Anda di halaman 1dari 13

VII

TEORI BELAJAR REVOLUSI SOSIOKULTURAL

7.1 Teori Belajar Revolusi Sosiokultural

Banyak negara mengakui bahwa persoalan pendidikan merupakan persoalan


yang pelik, namun semuanya merasakan bahwa pendidikan merupakan tugas negara
yang paling penting. Bangsa yang ingin maju, membangun, dan berusaha memperbaiki
keadaan dunia tentu mengatakan bahwa pendidikan merupakan kunci, tanpa kunci itu
usaha mereka akan gagal.
Namun di negara-negara berkembang, adopsi sistem pendidikan dari luar
seringkali mengalami kesulitan untuk berkembang. Cara dan sistem pendidikan yang
ada seringkali menjadi sasaran kritik dan kecaman karena seluruh daya guna sistem
tersebut diragukan. Generasi muda banyak yang memberontak terhadap metode-metode
dan sistem pendidikan yang ada. Bahaya yang dapat timbul dari keadaan tersebut bukan
hanya bentrokan-bentrokan malapetaka, melainkan justru bahaya yang lebih
fundamental yaitu lenyapnya sifat-sifat perikemanusiaan, sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara menjadi hancur. Pola pikir yang semula terstruktur rapi
menjadi kacau dan tidak menentu.
Jika kita terus melangkah dengan cara mengemas pendidikan, pembelajaran
dan belajar dengan menggunakan paradigma behavioristik, kita akan bertemu dengan
anak-anak yang menjunjung tinggi kekerasan, pemaksaan kehendak, dan penindasan
nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana tampak selama ini, perilaku manusia Indonesia
sudah terjangkit virus keseragaman. Virus inilah yang mengendalikan perilaku
masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
Kesadaran dan penyadaran tentang (pluralisme) bangsa sangat jauh dari
kehidupan masyarakat. Pola pikir sentralistik, monolistik, dan uniformistik sangat kental
mewarnai pengemasan di berbagai kehidupan yang jauh dari konteks budaya
sesungguhnya. Dunia pendidikan sangat diwarnai oleh upaya ini.
Menurut (Degeng, 1998), asumsi-asumsi yang melandasi program-program
pendidikan sering kali tidak sejalan dengan hakekat belajar, hakekat orang yang belajar,
dan hakekat orang yang mengajar. Dunia pendidikan, lebih khusus lagi dunia belajar,
didekati dengan paradigma yang tidak mampu menggambarkan hakikat belajar dan
pembelajaran komprehensif dan kontekstual dengan sosiokultural yang ada. Praktik-
praktik pendidikan dan pembelajaran diwarnai oleh landasan teoretik dan konseptual
yang tidak akurat. Pendidikan dan pembelajaran hanya berfokus pada pembentukan
perilaku keseragaman, dengan harapan akan menghasilkan keteraturan, ketertiban,
ketaatan, dan kepastian. Pembentukan ini dilakukan dengan kebijakan penyeragaman
pada berbagai hal di sekolah.
Selanjutnya, Degeng juga berpendapat bahwa paradigma pendidikan yang
mengagungkan keseragaman ternyata telah berhasil membelajarkan anak-anak untuk
mengabaikan keragaman/perbedaan. Beberapa virus yang tampak di dunia pendidikan
yang bersumber dari paradigma bahavioristik yang sentralisasi tersebut di antaranya
penggunaan pakaian seragam, penggunaan kurikulum yang seragam, penggunaan
strategi pembelajaran yang seragam, penggunaan buku sumber yang seragam, dan
penggunaan strategi evaluasi yang seragam. Penyeragaman ini dipastikan mengingkari
adanya keragaman, dan berhasil membentuk anak-anak Indonesia yang sangat
menghargai kesamaan dan tanpa sadar ternyata juga telah membentuk anak-anak
mengabaikan penghargaan pada keragaman.
Anak-anak sangat sulit menghargai perbedaan. Perbedaan yang berbeda lebih
dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum. Anak-anak perlu mempersiapkan diri
untuk memasuki era domokratisasi – suatu era yang ditandai dengan keragaman
perilaku, dengan cara terlibat dan mengalami secara langsung proses pendemokrasian
ketika mereka sedang berada di lingkungan belajar (sekolah). Penghargaan terhadap
ketidakpastian, ketidakmenentuan, perbedaan, atau keragaman perlu ditumbuhkan
sedini mungkin. Keterlambatan hanya memunculkan peluang terjadinya peristiwa
kekerasan sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini.
Kita perlu melakukan reformasi, redefinisi, reorientasi bahkan revolusi
terhadap landasan teoretis dan konseptual belajar dan pembelajaran agar lebih mampu
menumbuhkembangkan anak-anak bangsa ini untuk lebih menghargai keragaman
konteks sosial budaya yang ada. Dengan ungkapan lain, perlu melakukan revolusi-
sosiokultural (sociocultural revolution) dalam belajar dan pembelajaran.
Kegiatan belajar dan pembelajaran perlu disesuaikan dengan paradigma
revolusi sosial budaya. Dengan upaya demikian, sumber daya manusia yang dihasilkan
dapat menjawab tantangan abad global, dalam arti mampu bersaing, memiliki
kompetensi yang dibutuhkan untuk memasuki dunia kerja abad XXI. Kompetensi yang
dimaksud adalah mampu berpikir kreatif, inovatif, mampu mengambil keputusan,
memecahkan masalah, belajar bagaimana belajar, berkolaborasi dan pengelolaan diri.

7.2 Dari Teori Kognitif-Konstruktivistik Piaget ke Revolusi Sosiokultural Vygotsky


Menurut Piaget, siswa adalah anak manusia. Identitas insani manusia sebagai
subjek berkesadaran perlu dibela dan ditegakkan melalui sistem dan model pendidikan
serta pembelajaran yang bersifat “bebas” dan “egaliter”. Hal tersebut hanya dapat
dicapai lewat proses pendidikan dan pembelajaran yang memberikan aksi dialog karena
anak harus diperlakukan dengan sangat hati-hati. Teori kognitif Piaget, yang kemudian
berkembang pula aliran konstruktivistik, menekankan bahwa belajar lebih banyak
ditentukan karena adanya keinginan individu. Penataan kondisi bukan sebagai penyebab
terjadinya belajar sebagaimana yang dikemukakan oleh aliran behavioristik, melainkan
sekedar memudahkan belajar. Keaktifan siswa menjadi unsur yang sangat penting dalam
menentukan kesuksesan belajar. Aktivitas mandiri adalah jaminan untuk mencapai hasil
belajar yang optimal.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yakni
proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dalam bentuk perkembangan sistem
saraf. Semakin bertambah umur seseorang, semakin komplekslah susunan sel sarafnya
dan semakin meningkat pula kemampuannya. Kegiatan belajar terjadi seirama dengan
pola tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur seseorang. Ketika seseorang
berkembang menuju kedewasaan, ia akan mengalami adaptasi biologis dengan
lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di
dalam struktur kognitifnya. Perolehan kecakapan intelektual akan berhubungan dengan
proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan ketahui pada satu sisi
dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai pengalaman atau persoalan.
Untuk memperoleh keseimbangan atau ekuilibrasi, seseorang harus melakukan
adaptasi dengan lingkungannya. Proses adaptasi mempunyai dua bentuk dan terjadinya
secara simultan, yaitu asimilasi dan akomodasi. Perhatikan gambar berikut.

PROSES ADAPTASI
E
K
U
ASIMILASI: I
AKOMODASI:
Struktur kognitif L
Struktur kognitif I
yang sudah ada
+ B
+
Situasi baru R
Informasi baru
A
S
I

Melalui asimilasi, siswa mengintegrasikan pengetahuan baru dari luar ke dalam


struktur kognitif, yang telah ada dalam dirinya. Sedangkan, melalui akomodasi siswa
memodifikasi struktur kognitif yang ada dalam dirinya dengan pengetahuan yang baru.
Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam struktur kognitifnya.
Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman dan kedewasaan akan
terjadi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu. Piaget membagi tahap-tahap
perkembangan kognitif ini menjadi empat tahap, yaitu tahap sensorimotor, tahap
preoperasional, tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal.
Teori konflik-sosio kognitif Piaget ini mampu berkembang luas dalam bidang
psikologi dan pendidikan. Namun, bila dicermati, ada beberapa aspek dari teori Piaget
yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kontraproduktif pada kegiatan
pembelajaran jika dilihat dari perspektif revolusi-sosiokultural saat ini (Supratiknya,
2002). Jika dilihat dari locus cognitive development atau asal-usul pengetahuan, Piaget
cenderung menganut teori psikogenesis. Artinya, pengetahuan berasal dari dalam diri
individu. Dalam proses belajar, siswa berdiri terpisah dan berinteraksi dengan
lingkungan sosial. Ia mengonstruksi pengetahuannya melalui tindakan yang
dilakukannya terhadap lingkungan sosial. Pemahaman atau pengetahuan merupakan
penciptaan makna baru yang bertolak dari interaksinya dengan lingkungan sosial.
Kemampuan menciptakan makna atau pengetahuan baru lebih ditentukan oleh
kematangan biologis.
Menurut Piaget, dalam fenomena belajar lingkungan sosial hanya berfungsi
skunder, sedangkan faktor utama yang menentukan terjadinya belajar tetap pada
individu yang bersangkutan. Daniel, Tweed, dan Lehman mengatakan bahwa teori
belajar semacam ini lebih mencerminkan ideology individualism dan gaya belajar
Sokratik yang biasanya dikaitkan dengan budaya Barat yang mengunggulkan self-
generated knowledge atau individualistic pursuit of truth yang dipelopori oleh Socrates.
Di samping itu, dalam kegiatan belajar, Piaget lebih mementingkan interaksi
siswa dan kelompoknya. Perkembangan kognitif akan terjadi dalam interaksi antara
siswa dan kelompok sebayanya daripada dengan orang-orang yang lebih dewasa.
Pembenaran dalam teori Piaget ini jika diterapkan dalam kegiatan pendidikan dan
pembelajaran akan kurang sesuai dengan perspektif Revolusi Sosiokultural yang sedang
diupayakan saat ini (http://www.piaget.org).

Lev Semenovich Vygotsky lahir pada tanggal 5 November 1896 di Rusia dan
meninggal pada tahun 1934. Walaupun dikenal sebagai seorang ahli dalam bidang
psikologi, sebenarnya Vygotsky tidak pernah menerima pelatihan formal dalam bidang
psikologi. Vygotsky mengemukakan pandangan yang mampu mengakomodasi Socio-
cultural Revolution dalam teori belajar dan pembelajaran. Ia mengatakan bahwa jalan
pikiran seseorang bukan dengan cara menelusur apa yang ada di balik otakya dan
kedalaman jiwanya, melainkan dari asul-usul tindakan sadarnya dan interaksi sosial
yang dilatarbelakangi oleh sejarah hidupnya.
Menurut Vygotsky, perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif
seseorang seturut teori sosiogenesis. Dimensi kesadaran sosial bersifat primer,
sedangkan dimensi individualnya bersifat derivatif atau merupakan turunan dan bersifat
sekunder. Pengetahuan dan perkembangan kognitif individu berasal dari sumber-sumber
sosial di luar dirinya. Hal ini tidak berarti bahwa individu bersifat pasif dalam
perkembangan kognitifnya, tetapi Vygotsky juga menekankan peran aktif seseorang
dalam mengonstruksi pengetahuannya. Maka, teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat
disebut dengan pendekatan konstruktivisme. Perkembangan kognitif seseorang, di
samping ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Konsep-konsep penting teori Sosiogenesis Vygotsky tentang perkembangan
kognitif yang sesuai dengan Revolusi Sosiokultural dalam teori belajar dan pembelajaran
adalah hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development), zona
perkembangan proksimal (zone of proximal development), dan mediasi.
a. Hukum Genetik tentang Perkembangan (Genetic Law of Development)
Munurut Vygotski, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan
berkembang melewati dua tataran, yaitu tataran sosial tempat orang-orang
membentuk lingkungan sosialnya (dapat dikategorikan sebagai interpsikologis atau
intermental) dan tataran psikologis di dalam diri yang bersangkutan (intrapsikologis
atau intramental). Pandangan teori ini menempatkan intermental (lingkungan sosial)
sebagai faktor primer dan konstitutif (berkewenangan) terhadap pembentukan
pengetahuan dan pengetahuan kognitif seseorang. Menurutnya, fungsi-fungsi mental
yang lebih tinggi dalam diri seseorang akan muncul dan berasal dari lingkungan
sosialnya. Sementara itu, fungsi intramental dipandang sebagai derivasi atau turunan
yang tumbuh atau terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-
proses sosial tersebut.
Contoh, pada mulanya anak berpartisipasi dalam kegiatan sosial tertentu
tanpa memahami maknanya. Pemaknaan dan konstruksi pengetahuan baru muncul
atau terjadi melalui proses internalisasi. Namun internalisasi yang dimaksud
Vygotsky bersifat transformatif, yaitu mampu memunculkan perubahan dan
perkembangan yang tidak sekedar berupa transfer atau pengalihan. Maka, belajar
dan berkembang merupakan satu kesatuan dan saling menentukan.

b. Zona Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal Development)


Vygotsky juga mengemukakan konsepnya tentang zona perkembangan
proksimal (zone of proximal development). Menurutnya, perkembangan kemampuan
seseorang dapat dibedakan ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual
dan tingkat perkembangan potensial (Moll, 2013). Tingkat perkembangan aktual dan
tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari
kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai
masalah secara mandiri, disebut sebagai kemampuan intramental. Sedangkan,
tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan
orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten.
Ini disebut sebagai “kemampuan intermental”. Jarak antara keduanya, yaitu tingkat
perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial ini disebut “zona
perkembangan proksimal”. Penjelasan dalam bentuk visualisasi sebagai berikut.

Tingkat Tingkat
Perkembangan Perkembangan
Aktual ZPD Potensial
(intramental) (intermental)
Zona perkembangan proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau
kemampuan-kemampuan yang belum matang, yang masih berada pada proses
pematangan. Ibaratnya, sebagai embrio, kuncup, atau bunga yang belum menjadi
buah. Tunas-tunas perkembangan ini akan menjadi matang melalui interaksinya
dengan orang dewasa atau kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten.
Konsep zona perkembangan proksimal ini ditafsirkan dengan menggunakan
scaffolding interpretation, yaitu memandang zona perkembangan proksimal sebagai
perancah, sejenis wilayah penyangga atau batu loncatan untuk mencapai taraf
perkembangan yang semakin tinggi.
Gagasan Vygotsky tentang zona perkembangan proksimal ini mendasari
perkembangan teori belajar dan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas dan
mengoptimalkan perkembangan kognitif anak. Beberapa konsep kunci yang perlu
dicatat adalah bahwa perkembangan dan belajar bersifat interdependen atau saling
terkait, perkembangan kemampuan seseorang bersifat context dependent atau tidak
dapat dipisahkan dari konteks sosial, dan sebagai bentuk fundamental dalam belajar
adalah partisipasi dalam kegiatan sosial.
Dengan berpijak pada konsep zona perkembangan proksimal, sebelum terjadi
internalisasi dalam diri anak, atau sebelum kemampuan intramental terbentuk, anak
perlu dibantu dalam proses belajarnya. Orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
kompeten perlu membantu dengan berbagai cara, seperti memberikan contoh,
memberikan umpan balik, menarik kesimpulan, dan sebagainya dalam rangka
perkembangan kemampuannya.

c. Mediasi
Menurut Vygotsky, kunci utama untuk memahami proses-proses sosial dan
psikologis adalah tanda-tanda atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai
mediator. Tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut merupakan produk
lingkungan sosio-kultural tempat seseorang berada. Semua perbuatan atau proses
psikologis yang khas manusiawi dimediasikan dengan psychological tool atau alat-
alat psikologis seperti bahasa, tanda, dan lambang atau semiotika. Dalam kegiatan
pembelajaran, anak dibimbing oleh orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
kompeten untuk memahami alat-alat semiotik ini. Anak mengalami proses
internalisasi yang selanjutnya alat-alat ini berfungsi sebagai mediator bagi proses-
proses psikologis lebih lanjut dalam diri anak. Mekanisme hubungan antara
pendekatan sosiokultural dan fungsi-fungsi mental didasari oleh tema mediasi
semiotik. Artinya tanda atau lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya
berfungsi sebagai penghubung antara rasionalitas-sosiokultural (intermental) dengan
individu sebagai tempat berlangsungnya proses mental (intramental) (Wertsch dalam
Sujiono, 2005: 45-46) dan (Sujiono, 2013).
Ada beberapa elemen yang dikemukakan oleh Bakhtin untuk memperluas
pendapat Vygotsky. Elemen-elemen tersebut terdiri dari ucapan bunyi suara, tipe
percakapan sosial, dan dialog (Bakhtin, 1981), (Nesbet & Holquist, 2006). Secara
kontekstual, elemen-elemen tersebut berada dalam batasan sejarah, kelembagaan,
budaya, dan faktor-faktor individu. Ada dua jenis mediasi, yaitu mediasi
metakognitif dan mediasi kognitif (Supratiknya, 2002).
1. Mediasi metakognitif, adalah penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan
untuk melakukan self-regulation atau regulasi diri1, meliputi: self-planning, self-
monitoring, self-checking, dan self-evaluating. Mediasi metakognitif ini
berkembang dalam komunikasi antar pribadi. Selama menjalani kegiatan
bersama orang dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten. Bisa
menggunakan alat-alat semiotik tertentu untuk membantu menegur tingkah laku
anak. Selanjutnya, anak menginternalisasikan alat-alat semiotik ini untuk
dijadikan sarana regulasi diri.
2. Mediasi kognitif, adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan
masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu atau subject-domain
problem. Mediasi kognitif bisa berkaitan dengan konsep spontan (yang bisa
salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya). Konsep ilmiah
yang berhasil diinternalisasikan anak akan berfungsi sebagai mediator dalam
pemecahan masalah. Konsep-konsep ilmiah dapat berbentuk pengetahuan
deklaratif (declarative knowledge) yang kurang memadai untuk memecahkan
berbagai persoalan. Sedangkan, pengetahuan prosedural (procedural knowledge)
berupa metode atau strategi untuk memecahkan masalah. Menurut Vygotsky,
untuk membantu anak mengembangkan pengetahuan yang sungguh-sungguh
bermakna, dengan cara memadukan antara konsep-konsep dan prosedur melalui
demonstrasi dan praktik.

Berdasarkan teori Vygotsky di atas, akan diperoleh keuntungan jika:


a. Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang
luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya
melalui belajar dan berkembang.
b. Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari
pada perkembangan aktualnya.
c. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan
kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya.
d. Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan
deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk
melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah.

1
Regulasi diri adalah kemampuan mengatur dan mengendalikan perilaku manusia (Hergenhan, dalam
Triwulandari, 2007). Juga, merupakan kemampuan individu untuk mempertahankan komitmennya terhadap
suatu tujuan selama periode waktu tertentu, khususnya pada saat tidak adanya insentif yang berasal dari luar
diri (Bandura, dalam Singgih, 2006) (https://www.universitaspsikologi.com/2018/09/pengertian-regulasi-
diri-aspek-aspek.html).
e. Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih
merupakan ko-konstruksi, yaitu suatu proses mengonstruksi pengetahuan atau
makna baru secara bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya
(https://www.marxists.org/archive/vygotsky/), (Budiningsih, 2003), (Supratik,
2002), (Sujiono, 2005:46).

7.3 Aplikasi Teori Belajar Revolusi Sosiokultural


Gagasan Vygotsky mengenai recontruction of knowledge in social setting ini bila
diterapkan dalam konteks pembelajaran, guru harus memerhatikan hal-hal berikut.
a. Pada setiap perencanaan dan implementasi pembelajaran, perhatian guru harus
dipusatkan kepada kelompok anak yang tidak dapat memecahkan masalah belajar
sendiri, yaitu mereka yang hanya dapat memecahkan masalah dengan dibantu (solve
problems with help).
b. Guru menyediakan berbagai jenis dan tingkatan bantuan (helps) yang dapat
memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
Dalam kosakata psikologi kognitif, bantuan-bantuan ini dikenal dengan cognitive
scaffolding. Bantuan-bantuan tersebut dapat dalam bentuk pemberian contoh-
contoh; petunjuk atau pedoman mengerjakan; bagan/alur; langkah-langkah; atau
prosedur melakukan tugas, pemberian balikan, dan sebagainya.
c. Bimbingan atau bantuan dari orang dewasa atau teman yang lebih kompeten sangat
efektif untuk meningkatkan produktivitas belajar. Bantuan-bantuan tersebut
tentunya harus sesuai dengan konteks sosiokultural atau karakteristik anak.
Bimbingan oleh orang dewasa atau oleh teman sebaya yang lebih kompeten
bermanfaat untuk memahami alat-alat semiotik, seperti bahasa, tanda, dan lambang-
lambang. Anak mengalami proses internalisasi yang selanjutnya alat-alat ini
berfungsi sebagai mediator bagi proses-proses psikologis lebih lanjut dalam diri
anak. Maka, bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif-kolaboratif, serta pembelajaran
kontekstual sangat tepat diterapkan.
d. Kelompok anak yang tidak memecahkan masalah meskipun telah diberikan berbagai
bantuan, perlu diturunkan ke kelompok yang lebih rendah kesiapan belajarnya
sehingga setelah diturunkan, mereka juga berada pada path zone of proximal
development. Oleh karena itu, siap memanfaatkan bantuan atau scaffolding yang
disediakan. Sedangkan, kelompok yang telah mampu memecahkan masalah harus
ditingkatkan tuntutannya sehingga sehingga tidak perlu membuang waktu untuk
tagihan belajar yang sama bagi kelompok anak yang ada di bawahnya.

Dengan pengonsepsian kesiapan belajar demikian, pemahaman karakteristik


siswa yang berhubungan dengan sosiokultural dari kemampuan awalnya sebagai pijakan
dalam pembelajaran perlu lebih dicermati artikulasinya. Dengan demikian, dapat
dihasilkan perangkat lunak pembelajaran yang benar-benar menantang, namun tetap
produktif dan kreatif.
Timbul keprihatinan terhadap perubahan kehidupan masyarakat dewasa ini
dengan maraknya berbagai masalah sosial, seperti ancaman disintegrasi yang
disebabkan oleh fanatisme dan primordialisme, dan di lain pihak adanya tuntutan
pluralisme. Perubahan struktur dan lunturnya nilai-nilai kekeluargaan, serta banyaknya
kejahatan disebabkan oleh lemahnya modal sosial (social capital). Hal tersebut
mendorong mereka yang bertanggungjawab di bidang pendidikan untuk mengkaji ulang
paradigma pendidikan dan pembelajaran yang menjadi acuan selama ini. Tentu saja
pendidikan bukan satu-satunya lembaga yang harus bertanggung jawab untuk mengatasi
semua masalah tersebut. Namun pendidikan mempunyai kontribusi besar dalam upaya
mengatasi persoalan sosial.
Aliran behavioristik yang banyak digunakan dalam kegiatan pendidikan dan
pembelajaran selama ini kurang dapat menjawab masalah-masalah sosial. Pendekatan
ini banyak dianut dalam praktik-praktik pendidikan dan pembelajaran, mulai dari
pendidikan tingkat yang paling dini hingga pendidikan tinggi, namun ternyata tidak
mampu menjawab masalah-masalah dan tuntutan kehidupan global. Hasil pendidikan
tidak mampu menumbuhkembangkan anak-anak untuk lebih menghargai perbedaan
dalam konteks budaya yang beragam. Mereka kurang mampu berpikir kreatif, kritis, dan
produktif, tidak mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan berkolaborasi
serta pengelolaan diri.
Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget
yang kemudian berkembang ke dalam aliran konstruktivistik juga masih dirasakan
kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat
menimbulkan implikasi kontraproduktif dalam kegiatan pembelajaran karena lebih
mencerminkan ideologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan
dengan budaya Barat. Pendekatan ini kurang sesuai dengan tuntutan Revolusi
Sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.
Pandangan yang dianggap lebih mampu mengakomodasi tuntutan revolusi
sosiokultural adalah teori belajar yang dikembangkan oleh Vygotsky. Peningkatan
fungsi-fungsi mental seseorang terutama berasal dari kehidupan sosial kelompoknya,
bukan sekedar dari individu. Teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat disebut sebagai
pendekatan ko-konstruktivisme.
Konsep-konsep penting dalam teorinya yaitu genetic law of development, zone
proximal of development, dan mediasi, mampu dibuktikan bahwa jalan pikiran sesorang
harus dimengerti dari latar sosial budaya dan sejarahnya. Perolehan pengetahuan dan
perkembangan kognitif sesorang seturut dengan sosiogenesis. Dimensi kesadaran sosial
bersifat primer, sedangkan dimensi individual bersifat sekunder.
Berdasarkan teori Vygotsky dalam kegiatan pembelajaran, hendaknya anak
memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan
proximalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang. Guru perlu menyediakan
berbagai jenis dan tingkatan bantuan (helps/cognitive scaffolding) yang dapat
memfasilitasi anak agar dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Bantuan
dapat dalam bentuk contoh, pedoman, bimbingan orang lain, atau teman sebaya yang
lebih kompeten. Bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif-kolaboratif serta belajar
kontekstual sangat tepat digunakan. Sedangkan, anak yang telah mampu belajar sendiri
perlu ditingkatkan tuntutannya sehingga tidak perlu menunggu anak yang berada di
bawahnya. Dengan demikian diperlukan pemahaman yang tepat tentang karakteristik
siswa dan budayanya sebagai pijakan dalam pembelajaran (https://www.marxists.
org/archive/vygotsky/).
Implikasi dan aplikasi teori revolusi sosiokultural lainnya dijabarkan sebagai
berikut (Mukminan, 1997).
1. Implikasi Teori Kultural dalam Pembelajaran
a. Makna Belajar
Implikasi teori revolusi sosiokultural dalam proses pembelajaran
karakteristiknya sebagai berikutnya.
1) Belajar merupakan proses pembentukan makna.
2) Belajar bukanlah proses mengumpulkan informasi, melainkan proses
pengembangan pemahaman atau pemikiran dengan membuat pemahaman
baru.
3) Proses belajar terjadi pada saat terjadi ketidakseimbangan struktur kognitif
pada diri seseorang (http://www.piaget.org).
b. Implikasinya di dalam Kelas
1) Proses konstruksi pengetahuan berlangsung dalam diri individu.
2) Proses belajar harus diciptakan secara autentik dan alami dalam konteks
sosiokultural.
3) Guru mendorong dan menerima otonomi serta inisiatif anak.
4) Guru dalam menyusun tugas menggunakan terminologi kognitif yang
merangsang dan mendorong proses berpikir tingkat tinggi.
5) Guru memberi kesempatan pada anak didik untuk memberi respon terhadap
proses pembelajaran, untuk meningkatkan proses pembelajaran mengubah
strategi dan isi pembelajaran.
6) Memberikan kegiatan yang menumbuhkan rasa ingin tahu siswa dan
membantu mereka mengekspresikan ide-idenya dan mengomunikasikannya
kepada orang lain.
7) Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung
jawab dalam melakukan kegiatan belajar.
8) Guru memahami proses pemahaman konsep anak terlebih dahulu sebelum
menyampaikan pemikiran konsep tersebut.
9) Guru mendorong terjadinya proses dialog, baik dengan guru, sendiri, maupun
sesama teman.
10) Guru mendorong untuk melakukan inkuiri dengan mengajukan pertanyaan
terbuka, menantang, dan mendorong mereka untuk saling mengajukan
pertanyaan di antara teman.
11) Guru memahami elaborasi respons awal anak.
12) Guru memberikan anak pengalaman belajar yang mendorong munculnya
kontradiksi pemikiran dan mendorongnya untuk melakukan diskusi.
13) Guru memberikan kesempatan atau waktu pada anak untuk berpikir setelah
diberi pertanyaan.
14) Guru memberikan waktu pada anak untuk membangun keterkaitan atau
hubungan dan mencipta metafora2.
15) Guru memelihara keingintahuan yang alami dari anak melalui penggunaan
learning cycle model.
16) Memenonitor dan mengevaluasi proses berpikir siswa dan memberikan
umpan balik sehingga proses pembentukan makna berjalan secara sistematik
(http://www.piaget.org).

