitu laten dan manifes. Fungsi laten merupakan berbagai
konsekuensi dari praktik kultural yang tidak disengaja atau tidak
disadari, membantu penyesuaian atau adaptasi sistem. Sedangkan
fungsi manifes merupakan berbagai konsekuensi dari praktik kultur-
al yang disengaja atau disadari, membantu penyesuaian atau adap-
tasi sistem. Melalui cara pendang ini, maka kita dapat melihat fungsi
guru dari dua sudut, yaitu fungsi manifes dan fungsi laten guru.

1. Fungsi Manifes dari Guru


Fungsi yang diharapkan, disengaja, dan disadari dari guru oleh
masyarakat pada suatu ruang terdiri dari:

a. Guru sebagai Pengajar


Pada masyarakat manapun, baik masyarakat maju maupun se-
dang berkembang, menyadari dan mengharapkan agar guru menjadi
pengajar terhadap anak-anak mereka. Masyarakat mengharapkan
guru bisa memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang
dibutuhkan oleh anak-anak mereka dalam mengharungi kehidupan
kelak seperti berhitung, membaca, menulis, dan lain sebagainya.
Konsepsi pengetahuan dan keterampilan dasar dalam setiap ma-
syarakat berbeda sesuai dengan perkembangan dan latar belakang
masyarakat tersebut. Pada masyarakat perdesaan pesisir memer-
lukan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berbeda dengan
masyarakat indutrial perkotaan. Pada masyarakat perdesaan pesisir,
http://facebook.com/indonesiapustaka

misalnya, membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tentang ke-


lautan, nelayan dan kepesisiran seperti budidaya rumput laut, jenis
ikan tertentu, udang, dan lain sebagainya. Sedangkan masyarakat
industrial perkotaan, misalnya, memerlukan pengetahuan dan ket-
erampilan tentang industri dan perdagangan seperti keterampilan

158
BAB 6 Guru

menggunakan berbagai program komputer, berbagai keterampilan


las, dan sebagainya.

b. Guru sebagai Pendidik


Dalam masyarakat, guru tidak hanya diharapkan untuk sekedar
mengajarkan pengetahuan dan keterampilan seperti yang dikemuka-
kan di atas, tetapi kebih dari itu dengan mendidik segala “sesuatu”
yang diperlukan murid sehingga dalam beradaptasi dengan berbagai
persoalan kehidupan seperti praksis budi pekerti (akhlak), soft skill,
dan berbagai kapital yang diperlukan dalam hidup seperti kapital
sosial, kapital budaya, kapital simbolik, dan kapital spritual. Perbe-
daan antara pengajar dan pendidik dalam konteks ini adalah terletak
pada kedalaman dan kualitas dari aktivitas yang dilakukan. Mengajar
dipahami hanya sekedar mentransfer atau memindahkan, sedangkan
mendidik dilihat tidak hanya memindahkan tetapi lebih dalam lagi
“mendarahdagingkan” (internalized). Meskipun sebagian guru telah
mengalami sertiikasi, namun mereka yang telah disertiikasi terse-
but masih ada yang belum menjadi pendidik, hanya sekedar sebagai
pengajar. Tindakan dan perilaku guru sebagai pendidik, seperti cara
menjelaskan, berdiskusi, memotivasi, dan lainnya tidak selalu di-
jumpai di sekolah-sekolah. Masih kita dengar, misalnya, bagaimana
seorang guru melecehkan murid ketitika mereka bertanya tentang
hal yang menjadi topik pelajaran. Atau guru melecehkan jawaban
yang diberikan oleh murid atas pertanyaan yang diberikan.

c. Guru sebagai Teladan


Guru dikonstruksi oleh para murid, terutama pada taman
kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD), sebagai makhluk yang mu-
lia, seperti makhluk “setengah dewa”. Oleh sebab itu, apa saja yang
dikatakan, dilakukan dan diperbuat oleh guru dipandang sebagai
http://facebook.com/indonesiapustaka

suatu kebenaran, dari sisi manapun, baik dalam cara maupun sub-
stansi. Pengalaman yang dimiliki oleh para orangtua yang memiliki
anak yang sedang mengikuti taman kanak-kanak atau sekolah dasar
menunjukkan bahwa anak-anak mereka lebih taat dan patuh terha-
dap gurunya ketimbang apa yang dikatakan, disuruh atau disarankan

