Anda di halaman 1dari 13

ETIKA PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK

(Kontektualisasi Hadits Innama Ana Lakum Mitslul Waalidi Liwalidihi)


Firmansyah
Sekolah Tinggi Agama Islam AL-HIKMAH Jakarta
firmansyah@ululilmi.sch.id

Abstrak
Artikel ini menganalisis hadits yang erat kaitanya dengan dunia pendidikan, dalam hal ini
lebih jelasnya yaitu terkait etika pendidik dan peserta didik, yang mana bunyi hadits
tersebut adalah “ innama ana lakum mitslul waalidi liwalidihi ” ( Sesungghnya aku
bagimu adalah seperti orang tua kepada anaknya ). dilihat dari sisi kualitas sanad dan
kontektualisasi pemaknaan matannya. Setelah dilakukan investigasi takhrij hadis, ada
beberapa hadits yang memiliki kemiripan baik dari makna maupun tema dengan hadis
tersebut, dengan kualitas sanad hadis yang variatif. Sanad hadis innama ana lakum
yaitu Hasan dengan status marfū'’ yakni memiliki strata kehujjahan yang tinggi,
sehingga bisa dijadikan hujjah syar’iyyah. Secara kontekstual innama ana lakum ini bisa
digunakan untuk dalil bagi para pendidik untuk memperlakukan peserta didiknya
sebagaimana perlakuan seorang ayah ataupun ibu kepada anaknya sendiri.
Keywords: hadist, orang tua, anak, matan, sanad, takhrij, kontekstualisasi.

A. PENDAHULUAN
Seorang pendidik dan peserta didik adalah unsusr manusiawi dalam sebuah
sistem pendidikan. Kedudukan kedua unsur ini sangat dominan dalam sistem
pendidikan dan menjadi tempat segala persoalan dalam pendidikan. Ketika banyak
orang mempersoalkan dunia pendidikan, seorang pendidik pasti terlibat dalam agenda
pembicaraan, terlebih berkaitan dengan persoalan pendidikan formal di sekolah1.
Dalam proses pembelajaran, pendidik adalah unsur manusiawi yang
menempati posisi dan memegang peranan penting dikarenakan pendidik tidak hanya
bertugas sebagai pengajar, akan tetapi berberan juga dalam usaha pembentukan watak,
tabiat dan pengembangan sumber daya yang dimiliki oleh peserta didik. Seorang
pendidik tidak hanya bertugas atau berperan sebagai pengajar yang hanya mampu
untuk transfer of knowledge (mengirim sebuah pengetahuan) dan transfer of skill (

1
R Latuapo, “Etika Interaksi Guru Dan Peserta Didik Di Kelas Dalam Pendidikan Islam,” Horizon
Pendidikan, 2019, 243–246.
1
menyalurkan sebuah keterampilan) tetapi lebih dari itu juga sebagai transfer of value
(menanamkan nila-nilai) yaitu nilai-nilai untuk pembentukan akhlak atau perilaku
peserta didik2.
Dalam sebuah konteks pendidikan yang ada saat ini, bahwa etika pendidik dan
peserta didik dalam Islam ternyata sedikit demi sedikit mulai berubah, nilai-nilai
ekonomi lambat laun mulai masuk, sehingga yang terjadi sekarang yaitu 1. Persoalan
sopan santun telah hilang dari kehidupan mereka. Mereka terkesan kurang hormat
kepada gurunya, 2. Kedudukan seorang pendidik semakin menurun, 3. Hubungan
pendidik dan peserta didik semakin kurang bernilai, atau penghormatan peserta didik
kepada pendidik semakin menurun, 4. Harga karya mengajar semakin menurun. Maka
tidak heran melihat kenyataan seperti diatas banyak dari seorang pendidik sekarang
yang tidak mengenal lagi rasa sopan santun, menganggap seorang pendidik (gurunya)
sebagai teman sepermainan yang setiap saat bisa yang setiap saat bisa diajak
bercanda, bermain, duduk di kursi guru bahkan memanggil dengan sebutan namanya
saja 3.
Begitu juga dengan seorang pendidik, permasalahan yang terjadi saat ini
terkadang seorang pendidik kurang mengakrabkan dirinya pada peserta didik dan
masih sering ditemukan beberapa dari seorang pendidik (guru) yang memperlakukan
peserta didik atau siswanya dengan pilih kasih dan membeda-bedakan siswanya yang
cerdas, cantik, berpangkat, anak kesayangan dan lain sebagaianya, sehingga peserta
didik lainnya merasa dirinya tidak mendapat perhatian yang sama atau tidak
diperhatikan. Seorang pendidik menjadikan sekolah sebagai ajang penganiayaan,
pelecehan, dan tindak kriminla lainnya. Padahal seorang peserta didik seharusnya

merasakan bahwa sekolah bagi mereka adalah tempat yang menyenangkan.


Pada umumnya, etika diidentikan dengan moral (moralitas). Namun etika dan
moral memiliki perbedaan pengertian meskipun sama-sama terkait dengan baik dan
buruk perbuatan manusia. Moral lebih kepada pengertian “ nilai baik dan buruknya
setiap perbuatan manusia”, sedangkan etika lebih kepada pengertian “ ilmu yang
mempelajari tentang baik dan buruk”4. Sehingga bisa diartikan bahwa etika adalah

2
Suriadi, “Etika Interaksi Edukatif Guru Dan Murid Menurut Perspektif Syaikh ʻAbd Al-Ṣamad Al-
Falimbānī,” (2018): 145
3
Ervhan Saleh Pratama, “Hubungan Guru Dan Murid Dalam Pendidikan Agama Islam,” Tadabbur : Jurnal
Perdaban Islam 2, no. 2 (2020): 333–48
4
Abdul Hakim, “Filsafat Etika Ibn Miskawaih,” Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin 13, no. 2 (2016): 135,
https://doi.org/10.18592/jiu.v13i2.727.
2
bagian teori tentang baik dan buruk sedangkan moral merupakan bagian dari
prakteknya.
Jika kita kaitkan dengan hadits “ innama ana lakum mitslul waalidihi ”, kita
akan menemukan beberapa sudut pandang terkait bagaimana etika seorang pendidik dan
peserta didik dalam melaksanakan sebuah kegiatan belajar mengajar baik dalam sebuah
lembaga maupun non lombaga. Akan lebih sangat menarik lagi jika kita melakukan
sebuah kajian dan kritik terhadap hadis tersebut dengan perangkat ulūmul ḥadīś
yang memadai, serta mempertimbangkan penilaian-penilaian dan pemahaman para
ulama penulis syarh kitab hadis terhadap kualitas sanad dan pemahaman matan
hadis ini.

B. TAKHRIJUL HADITS INNAMA ANA LAKUM MITSLUL WALIDI


Takhrij hadits ini dilakukan untuk mengetahui hadits hadits yang memiliki
kemiripan baik dari segi makna maupun tema dan juga mengetahui siapa siapa saja yang
meriwayatkan hadits tersebut ( perawinya ), Dalam melakukan takhrij hadis innama ana
lakum, penulis hanya menggunakan aplikasi Jami’ul Kutub at-Tis’ah.
Jika kita mencari innama ana lakum pada aplikasi Jami’ul Kutub at-Tis’ah maka
kita akan menemukannya hadits tersebut diriwayatka oleh Abdur-Rahman /Abu
Hurairoh ( w. 57 H/678 M). untuk lebih jelasnya bisa kita perhatikan tabel dibawah ini.

‫رقم‬ ‫طرف الحديث‬ ‫الصحابي‬ ‫إسم الكتاب‬ ‫المصنف‬

١ ‫إ ِ َّن َما َأنَا َل ُك ْم ب ِ َم ْن ِز َل ِة ا ْل َوا ِل ِد‬ َ‫أَ ِبي ه َُري َْرة‬ ُ‫سنن أبي داود | ِكتَاب‬ Sulaiman Bin Al-
‫ُأ َع ِل ُم ُك ْم‬ ُ‫ ك ََرا ِه َية‬: ٌ‫ار ِة | َباب‬ َ ‫ط َه‬ َّ ‫ال‬ Asy'as Bin Ishak
ِ‫ضاء‬ َ ‫ا ْس ِت ْق َبا ِل ا ْل ِق ْب َل ِة ِع ْندَ َق‬ Bin Basyir Bin
‫ْال َحا َج ِة‬ Syidad Bin Amar
Al-Azdi As-
Sijistani.

٢ ‫أَ ِبي ه َُري َْرةَ ِإ َّن َما أَنَا َل ُك ْم مِ ْث ُل ْال َوا ِل ِد‬ ُ‫ سنن النسائي | ِكتَاب‬Abu Abdirrahman
‫أُ َع ِل ُم ُك ْم‬ ْ‫ي َعن‬ ُ ‫ار ِة | ال َّن ْه‬
َ ‫ط َه‬ َّ ‫ ال‬Ahmad Bin Syuaib
‫ث‬
ِ ‫الر ْو‬ َ ‫ ِاِل ْس ِت‬Bin Ali Bin Bahar
َّ ‫طا َب ِة ِب‬
Bin Sinan Bin Dinar
An-Nasa'i

