Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Negara kita, Indonesia adalah negara kepulauan di Asia Tenggara yang dilintasi garis
khatulistiwa, memiliki 17.504 pulau besar dan kecil, sekitar 6.000 di antaranya tidak
berpenghuni, yang menyebar di sekitar khatulistiwa, yang memberikan cuaca tropis. Nama
alternatif yang biasa dipakai adalah Nusantara. Wilayah Indonesia dari Sabang (barat) sampai
Merauke (timur), dan dari Miangas (utara) sampai Rote (selatan), terdiri dari berbagai suku
bangsa, bahasa, dan agama/kepercayaan. Di negara kita, terkhusus Agama di Indonesia terdiri
atas berbagai macam agama. Dalam sensus resmi yang dirilis pada tahun 2020, oleh Badan
Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2018, 86,7% penduduk Indonesia beragama Islam,
10,72% Kristen, 1,74% Hindu, 0,77% Buddha, 0,03% Konghucu, dan 0,04% aliran
kepercayaan atau agama lainnya.1

Persentase Agama di Indonesia

10%
2% %
11% Agama Islam
Kristen
Hindu
Budha
konghucu
Aliran Lain

87%

Table 01. Persentase Pemeluk Agama di Indonesia

Islam merupakan agama yang memiliki dasar dan sumber hukum sebagai acuan
kehidupan Ummat, Agama Islam merupakan agama yang telah Allah turunkan melalui
utusanNya, yaitu Rasulullah, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam. Dalam masa
pembentukannya, yaitu selama masa kenabian, ajaran-ajaran dan hukum-hukum Islam
diambil dari dua wahyu sebagai sumber primer, yaitu Al-Qur'an dan sunnah. Al-Qur'an
berlaku sebagai sumber pokok dan cetak biru untuk kehidupan Islami, sedangkan kehidupan

1
"Statistik Umat Menurut Agama di Indonesia". Ministry of Religious Affairs. Diakses tanggal 08 November 2022.

1
2

sehari-hari Nabi (sunnah) berlaku untuk menerangkan prinsip-prinsip dalam cetak biru
tersebut serta untuk menunjukkan cara mengaplikasikannya.2
Sunnah sebagai sumber hukum Islam, disepakati oleh ummat Islam dan telah menjadi
ijma’ para ulama’ bahwa sunnah merupakan sumber dan hujjah kedua setelah al-Qur’an. Jika
dipandang dari sudut etimologi atau bahasa, sunnah berarti metode atau jalan. Hal ini dapat
disimpulkan dari hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,
ً‫ُور ِه ْم َش ْى ٌء َو َم ْن َس َّن فِى اِإل ْسالَ ِم ُسنَّة‬ ‫ُأ‬ َ ُ‫َم ْن َس َّن فِى اِإل ْسالَ ِم ُسنَّةً َح َسنَةً فَلَهُ َأجْ ُرهَا َوَأجْ ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا بَ ْع َدهُ ِم ْن َغي ِْر َأ ْن يَ ْنق‬
ِ ‫ص ِم ْن ج‬
ِ ‫ص ِم ْن َأوْ ز‬
‫َار ِه ْم َش ْى ٌء‬ َ ُ‫َسيَِّئةً َكانَ َعلَ ْي ِه ِو ْز ُرهَا َو ِو ْز ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا ِم ْن بَ ْع ِد ِه ِم ْن َغي ِْر َأ ْن يَ ْنق‬

“Barang siapa yang mencontohkan jalan yang baik di dalam Islam, maka ia akan
mendapat pahala dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi
pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mencontohkan jalan yang jelek, maka ia
akan mendapat dosa dan dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi
dosa mereka sedikit pun.”3

2
Asy-Syatsri, Dr.Sa'ad bin Nashir bin Abdul-Aziz, Syarḥ al-Mukhtaṣar fī Uṣūl al-Fiqh, (2007), Hal.218
3
Shahih Muslim bi Syarh Al-Nawawi. Beirut: Dar Al-Fikr, Hal. 57
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Menjelaskan As Sunnah

Sejauh ini sudah menjadi pemahaman umat muslim bersama dan kesepakatan para ulama
bahwa sunnah nabawiyah atau yang lebih dikenal dengan sebutan hadis, ia merupakan sumber
hukum kedua dalam Islam setelah Al-Qur’an. As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il
(perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai
tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.4 Sunnah juga berarti praktek yang diikuti, arah,
model perilaku atau tindakan, ketentuan dan peraturan.
Disamping itu, Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa: Sunnah itu
untuk perbuatan dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. Akan tetapi ulama sudah banyak
melupakan makna asal bahasa dan memakai istilah yang sudah lazim digunakan, yaitu bahwa As-
Sunnah muradif (sinonim) dengan hadits.
Lebih lanjut lagi, As-Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih ialah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain dari Al-Qur-an, baik perbuatan,
perkataan, taqrir (penetapan) yang baik untuk menjadi dalil bagi hukum syar’i. Ulama ushul fiqih
membahas dari segala yang disyari’atkan kepada manusia sebagai undang-undang kehidupan dan
meletakkan kaidah-kaidah bagi perundang-undangan tersebut.
As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’) ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari
Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya
sunnah.5
As-Sunnah menurut ulama Salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah
Shallallahu‘alaihi wasallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan),
perkataan maupun perbuatannya.6
1. Macam Macam As Sunnah
Sebagaimana pembahasan yang telah ada sebelumnya bahwa sunnah Nabi adalah
segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam, baik itu
berupa ucapan (qauliyyah), perbuatan (fi’liyyah) maupun ketetapan (taqrir). Ketiganya ini

4
Qawaa’idut Tahdits, Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Ushul Hadits, Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, cet. IV Darul
Fikr, Hal.62
5
Abdullah Asy Syaukani, Irsyaadul Fuhuul asy-Syaukani, Kairo : Dar el Islam, (2006), Hal.32
6
Syaikh Dr.Ahmad Faird, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Pustaka Imam Syafi’I, (2006), Hal.10
4

termasuk dalam kategori macam-macam sunnah nabi dilihat dari bentuk penyampaiannya
oleh rasul. Sedangkan dari segi kandungan, sunnah nabi pun terdiri dari beberapa macam
yaitu mulai dari bermuatan aqidah, akhlak, ibadah, mu’amalah, hukum hingga yang
bermuatan tentang kabar-kabar gembira (kenikmatan) maupun yang berupa ancaman atau
siksa.
a. Sunnah Qauliyyah
Sunnah qauliyyah adalah sunnah yang bersumber dari perkataan atau ucapan
Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam. Pada bagian sunnah ini cakupan informasinya
lebih cenderung pada persoalan yang berkaitan dengan pembinaan hukum agama atau
bisa juga berupa penjelasan tentang makna-makna yang terkandung dalam ayat Al-
Qur’an.
Contohnya dalam hal ini adalah,
‫صلَّى اللَّهم َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل ِإنَّ َما اَأْل ْع َما ُل بِالنِّيَّ ِة‬
َ ِ ‫َرسُو َل هَّللا‬
(Artinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu
tergantung niatnya).7
b. Sunnah Fi’liyyah
Adapun yang dimaksud dengan sunnha fi‟liyyah yaitu sunnah yang bersumber
dari segala bentuk perbuatan Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam. Bisa jadi hal itu terkait
dengan persoalan ibadah atau lainnya, misalnya tentang tatacara melaksanakan shalat,
cara melaksanakan ibadah haji, atau bisa juga terkait penyelenggaraan peradilan dengan
menggunakan saksi dan sumpah.
Contohnya dalam hal ini adalah,
‫صلُّوا َك َما َرَأ ْيتُ ُمونِي‬
َ « :‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ قَا َل َرسُو ُل هللا‬:‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬
ِ ‫ث َر‬ ِ ‫ك ْب ِن ْال ُح َوي ِْر‬
ِ ِ‫ع َْن َمال‬
ِ ‫ َر َواهُ الب‬،»‫صلِّي‬
ُّ‫ُخَاري‬ َ ‫ُأ‬.
(Artinya, Dari Malik bin Al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam bersabda, “Shalatlah kalian (dengan cara)
sebagaimana kalian melihatku shalat.”)8
c. Sunnah Taqrir
Sedangkan yang disebut sunnah taqriri yaitu sunnah yang berupa bentuk respon
diamnya Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam  terhadap segala perbuatan sahabat yang

