KELOMPOK 1
PROGRAM REGULER
2016
1
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................. 3
4.1 Kesimpulan......................................................................................... 29
4.2 Saran................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 31
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan Latar belakang maka dapat dirumuskan suatu masalah yaitu :
1. Bagaimana Sejarah dan Perkembangan Lembaga Keuangan Dunia dan Indonesia ?
2. Apa yang dimaksud Uang Beredar dan Lembaga keuangan?
3. Apa Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Keuangan di Indonsia?
4. Apa Fungsi dan Peranan Lembaga Keuangan di Indonesia?
5. Bagaimana Bentuk dan Jenis Lembaga Keuangan di Indonesia?
6. Apa yang dimaksud Intermediasi dan Pengawasan ?
7. Apakah kita menuju pada masyarakat tanpa uang tunai?
1.3 TUJUAN
Adapun tujuan dari laporan ini adalah :
1. Untuk mengetahui Sejarah dan Perkembangan Lembaga Keuangan Dunia dan Indonesia.
2. Untuk mengetahui Uang Beredar dan Lembaga keuangan.
3. Untuk mengetahui Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Keuangan di Indonsia.
4. Untuk mengetahui Fungsi dan Peranan Lembaga Keuangan di Indonesia.
5. Untuk mengetahui Bentuk dan Jenis Lembaga Keuangan di Indonesia.
6. Untuk mengetahui Intermediasi dan Pengawasan.
7. Untuk mengetahui apakah kita menuju pada masyarakat tanpa uang tunai.
4
BAB II
RINGKASAN MATERI KULIAH PASAR DAN LEMBAGA KEUANGAN
SAP 1
5
Babylon.Kurang lebih tahunn 500 SM, praktek perbankan yunani mulai berkembang.
Praktek perbankan saat itu antara lain adalah menerima simpanan uang dari masyarakat
dan menyalurkannya pada kalangan bisnis. Pihak bank mendapatkan penghasilan dari
menarik biaya dari jasa yang diberikan kepada masyarakat. Pada zaman Romawi, praktek
perbankan meliputi tukar menukar uang, menerima deposito, memberi kredit dan
melakukan transfer dana. Hal tersebutlah yang menunjukan perkembangan praktek-
praktek perbankan.
Era perbankan modern dimulai pada abad ke-16 di Inggris, Belanda, dan
Belgia.Pada saat itu para tukang emas bersedia menerima uang logam (emas dan perak)
untuk disimpan. Tanda bukti penyimpanan emas ini ditunjukan dengan surat deposito
yang disebut Goldsmith’s Note. Dalam perkembangan selanjutnya, Goldsmith’s Note
digunakan sebagai alat pembayaran.Para tukang emas muali mengeluarkan Goldsmith’s
Note yang tidak didukung cadangan emas atau perak dan diterima sebagai alat
pembayaran yang sah dalam transaksi bisnis.Inilah cikal bakal munculnya uang
kertas.Pihak-pihak yang terlibat dalam zaman ini adalah konsumen, produsen serta
pedagang, raja-raja serta aparatnya serta organisasi gereja yang membutuhkan jasa
perbankan untuk melancarkan kegiatannya.Lembaga-lembaga keuangan melayani
kebutuhan alat-alat pembayaran untuk memperlancar produksi berupa pinjaman jangka
pendek maupun jangka panjang.
Pada awal era perbankan modern, pengaturan kredit dipilah menjadi tiga yaitu
pinjaman penjualan, wesel dan pinjaman laut. Pinjaman penjualan dikhususkan untuk
membantu pembelian hasil-hasil panen dan membantu para produsen.Wesel (bill of
change) digunakan untuk pengiriman uang ke luar negeri.Pinjaman laut ditujukan untuk
para pembuat kapal.Jenis-jenis kredit tersebut biasanya berjangka pendek kecuali untuk
kredit pembuatan kapal.
Seiring perkembangan perdagangan dunia, perkembangan perbankan pun semakin
pesat karena perkembangan perbankan tidak terlepas dari perkembangan
perdagangan.Perkembangan perdagangan yang awalnya hanya di daratan eropa kemudian
menyebar ke Asia Barat.Bank-bank yang sudah terkenal saat itu di benua Eropa adalah
Bank Venesia tahun 1171, kemudian menyusul Bank of Genoa dan Bank of Barcelona
tahun 1320.Sebaliknya perkembangan perbankan di daratan Inggris baru dimulai pada
6
abad ke-16.Namun karena inggris begitu aktif mencari daerah perdagangan yang
kemudian di jajah, maka perkembangan perbankan pun ikut terbawa ke negara
jajahannya.
2.1.2 Sejarah dan Perkembangan Lembaga Keuangan Di Indonesia
Pada tanggal 10 Oktober 1827, Indonesia masih dijajah Belanda, didirikan sebuah
Bank di Batavia dengan nama De Javasche Bank. Tujuan utama pendirian bank tersebut
adalah untuk meningkatkan perekonomian pemerintahan Belanda. Setelah Indonesia
merdeka pada tahun 1951, De Javasche Bank dinasionalisasikan dan berganti nama
menjadi Bank Indonesia. Pendirian Bank oleh orang pribumi pertama kali dirintis oleh R.
Aria Wiraatmadja, seorang patih dari Purwokerto tahun 1896. R. Wiraatmadja
mendirikan Hulpen Spaar Bank (Bank penolong dan tabungan). Tujuan pendirian bank
ini adalah untuk membantu penganggotaannya agar tidak jatuh ke tangan yang suka
memeras rakyat.
Sejarah mencatat asal mula dikenalnya kegiatan perbankan adalah pada zaman
kerajaan tempo dulu didaerah Eropa.Usaha perbankan ini berkembang ke Asia Barat oleh
para pedagang.Bila ditelusuri sejarah dikenalnya perbankan, arti bank dikenal sebagai
meja tempat penukaran uang. Dalam perjalanan sejarah kerajaan dimasa dahulu
penukaran uang dilakukan antara kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain. Kegiatan
penukaran ini sekarang dikenal dengan nama pedagang Valuta Asing (Money Changer).
Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan operasional perbankan berkembang lagi
menjadi tempat penitipan uang atau yang sekarang ini kegiatan simpanan.Kegiatan
perbankan bertambah dengan kegiatan peminjaman uang.Uang yang disimpan
masyarakat, oleh perbankan dipinjamkan kembali kepada masyarakat yang
membutuhkan.Jasa-jasa bank lainnya menyusul sesuai perkembangan zaman dan
kebutuhan masyarakat yang semakin beragam. Perkembangan perbankan di Indonesia:
Dalam dunia perbankan di Indonesia kurang waktu belakangan ini mengalami berbagai
macam perubahan. Ada 4 macam periode yang terjadi di Indonesia:
a. Periode 1988-1996
Dikeluarkannya paket deregulasi 27 Oktober 1988, antara lain berupa relaksasi ketentuan
permodalan untuk pendirian bank baru telah menyebabkan munculnya sejumlah bank
umum berskala kecil dan menengah. Pada membengkak dari 111 bank pada Oktober
7
1988 menjadi 240 bank pada tahun 1994-1995. Sementara, jumlah Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) meningkat drastis dari 8.041 pada tahun 1988 menjadi 9.310 BPR pada
tahun 1996.
b. Periode 1997-1998
Bank Indonesia, pemerintah dan jasa lembaga-lembaga internasional berupaya keras
menanggulangi krisis tersebut, antara lain dengan melaksanakan rekapitulasi perbankan
yang menelan dana lebih dari Rp 400 triliun terhadap 27 bank dan melakukan
pengambilannya kepemilikan terhadap 7 bank lainnya.
c. Periode 1999-2002
Krisis perbankan demikian parah pada kurun waktu 1997-1998 memaksa pemerintah dan
Bank Indonesia untuk melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka
melakukan stabilitas sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis.
d. Periode 2002-sekarang
Berbagai perkembangan positif pada sektor perbankan sejak dilaksanakannya program
stabilisasi antara lain tampak pada pemberian kredit yang mulai meningkat pada inovasi
produk yang mulai berjalan, seperti pengembangan produk derivatif, serta kerjasama
produk dengan lembaga lain.
Perkembangan perbankan di Indonesia di kelompokkan dalam empat periode:
1. Kondisi perbankan Indonesia sebelum serangkaian paket-paket deregulasi di sektor riil
dan moneter yang dimulai sejak tahun 1980. Perbankan pada masa ini sangat dipengaruhi
oleh berbagai kepentingan ekonomi dan politik dari penguasa. Pada masa kolonial,
kegiatan dirahkan untuk melayani kegiatan usaha dari pengusaha besar milik kolonial di
wilayah jajahannya serta membantu administrasi anggaran milik pemerintah. Pada saat
sebelum ada regulasi, kondisi perbankan di Indonesia sebagai berikut:
Tidak adanya peraturan perundangan yang mengatur secara jelas perbankan di
a. Indonesia (hanya ada UU Nomor 13 tahun 1968). KLBI kepada bank tertentu.
b. Bank banyak menanggung program pemerintah.
c. Instrument pasar uang terbatas.
d. Bank swasta sedikit.
e. Sulitnya pendirian bank baru (bank baru sedikit).
f. Persaingan antar bank yang tidak ketat (kemudahan bagi bank tertentu).
8
g. Posisi tawar – menawar bank lebih kuatdari nasabah.
h. Birokrasi bank rumit
i. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank rendah.
j. Mobilisasi dana masyarakat rendah
Kondisi perbankan Indonesia setelah munculnya deregulasi sampai dengan masa
sebelum krisis ekonomi pada akhir tahun 1990. Tingkat inflasi yang tinggi serta kondisi
ekonomi makro secara umum yang tidak bagus terjadi bersamaan dengan kondisi
perbankan yang tidak dapat memobilisasikan dana dengan baik. Untuk mengatasi situasi
yang serba tidak menguntungkan ini, cara yang ditempuh pemerintah adalah dengan
melakukan serangkaian kebijakan berupa deregulasi di sektor riil dan moneter sebagai
berikut:
a. Adanya peraturan yang memberikan kepastian hukum.
b. Jumlah bank swasta bertambah banyak.
c. Tingkat persaingan bank yang semakin kuat.
d. Sertifikasi bank Indonesia dan surat berharga pasar uang.
e. Kepercayaan masyarakat terhadap bank yang meningkat.
f. Mobilisasi dana melalui sektor perbankan yang semakin besar.
Kondisi perbankan Indonesia pada masa krisis ekonomi. Deregulasi dan
penerapan kebijakan-kebijakan lain yang terkait dengan sektor moneter dan riil telah
menyebabkan sektor perbankan lebih mempunyai kemampuan untuk meningkatkan
kinerja ekonomi makro di Indonesia. Deregulasi di atas ternyata kurang diimbangi
dengan manajemen risiko perbankan yang baik. Perkembangan ini dalam waktu yang
sangat singkat menjadi terhenti dan bahkan mengalami kemunduran total akibat danya
krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 sehingga kondisi pada saat itu sebagai
berikut:
a. Tingkat kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap perbankan di
Indonesia menurun drastis
b. Sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat
c. Adanya spread negative
d. Munculnya penggunaan peraturan perundangan yang baru,
e. Jumlah bank menurun
9
Kondisi perbankan Indonesia pada saat sekarang ini. Selesainya penyusunan
Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
a. Serangkaian rencana dan komitmen pemerintah, DPR, dan Bank Indonesia untuk
membentuk :
1. Lembaga penjamin simpanan (LPS)
2. Lembaga pengawas perbankan yang independen.
3. Otoritas jasa keuangan
b. Kinerja perbankan yang lebih menunjukan kondisi praktik-praktik perbankan yang lebih
baik.
c. Penyaluran dana masyarakat ke arah yang lebih mencerminkan bank sebagaiperantara
keuangan dengan tetap berlandaskan prinsip kehati-hatian.
(Budisantoso, Totok dan Sigit Triandaru. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Edisi 2.
Jakarta : Salemba Empat.)
(Arthesa, Ir. Ade da Ir. Edia Hadiman. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank.
Cetakan 1. Jakarta Barat : PT. Macanan Jaya Cemerlang.)
(Kasmir. 2011. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Cetakan ke-11. Jakarta : PT
Rajagrafindo Persada.)
10
sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai
dengan satu tahun.
Dalam menderivasi proses jumlah uang beredar menitikberatkan pada definisi sederhana
uang (uang dalam sirkulasi ditambah dengan deposito/checkable deposits) yang dirujuk
sebagai M1. Definisi yang lebih luas dari uang khususnya M2 sering digunakan oleh
pembuat keputusan, analisis definisi M1lebih sederhana dan memberikan pemahaman dasar
dari proses dari jumlah uang beredar. Analisis dan hasil yang menggunakan definisi M1
berlakudengan baik untuk definisi M2.
A. Faktor-Faktor Tambah Yang Menentukan Jumlah Uang Beredar
Faktor yang mempengaruhi Uang Beredar adalah Aktiva Luar Negeri Bersih (Net
Foreign Assets / NFA) dan Aktiva Dalam Negeri Bersih (Net Domestic Assets / NDA).
Aktiva Dalam Negeri Bersih antara lain terdiri dari Tagihan Bersih Kepada Pemerintah
Pusat (Net Claims on Central Government / NCG) dan Tagihan kepada sektor lainnya
(sektor swasta, pemeritah daerah, lembaga keuangan dan perusahaan bukan keuangan)
terutama dalam bentuk Pinjaman yang diberikan.
Proses uang beredar dimana keempat pelaku system federal reserve, deposito, bank, dan
pinjaman dari bank secara langsung mempengaruhi uang beredar. Federal reserve
memgaruhi uang beredar dengan mengendalikan tiga variable pertama. Deposito
mempengaruhi uang beredar melalui keputusan mereka mengenai rasio uang kartal, c,
sedangkan bank mempengaruhi uang beredar melalui keputusan mengenai e yang
dipengaruhi oleh perkiraan arus keluar deposito.
(Mishkin, Federic S.2008. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. Edisi 8.
Buku 1. Jakarta : Salemba Empat.)
(Mishkin, Federic S.2008. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. Edisi 8.
Buku 2. Jakarta : Salemba Empat.)
11
kegiatannya hanya menghimpun dana atau hanya menyalurkan dana atau bahkan kedua-
duanya yakni menghimpun dan menyalurkan dana.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 792 Tahun
1990 yaitu Lembaga Keuangan adalah semua badan yang memiliki kegiatan di bidang
keuangan berupa penghimpunan dan penyalur dana kepada masyarakat terutama untuk
membiayai investasi perusahaan.
Dapat disimpulkan dari kedua definisi yang ada di atas, Lembaga Kauangan adalah Suatu
lembaga yang dalam operasi sehari‐harinya menjalankan jasa dibidang keuangan, yaitu
berupa perantara (Intermediasi) dari pihak yang surplus (kelebihan uang) dan pihak yang
difisit (kekurangan uang), kepada sektor rumah tangga, sektor swasta, maupun sektor
pemerintah
Lembaga keuangan tidak hanya melakukan kegiatan berupa pembiayaan investasi
perusahaan namun juga telah berkembang menjadi pembiayaan untuk sektor konsumsi,
distribusi, modal kerja, dan jasa lainnya. Lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank
memiliki tugas yang sama yaitu menghimpun dana dan menyarulkan dana perbedaan terletak
pada cara menghimpun dan menyalurkan dananya. Dalam menghimpun dana dari
masyarakat lembaga keuangan perbankan dapat melakukan baik secara langsung maupun
tidak langsung. Sedangkan lembaga keuangan bukan bank hanya dapat menghimpun dana
secara tidak langsung atau hanya melalui bentuk kertas berharga pinjaman/ kredit atau
penyertaan. Lembaga keuangan bukan bank di Indonesia di antaranya adalah pasar
modal,asuransi, pegadaian, multifinance, dana pensiun dan lainnya.
2.3.1 Hukum Dasar Lembaga Keuangan Bank di Indonesia
Hukum perbankan Indonesia adalah sebagai hukum yang mengatur masalah-
masalah perbankan yang berlaku sampai sekarang di Indonesia. Dari rumusan tersebut
akan terungkap bahwa pengaturan di bidang perbankan akan menyangkut:
1. Dasar-dasar perbankan, yaitu menyangkut asas-asas kegiatan perbankan.
2. Kedudukan hukum pelaku di bidang perbankan.
3. Kaidah-kaidah perbankan yang secara khusus memperhatikan kepentingan umum.
4. Kaidah-kaidah yang menyangkut struktur organisasi.
5. Kaidah-kaidah yang mengarahkan kahidupan perekonomian berupa kemampuannya
untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai melalui organisasi.
12
6. Keterkaitan hukum yang secara logis berhubungan antara satu sama lain.
Hukum perbankan ini merupakan suatu sistem, yaitu satu kesatuan yang bersifat
kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang bekerja sama secara aktif mncapai tujuan
pokok dari kesatuannya. Dengan demikian Hukum Perbankan yang merupakan satu
sistem akan mengandung pengertian-pengertian dasar berupa orientasi kepada tujuan
serta berinteraksi dengan sistem yang lebih besar. Sumber Hukum Perbankan di
Indonesia
1. Undang-Undang Dasar 1945 (terutama pasal 33)
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, terutama mengenai Garis-Garis Besar
Haluan Negara
3. Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
4. Undang-Undang No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral
5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
6. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan UU Kepailitan
7. Peraturan Pemerintah
8. Surat Keputusan Presiden
9. Instruksi Presiden
10. Surat Keputusan Menteri Keuangan
11. Surat Edaran Bank Indonesia
12. Peraturan lainnya yang berhubungan erat dengan kegiatan perbankan.
2.3.2 Dasar Hukum Lembaga Keuangan Bukan Bank
Semua lembaga (badan) yang melakukan kegiatan dalam bidang keuangan yang secara
langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan cara mengeluarkan surat-surat
berharga, kemudian menyalurkan kepada masyarakat terutama untuk membiayai
investasi perusahaan-perusahaan. Lembaga keuangan bukan bank di Indonesia
berkembang sejak tahun 1972. Dasar hukum lembaga keuangan bukan bank adalah :
- Surat Keputusan Menteri Keuangan No.38/KMK/IV/I1972 → dirubah
menurutKeputusan Menteri Keuangan No.280/KMK.01/1989 ( tentang pengawasan dan
pembinaan lembaga keuangan bukan bank dan peraturan perundang-undangan lain yang
berkaitan dengan usaha yang dijalankan.)
13
- Undang – undang No. 15 Tahun 1992 tentang Bursa (Lembaran Negara No. 67 Tahun
1952)
(Budisantoso, Totok dan Sigit Triandaru. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Edisi 2.
Jakarta : Salemba Empat.)
(Budisantoso, Totok , Sigit Triandaru dan Y. Sri Susilo. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan
Lain. Cetakan 1. Jakarta : Salemba Empat.)
(Arthesa, Ir. Ade da Ir. Edia Hadiman. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank.
Cetakan 1. Jakarta Barat : PT. Macanan Jaya Cemerlang.)
14
2.4.2 Peranan Lembaga Keuangan di Indonesia
a. Lembaga Keuangan sebagai Lembaga Perantara
Lembaga Keuangan yang terdiri dari Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank
mempunyai peranan yang sangat penting dalam aktivitas ekonomi. Peranan Bank dan
Lembaga Keuangan Bukan Bank tersebut sebagai sebagai wahana yang mampu
menghimpun dana dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien kearah
peningkatan taraf hidup masyarakat. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank
merupakan lembaga perantara keuangan (Financial Intermediaries) sebagai prasarana
pendukung yang amat vital untuk menunjang kelancaran perekonomian.
Lembaga Keuangan pada dasarnya mempunyai fungsi menstranfer dana (loanable
funds) dari penabung atau unit surplus (lenders) kepada peminjam (borrowers) atau unit
defisit.
Dana tersebut dialokasikan dengan negosiasi antara pemilik dana dengan
pemakai melalui pasar uang dan pasar modal. Pada gambar dibawah ini terlihat proses
transaksi Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. Produk yang ditransaksikan dapat
berupa sekuritas primer maupun sekuritas sekunder. Sekuritas sekunder diterbitkan Bank
dan Lembaga Keuangan Bukan Bank untuk ditawarkan kepada unit surplus, unit surplus
akan menerima pendapatan, misalnya pendapatan bunga dari Bank dan Lembaga
Keuangan Bukan Bank tersebut. Dana yang dihimpun dari unit surplus tersebut
disalurkan kembali oleh lembaga keuangan kepada unit defisit. Unit defisit membayar
biaya bunga kepada Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. Dalam kasus yang lain
proses transaksi dapat terjadi bila unit defisit mengeluarkan sekuritas primer yang dijual
kepada Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank.
Lembaga Keuangan
15
Kegiatan
Bank Bukan Bank
Penghimpun Secara langsung berupa Hanya secara tidak langsung
Dana simpanan dana dari masyarakat (terutama
masyarakat(tabungan, giro, melalui kertas berharga,
deposito). juga bisa penyertaan,
Secara tidak langsung dari pinjaman/kredit dari
masyarakat (kertas berharga, lembaga lain).
pinjaman/kredit dari lembaga
lain).
Penyalur Dana Untuk tujuan modal kerja, Terutama untuk tujuan
investasi, konsumsi. investasi.
Untuk badan usaha dan Terutama untuk badan
individu. usaha.
Untuk jangka pendek, jangka Terutama untuk jangka
menengah, dan jangka menengah dan jangka
panjang. panjang.
16
primer (saham, obligasi, promes, commercial paper, dan sebagainya) yang
diterbitkan oleh unit defisit.
2. Transaksi (Transaction) Pemberian kemudahan transaksi barang dan jasa.
Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank memberikan berbagai kemudahan
kepada para pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi barang atau jasa. Dalam
ekonomi modern, transaksi ekonomi tidak dapat terlepas dari transaksi keuangan.
Transaksi keuangan selalu diperlukan baik secara langsung dalam jual beli barang
jadi, maupun transaksi jual beli bahan mentah dan setengah jadi dalam proses
produksi. Produk-produk yang dikeluarkan oleh Bank dan Lembaga Keuangan
Bukan Bank (giro, tabungan, deposito, dan sebagainya) merupakan pengganti
pengganti uang dan dapat digunkan sebagai alat pembayaran.
3. Likuiditas (Liquidity) Pemberian alternatif pengelolaan likuiditas.
Unit Surplus dapat menempatkan dana yang dimilikinya dalam bentuk produk-
produk berupa giro, tabungan, depositi, dan sebagainya. Produk-produk tersebut
masing-masing mempunyai tingkat likuiditas yang berbeda-beda. Unruk kepentingan
likuiditas pemilik dana menempatkan dananya sesuai kebutuhan dan kepentingannya.
Dengan demikian Lembaga Keuangan memberikan fasilitas pengelolaan likuiditas
kepada pihak yang mengalami surplus likuiditas. Dengan kata lain, lembaga
keuangan secara bersamaan menyalurkan likuiditas kepada pihak yang memerlukan
likuiditas dengan cara menyalurkan dana dari pihak yang mengalami kelebihan
likuiditas.
4. Efisiensi ( Efficiency) Interaksi unit surplus dan unit defisit secara efisien.
Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank dapat menurunkan biaya transaksi
dengan jangkauan pelayanan. Peranan Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank
sebagai broker adalah menemukan peminjam dan pengguna modal tanpa mengubah
produknya. Disini mereka hanya memperlancar dan mempertemukan pihak-pihak
yang saling membutuhkan. Adanya informasi yang tidak simetris (assymetric
information) antara peminjam dan investor menimbulkan masalah insentif. Peranan
Lembaga Perantara keungan menjasi penting untuk memecahkan masalah insentif
ini.
17
(Budisantoso, Totok , Sigit Triandaru dan Y. Sri Susilo. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan
Lain. Cetakan 1. Jakarta : Salemba Empat.)
(Arthesa, Ir. Ade da Ir. Edia Hadiman. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank.
Cetakan 1. Jakarta Barat : PT. Macanan Jaya Cemerlang.)
18
beberapa jenis jasa bank yang tidak boleh diselenggarakan oleh BPR, seperti giro dan ikut
kliring.
2.5.2 Bentuk dan JenisLembaga Keuangan Bukan Bank
Badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau
barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Sedangkan
perusahaan pembiayaan adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan
yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan. Jenis jenis lembaga pembiayaan
antara lain yaitu :
1. Sewa guna usaha (s) yaitu, adalah perjanjian antara lessor (perusahaan leasing) dengan
lessee (nasabah) dimana pihak lessor menyediakan barang dengan hak penggunaan oleh
lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu.
2. Lembaga Perasuransi yaitu Usaha perasuransian di Indonesia diatur dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian.Sebelum adanya undang-undang tersebut,
kegiatan perasuransian di Indonesia hanya diataur dengan Keputusan Mentri Keuangan.
3. Lembaga Dana Pensiun, Pengertian perusahaan dana pensiun secara umum dapat dikatakan
merupakan perusahaan yang memungut dana dari karyawan suatu perusahaan dan
memberikan pendapatan kepada peserta pensiun sesuai dengan perjanjian. Sedangkan
menurut Undang-Undang nomor 11 Tahun 1992 Dana Pensiun adalah badan hukum yang
mengelolah dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. Dengan demikian
jelas bahwa yang mengelolah dana pensiun adalah perusahaan yang memiliki adan hukum
seperti bank umum atau asuransi jiwa.
4. Lembaga Pasar Modal, merupakan tempat pertemuan dan melakukan transaksi antara
pencari dana (emiten) dengan para penanam modal (Investor). Dalam pasar modal yang
diperjual belikan adalah efek-efek seperti saham dan obligasi (modal jangka panjang).
5. Lembaga Penggadaian, Usaha penggadaian adalah kegiatan menjaminkan barang-barang
berharga kepada pihak tertentu guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang
dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dan lembaga
gadai.
(Budisantoso, Totok dan Sigit Triandaru. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Edisi 2.
Jakarta : Salemba Empat.)
19
(Arthesa, Ir. Ade da Ir. Edia Hadiman. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank.
Cetakan 1. Jakarta Barat : PT. Macanan Jaya Cemerlang.)
(Mishkin, Federic S.2008. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. Edisi 8.
(Kasmir. 2011. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Cetakan ke-11. Jakarta : PT
Rajagrafindo Persada.)
20
hubungan peminjaman dan hubungan peminjaman dan pemberian pinjaman. Masalahnya
adalah mencari cara-cara agar pemberi pinjaman tidak memberikan informasi yang salah
kepada pemberi pinjaman, sehingga akhirnya informasi yang diterima oleh pemberi
peminjam adalah informasi yang benar dan pemberi pinjaman tidak merugikan. Dalam
kondisi demikian, pasar menjadi efisien karena sumber daya menjadi cenderung dikelola oleh
pihak-pihak yang juga efisien.
Solusi utama dari informasi asimetrs adalah oengawasaan (monitoring) oleh pihak
deposan (depositor). Namun demikian, mengingat keterbatasan posisi deposaan dalam
kaitannya dengan keberadaan lembaga keuangan sebagai perantara keuangan (financial
intermediary), pengawasaan ini sulit sekali dilakukan secara langsung oleh deposan. Solusi
paling masuk akal, dengan dennikian, adalah delegasi monitoring, diharapkan monitoring
dilakukan oleh lembaga keuangan. Dengan adanya delegasi monitoring, diharapkan
monitoring dilakukan oleh lembaga atau pihak yang memang memiliki kemampuan dan
spesialisasi dalam bidang pengawasan, yaitu lembaga keuangna. Delegasi pengawasan
diharapkan akan dapat memberikan jawaban tepat bagi masalah insentif.
Apabila tidak dilakukan delegas pengawasan atau tanpa intermediasi, adda dua
kemungkinann implikasi yang bisa muncul. Dalam kondisi masyarakat yang memungkinkan
informasi sebagai barang prbadi (private atau bukan barang public), maka kegiatan
pengawasaan akan dilakukan oleh semua oihak secara sendiri-sendiri tau terjadi duplikasi
pengawasan. Semua pihak melakukan pengawasan secara sendiri-sendiri karena pengawasan
yang telah dilakukan atau dimiliki oleh seseorang tidak akan bisa dinikmati oleh orang laimn,
padahal pihak-pihak yang terkait dengan pasar untuk semuanya memerlukan informasi hasil
pengawasan. Kegiatan duplikasi pengawasan ini menyebabkan kegiataan pengawasan
menjadi sangat mahal secara ndividua maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Di sisi
lain, dalam kondisi masyarakat yang memungkinkan informasi sebagaai barang public,
muncul kemungkinan tidak ada pengawasaan sama sekali. Karena tanpa campur tangan
otoritas moneter, informasi hasil pengawasan akan menjai milik bersama atau informasi
banyak dinikmati oleh penumpang gelap (free-rider), sehingga individu akan merasa rugi bila
melakukan keiatan pengawasan. Individu tidak terdorong melakukan pengawasan karena
kegiatan pengawasan memerlukan pengorbanan sumber dya atau biaya, dan disisi lain yang
akan meikmati adalah semua orang, sehingga individu yang melakukan pengawasan akan
21
merasa dirugikan. Kegiatan pengawasan, dalam kondisi demikian, hanya akan efektif bila
dilakukan olh otoritas moneter, dan hal ii sama saja dengan delegasi pengawasan.
Apabila delegasi pengawasaan yang dipilih sebagai solusinya, selanjutnya yang perlu
dilakukan adalah menyadari bahwa delegasi pengawasan memerlukan biaya dan hal tersebut
dilakukan atas suatu tujuan tertentu. Tujuannya adalahh untuk mendapatkan suatu rate of
return tertenttu hasil penyaluran dana. Menyadari hal tersebut, secara teoritis, permasalahn
ini dapat dimodelkan berupa minimalis biaya delegasi pengawasan dan atau maksimalisasi
tingkat pengembalian yang diharapkan (expected rate of return) bagi pengusaha
(entrepreneur) dengan kendala tingkat pengembalian (rate of return) tertentu bagi
peminjaman. Permodelan ini tertentu saja, secara individual, dipengaruhi oleh karakter
masing-masing pihak yang telibat dalam sistm lembaga keuangan. Karakter yang cenderung
menghindari resiko (risk averse) tertentu saja akan berbeda dengan yang netral terhadap
risiko (risk neutral). Mengingat permodelan ini biasanya leih mudah untuk memasukan
ukuran-ukuran moneter, maka sebenrnya model akan menjadi lebih lengkap apabila juga
memasukan unsur-unsur non moneter.
Keseluruhan kondisi dan permasalah yang terdapat dalam intemediasi dan pengawasan
diatas digambarkan secara sederhana, yang perlu diperhatikan adalah bahwa ilustrasi tersebut
hanyalah gambara suatu model sehingga isinya adlah penyerdahanaan dari kenyataan yang
terjadi pada lembaga keuangan. Seperti permodelan yang lain, kelemaha ilustrasi ini adalah
bahwa model tidak mampu memasukan semua unsur, terutama unsur-unsur yang relative
kurang besar pengaruhnya terhadap sistem. Namun demikian, tanpa model kita sulit sekali
untuk mendapatkan abtraksi atau gambaran jelas dari kenyataan empiris tentang kondisi dan
permasalahan lembaga keuangan. Ilustrasi ini menggambarkan permasalahn dalam lembaga
keuangan yang diawali dengan hubungan peminjam-pemberi pinjaman, munculya informasi
asimetris, munculnya moral hazard, adanya masalah insentif yang harus diselesaikan,
perlunya delegasi pengaasann, konsekuensi bla tak ada delegasi pengawaan, permodelan
minimisasi biaya pengawasan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi model.
22
Gambar 1.3 Intermediasi dan Pendelegasian Pengawasan
(Budisantoso, Totok , Sigit Triandaru dan Y. Sri Susilo. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan
Lain. Cetakan 1. Jakarta : Salemba Empat.)
(Arthesa, Ir. Ade da Ir. Edia Hadiman. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank.
Cetakan 1. Jakarta Barat : PT. Macanan Jaya Cemerlang.)
23
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
24
Jakarta. Dimana untuk penggunaan alat pembayaran non tunai berbasis elektronik mengalami
peningkatan jumlah instrument alat pembayaran non tunai yang berbasis elektronik, volume
per transaksi, dan nominal transaksi.
Gambar 1 : Jumlah Instrumen Kartu Debet/ATM, Kartu Kredit, E-money Tahun 2007
Sampai Dengan Tahun 2013 di Indonesia.
Hasil penelitian terdahulu menunjukan juga terdapat kesenjangan hasil yang berbeda.
Hasil penelitia di Indonesia menunjukan bahwa subsitusi kepemilikan uang tunai untuk
pembayaran non tunai bersifat tidak signifikan, artinya pembayaran non tunai belum bisa
menggantikan uang tunai sebagai alat pembayaran dalam bertransaksi. Sedangkan beberapa
hasil penelitian terdahulu menyebutkan kenaikan pengguna alat pembayaran non tunai
menurunkan pengguna uang tunai dalam bertransaksi. Dalam salah satu penelitian Bank
Indonesia, menyimpulkan bahwa pembayaran non tunai menggunakan kartu menurunkan
permintaan uang kartal dan M1. Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat adakah pengaruh
dari perkembangan instrumen cashless transaction terhadap kebutuhan uang tunai (kartal)
masyarakat yang tercermin dari jumlah uang tunai yang diedarkan Bank Indonesia.
25
Penggunaan Uang Elektronik Dalam Bertransaksi Belum Bisa Menggantikan Peran Uang
Tunai Dalam Bertransaksi
Menurut hasil estimasi yang dilakukan, dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang, penggunaan uang elektronik (electronic money) tidak mempunyai pengaruh
terhadap kebutuhan uang tunai masyarakat yang tercermin dari jumlah uang tunai yang
diedarkan oleh Bank Indonesia. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Fujiki dan Tanaka tentang uang elektronik di Jepang (2014). Hasil empiris
belum bisa mendukung pernyataan Bank Indonesia, bahwa dengan adanya non tunai dapat
mengurangi transaksi tunai di Indonesia. Adanya opportunity cost of holding money ternyata
tidak mempengaruhi penggunaan uang tunai dalam bertransaksi sehari-hari.
Jumlah nominal transaksi uang elektronik (emoney) digunakan untuk mengukur
perkembangan penggunaan uang elektronik di Indonesia sebagai alat pembayaran non tunai.
Sama halnya dengan kartu kredit dan kartu debet/ATM, uang elektronik merupakan
perkembangan inovasi sistem pembayaran di Indonesia yang dikenalkan pada tahun 2007.
Perkembangan uang elektronik sebagai salah satu perkembangan inovasi terbaru alat
pembayaran non tunai belum bisa menggantikan peran uang tunai dalam bertransaksi. Hal
ini dikarenakan pengenalan uang elektronik yang masih belum lama yaitu pada tahun 2007.
Menurut Manager Divisi Perizinan dan Informasi Sistem Pembayaran Bank Indonesia
Prabu Dewanto mengatakan, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN
penggunaan uang non-tunai di Indonesia masih sangat rendah. Sebab secara presentase
jumlahnya masih di bawah 1% (Suara Merdeka, 9 November 2014). Hal tersebut wajar,
dikarenakan Indonesia merupakan negara yang baru memasuki tahap awal cashless society.
Data yang di dapat dari Bank Indonesia (tabel 4.12), penggunaan uang elektronik
memang mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Namun, kenaikan tersebut masih diikuti
oleh kenaikan jumlah uang tunai yang beredar. Dapat disimpulkan, mindset masyarakat
Indonesia belum bisa terbuka dengan kehadiran teknologi dalam sistem pembayaran non
tunai.
26
Menurut Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia wilayah II, Maurids H Damarik
(Media kalimantan, April 2014), penggunaan uang elektronik masih kecil karena perbankan
masih menunggu perkembangan dan animo masyarakat. Survei yang dilakukan kantor
Perwakilan Bank Indonesia wilayah II pada tahun 2014, menunjukan keterbatasan fasilitas
instrumen non tunai membuat masyarakat masih menggunakan uang tunai dalam
bertransaksi. Kepala Divisi Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran Bank
Indonesia, Yura D Djalins (September, 2014) menyatakan tingkat kesadaran masyarakat
Indonesia masih rendah untuk menggunakan uang elektronik. Penyebabnya masih tinggi
tingkat kepercayaan terhadap uang tunai dan belum memahami benar tentang instrumen non
tunai.
Kesimpulannya Penggunaan alat pembayaran non tunai kartu kredit belum bisa
menurunkan kebutuhan uang tunai masyarakat sehingga belum bisa menurunkan jumlah
uang tunai yang diedarkan Bank Indonesia. Penggunaan kartu kredit kredit hanya bersifat
komplementer sehingga peningkatan penggunaan kartu kredit diikuti peningkatan kebutuhan
uang tunai dan peningkatan jumlah uang tunai yang diedarkan Bank Indonesia.
Penggunaan alat pembayaran non tunai kartu debet/ATM belum bisa menurunkan
kebutuhan uang tunai masyarakat sehingga belum bisa menurunkan jumlah uang tunai yang
diedarkan Bank Indonesia. Penggunaan kartu debet/ATM untuk transaksi non tunai di
Indonesia belum menjadi budaya seperti diluar negeri. Penggunaan kartu debet/ATM untuk
tarik tunai masih menjadi budaya dibandingkan penggunaan kartu debet/ATM untuk
pembayaran non tunai. Penggunaan alat pembayaran non tunai uang elektronik belum bisa
menurunkan kebutuhan uang tunai masyarakat sehingga belum bisa menurunkan jumlah
uang tunai yang diedarkan Bank Indonesia. Penggunaan uang elektronik merupakan suatu
hal yang masih awam bagi masyarakat karena baru diperkenalkan pada tahun 2007.
