Jika berbicara tentang aswaja, tentu kita sudah tidak asing lagi dengan kata itu, semua
organisasi keislaman yang bersifat kemasyarakatan, bahkan semua aliran, mengaku bahwa
diri mereka adalah bagian dari aswaja. Padahal tidak semua dari mereka
mengimplementasikan ideologi-ideologi serta prinsip aswaja. Nah, oleh karena itu sangatlah
penting bagi kita sebagai kader pemuda NU, untuk mengetahui tentang ideologi aswaja, serta
prinsip-prinsipnya. Di samping itu perlu juga bagi kita untuk mengimplementasikannya di
dalam kehidupan sehari-hari, lebih-lebih di dalam kehidupan bernegara. Agar kita dapat
menyeimbangkan antara orientasi duniawi dan ukhrowi kita, sehingga kita dapat menjadi
ummatan wasathan, yaitu khaira ummah.
Sebelum membahas tentang ideologi aswaja, kita harus mengetahui terlebih dahulu
mengenai pengertian aswaja. Apa sih aswaja itu? Aswaja adalah kependekan dari Ahlus
Sunnah wal jama’ah, yang kalimat tersebut tersusun dari tiga kata utama, yaitu Ahlun, As-
Sunnah dan Al-jama’ah. Ahlun secara Bahasa yaitu keluarga, golongan, dan pengikut,
Ahlussunnah berarti orang-orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal
perbuatan Nabi Muhammad SAW), Serta kata al Jama’ah yang secara Bahasa berarti
sekelompok orang yang memiliki tujuan. Dari pemaparan arti kalimat ahlus sunnah wal
jamaah, kata aswaja memiliki definisi yaitu, suatu kelompok atau golongan ahli fiqih, ahli
tafsir, dan ahli hadits, serta sufi yang berpegang teguh kepada al-quran dan al hadits, serta
sunnah khulafaur rasyidin, tabiin, dan tabiit tabiin, ijam’ ulama, serta qiyas. Sebagaimana
Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari berkata dalam kitabnya Ziyadah at-
Ta’liqat, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah:
أما أهل السنة فهم أهل التفسري واحلديث والفقه فإهنم املهتدون املتمسكون بسنة النيب صلى اهلل عليه وسلم
واخللفاء بعده الراشدين وهم الطاءفة الناجية قالوا وقد اجتمعت اليوم يف مذاهب أربعة احلنفيون والشافعيون
واملالكيون واحلنبليون
Ahlussunnah wal Jama’ah dianggap sebagai paham yang moderat, karena di dalam
ajarannya meyakini ke-Maha Kuasa-an Alloh dan menghargai ikhtiyar (akal) manusia. Selain
itu, ahlussunnah wal jama’ah juga melakukan ihtiyath (kehati-hatian/antisapatif) dalam
bidang ibadah, alasan kita agar harus mengikuti Ahlussunnah wal Jama’ah juga dikarenakan
para sahabat Nabi perlu diikuti, karena merekalah yang mengetahui dan memahami terhapa
semua yang dilakukan oleh Nabi.Oleh karena itu Nabi mengatakan : ما انا عليه الي=وم و أص=حابه.
Bahkan dalam hadis disebutkan bahwa mereka (para sahabat) dijamin masuk surga.
Ahlussunnah wal jamaah merupakan sebuah manhaj pola pikir, dan bukan merupakan
sebuah madzhab. Di antara prinsip-prinsip dari ajaran ASWAJA yaitu tawassuth (Moderat),
tasamuh (Toleransi), tawazun (Seimbang), dan amar ma’ruf nahi munkar. Sangatlah tepat jika
kita menerapkan prinsip-prinsip ini di negara kita Indonesia yang notabene merupakan negara
plural/majemuk. Saya ambil contoh dari sikap tasamuh, yaitu memberikan kebebasan orang
lain untuk memilih keyakinan (agama). Banyak dari warga Indonesia sekarang di dunia maya
menghakimi kaum Nonis, agar mereka masuk ke agamanya (Islam). Hal tersebut bukan
merupakan solusi yang tepat, karena hal tersebut hanya dapat memecah belah keutuhan
negara kita. Negara ini bukan dibuat untuk menjadi negara islam. Melainkan negara Kesatuan
RI yang memiliki masyarakat yang majemuk, baik dari sisi etnis, ras, suku, dan agama.jika
kalian islam, jadilan islam yang berasaskan nusantara, sehingga kita memiliki karakteristik
khusus yang dapat membedakannya dengan islam di negara timur tengah. Oleh karena itu,
sikap tasamuh ini sangat penting diterapkan di dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama
dalam kehidupan beragama dan bernegara.
Di samping itu,bentuk implementasi (pengamalan) Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak
dapat dilepaskan dari sikap moderat. Prinsip moderat yang ada dalam aswaja an-nahdliyyah
itu dalam tataran yang lebih riil dapat dicontohkan serbagai beikut:
a. Bidang akidah
Dalam menjalani kehidupan atau menghadapi persoalan-persoalan, orang NU tidak
boleh hanya bergantung pada kekuasaan Alloh (pasrah) atau sebaliknya hanya mengandalkan
kemampuan akal (teori atau ilmu pengetahuan). Kaduanya harus dilakukan secara bersamaan.
b. Bidang Fikih (Ibadah)
Dalam memegangi hukum fikih, kita tidak boleh “hanya” berpegang/berlandaskan
pada pendapat-pendapat yang ada (qauly) tetapi juga harus memperhatikan dan mengetahui
perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan (manhajiy). Motode berpikir ini diputuskan
dalam Munas NU di Lampung dan prinsip ini ada dalam ungkapan: