Anda di halaman 1dari 2

Berdasarkan pengalaman saya selama menjadi guru di sebuah sekolah SDN di Banjarbaru.

Hasil
dari observasi saya hampir 4 bulan saya menemukan 1 anak yang dirasa membutuhkan
pendampingan dalam berperilaku dan pencapaian akademiknya. Setelah itu diadakan tes
psikologi pada anak yang bersangkutan ( sangat jelas dari wali murid tidak setuju bahkan
langsung ke kepala sekolah) karena merasa anaknya tidak ada masalah. Sampai akhirnya
diadakan pertemuan wali murid dengan menunjukkan hasil tes dan hasil observasi kami
(shadow) bahwa anak anak ini diberikan pendampingan karena hasil observasi menunjukkan
beberapa perilaku atau ada hambatan dalam proses belajar dikelasnya (mis: lambat dalam
memahami materi yang dijelaskan, lambat dalam menulis, menutup diri dengan teman-teman)
yang ternyata orang tua belum mengetahui kondisi anaknya tersebut disekolah seperti itu.

Sampai sekarang pun, kira-kira sudah dilakukan pendampingan 2 bulan, ada orang tua yang
masih mengira bahwa setelah diberikan pendampingan anaknya malah semakin menjadi agresif.
Pada akhirnya tadi pagi saya bertemu dengan salah satu wali murid (sebut saja si A), karena
masalah si A adalah di perilakunya (lebih tepatnya dalam mengontrol emosi mengenai kesalahan
kecil dan proses bersosialisasi dengan temannya), ya saya menjelaskan sedetail mungkin bahwa
ketika di kelas si A seperti ini perilakunya, bukan maksud shadow membiarkan anak ini
menangis dan marah marah tapi karena ini prosesnya agar si A bisa mengungkapkan ekspresi
dari perasaannya, karena tidak mungkin anak anak marah tanpa sebab. Saya pun menjelaskan
bahwa shadow diminta sebisa mungkin tidak menggunakan kalimat negatif atau menyudutkan
anak, sementara ibunya di rumah terbiasa dengan kalimat yang menyudutkan dan keras, maka
akan sangat berbeda respon di rumah dan di sekolah. Di rumah si A marah hanya 5–10 menit,
sedangkan di sekolah 1 jam lebih (karena di sekolah saat dengan saya, akan terus saya gali
permasalahan dari si A, sedangkan kalau di rumah si A akan mendapat hukuman dari orang
tuanya). Alhamdulillah setelah mengkomunikasikan dengan wali murid tadi pagi, setidaknya
wali murid sudah mulai mengerti bahwa memang anaknya berbeda, dan saya tegaskan lagi
bahwa setiap anak akan melalui proses yang berbeda, saya menyadari kalau dia berbeda tapi
bukan berarti dia tidak bisa berbaur dengan temannya, saya sebagai shadow, guru kelas dan wali
murid harus berkerja sama agar anak anak yang di dampingi dapat memiliki kesempatan dalam
tumbuh dan berkembang sesuai dengan anak-anak di usianya.

Note : sekolah saya memang baru menerapkan sekolah inklusi, tapi untuk tempat khusus
memang belum ada, sehingga ketika si A marah ya hanya bisa berada di dalam kelas ataupun
luar kelas.

Maaf kalau jawabannya terlalu panjang, sejauh ini saya melakukan komunikasi dengan wali
murid ditambah dengan hasil observasi di kelas agar lebih meyakinkan.
Sekolah Luar Biasa adalah sekolah yang menganut sistem segregasi atau pemisahan
antara anak berkebutuhan khusus dari anak umumnya dalam memperoleh layanan pendidikan.
Sekolah jenis ini akan menekankan keterampilan hidup kepada anak berkebutuhan
khusus sebagai bekal mereka untuk mandiri. Oleh karena itu, mata pelajaran yang diberikan ini
hanya diajarkan di SLB. Muatan kurikulum di SLB saat ini lebih banyak dititikberatkan kepada
keterampilan vokasional. Program keterampilan vokasional adalah program unggulan di SLB
yang berfokus kepada pembekalan keterampilan bagi peserta didik. Tujuannya agar mereka
memiliki jiwa wirausaha sehingga mereka mampu hidup mandiri di masyarakat. Selain itu,
penyelenggaraan pendidikan di SLB juga biasanya diintegrasikan antar jenis kelainan. Artinya,
dalam satu SLB dapat menyelenggarakan layanan untuk berbagai jenis kelaianan. Nah,
keuntungan dari model integrasi antar jenjang pendidikan dan antar jenis di SLB
adalah perkembangan anak akan dengan mudah dipantau. Sekolah jenis ini akan membuat anak-
anak berkebutuhan merasa lebih nyaman belajar bersama dengan anak yang memiliki kebutuhan
pendidikan yang sama dengan mereka. Selain itu, di sekolah khusus ini juga jarang terjadi
kasus pelecehan, penghinaan, dan pengucilan pada anak berkebutuhan khusus. Dengan adanya
perasaan sama akan kondisi yang dialaminya, komunikasi antar anak berkebutuhan khusus lebih
mudah dan dapat dipahami di antara mereka. Guru yang menangani peserta didik pun berasal
dari latar pendidikan khusus yang sesuai dengan yang diajarkan. Jadi, metode pembelajaran akan
sesuai dengan kebutuhan anak.

Anda mungkin juga menyukai