159
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

oleh mereka sebagai orangtua. Banyak kisah orang tua tentang hal
ini. Untuk keperluan pemahaman, perlu diceritakan kisah dua orang
tua tentang ketaatan anaknya terhadap guru.
Kisah pertama tentang ketaatan anak terhadap guru berasal
dari keluarga Ihsan, bukan nama sebenarnya. Ihsan bekerja sebagai
seorang dosen pada salah satu perguruan tinggi negeri di Sumatera
Barat. Suatu ketika anak perempuan bungsunya menangis dan tidak
mau pergi ke sekolah. Anaknya sedang duduk dibangku kelas satu
sekolah dasar. Setelah ditanya kenapa sang anak tidak mau pergi
sekolah, ternyata dia lupa membelikan topi dan kacu pramuka. Pada
hal seminggu sebelumnya sang anak mengatakan kepadanya bahwa
“seragam pramuka harus dilengkapi dengan kacu dan topi pramuka,
begitu kata guru”. Setelah dijanjikan akan dibelikan di sekolah sesa-
mpai mereka di sana, maka sang anak mau pergi bersama sang ayah
ke sekolah.
Kisah ini berasal dari pengalaman seorang ibu muda, sebut saja
namanya ibu Alia, yang anaknya duduk di bangku kelas satu sekolah
dasar. Sebagai seorang yang taat beragama, dia senantiasa mengin-
gatkan anaknya untuk setiap waktu sholat masuk agar melaksanakan
sholat. Namanya anak kecil, selalu saja ada alasan yang diberikan
sang anak untuk menunda waktu sholat sehingga sholat terlambat
bahka dua waktu sholat dikumpul dikerjakan pada waktu yang ber-
samaan, seperti sholat Isya dilaksanakan pada waktu sholat subuh,
misalnya. Keadaan ini merisaukan bagi ibu Alia. Karena dari penga-
malan pribadinya, dia merasakan sholat dikerjakan pada waktunya
merupakan sarana internalisasi nilai disiplin dan menghargai waktu,
yang dipandang ibu Alia sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam
kehidupan dunia dan akhirat. Keriasauan tersebut tidak berlangsung
lama. Ketika ibu Alia menemani anaknya ke sekolah untuk menerima
http://facebook.com/indonesiapustaka

raport semester anaknya, sebelum penyerahan raport, seorang guru


menasehati seluruh murid untuk tidak libur sholat meskipun seko-
lah libur. Nasehat guru tersebut dijadikan “senjata” bagi ibu Alia un-
tuk mengajak anaknya sholat ketika waktunya telah masuk. Ketika
anaknya terlihat malas-malasan untuk mengejarkan sholat, maka ibu

160
BAB 6 Guru

Alia akan mengatakan pada anaknya: “nak, kata ibu guru kan: sholat
tidak boleh libur, walau sekolah libur!”. Mendengar nasehat gurunya
jadi rujukan, sang anak segera melaksanakan apa yang disuruh oleh
sang ibu. Kisah-kisah seperti yang dikemukakan barusan bisa diper-
panjang dengan kisah Anda sendiri, kerabat, keluarga Anda sendiri.
Dari sudut pandang seperti itulah guru merupakan teladan bagi
para muridnya. Jika guru tidak mampu memainkan peran dan me-
menuhi fungsi seperti yang diharapkan oleh masyarakat maka apa
yang diingatkan selalu melalui kearifan pepatah adat, “guru kencing
berdiri, murid kencing berlari” akan bersua.

d. Guru sebagai Motivator


Karena guru dilihat sebagai makhluk yang mulia, “setengah
nabi”, maka masyarakat mengharapkan guru memainkan fungsi
sebagai motivator bagi para muridnya. Guru diharapkan mampu
memberikan dorongan, kekuatan, motivasi, dan energi yang besar
kepada semua muridnya agar mereka mampu meraih cita-cita yang
digantung setinggi langit. Berbagai kisah, biograi dan sejarah guru
telah menunjukkan betapa hebat dan dahsyatnya peran guru sebagai
motivator terhadap anak-anak di taman kanak-kanak dan sekolah
dasar. Seperti yang dikisahkan dalam “laskar pelangi”, sebuah kisah
anak-anak Bangka Belitung yang ditulis dalam novel yang kemudian
diangkat ke dalam layar lebar (ilm), tergambar bagaimana seorang
guru mampu memberikan motivasi bagi anak didiknya di Sekolah
Dasar Muhammadiyah untuk melukis mimpi indah dan menggapai
mimpi yang ditoreh setinggi langit tersebut. Tidak perlu diperdebat-
kan lagi bagaimana banyak kisah orang berhasil di Indonesia salah
satu peletak dasar dasar keberhasilan mereka adalah fondasi mimpi
dan kepribadian yang dibangun oleh guru mereka.
http://facebook.com/indonesiapustaka

2. Fungsi Laten dari Guru


Fungsi yang tidak diharapkan, disengaja, dan disadari dari guru
terhadap masyarakat pada suatu ruang terdiri dari:

161
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

a. Guru sebagai Pelabel


Pada bagian sebelumnya telah didiskusikan bagaimana ke-
ampuhan pelabelan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya.
Keberhasilan atau ketidakberhasilan seorang peserta didik tergan-
tung pada pelabelan yang diberikan kepadanya oleh guru. Jika pada
Bab Ruang Kelas, kita telah mendiskusikan teori pelabelan dengan
mengutip kasus di luar negeri sana. Sekarang coba kita simak kisah
seorang guru pada satu taman kanak-kanak di kota Padang sebut saja
namanya ibu Rahma, tentu bukan nama sebenarnya. Sebagai seorang
guru TK yang baru diangkat, belajar pengalaman proses belajar-
mengajar (PBM) kepada senior adalah merupakan hal yang lumrah.
Sang guru yunior ini kaget ternyata pelajaran yang diterimanya dari
guru senior bertentangan dengan beberapa teori yang selama ini dia
dapatkan dari bangku kuliah. Apa kata sang guru senior yang menye-
babkan sang yunior kaget? Adapun pelajaran dari sang senior sebagai
berikut: “Rahma, kita mengajar anak-anak dari kelas bawah. Bagi
mereka, kata-kata kotor seperti sumpah serapah atau makian adalah
makanan seharian mereka. Oleh karena itu, jika kita tidak mengikuti
cara mereka maka kita tidak akan dipatuhi.” Memang senior melak-
sanakan apa yang dikatakannya tersebut. Namun nasehat sang se-
nior tidak diturutinya, ibu Rahma mengajar seperti teori sebutkan.
Ibu Rahma mengajar tentang bagaimana bersikap, bertindak, ber-
perilaku dan berbicara yang seharusnya dilakukan oleh seorang mu-
rid dan anak seperti berlaku dan berkata sopan dan santun. Dalam
bulan pertama, dia mendapat cibiran dari senior dan orangtua murid.
Namun masuk bulan kedua, perilaku dan sikap anak perlahan mulai
berubah. Para orangtua murid merasakan juga perubahan perilaku
dan sikap sang anak di rumah. Para orang tua mulai mau menden-
gar usulan dan nasehat ibu Rahma. Karena alasan pindah ke seko-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lah yang lebih dekat dari rumah, ibu Rahma meninggalkan sekolah
tersebut dengan kenangan manis bersama perubahan perilaku dan
sikap murid dari yang dilabelkan oleh guru senior sebagai anggota
masyarakat yang sering menggunakan kata-kata kotor menjadi mu-
rid yang menggunakan kata-kata yang sopan dan santun.

162
BAB 6 Guru

Kenapa ibu Rahma tidak mengambil jalur yang sama seperti yang
dilakukan seniornya? Menurut ibu Rahma, anak-anak itu bagaikan
kertas putih bersih, bagaimana sang anak tergantung pada para guru
dan orangtua yang menggambarkannya. Ibu Rahma menggambarkan
para murid dengan lukisan yang indah, sehinggah jadilah ia sebagai
lukisan yang indah di kanvas kehidupan bernama sekolah. Ini salah
satu cara pandang bagaimana teori label itu berfungsi.
Kisah ibu Rahma di Padang juga terbuka kemungkinan terjadi
di berbagai lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kisah ibu Rahma menunjukkan pada kita guru memiliki fungsi seb-
agai pelabel bagi masa depan anak-anak kita. Jika seorang guru salah
menggunakan label, maka konsekuensinya akan berdampak pada
masa depan kehidupan seorang peserta didik. Oleh sebab itu, jika
dokter dimungkinkan melakukan suatu “mal praktek”, maka guru
juga dimungkinkan melakukan hal yang sama seperti dokter, yaitu
“mal praktek” dalam dunia pendidikan.

b. Guru sebagai “Penyambung Lidah Kelas Menengah Atas”


Guru menyosialisasikan nilai-nilai dan norma-norma yang ada
dalam masyarakat. Apa yang dianggap baik dan buruk, apa yang di-
pandang benar dan salah, dan apa yang dilihat tinggi atau rendah
merupakan konstruksi sosial tentang nilai dan norma dalam ma-
syarakat. Dalam masyarakat, konstruksi sosial tentang nilai dan
norma tidaklah homogen atau seragam, tetapi sebaliknya hetero-
gen atau beragam,. Keberagaman tersebut mencerminkan stratii-
kasi sosial dalam masyarakat, di mana masyarakat dibagi ke dalam
berbagai kelas yang berbeda: kelas atas, kelas menengah, dan kelas
bawah. Apa yang disosialisasikan dalam ruang kelas melalui guru cen-
derung merupakan nilai-nilai dan norma-norma dari kelas menengah
http://facebook.com/indonesiapustaka

atas ketimbang apa yang dimiliki oleh kelas menengah bawah. Apa
yang dianggap bersih menurut guru, misalnya, adalah konsep ber-
sih menurut pandangan kelas menengah atas, bukan kelas menengah
bawah. Dalam konteks inilah maka guru dipandang sebagai “penyam-
bung lidah kelas menengah atas”.