2. Aplikasi Teori Kultural dalam Pendidikan


Penerapan teori sosio-kultural dalam pendidikan dapat terjadi pada tiga jenis
pendidikan yaitu:
a. Pendidikan informal (keluarga)
Pendidikan anak dimulai dari lingkungan keluarga, dimana anak pertama kali
melihat, memahami, mendapatkan pengetahuan, sikap dari lingkungan
keluarganya. Oleh karena itu perkembangan perilaku masing-masing anak akan
berbeda manakala berasal dari keluarga yang berbeda, karena faktor yang
mempengaruhi perkembangan anak dalam keluarga beragam, misalnya: tingkat
pendidikan orang tua, faktor ekonomi keluarga, keharmonisan dalam keluarga
dan sebagainya.
Pendidikan dalam keluarga berpengaruh dalam perkembangan anak karena
perkembangan kehidupan anak lebih banyak dalam lingkungan keluarga. Anak
mempelajari tradisi yang berlaku dalam keluarganya yang diwariskan oleh kedua
orangtuanya. Meskipun demikian, terkadang lingkungan di luar keluarga lebih
besar pengaruhnya.
b. Pendidikan Non-formal.
Pendidikan non-formal yang berbasis budaya banyak bermunculan untuk
memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku pada anak, misalnya kursus
membatik, menjahit, sanggar tari, tradisi, dan lain sebagainya. Pendidikan ini
diberikan untuk membekali anak hal-hal tradisi yang berkembang di lingkungan
sosial masyarakatnya.
c. Pendidikan Formal
Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari beberapa
segi antara lain:

