Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PRAKTIK

ASUHAN KEBIDANAN HOLISTIK APRAS PADA An. W USIA 6 TAHUN


DENGAN KETERLAMBATAN BERBICARA DI PUSKESMAS
KETROWONOJOYO KABUPATEN PACITAN

Oleh :

SUNARTIN

NIM. 202108114

PRODI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN

STIKES KARYA HUSADA KEDIRI

2022
PERSETUJUAN

Laporan praktik dengan judul “ASUHAN KEBIDANAN HOLISTIK


APRAS PADA An. W USIA 6 TAHUN DENGAN KETERLAMBATAN
BERBICARA” di Puskesmas Ketrowonojoyo Kabupaten Pacitan telah disetujui
oleh pembimbing penyusunan Asuhan pada :

Hari/tanggal : ,

Pacitan,

Mahasisa

TTD

Sunartin

Mengetahui,

Dosen Pembimbing Pembimbing Lahan

TTD TTD
........................................... ...............................................
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME, atas limpahan karunia-Nya kepada


penulis sehingga penyusunan Laporan Praktik Asuhan Kebidanan Holistik dengan
judul “Asuhan Kebidanan Holistik APRAS Pada An. W Usia 6 Tahun Dengan
Keterlambatan Berbicara di Puskesmas Ketrowonojoyo Kabupaten Pacitan”.

Adapun tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan Holistik yang berjudul


“Asuhan Kebidanan Holistik APRAS Pada An. W Usia 6 Tahun Dengan
Keterlambatan Berbicara di Puskesmas Ketrowonojoyo Kabupaten Pacitan”. Ini
telah penulis usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan laporan ini. Untuk itu
penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan laporan ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, penulis menyadari laporan ini masih
terdapat kekurangan, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran  yang
membangun dari semua pihak untuk penyempurnaan laporan ini.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga dari Laporan Praktik Asuhan


Kebidanan Holistik dengan judul “Asuhan Kebidanan Holistik APRAS Pada An.
W Usia 6 Tahun Dengan Keterlambatan Berbicara di Puskesmas Ketrowonojoyo
Kabupaten Pacitan”. Ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat
memberikan inpirasi bagi pembaca.

Pacitan, Maret 2022

Tim Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PERSETUJUAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI vi
DAFTAR SINGKATAN vii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Tujuan 2
1.3 Manfaat 3

BAB 2 TINJAUN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Teori 4


2.2 Speach Delay 5
2.3 Tipe Pola Komunikasi Dalam Keluarga 8
2.4 Macam-macam Gangguan Bahasa Pada Anak Usia Dini 12
2.5 Gejala Gangguan Bicara Dan Bahasa Ekspresif 15
2.6 Konsep Dasar Kebidanan 18
2.7 Standar Asuhan Kebidanan dan Model Dokumentasi 21

BAB 3 Tinjauan Kasus

3.1 Pengkajian 23
3.2 Analisa data/Diagnosa 27
3.3 Rencana 27
3.4 Pelaksanaan 27
3.5 Evaluasi 28

BAB 4 Pembahasan

4.1 Pembahasan 30
BAB 5 Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 31
5.2 Saran 32

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN

APRAS : Anak Pra Sekolah


ASI : Air Susu Ibu
BAK : Buang Air Kecil
BB : Berat Badan
BBL : Bayi Baru Lahir
MOU : Memorandum of Understanding
SDGs : Sustainable Development Goals
SUPAS : Survei Penduduk Antar Sensus
TB : Tinggi Badan
TD : Tekanan Darah
TFU : Tinggi Fundus Uteri
TTV : Tanda-tanda Vital
UUB : Ubun Ubun Besar
UUK : Ubun Ubun Kecil
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa adalah bentuk aturan atau sistem lambang yang digunakan
anak dalam berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang
dilakukan untuk bertukar gagasan, pikiran dan emosi. Bahasa bisa
diekspresikan melalui bicara mengacu pada simbol verbal. Selain dengan
menggunakan simbol verbal, bahasa dapat juga diekspresikan melalui
tulisan, tanda gestural dan musik. Bahasa juga dapat mencakup aspek
komunikasi nonverbal seperti gestikulasi, gestural atau pantomim.
Gestikulasi adalah ekspresi gerakan tangan dan lengan untuk menekankan
makna wicara. Pantomim adalah sebuah cara komunikasi yang mengubah
komunikasi verbal dengan aksi yang mencakup beberapa gestural
(ekspresi gerakan yang menggunakan setiap bagian tubuh) dengan makna
yang berbeda-beda).
Kemampuan bicara dan bahasa melibatkan perkembangan kognitif,
sensorimotor, psikologis, emosi dan lingkungan sekitar anak. Kemampuan
bahasa pada umumnya dapat dibedakan atas kemampuan reseptif
(mendengar dan memahami) dan kemampuan ekspresif (berbicara).
Kemampuan bicara lebih dapat dinilai daripada kemampuan lainnya
sehingga pembahasan mengenai kemampuan bahasa lebih sering dikaitkan
dengan kemampuan berbicara. Kemahiran dalam bahasa dan berbicara
dipengaruhi oleh faktor intrinsik (dari anak) dan faktor ekstrinsik (dari
lingkungan). Faktor intrinsik yaitu kondisi pembawaan sejak lahir
termasuk fisiologi dari organ yang terlibat dalam kemampuan bahasa dan
berbicara. Sementara itu faktor ekstrinsik berupa stimulus yang ada di
sekeliling anak terutama perkataan yang didengar atau ditujukan kepada si
anak.
Masalah keterlambatan bicara pada anak merupakan masalah yang
cukup serius yang harus segera ditangani karena merupakan salah satu
penyebab gangguan perkembangan yang paling sering ditemukan pada
anak. Keterlambatan bicara dapat diketahui dari ketepatan penggunaan
kata, yang ditandai dengan pengucapan yang tidak jelas dan dalam
berkomunikasi hanya dapat menggunakan bahasa isyarat, sehingga orang
tua maupun orang yang ada disekitarnya kurang dapat memahami anak,
walaupun si anak sebenarnya dapat memahami apa yang dibicarakan
orang.
Keterlambatan bicara seperti mana yang diketahui mengacu pada
hambatan maupun gangguan perkembangan anak. Gangguan berbicara
pada anak telah didefinisikan sebelumnya sebagai ketidaknormalan
kemampuan berbicara seorang anak jika dibandingkan dengan kemampuan
anak yang seusia dengannya. Ketidaknormalan ini diketahui dari
kemampuan berbicara seorang anak yang berada di bawah anak normal
pada usianya.
Menurut Hurlock (1978: 194-195), definisi keterlambatan bicara
pada anak yaitu apabila tingkat perkembangan bicara berada di bawah
tingkat kualitas perkembangan bicara anak yang umurnya sama yang dapat
diketahui dari ketepatan penggunaan kata. Dalam mempengaruhi
keterlambatan dalam hal berbicara ada banyak faktor. Diantaranya seperti
yang telah dikemukakan oleh Campbell dkk (2003), yang mencoba
mengungkap faktor resiko untuk keterlambatan bicara pada anak dengan
ras yang tidak diketahui atau campuran pada anak usia 3 tahun. Dari hasil
penelitiannya mengungkap bahwasanya yang mempunyai rasio terbesar
dalam mempengaruhi dari keterlambatan bicara adalah mengenai jenis
kelamin laki-laki, rendahnya pendidikan ibu (ibu yang tidak dapat
menyelesaikan SMA), dan juga dampak dari permasalahan genetik yang
dibawa ibu.
Hambatan pada perkembangan bicara nantinya tidak hanya dapat
mempengaruhi penyesuaian sosial dan pribadi anak, tetapi juga dapat
mempengaruhi penyesuaian akademis anak. Karena pentingnya fungsi
perkembangan bicara pada anak tersebut, maka penelitian ini berusaha
menggambarkan apa saja yang dapat menjadi faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan bicara pada anak.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas Kampus Askeb APRAS dengan Keterlambatan
Berbicara.
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mampu mengkaji dan mengumpulkan data akurat dari
berbagai sumber yang berhubungan dengan kondisi pasien.
b. Mahasiswa mampu membuat diagnosa terhadap pasien sesuai
dengan hasil pengkajian.
c. Mahasiswa mampu membuat rencana tindakan sesuai kasus.
d. Mahasiswa mampu melakukan tindakan dan mendokumentasikan
hasil tindakan.
e. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi setelah melakukan
tindakan.
C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Penulisan laporan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
dan wawasan mahasiswa, sehingga dapat mengaplikasikannya dalam
memberikan asuhan kebidanan APRAS dengan Keterlambatan
Berbicara.
2. Bagi Petugas Kesehatan
Penulisan laporan ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
informasi serta memberikan manfaat bagi petugas kesehatan
khususnya bidan dalam penanganan kepada APRAS dengan
Keterlambatan Berbicara.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Penulisan laporan ini diharapkan dapat meningkatkan ilmu,
wawasan dan menambah pembelajaran pendidikan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Teori