163
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Guru sebagai “penyambung lidah kelas menengah atas” telah


menyebabkan para murid memiliki pandangan yang relatif sama di
antara mereka satu sama lain, yaitu pandangan dari perspektif kelas
menengah atas. Pandangan yang sama tersebut di satu sisi memung-
kinkan mereka bisa bekerjasama satu sama lain. Tetapi di sisi lain,
pandangan tentang nilai dan norma dari kelas bawah dipandang se-
bagai sesuatu yang tidak cocok bagi kehidupan orang yang berpendi-
dikan. Pandangan yang disebut belakang ini, pada hakekatnya, meru-
pakan pandangan yang melecehkan nilai dan norma kelas bawah,
yang pada tataran tertentu sebenarnya cocok dan adaptif bagi kelas
bawah dalam mengatasi peroalan kehidupan.

c. Guru sebagai Pengekal Statusquo


Keadaan statusquo menunjukkan pada suatu keadaan yang rela-
tif dalam situasi keseimbangan, tidak berubah atau stagnan. Keadaan
seperti itu dikekalkan oleh guru melalui peranan yang dimilikinya.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa guru melalui proses bela-
jar mengajar telah melangggengkan nilai-nilai dan norma-norma
dari kelas menengah atas. Dengan demikian, anak-anak dari kelas
menengah atas memiliki keuntungan dan keunggulan dibandingkan
dengan anak-anak dari kelas menengah kelas menengah bawah, se-
bab anak-anak menengah atas mempelajari apa yang telah mereka
miliki, lakukan dan laksanakan. Konsekuensinya adalah anak-anak
kelas menengah bawah terus tertinggal dalam persaingan dari anak-
anak kelas menengah atas. Oleh sebab itu ide pendidikan sebagai alat
mobilitas sosial menjadi “pepesan kosong” seperti dilihat oleh teori-
tisi struktural konlik. Di sisi lain, seperti telah didiskusikan di atas,
pendidikan telah mencabut akar nilai dan norma para murid yang
berasal dari kalangan kelas bawah. Konsekuensinya bila mereka “ga-
gal” bersaing dengan para murid kelas menengah atas dalam lapan-
http://facebook.com/indonesiapustaka

gan pekerjaan, mereka cenderung akan gagal pula dalam lapangan


kehidupan secara lebih luas. Sebab akar nilai dan norma kelas bawah
telah tercabut dari diri mereka, sementara harapan kehidupan telah
terbentuk sesuai dengan harapan yang dimiliki oleh kelas menengah
atas. Sedangkan mereka yang berasal dari kelas bawah tidak memiliki

164
BAB 6 Guru

alat yang sama untuk meraih harapan tersebut seperti yang dimiliki
oleh kelas menengah atas. Dalam kondisi seperti ini, merujuk pada
pemikiran Robert K. Merton, para anggota kelas bawah mengalami
anomi, bisa bertindak atau berperilaku anomik, karena antara hara-
pan dan alat yang mereka miliki tidak sesuai, cocok atau “nyambung”.
Bagaimana memahami pikiran Merton tersebut? Untuk itu ada
baiknya dipahami melalui contoh. Ketika kelas bawah menerima
nilai dan norma kelas menengah atas tentang kecantikan dan keg-
agahan sebagai bahagian dari nilai dan norma yang mereka miliki,
misalnya, maka untuk merealisasikannya diperlukan alat, misalkan
kemampuan untuk membeli peralatan kecantikan dan kegagahan
seperti parfum merek tertentu, busana dengan label tertentu, mobil
dengan jenis buatan tertentu dan seterusnya. Bagi kelas menengah
atas, untuk merealisasikan nilai dan norma tentang kecantikan dan
kegagahan tersebut, mereka memiliki alatnya yaitu kemampuan i-
nansial yang mereka miliki. Bagaimana dengan kelas bawah? Sesuai
dengan kelasnya, mereka tidak punya alat. Oleh sebab itu, mereka
dapat merealisasikan nilai dan norma tersebut dengan melakukan
suatu perilaku menyimpang, misalnya menjadi pelacur atau menjual
barang haram seperti narkoba. Keadaan seperti ini disebut sebagai
anomi.