7
Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin
Ibrahim Alu Syaikh. Penerbit Dar Al-‘Ashimah, (2011), Hal.01
8
Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-
Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3: Hal.200
5

dibiarkannya saja. Apabila rasul bersikap demikian maka hal itu mengisyaratkan
persetujuannya rasul bahwa perbuatan tersebut boleh saja dilakukan dan tidak
melanggar hukum syara’.
Contohnya dalam hal ini adalah,
Dikeluarkan oleh Imam Al Bukhari dalam Kitab Khabarul Ahad, Bab Khobarul
Mar’ah Waahidah,
‫فَنَا َد ْتهُ ُم ا ْم َرَأةٌ ِم ْن‬،‫ فَ َذهَبُوا يَْأ ُكلُونَ ِم ْن لَحْ ٍم‬،‫ فِيه ْم َس ْع ٌد‬،‫ب النَّبِ ِّي صلىاهلل عليه وسلم‬
ِ ‫ َكانَ نَاسٌ ِم ْن َأصْ َحا‬ :)‫قَا َل (ابن عمر رضي هللا عنه‬
ْ‫ فَِإنَّهُ َحالَ ٌل َأو‬،‫اط َع ُموا‬ ْ ‫ ُكلُوا َأ ِو‬:‫ فََأ ْم َس ُكوا فَقَا َل َرسُو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬، ٍّ‫ضب‬ َ ‫ِإنَّهُ لَحْ ُم‬،‫اج النَّبِ ِّي صلى هللا عليه وسلم‬ ِ ‫ْض َأ ْز َو‬
ِ ‫بَع‬
‫ْس ِم ْن طَ َعا ِمي‬
َ ‫س بِ ِه َول ِكنَّهُلَي‬َ ‫ الَ بَْأ‬:‫قَا َل‬.

Abdullah Bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Orang-orang dari


kalangan sahabat Nabi Shallallahu’alaihi wasallam yang di antara mereka terdapat
Sa’ad makan daging. Kemudian salah seorang isteri Nabi Shallallahu’alaihi
wasallam memanggil mereka seraya berkata, ‘Itu daging Biawak dhab’. Mereka pun
berhenti makan. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Makanlah,
karena karena daging itu halal atau beliau bersabda: “tidak mengapa dimakan, akan
tetapi daging hewan itu bukanlah makananku“9

B. Menjelaskan Hadits
“Hadis” atau al-hadits menurut bahasa, berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan
kata dari al-qadim. Kata hadis juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Bentuk pluralnya adalah
al-ahadits.10
Dalam Sharah al-Bukhari, Syeikh Islam Ibnu Hajar berkata, bahwa dimaksud dengan
hadits menurut pengertian shara’ adalah apa yang disandarkan kepada Nabi
Shallallahu’alaihi wasallam, dan hal itu seakan-akan dimaksudkan sebagai bandingan Al
Quran yang qadim.11
Setelah itu, Dari beberapa pengertian di atas, baik dari ulama ushul maupun dari
ulama hadis, dapat ditarik benang merah bahwa hadis adalah sesuatu yang disandarkan pada
Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam, sahabat, dan tabi’in yang dapat dijadikan
hukum syara’.
9
Peristiwa tersebut disajikan lengkap pada, Sumber: Shahih Bukhari Juz VII, Hadis No. 5537, Hal.125
10
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: al-Muna, 2010), Hal.01
11
Ibnu Hajar al Asqalani, Fathul Bari, Syarah Shahih Al Bukhari: Kitab Wahyu dan Iman, Pustaka Imam Syafi’I, (2010),
Hal.22
6

1. Pembagian Hadits
Hadits ditinjau dari segi banyak dan sedikitnya Riwayat, hadits dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:
a. Hadits Mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang banyak,
sehingga mustahil mereka berdusta atas nama Nabi.
b. Hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang bahkan
lebih, akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan sebagai mutawatir.

2. Kedudukan dan Kualitas Hadits


Sedangkan ditinjau dari segi diterima atau tidaknya hadits sebagai hujjah, maka hadits
terbagi menjadi tiga, yaitu:
a. Hadits Shahih
Kata shahih menurut bahasa dari kata shahha, yashihhu, suhhan wa
shihhatan wa shahahan, yang menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat,
yang benar, yang sah dan yang benar. Para ulama biasa menyebut kata shahih
itu sebagai lawan kata dari kata saqim (sakit).
Maka hadits shahih menurut bahasa berarti hadits yang sah, hadits
yang sehat atau hadits yang selamat.
Ibnu Hajar al-Asqalani, mendefinisikan lebih ringkas yaitu: “Hadits
yang diriwayatkan oleh orang–orang yang adil, sempurna kedzabittannya,
bersambung sanadnya, tidak ber’illat dan tidak syadz”.12
Menurut ta’rif muhadditsin, maka dapat difahami bahwa suatu hadits
dapat dikatakan shahih, apabila telah memenuhi lima syarat:
1) Sanadnya bersambung, yaitu tiap – tiap periwayatan dalam sanad
hadits menerima periwayat hadits dari periwayat terdekat
sebelumnya, keadaan ini berlangsung demikian sampai akhir sanad
dari hadits itu.
2) Periwayatan bersifat adil, maksudnya adalah periwayat merupakan
seorang muslim yang baligh, berakal sehat, selalu memelihara
perbutan taat dan menjauhkan diridari perbuatan – perbuatan
maksiat.
12
Ibnu Hajar al Asqalani, Fathul Bari, Syarah Shahih Al Bukhari, Pustaka Imam Syafi’I, (2010), Hal.01
7