Menurut Vygotsky Dikutip oleh Adam (2014) Bahasa pada
dasarnya merupakan suatu bentuk komunikasi antar manusia. Namun
sewaktu-waktu perkembangan berlangsung, perkembangan tersebut
terinternalisasi dan dilaksanakan oleh kemampuan intelektual. Bahasa bisa
diekspresikan melalui bicara mengacu pada simbol verbal. Selain dengan
menggunakan simbol verbal, bahasa dapat juga diekspresikan melalui
tulisan, tanda gestural dan musik. Bahasa juga dapat mencakup 4 aspek
yaitu menulis, menyimak, membaca dan berbicara.
Kemampuan bicara dan bahasa melibatkan perkembangan kognitif,
sensorimotor, psikologis, emosi dan lingkungan sekitar anak. Menurut
Fitriani, dkk (2016) Keterlambatan Berbicara merupakan suatu
kecenderungan dimana anak sulit dalam mengekspresikan keinginan atau
perasaan pada orang lain seperti, tidak mampu dalam berbicara secara
jelas, dan kurangnya penguasaan kosa kata yang membuat anak tersebut
berbeda dengan anak lain sesusianya.
Kemampuan bahasa pada umumnya dapat dibedakan atas
kemampuan reseptif (mendengar dan memahami) dan kemampuan
ekspresif (berbicara). Kemampuan bicara lebih dapat dinilai daripada
kemampuan lainnya sehingga pembahasan mengenai kemampuan bahasa
lebih sering dikaitkan dengan kemampuan berbicara. Kemahiran dalam
bahasa dan berbicara dipengaruhi oleh faktor intrinsik (dari anak) dan
faktor ekstrinsik (dari lingkungan). Faktor intrinsik yaitu kondisi
pembawaan sejak lahir termasuk fisiologi dari organ yang terlibat dalam
kemampuan bahasa dan berbicara. Sementara itu faktor ekstrinsik berupa
stimulus yang ada di sekeliling anak terutama perkataan yang didengar
atau ditujukan kepada si anak.
Fitriani, dkk (2016) Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
anak terlambat berbicara pada usia 4-6 tahun di lembaga PAUD Khalifah
Aceh 2 dan PAUD Cinta Ananda dengan jenis gangguan pada ekspresi
bahasa (speech and languange expresive disorder). Faktor-faktor yang
mempengaruhi anak terlambat berbicara terdiri atas: kecerdasan,
penggunaan bahasa kedua, gaya bicara/model yang ditiru, kesehatan, dan
hubungan keluarga. Konsep model yang peneliti tawarkan dalam
penelitian ini berbentuk strategi/teknik untuk mengatasi anak terlambat
berbicara, yaitu: melatih anak berbicara dengan benar, pelan dan berulang-
ulang, saat berbicara selalu memperhatikan tata bahasa yang diucapkan,
selalu melibatkan anak berbicara pada setiap keadaan dengan memperbaiki
pengucapan anak yang masih keliru, dan menggunakan sistem several
seperti konsultasi rutin untuk mengetahui perkembangan anak pada dokter
dan psikolog anak. Simpulan dari penelitian ini, benar terdapat anak yang
terlambat berbicara usia 4-6 tahun di Kota Banda Aceh, dan dari 12 faktor
yang mempengaruhi anak terlambat berbicara terdapat 5 faktor yang
paling dominan yang mempengaruhi anak terlambat bebicara. Sebaiknya
orangtua mengikuti tahapan tumbuh kembang anak sehingga dapat lebih
dini mendeteksi gejala anak terlambat berbicara serta guru memiliki
strategi yang tepat dalam mengatasi anak yang terlambat berbicara.

B. Speach Delay
Speech delay (terlambat bicara) adalah istilah yang sering diberikan
oleh dokter anak kepada anak-anak ini. Namun, terminologi speech delay
sendiri bukan merupakan diagnosis, terminologi ini hanya digunakan
untuk menunjukan keadaan keterlambatan bicara. Sebab, keterlambatan
berbicara adalah sebuah gejala dari suatu diagnosis tertentu. Jadi, jika
menerima istilah bahwa anak kita mengalami keterlambatan bicara dengan
mengatakan bahwa si anak mengalami speech delay, lalu dianjurkan untuk
diberi terapi wicara, kita juga akan kesulitan menentukan bentuk terapi
wicara yang seperti apa. Bisa jadi nanti justru kita menerima terapi wicara
yang terlalu umum dan tidak menegena pada sasaran, atau justru salah
pendekatan yang bisa menyebabkan anak menjadi trauma.
Anak yang mengalami speech delay juga tergolong dalam
gangguan pada ekspresi bahasa, misalnya kesulitan menyampaikan
pikiran-pikiran dalam bentuk kalimat yang baik, kesulitan menyusun kata-
kata yang baik, atau kesulitan menyusun elemen cerita secara runtut.
Namun pada umumnya ia tidak mengalami kesulitan penerimaan bahasa,
ia juga pandai berbahasa simbolik. Hanya saja saat anak itu masih kecil
atau balita dimana belum mengalami perkembangan berbahasa secara
baik, ia juga mengalami kekurangan daftar kata-kata, sehingga jika diajak
berbicara juga masih mengalami kesulitan pemahaman bahasa dan juga
kesulitan mengambil daftar kata dalam memorinya (finding words yang
merupakan kelemahan anak kelompok ini).
Istilah speech delayed biasanya digunakan oleh para dokter
tumbuh kembang anak, sedangkan para neurolog menyebutnya sebagai
developmental dysphasia. Dalam pemeriksaan neurologi tidak ditemukan
adanya cacat di bagian otak. Oleh karena itu, kelompok anak terlambat
bicara ini masalahnya berupa masalah tumbuh kembang, bukan karena
kecacatan atau patalogis. Karena itu tatalaksana yang diberikan padanya
adalah bentuk intervensi stimulasi perkembangan bicara dan bahasa
hingga mencapai tingkatan perkembangan bicara dan bahasa yang
maksimal. Laurence B. Leonard (2014), seorang profesor yang ahli di
bidang bicara, bahasa, dan pendengaran dari Universitas Purdue,
menyatakan bahwa masalah bicara dan bahasa anak-anak ini adalah
masalah ketertinggalam perkembangan. Jika dilihat dalam sebuah
spektrum perkembangan bahasa, perkembangan bahasa anak-anak ini
berada dalam spektrum yang paling bawah. Dengan begitu kita dapat
memehami mengapa anak-anak ini mengalami ketertinggalan yang terus-
menerus dalam area bahasa yang menyebabkan masalah prestasi di
sekolah.
Karena dalam pemeriksaan neurologi tidak didapat adanya cacat,
makan intervensi yang diberikan adalah stimulasi bahasa yang dilakukan
oleh:
1. Orang tua merangsang wicara pada saat masih dalam fase preverbal
2. Terapi wicara saat ia dalam fase awal verbal untuk merangsang wicara
dan teknik artikulasi
3. Di sekolah oleh guru remidial bahasa, atau ahli bahasa (linguistik).
Dalam hal ini, orangtua harus juga turut aktif memberikan
rangsangan, mengarahkan, dan membantu anak agar mencapai tahap
perkembangan bahasa yang maksimal. Orangtua perlu membekali diri
dengan ilmu bahasa dan strategi mendukung pembelajaran bahasa.
Speech delayed atau keterlambatan bicara, yang dalam bahasa
neurologi disebut developmental dysphasia, kini lebih dikenal sebagai
Specific Laungage Impairment atau SLI yang mana intervensi bahasa
diberikan pada anak-anak ini adalah area kerja para guru bahasa dan ahli
bahasa.
Didunia internasional, dalam diagnosis SLI dari saru negara ke
negara lain masih terdapat persoalan tentang penempatan rencana
terapinya. Hal ini disebabkan karena para ahli masih belum mempunyai
kesepakatan tentang tipetipe SLI dan kriterianya. Berbagai penelitian
menunjukan ketidak konsistenan hasil. Hal ini disebabkan karena ada
perbedaaan gejala yang ditunjukan oleh anakanak terlambat berbicara ini
sangat heterogen, sehingga sangat sulit menetapkan penggolongan tipe-
tipenya. Karena belum ada kesepakatan inilah, maka para ahli SLI belum
bisa menentukan protokol intervensi yang tepat bagi setiap anak.
Dengan belum ada ketetapan kriteria tipe-tipe serta protokolnya,
apalagi karena secara medis memang tidak ada gangguan, maka tidak ada
alasan yang kuat bahwa anak-anak ini mendapatkan santunan subsidi
kesehatan dan asuransi. Akibatnya banyak dari anak-anak ini yang
terlantar atau dimasukan ke dalam diagnosis lainnya yang lebih dekat
dengan melihat berbagai gejala yang ditunjukan agar masuk kedalam
sistem subsidi dan penggantian asuransi kesehatan. Hungga kini diagnosis
SLI lebih banyak digunakan sebagai diagnosis riset dan kajian, bukan
sebagai diagnosisi yang digunakan dalam klinik sebagai dasar memberikan
intervensi. Sekalipun kriteria tipe-tipenya belum ditetapkan, anak-anak ini
sebetulnya tetap membutuhkan intervensi. Artinya dalam menetapkan
intervensi, akan dibutuhkan pengamatan terhadap anak secara empiris.
Jadi siapa pun yang memberikan intervensi perlu melihat gejala yang
ditampilkan anak secara berkala dan berkesinambungan.
Terjadinya hambatan dalam pekembangan berbicara
dapatmemengaruhi penyesuaian bersosialisasi anak. Terdapat beberapa
faktor yang memengaruhi keterlambatan berbicara (speech delay).
Campbell,dkk. (2003) mengungkapkan bahwa risiko keterlambatan dalam
berbicara bahwasannya rasio terbesar adalah berjenis kelamin laki-laki,
rendahnya pendidikan ibu, dan juga dampak dari genetik keluarga ibu.
(Julia, 2016)
Sebuah kegiatan berkomunikasi dikatakan berjalan dengan baik
apabila penerima dan pengirim bahasa dapat menguasai bahasanya.
Menurut Andrews (2013:2), bahasa manusia berfokus pada bahasa sebagai
sistem yang dinamis, hierarkis, dan dipelajari relatif-otonom dari tanda-
tanda paradigmatik dan sintagmatik yang menghasilkan makna yang
menandakan dan berkomunikasi melalui komunitas ujaran dan komunitas
praktik kepada diri sendiri dan orang lain sepanjang siklus kehidupan.
Definisi semacam ini menangkap prinsip-prinsip bahasa yang penting
sebagai fenomena budaya serta gejala neurologis.
Anak yang mengalami keterlambatan bicara (speech delay) harus
tetap dirangsang untuk terus melatih komunikasinya. Pada kegiatan
berkomunikasi anak dituntut untuk menyelesaikan empat tugas pokok
yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Tugas tersebut
menurut Yusuf (2010:119) sebagai berikut: a) pemahaman, yaitu
kemampuan memahami sebuah makna ucapan orang lain; b)
pengembangan banyaknya kata; c) penyusunan kata menjadi kalimat; d)
ucapan, dapat dapat dipahami bahwa bahasa yang dimiliki anak secara
bertahap akan berkembang sesuai dengan rangsangan yang dilakukan
orangtua atau guru.( Alvika dkk, 2020)

C. Tipe Pola Komunikasi Dalam Keluarga


Terdapat empat tipe pola komunikasi keluarga yang dilakukan oleh
orangtua dan anak baik sosial maupun konsep, yang salah satu polanya
menjadi penyebab anak mengalami keterlambatan bicara.
1. Komunikasi keluarga dengan pola laissez-faire
Pola ini ditandai dengan rendahnya komunikasi yang berorientasi
konsep, artinya anak tidak diarahkan untuk mengembangkan diri
secara mandiri, juga rendah dalam komunikasi yang berorientasi
sosial. Artinya anak tidak membina keharmonisan hubungan dalam
bentuk interaksi dengan orang tua. Anak maupun orang tua kurang
atau tidak memahami objek komunikasi, sehingga dapat menimbulkan
komunikasi yang salah.
2. Komunikasi keluarga dengan pola protektif
Pola ini ditandai dengan rendahnya komunikasi dalam orientasi
konsep, tetapi tinggi komunikasinya dalam orientasi sosial. Kepatuhan
dan keselarasan sangat dipentingkan. Anak-anak yang berasal dari
keluarga yang menggunakan pola protektif dalam berkomunikasi
mudah dibujuk, karena mereka tidak beajar bagaimana membela atau
mempertahankan pendapat sendiri.
3. Komunikasi keluarga dengan pola Pluralistik
Pola ini merupakan bentuk komunikasi keluarga yang menjalankan
model komunikasi yang terbuka dalam membahas ide-ide dengan
semua anggota keluarga, menghormati minat anggota lain dan saling
mendukung.
4. Komunikasi keluarga dengan pola Konsensual
Pola ini ditandai dengan adanya musyawarah mufakat. Bentuk
komunikasi keluarga ini menekankan komunikasi berorientasi sosial
dan konsep. Pola ini mendorong dan memberikan kesempatan kepada
setiap anggota keluarga untuk mengemukakan ide dari dari berbagi
sudut pandang, tanpa mengganggu struktur kekuatan keluarga.

Hubungan interpersonal antara orang tua dan anak muncul melalui


trasnformasi nilai-nilai. Transformasi nilai dilakukan dalam bentuk
sosialisasi. Pada proses sosialisasi di masa kanak-kanak, orang tua
bertanggung jawab membentuk kepribadian anak-anaknya dengan
menanamkan nilai-nilai yang dianut oleh orang tua. Hal yang dilakukan
orang tua kepada anak dimasa awal pertumbuhannya sangat
mempengaruhi berbagai aspek psikologis anak-anak.16 Dari keempat pola
komunikasi di atas pola nomer 1 lah yang menjadi penyebab kenapa anak
mengalami keterlambatan bicara, sedikit atau kurangnya komunikasi
antara orangtua dan anak menjadi penyebab utama anak terlambat bicara.

D. Macam-macam Gangguan Bahasa Pada Anak Usia Dini


Keterlambatan dalam berbicara adalah salah satu dari banyak
masalah yang menjadi gangguan dalam proses perkembangan anak.
Keterlambatan dalam berbicara adalah bagian dari hambatan komunikasi,
terutama komunikasi dalam bentuk verbal. Seorang anak harus dapat
berbicara dan berbicara dengan baik untuk dapat membangun komunikasi
dengan lingkungan sekitar. Melihat dari fungsi kemampuan berbicara dan
berbicara seorang anak dapat mendukung perkembangan kemampuannya
dalam pengucapan bunyi, membaca, menulis dan memahami pengetahuan
yang diberikan kepadanya.
Gangguan bahasa dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu:
1. Gangguan Bahasa: Afasia adalah gangguan bahasa multimodality,
yang berarti tidak dapat berbicara, mendengar, menulis, dan membaca.
Umumnya afasia muncul jika otak kiri terganggu. Karena otak kiri
depan berfungsi untuk membantu menghaluskan isi pikiran dalam
bahasa yang baik, dan otak kiri belakang berfungsi untuk
menerjemahkan bahasa yang didengar dari orang lain. Jenis-jenis
afasia termasuk Broca aphasia (ketidakmampuan tanpa kata), aphasia
Wernicke (ketidakmampuan untuk memahami orang lain), afasia
anatomi (ketidakmampuan untuk menyebutkan benda-benda yang
dilihat), konduksi afasia (ketidakmampuan untuk mengulangi katakata
/ lawan bicara), dan afasia global (semua tidak dapat ).
2. Gangguan Bahasa: Autisme adalah gangguan bahasa yang dialami
oleh orang dengan autisme, gangguan bahasa dapat terjadi karena
terhambatnya anak-anak autis dalam memperoleh dan menyerap
bahasa yang mereka terima dari lingkungan sekitarnya.
3. Gangguan Bahasa: Disleksia penyebab utama disleksia adalah faktor
genetik, yaitu garis keturunan orang tua mereka (belum tentu orang
tua langsung, bisa dari kakek nenek). Dimana disleksia adalah
ketidakmampuan untuk mengenali huruf dan suku kata dalam bentuk
tertulis, atau dengan kata lain ketidakmampuan membaca. Penderita
disleksia sulit membedakan suara fonetis, untuk menyusun kata /
kalimat. Mereka dapat menangkap kata-kata ini dengan indera
pendengaran, tetapi tidak dapat menulisnya di selembar kertas.
4. Gangguan Bahasa: Keterlambatan bicara dapat disebut keterlambatan
motorik (kematangan) dari proses saraf pusat yang diperlukan untuk
menghasilkan ucapan pada anak-anak (Subyantoro, 2012; Alizadeh,
Soleymani, Jalaie, Kazemi, & Shahrivar, 2019; Rajesh & Venkatesh,
2019).
Keberhasilan penanganan keterlambatan bicara membutuhkan
kolaborasi yang baik antara tim terapi wicara dan rehabilitasi anak-anak di
rumah dengan orang tua. Untuk alasan ini, keterlibatan orang tua sangat
mempengaruhi keberhasilan penanganan anak dengan keterlambatan
bicara (Keterlambatan Pidato) (Jane & Tunjungsari, 2015).
E. Gejala Gangguan Bicara Dan Bahasa Ekspresif
Gejala utama yang dapat kita lihat adalah ketertinggalan
perkembangan bicara minimal satu tahun dari rata-rata usia anak mulai
bicara (anak mulai bicara usia satu tahun). Artinya, apabila anak
mengalami ketertinggalan bicara di usia dua tahun, maka anak ini dapat
dikelompokkan sebagai anak yang mengalami gangguan perkembangan
bicara dan bahasa spesifik. Namun, akibat ketertinggalan ini, ia akan
mengalami ketertinggalan perkembangan bersosialisasi hingga tiga sampai
dengan empat tahun. Hal ini juga berkaitan dengan perkembangan otak
belahan kiri dan kanan yang berbeda dengan anak-anak normal pada
umumnya (Goorhuis & Schaerlaekens, 2008).
Anak yang mengalami Gangguan Bicara dan Bahasa Ekspresif
tidak memiliki gangguan retardasi mental, bukan mengalami gangguan
sosial dan perilaku, tidak memiliki gangguan pendengaran, serta tidak
bermasalah dalam kemampuan reseptif. Bahkan dalam pemeriksaan
neurologis sama sekali tidak ditemukan gangguan apapun.
Berikut ini beberapa gejala gangguan perkembangan bicara dan
bahasa ekspresif sebagai berikut:
1. Mempunyai perkembangan bahasa reseptif yang baik atau normal
dibanding dengan kemampuan rata-rata anak seusianya.
2. Mengalami gangguan pada gangguan bahasa ekspresif (secara umum
produksi bahasanya lebih rendah daripada kemampuannya memahami
bahasa karena mengalami kesulitan menyampaikan pikiran dalam
bentuk verbal).
3. Menemui kesulitan dalam komunikasi dialog yang lebih sulit daripada
berbicara spontan, sebab komunikasi dialog melibatkan arahan orang
lain.
4. Terganggunya kelancaran bicara terutama yang menyangkut pencarian
daftar kosakata dalam daftar kosakata dalam memori (finding words),
dan kesulitan menyatukan elemen dalam sebuah cerita.
5. Kesulitan membangun kalimat dan bentuk kata-kata.
6. Menyampaikan sesuatu dengan menunjuk-nunjuk, menarik-narik, atau
dengan suara-suara: aah…uhhh… uuuuhh (Tiel, 2009:5).