C. SERTIFIKASI GURU
Sertiikasi guru, seperti telah disinggung pada bagian sebelum-
nya, merupakan salah satu cara untuk melakukan standardisasi terh-
adap keahlian dan kompetensi guru. Melalui sertiikasi, aspek proses
dalam pendidikan dan pembelajaran bisa terstandardisasi. Karena
setiap guru profesional bisa mengolah aspek input dalam pendidi-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan dan pembelajaran menjadi suatu output tertentu, seperti yang


diharapkan.

1. Kompetensi Guru
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18

165
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Tahun 2007 tentang Sertiikasi bagi Guru dalam Jabatan disebutkan


bahwa sertiikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji
kompetensi. Apa itu kompetensi? Merujuk pada Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional No. 045/U/2005, kompetensi diartikan sebagai
seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab yang dimil-
iki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat
dalam melaksanakan tugas-tugas ssuai denngan pekerjaan tertentu.
Kompetensi dalam bentuk penilaian protopolio atau penilaian kum-
pulan dokumen yang mencerminkan kompetensi guru, yang mencak-
up 10 komponen, yaitu: (1) kualiikasi akademik, (2) pendidikan dan
latihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran, (5) penilaian dari atas dan pengawasan, (6) prestasi
akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam
forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan
sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Dari 10 komponen tersebut bisa dirinci lagi ke dalam be-
berapa jenis kompetensi, yaitu antara lain kompetensi kepribadian,
kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi so-
sial. Berikut disajikan beberapa kompetensi guru dengan elemen dan
indikatornya:

a. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik mencakup kemampuan yang berkenaan
dengan pemahaman peserta didik dan pengelola pembelajaran yang
mendidik dan dialogis. Secara substantif kompetensi ini mengan-
dung kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan
dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengem-
bangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimilikinya. Secara rinci masing-masing elemen kompetensi
http://facebook.com/indonesiapustaka

pedagogik tersebut dapat diperinci lagi menjadi subkompetensi dan


indikator esensialnya, yaitu:
1. Memahami peserta didik. Subkompetensi ini mencakup indika-
tor esensial berupa memahami peserta didik dengan memanfaat-
kan prinsip-prinsip perkembangan kognitif, memahami peserta

166
BAB 6 Guru

didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian, dan


mengidentiikasi bekal ajar awal peserta didik.
2. Merancang pembelajaran. Subkompetensi ini meliputi indika-
tor esensial berupa menerapkan teori belajar dan pembelajaran,
menetapkan strategi pembelajaran berlandaskan pada karak-
teristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan ma-
teri ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan
strategi yang dipilih.
3. Melakukan pembelajaran secara umum
4. Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan ber-
bagai potensi yang dipunyainya. Subkompetensi ini mempun-
yai indikator esensial berupa memfasilitasi peserta didik untuk
pengembanan berbagai potensi akademik, dan memfasilitasi
peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi aka-
demik, dan memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan
berbagai potensi non-akademik.

b. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional menyangkut kemampuan yang ber-
hubungan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi
secara luas dan mendalam yang menliputi penguasaan substansi
isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keil-
muan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah
wawasan keilmuan sebagai guru. Kompetensi ini meliputi beberapa
subkompetensi dengan indikator esensial berupa:
1. Menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi.
Subkompetensi ini meliputi beberapa indikator esensial berupa
memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah, me-
mahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi
http://facebook.com/indonesiapustaka

atau koheren dengan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan


sehari-hari.
2. Menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk
menambah wawasan dan memperdalam pengatahuan/materi bi-
dang studi.

167
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

c. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan pendidik sebagai ba-
gian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang-
tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini meli-
puti subkompetensi dengan indikator efekif berupa:
1. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesa-
ma pendidik.
2. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesa-
ma pendidik dan tenaga kependidikan.
3. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang
tua/wali murid peserta didik dan masyarakat sekitar.

d. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan personal
yang mencerminkan kepribadian mantap, stabil, dewasa, arif dan
berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mu-
lia. Selanjutnya setiap elemen tersebut dapat diuraikan lagi menjadi
subkompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:
1. Memiliki kepribadian mantap dan stabil. Subkompetensi ini
mengandung indikator esensial berupa bertindak sesuai dengan
norma hukum, bertindak sesuai dengan norma sosial, bangga
sebagai pendidik, dan mempunyai konsistensi dalam bertindak
sesuai dengan norma.
2. Memiliki kepribadian yang dewasa. Subkompetensi ini mempu-
nyai indikator esensial berupa menampilkan kemandirian dalam
bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai pen-
didik.
http://facebook.com/indonesiapustaka

3. Memiliki kepribadian yang arif. Subkomptensi ini memiliki in-


dikator esensial berupa menampilkan tindakan yang didasarkan
pada kemanfaatan peserta didik, sekolah dan masyarakat serta
memperlihatkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
4. Memiliki kepribadian yang berwibawa. Subkompetensi ini men-

168
BAB 6 Guru

gandung indikator esensial berupa memiliki perilaku yang ber-


pengaruh positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku
yang disegani.
5. Memiliki akhlak mulia dan dapat menjadi teladan. Subkompe-
tensi mempunyai indikator berupa bertindak sesuai dengan nor-
ma religius (iman dan taqwa, jujur, ihklas, suka menolong), dan
memiliki perilaku yang diteladani peserta didik.