3) Periwayatan bersifat dhabit, Dhabit yaitu orang yang kuat


hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu
menyampaikan hafalannya kapan saja ia menghendakinya.
4) Tidak Janggal atau Syadz, yaitu hadits yang tidak bertentangan
dengan hadits lain yang sudah diketahui tinggi kualitas ke-shahih-
annya.
5) Terhindar dari Illat (cacat), yaitu hadits yang tidak memiliki cacat,
yang disebabkan adanya hal – hal yang tidak bak, yang
kelihatannya samar – samar.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat difahami bahwa hadits
shahih merupakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi wasallam. Sanadnya bersambung, perawinya yang adil,
kuat ingatannya atau kecerdasannya, tidak ada cacat atau rusak.
b. Hadits Hasan
Menurut pendapat Ibnu Hajar, ”Hadist hasan adalah hadist yang
dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil
sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil.”13
Imam Tirmidzi mengartikan hadist hasan sebagai berikut: “Tiap-tiap
hadist yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada
matan-nya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan (hadist tersebut) diriwayatkan
pula melalui jalan lain”.14
Adapun syarat Hadits Hasan, sebagai berikut:
1) Para perawinya yang adil.
2) Ke-Dhabith-an perawinya dibawah perawi Hadist shahih
3) Sanad-sanadnya bersambung.
4) Tidak terdapat kejanggalan atau syadz
5) Tidak mengandung Illat
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat difahami bahwa hadist
Hasan tidak memperlihatkan kelemahan dalam sanadnya, melainkan kurang
sempurna hafalannya. Disamping itu pula hadist hasan hampir sama dengan
hadist shahih, perbedaannya hanya mengenai hafalan, di mana hadist hasan
rawinya tidak banyak hafalannya.
13
Zufran Raman, Kajian Sunnah Nabi Shallallahu’alaihi wasallam Sebagai Sumber Hukum Islam, Pedoman Ilmu Jaya,
Jakarta, (1995), Hal.40
14
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Dar Al-Fikr, Bairut, (1980), Hal.76
8

c. Hadits Dhaif
Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari
Qawiy yang kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata Dhaif secara bahasa
berarti Hadist yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat.
Secara Terminilogis, para ulama mendefinisikan secara berbeda-beda.
Akan tetapi pada dasarnya mengandung maksud yang sama, Pendapat An-
Nawawi: “Hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih
dan syarat-syarat Hadist Hasan.”15
Yang termasuk hadits dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara
bersama-sama yaitu:
1) Munkar
2) Matru’
3) Maudhu’
Berdasarkan pengertian di atas dapat difahami bahwa hadits dhaif yaitu
hadits yang lemah, hadits yang didalamnya tidak ada indikator sebagai hadits
shahih.
Dari beberapa uraian diatas, maka penulis menarik beberapa benang merah, yaitu:
a. Hadits shahih merupakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi wasallam. Yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang
adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak cacat.
b. Hadits hasan merupakan hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, tapi kualitas
ingatannya berada dibawah hadits shahih, dan yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan
tidak ganjil.
c. Hadits Dhaif adalah, Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih
dan hadits hasan. Atau dapat juga diartikan hadits yang kehilangan, satu syarat atau lebih
dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.

3. Perbedaan dan Persamaan Sunnah dan Hadits


Berikut ini merupakan Perbedaan dan Persamaan Sunnah dan Hadits.
Persamaan Sunnah Hadits

15
An-Nawaawi, At-Taqrib Li An-Nawawi Fann Ushul Al-Hadist, Abd Rahman Muhammad Kairo, Hal,19
9

Sama sama bersumber dari Sama sama bersumber dari


Nabi Muhammad Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi Shallallahu’alaihi
wasallam, dan merujuk wasallam, dan merujuk
pada Perilaku Nabi pada Perilaku Nabi
Muhammad Muhammad
Shallallahu’alaihi Shallallahu’alaihi
wasallam. wasallam.
Diikuti oleh Shahabat Tidak selalu diikuti oleh
Shahabat
Merujuk pada Al Quran Merujuk pada Sunnah Rasul
Perbedaan
Perbuatan Rasulullah Pekerjaan Manusia
Tidak mungkin Salah Bisa terjadi Salah
Kebenarannya dijamin Kebenarannya tidak dijamin

BAB III
PENUTUP
10

Perlunya kita menyadari bahwa al-Qur’an tidak bisa terimplementasikan begitu saja
tanpa penjelasan dari hadis dan sunnah, karena penjelasan-penjelasan yang terdapat dalam al
Qur’an belum tentu jalan atau terlaksanakan tanpa adanya dukungan dari hadis dan sunnah.
Al-Qur’an merupakan peninggalan Nabi, yang diwahyukan dari Allah dan
diturunkan melewati perantara malaikat Jibril. Sama halnya dengan sunnah dan hadis,
karena kedua mempunyai peran penting dalam pemahaman yang terdapat dalam Islam, dan
juga sunnah dan hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Islam merupakan
agama yang sempurna, karena Islam merupakan agama yang dibawa serta diperjuangkan
oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam. Agama inilah yang membawa serta
menjungjung kita kepada ajaran-ajaran yang telah dilakukan oleh Nabi, karena dengan
agama Islam Allah telah menyempurnakan kepada kita nikmat serta hidayahnya. Agama
Islam adalah agama yang diridhoi Allah.
Sunnah sebagai sumber hukum Islam, disepakati oleh ummat Islam dan telah menjadi
ijma’ para ulama’ bahwa sunnah merupakan sumber dan hujjah kedua setelah al-Qur’an.
Sebagaimana pembahasan yang telah ada sebelumnya bahwa sunnah Nabi adalah
segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam, baik itu berupa
ucapan (qauliyyah), perbuatan (fi’liyyah) maupun ketetapan (taqrir). Ketiganya ini termasuk
dalam kategori macam-macam sunnah Nabi dilihat dari bentuk penyampaiannya oleh rasul.
Sedangkan dari segi kandungan, sunnah nabi pun terdiri dari beberapa macam yaitu mulai
dari bermuatan aqidah, akhlak, ibadah, mu’amalah, hukum hingga yang bermuatan tentang
kabar-kabar gembira (kenikmatan) maupun yang berupa ancaman atau siksa.
Hadits adalah sesuatu yang disandarkan pada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
wasallam, sahabat, dan tabiin yang dapat dijadikan hukum syara’.
Dari beberapa uraian diatas, maka dapatlah diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
a. Hadits shahih merupakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi wasallam. Yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yanga
adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak berikat.
b. Hadits hasan merupakan hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, tapi kurang kuat
ingatannya yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil.
c. Hadits Dhaif adalah, Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih
dan hadits hasan. Atau dapat juga diartikan hadits yang kehilangan, satu syarat atau lebih
dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.
Di dalam Al Qur’an, disebutkan pada Al-Isra Ayat 36,
11

ٓ
َ ‫ص َر َو ْٱلفَُؤ ا َد ُكلُّ ُأ ۟و ٰلَِئ‬
‫ك َكانَ َع ْنهُ َم ْسـُٔواًل‬ َ َ‫ْس لَكَ بِِۦه ِع ْل ٌم ۚ ِإ َّن ٱل َّس ْم َع َو ْٱلب‬
َ ‫َواَل تَ ْقفُ َما لَي‬

Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya.

Di ayat yang lain disebut pada Al Hujjurat Ayat 6,


۟ ‫ُوا قَوْ ۢ ًما ب َج ٰهَلَ ٍة فَتُصْ بح‬
َ‫ُوا َعلَ ٰى َما فَ َع ْلتُ ْم ٰنَ ِد ِمين‬ ِ ِ
۟ ‫صيب‬ ٌ ۢ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا ِإن َجٓا َء ُك ْم فَا ِس‬
ِ ُ‫ق بِنَبٍَإ فَتَبَيَّنُ ٓو ۟ا َأن ت‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu.

Anda mungkin juga menyukai