Gejala-gejala di atas adalah gejala yang dapat dilihat secara langsung


dalam suatu pengamatan atau observasi. Hasil pemeriksaan lainnya
menurut Tiel (2009:5) adalah sebagai berikut:

1. Pada pemeriksaan dengan menggunakan tes IQ (WISC) akan


menunjukan intelegensi normal hingga tinggi (tes intelegensi
menunjukan performasi IQ normal atau lebih tinggi dari rata-rata anak
seusianya, walaupun verbal IQ rendah).
2. Pada penelusuran tumbuh kembang bicara dan bahasa, dilaporkan
tidak mengalami gangguan pada jadwal perkembangan fase pra-
lingual atau praverbal. Anak mempunyai periode membentuk bunyi-
bunyian tidak begitu banyak, sekalipun dapat dikatakan bahwa ia
mempunyai periode bubbling (suara mendekut aaa..., bu..bu)
3. Pada pemeriksaan otot-otot sekitar mulut, tidak mengalami gangguan
motorik otot-otot yang mendukung bicara (dyspraxia). Ia juga bisa
mengucapkan bunyi-bunyian dengan baik.
4. Pada pemeriksaan neurologis, tidak ada tanda-tanda mengalami
gangguan neurologis (antara lain keseimbangan motorik kasar baik,
mempunyai refleks yang baik, atau gangguan-gangguan lain yang
menunjukan sebagian gangguan neurologis).
5. Mempunyai perkembangan emosi sosial yang baik sebagai dasar
belajar berkomunikasi.
6. Mempunyai kemampuan membaca bahasa isyarat (komunikasi non-
verbal).
7. Mempunyai perilaku yang relatif normal.

Sementara itu pada gangguan bahasa ekspresif, secara klinis bisa


ditemukan gejala-gejalanya seperti berikut ini :
1. Sama sekali tidak mau berbicara.
2. Perbendaharaan kata yang jelas terbatas.
3. Membuat kesalahan dalam kosakata.
4. Mengalami kesulitan dalam mengingat kata-kata atau membentuk
kalimat yang panjang.
5. Memiliki kesulitan dalam pencapaina akademik, dan komunikasi
soisal, namun pemahaman bahasa relatif utuh.
6. Tidak mampu untuk memulai suatu percakapan.
7. Merasa sulit untuk menceritakan kembali suatu cerita atau suatu
peristiwa.

Gangguan bahasa ekspresif ini menjadi lebih jelas pada saat anak kira-
kira berusia 18 bulan, di saat anak usia dini tidak bisa mengucapkan kata
dengan spontan maupun meniru kata, serta lebih sering menggunakan
gerakan badannya untuk menyatakan keinginannya. (Almi, 2020)

F. Konsep Dasar Kebidanan

1. Pengertian Asuhan Kebidanan


Asuhan kebidanan adalah bantuan yang diberikan oleh bidan kepada
individu pasien atau klien yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara
bertahap dan sistematis, melalui suatu proses yang disebut manajemen
kebidanan (Ayurai, 2018).
2. Manajemen Kebidanan
Manajemen kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang
digunakan sebagai metode untuk mengorganisasikan pikiran dan
tindakan berdasarkan teori ilmiah, penemuan-penemuan, ketrampilan
dalam rangkaian tahapan logis untuk pengambilan keputusan yang
berfokus pada klien. Manajemen kebidanan menyangkut pemberian
pelayanan yang utuh dan menyeluruh dari kepada kliennya, yang
merupakan suatu proses manajemen kebidanan yang diselenggarakan
untuk memberikan pelayanan yang berkualitas melalui tahapan-
tahapan dan langkah-langkah yang disusun secara sistematis untuk
mendapatkan data, memberikan pelayanan yang benar sesuai dengan
keputusan tindakan klinik yang dilakukan dengan tepat, efektif dan
efisien.
Standar 7 langkah Varney, yaitu:
a. Langkah 1: Pengkajian
Pada langkah ini bidan mengumpulkan semua informasi yang akurat
dan lengkap dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien,
untuk memperoleh data dapat dilakukan dengan cara :
1) Anamnesa
2) Pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhan dan pemeriksaan
tanda-tanda vital
3) Pemeriksaan khusus
4) Pemeriksaan penunjang
Bila klien mengalami komplikasi yang perlu di konsultasikan kepada
dokter dalam penatalaksanaan maka bidan perlu melakukan
konsultasi atau kolaborasi dengan dokter. Tahap ini merupakan
langkah awal yang akan menentukan langkah berikutnya, sehingga
kelengkapan data sesuai dengan kasus yang di hadapi akan
menentukan proses interpretasi yang benar atau tidak dalam tahap
selanjutnya, sehingga dalam pendekatan ini harus yang komprehensif
meliputi data subjektif, objektif dan hasil pemeriksaan sehingga dapat
menggambarkan kondisi / masukan klien yang sebenarnya dan valid.
Kaji ulang data yang sudah di kumpulkan apakah sudah tepat,
lengkap dan akurat.
b. Langkah II: Merumuskan Diagnosa/Masalah Kebidanan
Pada langkah ini identifikasi terhadap diagnosa atau masalah
berdasarkan interpretasi yang akurat atas data-data yang telah
dikumpulkan. Data dasar yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan
sehingga dapat merumuskan diagnosa dan masalah yang spesifik.
Rumusan diagnosa dan masalah keduanya digunakan karena masalah
tidak dapat didefinisikan seperti diagnosa tetapi tetap membutuhkan
penanganan. Masalah sering berkaitan dengan hal-hal yang sedang
dialami wanita yang diidentifikasioleh bidan sesuaidengan hasil
pengkajian. Masalah juga sering menyertai diagnosa. Diagnosa
kebidanan adalah diagnosa yang ditegakkan bidan dalam lingkup
praktik kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur diagnosa
kebidanan.
c. Langkah III: Mengantisipasi Diagnosa/Masalah Kebidanan
Pada langkah ini mengidentifikasi masalah potensial atau diagnose
potensial berdasarkan diagnosa/masalah yang sudah diidentifikasi.
Langkah ini membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan
pencegahan. Pada langkah ketiga ini bidan dituntut untuk mampu
mengantisipasi masalah potensial tidak hanya merumuskan masalah
potensial yang akan terjadi tetapi juga merumuskan tindakan
antisipasi agar masalah atau diagnosa potesial tidak terjadi.
d. Langkah IV: Menetapkan Kebutuhan Tindakan Segera
Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan/dokter
dan/untuk dikonsultasikan atau ditangani bersama dengan anggota
tim kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien. Langkah ini
mencerminkan kesinambungan dari proses penatalaksanaan
kebidanan. Jadi, penatalaksanaan bukan hanya selama asuhan primer
periodik atau kunjungan prenatal saja tetapi juga selama wanita
tersebut bersama bidan terus-menerus.
Pada penjelasan diatas menunjukkan bahwa bidan dalam melakukan
tindakan harus sesuai dengan prioritas masalah/kebutuhan yang
dihadapi kliennya. Setelah bidan merumuskan tindakan yang perlu
dilakukan untuk mengantisipasi diagnosa/masalah potensial pada
langkah sebelumnya, bidan juga harus merumuskan tindakan
emergency/segera untuk segera ditangani baik ibu maupun bayinya.
Dalam rumusan ini termasuk tindakan segera yang mampu dilakukan
secara mandiri, kolaborasi atau yang bersifat rujukan.
e. Langkah V: Merencana Asuhan Secara Menyeluruh
Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh yang
ditentukan oleh langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini
merupakan kelanjutan penatalaksanaan terhadap masalah atau
diagnosa yang telah teridentifikasi atau diantisipasi. Pada langkah ini
informasi data yang tidak lengkap dapat dilengkapi. Rencana asuhan
yang menyeluruh tidak hanya meliputi apa-apa yang sudah
teridentifikasi dari kondisi klien atau dari masalah yang berkaitan
tetapi juga dari krangka pedoman antisipasi terhadap wanita tersebut
seperti apa yang diperkirakan akan terjadi berikutnya, apakah
dibutuhkan penyuluhan konseling dan apakah perlu merujuk klien
bila ada masalah-masalah yang berkaitan dengan sosial ekonomi-
kultural atau masalah psikologi. Setiap rencana asuhan haruslah
disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu oleh bidan dan klien agar
dapat dilaksanakan dengan efektif karena klien juga akan
melaksanakan rencana tersebut. Semua keputusan yang
dikembangkan dalam asuhan menyeluruh ini harus rasional dan
benar-benar valid berdasarkan pengetahuan dan teori yang up to date
serta sesuai dengan asumsi tentang apa yang akan dilakukan klien.
f. Langkah VI: Implementasi
Pada langkah ke enam ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang
telah diuraikan pada langkah ke lima dilaksanakan secara aman dan
efisien. Perencanaan ini dibuat dan dilaksanakan seluruhnya oleh
bidan atau sebagian lagi oleh klien atau anggota tim kesehatan
lainnya. Walaupun bidan tidak melakukannya sendiri, bidan tetap
bertanggung jawab untuk mengarahkan pelaksanaannya. Dalam
kondisi dimana bidan berkolaborasi dengan dokter untuk menangani
klien yang mengalami komplikasi, maka keterlibatan bidan dalam
penatalaksanaan asuhan bagi klien adalah tetap bertanggung jawab
terhadap terlaksananyarencana asuhan bersama yang menyeluruh
tersebut. Pelaksanaan yang efisien akan menyangkut waktu dan
biaya serta meningkatkan mutu dan asuhan klien.
g. Langkah VII: Evaluasi
Pada langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang
sudah diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan
apakah benar-benar telah terpenuhi sesuai dengan kebutuhan
sebagaimana telah diidentifikasidi dalam diagnosa dan masalah.
Rencana tersebut dapat dianggap efektif jika memang benar-benar
efektif dalam pelaksanaannya. Langkah-langkah proses
penatalaksanaan umumnya merupakan pengkajian yang memperjelas
proses pemikiran yang mempengaruhi tindakan serta berorientasi
pada proses klinis, karena proses penatalaksanaan tersebut
berlangsung di dalam situasi klinik dan dua langkah terakhir
tergantung pada klien dan situasi klinik.

G. Standar Asuhan Kebidanan dan Model Dokumentasi


Standar Asuhan Kebidanan adalah acuan dalam proses pengambilan
keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh bidan sesuai dengan
wewenang dan ruang lingkup praktiknya berdasarkan ilmu dan kiat
kebidanan.

1. Pengkajian
Pengkajian dilakukan dengan akurat, relevan dan lengkap dari semua
sumber yang berkaitan dengan kondisi klien, terdiri dari data obyektif
dan subyektif.
2. Perumusan Diagnosa
Dari hasil pengkajian kemudian dianalisa, diinterpretasikan secara
akurat dan logis.
3. Perencanaan
Perencanaan disusun berdasarkan diagnisa dan masalah yang
ditemukan, disusun berdasarkan prioritas masalah dana kondisi klien,
tindakan segera, tindakan antisipatif dan asuhan secara komprehensif.
Perencanaan disusun dengan melibatkan klien dan keluarga,
mempertimbangkan kondisi psikologi, sosial budaya klien / keluarga.
4. Implementasi
Pelaksanaan rencana asuhan kebidanan secara komprehensif,
efektif,efisien dan aman berdasarkan evidence based kepada klien /
pasien dalam bnetuk upaya promotif,preventif,kuratif dan rehabilitatif
yang dialkukan secara mandiri, kolaborasi, dan rujukan dengan
memperhatikan keunikan klien / pasien, inform concern, menjaga
privasi klien dengan memperhatikan pencegahan infeksi.
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan untuk
melihat keefektifan dari asuhan yang diberkan dan sesuai dengan
perubahan-perubahan kondisi klien. Evaluasi dilakukan segera setelah
melaksanakan asuhan. Hasil evaluasi dicatat dan dikomunikasikan
kepada klien / keluarga dan ditindaklanjuti sesuai dengan kondisi
klien / keluarga.
6. Pencatatan asuhan kebidanan
Pencatatan dilakukan secara lengkap, aurat, singkat dan jelas
mengenai keadaan / klien yang ditemukan dalam memberikan asuhan
kebidanan. Pencatatan dilakukan pada format asuhan kebidanan dalam
bentuk SOAP.

S (Subyektif)
Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien
melalui anamnesa
O (Obyektif)
Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik klien,
hasil lab, dan tes diagnostik lain yang dirumuskan dalam data fokus
untuk mendukung assesmen
A (Analisa)
Menggambarkan pendokumentasian hasil analisa dan interpretasi data
subyektif dan obyektif dalam suatu identifikasi.
P (Penatalaksanaan)
Menggambarkan pendokumentasian dari penatalaksanaan berdasarkan
assesmen. Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh
ditentukan oleh langkah-langkah sebelumnya. Semua keputusan yang
dikembangkan dalam asuhan menyeluruh ini harus rasional dan benar-
benar valid berdasarkan pengetahuan dan teori yang sesuai dengan apa
yang dibutuhkan dan baik untuk pasien.
BAB III