27
(Aidilia Putri, Irma. 2015. Pengaruh Perkembangan Cashless Transaction terhadap Kebutuhan
Uang Tunai (Kartal) Masyarakat.
http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/download/1710/1571, diakses 17/02/2016, 15.10
WITA)
28
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN
Lembaga Keuangan menurut UU No.14/1967 Pasal 1 ialah semua badan yang melalui
kegiatannya di bidang keuangan, menaruh uang dari dan menyalurkannya dalam masyarakat.
Artinya kegiatan yang dilakukan oleh lembaga keuangan selalu berkaitan dengan bidang
keuangan. Lembaga Keuangan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaakni Lembaga
Keuangan Bank dan Lembaga Keuangan bukan Bank, yang termasuk kedalam lembaga
keuangan bukan bank antara lain seperti Asuransi, Dana Pensiun, Pegadaian, Modal Ventura
dan masih banyak lagi lembag-lembaga lainnya. Lembaga Keuangan merupakan lembaga
yang menghubungkan antar pelaku ekonomi sektor rumah tangga dan sektor perusahaan
dalam melakukan interaksi ekonomi. Sektor rumah tangga melakukan hubungan dengan
lembaga keuangan karena kebutuhan sektor rumah tangga untuk mengalokasikan sebagai
pendapatan untuk ditabung di lembaga keuangan. Sedangkan sektor perusahaan
membutuhkan dana dari lembaga keuangan untuk membiayai kegiatan investasi perusahaan.
Lembaga keuangan sebagai badan yang melakukan kegiatan-kegiatan di bidang keuangan
mempunyai peranan yaitu Pengalihan aset (assets Transmutation), Likuiditas (liquidity),
Alokasi pendapatan (incon allocation), Transaksi (transaction), Pengalilian Aset (Asset
Transfer). Lembaga keuangan memiliki aset dalam bentuk “janji—janji untuk membayar”
atau dapat diartikan sebagai pinjaman kepada pihak lain dengan jangka waktu yang diatur
sesuai dengan kebutuhan perninjam. Dana pembiayaan asset tersebut diperoleh dari tabungan
masyarakat. Dengan demikian lembaga keuangan sebenarnya hanyalah mengalihkan atau
mernindahkan kewajiban peminjam menjadi suatu aset dengan suatu jangka waktu jatuh
tempo sesuai keinginan penabung. Proses pengalihan kewajiban menjadi suatu aset disebut
transmutasi kekayaan atau asset transimutation.
Lembaga Keuangan mempunyai fungsi yaitu menghimpun dana dari sektor rumah tangga
(masyarakat) dalam bentuk tabungan dan menyalurkan kepada sektor perusahaan dalam
bentuk pinjaman atau dalam kata lain lembaga keuangan menghimpun dari pihak yang
kelebihan dana dan menyalurkan kepada pihak yang membutuhkan dana.
29
Secara umum lembaga keuangan berperan sebagai lembaga intermediasi keuangan
Intermediasi keuangan merupakan proses penyerapan dana dari unit surplus ekonomi, baik
sektor usaha lembaga pemerintah maupun individu (rumah tangga) untuk penyediaan dana
bagi unit ekonomi lain. Intermediasi keuangan merupakan kegiatan pengalihan dan dari unit
ekonomi surplus ke unit ekonomi defisit.
4.2 SARAN
Saran dari penulis, meskipun dengan banyaknya kemudahan yang ditawarkan dalam
sarana penyimpanan maupun peminjaman yang telah ada di lembaga keuangan, sebaiknya
kita sebagai pihak penyimpan maupun pihak yang meminjam uang di lembaga keuangan
harus berhati – hati dalam mengunakan kemudahan – kemudahan yang ditawarkan tersebut.
Karena sekarang ini banyak informasi penipuan baik lewat media cetak maupun elektronik,
sehingga dalam menyimpan uang ataupun menanamkan modal kita harus cerdas dalam
menentukan jenis lembaga keuangan yang benar-benar dapat dipercaya dan
bertangungjawab. Sebelum kita menginvestasikan sebagian pendapatan kita ke lembaga
keuangan sebaiknya kita memilih lembaga keuangan yang sudah terpercaya dan sudah
memiliki jaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (PLS) agar apabila terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan uang yang kita tabung atau yang kita investasikan tidak akan hilang.
30
DAFTAR PUSTAKA
Budisantoso, Totok dan Sigit Triandaru. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Edisi 2.
Jakarta : Salemba Empat.
Budisantoso, Totok , Sigit Triandaru dan Y. Sri Susilo. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan
Lain. Cetakan 1. Jakarta : Salemba Empat.
Arthesa, Ir. Ade da Ir. Edia Hadiman. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank.
Cetakan 1. Jakarta Barat : PT. Macanan Jaya Cemerlang.
Mishkin, Federic S.2008. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. Edisi 8.
Buku 1. Jakarta : Salemba Empat.
Mishkin, Federic S.2008. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. Edisi 8.
Buku 2. Jakarta : Salemba Empat.
Kasmir. 2011. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Cetakan ke-11. Jakarta : PT Rajagrafindo
Persada.
Aidilia Putri, Irma. 2015. Pengaruh Perkembangan Cashless Transaction terhadap Kebutuhan
Uang Tunai (Kartal) Masyarakat.
http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/download/1710/1571, diakses 17/02/2016, 15.10
WITA
31