Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN GANGGUAN

SEKSUAL

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Konsep Kebidanan

Dosen Pengampu :
Ibu Ina Indriati, S.ST.,M.Keb

Disusun oleh :

Renata Reinka Faradisa (216012)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN


INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN TERAPAN RS dr. SOEPRAOEN KESDAM
V/BRW MALANG - 2021
Jalan Sudanco Supriadi nomor 22 Malang 65147
Telp.(0341) 351275 Fax. (0341) 351310
Website : www.poltekkes-soepraoen.ac.id/
Email : informasi@poltekkes-soepraoen.ac.id

1
DAFTAR ISI
JUDUL ................................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... 2
A. Pengertian Gangguan Seksual ............................................................................................3
B. Jenis-jenis Gangguan Dalam Gangguan Seksual................................................................3
C. Gejala-gejala Gangguan Seksual........................................................................................7
D. Etiologi (Penyebab Mengapa Seseorang Bisa Mengalami Gangguan Seksual )................8
E. Patafisiologi Gangguan Seksual..........................................................................................8
F. Komplikasi Pada Gangguan Seksual ..................................................................................9
G. Metode atau Treatmen.......................................................................................................10
H. Pemeriksaan Diagnostik Gangguan Seksual ....................................................................12
I. Rencana Asuhan klien dengan Gangguan Kebutuhan Seksualitas.....................................13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... ..18

2
A. Pengertian Gangguan Seksual
Dalam lingkup perilaku seksual, konsep tentang apa yang normal dan apa yang tidak sangat
dipengaruhi oleh faktor sosiokultural. Berbagai pola perilaku seksual yang dianggap abnormal di inis beag,
seperti mastrubasi, hubungan seks premarital, dan seks oral genital, adalah normal pada masayarakat
amerika dilihat dari frekuensi statistik. Perilaku seksual dapat dianggap abnormal jika hal tersebut bersifat
self-defeating, menyimpang dari norma sosial, menyakiti orang lain,menyebabkan distres personal, atau
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berfungsi secara normal.

B. Jenis-jenis Gangguan Dalam Gangguan Seksual


1. Pedofilia
Sebuah gangguan yang dimiliki orang dewasa (16 tahun keatas) yang tidak mampu mengontrol
dorongan seksual terhadap anak yang belum matang secara seksual. Meskipun pedofilia secara definisi
memiliki ketertarikan pada anak-anak, kecenderungan seksual mereka dan perilaku mereka itu sangat
berfariasi.
Beberapa dari mereka tidak mengeluarkan influs mereka, namun memiliki fantasi
kecenderungan yang mengganggu untuk anak-anak. Mereka yang melampiaskan dorongan pedofilianya
melakukan tindakan-tindakan, seperti menelanjangi anak, menyentuh alat kelamin anak, memaksa anak
untuk melakukan aktivitas oral-genital, dan memaksakan hubungan seksual melalui vaginal atau anal.

2. Ekshibisionisme
Dalam ekshibionisme (exhibitionism), seseorang memiliki dorongan seksual yang intens dan
fantasi yang menggairahkan yang mencakup memperlihatkan alat kelamin kepada orang asing.
Ekshibisionis biasanya tidak mengharapkan reaksi seksual dari orang lain namun hal yang diharapkan
adalah keterkejutan atau ketakutan dari orang yang melihat tersebut. Akan tetapi, beberapa ekshibisonisme
memiliki fantasi bahwa orang yang melihat akan terangsang secara seksual. Ketika mendiskusikan perilaku
ekshisibionisme, penting untuk membedakan gangguan psikologis ini dari perilaku ekshisibionisme yang
berhubungan dengan kondisi neurologis ketika individu kekurangan kapsitas penghambat yang normal.
Parafillia atau ekshibisionisme juga berbeda dari tontonan yang diberikan sanksi secara sosial (Hollender,
1997) seperti yang yang terlihat dipantai nudis (pantai tempat orang-orang telanjang) atau klub telanjang.
Orang dengan parafillia merasa bahwa mereka tidak mampu mengontrol perilaku mereka atau merasa
digerakan kepada perilaku ini sebagai usaha nya yang mati-matian untuk mendapatkan perhatian; hasilnya
adalah siksaan emosional dan kekacauan yang signifikan dalam hidup mereka. Dalam usaha mencoba
memahami bagaimana orang, sebagian besar laki laki, menjadi terdorong secara kompulsif untuk
mempertontonkan alat kelamin mereka, akan berguna jika kita mempertimbangakan, pengalaman
perkembangan awal yang memiliki situasi yang hampir serupa. Menurut salah satu sudut pandang,
3
ekshibisionis termotifasi untuk mengatasi perasaan malu dan terhina yang kronis. Prilaku ekshibisinisme
yang di lakukan ekshibisionis tersebut menjadi penangguhan sementara dari perasaan tidak mampu dengan
menyokong perasaan akan ketidakmampuan pribadi (silverstein, 1996) penjelasan lain yang lebih
behavioris menganggap prilaku ekshibisionis sebagai hasil pengalaman pembelajaran pada masa kanak
kanak, saat individu terangsang secara seksual ketika mempertontonkan diri nya dan merasa senang karena
melihat distres pada orang lain yang di sebabkan oleh prilakunya yang tidak tepat tersebut.
Dari waktu ke waktu, pengulangan prilaku ini di perkuat hingga menjadi kecanduan. Faktanya,
ekshibisionis sering kali lebih menyukai prilaku ini di bandingkan hubungan seksual karena mereka telah
mengasosiasikan perasaan kepuasan seksual yang intens dengan mempertontonkan alat kelamin mereka
yang membuat orang asing ketakutan (Money,1984). Prilaku meningkatkan perasaan maskulinitas dari
kekuatan mereka, khusus nya jika keterkejutan atas prilaku mereka tersebut sangat kuat dan mudah di
observasi oleh korban.

3. Fetisisme
Adalah ketertarikan seksual yang kuat dan berulang terhadap obyek yang tidak hidup. Orang
dengan parafilia fetisisme (fetishism) terkuasai oleh suatu obyek dan merek amenjadi bergantung pada
obyek ini untuk mencapai kepuasan seksual, lebih menyukai hal tersebut dari pada memiliki intimasi
seksual dengan pasangan. Sulit untuk memperkirakan seperti apa fatisisme yang biasa terjadi karena para
fetisis, hampir semuanya adalah pria, kemungkinan besar tidak mencari tretmen untuk gangguan mereka
tersebut. Obyek fetisisme yang paling umum adalah bagian bagian dari pakaian yang biasa, seperti pakaian
dalam, stoking, sepatu dan but, tetapi ada jumlah rujukan kejiwaan yang melaporkan adanya obyek
fetisisme yang luas, meliputi suatu yang terbuat dari karet, obyek dari kulit, popok, peniti, dan bahkan
lengan yang di amputasi. Beberapa fetis melibatkan ketertatikan khusus, misalnya but coklat yang di lilit
bulu. Partialism adalah parafilia yang lain yang di anggap oleh para ahli sebagai farian fetisisme; orang
yang memiliki partialism hanya tertarik pada pemuasan seksual dari bagian tubuh yang spesifik seperti
kaki. Kasus kasus ketika ketertarikan seksual laki laki bergantung pada pakaian wanita yang di gunakan
untuk pancingan masuk ke kategori lain, fetisisme transversif yang akan kita diskusikan nanti. Selain itu,
suatu prilaku tidak di anggap sebagai fetisisme jika melibatkan penggunaan obyek yang di desain khusus
untuk meningkatkan gairah seksual seperti vibrator.
Fetisis menjadi terangsang secara seksual oleh suatu obyek. Beberapa fetisis memegang atau
memakai obyek fetisisme. Beberapa yang lain terangsang dengan membaui obyek, menggosok gosoknya,
atau melihat orang lain memakainya saat melakukan hubungan seksual. Pada beberapa kasus, fetisis
bahkan tidak memiliki hasrat untuk berhubungan seksual dengan pasangannya, malah lebih memilih
melakukan manstrubasi dengan obyek fetisismenya.
Beberapa lelaki merasa tidak mampu ereksi kecuali terhadap obyek frtisismenya. Beberapa
4
fetisis melakukan prilaku yang aneh, seperti mengisap obyek fetisismenya, bergulunggulung pada obyek
tersebut, membakarnya, atau memotongnya menjadi bagian bagian.
Ketika mendiskusikan fetisisme penting untuk mengingat perbedaan antara apa yang di anggap
sebagai prilaku seksual yang normal dan yang menyimpang. Fantasi dan prilaku yang terkadang
meningkatkan kepuasan seksual seseorang berdeda dari keasikan yang bersifat ritual yang terjadi pada
fetisisme sejati. Fetisisme melibatkan jenis prilaku kompulsif yang tampaknya di luar kendali individu
serta dapat menjadi sumber distres yang hebat dan masalah pribadi. Meskipun beberapa fetisis
menggabungkan prilaku fetisisme mereka ke dalam hubungan seksual dengan pasangan mereka yang
menerima prilaku tersebut, prilaku fetisisme lebih sering mengganggu fungsi seksual yang normal.
Fetisisme tampaknya berkembang dengan cara yang sama seperti ekshibisionisme, ketika
pengalaman pengalaman di awal kehidupan berakibat pada hubungan antara kesenangan seksual dan obyek
fetisisme. Seiring dengan pertambahan usia, orang tersebut menjadi terkondisikan untuk menghubungkan
antara kepuasan seksual dengan obyek tersebut dari pada orang lain. Misalnya, fetisis yang lebih menyukai
obyek yang berhubungan dengan bayi, seperti popok, selimut bayi, atau celana popok karet telat
mengembangkan asosiasi yang intens antara perasaan kesenangan genital dan menyentuh obyek di awal
masa kanak kanak. Untuk menguji hipotesis pembelajaran ini (dalam eksperimen yang akan di anggap
tidak etis menurut standar saat ini), salah satu kelompok peneliti melaporkan bahwa mereka dapat
mengondisikan subyek lakilaki untuk menjadi fetis ( rachman, 1966; rachman dan hodgeson, 1968). Dalam
salah satu penelitian tersebut, peneliti memperlihatkan kepada subyek lelaki gambar telanjang dari wanita
yang hampir tidak berbusana (stimulus tak terkondisikan) di pasangkan dengan gambar bot berbalut bulu
(stimulus yang di kondisikan) dan menggunakan suatu aparatus untuk mengukur respon ereksis subyek
lakilaki. Setelah mengulangulang pemasangan gambar wanita dan sepatu bot (dan aksesoris kaki lainnya)
subyek lakilaki menjadi terangsang hanya dengan melihat aksesoris kaki (stimulus terkondisikan).
Menghilangnya prilaku ini kemudian di capai dengan secara berulang memperlihatkan sepatu dan bot
tanpa gambar wanita. Setelah itu, subyek kehilangan ketertarikan terhadap obyek tersebut yang tidak laki
memiliki asosiasi seksual.

4. Voyeurism
Kata voyeur berasal dari bahasa prancis voir yang berarti melihat. Voyeurism adalah suatu
gangguan seksual ketika individu memiliki suatu kompulsi untuk mendaoatkan pemuasan seksual dari
mengobservasi ketelanjangan atau aktifitas seksual orang lain yang tidak menyadari bahwa mereka sedang
dilihat. Gangguan ini lebih umum terjadi pada kaum pria. Istilah seharihari peeping tom sering kali di
gunakan untuk merujuk kepada karakter tom si penjahit yang merupakan satusatunya orang di kota tersebut
yang pernah melanggar menggambarkan suatu gangguan dalam hubungan suatu pandangan yang
terganggu mengenai prilaku seksual yang tepat dalam suatu hubungan. Meskipun beberapa teoritikus telah
5
menyebutkan bahwa secara biologis para individu yang menjadi orang dengan parafilia mendapatkan
prilaku tersebut dari abnormalitas faktor genetik, hormonal, ataupun neurologis sebagaimana yang kita
lihat dalam kasus pedofilia, suatu penjelas biologis saja di pandang tidak cukup menurut pendekatan
prilaku, satu atau lebih prilaku belajar terjadi pada masa kanak kanak, termasuk suatu respon terkondisi
bagi kenikmatan seksual dengan suatu obyek stimulus yang tidak tepat. Seiring berjalannya waktu,
seseorang menjadi terdorong secara komfulsif untuk mendapatkan kepuasan (penguat) yang di asosiasikan
dengan obyek atau pengalaman tertentu. Sering kali perasaan tentang sesuatu kekuatan tertentu menyertai
kepuasan ini dengan kata lain, voyeur mengalami ketergugahan seksual sekaligus perasaan kuat ketika
sedang mengintip. Hal ini juga terjadi pada ekshibisionis, frotteur, dan pedofil yang dapat memuaskan
kebutuhan seksual sekaligus harga dirinya melalui pengalam yang “sukses” dengan obyek dari hasrat nya.

5. Vaginismus
Vaginismus adalah kejang urat yang sangat menyakitkan pada vagina (liang peranakan, farji,
puki).Ada kalanya fungsi vagina itu menjadi sangat abnormal. Yaitu mengadakan kontraksi kontraksi
(penegangan, pengejangan,pengerasan) yang menyakitkan sekali, yang menyamai sebuah kompresor
(kompreso=alat pemadat, penekan, pemampat). Kontraksi yang sangat kuat pada distal vagina
(m.constrictor cunni,vagina yang bentuknya tidak rata) itu menyebabkan vaginismus dan paresthesia
penuh kesakitan; di pihak pria karena venis lakilaki terjepit kuatkuat,dan merasakan kesakitan yang luar
biasa bagaikan hampir lumpuh rasanya.
Pada pristiwa lainnya yang sangat luar biasa kontraksi vagina itu berlangsung begitu hebatnya,
sehinnga venis terjepit dan”terperangkap”, sehinnga tidak bisa keluar dari vagina terjadilah apa yang di
sebut dengan istilah: penis captifus.
Peristiwa vaginismus bisa timbul sepontan tanpa di sadari; bisa reflektip sewaktu zakar
melakukan penetrasi, atau sewaktu berlangsung emossio penis (zakar mengeluarkan air mani). Atau
berlangsung pada waktu di adakan pemeriksaan ginekologis.
Orang mengenal empat macam atau bentuk vaginismus, yaitu:
a) Vaginismus reflektif primer, yang terjadi pada saat melakukan coitus/ senggama pertama kali.
b) Vaginismus reflektif sekunder, di sebabkan kelainan somatis atau gangguan organis. Pada mulanya
wanita yang bersangkutan mampu melakukan coitus biasa.
c) Vaginismus psikogen primer, pada peristiwa coitus pertama, yang bersumber pada sebab sebab psikis
(ketakutan dan kecemasan yang hebat, rasarasa berdosa, dll).
d) Vaginismus psikogen skunder, pada awalnya wanita yang bersangkutan mampu melakukan coitus.
Akan tetapi sesudah beberapa waktu lama nya timbul gejala vaginisme, di sebabkan oleh “rasa
penolakan” secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan coitis. Dan ada rasa antipati atau rasarasa
tidak mapan terhadap partner seksnya.
6
C. Gejala-gejala Gangguan Seksual
1. Pedofilia hanya bisa dirasakan oleh diri sendiri biasanya terjadi setelah seseorang melewati
masa puber dan ia memiliki kecenderungan seksual terhadapa anak-anak dibandingkan dengan
sebaya. Akibat dari kelainan seksual tersebut membuat mereka merasa aneh dan berusaha untuk
menyembunyikannya. Meskipun begitu akhirnya ada juga penderita pedofilian yang mau
bekerja sama demi penetahuan. Berikut in adalah beberapa gejala pedofilia menurut penderita
tesebut. Memiliki perasaan inverior terhadap orang lain mengalami depresi berlebih ketakutan
seseorang mengetahui kelainan seksualnya, yang akhirnya membuat mereka mengisolasi diri.

2. Ekshibisionisme, Pada dasarnya secara kasat mata penderita ekshibisionisme ini tidak memiliki
ciri ciri yang tampak dari luar. Jadi para penderita ekshibisionisme ini sama seperti orang
kebanyakan. Banyak di antara mereka pemalu, kurang percaya diri berasal dari keluarga yang
keras dalam soal seks para peneliti menyatakan ekshibisionis memiliki pendekatan yang tidak
dewasa terhadap kebutuhan yang besar untuk di perhatikan. Sebelum bereaksi mereka selalu
gelisah, tercekam dan tegang. perasaan akan terasa lega setelah berhasil memamerkan
kemaluannya kepada lawan jenisnya. Gejala ekshibisionistis itu banyak tedapat dikalangan
kaum pria jarang sekali terjadi pada wanita. Penderita ekshibisionis ini sering menimbulkan
gangguan ketertiban umum meskipun jarang membahayakan masyarakat. Sebanyak 30-40%
wanita pernah menjadi korban/ terpapar oleh ekshibisionisme.

3. Fetisisme gejala gejalanya sebagai berikut:


1) sangat tertarik dengan payudara wanita
2) sering memikirkan tentang payudara, bahkan dalam waktu yang abnormal.
3) Mempunyai fantasi yang berulang dan intens tentang payudara.
4) Dorongan seksual yang intens dan selalu di picu oleh payudara.
5) Menyukai ha-lhal yang berhubungan dengan payudara(seperti gambar, patung/ukiran).

4. Voyeurism Terdapat beberapa tanda yang mengindikasikan bahwa seseorang merupakan


penderita voyeurisme tanda tanda tersebut ialah : selain suka mengintip orang lain berganti
baju, adalah mencapai kepuasan seksual hanya dengan melihat orang lain berganti baju atau
melakukan hubungan suami istri. Mempunyai hasrat untuk melihat orang orang asing dan
membayangkan mereka melepas baju mereka satu persatu untuk mencapai kepuasan seksual
tersebut. Ketika melihat seseorang berganti baju, para penderita voyeurisme ini memiliki
fantasi yang membuat hasrat seksual mereka menjadi jauh lebih tinggi.
7
D. Etiologi (Penyebab Mengapa Seseorang Bisa Mengalami Gangguan Tersebut)
1. Faktor Biologis
Penyakit atau kurangnya produksi hormon seks dapat mengganggu hasrat, rangsangan atau respon
seksual. Difaktor biologis ini mengatakan bahwa gangguan seks itu disebabkan karena kurangnya produksi
hormon jadi menyebabkan seseorang mendapatkan masalah dalam dalam kegiatan seksualitasnya .
2. Faktor Psikodinamika
Teoritikus psiodinamika memperkirakan bahwa konflik tak sadar yang berasal dari masa kanak-kanak
dapat menjadi akar permasalahan dalam merespon rancangan seksual.
3. Faktor Psikososial
a) Kecemasan akan peforma muncul dari kepedulian yang berlebihan terhadap kemampuan seseorang
untuk memberikan peforma seksual yang baik.
b) Riwayat trauma atau penganiayaan seksual
c) Kurangnya kesempatan untuk mendapatkan keterampilan seksual
d) Pemaparan terhadap sikap dan kepercayaan negatif tentang seksualitas terutama seksualitaswanita.
4. Faktor kognitif
a) Pengadopsian kepercayaan irasional, seperti kepercayaan bahwa seseorang harus kompeten secara
sempurna setiap saat, dapat menyebabkan kecemasan akan peforma
b) Pada ejakulasi dini, gagal untuk mengukur peningkatan level tegangan seksual yang menyebabkan
ejakulasi
c) Pengaruh kognisi, seperti ketakutan untuk gagal, dapat menghambat respon seksual yang normal.
5. Faktor hubungan
a) Masalah hubungan dan kegagalan untuk mengomunikasikan kebutuhan seksual.

E. Patafisiologi Gangguan Seksual


1. Gangguan seksual melalui bakteri
Bakteri merupakan organisme terkecil yang hanya bisa dilihat melalui mikroskop, bakteri dapat
menyerang sel-sel tubuh sehingga menggandakan jumlah mereka. Beberapa bakteri yang dapat berpengaruh
pada organ reproduksi, antara lain :
a. Chlamydia Trachomatis (penyebab klamidia)
Chlamydia trachomatis termasuk dalam genus Chlamydia dan mempunyai bentuk yang tidak
beraturan. Ia membutuhkan inang pada sel makhluk hidup lain, sehingga bakteri ini tidak mungkin hidup
di luar tubuh makhluk hidup. Inilah sebabnya bakteri ini senang menyerang sel epitel kolom pada leher
rahim (serviks), uretra, dan rektum pada manusia.

8
b. Nesseria Gonorrhae (penyebab gonore/kencing nanah)
Bakteri ini termasuk jenis bakteri gram negatif yang berbentuk kokus atau bulat. Biasanya, bakteri
ini menempel dua-dua sehingga disebut diplokokus.
Bakteri ini dapat dengan mudahnya berkembang biak di membran mukus seperti di mulut,
tenggorokan dan anus serta di organ genital seperti serviks, tuba fallopi dan uterus.Penderita gonore dapat
memiliki tanda dan gejala seperti nyeri atau sensasi panas saat buang air kecil, kencing nanah, sakit
tenggorokan, nyeri pada alat kelamin hingga pembengkakan atau kemerahan pada lubang buang air kecil
pada laki-laki.
c. Treponema Pallidum (penyebab sipilis atau raja singa)
Adalah sejenis bakteri gram negatif yang berbentuk spiral. Bakteri ini menyebabkan penyakit
sifilis atau biasa disebut dengan raja singa. Seperti kedua jenis bakteri lain penyebab penyakit menular
seksual, bakteri ini juga merupakan bakteri gram negatif. Gejala awal dari penyakit ini adalah muncul
bisul di kelamin, anus, atau mulut, namun tidak terasa nyeri.

2. Gangguan seksual melalui virus :


a. Virus HIV
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Penyakit ini disebabkan oleh
virus HIV, yaitu Human Immunodeficiency Virus. Virus ini akan menyerang system kekebalan tubuh
manusia.Virus ini dapat tersebar melalui kontak langsung seperti darah dancairan yaitu cairan sperma,
vagina, dan ASI sehingga beresiko terkena penyakit reproduksi.
b. Herpes Genitalis
c. Uretritis
3. Gangguan seksual akibat gangguan pada organ reproduksi
Pada Wanita terdapat ovarium sebagai penghasil hormone estrogen dan progesterone, kedua
hormone ini dapat mempengaruhi perubahan fisik pada Wanita. Gangguan ovarium sering dialami oleh
Wanita usia subur. Pada laki-laki organ reproduksi yang berperan pentingdalam menghasilkan hormone
yaitu testis

F. Komplikasi Pada Gangguan Seksual


Apabila tidak ditangani, disfungsi seksual dapat menimbulkan beberapa komplikasi di bawah ini:
1. Kehidupan seksual yang tidak memuaskan
2. Stres atau gangguan kecemasan
3. Rasa malu
4. Rendah diri
5. Masalah dalam hubungan dengan pasangan
9
6. Kesulitan mendapat keturunan

G. Metode atau Treatmen


Menyatakan bahwa secara umum, para pengidap parafilia memiliki kontrol yang lemah. Tidak
hanya memunculkan suatu prilaku parafilia yang spesifik, pada pengidap ini bergerak dari satu jenis parafilia
ke jenis lain atau memunculkan prilaku yang merupakan indikasi dari beberapa kategori sekaligus (Abel dan
osborn,1992).
Sebagaimana yang telah kita lihat treatmen bagi para pengidap parafilia bukanlah hal yang mudah
karena para individu tersebut sering kali menolak untuk menghentikan prilaku yang bagi mereka
menyenangkan atau mereka terlalu malu untuk mencari bantuan profesional. Intervensi biologis, psikologis,
serta sosiokultural telah di gunakan dalam berbagai kombinasi untuk treatmen ini dalam area biologis
sebagai mana yang telah kita diskusikan bagi fedofilia, terdapat beberapa bentuk intervensi yang beberapa
di antara nya sangat ekstrem. Intervensi yang paling umum di gunakan melibatkan resep dari agen farmasi,
seperti obat obatan anti Depresi, ssri, dan hormon-hormon yang keseluruhan nya di tujukan untuk
mengurangi hasrat seksual individu ( Bradford,2001). Akan tetapi, seorang klinisi jarang melakukan untuk
membatasi treatmen yang di lakukan hanya sampai pada intervensi medis saja. Komponen psikologis dan
sosiokultural juga akan memainkan peran yang penting bagi kesuksesan treatmen. Pada area psikologis,
teknik yang paling umum di gunakan adalah prilaku dan kognitif prilaku. Pada area sosiokultiral para klinisi
sering kali mencari cara untuk melibatkan klien ke dalam suatu terapy kelompok, ketika beberapa orang
dengan pengalam yang sama saling menceritakan pengalaman serta usaha mereka untuk mencapai kontrol
diri. Selain itu, terapy keluarga dan pasangan juga dapat di rekomendasikan dengan tujuan untuk
memperoleh dukungan dan bantuan dari pada individu yang terdekat dengan klien.
Tujuan utama treatmen dengan parafilia yang telah melakukan tindak kejahatan adalah untuk
mengubah hasrat penyerang untu memunculkan prilaku seksual yang di sertai kekerasan. Perhatian media
terhadap kejahatan seksual ini telah mendorong di bentuknya peraturan peraturan bagi predator seksual di
beberapa negara bagian. Peraturan peraturan ini di maksud kan untuk membatasi para penyerang yang di
nilai beresiko untuk melakukan kejahatan yang sama di masa depan ( Noffsinger dan resnick,2000).
Peraturan sejenis ini memerintahkan ada nya treatmen dan pembatasan secara sadar telah di terbitkan pada
tahun 1940-an dan kemudian di cabut karena treatmen saja telah terbukti tidak efektif untuk menurunkan
tingkat residivis. Metode treatmen terbaru, termasuk terapy kognitif prilaku, tampaknya cukup menjanjikan,
namun tetap di perlukan sumber sumber tertentu agar treatmen ini dapat tersedia secara luas ( Wood,
grossmand, dan fichtner,2000).

a. Pedofilia
Karena adanya bahaya ekstrem pada korban yang tidak bersalah diakibatkan oleh perilaku pedofilia, jenis
10
parafilia ini menjadi jenis yang paling banyak diteliti. Kami akan memberikan perhatian yang lebih besar
untuk memahami dan menangani gangguan ini. Para klinisi dan peneliti menggunakan perspektif biologis
memiliki ketertarikan dalam memahami penyebab pedofilia dibandingkan dalam menemukan treatmen
somatis yang akan mengurangi dorongan seksual individu.
Konsekuensinya sejumlah pendekatan ditujukan pada sistem endokrin, seperti memberi hormon wanita
progesteron, untuk mengurangi dorongan seks orang dengan pedofilia dengan menurunkan kadar hormon
testoteronnya. Pendekatan lainnya adalah dengan memberikan antiandrogen yang dimaksudkan untuk
memiliki efek yang sama. Pendekatan yang terbaru para peneliti telah mengembangkan suatu treatmen
yang melibatkan pemberian zat yang dapat menurunkan sekresi testoteron dengan menghambat aksi
kelenjar pituitari. Meskipun intervensi semacam itu kelihatannya memberi efek positif, hal tersebut
merupakan hal yang penting untuk mengombinasikan treatmen pengobatan dengan psikoterapi
(Rosler&Wiztum,2000).
Intervensi medis yang paling radikal melibatkan operasi. Kastrasi atau pengambilan testis
dimaksudkan untuk mengemilinasi produksi testotero (Weinberger,Screenivasan, Garrick, & Osran,
2005). Intervensi operasi yang lain adalah hipotalamotomi atau perusakan nukleus ventromedial, di
hipotalamus. Prosedur ini bertujuan untuk mengubah pola-pola hasrat seksual individu dengan
menargetkan sumber pola-pola tersebut dalam sistem saraf pusat. Hipotalamotomi paling sering
digunakan dijerman, namun dengan efektivitas yang terbatas. Para peneliti jerman juga melakukan
eksperimen dngan hormon pelepas hormon dengan hormon pelutein (luteinizing hormone releasing
hormone-LHRH), suatu zat yang memicu produksi hormon seks wanita. Treatmen tersebut dilaporkan
dapat mengurangi munculnya ereksi penis, ejakulasi, mastubrasi, dorongan seksual menyimpang, dan
fantasi (Briken, Nika, & Berner, 2001).

b. Ekshibisionis
Treatmen bagi ekshibisionis membutuhkan pendekatan yang konferhensif (Maletzky,1997), sering kali
melibatkan ketergantungan pada prinsip pembelajaran seperti counterconditioning atau pengondisian
aversif. Klien harus menghilangkan hubungan antara kesenangan seksual dan prilaku ekshibisionisme.
Misalnya, terapis dapat menggunakan penggondisian terselubung (covert conditioning), suatu metode
prilaku ketika klien membayangkan rasa malu yang sangat ketika kenalannya melihatnya melakukan
prilaku ekshibisionisme. Tambahan untuk intervensi psikologis, bahwa ada beberapa bukti klinis bahwa
paroxetin (paxil) dapat membantu mengurangi prilaku kompulsif pada ekshibisinisme (Abouesh dan
clayton,1999).

c. Fetisisme
Hal yang sama kontrofersialnya dengan penelitian ini adalah memberikan seseorang model untuk
11
melakukan treatmen terhadap fetisis dan peneliti menyatakan bahwa extinction dan metode prilaku
lainnya adalah strategi treatemen yang efektif. Salah satu teknik tersebut adalah terapy apersif yang di
lakukan dengan memberikan hukuman pada fetisis seperti memakan obat penyebab muntah atau di
hipnotis agar merasa muak saat melakukan masturbasi dengan obyek fetisismenya.
Pengondisian kembali orgasmik (orgasmic reconditioning) adalah metode prilaku lainnya yang di
dasarkan pada proses belajar kembali. Dalam prosedur untuk menangani parafilia ini, individu di
printahkan untuk merangsang dirinya dengan suatu fantasi terhadap obyek yang tidak dapat di terima,
kemudian melakukan masturbasi sambil melihat stimulus seksual yang tepat seperti gambar pasangan
dewasa. Jika rangsangannya menurun, maka ia boleh berfantasi lagi dengan obyek yang tidak dapat di
terima namun ia hanya boleh mencapai orgasme saat fokus pada stimulus yang dapat di terima. Pada saat
itu, individu di harapkan akan semakin berkurang ketergantungannya pada obyek yang tidak dapat di
terima dan semakin meningkat kepuasan seksualnya saat di stimulasi dengan obyek yang dapat di terima.

d. Vaginismus
a. Memberikan penerangan dan penjelasan sebab sebab terjadinya, dan memberikan bimbingan
psikoterapis.
b. Wanita yang bersangkutan di suruh “mengedan” (ngeden) untuk menghilangkan spasme (tarikan
tarikan kejangan) dan kontraksi sewaktu pihak pria melakukan penetrasi dengan zakarnya.
c. Pasien di suruh latihan mengeluarkan flatus atau udara dari perut, lalu mempergunakan salep serta
memasukan dua jari dari salep tadi untuk melebarkan vagina ( sampai pasien merasa sakit).
d. Atau belajar melebarkan vagina dengan menggunakan dilatator (alat untuk melebarkan atau
memuaikan/ mengembangkan).

H. Pemeriksaan Diagnostik Gangguan Seksual


Diagnosis disfungsi seksual dimulai dengan menanyakan aktivitas seksual penderita secara
menyeluruh. Selain menanyakan gejala, juga menanyakan aktivitas serta riwayat penyakit penderita, termasuk
jika ada kejadian atau trauma di masa lalu. Kemudian juga akan melakukan pemeriksaan fisik, termasuk
pemeriksaan perubahan fisik yang dapat memengaruhi aktivitas seksual. Selama pemeriksaan fisik, dilakukan
pemeriksaan organ kelamin. Untuk mengetahui penyebab disfungsi seksual, akan dilakukan beberapa tes
berikut ini:
1. Tes darah, untuk memeriksa kadar hormon atau kecurigaan penyebab lain, misalnya kadar gula dalam
darah.
2. USG, untuk memeriksa aliran darah di sekitar organ
3. Tes nocturnal penile tumescence (NPT), untuk memantau ereksi saat penderita tidur di malam hari
dengan menggunakan alat khusus.
12
I. Rencana Asuhan klien dengan Gangguan Kebutuhan Seksualitas

1. Pengkajian
a. Riwayat Keperawatan
1) Keluhan utama
2) Riwayat kesehatan sekarang
3) Riwayat penyakit terdahulu
4) Riwayat kesehatan keluarga

b. Riwayat seksual
1) Klien yang menerima perawatan kehamilan, PMS, infertility, kontrasepsi.
2) Klien yang mengalami disfungsi seksual / problem (impoten,orgasmic dysfuntion, dll)
3) Klien yang mempunyai penyakit-penyakit yang akan mempengaruhi fungsi seksual (peny.jantung, DM,
dll)

c. Riwayat Kesehatan seksual


1) Pertanyaan yang berkaitan dengan seks untuk menentukanapakah klien mempunyai masalah atau
kekhawatiran seksual.
2) Merasa malu atau tidak mengetahui bagaimana caramengajukan pertanyaan seksual secara langsung
d. Pengkajian fisik
1) Inspeksi dan palpasi
2) Beberapa riwayat kesehatan yang memerlukan pengkajianfisik misalnya riwayat PMS, infertilitas,
kehamilan, adanyasekret yang tdk normal dari genital, perubahan warna pada genital, ggn fungsi
urinaria, dll.
e. Identifikasi klien yang berisiko
Klien yang berisiko mengalami gangguan seksual misalnya :Adanya ggn struktur/fungsi tubuh akibat
trauma, kehamilan,setelah melahirkan, abnormalitas anatomi genital
f. Riwayat penganiayaan seksual, penyalahgunaan seksual
g. Kondisi yang tidak menyenangkan seperti luka bakar, tanda lahir,skar (masektomi) dan adanya ostomi pada
tubuh
h. Terapi medikasi spesifik yang dapat menyebabkan mslh seksual kurangnya pengetahuan/salah informasi
tentang fungsi danekspresi seksual
i. Gangguan aktifitas fisik sementara maupun permanen ; kehilangan pasangan Konflik nilai-
nilai antara kepercayaan pribadi denganaturan religi pertanyaan isyarat
1. Diagnosa Keperawatan yang mungkin
13
Diagnosa 1: Disfungsi seksual
a. Definisi
Suatu kondisi ketika individu mengalami suatu perubahandisfungsi seksual selama fase respons
seksual berupa hasrat,terangsang, atau orgasme, yang dipandang tidak memuaskan,tidak bermakna,
atau tidak adekuat.
b. Batasan karakteristik
1) Gangguan aktvitas seksual
2) Gangguan eksitasi seksual
3) Gangguan kepuasan seksual
4) Mencari konfirmasi tentang kemampuan mencapai hasratseksual
5) Merasakan keterbatasan seksual
6) Penurunan hasrat seksual
7) Perubahan fungsi seksual yang tidak diinginkan
8) Perubahan minat terhadap diri sendiri
9) Perubahan minat terhadap orang lain
10) Perubahan peran seksual
c. Faktor yang berhubungan
1) Adanya penganiayaan (mis, fisik, psikologis dan seksual)
2) Gangguan fungsi tubuh ( karena anomali, penyakit,medikasi, kehamilan, radiasi, bedah, trauma.dll)
3) Konflik nilai
4) Kurang pengetahuan tentang fungsi seksual
5) Model pera tidak adekuat
6) Penganiayaan psikososia l(misal, pengawasan, manipulasi, dan penganiayaan verbal)
7) Salah informasi tentang fungsi seksual
8) Tidak ada orang terdekati.
9) Tidak ada privasi

Diagnosa 2: Ketidakefektifan Pola Seksual


d. Definisi: Ekspresi kekhawatiran tentang seksualitas induvidu
e. Batasan Karateristik
1) Kesulitan dalam aktivitas seksual
2) Kesulitan dalam perilaku seksual
3) konflik nilai
4) Perubahan dalam hubungan dengan orang terdekate.
5) Perubahan pada aktivitas seksualf.
14
6) Perubahan pada perilaku seksualg.
7) Perubahan peran seksual
f. Faktor Yang Berhubungan
1) Hambatan dalam hubungan dengan orang terdekat
2) Konflik dengan orientasi seksual
3) Konflik dengan perbedaan varian
4) Kurang keterampilan tentang alternatif yang berhubungandengan seksual
5) kurang pengetahuan tentang alternatif yang berhubungan dengan seksual
6) Model peran tidak cukupg.
7) Takut hamil
8) Takut infeksi menular seksual
9) Tidak ada orang terdekat
10) Tidak ada privasi

2. Perencanaan
Diagnosa 1: Disfungsi seksual
a. Tujuan dan Kriteria Hasil
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ...x 24 jam, Pasien dapat menerima perubahan struktur
tubuh terutama padafungsi seksual yang dialaminya, dengan Kriteria Hasil:
1) Mengekspresikan kenyamanan
2) Mengekspresikan kepercayaan diri
b. Intervensi keperawatan dan rasional
1) Bantu pasien untuk mengekspresikan perubahan fungsi tubuh termasuk organ seksual seiring
dengan bertambahnya usia.
Rasional : Hal ini menetapkan sebagai data dasar untuk bekerja dan memberikan dasar untuk
tujuan
2) Berikan pendidikan kesehatan tentang penurunan fungsiseksual.
Rasional : Menambah pengetahuan pasien dan pasangan mengenai seksualitas
3) Tinjau aturan pengobatan dan observasi efek samping
Rasional : banyaknya obat-obatan dapat mempengaruhi fungsi seksual.

Diagnosa 2: Ketidakefektifan Pola Seksual


c. Tujuan dan Kriteria Hasil
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ...x 24 jam, Pasien dapat menerima perubahan pola
seksualitas yang disebabkan masalah kesehatannya, dengan Kriteria Hasil:
15
1) Mengidentifikasi keterbatasannya pada aktivitas seksualyang disebabkan masalah kesehatan
2) Mengidentifikasi modifikasi kegiatan seksual yang pantasdalam respon terhadap keterbatasannya2
d. Intervensi keperawatan dan rasional
1) Kaji faktor-faktor penyebab dan penunjang, yang meliputi
a) Kelelahan
b) Nyeri
c) Nafas pendek
d) Keterbatasan suplai oksigen
e) Imobilisasi
f) Kerusakan inervasi saraf
g) Perubahan hormone
h) Depresi.
i) Kurangnya informasi yang tepat
Rasional :
2) Ajarkan pentingnya mentaati aturan medis yang dibuat untuk mengontrol gejala penyakit
Rasional : mengurangi perilaku ya Rasional : tindakan ini membantu mereka berfokus pada keluhan
khusus, mendorong pertanyaan, dan menghindari kesalahpahaman
3) Berikan waktu dan tempat untuk privasi
Rasional : tindakan ini memberikan kesempatan kepada pasien sebagai suami/istri untuk
mendiskusikan yang berkaitan tentang seksualitas ng tidak diharapkan
4) Berikan informasi yang tepat pada pasien dan pasangannya tentang keterbatasan fungsi seksual yang
disebabkan olehkeadaan sakit.

16
17
DAFTAR PUSTAKA

Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosa NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC Edisi
9. Jakarta: EGC
Abdullah, Irwan. 2012. Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Pusat Tarawang
Press.
Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan. Jakarta:EGCWilkinson, Judith M. (2011).
Disfungsi Seksual - Gejala, penyebab dan mengobati – Alodokter

18

Anda mungkin juga menyukai