KASUS

A. PENGKAJIAN
1. DATA SUBJEKTIF
a. Identitas
Nama : An. W
Nama Panggilan : An. W
Umur : 6 Tahun
Tanggal/jam lahir : 1 Maret 2016
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan : TK
Dx Medis : -
Tanggal MRS : -
Tanggal Pengkajian : 22 Maret 2022
No register : -
Nama Ayah : Tn. W Nama Ibu : Ny. Y
Umur : 28 Tahun Umur : 25 Tahun
Suku/ Bangsa : Jawa Indonesia
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : S1 Pendidikan : S1
Pekerjaan : Guru Pekerjaan : IRT
Penghasilan : 3Juta/bln Penghasilan : 0
Alamat : Gombong, 4/4, Ketepung, Ketrowonojoyo
b. Alasan kunjungan/ keluhan utama
Ibu mengatakan anaknya kesulitan untuk bicara.
c. Riwayat kehamilan dan kelahiran
1) Prenatal : GIP0A0 UK 39minggu
2) Natal : Jenis persalinan normal spontan. Penolong bidan. Lama
persalinan 4 Jam
3) Postnatal : P1A0 nifas normal
d. Riwayat masa lampau
1) Penyakit-penyakit waktu kecil : Tidak ada
2) Pernah dirawat di rumah sakit :Tidak
3) Penggunaan obat-obatan : Tidak
4) Tindakan (misalnya operasi atau tindakan lain) : Tidak
5) Alergi : Tidak
6) Kecelakaan : Tidak
7) Imunisasi : Lengkap
e. Riwayat kesehatan keluarga : Keluarga tidak memiliki riwayat
penyakit menular, menurun, menahun.
f. Riwayat sosial
1) Yang mengasuh anak : Ibu, Ayah, Nenek dan Kakek.
2) Hubungan dengan anggota keluarga : Baik
3) Hubungan dengan teman sebaya : Baik
4) Pembawaan secara umum : Baik
g. Kebutuhan dasar
1) Makanan yang disukai/ tidak disukai : Anak tidak suka
sayur
Selera makan : Baik
Alat makan yang digunakan : Lengkap dan bersih
Jam makan : 3 kali sehari ( 07.00 ; 11.00 ; 17.00)
2) Pola tidur Kebiasaan-kebiasaan sebelum tidur (apakah
perlu mainan, perlu dibacakan cerita yang dibawa tidur).
Anak tidur biasa, tidak ada kendala. Siang pada pukul
12.00 s/d 13.00 dan tidur malam pada pukul 20.00 s/d
05.00 WIB
3) Mandi
2 kali sehari
4) Aktivitas/ bermain
Anak bermain aktif.
5) Eliminasi
BAK 6-8 kali sehari
BAB 1 kali sehari
h. Keadaan kesehatan saat ini
1) Diagnosa medis
An. W usia 6 tahun
2) Tindakan operasi
Tidak
3) Status nutrisi
Baik
4) Status hidrasi
Baik
5) Obat-obatan
Tidak
6) Aktivitas
Baik
7) Hasil pemeriksaan laboratorium
Tidak dilakukan
8) X-Ray
Tidak dilakukan

2. DATA OBYEKTIF
a. Keadaan Umum : Baik
b. Tanda-tanda vital
 Tekanan Darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Nadi : 90x/mnt
 Pernafasan : 24x/mnt
 Suhu : 36,7ºC
 Tinggi badan : 116cm
 Berat badan : 21kg
c. Pemeriksaan Fisik
 Kepala dan leher : Bersih, keadaan kepala baik. Distribusi
rambut di puncak kepala. Tidak ada massa atau area lunak
di tulang tengkorak. Leher rentang pergerakan sendi bebas,
bentuk simetris dan pendek. Triroid digaris tengah, nodus
limfe dan massa tidak ada.
 Pemeriksaan Thorax/ Dada : Bentuk seperti tong, gerakan
dinding dada simestris. Tidak ada retraksi dada. Tidak ada
pembengkakan aksila.
 Pemeriksaan Abdomen : Abdomen bundar dan simetris
pada tali pusat terdapat dua arteri dan satu vena berwarna
putih kebiruan. Abdomen lunak tanpa ada massa. Bising
usus ada.
 Pemeriksaan genetalia dan anus Punggung : Penis lurus,
meatus urinarius di tengah. Bersih. Ada lubang anus.
 Pemeriksaan muskuloskeletal (ekstremitas) : Simetris. Jari
tangan dan kaki lengkap. Gerak aktif.
 Pemeriksaan integumen (Tidak dilakukan pemeriksaan)
 Pemeriksaan neurologi (Tidak dilakukan pemeriksaan)
d. Pemeriksaan tingkat perkembangan (Tidak dilakukan pemeriksaan)
 Adaptasi sosial : Cukup
 Bahasa Motorik halus : Anak kesulitan dalam membuat
kata pertama atau memulai pembicaraan sehingga anak
menjadi enggan untuk berbicara dan bersikap acuh dengan
sekitarnya.
 Motorik kasar : Anak tidak mau bermain bersama teman-
temannya dan cenderung lebih suka bermain sendiri

Kesimpulan dari pemeriksaan tumbuh kembang

Anak kesulitan untuk mengucapkan sebuah kata.

Informasi lain
(-)

B. ANALISA / DIAGNOSA
An. W usia 6 tahun dengan keterlambatan berbicara.

C. INTERVENSI
1. Beritahu ibu hasil pemeriksaan anaknya.
2. Jelaskan pada ibu tentang makanan yang bergizi dan seimbang untuk
anaknya.
3. Motivasi ibu untuk melakukan pendekatan yang lebih dengan anak.
4. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi pengobatan.

b. PENATALAKSANAAN
1. Memberitahu ibu hasil pemeriksaan anaknya.
Ibu mengerti dan paham dengan kondisi anaknya.
2. Menjelaskan pada ibu tentang makanan yang bergizi dan seimbang
untuk anaknya. Masa tumbuh kembang anak membutuhkan zat gizi
lengkap seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral jika
tidak terpenuhi akan menghambat proses tumbuh kembang pada tahap
selanjutnya.
Ibu paham dan mengerti.
3. Memotivasi ibu untuk melakukan pendekatan yang lebih dengan anak.
Lebih sering mengajak anaknya berdiskusi, bermain bersama,
bernyanyi bersama, membacakan cerita atau berdongeng.
Ibu paham da mengerti.
4. Melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy
pengobatan.

c. EVALUASI (Tanggal : 22 Maret 2022 Pukul : 11.00 WIB)


Data Subjektif : Ibu mengatakan ingin memeriksakan bayinya.
Data Objektif : Keadaan Umum : Baik
Tanda-tanda vital
 Tekanan Darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Nadi : 90x/mnt
 Pernafasan : 24x/mnt
 Suhu : 36,7ºC
 Tinggi badan : 116cm
 Berat badan : 21kg
Analisa / Diagnosa : An. W usia 6 tahun dengan keterlambatan berbicara
Penatalaksanaan :
1. Memberitahu ibu hasil pemeriksaan anaknya.
Ibu mengerti dan paham dengan kondisi anaknya.
2. Menjelaskan pada ibu tentang makanan yang bergizi dan seimbang
untuk anaknya. Masa tumbuh kembang anak membutuhkan zat gizi
lengkap seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral jika
tidak terpenuhi akan menghambat proses tumbuh kembang pada tahap
selanjutnya.
Ibu paham dan mengerti.
3. Memotivasi ibu untuk melakukan pendekatan yang lebih dengan anak.
Lebih sering mengajak anaknya berdiskusi, bermain bersama,
bernyanyi bersama, membacakan cerita atau berdongeng.
Ibu paham da mengerti.
4. Melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy
pengobatan.
5. Menjadwalkan homevisit pada hari selanjutnya.
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis mencoba menyajikan pembahasan teori manajemen


asuhan kebidanan APRAS yang diterapkan pada An. W usia 6 tahun.

(Speech Delay) adalah suatu kecenderungan dimana anak sulit dalam


mengekspresikan keinginan atau perasaan pada orang lain seperti, tidak mampu
dalam berbicara secara jelas, dan kurangnya penguasaan kosa kata yang membuat
anak tersebut berbeda dengan anak lainnya.(Khoiriyah dkk, 2019)

Penulis melakukan asuhan anak pra sekolah kepada anak W, diantaranya


melakukan pemeriksaan dan memberikan KIE kepada ibu tentang makanan
bergizi dan seimbang, dan menganjurkan pendekatan yang lebih dengan anak.

Selama proses pemberian asuhan bidan menemukan bahwa hasil


pemeriksaan terhadap An. W yaitu An. W termasuk APRAS dengan
keterlambatan berbicara.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari uraian materi dan pembahasan kasus tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa pentingnya pemantauan tumbuh kembang oleh tenaga
kesehatan sehingga deteksi dini adanya komplikasi yang mungkin terjadi
dapat dihindari atau dicegah.
Penulis melakukan asuhan anak pra sekolah kepada anak W,
diantaranya melakukan pemeriksaan dan memberikan KIE kepada ibu
tentang makanan bergizi dan seimbang, dan menganjurkan pendekatan yang
lebih dengan anak.
Berdasarkan diagnosa atau masalah yang sudah diidentifikasi dalam
asuhan kebidanan pada An. A potensial terjadinya hambatan dalam
pekembangan berbicara dapat memengaruhi penyesuaian bersosialisasi
anak. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi keterlambatan berbicara
(speech delay). Campbell,dkk. (2003) mengungkapkan bahwa risiko
keterlambatan dalam berbicara bahwasannya rasio terbesar adalah berjenis
kelamin laki-laki, rendahnya pendidikan ibu, dan juga dampak dari genetik
keluarga ibu.
Hal ini berarti penulis telah berusaha menerapkan pengkajian dan
pelaksanaan asuhan kebidanan anak pra sekolah dengan keterlambatan
berbicara sesuai pola piker Manajemen Kebidanan dan melakukan
pendokumentasian.
Pada pelaksanaan manajemen asuhan kebidanan pada An. W telah
dilakukan sesuai dengan standar pelayanan kebidanan dan berdasarkan teori
yang ada dengan praktek yang nyata.

B. Saran
1. Bagi Penulis
Agar penulis dapat meningkatkan keterampilan yang dimiliki
untuk melakukan asuhan kebidanan APRAS sesuai standar profesi
kebidanan dan dapat mengatasi kesenjangan yang terkadang timbul
antara teori yang didapat diperkuliahan dengan praktik yang nyata di
lahan serta dapat mengaplikasikan teori yang didapat dengan
perkembangan ilmu kebidanan terbaru.
2. Bagi Lahan Praktik
Untuk bidan maupun tenaga kesehatan lainnya diharapkan dapat
memberikan asuhan yang menyeluruh serta mendeteksi kelainan secara
dini dan mencegah terjadinya komplikasi APRAS.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Agar institusi dapat menilai sejauh mana kemampuan mahasiswa
dalam menerapkan pengetahuan yang telah didapat dengan
mempraktekkan dan menerapkannya pada pasien/klien secara langsung.
4. Bagi Pasien
Agar ibu mengetahui pentingnya masa tumbuh kembang anak dipantau
oleh tenaga kesehatan, kemudian suami dan keluarga dapat memberikan
dukungan dan semangat kepada ibu dan anaknya.
DAFTAR PUSTAKA

Makhsunah, Siti. 2014. ”Meningkatkan Keterampilan Bercerita Melalui Metode


Resitasi Membaca Cerita Bergambar Pada Kelas III MINU
Tambaksumur Waru Kabupaten Sidoarjo”, (Surabaya : UIN Sunan
Ampel Surabaya). Dalam (http://digilib.uinsby.ac.id/2077/)

Nindyani, Veranita. 2012. “Pengembangan Kemampuan Membilang Melalui


Kegiatan Bermain Dengan Benda-benda Konkrit pada Anak-anak
Kelompok A TK Lembaga Tama III Sutran Sabdodado Bantul Tahun
Pelajaran 2011/2012”. (Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta)
Dalam (https://eprints.uny.ac.id/7778)

Khoiriyah, Anizar Ahmad, Dewi Fitriani. 2016. “Model Pengembangan


Kecakapan Berbahasa Anak yang Terlambat Berbicara (Speech Delay)”.
(Banda Aceh : Universitas Syiah Kuala Darussalam) Dalam
(https://media.neliti.com/media/publications/187403-ID-none)

Arifin, Muhamad Zaunal. 2015. “Pola Asuh Single Parents dalam membetuk
kecerdasan emosi anak di desa jagung kesesi pekalongan”. (Pekalongan:
STAIN Pekalongan). Dalam (repository.iainpekalongan.ac.id)

Yuliani Dia, Nastiti. 2015. “Peningkatan keterampilan Berbicara Menggunakan


Pendekatan Keterampilan Proses Siswa Kelas V SD Negeri 1 Kalimanah
Wetan Kecamatan Kalimanah”. Dalam (https://eprints.uny.ac.id/13232/)

Puspita, Alvika Candra dkk. 2018. “ Analisis Bahasa Lisan Pada Anak
Keterlambatan Bicara (speech delay) Usia 5 Tahun”, (Semarang:
Universitas Negeri Semarang) Dalam
(https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/lingua/article/download/
17405/9 508)

Fitriyani Fitriyani, Muhamad Syarif Sumantri, Asep Supena. 2019. “Language


development and social emotions in children with speech delay: case
study of 9 year olds in elementary school” (Jakarta: Universitas Negeri
Jakarta)
Dalam(https://jurnal.konselingindonesia.com/index.php/jkp/article/
downlo ad/306/242)

Sari, Almi Kurnia. 2018. ” Penanganan Anak Usia Dini Dengan Gangguan
Perkembangan Bahasa Ekspresif Di Kelompok Bermain (KB) Al-Azkia
Lab Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan Iain Purwokerto”
(Purwokerto:IAINPurwokerto)dalam(http://repository.iainpurwokerto.ac.
id/4732/1/ALMI%20KURNIA%20SARI_PENANGANAN
%20AUD.pdf.)

Hajrah. 2018. “Pengembangan Metode Bercerita Pada Anak Usia Dini”,


(Makassar: Universitas Negeri Makassar) Dalam
(http://eprints.unm.ac.id/11249/1/Jurnal%20Hajrah.pdf)

Ferliana, Jovita Maria & Agustina. 2015. “Meningkatkan Kemampuan


Berkomunikasi Aktif Pada Anak Usia Dini”. Jakarta: Luxima.

Tiel, Julia Maria Van. 2011. “Pendidikan Anakku Terlambat Bicara”. Jakarta:
Prenadamedia Group.

Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta : Erlangga

Tandry, Novita. 2011. Mengenal Tahap Tumbuh Kembang Anak dan Masalahnya
.Jakarta: Libri.

Hana, Jasmin. 2011. Terapi Kecerdasan Anak dengan Dongeng. Yogyakarta:


Berlian Media.

Mansur. 2011. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam. Yogykarta : Pustaka
Pelajar.

Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta: Rineka Cipta.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai