Anda di halaman 1dari 13

POLA PENYAKIT KONTEKS PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DAN

LINGKUNGAN HIDUP
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunianya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “pola penyakit
konteks perubahan sosial budaya dan lingkungan hidup” ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya sesuai dengan rencana pengumpulan. Penulisan makalah ini
dimaksudkan untuk memenuhi tugas dan kewajiban penulis. Pada kesempatan ini
pula penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dan membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan
penyusunan.

Medan, 14 Desember 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Keterkaitan Sosial Budaya Dalam Konteks Penyakit...................................3
2.2 Keterkaitan Lingkungan Hidup Dalam Konteks Penyakit............................6
BAB III PENUTUP ...............................................................................................7
3.1 Kesimpulan...............................................................................................7
3.2 Saran.........................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................9

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Upayai pola penyakit di Indonesiai mengadopsii sistemi kesehatan dan
medisi modern yangi latar masyarakati penggunanya adalahi sosial-budayai Barat.
Atasi dasar itu tidaki sedikit kendalai dalam pembangunani kesehatani maupun
pengobatani serta penyembuhani penyakit ketikai dilayankani kepadai masyarakat
Indonesia, karenai pengetahuan naturalnyai terintegrasi dalami pengetahuan
supernaturalnyai yang berbedai jauh dari nilai dan norma masyarakat Barat.
Untuk memahamii itu lebih luasi tulisan ini dimaksudkanisebagai
upayaipenyadaran para pihakiterkait serta menawarkanisolusinya agarisukses.
Dalam SistemiKesehatan Nasionali (SKN) tahun 1982i dan diperkuat padai
GBHN 1988 dinyatakani bahwa kesehatani integral dalami pembangunan
nasionali lewat optimalisasii derajat kesehatan, sebagaii unsuri kesejahteraani
umum dalami upaya imencapai kemakmurani materil an spirituali sesuai cirii
manusia Indonesiai seutuhnyai (Tap MPR No. II/MPR/1988). Dalami
perkembangan iterakhir Sistemi Kesehatan Nasionali diperkuat olehi UU RI No.
23 Tahun 1992 tentang iKesehatan daniyang disempurnakani kemudian dalamv
UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Seiringi dengan perkembangani ilmu pengetahuani dan teknologii yang
banyak membawai perubahan terhadapi kehidupan manusiai baik dalami hal
perubahani pola hidup maupuni tatanan sosiali termasuk dalami bidang ikesehatan
yang isering dihadapkan idalam suatu ihal yang iberhubungan langsung idengan
norma idan budaya iyang dianut ioleh masyarakat iyang bermukim idalam isuatu
tempat itertentu. Pengaruh isosial budayaidalam masyarakatimemberikan peranan
pentingi dalam mencapaii derajati kesehatan yang isetinggi-tingginya.
Perkembangani sosial budayai dalam masyarakati merupakan isuatu tanda ibahwa
masyarakati dalam suatuidaerah tersebutitelah mengalamiisuatu perubahanidalam
prosesi berfikir. Perubahani sosial dan budayai bisa memberikani dampak positif
maupuni negatif. Hubungani antara budayai dan kesehatani sangatlahi erat
hubungannya, isebagai salah isatu contoh isuatu masyarakat idesa yang isederhana

1
dapat ibertahan dengan icara pengobatan itertentu sesuai idengan tradisi imereka.
Kebudayaani atau kultur idapat membentuki kebiasaan dan irespons iterhadap
kesehatanidan penyakitidalam segalaimasyarakat tanpaimemandangitingkatannya.
Karena itulah ipenting bagi itenaga kesehatan iuntuk tidakihanyaimempromosikan
kesehatan, tapii juga membuati mereka mengertii tentang prosesi terjadinyai suatu
penyakiti dan bagaimanav meluruskan keyakinani atau budayai yangi dianut
hubungannyaidenganikesehatan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah “bagaimana pola penyakit konteks perubahan sosial budaya dan
lingkungan hidup?”

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Keterkaitan Sosial Budaya Dalam Pola Konteks Penyakit


Kebudayaani adalah modal dasari masyarakat untuki mengantisipasii dan
mengadaptasii kebutuhan. C. Geertz (1973:89) menekankani: "The culture
concept..., it denotesi an historicallyi transmitted patterniof meanings embodied
inisimbols: a system ofi inherited conceptions iexpressed in isymbolic forms iby
means of which imen: communicate, iperpetuate, and idevelop their iknowledge
about and iattitudes toward ilife". Berartii kebudayaan iadalahi polaipengertiani
atau imakna menyeluruh idalam simbol-simbol iyang ditransmisikan isecara
historis; sistem ikonsepsi-konsepsi yangidiwariskan: dalam bentuk bentuk
simbolisi yang dengani cara tersebuti manusia iberkomunikasi, melestarikani dan
mengembangkani pengetahuan dani sikap merekai terhadap kehidupan. Simbolik
yangi dimaksud Geertzi adalah suatui cara memberii bentuk konseptuali objektif
terhadapi kenyataan sosiali dan kejiwaani warganya. Dapati pula idihubungkan
dengani kebudayaan universali yang dikemukakani sistematis oleh Tylor 1874
dan Koentjaraningrat 1979. Konsepi para ahli antropologii tersebut
imembentangkan idea, aktivitasi sosial serta materii kebudayaan yang jadii
pelapisan lini bagii tujuh unsur kebudayaani yang satu sama lainnyai pengaruh-
mempengaruhii yaitu: (1) Agama; (2) iIlmu pengetahuan; (3) Teknologi; (4)
Ekonomi; (5) Organisasi sosial; (6) Bahasa dan komunikasi; dan (7) Kesenian
(Suparlan,1988: 5).

3
Sekarangi telah terlihati bagaimana hubungani kebudayaan idengan
pemenuhani kebutahan dan ipengaruhnya terhadap pembentukan ipranata-pranata
sosial isebagai sarana iuntuk mengukuhkan berbagai itradisi atau ikebiasaan yang
berlaku idalam struktur imasyarakatisetempat. . Semenjakiitu, kesehatan daniilmu
kesehatan, menjadii bagian dari prosesi pembangunan imanusia. Melepaskan
penderitaanidan mencapaiikenikmatan hidup sosial ekonomi yang dapat
menjamin upayai kesehatan masyarakati dan lingkungani menyeluruh "holistik"
idan keterkaitani struktural dani fungsionali ”sistemik” (Loedin,1982:11; Foster,
1986: 45).
Nilaii dan normai kebudayaan sertai sistem sosiali menentukani usaha
kesehatan. Baiki biomedis (medis modern), kesehatani tradisionali (medis
tradisional), maupuni kesehatan keluargai atau sendirii (home atau self treatment).
Pada konsepi sistem sosialiini tidak eksplisitimembedakan indikatoritingkah laku
dan iperilaku sertai tindakan yang ipada hakikatnya isatu ciri saja iyakniidinamika
bahasa fisiki (body language) mengaktualisasikani organisasi responi dalami jiwa
berupai sistem geraki gerik yangidiwujudkan. Namuniesensi nilai daninorma serta
keorganisasianisosial yang menyertainyaimemberi makna bahwa upaya
kesehatan, penyebabidan penyebaranipenyakit serta modelipengobatan
danipenyembuhannya dipengaruhiikebudayaan daniperadaban
masyarakatisetempat.
Polai Konteks Penyakiti disoroti darii sudut sosiali budaya. Telah
dibentangkani di awal unsuri budayai universal, meliputi: Agama; iEkonomi; Ilmu
Pengetahuan; iTeknologi; iOrganisasi Sosial; iBahasa dan iKomunikasi; serta
Kesenian. iSegi Ilmu iPengetahuan. Hambatan idari segi ilmuipengetahuan, idapat
bersumberidari lembaga pengembanganiilmu pengetahuanibiomedis, dariisistem
medis tradisianaliserta dari wargaimasyarakat. Dari bagianipengembangan ilmuidi
lembaga pendidikanikesehatan misalnya fakultasikedokteran, terlihat antarailain:
(1) Konsep baruidalam pembangunanikesehatan belumidisosialissikan secarailuas
sehingga ikurang dipahamii masyarakat; (2) Pengembangani fakultas idalam
beberapai segi lebih imementingkan mutui internasional idaripada ikebutuhan

4
pembangunani nasional, lokal, ipulau terluar danikomunitas adatiterpencil; (3)
Orientasii fakultas masih imempertahankan zamaniemas spesialisiklinik, sedikit
sekalii pada kesehatan iprima; (4) Pandangani lebih dominaniatasipendekatan
monodisipliner idaripada inter idan imultidisipliner; (5) Bagian ikesehatan
masyarakati belum mampu imengubah suasana iorientasi ipenyakit ike arah
kesehatan isecara luas (Loedin, 1982:11). Hal iini terbawa ioleh idokter-dokter
atau iparamedis sebagai ialumni yang iberpraktik di iinstitusi-institusi ikesehatan,
baik di iPemerintahan maupun iSwasta.
Segi iTeknologi. Dari isistem medis imodern, banyakialat diagnosaidan
therapi ibaru belum idimiliki olehikebanyakan rumahisakit dan puskesmasidaerah,
khususnya Tingkat II daniKecamatan. Adapuni dari sistem medisi tradisional
sering sekalii menggunakan peralataniperalatan dari benda-bendai yang ikurang
higienis ataui tidak steril, sehinggai terjadi dampakinegatif. Seorangiparaji (dukun
bayi) seringisekali memotong taliipusar bayi denganisembilu, pisau atauigunting
yang kurangibersih. Kemudian ibekas potongani ditutup dengani abu dapuri yang
mungkini mengandungibakteri. Hal demikian, dapatimenimbulkanikejang-kejang
bagiibayi, menderita itetanus dan akhirnyaimeninggal.
SegiiOrganisasi Sosial. Pranataisosial di desa, ujungitombak pembangunan
kesehatani nasional belumi manggembirakan. Misalnyai posyandu sebagaii inti
kekuatani pranata kesehatani di pedalaman, banyaki yang tersendati bahkan mati.
Terkadangi disebabkan wargai masyarakat yangi suami-istri sama-samai bekerja.
Atau anaki mereka banyaki kecilikecil sementarai saat posyandui buka, tidaki ada
yang jaga isebagian anaknya. Kalaui dibawa semuai anak biayaijajan anakilebih
membengkak. Saati lain, disebabkanipetugas teknisimedis puskesmasi(dokter atau
paraimedis) yang membinanyaisering datang terlambatiatau tidakidatang. Di sudut
lainiwarga masyarakatikurang mau keiposyandu karena kalauiada anakisakit,
posyandu tidakimengobatinya kecuali sekedari menganjurkan kei puskesmasi atau
ke rumahi sakit, sehingga iwarga masyarakati lebih cenderungi langsung sajai ke
puskesmasi daripada keiposyandu (Riskesdas, 2008: 223–227).
Segii Pranata Hukumi ”Legalitas” Kesehatan. Sejumlahi praktik imedis
tradisionali telah dilegalisasii oleh Kementeriani Kesehatan iseperti: akupunktur,
tetapii pemraktik lainnyaiseperti magik-religious, iherbalis, dukun patahvtulang,

5
dan iparaji, belum isecara resmi imendapat izin ipraktik. Masalahnya iselain cara
bekerjanyai yang belumi dapat diketahui secarai tepat, juga masihi memerlukan
diskusii para ilmuani seperti yangi dikemukakan ioleh Boedhihartono (1989:24)
tentangi apakah merekai berhak mengeluarkan "suratisakit seorangipasien", “surat
keterangan

2.2 Keterkaitan Lingkungan Hidup Dalam Pola Konteks Penyakit


Dii Indonesia ibanyak terdapat imasyarakat itradisional dan ibahkan
kumunitasi terpencil. Sifati anggota masyarakatiseperti ini masihipenganut sistem
kepercayaani yang sukar membedakani tindakan irasional dengan iirrasional. Jadi
sistemi pengobatan tradisionali masih perluidipetarangkum danididokumentasikan
secarai menyeluruh. Hinggai sekarang belum iterdata secarai rinci. Kekayaanidata
pengobatani alternatif sungguhi penting sebagaii dasar menentukani kategorisasi,
acuan, iprosedur atau iproses yangiserasi. Tidak tumpangitindih denganibiomedis
dalamibentuk inkorporasi, iintegrasi, adopsiiatau legalisasi atauiapapun strategi
yangi disepakati (Boedhihartono, 1989:21). Segii Bahasa. Acapkalii istilah iatau
penjelasani dalam duniai kedokteran tidaki dipahami wargai masyarakati sewaktu
dikomunikasikani oleh petugasi kesehatan. Sehingga warga yang awam
cenderung salahi menginterpretasi i (mis-komunikasi). Begitui juga tentangi
pemraktikimedis tradisionalicenderung menjelaskanikepada wargaimasyarakat
istilahikedokteran moderni (untuk jastifikasi) dengani mengkomunikasikannyai
denganiistilah-istilah medis tradisionaliyang sebenarnya tidakisama. Di satuisegi
wargaimasyarakat merasa dapatidukungan spiritualiyaitu
mendapatkanipengobatan sebenarnyaidari pengobatitradisional sepertiidukun
sebagai penggantii dokter biomedis. Akan tetapii sesungguhnyaipenyakit
menuntutipenyembuhan ke tingkatimedis modern (biomedis), iseperti penyakiti
infeksi, tetanusi dan tumor iyang dipandangi karena kesambati ataui terkenai
black magic.

6
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pembangunani kesehatan dii Indonesia padai dekadei terakhir cukupipesat.
Pembangunani kesehatan imeliputi biomedis, itradisional, keluargai atau sendiri.
Disanggaisejumlah faktoripendukung (stimulant) dani faktor kendalai (barrier).
Adai yang datangi dari penyelenggarai biomedis, pemraktiki tradisionali dan juga
darii pemraktik keluargai atau sendiri. Baiki dari ipemerintah, swastai dan iwarga
masyarakat. Darii pemraktik disiplini kedokteran dani ilmu-ilmu sosial. Proposisi
hipotesisi sebagai ikecambah iteori besar (grand theory) yangi dapati penulis
banguni dari uraiani terdahulu adalahi “semakin intensif istudi faktoripendukung
danipenghambat dari isegi ekologi, ibiologi, ipsikologi, social, ibudaya, dan ireligi
dibarengi iuji coba inovasiimedis ansih dalamibiomedis sertaipsikotherapi sebagai
acuan imendasari ipengambilan kebijakan idan implementasinya idalam
pembangunan ikesehatan di iIndonesia, akan imewujudkan iidea utopis itentang
kesehatan imenyeluruh”. Selama ± 40 tahun ilalu program ikesehatan yang
dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan RI terlalu berorientasi ipada teknis
biomedis idan kurang imemperhatikan faktor isosial budaya idan perilaku ibahkan
sampai isekarang (tahun 2010) masih minim.
Hasil-hasil penelitian iyang diperoleh iLitbangkes Depkes ilebih mengarah
pada ikepentingan ipengembangan ilmu idan penerapan biomedis iansich yang
jauh ihubungan dengan ifaktor sosial ibudaya. Banyak imasalah ikesehatan itidak
dapat idipecahkan ioleh ilmu ikedokteran imelalui ipendekatan teknisibiomedis
semata. iAkan tetapi imemerlukan sinergiidan kolaborasiidengan berbagaiidisiplin
sosial budaya. Untuk iitu harus idiperhitungkan iarah perubahan isosial, keadaan
sosial ibudaya dari ipenerima (recipient), kehendak idan aspirasi imerekaiterhadap
perubahan iserta hubungan isosial yang telah itertanam nilaiidan normanyaidalam
masyarakat. Ilmu-ilmui sosial budayai membantu merumuskani tipe iperubahan
masyarakati dalam iberbagai keadaan. Bergunai dalam ipenentuan ikebijaksanaan,

7
strategi, iperencanaan, ipelaksanaan idan evaluasi iupaya kesehatan ifisik, psikis,
sosial, iemosional, dan ispiritual. Memberii masukan kepadai sistemi monitoring
pelaksanaani program-programi kesehatan
3.2 Saran
Perlui identifikasi hambatani antara ilmu/ilmuwani sosiali dengan
ilmu/ilmuwani dan pemberii jasai kesehatan. Hambatani dari usiaiilmuilmu sosial,
birokrasi, iserta ikemungkinan ilain. Digali ilewat penelitian ipendekatan "ethic-
emic" yaitu idata dari ikeprofesionalan ilmu ikedokteran dan iilmu-ilmu isosial
(akademis), maupuni dari fenomenai sosial budaya yangi hidup sebagaiikebiasaan
yang menjadiiadat istiadatimasyarakat (social customs). Kemudian idicari isolusi
lewat iworkshop iintersubjektivitas.

8
DAFTAR PUSTAKA

Adhyatma NI.1986. Peningkatan Upaya Pencegahan dalam Program


Pemberantasan Penyakit Diare. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular
Boedhihartona. 1982. Current State and Future Perspective of Traditional Healers
in Indonesia. Dalam David Mitchell, (Ed.), 'Indonesia Medical Traditions.
Monash University, Melbourne.
Budhisantoso, S. 1987. Jawanisasi atau Keterikatan Budaya dalam Kontak
Antarkebudayaan. Dalam Muhajir, dkk. (Penyunting Seminar Budaya
Februari 1987) “Evaluasi dan Strategi Kebudayaan”. Jakarta: UI Press.
Clark, Margaret, 1959. Health in The Mexican-American Culture: A Community
Study. Berkeley: University of California Press.
Cunningham, W.H. 1970. Thai 'Injection Doctors': Antibiotic Mediators. Social
Science & Medicine 4: 1–24.
Depkes RI, 2009. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
------------, 2008. Laporan Hasil Penelitian Dasar (Riskesdas) IndonesiaTahun
2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI
Foster, George M. 1976. Medical Anthropoloy and International Health Planning.
Edited by Medical Anthropology Newsletter. Berkeley: University of
Califernia.
Geertz., Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic, Books,
Inc., Publishers.
Heerjan, Soeharto. 1987. Apa Itu Kesehatan Jiwa? Suatu Pengantar Ke Bidang
Kesehatan Jiwa Masyarakat. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteram UI.
Hartono, G. 1989. Peranan Pemberantasan Penyakit Diare dalam Peningkatan
Kualitas Hidup dan kelangsungan Hidup Anak di Indonesia. Jakarta:
Percetakan Negara dan Depkes RI.

9
Kalangie, Nico S. 1977. Beberapa Masalah Sosial-Budaya dalam Inovasi
Kesehatan dalam Suatu Komuniti Pedesaan. Jakarta: Medika, No. 5 Tahun
III.
Koentjaraningrat. 1982. Ilmu-Ilmu Sosial dan Pembangunan Kesehatan. Jakarta:
Proceeding, Seminar Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Depkes RI.
Landi, David. 197l. Cultate, Diseases and Healing. Studies in Medical
Anthtropology. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.
Loedin, A.A. 1982. Peranan Ilmu-Ilmu Sosial dan Pengembangan Kesehatan,
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Lubis, S. dan Abdi, Moh. 1979.Pengobatan Cara Timur dan Barat. Surabaya:
Usaha Nasional.
Marrison, Malcom. 2002. “Cocept of Health & Fitness. The Exercise Teachers
Academy” in The American Journal of Health Promotion.
Mahoncy, Elizabeth Anne. 1976. Tehnik Mengumpulkan dan Mencatat Riwayat
Kesehatan. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen
Kesehatan RI.
Pemerintah RI. 2005. Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 2005 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
Jakarta: CV. Tamita Utama.
Rukmana, Bintari.1982. Peranan Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmuannya Dalam
Penelitian: Bidang Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Sastroamidjojo, Seno. 1982. Peranan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dalam
Pembangunan Kesehatan. Jakarta: Fakultas Psikologi UI.
Spradley, J.P. 1972. Foundation of Culture Knowledge. Dalam Culture and
Cognition: Rules, Maps, and Plans, Edited by J.F. Spradley. San Francisco:
Chandler Inc.
Sri Kardjati. 1985. Aspek Kesehatan dan Gizi Anak Balita, Jakarta: Direktorat
Bina Gizi Masyarakat dan Yayasan Obor Indonesia.
Suparlan, Parsudi. 1987. Evaluasi Keberhasilan Program Peningkatan Kesehatan
Masyarakat dengan Menggunakan Model Experimental Field-Base
Training. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Depkes RI

10

Anda mungkin juga menyukai