Penetapan kebijakan kompetensi dan keahlian guru di Indonesia


dikonstruksi secara sosial politik antara para elit birokrasi penentu
kebijakan kependidikan dan para pakar kependidikan. Dalam kon-
struksi realitas tentang penetapan kebijakan kompetensi dan ke-
ahlian guru tersebut, para elit birokrasi penentu kebijakan kepen-
didikan dan para pakar kependidikan tidak semata dilandasi oleh
argumentasi teoritis akademik dan praksis kependidikan, tetapi juga
oleh argumentasi inansial dan keuangan negara. Akibatnya dalam
implementasi kebijakan tentang sertiikasi terjadi distorsi antara apa
yang menjadi harapan dan tujuan yang terdokumentasi dalam aturan
perundangan dengan praksis yang dilakukan.

2. Permasalahan Sertifikasi
Untuk memenuhi persyaratan sertiikasi maka seorang guru ha-
rus mencapai skor objektif minimal sebesar 850 poin atau 57 % dari
skor maksimal, yaitu 1500 poin. Jika skor objektif minimal tersebut
telah dicapai maka seorang guru bisa memperoleh predikat profe-
sional. Dalam kenyataan persyaratan minimal skor objektif minimal
sebesar 850 poin tersebut tidak mudah dicapai. Itu ditunjukkan oleh
ketidaklulusan yang tidak sedikit dari peserta sertiikasi. Memang
dari jumlah peserta sertiikasi guru yang tidak lulus tersebut bukan
semata karena faktor internal guru itu sendiri, tetapi juga bisa dikare-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nakan oleh faktor lain seperti kelembagaan sertiikasi dan asesor.


Berikut ini didiskusikan beberapa permasalahan yang ditemukan
dalam penyelenggaraan sertiikasi guru:

169
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

a. Faktor Guru
Keempat kompetensi di atas, yaitu kompetensi pedagogik, kom-
petensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian
tidak bisa dimiliki oleh seorang guru secara instan. Untuk memiliki
keempat kompetensi seorang guru harus melalui berbagai proses, se-
bab memang guru tidak dipersiapkan, baik secara individual maupun
secara institusional, untuk menjadi guru yang profesional setelah dia
menyelesaikan studi di bangku kuliah dan memasuki kehidupan se-
bagai guru.
Kalau dipahami dari sisi faktor guru terdapat beberapa perma-
salahan yang ditemukan dalam kaitannya dengan sertiikasi guru,
yaitu:
1. Kualiikasi Strata 1 (S1) dan Diploma IV (D-IV). Persyaratan
untuk mengikuti sertiikasi guru ditetapkan menurut aturan
perundangan di Indonesia adalah berkualiikasi S1 dan D-IV.
Aturan perundangan sebelumnya menetapkan kualiikasi yang
lebih rendah (DII dan DIII) untuk menempati suatu jabatan guru
di sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Persoalan yang dihadapi
guru, terutama oleh guru senior, adalah pengalaman selama ini
yang dimilikinya, katakanlah telah mengajar 30 tahun lebih, be-
lum cukup dipandang kompeten secara prosedural formal, kare-
na dia belum S1 atau D-IV. Sehingga dia tidak dapat merasakan
nikmatnya menjadi seorang guru yang berpredikat profesional,
karena telah lulus sertiikasi. Jika dia harus mengikuti S1 atau
D-IV, ketika dia menamatkan pendidikannya tersebut, maka dia
juga harus pensiun karena usianya mewajibkan untuk pensiun.
Dari sudut ini, perlakuan terhadap guru senor dipandang tidak
adil, tidak ada penghargaan terhadap apa yang mereka telah laku-
kan selama ini. Bisa salah salah satu dari guru yang diperlaku-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan seperti itu adalah guru dari para pembuat kebijakan terse-
but. Oleh karena adanya kritik terhadap persyaratan sertiikasi
seperti itu, maka suara yang kritis tersebut dijadikan masukan
untuk merubah kebijakan yang ada sehingga terbitlah Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pe-

170
BAB 6 Guru

menuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan


yang memungkinkan persyaratan S1 dan D-IV tidak diwajibkan
kepada guru senior.
2. Keilmuan. Ketika beberapa mata pelajaran baru diusulkan men-
jadi mata pelajaran inti dari suatu tingkatan pendidikan pada
masa lalu, misalnya mata pelajaran sosiologi dan antropologi,
karena tidak ada guru yang berlatarbelakang kualiikasi pendi-
dikan S1 sosiologi, maka guru yang memiliki jam mengajarkan-
nya kurang dibolehkan mengajar sosiologi. Karena guru tersebut
belajar otodidak dan mengikuti beberapa pelatihan, maka sang
guru merasa mampu untuk mengajar sosiologi. Di antara mere-
ka ada yang mampu menguasai sosiologi, terutama guru yang
berkualiikasi serumpun bidang keilmuannya seperti sejarah dan
geograi, sedangkan yang lain belum mampu. Solusi terhadap
ini adalah pengakuan terhadap penambahan jam mengajar bagi
guru yang memiliki kualiikasi satu rumpun. Bagaimana mengu-
kur kompetensi dalam bidang keilmuan (profesional) yang tidak
menjadi bidang studi mereka ketika studi S1 atau D-IV? Persoal-
an ini belum menemukan jalan keluarnya.
3. Pendidikan dan Pelatihan. Ada kesan komponen ini bias kota.
Kenapa demikian? Bahwa semua kegiatan pendidikan dan pela-
tihan dilakukan di kota, oleh sebab itu informasi kegiatan terse-
but akan diperoleh lebih cepat oleh para guru yang berada di
kota dibandingkan guru yang berada di desa. Karena kesempatan
untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan terbatas, maka ada
kecenderungan guru yang berada di kota yang memiliki kesem-
patan lebih besar untuk meraih kesempatan tersebut. Jika infor-
masi kegiatan tersebut didistribusikan kepada guru yang berada
di desa, informasi yang diterima sering telat, sehingga ketika ada
http://facebook.com/indonesiapustaka

guru yang ingin mengikuti kegiatan tersebut ternyata pendaf-


taran telah tutup. Persoalan ini belum mendapatkan perhatian
yang khusus dari pihak yang berkepentingan dalam “pembinaan
akademik” seperti Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pen-
didikan Provinsi, dan Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten.

171
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

4. Keikutsertaan dalam Forum Ilmiah. Seperti pendidikan dan pe-


latihan, keikursertaan dalam forum ilmiah juga cenderung bias
kota, sebab kegiatan tersebut diselenggarakan di kota, paling ren-
dah dilaksanakan di ibu kota pemerintahan daerah berkeduduk-
an (kabupaten/kota). Sehingga kesempatan guru yang berada di
desa sangat kurang pula. Selain itu, jika ada forum tersebut di-
adakan kuantitas pelaksanaannya sangat kurang.
5. Kewajiban Mengajar 24 jam. Bagi guru yang mengajar tidak di
sekolah dasar, baik sekolah lanjutan tingkat pertama maupun
lanjutan tingkat atas, akan sukar memperoleh 24 jam mengajar.
Ada dua persoalan yang mengakibatkan seorang guru tidak bisa
mengajar 24 jam seperti yang diamanatkan oleh aturan perun-
dangan, yaitu: satu, jumlah guru suatu bidang studi lebih banyak
dibandingkan jumlah jam mengajar yang tersedia. Misalnya guru
untuk mata pelajaran sejarah pada suatu sekolah tiga orang,
sedangkan kelas yang belajar sejarah hanya sembilan lokal. Jika
jumlah jam pelajaran dibagi habis berdasarkan jumlah guru, maka
setiap guru akan mengajar katakanlah selama 12 jam/minggu.
Dua, jumlah jam mengajar tidak mencukupi 24 jam, meskipun
gurunya hanya satu orang. Ketika sekolah membutuhkan guru
dengan kualiikasi tertentu, misalnya tamatan pendidikan ba-
hasa Jerman, maka melalui sekolah mendapatkan tenaganya.
Pada saat kebutuhan sertiikasi muncul, ternyata jam pelajaran
bahasa Jerman tidak mencapai 24 jam. Kenyataan tersebut yang
sering dikeluhkan oleh para guru, sehingga muncullah ketida-
kjujuran dalam melaporkan jumlah jam mengajar. Solusi yang
dianjurkan oleh Depdiknas adalah penempatan ulang guru pada
sebaran sekolah yang ada pada suatu kabupaten/kota oleh dinas
pendidikan, sehingga kebutuhan mengajar 24 jam tersebut ter-
http://facebook.com/indonesiapustaka

capai.

b. Faktor Kelembagaan Sertifikasi


Kelembagaan sertiikasi berkait dengan segala sesuatu yang
berkait yang berkait dengan penyelenggaraan dan tata kelola dari
sertiikasi seperti organsiasi dan pengorganisasian serta berbagai

172
BAB 6 Guru

aturan perundangan dan pengaturannya. Berikut beberapa permala-


han yang berkaitan dengan faktor ini:
1. Penyelenggaraan. Setiap pihak seperti LPTK, LPMP, Dinas Pen-
didikan, Departemen Pendidikan Nasional, dan lainnya memiliki
tugas dan fungsi yang jelas dalam penyelenggaraan sertiikasi,
namun tugas dan fungsi tersebut belum dimainkan secara baik,
sehingga penyelenggaraan sertiikasi belum berjalan seperti
yang diharapkan oleh banyak pihak. Permasalahan penyelengga-
raan meliputi data belum inal dari LPMP, SK asesor baru belum
diterima, nomor peserta tidak sesuai dengan kode bidang studi,
dinas pendidikan belum mengirimkan dokumen portofolio, dan
sebagainya.
2. Koordinasi. Kata koordinasi merupakan kata terindah dalam
manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan administrasi pu-
blik dan mudah untuk diucapkan, namun sukar untuk dilak-
sanakan, termasuk dalam tata kelola sertiikasi guru. Dalam
penyelenggaraan sertiikasi guru, terdapat kesulitan koordinasi
antara berbagai pihak terkait antara lain LPTK, LPMP, KSG, Di-
nas Pendidikan, dan Departemen Pendidikan Nasional. Beberapa
masalah koordinasi ditemukan, antara lain masalah SK asesor
baru, keterlambatan distribusi portofolio, kesalahan dan keter-
lambatan data peserta, kesalahan pengisian portofolio, distribui
informasi kebijakan baru.
3. Pendanaan. Ketika berbagai pihak telah menyelesaikan tugas
seperti yang telah ditetapkan, namun kompensasi atau peng-
hargaan dalam bentuk honor (uang) terhadap apa yang telah
dilakukan belum bisa diterima segera setelah selesai pekerjaan
yang mereka lakukan. Masih ada saja pihak yang mengeluhkan
persoalan ini. Di samping, para peserta sertiikasi yang telah lu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lus juga tidak bisa segera menerima tunjangan profesi, di antara


mereka ada yang menunggu lebih satu tahun.

c. Faktor Asesor
Asesor dapat juga menjadi persoalan dalam penyelenggaraan
sertiikasi dosen. Persoalan yang ditemukan dengan asesor berkait

173
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

dengan paling sedikit dua hal, yaitu: satu, latarbelakang pendidikan


yang dimiliki tidak sesuai dengan persyaratan yang dimiliki di mana
salah satu pndidikan harus dalam bidang pendidikan. Namun karena
memiliki jabatan tertentu di LPTK, dosen tersebut masih bisa ikut
menjadi asesor. Dua, ketidakmampuan untuk menyamakan persepsi
penilaian yang terlampau timpang antar asesor, sehingga diperlukan
asesor netral dari luar.

d. Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru


Apabila seorang peserta sertiikasi tidak lulus dalam penilaian
portofolio, maka dia diharuskan untuk melengkapi dokumen forto-
folio agar mencapai nilai lulus atau mengikuti pendidikan dan pela-
tihan profesi guru. Jika mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi
guru, maka pada bahagian akhir dari kegiatan tersebut para peserta
akan mengikuti ujian. Pendidikan dan pelatihan profesi guru terse-
but cenderung dipandang sebagai Aspirin, yaitu sebagai obat yang
menghilangkan rasa sakit terhadap semua penyakit, namun bukan
sebagai penyembuh penyakit yang diserita. Jika seseorang tidak lulus
dalam penilaian portofolio, maka dia mendapatkan pendidikan dan
pelatihan yang berkaitan dengan semua kompetensi, bukan terhadap
kompetensi yang dinilai kurang atau tidak lulus saja. Oleh karena itu,
kegiatan tersebut dilihat sebagai aspirin.

e. Kelulusan dan Profesionalitas


Apakah seorang guru yang telah dinyatakan lulus sertiikasi dan
memperoleh penghargaan berupa tunjangan profesi bisa dinyatakan
profesional? Secara teoritis-hipotetis bisa! Namun jika ditelusuri re-
alitas yang sebenarnya maka sebahagian guru belum bisa dikatakan
sebagai guru profesional. Meskipun telah lulus sertiikasi guru, na-
mun sebahagian guru yang lulus tersebut belum menunjukkan kom-
http://facebook.com/indonesiapustaka

petensi pedagogik dan kompetensi profesional pada saat mereka


melaksanakan proses pembelajaran dan pendidikan di ruang kelas
dari sekolah mereka. Dalam konteks ini, kelulusan dari suatu uji
portofolio, belum tentu secara substansial profesional dalam melak-
sanakan tugas dan fungsi sebagai guru.

174

Anda mungkin juga menyukai