2
Pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang
berdasarkan persamaan atau perbandingan, misalnya tulang punggung dalam kalimat pemuda adalah tulang
punggung negara (https://kbbi.web.id/metafora).
1) Kurikulum
Khususnya untuk pendidikan di Indonesia pemberlakuan kurikulum
pendidikan sesuai Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan KTSP, Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi, dan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Jelas bahwa pendidikan di
Indonesia memberikan pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap kepada
anak untuk mempelajari sosio-kultural masyarakat Indonesia maupun
masyarakat internasional melalui beberapa mata pelajaran yang telah
ditetapkan, di antaranya: pendidikan kewarganegaraan, pengetahuan sosial,
muatan lokal, kesenian, dan olah raga. Hal ini tercermin dalam Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar dari masing-masing mata pelajaran yang
telah ditetapkan.
2) Peserta Didik (Siswa)
Dalam pembelajaran KTSP anak mengalami pembelajaran secara langsung
ataupun melalui rekaman. Oleh sebab itu pengetahuan, keterampilan, nilai,
dan sikap bukan sesuatu yang verbal, tetapi anak mengalami pembelajaran
secara langsung. Selain itu pembelajaran memberikan kebebasan anak untuk
berkembang sesuai bakat, minat, dan lingkungannya. Pencapaiannya sesuai
standar kompetensi yang telah ditetapkan.
3) Guru
Guru bukanlah narasumber sepenuhnya, tetapi dalam pembelajaran guru
lebih berperan sebagai fasilitator, mediator, motivator, evaluator, desainer
pembelajaran dan tutor. Dalam pembelajaran ini peran aktif siswa sangat
diharapkan, sedangkan guru membantu perilaku siswa yang belum muncul
secara mandiri dalam bentuk pengayaan, remidial pembelajaran (http://www.
piaget.org).

Daftar Pustaka

Bakhtin, M. M. (1981). The Dialogic Imagination. Discourse. https://doi.org/10.1371/jour-

BUDININGSIH, C Asri. Perkembangan Teori Belajar dan Pembelajaran Menuju Revolusi


Sosiokultural Vygotsky. Dinamika Pendidikan, [S.l.], v. 10, n. 1, oct. 2015. ISSN
2580-6640. Available at: https://journal.uny.ac.id/index.php/dinamika-
pendidikan/article/view/6106. Date accessed: 12 apr. 2019.

Degeng, I. N. S. (1998). Mencari Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar Dari


Keteraturan Menuju Kesemrawutan. Pengukuhan Guru Besar Um.
https://doi.org/10.4324/9780203102992
Degeng, N. S. 2001. Pandangan Behavioristik vs Konstruktivistik: Pemecahan Masalah
Belajar Abad XXI. Malang: Makalah Seminar TEP.

http://www.piaget.org

https://journal.uny.ac.id/index.php/dinamika-pendidikan/article/view/6106

https://jurnal.ugm.ac.id/sasdayajournal/article/view/27785

https://www.marxists.org/archive/vygotsky/

https://www.universitaspsikologi.com/2018/09/pengertian-regulasi-diri-aspek-aspek.html

Manshur, Fadlil Munawwar. (2017). Teori Dialogisme Bakhtin dan Konsep-konsep


Metodologisnya. https://doi.org/10.22146/sasdayajournal.27785

Moll, L. C. (2013). L.S. Vygotsky and education. L.S. Vygotsky and Education.
https://doi.org/10.4324/9780203156773

Moll, Luis C. (1993). Vygotsky & Education Instructional Implications and Applications
of Sociohistorical Psychology. Australia: Cambridge University Press.

Mukminan. 1997. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: P3G IKIP

Nesbet, A., & Holquist, M. (2006). Dialogism. Bakhtin and His World. The Slavic and
East European Journal. https://doi.org/10.2307/308638

Sujiono, Y. N. (2013). Hakikat Pengembangan Kognitif. Metode Pengembangan Kognitif.


Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

Sujiono, Y. N., dkk. (2005). Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka

Supratiknya, A. (2002). Service Learning, Belajar dari Konteks Kehidupan Masyarakat:


Paradigma Embelajaran Berbasis Problem, mempertemukan Jean Piaget dan Lev
Vygotsky. Yogyakarta: USD.

Thobroni. (2015). Belajar & pembelajaran, Teori dan Praktik. Yogyakarta: Ar-Rruzz
Media.

Anda mungkin juga menyukai