٣ ‫أَ ِبي ه َُري َْرةَ َّن َما أَنَا َل ُك ْم مِ ْث ُل ا ْل َوا ِل ِد‬ ُ‫ سنن ابن ماجه | ِكتَاب‬Abdullah
‫ل َِو َل ِد ِه أُ َع ِل ُم ُك ْم‬ : ٌ‫س َن ِن َها | َباب‬
ُ ‫ار ِة َو‬َ ‫ط َه‬ َّ ‫ ال‬Muhammad Bin
َ ‫ ِاِل ْس ِت ْن َجا ُء ِب ْالحِ َج‬Yazid Bin Majah
‫ار ِة‬
Ar-Rabi'i Al-
Qazwini

3
٤ ‫أَ ِبي ه َُري َْرةَ ِإ َّن َما أَنَا َل ُك ْم مِ ْث ُل ا ْل َوا ِل ِد‬ ُ‫ سنن الدارمي | ِكتَاب‬Abdullah Bin
‫ِل ْل َو َل ِد أُ َع ِل ُم ُك ْم‬ : ٌ‫ | َباب‬.‫ار ِة‬ َ ‫ط َه‬ َّ ‫ ال‬Abdurrahman Bin
َ
‫ ِاِل ْس ِت ْن َجا ُء ِب ْاْلحْ َج ِار‬Al Fadhl Bin
Bahram Bin
Abdush Shamad.

٥ ‫أَ ِبي ه َُري َْرةَ ِإ َّن َما أَنَا َل ُك ْم مِ ْث ُل ا ْل َوا ِل ِد‬ ‫ مسند أحمد | ُم ْس َندُ أَ ِبي‬Abu Abdillah,
ُ‫َّللا َع ْنه‬
ُ َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ه َُري َْرةَ َر‬. Ahmad Bin Ahmad
Bin Muhammad
Bin Hanbal Asy-
Syaibani.

٦ ‫أَ ِبي ه َُري َْرةَ ِإ َّن َما أَنَا َل ُك ْم مِ ْث ُل ا ْل َوا ِل ِد‬ ‫ مسند أحمد | ُم ْس َندُ أَ ِبي‬Abu Abdillah,
ُ‫أُ َع ِل ُم ُكم‬ ُ‫َّللا َع ْنه‬
ُ َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ ه َُري َْرةَ َر‬Ahmad Bin Ahmad
Bin Muhammad
Bin Hanbal Asy-
Syaibani.
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa hadis innama ana lakum
bersumber dari sahabat Abu Hurairoh dan terdapat di dalam lima kitab ( Musnad
Abi Dawud, Musnad Annasa’i, Musnad Ibnu Majah, Musnad Addarimi, Musnad
Ahmad ).
Berikut penulis akan mengambil salah satu hadis dengan satu rangkait
perawi, yakni hadis yang ada di dalam Sunan Ibnu Majah. Hadis ini bernomor 313
dengan bunyi sebagai berikut:
‫ع ْن‬
َ ، ٍ‫صالِح‬ َ ‫ع ْن أَبِي‬ َ ، ‫ِيم‬ ٍ ‫اع ب ِْن َحك‬ ْ َ ، َ‫عجْ ََلن‬
ِ َ‫ع ِن القَ ْعق‬ َ ‫ع ِن اب ِْن‬ َ ، َ‫ أَ ْخبَ َرنَا سُ ْفيَا ُن ْب ُن عُيَ ْينَة‬: ‫ قَا َل‬، ‫َّاح‬
ِ ‫صب‬ َّ ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ْب ُن ال‬
‫ط فَ ََل تَ ْستَ ْقبِلُوا‬ َ ُ ‫ " إِنَّ َما أَنَا لَكُ ْم مِ ثْ ُل ا ْل َوا ِل ِد ل َِولَ ِد ِه أ‬: ‫سلَّ َم‬
َ ِ‫ع ِل ُمكُ ْم إِذَا أَتَ ْيت ُ ُم ا ْلغَائ‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫ قَا َل َرسُو ُل‬: ‫ قَا َل‬، َ‫أَبِي ه َُري َْرة‬
.ِ‫الر ُج ُل ِبيَمِ ينِه‬ َ ِ‫ َونَ َهى أَ ْن َي ْستَط‬،ِ‫الر َّمة‬
َّ ‫يب‬ ِ ‫ث َو‬
ِ ‫الر ْو‬
َّ ‫ع ِن‬ ٍ ‫ َوأَ َم َر ِبثَ ََلثَ ِة أَحْ َج‬." ‫ َو ََل تَ ْستَ ْد ِب ُروهَا‬،َ‫ا ْل ِق ْبلَة‬
َ ‫ار َونَ َهى‬
Artinya “ Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Ash Shabbah]
berkata, telah memberitakan kepada kami [Sufyan bin 'Uyainah] dari [Ibnu 'Ajlan]
dari [Al Qa'qa' bin Hakim] dari [Abu Shalih] dari [Abu Hurairah] ia berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kedudukanku bagi kalian adalah
seperti seorang bapak kepada anaknya, aku akan mengajari kalian; jika kalian ingin
buang hajat maka janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya." Beliau
memerintahkan untuk beristinja` dengan tiga butir batu dan melarang menggunakan
kotoran hewan dan tulang. Dan beliau juga melarang seorang laki-laki cebok dengan
menggunakan tangan kanannya.”
Di dalam Jami’ul Kutub Attis’ah ini, kita mendapat informasi bahwa dalam
kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan bahwa hadis ini marfū'. Kemudian jika kita lihat
bagaimana kualitas para perawi hadis tersebut berdasarkan penilaian para ulama
kritik hadis. Berikut ini adalah penjelasan susunan perawinya berserta guru dan

4
muridnya, dan informasi-informasi lainnya serta penilaian ulama atas mereka. Penulis
sengaja mengambil satu jalur sanad saja yang ada di dalam Sunan Ibnu Majah —
karena keterbatasan waktu dan tempat pembahasan. Satu jalur ini sebagai contoh
saja—dan tentu tidak bisa mewakili dalam menilai kualitas sanad. Namun, satu jalur
ini paling tidak bisa menunjukkan bahwa kualitas perawinya dan ketersambungan
sanadnya (ittişāl as-sanad) hadis Innama ana lakum.
1. Muhammad bin Ash Shabbah
Nama lengkap Imam Al Hasan bin Muhammad Ash-Shabah Azza’farani.
Beliau dikenal sebagai seorang pakar fikih dan pakar hadis dari Baghdad. Sering
dipanggil dengan nama Abu Ali al-Baghdadi Azza’farani. Nama Azza’farani
dinisbatkan pada daerah Darb Azza’faran yang berada di antara daerah Bab as-
Sa’ir dan daerah Karkh, Lahir pada tahun 170 H, Wafat pada tahun 260 H.
Imam al-Hasan bin Muhammad ash-Shabah Azza’farani belajar fikih dan
hadis kepada Imam Syafi’i. Beliau mengikuti qaul qadim Imam Syafi’i. Selain
itu, beliau juga berguru kepada Sufyan bin ‘Uyainah, Abu Mu’awiyah adh-Dharir,
Isma’il bin ‘Ulayya, ‘Ubaidah bin Hamid, Waqi’ bin Jarrah, Abul Wahab ats-
Tsaqafi, Muhammad bin Abi ‘Adi, Yazid bin Harun, Hajjaj bin Muhammad, Abu
Abdillah asy-Syafi’i.5
2. Sufyan bin 'Uyainah
Sufyan bin Uyainah memiliki nama lengkap yaitu Abu Muhammad Sufyan
bin Uyainah bin Maimun Al Hilali Al Kufi, lahir di Kuffah pada tahun 107
hijriyah, wafat pada tahun 198 hijriyah di Mekkah dalam usia 91 tahun dan
dimakamkan Hajun. Sufyan bin Uyainah sempat bertemu dengan 87 tabi’in dan
mendengar hadis dari 70 orang di antaranya yang paling terkenal adalah Ja’far
Ash Shadiq, Humaid Ath Thawl, Abdullah bin Dinar, Abu Az Zanab dan Shalin
bin Kaisan.
3. Ibnu 'Ajlan
Nama aslinya adalah Muhammad bin Ajlan al-Madaniy al-Quraisyi. Dia
meriwayatkan hadits di antaranya dengan sanad dari Bapaknya yaitu Ajlan, Anas
bin Malik, Sulaiman bin Abi Hazim al-Asyja’i, Ibrahim bin Abdullah bin Hunain.
sedangkan perawi yang meriwayatkan dari jalur Muhammad bin ‘Ajlan di
antaranya Shalih bin Kaisan, Abdul Wahab bin Bukht, Ibrahim bin Ablah dan

5
Baca artikel “ layanan dokumentasi ulama dan keislaman”
5
Ziyad bin Sa’id. Muhammad bin Ajlan wafat pada tahun 48 H. Dia termasuk
perawi yang tsiqah, sebgaimana di ungkapkan oleh al-Ijliy dan Ibnu Uyainah.
4. Al Qa'qa' bin Hakim
Al Qa'qa' bin Hakim beliau dari Tabi'in kalangan biasa, Semasa Hidupnya
beliau bertempat di kota Madinah, riwayat pengumpulan hadits: 5 hadits dalam
Shahih Muslim. 8 hadits dalam Sunan Abu Daud. 8 hadits dalam Sunan Tirmidzi.
11 hadits dalam Sunan Nasa'i. 6 hadits dalam Sunan Ibnu Majah. 30 hadits dalam
Musnad Ahmad. 2 hadits dalam Muwatha' Malik. 8 hadits dalam Sunan Darimi.
Beberapa Pendapat Ulama tentang a. Al Qa'qa' bin Hakim:
Ibnu Hibban berpendapat Al Qa'qa' bin Hakim disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Adz Dzahabi berpendapat Al Qa'qa' bin Hakim mentsiqahkannya
Ahmad bin Hambal berpendapat Al Qa'qa' bin Hakim Tsiqah
Yahya bin Ma'in berpendapat Al Qa'qa' bin Hakim Tsiqah
Ibnu Hajar al 'Asqalani berpendapat Al Qa'qa' bin Hakim Tsiqah
5. Abu Shalih
Abu Shalih as Samman bernama asli Dzakwan bin ‘Abdillah maula Ummil
Mukminin Juwairiyah al-Ghathafaniyah. Lahir pada masa khalifah Umar bin
Khaththab. Imam adz-Dzahabi menyebutkan bahwa Abu Shalih as-Samman
berguru kepada sejumlah Sahabat Nabi ; Sa’ad bin Abi Waqqash, Ummul
Mukminin ‘Aisyah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Sa’id, Mu’awiyah dan
bermulazamah dengan Abu Hurairah sekian lama. Abu Shalih as Samman
seorang ulama pada zamannya. Bahkan terhitung sebagai salah satu ulama besar
Madinah. Imam Ahmad (wafat tahun 241H) memujinya dengan berkata, “Abu
Shalih itu tsiqah tsiqah”.
6. Abu Hurairah
Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis Nabi
Muhammad SAW, ia meriwayatkan hadis sebanyak 5.374 hadis. Abu Hurairah
lahir diperkirakan lahir 19 tahun sebelum hijriyah. wafat pada usia ke 78 tahun
pada 57 hijriyah. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi. Abu Hurairah
memeluk Islam pada tahun 7 H, tahun terjadinya perang Khibar, Rasulullah
sendirilah yang memberi julukan “Abu Hurairah”, ketika beliau sedang
melihatnya membawa seekor kucing kecil. Julukan dari Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam itu semata karena kecintaan beliau kepadanya. Abu Hurairah
menyadari dirinya adalah orang yang masuk islam belakangan, maka ia bertekad

6
untuk mengejar ketertinggalan, dengan cara mengikuti Rasulullah SAW terus
menerus dan majelisnya.
Kemudian dirinya merasakan menyadari bakat daya ingat yang luas dan kuat
yang diberikan oleh Allah SWT melalui doa Rasulullah SAW. Allah SWT
mengabulkan doa Rasulullah SAW agar Abu Hurairah dianugrahi hapalan yang
kuat. Dan dia pun memang dari kalangan sahabat yang hafalannya paling banyak.
Beliau menyiapkan dirinya dan kemudian menggunakan bakat dan kemampuan
karunia Allah, itu untuk memikul tanggung jawab dan memelihara peninggalan
yang sangat penting dan mewariskannya kepada generasi seterusnya.

C. MEMAKNAI HADIS INNAMA ANA LAKUM


Dalam memaknai hadits ini dikarenakan pembahasan kita berfokus pada etika
pendidik dan peserta didik maka penulis hanya mengutip sebagian dari matan hadits.
Kalimat tersebut adalah :
‫ِإ َّن َما أَنَا َل ُك ْم مِ ْث ُل ا ْل َوا ِل ِد ل َِو َل ِد ِه‬
Artinya “ Kedudukanku bagi kalian adalah seperti seorang bapak kepada
anaknya”.
Jika kita lihat di zaman sekarang terkadang masih banyak pendidik dan juga
peserta didik yang belum menyadari bagaimana etika yang seharusnya dijalankan
ketika menjadi seorang pendidik maupun peserta didik. Contoh kecil: seorang pendidik
yang belum bisa berlaku adil terhadap anak didiknya, masih ada sikap pilih kasih dan
lain sebagainya. padahal sebagaimana yang disabdakan rosulullah, sekelas rasulpun
memperlakukan para sahabatnya seperti seorang ayah terhadap anaknya. Untuk lebih
jelasnya penulis akan memaparkan etika pendidik dan peserta didik menurut dua tokoh
besar dalam islam yaitu Imam Alghazali Dan Imam Ibnu Miskawaih.
1. Imam alghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al Tusi
AlGhazali. Biasanya dikenal dengan sebutan Imam Al Ghazali. Beliau dilahirkan pada
tahun 450 H atau bertepatan pada tahun 1058 M, di desa Gazalah di daerah Tus
Khurasan. Beliau wafat pada tahun 505 H atau bertepatan pada tahun 1111 M pada
usia 53 tahun6. Beliau dijuluki Hujjatu al Islam karena karyanya di berbagai bidang
seperti Filsafat, logika, tasawwuf dan pendidikan7. Al Ghazali mempunyai pengaruh

6
Caron Bargerol, “Sufism’s Role in Al-Ghazali’s First Crisis of Knowledge,” Medieval Encounters 9, no.
1 (2003).
7
Yoke Suryadarma and Ahmad Hifdzil Haq, “Pendidikan Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali,” At-Ta’dib
10, no. 2 (2015): 362–81
7
yang sangat besar, baik dalam historis pemikiran Islam maupun religiusitas umat
Islam. Bahkan ada yang mengatakan bahwa jika harus ada nabi lain setelah Nabi
Muhammad, Maka Al Ghazali adalah orangnya. Akan tetapi ada juga sebagian orang
yang yang mencibir sosok Al Ghazali. Mereka percaya bahwa tradisi mistik dalam
masyarakat disebabkan oleh penjelmaan mistik pemikiran Al Ghazali. Tradisi ini
menjadi salah satu penyebab stagnasi laju gerakan intelektual dalam dunia Islam .
Kajian etika dalam Islam yang berdasarkan Al- Qur’an dan As-Sunnah tidak mungkin
mengenyampingkan seorang pemikir besar Islam, Al Ghazali. Pemikirannya tentang
moral sangat mendalam. Hal ini sering dijumpai dalam karya-karyanya, terutama
kitab Ihya’Ulumuddin. Ajaran Akhlak Al Ghazali berlandaskan pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah dan melewati perenungan rasional baik pedoman maupun karya Akhlak
yang ada pada masanya.
Pendidik yang baik menurut Al Ghazali harus memiliki beberapa etika sebagai
berikut8:
a. Memberikan rasa kasih sayang kepada peserta didiknya .
b. Tidak mengharapkan balasan dan murni karena untuk mencari ridho Allah SWT.
c. Selalu memberikan nasihat kepada peserta didiknya.
d. Bersikap lemah lembut dalam mengajar dan memberi peringatan dengan lebih
dengan sindiran dan cara kasih sayang dan tidak mengejeknya.
e. Seorang Pendidik harus bertanggung jawab terhadap mata pelajaran yang diampu,
tidak boleh melecehkan mata pelajaran lain di depan peserta didiknya.
f. Seorang pendidik harus meringkas atau mempermudah materi pembelajarannya,
dan tidak boleh mempersulit peserta didiknya.
g. Pendidik harus memberikan pemahaman yang jelas dan singkat sesuai dengan
kemampuan pemahaman dari peserta didiknya.
h. Pendidik diharuskan untuk mengamalkan ilmunya dan tidak berbohong.
Dalam hal ini seorang pendidik dilarang mendustakan perkataannya
karena ilmu itu diperoleh dengan ainul bashiroh atau dengan pandangan hati,
sedangkan pengalaman diperoleh oleh pandangan mata. Seperti yang telah
difirmankan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an, surah Al-Baqoroh ayat 44, “
mengapa kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca
al kitab (Taurat) maka tidaklh kamu berpikir”.

8
Muhammad Al Ghozali, Ihya’ Ulumuddin (Libanon: Bairut, 2005).
8
Begitu juga dengan peserta didik, Al Ghazali menjelasakan bahwa
terdapat beberapa etika dan tugas yang harus dipenuhi oleh peserta didik
diantaranya.
a. Seorang peserta didik hendaknya mengurangi kesibukan duniawi.
b. Seorang peserta didik harus hijrah atau pindah ke tempat lain agar hatinya
bisa fokus untuk ilmu saja.
c. Seorang peserta didik harus memperhatikan kesucian jiwa dari akhlak yang
madzmumah (tercela). Karena ilmu merupakan suatu kebaktian hati dan
pendekatan jiwa kepada Allah SWT.
d. Seorang peserta didik jangan mempunyai sifat sombong dan angkuh dengan
ilmunya dan jangan menentang seorang pendidik.
e. Seorang pendidik pada tingkat dasar, hendaknya menjaga dirinya dari suatu
perdebatan orang tentang ilmu pengetahuan. Baik itu ilmu kedunian atau
ilmu keakhiratan.
f. Seorang peserta didik boleh meninggalkan satu macam mata pelajaran ilmu
pengetahuan dari beberapa macamnya. Dan mengambil yang terpenting
untuk diperdalam.
g. Seorang peserta didik tidak mempelajari suatu macam ilmu dengan
bersamaan. Tetapi dengan tertib dan memilih yang lebih penting, Tidak
memasukkan dirinya ke dalam suatu ilmu pengetahuan sebelum
menyempurnakan bidang ilmu sebelumnya.
h. Hendaknya seorang peserta didik tahu kedudukan dan manfaat suatu ilmu.
i. Seorang peserta didik harus mengetahui kaitan suatu ilmu dangan tujuannya.
2. Imam Ibnu Miskawaih.
Tokoh selanjutnya yaitu Ibnu Miskawaih. Nama lengkapanya adalah Abu
Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub Miskawaih al-Khazin ar-Razi al
Isfahani. Dilahirkan pada tahun 330 H atau bertepatan pada tahun 932 M. Beliau
berasal dari kota Ray, Iran. Beliau wafat pada tahun 421 H atau bertepatan pada
tahun 1030 M9. Sebagian besar hidup beliau digunakan untuk mengabdikan
dirinya pada dinasti pemerintahan Dinasti Bani Buwaih. Salah seorang Banu
Buwaih yang paling berpengaruh terhadap perjalanan hidupnya yaitu Abu Fadl
ibn al-Hamid. Ibn Miskawaih selama tujuh tahun mengabdikan dirinya sebagai
pustakawan dan penjaga perpustakaan milik Ibn al- Hamid. Disinilah beliau

9
Hakim, “Filsafat Etika Ibn Miskawaih.”
9
dapat menuntut ilmu dan banyak memperoleh banyak hal positif selam bergaul
dengan pangeran ini, sehingga mendapatkan kedudukan yang berpengaruh di ibu
kota pemerintahan bani Buwaih saat itu. Beliau berbicara banyak tentang etika
dalam karyanya Tahdzibul Akhlaq Wa Tathirul Aroq. Dalam kitabnya ini beliau
merumuskan konsep untuk membangun sebuah etika yang bisa mendatangkan
kebahagiaan bagi individu dan masyarakat, yang mana masyarakat yang
dihadapinya saat itu akhlaknya rusak. Karyanya ini juga menegaskan bahwa di
samping beliau telah menulis pemikiran tentang etika, beliau juga seorang yang
juga telah melaksanakan dengan baik apa yang telah ditulisnya tersebut.
Miskawaih memberikan definisi bahwa kedudukan pendidik sejati itu
sejajar dengan posisi nabi terutama dalam hal cinta kasih. Sementara itu pendidik
yang belum mencapai derajat tersebut dipandang sama dengan seorang saudara
atau teman. Dan juga boleh menimba ilmu dan adab dari mereka. Menurut
miskawaih, posisi seorang teman atau saudara paling tinggi mungkin hanya
diletakkan diatas berbagai cinta kasih, tetapi masih dibawah cinta sejati.
Kecintaan seorang peserta didik terhadap pendidik (guru) biasa, masih
menempati posisi lebih tinggi dari pada cinta peerta didik kepada orang tuanya.
Dengan kata lain kedudukan pendidik (guru) biasa terletak diantara posisi orang
tua dan pendidik yang ideal10
Ibn Miskawaih menjelaskan beberapa etika seorang pendidik dalam
kitabnya “Tahdzibul Akhlaq wa Thathirul Aroq”, diantaranya11:
a. Seorang pendidik harus mencintai peserta didik seperti halnya mencintai
anak kandungnya sendiri.
b. Pendidik tidak mengharapkan imbalan (upah) atau gaji. Karena mendidik itu
merupakan tugas yang diwariskan oleh nabi. Sedangkan upah yang
sebenarnya adalah sebuah pengamalan dari peserta didik atas ilmu yang telah
diajarkan kepadanya.
c. Seorang pendidik harus tiada henti untuk mengingatkan peserta didiknya
bahwa tujuan mencari ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencapai
keuntungan pribadi, akan tetapi untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. diri
kepada Allah.

10
Al Darmono, “Konsep Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Ibn Miskawaih Dan Al Mawardi
(Suatu Studi Komparatif),” Journal of Chemical Information and Modeling 53, no. 9 (2013): 1689–99.
11
Miskawaih, Tahdhib Al-Akhlāq Wa Tathir Al-‘Araq
10
d. Seorang pendidik hendaknya menganjurkan peserta didiknya untuk mencari
ilmu yang bermanfaat dan membawa kebahagiaan dunia akhirat.
e. Seorang pendidik harus menjadi uswah atau contoh yang baik untuk
peserta didiknya, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, dan berakhlakul
karimah.
f. Seorang pendidik harus mengajarkan pelajaran sesuai dengan tingkat
pengetahuan atau keilmuan dan kecenderungan peserta didiknya.
g. Pendidik harus mengetahui dan memahami minat, bakat dan jiwa peserta
didiknya.
h. Pendidik harus bisa mengamalkan apa yang telah diajarkan kepada peserta
didiknya, karena dia yang dijadikan sebagai kiblat oleh peserta didik
bagaimana dalam melakukan berbagai hal.
Ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa agar peserta didik mendapatkan
keridhoan Allah SWT dalam menuntut ilmu, maka peserta didik harus mampu
memahami etika yang harus dimilikinya sesuai dengan ajaran islam, diantaranya12
Setiap peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran sebelum
menuntu ilmu.
a. Seorang peserta didik dalam menuntut ilmu harus bertujuan untuk menghiasi
ruh dengan sifat-sifat yang mulia dan untuk mendekatkan diri dengan tuhan.
Dan bukan untuk bermegah-megahan.
b. Peserta didik tidak bolrh sedikitpun menganggap remeh pengetahuan-
pengetahuan yang dia tidak diketahui atau dipahami, tetapi dia harus
mengambil bagian dari tiap pengetahuan-pengetahuan tersebut yang pantas
baginya dan tingkatan yang wajib baginya.
c. Janganlah seorang peserta didik mengikuti teman-teman yang bodoh dalam
mengecam sebuah ilmu, tanpa mengetahui pa yang patut dicela dan dipuji
tentangnya.
d. Peserta didik mengucapkan salam terlebih dahulu sebelum gurunya ketika
bertemu atau di kelas.
e. Ketika seorang peserta didik telah memilih pendidik (guru) yang tepat, maka
dia harus belajar dengan sabar dan istiqomah dengan guru terebut.
f. Patuhi perintah dari seorang pendidik (guru) selama bukan perintah
dalam hal kemaksiatan.

12
Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam.
11
g. Seorang peserta didik harus mengupayakan dirinya untuk hadir terlebih
dahulu di majlis sebelum pendidik atau gurunya.
h. Peserta didik hendaknya berteman dengan yang berbudi pekerti baik dan
berhati mulia.
i. Peserta didik harus sedikit menjauhi teman yang bersifat pemalas dan tidak
sombong.

D. KESIMPULAN
Hadis innama ana lakum mitslul waalidi liwalidihi memiliki sanad yang
Hasan Shahîh, merupakan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang memenuhi
kriteria hadis shahîh, juga memiliki strata kehujjahan yang tinggi, sehingga ia bisa
digunakan untuk dalil agama. Matan hadis ini juga bisa dimaknai secara kontekstual
sehingga bisa berguna terutama dalam dunia pendidikan.

12
DAFTAR PUSTAKA
Aldarmono, A. (2014). Konsep Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Ibn
Miskawaih Dan Al Mawardi (Suatu Studi Komparatif). Al-Mabsut: Jurnal Studi
Islam dan Sosial, 8(2), 46-60.
Alwi, M. B. (2021). Etika Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Al Ghozali Dan
Ibn Miskawaih. Attaqwa: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, 17(02), 152-163.
Hakim, A. (2016). Filsafat Etika Ibn Miskawaih. Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, 13(2),
135-143.
https://www.laduni.id/post/read/71634/biografi-imam-al-hasan-bin-muhammad-as-
shabah-azza-farani
Latifah, S. N. (2021). Pemikiran al-ghazali tentang pendidik dan peserta didik dalam kitab
ihya’ulumuddin (Doctoral dissertation, IAIN Palangka Raya).
Latuapo, R. (2019). Etika Interaksi Guru Dan Peserta Didik Di Kelas Dalam Pendidikan
Islam. Horizon Pendidikan, 10(2).
Nata, A. (2000). Pemikiran para tokoh pendidikan Islam. RajaGrafindo Persada.
Pratama, E. S. (2020). Hubungan Guru dan Murid dalam Pendidikan Agama Islam
Menurut Kajian QS Al-Kahfi Ayat 65-70. Tadabbur: Jurnal Peradaban
Islam, 2(2), 333-348.
Suriadi, S. (2019). Etika Interaksi Edukatif Guru Dan Murid Menurut Perspektif Syaikh
ʻAbd Al-Ṣamad Al-Falimbānī. DAYAH: Journal of Islamic Education, 1(2), 145-
163.
Suryadarma, Y. Ahmad Hifdzil Haq. 2015. Pendidikan Akhlak Menurut Imam Al-
Ghazali.

13

Anda mungkin juga menyukai